BAB I
PENDAHULUAN
perbedaan fungsi tubuh laki-laki dan perempuan serta perkembangan alat reproduksi laki-
laki dan perempuan. Orang tua harus mengetahui bahwa mereka memegang peranan yang
sangat penting karena mereka merupakan inner circle dari anak (Justicia, 2017).
Kebanyakan orang tua yang takut dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak
diakibatkan adanya pemikiran bahwa anak akan menjadi penasaran hingga berperan
sebagai pelaku aktif dalam kekerasan seksual sehingga hal ini dianggap tabu (Justicia,
2017). Orang tua yang kurang memahami pentingnya pendidikan seksual pada anak usia
dini mengakibatkan terjadinya pelecehan seksual atau anak akan mecari tau sendiri
mengenai informasi pendidikan seksual ini melalui media (Aprilia, 2015).
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran persepsi orang tua tentang pendidikan seksual pada anak usia
dini.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Identifikasi persepsi orang tua tentang pentingnya pemberian pendidikan seksual
pada anak usia dini
1.3.2.2 Identifikasi cara penyampaian orang tua terhadap pendidikan seksual pada anak
usia dini
3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
bawaan tidak akan bertahan lama karena sel-sel dalam sistem saraf mengalami
kemunduran, berubah, atau gagal membentuk jalur saraf yang layak.
3) Faktor psikologis dan budaya
Pada manusia, faktor-faktor psikologis dapat mempengaruhi bagaimana kita
mempersepsikan serta apa yang kita persepsikan. Beberapa psikologis yang
dimaksud adalah seperti; kebutuhan, kepercayaan, emosi, dan ekspresi. Ketika kita
membutuhkan sesuatu atau memiliki ketertarikan akan suatu hal atau
menginginkannya, kita akan dengan mudah mempersepsikan sesuatu berdasarkan
kebutuhan. Sesuatu yang kita anggap sebagai benar dapat mempengaruhi interpretasi
kita terhadap sinyal sensorik yang ambigu. Contoh, ketika kita yakin akan adanya
makhluk luar angkasa yang secara berkala datang mengunjungi bumi, dan kemudian
kita melihat benda bundar di langit, maka kita mungkin mengatakan bahwa kita telah
melihat pesawat luar angkasa. Seorang anak yang takut kegelapan dapat saja
mengatakan telah melihat hantu yang ternayata hanya sebuah jubah yang tergantung
pada pintu. Kecenderungan untuk mepersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan
disebut sebagai set persepsi (perceptual set). Set persepsi dapat sangat berguna untuk
membantu kita mengisi kata-kata dalam sebuah kalimat; namun juga bisa
menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi. Semua kebutuhan, kepercayaan, emosi,
dan ekspetasi kita dipengaruhi oleh budaya di mana kita tinggal. Budaya yang
berbeda memberikan kita kesempatan untuk bertemu dengan lingkungan yang
berbeda. Budaya juga mempengaruhi persepsi dengan membentuk stereotip, yang
mengarahkan perhatian kita dan mengatakan pada diri kita apa yang penting untuk
disadari atau diabaikan (Latipah. E., 2017).
bahasa, sosio-emosional, konsep diri, seni, moral dan nilainilai agama. Salah satu dasar
pengembangan moral yang harus ditanamkan dalam diri anak sejak usia dini adalah
disiplin (Martsiswati & Suryono, 2014). Beberapa ahli pendidikan mencetuskan teori-
teori yang melatar belakangi berkembangnya pendidikan anak usia dini. John Locke
menyatakan bahwa anak seperti kertas putih, baik buruknya anak dipengaruhi oleh
lingkungan. Pernyataan John Locke berbeda dengan teori Schopenheur yang menyatakan
bahwa anak sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan yang bersifat kodrati dan tidak
dapat diubah oleh lingkungan. Pernyataan kedua ahli tersebut dibantah oleh Stern,
menurutnya anak dipengaruhi keduanya, baik itu lingkungan dan faktor bawaan (Magta
M, 2013).
berbusana muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu
sekaligus mengajari anak tentang auratnya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak
perempuan
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan
mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya
perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi
yang berbeda yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam
telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga.
Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan
memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-
laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak
berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai
dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah Saw. melaknat laki-laki
yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki (HR al-Bukhari).
3. Memisahkan tempat tidur mereka
Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang
pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir
tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan
tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang
eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan
orang tuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba
untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang
tuanya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya
yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya
tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu)
Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan
(kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat
subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara
ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat
11
orang dewasa banyak terbuka Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak,
mereka akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan etika yang luhur.
