Anda di halaman 1dari 29

Disusun Oleh:

KELOMPOK 2

KORBAN PEMERKOSAAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

2020
DAFTAR NAMA KELOMPOK

1. CHIKITA PUTRI MAYDA (201802010)


2. DELA NASTASIA YUNITA (201802011)
3. DWI YUSTIKA SARI (201802012)
4. DWIKY RIZAL MAHARDIKA (201802013)
5. ELIKA RIZKI SAFITRI (201802014)
6. ELLA SAFITRI (201802015)
7. EZI CAHYA SAHLEVI I. (201802016)
8. FAIQAL RAMADANI YAHYA (2018.02.017)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Allah azzawajal. Atas berkat dan rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah Korban Pemerkosaan dan Pencegahannya.
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari bebrapa
pihak. Untuk iu pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga berhasil
terutama kepada dosen pembimbing.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak mengandung kekurangan karena
keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi kepentingan maklah penulis dimasa pendatang.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga dengan adanya makalah ini dapat


memberikan manfaat kepada pebaca pada umumnya dan khususnya pada penulis sendiri.

Penulis

Banyuwangi, 25 November 2020

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai
penerus generasi dimasa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anak–anak
merupakan fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang menentukan masa
depannya, sehingga perlu adanya optimalisasi perkembangan anak, karena selain
krusial juga pada masa itu anak membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari
orang tua atau keluarga sehingga secara mendasar hak dan kebutuhan anak dapat
terpenuhi secara baik. Tidak hanya itu faktor eksternal yang berasal dari
lingkungan tempat tinggal juga memiliki pengaruh penting dalam perkembangan
anak (Wahyuni, 2016).
Belakangan ini marak terjadi pelecehan dan bahkan kekerasan seksual
yang terjadi pada masyarakat. Mirisnya, pelaku tidak hanya mengincar para korban
dewasa saja, namun juga menjadikan anak-anak yang masih tidak tau apa-apa
menjadi korban. Begitu besarnya peran keluarga dan lingkungan bagi tumbuh dan
kembang seorang anak, akan tetapi pada kenyataannya fenomena belakangan ini
yang perlu mendapat perhatian adalah maraknya kekerasan seksual yang tidak
hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Kekerasan seksual
didefinisikan sebagai suatu tindak pidana di mana seseorang yang telah dewasa
menyentuh anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual, misalnya
perkosaan (termasuk sodomi), dan penetrasi seksual dengan objek (Wahyuni,
2016)
Banyak terdapat kasus-kasus mengenai kekerasan pada anak didunia. Di
Afrika selatan misalnya terdapat kejadian pemerkosaan terhadap anak dan bayi
terbesar di dunia. Sebuah survei oleh Central Institute of Education Technology
menemukan bahwa 60% anak laki-laki dan perempuan menyangka bahwa
perlakuan pemaksaan seks dari seseorang yang mereka tahu bukanlah kekerasan
seksual, sementara sekitar 11% dari anak laki-laki dan 4% anak perempuan
mengaku mereka dipaksa berhubungan seks dengan orang lain. Pada survei yang
berkaitan melibatkan 1.500 anak sekolah di Johannesburg di kota Soweto,
seperempat dari anak laki-laki yang diwawancara mengatakan 'jackrolling', sebuah
istilah untuk pemerkosaan bersama, adalah menyenangkan.Lebih dari separuh dari
yang diwawancara menyatakan bahwa jika anak perempuan mengatakan tidak
untuk melakukan seks (Laode Anhusadar, 2016). Di Indonesia kasus kekerasan
seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya bukan hanya dari
kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja, anakanak bahkan
balita (Noviana, 2015). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2010-
2014 menyebutkan bahwa, sekitar 42%-62% dari seluruh KtA merupakan kasus
kekerasan seksual dan tempat kejadian terbanyak ada dirumah dan sekolah,
sehingga rumah dan sekolah bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi anak
(Depkes RI & UNICEF, 2007). Data KPAI, priode 2011-2014 mencatat tahun 2014
diproyeksi terjadi sebanyak 1380 kasus kejahatan seksual, sedangkan pada tahun
2013 tercatat sebanyak (Depkes RI, 2007).
Hasil penelitian ilmiah menunjukkan dampak dari kekerasan seksual
terhadap anak dapat mengakibatkan kerusakan saraf di bagian cortex dan frontal
cortex, apabila bagian ini rusak maka dampaknya anak akan terbunuh karakternya
(KPAI, 2014). Dampak yang paling parah, 70% korban kekerasan seksual rawan
menjadi pelaku (Erlinda, 2014). Dampak yang muncul dari kekerasan seksual
kemungkinan adalah depresi, fobia, mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam
waktu yang cukup lama, membatasi diri dengan lingkungan. Bagi korban perkosaan
yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan
merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Anshor M, 2014).
Kekerasan seksual pada anak baik perempuan maupun laki-laki tentu
tidak boleh dibiarkan. Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran moral dan
hukum, serta melukai secara fisik dan psikologis. Kekerasan seksual terhadap anak
dapat dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan, pencabulan, serta incest. Oleh
karena itu, menurut Erlinda (Seketaris Jenderal KPAI) kasus kekerasan seksual
terhadap anak itu ibarat fenomena gunung es, atau dapat dikatakan bahwa satu
orang korban yang melapor dibelakangnya ada enam anak bahkan lebih yang
menjadi korban tetapi tidak melapor (http://indonesia.ucanews.com, diakses pada
20 Mei 2014). Fenomena kekerasan seksual terhadap anak ini, menunjukkan betapa
dunia yang aman bagi anak semakin sempit dan sulit ditemukan. Bagaimana tidak,
dunia anakanak yang seharusnya terisi dengan keceriaan, pembinaan dan
penanaman kebaikan, harus berputar balik menjadi sebuah gambaran buram dan
potret ketakutan karena anak sekarang telah menjadi subjek pelecehan seksual
(Noviana, 2015).
Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi kapan saja dan di mana
saja. Siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, karena tidak
adanya karakteristik khusus. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak mungkin
dekat dengan anak, yang dapat berasal dari berbagai kalangan. Pedofilia tidak
pernah berhenti, pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga cenderung
memodifikasi target yang beragam, dan siapa pun bisa menjadi target kekerasan
seksual, bahkan anak ataupun saudaranya sendiri, itu sebabnya pelaku kekerasan
seksual terhadap anak ini dapat dikatakan sebagai predator.
Berdasarkan dari data yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik
untuk membahas kajian tentang “Dampak Kekerasan Pada Anak”. Diharapkan
kedepannya Literature Review ini dapat bermanfaat bagi orang yang membaca dan
sebagai referensi peneliti berikutnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hasil review adakah Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak ?
1.3 Tujuan
Diketahuinya hasil riview Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan secara

