Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP


PERILAKU SEKS BEBAS DIKALANGAN REMAJA

OLEH

ENGLIN PAULINA RUMAPASAL

NIM :P.1709117

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PASAPUA


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
AMBON
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyusun proposal ini tepat pada waktunya. proposal penelitian ini membahas
hubungan tingkat pengetahuan reproduksi dengan sikap perilaku seks bebas
dikalangan remaja.

Dalam penyusunan proposal ini, penulis banyak mendapat tantangan dan


hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal ini,
semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan proposal selanjutnya.

Akhir kata semoga proposal ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian

Penulis

05 juni 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………. ….. 1


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………..………… 3
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………….….. 3
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori……………………………………………………….…..… 5


2.1.1 pengetahuan reproduksi……………………………………………..…... 5
2.1.2 pengetahuan perilaku…………………………………………………… 10
2.1.3 teori sikap………………………………………………………………… 12
2.1.4 perilaku seksual………………………………………………………….. 14

BAB III KERANGKA KONSEP,HIPOTESIS,DAN DEFINISI


OPRASIONAL

3.1 Kerangka Konsep…………………………………………………………...18


3.2 Hipotesis…………………………………………………………………..…18
3.3 Definisi Oprasional………………………………………………………... 19

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian…………………………………………………………... 20


4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian…………………………………………….. 20
4.3 Populasi…………………………………………………………………….. 20
4.4 Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel………………………………. 21
4.5 Instrumen Penelitian……………………………………………………… 21
4.6 Analisa Data………………………………………………………………. 22
4.7 Etika Penelitian
4.8 Alur Penelitian…………………………………………………………….. 23

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan


perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual.
Sifat khas remaja yang memiliki rasa keingintahuan yang besar, menyukai
petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko tanpa
pertimbangan yang matang, salah satu permasalahan yang terjadi pada masa
remaja adalah perilaku seks bebas. (Kemenkes RI, 2015).

Menurut World Health Organization (WHO) sekitar seperlima dari


penduduk dunia merupakan remaja berumur 10-19 tahun dan sekitar 900 juta
berada di negara sedang berkembang. Selain itu data demografi di Amerika
Serikat menunjukkan jumlah remaja berumur 10-19 tahun sekitar 15%
populasi. Di Asia Pasifik jumlah penduduknya 60% dari penduduk dunia,
seperlimanya merupakan remaja umur 10-19 tahun (Anissa Nurhayati, Nur
Alam Fajar, 2017). Sekitar 63 persen remaja usia sekolah SMP, SMA dan
mahasiswa di Indonesia mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks ,
data itu merupakan hasil survei yang mengambil sampel di 33 provinsi di
Indonesia pada tahun 2008. Data survei terakhir Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2010 menyebutkan
sebanyak 5.912 wanita di umur 15–19 tahun secara nasional pernah
melakukan hubungan seksual. Beberapa perilaku pacaran permisif yang
dilakukan oleh remaja antara lain berpegangan tangan saat pacaran (92%),
berciuman (82%), petting (63%) (BKKBN, 2012).

Tingkat penyimpangan seksual yang diterima atau bahkan remaja


melakukan penyimpangan seksual pada yaitu berdasarkan angket 82
responden terdapat 2.44% (2 orang) yang mengaku pernah berhubungan seks

1
pranikah. 43.90% (36 orang) sering berdandan yang mendorong hasrat
seksual, 65.85% (54 orang) merasa nyaman berbicara tentang seksual dengan
teman, 75.61% (62 orang) pernah menonton atau melihat media massa yang
mendorong hasrat seksual, 17.07% (14 orang) pernah melakukan masturbasi
atau onani, 40.24% (33 orang) pernah berciuman, 45.12% (37 orang) pernah
berpelukan, 42.68% (35 orang) pernah membelai atau dibelai lawan jenis,
14.63% (12 orang) pernah meraba atau diraba payudara, 10.98% (9 orang)
pernah meraba atau diraba alat kelamin, walaupun rata-rata pada tahap kadang
kadang atau jarang. Menurut Sarwono faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya penyimpangan seksual adalah meningkatnya libido seksualitas,
penundaan usia perkawinan, tabularangan, kurangnya informasi tentang seks,
pergaulan yang makin bebas.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penting dilakukan