5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.
Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat
sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang
air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini, akan terbentuk pada diri anak
sikap hatihati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan
sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat
(Jatmikowati, 2015).
Menurut Mini seorang psikolog pendidikan, seks bagi anak wajib diberikan
orangtua sedini mungkin. Pendidikan seks wajib diberikan orangtua pada anaknya
sedini mungkin. Tepatnya dimulai saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun),
karena pada usia ini anak sudah dapat mengerti mengenai organ tubuh mereka dan
dapat pula dilanjutkan dengan pengenalan organ tubuh internal. Tidak ada cara
instan untuk mengajarkan seks pada anak kecuali melakukannya setahap demi
setahap sejak dini. Orangtua dapat mengajarkan anak mulai dari hal yang sederhana,
dan menjadikannya sebagai satu kebiasaan sehari-hari (Noeratih, 2016).
Pemahaman pendidikan seks di usia dini ini diharapkan anak agar anak dapat
memeroleh informasi yang tepat mengenai seks. Hal ini dikarenakan adanya media
lain yang dapat mengajari anak mengenai pendidikan seks, yaitu media informasi.
Dengan mengajarkan pendidikan seks pada anak, diharapkan dapat menghindarkan
anak dari risiko negatif perilaku seksual maupun perilaku menyimpang. Dengan
sendirinya anak diharapkan akan tahu mengenai seksualitas dan akibat-akibatnya bila
dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat, serta dampak
penyakit yang bisa ditimbulkan dari penyimpangan tersebut.
6. Khitan bagi anak laki-laki
Khitan secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin
lelaki (penis). Khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota
tubuh yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis, dan bau yang tidak
sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit
yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit
12
tersebut. Setelah berkhitan, tidak ada kotoran yang bisa „bersembunyi‟ di kulup
penis sehingga alat kelamin anak terjaga kebersihannya.
7. Tanamkan rasa malu sedini mungkin
Menanamkan rasa malu sangat penting bagi anak. Ini tidak berarti kita mencetak
anak pemalu dan tidak berani tampil, namun yang diamksud malu di sini adalah malu
untuk berbuat seenaknya sendiri dan melanggar norma yang berlaku. Di sekeliling
kita masih marak anak-anak yang tidak diajarkan rasa malu oleh orang tuanya.
Alasan masih kecil, para orang tua memperbolehkan anaknya buang air kecil di
selokan depan rumah atau membiarkan anaknya telanjang keluar dari kamar mandi,
walaupun di sana ada tamu yang berkunjung, atau sang orang tua menemui tamunya
sambil menghanduki anaknya dan memakaikan celana atau bajunya. Bukankah aurat
anak juga harus ditutupi di hadapan orang lain? Biasakan anak bersikap sopan dalam
bersikap ataupun bertutur kata. Adakalanya kita sering menyaksikan anak-anak yang
minta pangku orang lain (lain jenis), bermanja-manja, berjoget atau duduk dengan
rok tersingkap. Peringatkan anak supaya rapi dan sopan dalam bersikap, termasuk
dalam hal duduk. Jaga aurat anak supaya tidak terbuka sehingga mengundang hasrat
orangorang yang mempunyai penyakit di hatinya. Menurut Ilmawati (dalam
Jatmikowati dkk, 2015:437) rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini.
Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain:
misalnya, ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya.
Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana muslimah menutup aurat juga
penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya
8. Beri tahu bagian tubuh yang boleh atau tidak boleh disentuh orang lain
Kita beri tahu aurat yang harus dijaga. Kita perkenalkan aurat anak sedini mungkin,
misalnya aurat anak laki-laki adalah antara pusar dan lututnya. Terangkan juga
bahwa paha termasuk aurat yang harus ditutup. Selain itu juga kita harus
menjelaskan aurat anak perempuan, yang meliputi seluruh badan, kecuali muka dan
telapak tangan. Kita juga memperkenalkan bagian tubuh yang tidak boleh disentuh
oleh siapapun dan merupakan milik pribadi si anak yang paling berharga. Bagian
tersebut adalah mulai dari bahu sampai ke lutut, apalagi alat kelamin anak tidak
boleh ada orang yang melihat atau menyentuhnya (Jatmikowati, 2015). Anak
seharusnya mengetahui bahwa tubuhnya merupakan miliknya dan tidak ada
13
seseorang pun dapat menyentuhnya tanpa ijin dari dirinya sendiri. Mulainya
membuka pembicaraan sejak dini tentang seksualitas dan “bagian tubuh yang
privasi”, dengan menggunakan nama yang sesuai dengan bagian tubuh genital dan
bagian tubuh lainnya akan membantu anak untuk mengerti. Anak seharusnya dapat
menolak dan berkata“TIDAK” dengan berani dan lantang pada kontak fisik yang
tidak sesuai, menghindar dari situasi yang tidak aman dan dapat mengadu pada
orang dewasa (Justicia, 2017).