keilmuwan mengenai penatalaksanaan nonfarmakalogis dengan pemberian

terapi musik terhadap tekanan darah pada lansia penderita hipertensi tahun

2020.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan dan merupakan wujud aplikasi dari pengetahuan yang

dimiliki peneliti yang di dapat dari perkuliahan.

2. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi sebagai sumber referensi

bagi institusi untuk menambah keilmuan terkait penelitian literature

review tentang pengaruh terapi musik tradisional Jawa gethuk terhadap

tekanan darah pada lansia penderita hipertensi dan menjadi tambahan

koleksi hasil penelitian serta dapat ditempatkan diperpustakaan

institusi sebagai bahan untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak.


3. Bagi Profesi Keperawatan

Sebagai bahan asuhan dan kajian keperawatan untuk peneliti berikutnya

guna standart keperawatan yang baik.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dengan diadakan penelitian literature review konsep terapi musik

tradisional Jawa Gethuk Memberikan informasi dan refrensi tentang

penatalaksanaan pada lansia yang mengalami tekanan darah tinggi

untuk dijadikan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya. Selain itu

juga dapat digunakan sebagai bahan pembanding intervensi dengan

metode lain.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Kekerasan seksual


3.1.1 Pengertian Kekerasan Seksual
Menurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 kekerasan adalah
setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Kekerasan seksual didefenisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha
melakukan tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk
berperilaku seksual yang tidak disengaja ataupun sebaliknya, tindakan
pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual dengan paksaan kepada
seseorang. (WHO, 2017)
Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas
seksual yang dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh
anak kepada anak lainnya. Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau
pelibatan anak secara komersial dalam kegiatan seksual, bujukan ajakan
atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam kegiatan seksual, pelibatan
anak dalam media audio visual dan pelacuraran anak (UNICEF, 2014).
Pelecehan atau kekerasan seksual merupakan upaya penyerangan yang
bersifat seksual, baik telah terjadi persetubuhan ataupun tidak19 . Pelecehan
atau kekerasan seksual adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain dengan cara memaksakan keinginan seksualnya dapat
disertai dengan ancaman maupun paksaan20 .
Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari
ungkapan verbal (komentar, gurauan dan sebagainya) yang jorok atau tidak
senonoh, perilaku tidak senonoh (mencolek, meraba, memeluk, dan
sebagainya), mempertunjukkan gambar porno atau jorok, serangan dan
paksaan yang tidak senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau
memeluk, bahkan mengancam korban bila menolak memberikan pelayanan
seksual, hingga perkosaan19 . Pelecehan seksual pada anak jalanan adalah
suatu bentuk kekerasan dimana seseorang menjadikan anak jalanan untuk
melampiaskan rangsangan seksualnya. Perilaku-perilaku pelecehan seksual
sudah biasa bagi anak jalanan, seperti anak laki-laki memegang payudara
atau paha anak perempuan atau sebaliknya, anak perempuan memegang alat
kelamin anak laki-laki5 .
Anak-anak yang memiliki pengetahuan kurang tentang pendidikan seks
akan berisiko tinggi mengalami pelecehan seksual. Mereka menganggap tabu
untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan reproduksi, sehingga
tidak memiliki gambaran yang tepat tentang pendidikan seks21 . Usia rata-
rata anak jalanan mengalami pelecehan seksual pertama kali yaitu 8-15
tahun. Biasanya pelaku pelecehan seksual adalah sesama anak jalanan.
Tempat terjadinya pelecehan seksual dapat di rumah pelaku, pinggir jalan,
kolong jembatan, dalam pasar, pinggiran sungai, stasiun, dan dalam angkot.
Korban dianggap lemah dan tidak dapat melawan sehingga mendapat
perlakuan pelecehan seksual dari pelaku. Berbagai dampak akibat pelecehan
seksual dapat dialami korban, seperti perasaan jengkel, takut, menyesal, dan
stres, bahkan terkena penyakit menular seksual2 .
Pelaku pelecehan seksual biasanya akan membujuk korban dengan
diiming-imingi sesuatu, misalnya diberi sejumlah uang atau dibelikan
barang-barang yang korban inginkan. Bahkan korban ada yang diancam atau
dipaksa oleh pelaku. Anak-anak sering menjadi korban karena mereka
cenderung tidak berani untuk menolak terutama pada orang yang dikenal.
Selain itu, anak-anak mudah sekali untuk dibujuk dengan iming-iming
sesuatu18 .
Saat ini, anak-anak kurang memahami tentang pelecehan seksual
dalam berpacaran. Padahal, hal itu tanpa disadari seringkali dialami oleh
orang-orang yang berpacaran. Pelecehan seksual dalam berpacaran yang
paling sering dialami, antara lain dipaksa berciuman, dipaksa menonton film
porno, dipaksa melakukan hubungan seksual. Faktor yang mempengaruhi
seseorang mengalami pelecehan seksual adalah gabungan dari faktor korban
dan pelaku pelecehan tersebut. Hal tersebut karena mereka masih memiliki
pengetahuan yang kurang tentang pelecehan seksual dalam pacaran.
Meskipun, korban tahu jika tindakan yang mereka terima dari pacarnya
adalah bentuk pelecehan seksual. Namun, korban tidak mampu menolak
tindakan pelecehan seksual tersebut karena perasaan takut kehilangan22 .
3.1.2 Jenis kekerasan seksual
Menurut WHO (2017) kekerasan seksual dapat berupa:
a. Serangan seksual berupa pemerkosaan (termasuk pemerkosaan oleh
warga negara asing, dan pemerkosaan dalam konflik bersenjata)
sodomi, kopulasi oral paksa, serangan seksual dengan benda, dan
sentuhan atau ciuman paksa.
b. Pelecehan seksual secara mental atau fisik menyebut seseorang
dengan sebutan berkonteks seksual, membuat lelucon dengan
konteks seksual.
c. Menyebarkan vidio atau foto yang mengandung konten seksual tanpa
izin, memaksa seseorang terlibat dalam pornografi.
d. Tindakan penuntutan/pemaksaan kegiatan seksual pada seseorang
atau penebusan/persyaratan mendapatkan sesuatu dengan kegiatan
seksual.
e. Pernikahan secara paksa.
f. Melarang seseorang untuk menggunakan alat kontrasepsi ataupun
alat untuk mencegah penyakit menular seksual.
g. Aborsi paksa
h. Kekerasan pada organ seksual termasuk pemeriksaan wajib terhadap
keperawanan.
i. Pelacuran dan eksploitasi komersial seksual
3.1.3 Faktor kerentanan akan kekerasan seksual