pengawasan dan pendidikan seksual pada remaja khususnya di dalam
keluarga. Peranan pengawasan dalam keluarga sangat penting terutama dalam
penanaman agama, sosial dan norma yang berlaku di masyarakat. Disinilah
peran kedua orang tua sangat penting di dalam pendidikan dikarenakan dalam
keluarga merupakan pendidikan awal seorang anak mengenal belajar dan
pengetahuan umum yang akan diterimanya. Menurut Endang Purwaningsih
(Syafrudin Aziz, 2015 : 21), keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama
memiliki peran yang amat penting khususnya dalam penyadaran, penanaman
dan pengembangan nilai moral sosial dan budaya. Oleh karenanya keluarga
merupakan pendidikan awal yang diterima dari seorang anak berupa moral,
agama, sosial dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Menurut
Achmad Hufad, Pendidikan dalam keluarga sebaiknya memuat kemampuan
berbahasa, peran-peran dasar, harapan harapan, cara bereaksi, struktur, jarak
terhadap harapan, identitas pribadi, identitas sosial, pola cara menggapai
dunia, analisis pengalaman anak, analisis materi dan cara belajar anak,
fleksibelitas kesempatan, penentuan status, gambar karir pendidikan, norma
norma termasuk nasionalisme, patriotisme dan perikemanusiaan serta nilai,

2
(Safrudin aziz, 2015 : 21). Oleh karenanya pendidikan dalam keluarga sangat
penting dan paling utama karena di sektor pendidikan keluarga merupakan
penanaman dasar pendidikan sebelum masuk ke sektor pendidikan sekolah
dan pendidikan masyarakat.

Berdsarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian mengenai hubungan tingkat pengetahuan reproduksi dengan sikap
perilaku seks bebas dikalangan remaja.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan “ apakah ada hubungan
tingkat pengetahuan reproduksi dengan sikap perilaku seks bebas dikalangan
remaja”

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk diketahui hubungan tingkat
pengtahuan reproduksi dengan sikap perilaku seks bebas dikalangan remaja.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat teoritis
a. Bagi insitusi pendidikan
Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar
terhadap mata pelajaran yang berhubungan dengan pengetahuan dan
sikap kesehatan reproduksi dengan perilaku seks bebas dikalangan
remaja.
2. Manfaat praktis
a. Bagi remaja dan masyarakat
Manfaat bagi remaja dan masyarakat adalah untuk membuka
wawasan tentang pengetahuan seks bebas sehingga terbentuk
sikap seksual pada remaja pranikah yang memadai.

3
b. Bagi penliti
Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai referensi
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah
hubungan tingkat pengetahuan reproduksi dengan sikap
perilaku seks bebas sdikalangan remaja.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


2.1.1 Pengetahuan Reproduksi
a. Pengertian kesehatan reproduksi
Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan
sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari
penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan
dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya Sedangkan
menurut Depkes RI (2000), kesehatan reproduksi adalah suatu
keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan
kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses
reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi
yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat
memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum
dan sesudah menikah.
Sedangkan kesehatan reproduksi remaja adalah suatu
kondisi sehat yang menyangkut sistem fungsi dan proses
reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak
semata-mata bebas dari penyakit dan kecacatan namun juga sehat
secara fisik, mental dan sosial kultur (BKKBN, 2008).
b. Awal Mula Konsep Tentang Remaja
Remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu masa remaja
awal (usia 10-13 tahun), masa remaja tengah yaitu (usia 14-16
tahun) dan remaja akhir (usia 17-19 tahun) (Rohan & Sayito,
2013). Masa remaja menurut Santrock (2003), yaitu usia 10-13
tahun dan berakhir saat menginjak usia 18-22 tahun. Dalam
proses penyesuaian diri menuju kedewasaan ada 3 tahap
perkembangan remaja (Sarlito Wirawan sarwono, 2004) yaitu

5
1. Remaja Awal 10-13 tahun ( early adolescence )
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran–heran
akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan
dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-
perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-
pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah
terangsang secara erotis. Dengan di pegang bahunya
saja oleh lawan jenis , ia sudah berfantasi erotik.
Kepekaan yang berlebi–lebihan ini ditambah dengan
berkurangnya kendali terhadap “ego“ menyebabkan
para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti
orang dewasa. Remaja awal bisa juga diartikan dengan
remaja dini atau remaja seawal mungkin. Sehingga
setelah anak-anak memasuki perkembangan menuju
remaja.
2. Remaja madya ( middle adolescence )
Pada tahap ini emaja sangat membutuhkan kawan-
kawan. Ia senang kalau banyak teman yang
menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic” yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman teman
yang punya sifat–sifat yang sama dengan dirinya. Selain
itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak
tahu hars memilih mana: peka atau tidak peduli, ramai–
ramai atau sendiri, optimis atau pedimid, idealis atau
matrealistis dan sebagainya.
3. Remaja Akhir
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode
dewasa dan di tandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu :
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi fungsi
intelek

