Anda di halaman 1dari 23

1

VISUALISASI POLA PIKIR TERHADAP PENDIDIKAN SEKSUAL


PADA ANAK USIA DINI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan seksual merupakan bagian dari penanaman moral yang harus diberikan dan
ditanamkan kepada anak sedari dini agar masa depan lebih baik. Selama proses memberi
pendidikan seksual pada anak usia dini ini diperlukan penanaman nilai-nilai agama,
pembentukan sikap, dan pengembangan kemampuan dasar guna merangsang aspek
perkembangan anak. Orangtua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak dalam
perkembangannya serta pola asuh juga mempengaruhi anak tersebut (Nadar, 2017). Tidak
sedikit orang tua yang beranggaan bahwa pendidikan seksual ini sebaiknya diberikan saat
anak remaja atau beranjak dewasa, menurut penelitian oleh DKT Indonesia Synovate
Research Reinvented mengatakan bahwa 20-33% remaja pria dan wanita mendapat
informasi seksual dari media, sedangkan hanya 10-12% remaja pria dan wanita yang
mendapat informasi mengenai pendidikan seksual dari orang tua mereka (Nadar, 2017).
Berdasarkan data dari Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tindak kejahatan
seksual pada anak tahun 2016 tercatat sebanyak 78 kasus kejahatan seksual secara online
terhadap anak, 120 kasus anak sebagai korban kejahatan seksual, dan 41 kasus anak
sebagai korban eksploitasi seks komerisal. Dari banyaknya kasus yang terjadi ini, maka
perlu disadari bahwa pendidikan seksual sedari dini itu sangat diperlukan, agak
kedepannya anak dapat menjaga dirinya sendiri dari pelaku kejahatan seksual, tetapi
pendidikan seksual yang diberikan pada anak harus tepat (Justicia, 2017).
Pada anak berusia 0-8 tahun merupakan masa dimana penyerapan informasi pada anak
sangat pesat disebut juga masa The golden age moment, pada masa ini rasa ingin tahu
anak menjadi tinggi salah satunya mengenai seks (Budhi & E-mail, 2016). Informasi
yang perlu disampaikan pada anak dalam memberi pengetahuan seksual yakni berupa
identitas jenis kelamin, relasi antar jenis kelamin, dan keintiman yang lebih dekat.
Pendidikan seksual pada anak yang diberikan oleh orang tua lebih mengarah kepada
2

perbedaan fungsi tubuh laki-laki dan perempuan serta perkembangan alat reproduksi laki-
laki dan perempuan. Orang tua harus mengetahui bahwa mereka memegang peranan yang
sangat penting karena mereka merupakan inner circle dari anak (Justicia, 2017).
Kebanyakan orang tua yang takut dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak
diakibatkan adanya pemikiran bahwa anak akan menjadi penasaran hingga berperan
sebagai pelaku aktif dalam kekerasan seksual sehingga hal ini dianggap tabu (Justicia,
2017). Orang tua yang kurang memahami pentingnya pendidikan seksual pada anak usia
dini mengakibatkan terjadinya pelecehan seksual atau anak akan mecari tau sendiri
mengenai informasi pendidikan seksual ini melalui media (Aprilia, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


Penelitian ini dilakukan dikarenakan masih kurangnya penelitian tentang gambaran
persepsi orang tua tentang pendidikan seksual pada anak usia dini. Dilihat dari observasi
peneliti belum banyak ibu yang memahami bagaimana pentingnya pemberian pendidikan
seksual pada anak usia dini dan cara penyampaian yang tepat pada anak. Pengetahuan ibu
yang berbeda-beda akan berpengaruh dalam metode-metode dalam pemberian pendidikan
seksual pada anak usia dini. Berdasarkan masalah tersebut, peneliti merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana gambaran persepsi orang tua tentang
pendidikan seksual pada anak usia dini? ”.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran persepsi orang tua tentang pendidikan seksual pada anak usia
dini.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Identifikasi persepsi orang tua tentang pentingnya pemberian pendidikan seksual
pada anak usia dini
1.3.2.2 Identifikasi cara penyampaian orang tua terhadap pendidikan seksual pada anak
usia dini
3

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Peneliti
Manfaat bagi peneliti yaitu dapat menambah wawasan tentang bagaimana pentingnya
pendidikan seksual sedari dini serta cara penyampaian orang tua dalam memberikan
pendidikan seksual pada anak usia dini dan memberikan pengalaman baru untuk menulis
mengenai gambaran presepsi orang tua tentang pendidikan seksual pada anak usia dini.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Sebagai informasi sehingga orang tua khususnya responden dapat mengetahui pentingnya
memberi edukasi pengenai pendidikan seksual pada anak usia dini untuk mencegah
terjadinya pelechan seksual di masa depan anak.
4