Kekerasan seksual dapat dipicu dari beberapa faktor yang secara
umum dibedakan menjadi tiga faktor yaitu, faktor yang berasal dari individu,
faktor lingkungan, dan faktor hubungan (Wilkins, 2014).
a. Faktor individu : pendidikan rendah, kurangnya pengetahuan dan
keterampilan menghindar dari kekerasan seksual, kontrol perilaku
buruk, pernah mengalami riwayat kekerasan, pernah menyaksikan
kejadian kekerasan seksual, dan penggunaan obat - obatan.
b. Faktor lingkungan sosial komunitas: kebudayaan atau kebiasaan yang
mendukung adanya tidakan kekerasan seksual, kekerasan yang
dilihat melalui media, kelemahan kesehatan, pendidikan, ekonomi
dan hukum, aturan yang tidak sesuai atau berbahaya untuk sifat
individu wanita atau laki - laki.
c. Faktor hubungan: kelemahan hubungan antara anak dan orangtua,
konflik dalam keluarga, berhubungan dengan seorang penjahat atau
pelaku {kerentanan menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut WHO (2017) faktor kerentanan terjadinya kekerasan
seksual yaitu:
a. Jenis kelamin : perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan
seksual.
b. Usia : semakin muda umur maka semakin rentan untuk menajdi
korban kekerasan seksual, biasanya usia dibawah 15 tahun rentan
menjadi korban kekerasan seksual.
c. Tingkat ekonomi : kekerasan seksual cenderung terjadi pada
golongan ekonomi kurang, akibat rendahnya tingkat pengawasan dari
orang tua.
d. Tingkat pendidikan : perempuan dengan pendidikan yang lebih
rendah rentan mengalami kekerasan seksual, sedangakan sebaliknya
perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi biasanya lebih dapat
memberdayakan diri untuk mencegah kekerasan seksual.
e. Kerentanan lingkungan/terpapar pada lingkungan pekerja seks
komersial : berada pada lingkungan pekerjaan seks komersial dapat
meningkatkan kerentanan menjadi korban kekerasan seksual.
f. Pengalaman terhadap kekerasan seksual : anak yang pernah
mengalami kekerasan seksual cenderung mengalaminya lagi dan
berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
g. Pengaruh obat – obatan atau alkohol : penggunaan alkohol dan obat –
obatan terlarang dapat menurunkan tingkat kesadaran baik pelaku
maupun korban sehingga pelaku dapat melakukan tindak kekerasan
seksual tanpa disadari dan efek bagi korban yaitu menurunkan
potensi perlindungan terhadap dirinya.
h. Memiliki pasangan lebih dari satu.
3.1.4 Dampak kekerasan seksual
Dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi
tiga yaitu dampak fisik, dampak psikologis, dan dampak sosial. Dampak fisik
akibat pelecehan seksual misalnya adanya memar, luka, bahkan robek pada
organ seksual. Pada perempuan dampak yang paling berat yaitu kehamilan.
Dampak tertular penyakit menular seksual juga dapat terjadi. Dampak
psikologi antara lain berupa kecurigaan dan ketakutan terhadap orang lain,
serta ketakutan pada tempat atau suasana tertentu. Dampak sosial yang
dialami korban, terutama akibat stigma atau diskriminasi dari orang lain
mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan ini
timbul akibat adanya harga diri yang rendah karena ia menjadi korban
pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga
merasa tidak layak untuk bergaul bersama teman - temannya (UNESCO,
2012).
Menurut WHO (2017) dampak dari kekerasan seksual yaitu :
a. Dampak fisik
1) Masalah kehamilan dan reproduksi : kekerasan seksual dapat
berdampak pada kehamilan korban yang tidak diinginkan, ini
akan membuat korban terpaksa menerima kehamilannya
sehingga dapat menyebabkan tekanan selama masa kehamilan.
Kehamilan yang terjadi pada usia muda dapat menimbulkan
beberapa masalah kehamilan pada korban akibat ketidaksiapan
organ reproduksi untuk menerima kehamilan. Dampak lainya
yaitu gangguan pada organ reproduksi yang biasanya terjadi pada
korban perkosaan seperti perdarahan, infeksi saluran reproduksi,
iritasi pada alat kelamin, nyeri pada saat senggama, dan masalah
reproduksi lainnya.
2) Meningkatnya penularan penyakit menular seksual
b. Dampak psikologis
1) Depresi/stress tekanan pasca trauma
2) Kesulitan tidur
3) Penurunan harga diri
4) Munculnya keluhan somatic
5) Penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol akibat depresi
c. Dampak sosial
1) Hambatan interaksi sosial : pengucilan, merasa tidak pantas
2) Masalah rumahtangga : pernikahan paksa, perceraian
3.1.5 Cara mencegah terjadinya kekerasan seksual
Menurut WHO (2017) cara untuk mencegah terjadinya kekerasan
seksual:
a. Melalui pendekatan individu
1) Memeberikan dukungan psikologi pada korban kekerasan seksual.
2) Merancang program bagi pelaku kekerasan seksual dimana pelaku
harus bertanggung jawab terhadap perbuatanya, seperti
menetapkan hukuman yang pantas bagi pelaku kekerasan seksual.
3) Memberikan pendidikan untuk pencegahan kekerasan seksual
seperti pendidkan kesehatan reproduksi, sosialisasi menganai
penyakit menular seksual, dan pendidikan perlindungan diri dari
kekerasan seksual.
b. Melalui pendekatan perkembangan
Pendekatan perkembangan yaitu mencegah kekerasan seksual
dengan cara menanamkan pendidikan pada anak - anak sejak usia dini,
seperti pendidikan menganai gender, memperkenalkan pada anak tentang
pelecehan seksual dan risiko dari kekerasan seksual, mengajarkan anak
cara untuk menghindari kekerasan seksual, mengajarkan batasan untuk
bagaian tubuh yang bersifat pribadi pada anak, batasan aktivitas seksual
yang dilakukan pada masa - masa perkembangan anak.
c. Tanggapan perawatan kesehatan
1) Layanan Dokumen Kesehatan : sektor kesehatan mempunyai peran
sebagai penegak bukti medis korban yang mengalami kekerasan
seksual utuk dapat menjadi bukti tuntutan terhadap pelaku
kekerasan seksual.
2) Pelatihan kesehatan mengenai isi kekerasan seksual untuk dapat
melatih tenaga kesehatan dalam mendeteksi kekerasan seksual.
3) Perlindungan dan pencegahan terhadap penyakit HIV.
4) Penyediaan tempat perawatan dan perlindungan terhadap korban
kekerasan seksual.
d. Pencegahan sosial komunitas
1) Mengadakan kampanye anti kekerasan seksual.
2) Pendidikan seksual dan pencegahan kekerasan seksual di sekolah
e. Tanggapan hukum dan kebijakan megenai kekerasan seksual
1) Menyediakan tempat pelaporan dan penanganan terhadap tindak
kekerasan seksual.
2) Menyediakan peraturan legal menganai tindak kekerasan seksual
dan hukuman bagi pelaku sebagai perlindungan terhadap korban
kekerasan seksual.
3) Mengadakan perjanjian internasional untuk standar hukum
terhadap tindak kekerasan seksual dan kampanye anti kekerasan
seksual.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Pencarian Literature


Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
atau literature review, yaitu penelitian untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
interpretasi terhadap hasil penelitian pada topik tertentu, fenomena tertentu yang
menjadi perhatian peneliti (Aziz dan Arofati 2019). Seorang peneliti dalam
penelitian literature review, melakukan sintesis tematik yang disusun dari hasil
penelitian sebelumnya, agar dapat digunakan oleh pembaca untuk mendapatkan
ringkasan teori dan temuan-temuan empiris terkait dengan topik yang diteliti
(Cisco, 2014). Metode Literature Review dapat memberikan kemudahan dalam
mebuat keputusan dengan tidak membutuhkan banyak waktu untuk mencaari
bukti primer dan menelaahnya satu persatu karena Literature review memberikan
suatu Summary of Evidence bagi para klinis (Dila, 2012). Tujuan dalam Literature
review ini adalah melihat ”Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan
Tingkat kecemasan pasien Hemodialisa”.
3.1.1 Framework PICO/PICOT question
PICO/PICOT adalah metode pencarian informasi klinis yang
merupakan akronim dari 4 komponen : P (Population), I (Intervention), C
(Comparasion) dan O (Outcome). Dengan menggunakan PICO, kita dapat
memastikan penelitian yang kita cari sesuai dengan pertanyaan klinis yang
di tetapkan.
Tabel 3.1 Pencarian menghasilkan 7 jurnal dengan struktur PICO sebagai berikut:
N P (Population) I (Intervention) C (Comparison) O (Outcomes) Strategi pencarian
O
1 Anak dengan resiko Program pendidikan Tidak diberikan informasi Anak memahami Kekerasan seksual pada
kekerasan seksual sexx education dan tentang bahaya Anak
pentingnya menjaga kekerasan seksual dan
pribadi dari bagaimana cara
pelecehan seksual mengatasinya
3.1.2 Kata Kunci yang Digunakan
Kata kunci yang digunakan dalam pencarian jurnal pada Literature Review
ini yaitu ”Kekerasan seksual”, “Pemerkosaan pada anak”.