6
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu
dengan orang- orang lain dan dalam pengalaman-
pengalaman baru.
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan
berubah lagi.
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada
diri sendiri diganti dengan keseimbangan antara
kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
e. Tumbuh “ dinding “ yang memisahkan diri
pribadinya (private self ) dan masyarakat umum ( the
public ).

c. Tumbuh Kembang Remaja

Perkembangan masa remaja antara lain meliputi 3 aspek, yang


tidak besamaan mencapai tingkat kematangannya, yakni perkembangan
fisik, perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian.

a. Perkembangan Fisik
Pada akhir masa anak, jelas terlihat pertumbuhan fisik yang
sangat hebat, dengan bertambah tingginya anak secara tiba-
tiba dan bertambah panjangnya extremitas, sehingga terlihat
perubahan perbandingan lengan, tungkai dan tubuh.
Pertumbahan fisik ini merupakan tanda bagi permulaan dari
dimulainya proses kematangan seksual. Tidak lama kemudian,
akan timbul ciri ciri sekunder, penumbuhan kumis, jakun, bulu
bulu diketiak dan sekitar genetalia, dan payudara remaja putri.
Dengan mulai bekerjanya kelenjar hormon dan tercapainya
kematang alat genetalia bagian dalam, maka berakhirlah masa
pubertas.
Masa remaja merupakan masa transisi yang unik dan
ditandai oleh berbagai perubahan fisik, emosi, dan phsikis.

7
Masa remaja, yaitu usia 10-19 tahun, merupakan massa yang
khusus dan penting, karena merupakan periode pematangan
organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa pubertas.
Masa remaja merupakan periode peralihan masa anak anak ke
masa dewasa. Pada masa remaja terjadi perubahan fisik
(organobiologik) secara cepat, yang tidak seimbang dengan
perubahan kejiwaan (mental emosional). Perubahan yang
cukup besar ini dapat membingkungkan remaja yang
mengalaminya. Karena itu mereka memerlukan pengertian,
bimbingan dan dukungan lingukngan di sekitarnya, agar
tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat
baik jasmani, maupun mental dan psikososial.
Pada wanita mulai berfungsinya sistem reproduksi, ditandai
dengan adanya menarche yang umumnya terjadi pada usia 10-
14 tahun. Tanda pertama pria terjadinya ereksi, orgasmus dan
ejakulasi. Perineum adalah daerah antara tulang kemaluan
dengan anus pada perineum terletak organ genetalia eksterna
wanita terdiri dari monsveneris, klitoris, labia mayora, labia
minora, vestibula. Organ reproduksi wanita yang terletak di
dalam panggul adalah rahim atau uterus, vagina, saluran fallopi
dan ovarium.
Organ genetalia eksterna pria terdiri dari penis, skrotum
organ reproduksi yang didalam panggul adalah vasdeferens,
vesikula seminalis dan kelenjar prostat. Semen atau cairan
sperma dikeluarkan oleh kelenjar prostat, kelenjar prostat ini
berbentuk melingkari uretra tepat dibawah kandung kemih
(Dianawati,2003).

8
d.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Remaja Tentang
Kesehatan Reproduksi:

1. Informasi

Dijaman sekarang, sangatlah mudah untuk memperoleh informasi,


selain orangtua, teman, guru, para remaja dapat mengakses banyak
informasi dari media massa yaitu internet. Internet merupakan media yang
menyediakan informasi secara bebas tanpa batas walaupun ada informasi
yang positif dan negatif. Banyak situs-situs yang mengungkap secara
vulgar (bebas) kehidupan seks atau gambar-gambar yang belum sesuai
untuk remaja yang dapat memberikan dampak kurang baik pada
perubahan psikologis yang mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah
laku.