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Telaah Pustaka


2.1.1 Presepsi Orang Tua
2.1.1.1 Pengertian presepsi orang tua
Persepsi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yaitu tanggapan langsung dari sesuatu.
Beberapa pendapat mengatakan adanya proses dalam terjadinya persepsi sedangkan
dalam pengertian Kamus Bahasa Indonesia terdapat kata “langsung”. Adapun persepsi
menurut Irwanto (1991) yaitu proses diterimanya rangsang oleh indera sampai rangsang
itu dimengerti. Setiap rangsang berupa subjek, gejala – gejala atau peristiwa akan
diterima oleh indera manusia, seperti indera pendengaran, penglihatan, perabaan,
pengecapan dan penciuman. Semua informasi yang telah diterima oleh indera akan
disampaikan ke otak untuk kemudian diolah dan diorganisasikan, kemudian
diinterpretasikan sehingga individu memperoleh pengertian terhadap apa yang
diinderakan (Nadar, 2017).
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan merupakan hasil
dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga.
Menurut Nasution (1986) orang tua adalah orang yang bertanggung jawab dalam satu
keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut Bapak dan
Ibu, sehingga orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan
membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak
untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Orang tua yang baik adalah orang tua yang
mengungkapkan cinta dan kasih sayang, mendengarkan anak, membantu anak merasa
aman, mengajarkan aturan dan batasan, memuji anak, menghindari kritikan dengan
berfokus pada perilaku, selalu konsisten, berperan sebagai model, meluangkan waktu
untuk anak dan memberi pemahaman spiritual (Martsiswati & Suryono, 2014).
Jadi, persepsi orang tua adalah kesan atau pandangan orang tua (bapak dan ibu) yang
dihasilkan oleh stimulus-stimulus dan tertangkap oleh panca indera sehingga orang tua
dapat menyimpulkan apa yang didengar, apa yang dirasakan, apa yang dilihat serta
timbullah penilaian terhadap apa yang didapat tersebut. Yaitu sebuah penilaian atas setuju
atau tidak setuju.
5

2.1.1.2 Proses terjadinya persepsi


Persepsi yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu tidak terjadi dengan begitu saja.
Ada rangkaian proses yang harus dilalui oleh individu tersebut. Begitu juga dengan
beberapa aspek yang mengikutinya, seperti aspek kognitif yang merefleksikan minat dan
tujuan seseorang. Bimo Walgito mengungkapkan bahwa terjadinya persepsi melalui
beberapa proses yaitu proses fisik, proses fisiologi dan proses psikologis.
Berdasarkan pengertian persepsi yang telah dikemukakan di atas bahwa persepsi terjadi
karena adanya pusat perhatian (stimulus) yang diterima oleh indera. Proses itu
dinamakan proses fisik. Oleh indera, stimulus itu diterima dan diorganisasikan oleh otak
sehingga terjadi proses fisiologis. Diproses psikologis, individu kemudian menyadari
tentang apa yang diterimanya melalui proses fisik yang telah dilalui. Pendapat tersebut
sajalan dengan yang dikemukakan oleh Aliah B. Purwakania Hasan (2006) bahwa
persepsi merupakan hasil dari proses deteksi dari input sensorik dan pengayaan (Nadar,
2017).
2.1.1.3 Faktor yang mempengaruhi persepsi
Menurut Latipah (2017) adapun beberapa faktor yang mempengaruhi Persepsi adalah
sebagai berikut:
1) Bawaan
Kemampuan pengindraan paling mendasar dan kemampuan persepsi merupakan
sesuatu yang sifatnya bawaan dan berkembang pada masa yang sangat dini. Bayi
dapat membedakan rasa asin dan manis serta dapat membedakan aroma yang
beragam. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka mempersepsikan suara sebagai
sesuatu yang berasal dari satu tempat dalam suatu ruang. Banyak kemampuan visual
yang muncul pada saat lahir, atau berkembang langsung sesudah kelahiran. Bayi
manusia dapat membedakan ukuran dan warna pada usia dini, bahkan segera setelah
mereka lahir. Mereka dapat membedakan kontras, bayangan-baynagan, dan pola
kompleks hanya sesudah beberapa minggu pertama sejak mereka lahir. Persepsi
kedalaman berkembang pada beberapa bulan pertama.
2) Periode kritis
Selain merupakan kemampuan bawaan, persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman.
Bila seorang bayi kehilangan pengalaman tertentu pada periode waktu yang penting
(periode kritis) maka kemampuan persepsi mereka juga akan rusak. Kemampuan
6