3.1.3 Database yang di gunakan


Peneliti pada penelitian ini melakukan pencarian data melalui

website portal jurnal yang dapat di akses melalui Google Scholar

Google, Pubmed, Science direct, ProQuest. Berdasarkan judul penelitian

”Dampak Kekerasan Seksual Paada Anakk ”, maka peneliti melakukan

pencarian jurnal menggunakan kata kunci, “kekerasan seksual”,

”dampak kekerasan seksual”, ”kekerasan seksual paada anak”.

Penelitian ini juga menggunakan layanan Sci-hub, ketika peneliti

mengalami kesulitan dalam pencarian jurnal karena berbayar. Sci-hub

adalah salah satu website penyedia Provider-mass agardapat di akses

secara mudah oleh peneliti.

3.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi


Teknik pengambilan artikel disesuaikan dengan kriteria inklusi dan
kriteria ekslusi sbagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Jurnal nasional dan internasional yang ada kaitannya dengan
Hubungan Komunikasi terapeutik dan tingkat kecemasan pada pasien
hemodialisa
b. Tahun terbit dalam rentang waktu 2015-2020
c. Bahasa Indonesia dan inggris

2. Kriteria Ekslusi
a. Jurnal artikel systematic literature review
b. Jurnal tidak full tex
3.3 Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas

3.3.1 Hasil pencarian dan seleksi studi

Artikel keseluruhan yang telan didapatkan oleh peneliti dari 5

jurnal database dilakukan screening terlebih dahulu dengan tujuan

memilih jurnal yang sesuai dengan masalah yang diangkat dan kriteria

inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti dan penilaian kualitas jurnal.

Adapun hasil pencarian jurnal tersebut digambarkan sebagai berikut:

Pencarian Jurnal :
Pencarian Literatur
Basis Data : Google Scholar dan Pubmed, Science direct, ProQuest,SAGE Batasan
Pencarian : Jurnal berbahasa inggris dan berbahasa Indonesia Total keseluruhan
(n=18)

Jumlah duplikat setelah dihapus (n=18)

Identifikasi dan screening judul dan


jurnal full text (n=18)
Dikeluarkan (n=1)
1. Jurnal tidak full text
(n=1)
Identifikasi dan screening abstrak
(n=17)

Dikeluarkan (n=5)

Screening keseluruhan (n=12) Metode penelitian systematic


review tidak sesuai (n=1)
Jurnal Literature (n=4)

Dikeluarkan (n=6)

Outcome tidak sesuai (n=6)


Kualitas Hidup pasien
yangmenjalani hemodialisa
Jurnal Akhir yang sesuai dengan Upayamengatasi kecemasan
Kriteria Inklusi (n=6) pasien HD
Tingkat kecemasan keluarga
pasien HD
Gambaranklinis penderita gagal
ginjal yang menjalani HD
Tingkat kecemasan keluarga
pasien HD
Kepuasan pasien

Gambar 1. Seleksi studi Literature Review


3.3.2 Daftar Artikel Hasil Pencarian
Tabel 3.3 Daftar artikel Hasil pencarian
No Penulis Desain Penelitian Analisa Data Variabel dan Alat Hasil Database
dan Ukur
Sampel
1 Efektivitas Penelitian ini analisis Variabel independen: (1) Hasil penelitian bahwa rata–rata Google
Komik menggunakan univariat dan Edukasi pencegahan pengukuran perilaku menggunakan Scholar
Edukasi desain penelitian bivariat. kekerasan seksual Skala Guttman sebelum intervensi
terhadap pra-eksperiment Variabel Dependen: yaitu mean 62.72 dengan standar
Upaya one g ro u p p re - Efektifitas Komik deviasi 6.417 serta nilai minimum 50
Pencegahan test-post-tes Alat Ukur: Instrumen dan nilai maximum 73 pada
Kekerasan t , hanya yang digunakan adalah pengukuran perilaku setelah intervensi
pada Anak menggunakan satu kuesioner dengan jenis didapatkan mean 85.81 dengan
Sekolah Dasar kelompok saja pertanyaan tertutup standar deviasi 3.542 serta nilai
Negeri yaitu kelompok dan dijawab responden minimum 80 dan nilai maximum 92 .
Penggilingan eksperimen tanpa sesuai dengan petunjuk (2) Berdasarkan hasil uji hipotesis,
09 Pagi kelompok kontrol. kegiatan bertemakan hasil Paired Samples T-Test yang
Jakarta Timur Sebelum diberikan upaya pencegahan menunjukkan nilai p value 0.000
Tahun 2019 perlakuan, kekerasan dengan sehingga < 0.05. Karena p value 0.000 <
(Minggu et al., kelompok menggunakan media 0.05 maka Ho ditolak. Hal tersebut
2020) eksperimen komik. menunjukkan bahwa data pretest dan
terlebih dahulu posttest pada kelas 1-A terdapat
diberikan pretest, pengaruh terhadap efektifitas media
kemudian komik edukasi atau terdapat
diberikan perbedaan antara hasil pretest dan
perlakuan ( t r e a t posttest. (3) Terdapat hubungan yang
m e n t ) dengan bermakna efektivitas penggunaan
menggunakan komik edukasi dalam merubah
komik edukasi dan perilaku siswa terhadap upaya
setelah itu pencegahan kekerasan pada Sekolah
diberikan post-test. Dasar Negeri Penggilingan 09 Pagi
Sampel yang Jakarta Timur tahun 2019.
diambil dari
penelitian ini
adalah 32 siswa
2 Penerapan Penelitian yang analisis Variabel independen: Hasil bivariat didapatkan pengaruh Google
Pendidikan digunakan adalah univariat dan Pencegahan Kekerasan pendidikan kesehatan terhadap Scholar
Seks Quasy Experimen bivariat Seksual Pada Anak Dan pencegahan pre anak - pencegahan
(Underwear dengan pendekatan Orang Tua. post anak dengan uji statistik
Rules) Pre-post test Variabel Dependen: Wilcoxon diperoleh nilai ρ=0,002 jika
Terhadap design. Penerapan Pendidikan di bandingkan dengan nilai α =0,05,
Pencegahan Seks (Underwear maka ρ< α. Hal tersebut
Kekerasan Populasi penelitian Rules). menunjukkanbahwa terdapat
Seksual Pada ini adalah Seluruh Alat Ukur pengaruh pendiidkan seks (underwear
Anak Dan Murid SD Negeri 52 Pengumpulan data rules) terhadap pencegahan kekerasan
Orang Tua Di Welonge Tahun dilakukan seksual pada anak di SDN 52 Welonge
Sd Negeri 52 Ajaran 2016/2017 menggunakan kabupaten Soppeng.
Welonge sebanyak 112. kuesioner yang terdiri Didapatkan data pengaruh
Kabupaten Berdasarkan dari pertanyaan- pendidikan kesehatan terhadap
Soppeng populasinya maka pertanyaan dibuat pencegahan kekerasan seksual tua
(Nurbaya & dapat diambil sendiri oleh peneliti dengan uji statistik Wilcoxon
Qasim, 2018) sampel rumus berdasarkan literatur. diperoleh nilai p=0,003 jika di
sloving sebanyak bandingkan dengan nilai α= 0,05, maka
87 responden dari p< α. Hal tersebut menunjukkan bahwa
murid dan orang terdapat pengaruh pendidikan seks
tua murid. (underwear rules) terhadap
pencegahan kekerasan seksual pada
anak di SDN 52 Welonge kabupaten
Soppeng.