2. Pengaruh orang terdekat

Dalam banyak hasil penelitian, teman sebaya atau teman dekat


menjadi faktor penting yang mempengaruhi para remaja. pada usia remaja
biasanya cenderung ingin membuktikan diri dan lebih nyaman jika berada
bersama teman-teman, banyak remaja yang cenderung mengadopsi
informasi yang diterima oleh teman-temannya tanpa memiliki dasar
informasi yang signifikan dari sumber yang lebih dapat dipercaya.

3.Orang tua

Orangtua menjadi salah satu fondasi utama dalam keluarga.


Orangtua diharapkan mampu untuk memberikan pemahaman mengenai
pengetauan kesehatan reproduksi kepada anak remajanya.

4. Pemberian edukasi di sekolah dan lingkungan

Pemberian edukasi pada remaja juga sangat mempengaruhi


pengetahuan remaja. Dengan pemberian edukasi ini diharapkan remaja

9
menjadi lebih paham dan mengerti dengan kesehatannya, khusunya
kesehatan reproduksi.

2.1.2 Pengertian perilaku

a. pengertian perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas


organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia adalah
tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian
ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku adalah semua
kegiatan atau aktvitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skinner perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar).

b.Dua respon dalam perilaku

Oleh karena perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus


terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka
teori Skinner membedakan adanya dua respon:

- Respondent response atau reflexive, yakni respon yang


ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu.
Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena
menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya:
makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan,
cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya.
Respondent response ini juga mencakup perilaku emosional,
misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau

10
menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan
mengadakan pesta, dan sebagainya.
- Operant response atau instrumental response, yakni respon
yang timbul dan berkembang kemudian diikuti stimulus atau
perangsangan tertentu. Perangsangan ini disebut reinforcing
stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons.
Misalnya seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya
dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau job skripsi)
kemudian memperoleh penghargaan dan pujian dari atasannya
(stimulasi baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih
baik lagi dalam melaksanakan tugasnya

c. factor –faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut teori Lawrence Green dkk (1980) menyatakan bahwa


perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku
(behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes).
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor,
yaitu:

- Faktor predisposisi (presdiposing factors), yaitu faktor yang


mempermudah dan mendasari terjadinya perilaku tertentu yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, tradisi, nilai-
nilai, tingkat sosial ekonomi, serta karakteristik individu yaitu:
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, sikap, pendidikan akademik,
karakteristik responden, norma agama, norma hukum, dan norma sosial.

-Faktor pemungkin (enabiling factor), yaitu faktor yang memungkinkan


untuk terjadinya perilaku tertentu tersebut yang berwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas, atau sarana-
sarana yaitu media cetak dan elektronik, petugas kesehatan (penyuluh).

11
- Faktor pendorong (reinforcement factor), yaitu faktor yang memperkuat
terjadinya perilaku tersebut yaitu undang-undang, peraturan,
pengawasan,dll.

2.1.3. Teori Sikap

a. pengertian sikap

Sikap adalah determinan perilaku, karena mereka berkaitan dengan


persepsi, kepribadian, dan motivasi. Sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sebuah sikap
merupakan suatu keadaan sikap mental, yang dipelajari dan diorganisasi menurut
pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi
seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan situasi-situasi dengan siapa ia
berhubungan. Pendapat lain menyatakan sikap adalah suatu predisposisi (keadaan
mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau objek yang berisi komponen-
komponen cognitive, affective, dan behaviour.

Beberapa batasan tentang sikap yang dikutip oleh Notoatmodjo antara lain
menurut Campbell (1950) mengemukakan batasan tentang sikap yaitu tingkah
laku sosial seseorang merupakan syndrom atau gejala dari konsistensi reseptor
dengan nilai objek sosialnya. Dari batasan diatas dapat disimpulkan bahwa
manifestasi dari sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-
hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulous sosial. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan suatu
predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Teori S-O-R (Stimulus-Organism-Respon) yang dibuat oleh Woodworth


menjelaskan bahwa organism menghasilkan perilaku tertentu jika ada kondisi

12
stimulus tertentu, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus
khusus, sehingga dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara aksi
dan reaksi. Diagram di bawah ini dapat lebih lanjut menjelaskan uraian diatas:

Stimulasi rangsangan proses stimulasi reaksi

sikap tingkah laku

( terbuka)

(tertutup )

Gambar.1 proses gambar terbentuknya sikap dan reaksi.

b.Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmojo, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:


- Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan.