bawaan tidak akan bertahan lama karena sel-sel dalam sistem saraf mengalami
kemunduran, berubah, atau gagal membentuk jalur saraf yang layak.
3) Faktor psikologis dan budaya
Pada manusia, faktor-faktor psikologis dapat mempengaruhi bagaimana kita
mempersepsikan serta apa yang kita persepsikan. Beberapa psikologis yang
dimaksud adalah seperti; kebutuhan, kepercayaan, emosi, dan ekspresi. Ketika kita
membutuhkan sesuatu atau memiliki ketertarikan akan suatu hal atau
menginginkannya, kita akan dengan mudah mempersepsikan sesuatu berdasarkan
kebutuhan. Sesuatu yang kita anggap sebagai benar dapat mempengaruhi interpretasi
kita terhadap sinyal sensorik yang ambigu. Contoh, ketika kita yakin akan adanya
makhluk luar angkasa yang secara berkala datang mengunjungi bumi, dan kemudian
kita melihat benda bundar di langit, maka kita mungkin mengatakan bahwa kita telah
melihat pesawat luar angkasa. Seorang anak yang takut kegelapan dapat saja
mengatakan telah melihat hantu yang ternayata hanya sebuah jubah yang tergantung
pada pintu. Kecenderungan untuk mepersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan
disebut sebagai set persepsi (perceptual set). Set persepsi dapat sangat berguna untuk
membantu kita mengisi kata-kata dalam sebuah kalimat; namun juga bisa
menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi. Semua kebutuhan, kepercayaan, emosi,
dan ekspetasi kita dipengaruhi oleh budaya di mana kita tinggal. Budaya yang
berbeda memberikan kita kesempatan untuk bertemu dengan lingkungan yang
berbeda. Budaya juga mempengaruhi persepsi dengan membentuk stereotip, yang
mengarahkan perhatian kita dan mengatakan pada diri kita apa yang penting untuk
disadari atau diabaikan (Latipah. E., 2017).

2.1.2 Pendidikan Seks Anak Usia Dini


2.1.2.1 Definisi Anak Usia Dini
Masa usia dini anak adalah masa keemasan (golden age), Para ahli berpendapat bahwa
masa usia dini, yaitu 0 – 6 tahun merupakan masa yang peka sekaligus masa kritis dari
seluruh siklus kehidupan manusia. Pada masa ini anak mengalami perkembangan dalam
diri mereka secara fisik maupun mentalnya, sehingga upaya pengembangan seluruh
potensi anak usia dini harus dimulai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat
tercapai secara optimal dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan kemampuan fisik,
7

bahasa, sosio-emosional, konsep diri, seni, moral dan nilainilai agama. Salah satu dasar
pengembangan moral yang harus ditanamkan dalam diri anak sejak usia dini adalah
disiplin (Martsiswati & Suryono, 2014). Beberapa ahli pendidikan mencetuskan teori-
teori yang melatar belakangi berkembangnya pendidikan anak usia dini. John Locke
menyatakan bahwa anak seperti kertas putih, baik buruknya anak dipengaruhi oleh
lingkungan. Pernyataan John Locke berbeda dengan teori Schopenheur yang menyatakan
bahwa anak sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan yang bersifat kodrati dan tidak
dapat diubah oleh lingkungan. Pernyataan kedua ahli tersebut dibantah oleh Stern,
menurutnya anak dipengaruhi keduanya, baik itu lingkungan dan faktor bawaan (Magta
M, 2013).

2.1.2.2 Pengertian pendidikan seks


Pendidikan menurut Undang – Undang nomor 2 tahun 1998 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I Pasal I yaitu “Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan
agar peserta didik tersebut berperan dalam kehidupan masa depannya.”. Pengertian seks
dalam bahasa Indonesia mempunyai arti jenis kelamin. Jenis kelamin ini memberikan
gambaran tentang sesuatu sifat atau ciri laki – laki dan perempuan. Dari penggambaran
perbedaan antara laki- laki dan perempuan tersebutlah yang menimbulkan perbedaan
perlakuan antara laki – laki dan perempuan. Sedangkan pendidikan seks menurut
Abdullah Nashis Ulwan yaitu upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang
masalah – masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah – masalah yang
berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan. Dari beberapa pengertian seks di atas,
dapat dilihat bahwa pengertian seks tidaklah sesempit yang selama ini para orang
tua pikirkan. Pendidikan seks tidak hanya seputar hubungan kelamin dua insan.
Tetapi menyangkut berbagai hal dari jenis kelamin, pengetahuan tentang alat kelamin
termasuk didalamnya perawatan dan permasalahannya, serta mengenal identitas dan
peran seks yang berlaku di masyarakat berikut norma, etika dan harapan masyarakat
(Nadar, 2017).
Seks dalam arti yang sempit berarti kelamin, seks dalam arti yang luas berarti seksualitas.
Seksualitas merupakan suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan
dengan seks. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan pemberian
8