3 Pengaruh Metode yang Uji statistik Variabel independen: Hasil dari pretest menunjukan Google
Pendidikan digunakan dalam dan Perilaku Ibu Dalam responden terbanyak berperilaku Scholar
Seks penelitian ini normalitas. Pencegahan Kekerasan cukup dengan 12 responden (60.0%).
Terhadap adalah Seksual Pada Hasil posttest dari responden
Perilaku Ibu preexsperiment Anak .Variabel berperilaku baik dengan 16
Dalam dengan rancangan Dependen: responden (80.0%). Hasil uji Wilcoxon
Pencegahan penelitian one Pendidikan Seks. Match Pairs Test didapatkan nilai z
Kekerasan group pretest- Alat Ukur hitung -3.942 dan nilai p value sebesar
Seksual Pada posttest. kuesioner 0.000 yang artinya bahwa ada
Anak Di Tk Pengambilan pengaruh pendidikan seks terhadap
Aba sampel dengan perilaku ibu dalam pencegahan
Jogoyudan sampel sederhana kekerasan seksual pada anak di TK
Yogyakarta(S eksperimen yang ABA Jogoyudan, Yogyakarta..
ARI, 2017) berjumlah 20
responden. Analisis
data menggunakan
Wilcoxon Match
Pairs Test.