- Merespon(responding),memberikan jawaban apabila ditanya,mengerjakan, dan


menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

-Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau


mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

-Bertanggungjawab (responsible), bertanggungjawab atas segala suatu yang telah


dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang memiliki tingkatan paling
tinggi.16

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap ialah:

13
1. Faktor internal, faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang
bersangkutan sendiri, seperti selektifitas. Oleh sebab itu, harus memilih
rangsangan-rangsangan mana yang harus didekati dan mana yang harus dijauhi.
Karena dengan memilih inilah dapat menyusun sifat positif.

2. Faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri sendiri dan
faktor-faktor dari luar, yaitu sifat objek yang dijadikan sasaran sikap, kewibawaan
orang yang mengemukakan suatu sikap, sifat orang-orang atau kelompok yang
mendukung sikap tersebut, media komunikasi yang digunakan dalam
menyampaikan sikap, situasi pada saat sikap itu terbentuk. Jadi dapat disimpulkan
bahwa sikap dapat berupa respon negatif dan respon positif yang akan
dicerminkan dalam bentuk perilaku.

2.1.4.Perilaku Seksual

a. Pengertian Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat
seksual dengan lawan jenis. Bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam dari
perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama
atau melakukan hubungan seks, lebih lanjut menjelaskan bahwa perilaku seksual
merupakan akibat langsung dari pertumbuhan hormon dan kelenjar seks yang
menimbulkan dorongan seksual pada seseorang yang mencapai kematangan pada
masa remaja awal yang ditandai adanya perubahan fisik.

Kematangan organ seks dapat berpengaruh buruk bila remaja tidak mampu
mengendalikan rangsangan seksualnya, sehingga tergoda untuk melakukan
hubungan seks pranikah. Seksual pranikah merupakan perilaku yang dilakukan
tanpa melalui proses pernikahan. Perilaku seksual sering ditanggapi sebagai hal
yang berkonotasi negatif, padahal perilaku seksual ini sangat luas sifatnya.
Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian
lawan jenis. Perilaku seksual termasuk didalamnya adalah aktivitas dan hubungan
seksual. Aktivitas seksual adalah kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi
dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin atau

14
seksual melalui berbagai perilaku. Hubungan seksual adalah kontak seksual yang
dilakukan berpasangan dengan lawan jenis.21

b.Tahap- Tahap Perilaku Seksual

Menurut Masland P Robert dan David Estridge tahapan perilaku seksual meliputi:
1. French kiss (cium bibir)
2. Hickey adalah merasakan kenikmatan untuk menghisap atau menggigit dengan
gemas pasangan
3. Necking (mencium wajah dan leher)
4. Petting termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan, termasuk
lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang daerah kemaluan (di luar atau di dalam
pakaian)
5. Hubungan intim adalah bersatunya dua orang secara seksual, yang dilakukan
setelah pasangan pria dan wanita menikah.
Sedangkan menurut Nuss dan Luckey dalam Sarlito Wirawan Sarwono dan
Duvall, E.M & Miller, B.C ada beberapa perilaku seksual di antaranya:

1. Pelukan dan pegangan tangan (Touching) Berciuman (Kissing)Meraba


payudara (Petting)
2. Menyentuh atau meraba daerah erotis dari tubuh pasangan biasanya
meningkat dari meraba ringan sampai meraba alat kelamin
3. Meraba alat kelamin (Petiing)
4. Hubungan seks (Sexual Intercourse)

Bentuk perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang mengarah


pada hubungan yang menimbulkan gaira seksual yaitu berfantasi seks,
berpegangan tangan, cium kening, cium basah, meraba tubuh pasangan, pelukan,
masturbasi, oral, petting, intercourse. Jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk-
bentuk atau tahap-tahap perilaku seksual dari tingkatan rendah ke tingkatan yang
lebih tinggi, yakni (1) Masturbasi dan onani; (2) Berpegangan tangan dan

15
berpelukan; (3) Kissing (cium pipi atau bibir); (4) Necking (mencium wajah dan
leher); (5) Petting (merasakan dan mengusap- usap tubuh pasangan, termasuk
lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang daerah kemaluan di dalam atau di luar
pakaian; (7) Intercourse (bersenggaman/ berhubungan intim).24