9. Beri tahu jenis sentuhan yang pantas dan tidak pantas
Sejak masih kecil, anak jangan dibiasakan disentuh oleh lain jenis, misalnya untuk
berjabat tangan, memberikan ciumam kepada orang lain, minta dipangku, minta
digandeng, dan lain-lain. Hal ini perlu kita biasakan agar anak terbiasa dengan
adanya batasan dalam berinteraksi terhadap lain jenis. Anak-anak yang tidak terbiasa
disentuh orang lain, akan menjaga jarak dan menolak apabila akan disentuh orang
lain. Hal ini sebagai upaya protektif dimana anak akan lebih sukar dibujuk oleh
orang lain (Jatmikowati, 2015).
Adapun menurut Ratnasari (2016) memberikan penjelasan mengenai beberapa sikap
yang disarankan dalam berbicara dengan anak tentang seks.
a. Luangkan waktu untuk membuat dialog atau diskusi tentang seks dengan anak
b. Sikap terbuka, informatif, dan yakin atau tidak ragu-ragu
c. Siapkan materi dan penyampaian disesuaikan dengan usia anak
d. Gunakan media atau alat bantu konkret seperti boneka, gambar, binatang, untuk
memudahkan anak menyerap informasi.
e. Membekali diri dengan wawasan cukup untuk menjawab pertanyaan anak.
f. Menjawab pertanyaan dengan jujur dan dengan bahasa yang lebih halus.
g. Memberikan pendidikan seks pada anak sebaiknya anak mengenali bagian tubuh
dirinya sendiri dan jangan pernah mengeksplor tubuh orang lain.
h. Mendiskusikan kepada ahli atau psikolog apabila ada hal-hal yang masih ragu atau
bingung, terutama apabila terjadi hambatan dalam memberikan informasi.
i. Meyakinkan diri bahwa pendidikan seks pada anak adalah penting dan bermanfaat
(Ratnasari, 2016).
2.1.2.5 Perkembangan seksualitas anak usia dini
14
Perkembangan seksualitas anak merupakan bagian dari kehidupan anak yang perlu
memperoleh perhatian orang tua sejak usia dini. Sikap orang yang komitmen akan
membuat perkembangan seksual tumbuh secara wajar dan sehat. Sebaliknya sikap yang
salah akan membuat perkembangan seksual menjadi terganggu. Akibatnya muncul
berbagai penyimpangan yang tidak dikehendaki di kemudian hari. Sigmund Freud
mengemukakan bahwa kehidupan psikoseksual manusia dibagi dalam beberapa tahapan
perkembangan sebagai berikut:
a. Seksualitas infantile (masa anak-anak)
b. Seksualitas remaja
c. Seksualitas dewasa
d. Seksualitas senile (masa tua)
Secara kualitatif seksualitas infantile sangat berbeda dari seksualitas dewasa, dan
penyertaan perasaan yang diasosiasikan dengan seksualitas infantile sama sekali tidak
dapat dianalogikan dengan penyertaan perasaan dan impulse seksual seperti halnya
kehidupan seksual orang dewasa, walaupun kemudian Freud pun menekankan bahwa
perasaan seksual pada masa anak-anak memang ada, namun maknanya sangat berbeda
dari makna seksualitas pada orang dewasa. Dengan demikian seorang anak akan
mengalami tahapan berbeda dalam perkembangan seksualnya. Pada fase oral (usia 0-1,5
tahun); ditandai dengan kepuasan yang diperoleh melalui daeragh mulut atau oral, seperti
gerakan mengisap putting susu ibu saat lapar memberikan kenikmatan pada bagian-
bagian mulut dan bibir. Fase anal/anus (usia 1,5-3 tahun); kepuasan diperoleh anak
melalui daerah anusnya. Seperti gerakan menahan dan mengeluarkan faeces (kotoran)
menimbulkan rasa nikmat. Fase phallic/penis (usia 3,5 tahun) yaitu fase dimana
kesadaran akan perbedaan alat kelamin antara anak laki-laki dan anak perempuan
memberikan arti yang besar kepada kepribadian mereka. Fase genital (usia 6-10 tahun);
secara bersamaan menghadapi kompleks Elektra dan kompleks oedipus pada anak laki-
laki, keberhasilan mengatasi kompleks Elektra/Oedipus memberikan peluang bagi
perkembangan identitas seksual dan identitas gender yang sehat, sesuai hakekat kodrat
kelaki-lakian bagi anak laki-laki dan keperempuanan bagi anak perempuan, sehingga
mereka dapat melepaskan diri dari keterikatan abnormal dengan figure ayah/ibu, dan
mampu mendapatkan dan mencari pasangan lain jenis dilingkungan pergaulan diluar
rumah (Irsyad, 2019).