4 Pencegahan Penelitian Data Variabel independen: (1) Diperoleh informasi skor rata- Google
Pelecehan dilaksanakan dianalisis Pendekatan Contextual rata hasil pretest siswa melakukan Scholar
Seksual menggunakan menggunakan Teaching And Learning pelecehan seksual sebesar 173 dengan
Remaja metode Wilcoxon Di Sekolah Menengah skor tertinggi 185 dan skor terendah
Melalui kuantitatif dengan Signed Ranks Atas 164. Bertitik tolak dari penyebaran
Layanan pendekatan Test untuk Variabel Dependen: data tersebut dapat ditafsirkan
Informasi eksperimen. analisis data Pencegahan pelecehan pelecehan seksual remaja berada
Menggunakan Populasi penelitian eksperimen, seksual kategori tinggi. Setelah dilakukan
Pendekatan siswa sekolah uji “t” untuk Alat Ukur:Kuisioner layanan informasi menggunakan
Contextual menengah atas, analisis data contextual teaching and learning
Teaching And yang sampelnya pelecehan dilakukan posttest dengan skor rata-
Learning Di diambil seksual pada rata diperoleh 164 dengan skor
Sekolah menggunakan SMA Negeri tertinggi 171 dan skor terendah 155.
Menengah cluster random dengan SMA Sehubungan dengan hal itu,
Atas (Sma) sampling. Swasta, dan menunjukan pelecehan seksual remaja
(Nursalam, selanjutnya yang mengikuti layanan informasi
2016 & Fallis, diinterpretasi menggunakan contextual teaching and
2013) kan learning berada pada kategori sedang.
menggunakan Dengan demikian dapat disimpulkan
narasi. layanan informasi menggunakan
contextual teaching and learning dapat
menurunkan tindakan pelecehan
seksual remaja Sekolah Menengah Atas
(SMA). (2) sebanyak 50,39 % remaja
berasal dari SMA melakukan
pelecehan seksual yang sangat
rendah. Selanjutnya sebanyak 22,22 %
rendah, 12,30 % sedang, 10,71 % tinggi
dan 4,36 % sangat tinggi melakukan
pelecehan seksual. Apabila
dikalkulasikan sebanyak 27,37 %
(12,30 sedang, 10,71 tinggi dan 4,36
sangat tinggi) remaja berasal dari SMA
melakukan pelecehan seksual. Dengan
demikian dapat disimpulkan sebanyak
27,37 %, remaja SMA melakukan
pelecehan seksual. Setelah dianalisis
menggunakan Wilcoxon Signed Ranks
Test, ditemukan koefisien Z = -4,462
dengan Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar
0,000 < 0,05. Hal ini menunjukan
bahwa layanan informasi
menggunakan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) signifikan
dalam pencegahan pelecehan seksual.
(3) pelecehan seksual yang
terbanyak dilakukan remaja SMA
yaitu pelecehan seksual verbal
sebanyak 66,66 % (25 % sangat tinggi
+ 19,44 % tinggi + 22,22 % sedang).
Setelah itu, pelecehan seksual visual
sebanyak 62,69 % (23,41 sangat tinggi
+ 18,25 % tinggi + 21,03 % sedang).
Terkahir pelecehan seksual fisik
sebanyak 44,83 % (3,17 % sangat
tinggi + 11,11 % tinggi + 30,55 %
sedang). Dengan demikian pelecehan
seksual verbal dan visual merupakan
pelecehan seksual yang banyak
dilakukan remaja tingkat SMA
5 Pendidikan Metode yang Observasi, Variabel independen: Hasil penelitian menunjukkan Google
Seks Anak digunakan dalam Wawancara, Prspektif islam bahwasannya guru telah menjalankan Scholar
Usia Dini penelitian ini Dokumentasi Variabel Dependen: peranan dalam memberikan
Ditinjau Dari adalah metode Pendidikan seks pada pendidikan seks kepada anak sebagai
Perspektif deskriptif, dengan anak informator disekolah. Sudah
Islam Tk Islam jalan Alat Ukur: Kuisioner mencontohkan yang baik agar anak
Al-Mujahiddin mengumpulkan meniru. Dan bahwasanya dalam islam
Pekanbaru(Vil data, menyusun berpakain rapi dan bersih adalah
lela, 2013). data atau sebagian dari iman juga pembiasaan
mengklasifikasi, menutup aurat agar terhindar dari
menganalisa dan pelecehan seksual. Namun orangtua
menginterpretasika anak belum sepenuhnya memberikan
nnya.. pendidikan seks kepada anak, terlihat
dari hasil wawancara yang telah
peneliti lakukan bahwasannya
orangtua kurang paham dengan
pendidikan seks, masih malu dan rishi
ketika menyampaikan kepada anak.
BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Pendidikan Sex Dalam Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak
Berdaasarkan Literature Review pada penelitian (Minggu et al., 2020)
Komik terbukti mampu membantu anak dalam proses belajar tentang pencegahan
kekerasan pada anak, karena komik memberikan materi yang menarik dan
memotivasi serta dilengkapi dengan dukungan visual. Itu artinya komik
merupakan media yang cocok untuk isu kesehatan dengan sasaran anak.
Penggunaan media dalam pendidikan kesehatan memiliki tujuan untuk
menimbulkan perhatian terhadap suatu masalah dan mengingatkan informasi
yang disampaikan supaya menimbulkan perubahan pengetahuan dan sikap pada
siswa.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, hasil Paired Samples T-Test yang
menunjukkan nilai p value 0.000 sehingga < 0.05. Karena p value 0.000 < 0.05
maka Ho ditolak. Hal tersebut menunjukkan bahwa data pretest dan posttest pada
kelas 1-A terdapat pengaruh terhadap efektifitas media komik edukasi atau
terdapat perbedaan antara hasil pretest dan posttest. Komik efektif meningkatkan
pengetahuan anak sekolah dasar tentang kekerasan pada anak. Siswa dengan
perilaku baik pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan, dari 65.7%,
setelah edukasi menggunakan komik meningkat menjadi 91.4%. Media komik
efektif dan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap anak sekolah dasar.
Terbukti dari hasil penelitiannya pengetahuan cukup 70% meningkat dari menjadi
pengetahuan baik 87%, sedangkan peningkatan sikap dari sikap negatif 67%
menjadi sikap positif 77% (Minggu et al., 2020).
Hasil analisis bivariat antara variabel pengaruh pendidikan seks
(underwear rules) terhadap pencegahan kekerasan seksual pada anak di SDN 52
Welonge dengan uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai ρ=0,002 jika di bandingkan
dengan nilai α =0,05, maka ρ Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pendidikan seks (underwear rules) terhadap pencegahan kekerasan seksual pada
anak di SDN 52 Welonge kabupaten Soppeng (Nurbaya & Qasim, 2018).
Anak harus mengetahui bagian tubuh tertentu yang hanya boleh dilihat
dan disentuh oleh dirinya. Meskipun kita ketahui orang lain melakukannya dengan
bercanda memegang tetapi anak harus tetap diajarkan untuk melawan atau
melindungi dirinya bahwa bagian tubuh tertentu itu hanya miliknya. Dari hasil
kuesioner sebelum dilakukan pendidikan kesehatan terdapat diantaranya anak
yang menagggap biasa memperlihatkan bagian tubuh tertentunya dan terbiasa
tidak memakai baju saat keluar kamar bahkan saat keluar dari rumah. Setelah
dilakukan pemberian kesehatan siswa pada saat dilakukan post test dan saat
dilakukan pengukuran ulang oleh peneliti tentang pencegahan kekerasan seksual
sebanyak 93.% anak dapat menjawab dengan benar. Hal tersebut terdapat
pengaruh setelah dilakukan pendidikan kesehatan dibuktikan adanya peningkatan
pengetahuan pencegahan anak dalam mencegaha kekerasan seksual setelah
dilakukan pendidikan seks (Nurbaya & Qasim, 2018).
Berdasarkan Literature Review (Sari, 2017) Hasil uji Wilcoxon Match
Pairs Tests antara pretest dan posttest dengan diperoleh nilai z hitung sebesar -
3.942 dan nilai sig. sebesar 0.000 (p<0.05) dapat diartikan adanya pengaruh
pendidikan sex terhadap perilaku ibu dalam pencegahan kekerasan seksual pada
anak di TK ABA Jogoyudan Yogyakarta dari kategori berperilaku cukup menjaadi
kategori berperilaku. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh
pendidikan seks terhadap perilaku ibu dalam pencegahan kekerasan seksual pada
anak di TK ABA Jogoyudan memiliki dampak yang baik terhadap perilaku ibu
dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak. Pemberian pendidikan
seks hendaknya diberikan secara rutin, tidak hanya mengenai kekerasan seksual
pada anak tetapi dapat mengenai pendidikan seks pada usia dini. Pemberian
pendidikan seks maka dapat mempengaruhi tindakan seseorang untuk bertindak
sesuai dengan teori yang benar (Sari, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian (Nursalam, 2016 & Fallis, 2013) ditemukan
remaja berasal dari SMA melakukan pelecehan seksual sebanyak sebanyak 27,37
%. Pelecehan seksual yang terbanyak dilakukan remaja berasal dari SMA yaitu
pelecehan seksual verbal sebanyak 66,66 %, visual sebanyak 62,69 % dan fisik
sebanyak 44,83 %. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan Layanan informasi
menggunakan Contextual Teaching and Learning efektif untuk pencegahan
pelecehan seksual remaja SMA. Beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa
layanan informasi telah berhasil digunakan dalam penyelesaian berbagai
permasalahan remaja. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa layanan
informasi dengan menggunakan media audio visual efektif meningkatkan sikap
siswa terhadap kedisiplinan sekolah (Natalia, Firman, & Daharnis, 2015). Layanan
informasi dengan pendekatan contextual teaching and learning efektif untuk
meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam belajar (Mardes, 2016), mengurangi
gaya hidup hedonisme pada siswa (Hasibuan, Firman, & Ahmad 2016). Layanan
informasi peminatan mampu memantapkan pemilihan sekolah lanjutan siswa
(Kusri, 2016). Layanan informasi menggunakan pendekatan problem solving
efektif dalam pencegahan tindakan kekerasan remaja (Firman, Yenikarneli &
Hariko, 2016).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilaksanakan di TK Islam al-mujahiddin
pekanbaru tentang pendidikan seks anak usia dini ditinjau dari perspektif islam (study
deskriptif) di kota pekanbaru dapat jelaskan bahwa Hasil peneletian menunjukkan
bahwa guru-guru di TK Islam al-mujahiddin pekanbaru telah memberikan pendidikan
seks anak usia dini dengan baik, guru telah menerapkan pendidikan seks seperti
pengenalan bagian tubuh, berpakain sopan, menutup aurat, memberitahu bagian tubuh
yang boleh disentuh dan mana yang tidak boleh disentuh (Villela, 2013).
Berdsarkan fakta dan teori diatas menunjukkan bahwa pendidikan sex pada
anak sejak dini sangat penting untuk anak. Karena pendidikan sex pada anak ini dapat
memunculkan pengetahuan anak akan seksualitas, dan hal ini dapat memicu anak utuk
menjagaa dirinya dari kekerasan dan pelecehn seksual.
DAFTAR PUSTAKA