Para ahli dan beberapa penenelitian sebelumnya membagi perilaku seksual


dengan 2 kategori perilaku seksual berisiko berat dan perilaku seksual berisiko
ringan. Perilaku seksual berisiko ringan mulai dari mengobrol, nonton film,
pegangan tangan, jalan-jalan, pelukan, sampai cium pipi. Sedangkan perilaku
seksual berisiko berat mulai dari ciuman bibir, ciuman mulut, ciuman leher,
meraba daerah erogen, petting, dan intercourse Teori yang sama juga dinyatakan
oleh Hartono (2000),bentuk-bentuk perilaku seksual dapat dikategorikan dalam
tingkatan ringan dan berat. Adapun perilaku seksual tingkatan ringan terdiri dari:
berpelukan, berciuman, masturbasi/onani. Sedangkan perilaku seksual tingkatan
berat, terdiri dari: berciuman bibir, leher, dan sekitarnya, petting, dan coitus.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku hubungan seksual yang pertama


dialami oleh remaja menurut Soetjiningsih (2007) yaitu:

1. Waktu/saat mengalami pubertas.

2. Kontrol sosial yang kurang tepat (terlalu ketat atau terlalu longgar), kurangnya
kontrol dari orang tua, remaja tidak tahu batas-batas mana yang boleh dan yang
tidak boleh.

3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya, hubungan antar mereka semakin


romantis, adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya, penerimaan
aktivitas seksual pacarnya.

4. Status ekonomi, kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik


anak-anak untuk memasuki masa remaja dengan baik.

16
5. Korban pelecehan seksual.

6.Tekanan dari teman sebaya, penggunaan obat-obat terlarang dan alkohol,


merasa saatnya untuk melakukan aktivitas seksual sebab sudah merasa matang
secara fisik.

7. Sekedar menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.

8. Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon


reproduksi dan seksual.

17
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian yang dimaksud untuk membatasi


ruang lingkup dan mengarahakan penelitian yang akan dilakukan.
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel bebas

variebel terkait Sikap dan perilaku


Pengetahuan seks
seks bebas pada
bebas pada remaja
remaja

Factor yang mempengaruhi sikap


Factor yang mempengaruhi
dan perilaku seks bebas :
pengetahuan :
1. Waktu/saat mengalami
1. Informasi
pubertas
2. pengaruh orang
2. Kontrol sosial yang
terdekat
kurang tepat
3. orang tua
3. Frekuensi pertemuan
4. pemberian edukasi
dengan pacarnya
dan disekolah dan
4. Status ekonomi
lingkungan
5. Korban pelecehan
seksual.
6. Tekanan dari teman
sebaya

18
Gambar : 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan tingkat pengetahuan
dengan sikap dan perilaku seks bebas dikalangan remaja

Keterangan :

: diteliti

: tidak diletiti

3.2 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau


pertanyaan penelitian. Hipotesis artinya menyimpulkan suatu ilmu melalui
suatu pengujian dan pernyataan secara ilmiah atau hubungan yang telah
dilaksanakan penelitian sebelumnya (Nursalam,2013).

Berdasarkan kajian kerangka konseptual penelitian diatas maka


hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha : ada hubungan tingkat pengetahuan reproduksi dengan sikap


dan perilaku seks bebas dikalangan remaja

19
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan


menggunakan desain cross-sectional, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif
atau mix method. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA dan SMK di
Kecamatan Cangkringan. Kriteria inklusi dalam penelitian kuantitatif yaitu
terdaftar sebagai siswa aktif kelas X dan XI di SMA dan SMK di Kecamatan
Cangkringan, berada di sekolah saat penyebaran angket kuesioner, bersedia ikut
dalam penelitian dan menandatangani informed consent..

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di SMA dan SMK yang berada di kecamatan
cangkringan

2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan rentang periode bulan maret 2019

4.3 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam


suatu penelitian. Penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting dan
memerlukan keakuratan hasil penelitian (saryono,2013).

Populalsi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA dan SMK di kecematan
cangkringan yaitu sebanyak 120 siswa.

20
4.4 Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Sampel penelitian ini adalah siswa SMA dan SMK di kecamatan


cingkareng dengan jumlah sampel 120 siswa.
Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Kriteia inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari
suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti, yaitu :
1) Siswa SMA dan SMK bersekolah di kecamatan
cangkring
2) Siswa SMA dan SMK yang berada di kecamatan
cangkring dan beberapa orang yang mendatangi
informed consent
3) Siswa yang bersedia menjadi responden dan ikut serta
dalam pengisian kuesioner
b. Kriteria eksklusif adalah menghilangkan atau mengelurakan
subjek pada penelitian yaitu :
1) Siswa yang sedang sakit dan tidak ada pada saat
penelitian.
2) Siswa yang meninggalkan lokasi penelitian saat
penelitian belum selesai
2. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan penelitian kuantitatif
diperoleh secara simple random sampling, sedangkan penelitian kualitatif
menggunakan purposive sampling