15
Topik Pandangan orang tua terkait Persepsi orang tua Sexual education
pendidikan seks untuk anak usia knowledge for early
Penelitian mengenai pendidikan childhood
dini seks untuk anak usia
dini
Variable Pendidikan seks dan Pendidikan seks anak Early childhood and
pandangan orang tua usia dini dan persepsi sexual education
orang tua knowledge
Orang tua yang memiliki Orang tua murid Parents and teachers
Subjek
anak usia dibawah enam
tahun
16
Tempat
Purwakarta Kelurahan
Margahayu Canada
: Diteliti
Sumber ; Kemenkes RI, 2019; Notoatmojo, 2010; Mubarok, W. I., et al, 2015; Yusuf, et
al, 2015.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan desain penelitian bersifat
deskriptif. Penelitian deskriptif diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu
keadaan di dalam suatu komunitas atau masyarakat(Dharma, 2011). Penelitian deskriptif
yaitu penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan suatu kondisi atau keadaan yang
ada secara obyektif berdasarkan data-data yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan persepsi orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada anak
usia dini.
3. Entry
Setelah data dikumpulkan peneliti melakukan entry data untuk diolah kedalam
analisi data. Peneliti melakukan entry data dengan memasukkan data-data yang di
dapat pada kuisioner ke dalam program computer untuk memudahkan dalam
21
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang telah ditentukan sebagai
subjek pada penelitian, serta di dalam lembar persetujuan ini telah terdapat maksud
dan tujuan dalam penelitian yang dilakukan peneliti, dan peneliti juga akan
menjelaskan secara rinci dari penelitian ini. Setelah responden bersedia maka akan
dilanjutkan dengan mengisi kuisioner yang diberikan oleh peneliti.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Suatu masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian
dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar
alat ukur dan hanya mencantumkan kode. Dalam penelitian ini, peneliti akan
menjaga kerahasiaan responden. Responden hanya menulis inisial tanpa nama
lengkap di lembar persetujuan, ini adalah salah satu etik untuk melindungi hak-hak
dan kerahasiaan responden.
3. Kerahasiaan Subjek (Confidentiality)
Responden memiliki hak penuh akan kerahasiaan data yang ia berikan kepada
peneliti, oleh sebab itu responden hanya perlu menulis inisial tanpa nama panjang
dan bersifat rahasia. Semua data yang telah diberikan oleh responden kepada
peneliti akan dikumpulkan dan hanya akan digunakan untuk keperntingan
penelitian sebagai hasil riset.
4. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan mengandung makna bahwa dalam penelitian ini memberikan
keuntungan, beban dan perlakuan yang sama kepada semua responden. Dan peneliti
harus memperlakukan responden sama rata tanpa ada perbedaan satu dengan yang
lain.
5. Memperhitungkan Manfaat dan Kerugian
Prinsip ini berarti bahwa setiap penelitian harus memperhatikan kepentingan
terbaik dari populasi dan subjek yang akan di aplikasikan hasil penelitiannya, dan
meminimalisir dampak buruk pada subjek penelitian.
23
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, A. (2015). Perilaku Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Usia Dini Pada
Anak Pra Sekolah (Studi Deskriptif Eksploratif Di Tk It Bina Insani Kota
Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-Journal), 3(1), 619–628. Retrieved
from https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/11555
Justicia, R. (2017). Pandangan Orang Tua Terkait Pendidikan Seks Untuk Anak Usia
Dini. Early Childhood : Jurnal Pendidikan, 1(2), 28–37.
https://doi.org/10.35568/earlychildhood.v1i2.121