Laode Anhusadar. (2016). Fenomena Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Shautut Tarbiyah,
22(2), 51–68.

Minggu, P., Indrayani, T., & Namira, N. (2020). Efektivitas Komik Edukasi terhadap Upaya
Pencegahan Kekerasan pada Anak Sekolah Dasar Negeri Penggilingan 09 Pagi Jakarta
Timur Tahun The Effectiveness of Educational Comics on The Prevention of Violence in
Elementary School Children. 7(1), 51–57.

Noviana, Pi. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio
Informa, 1(1), 13–28.
http://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/87/55

Nurbaya, S., & Qasim, M. (2018). Penerapan Pendidikan Seks (Underwear Rules) Terhadap
Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak Dan Orang Tua Di Sd Negeri 52 Welonge
Kabupaten Soppeng. Media Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar, 13(2), 19.
https://doi.org/10.32382/medkes.v13i2.612

Nursalam, 2016, metode penelitian, & Fallis, A. . (2013). 済無 No Title No Title. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

SARI, I. P. (2017). Pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku ibu dalam pencegahan
kekerasan seksual pada anak di tk aba jogoyudan yogyakarta. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

Villela, lucia maria aversa. (2013). 済無 No Title No Title. Journal of Chemical Information
and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Wahyuni, H. (2016). Faktor Resiko Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak Korban
Pelecehan Seksual. Khazanah Pendidikan, Jurnal Ilmiah Kependidikan, 10(1), 13.
https://repositorio.ufsc.br/bitstream/handle/123456789/186602/PPAU0156-D.pdf?
sequence=-1&isAllowed=y%0Ahttp://journal.stainkudus.ac.id/index.php/
equilibrium/article/view/1268/1127%0Ahttp://www.scielo.br/pdf/rae/v45n1/
v45n1a08%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j

Anda mungkin juga menyukai