4 .5 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian adalah perangkat yang digunakan untuk


menggungkapkan data (seokidjo,2010)Kriteria inklusi dalam penelitian
kuantitatif yaitu terdaftar sebagai siswa aktif kelas X dan XI di SMA dan
SMK di Kecamatan Cangkringan, berada di sekolah saat penyebaran angket
kuesioner, bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed

21
consent. Tingkat pengetahuan didapatkan menggunakan instrumen kuesioner
yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya dengan skala ordinal.
Perilaku seksual remaja didapatkan menggunakan kuesioner yang telah ada
pada penelitian sebelumnya dengan skala nominal. Pengambilan data diawali
dengan meminta informed consent kepada guru dan siswa dilanjutkan dengan
pengisian angket kuesioner. Didapatkan data sebanyak 120 siswa. Sebelas
angket tidak lengkap dalam pengisian sehingga masuk kedalam kriteria
eksklusi, dan angket penelitian yang masuk kedalam kriteria inklusi berjumlah
109 angket kuesioner.

4.6 Analisa Data


Pengolahan data penelitian meliputi analisis univariat untuk mengetahui
gambaran umum karakteristik subjek penelitian dan analisis bivariat untuk
menguji hubungan antara tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dengan
perilaku seksual remaja
4.7 Etika Penelitian
Sebagai pertimbangan etik, peneliti menyakinkan bahwa hak-hak
responden terlindungi, dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Inform Concent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan
diteliti.Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan
serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data.
Jika responden bersedia diteliti, maka mereka harus menandatangani
lembar persetujuan tersebut, jika responden menolak untuk diteliti, maka
peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.
2. Anonimity (tanpa nama)
Hal ini untuk menjaga kerahasiaan responden. Peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, cukup
dengan memberikan kode dan inisial nama pada masing-masing lembar
tersebut.

22
3. Confidentiallity (kerahasian)
Kerahasiaan informasi yang diperoleh dari responden selama
penelitian akan menjamin kerahasiaannya oleh peneliti. Penyajian data
hasil penelitian hanya disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

4.8 Alur penelitian

Bagan alur penelitian dapat digambarkan pada skema dibawah ini :

Pengumpulan data awal di SMA dan SMK di kecamatan


cangkringan

Populasi

X-XI di SMA dan SMK di Kecamatan Cangkringa

Teknik Sampel

Menggunakan systematic random sampling dan purposive


sampling

Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan


lembar observasi

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan seks bebas Sikap dan perilaku seks bebas


pada remaja pada remaja

23
Pengolahan dan Analisa data Univarial dan
Bivariat

Penyajian hasil berupa distribusi frekuensi

Gambar 4.1 Alur Penelitian

24
DAFTAR PUSTAKA

Anissa Nurhayati, Nur Alam Fajar, Y. (2017). Determinan perilaku seksual


pranikah pada remaja SMA Negeri 1 Indralaya Utara. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 8(2), 83–90.

BKKBN. (2012). Survei Demografi Kesehatan Indonesia. Kesehatan Reproduksi


Remaja.

Dayat Chem. Penyimpangan Perilaku Seksual Remaja (Doktrin Agama Hanyalah


Sebuah ‘Macan Kertas’. 6 Januari 2011. https://dayatfarras.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 30 mei 2020

Dianawati ,anjen.(2003).Pendidikan dan Seks untuk Remaja.Jakarta :Kawan


Pustaka

Kemenkes RI. (2015). Infodatin Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja

Notoatmojo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan


Edisi Revisi 2014. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014

Miftakhul Huda Fadhlullah, Bambang Hariyana, Dodik Pramono,


Dea Amarilissa Adespin.2019 HUBUNGAN TINGKAT
PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN
PERILAKU SEKSUAL REMAJA, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro, Jln. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang-
Semarang

Rohan HH., dan Siyoto S. 2013. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta:
Nuha Medika

Suparyanto. Penyimpangan Seksual (Sexual Deviation). 8 September 2010.


http://drsuparyanto.blogspot.co.id. Diakses pada tanggal 30 mei 2020

Sarwono, Sarlito W. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada

25

Anda mungkin juga menyukai