informasi tentang masalah seksual. Informasi yang diberikan di antaranya pengetahuan


tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, komitmen, agama
agar tidak terjadi "penyalahgunaan" organ reproduksi tersebut. Itu sebabnya, pendidikan
seks dapat dikatakan sebagai cikal bakal pendidikan kehidupan berkeluarga yang
memiliki makna sangat penting. Para ahli psikologi menganjurkan agar anak-anak sejak
dini hendaknya mulai dikenalkan dengan pendidikan seks yang sesuai dengan tahap
perkembangan kedewasaan mereka. Pendidikan seks didefinisikan sebagai pendidikan
mengenai anatomi organ tubuh yang dapat dilanjutkan pada reproduksi seksualnya dan
akibatakibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat,
serta kesiapan mental dan material seseorang (Ratnasari & Alias, 2016).
2.1.2.3 Tujuan pendidikan seks
Pendidikan seks dapat mengantarkan pemahaman terhadap antarjenis bahwa manusia
(laki-lakiperempuan) sama di hadapan Allah yang membedakan secara fisik hanya bentuk
anatomi tubuh beserta fungsi reproduksinya saja sehingga karena perbedaan itu yang laki-
laki bisa membuahi dan perempuan bisa dibuahi, hamil, dan melahirkan. Pada wilayah
domistik dan publik kedua jenis kelamin ini harus saling melengkapi, menyempurnakan,
dan mencintai untuk membangun ketakwaan dan keharmonisan hidup bersama dalam
keluarga dan masyarakat. Pergolakan panjang dalam sejarah dan sampai kini yang masih
dapat disaksikan adalah perempuan diposisikan sebagai barang yang bisa diperjualbelikan
(traficking seperti jaman Jahiliah) dan dimiliki seperti barang. Ekspresi laki-laki bahwa ia
“memiliki perempuan” menyimpan dua makna; perempuan sebagai objek dan sebagai
sesuatu yang arbitrer tidak terlalu jelas dibedakan. Secara garis besar, pendidikan seks
diberikan sejak usia dini (dan pada usia remaja) dengan tujuan sebagai berikut:
1) Mencegah anak-anak dari tindak kekerasan
2) Mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan akibat tindakan seksual
3) Mendorong hubungan yang baik
4) Mengurangi ketakutan dan kegelisahan sehubungan dengan terjadinya perkembangan
serta penyesuaian seks pada anak
5) Mengembangkan sikap objektif dan penuh pengertian tentang seks
6) Menanamkan pengertian tentang pentingnya nilai moral sebagai dasar mengambil
keputusan
9

Memberikan cukup pengetahuan tentang penyimpangan dan penyalahgunaan seks agar


terhindar dari hal-hal yang membahayakan fisik dan mental (Roqib, 2008).
Tujuan dari pemberian pendidikan seks untuk anak adalah untuk memberikan bekal ilmu
tentang topik-topik biologis yang terjadi pada dirinya, sehingga pendidikan seks tidak
memberikan kesan tabu kepada anak, tetapi dapat menjadikan sebagai pengetahuan,
pengenalan, pembelajaran tentang pendidikan seks yang sehat sehingga anak mampu
menjaga diri pada saat anak telah tumbuh remaja nanti. Mengajarkan pendidikan seks
sejak dini bertujuan agar anak tidak salah mengartikan pendidikan seks serta mencegah
adanya pemikiran bahwa pendidikan seks adalah bagian dari berhubungan seksual sejak
dini.
Pendidikan seks usia dini lebih ditekankan bagaimana memberikan pemahaman pada
anak akan kondisi tubuhnya, pemahaman akan lawan jenisnya, dan pemahaman untuk
menghindarkan dari kekerasan seksual. Pendidikan seks yang dimaksud di sini adalah
anak mulai mengenal akan identitas diri dan keluarga, mengenal anggota tubuh mereka,
serta dapat menyebutkan ciri-ciri tubuh. Cara yang dapat digunakan mengenalkan tubuh
dan ciri-ciri tubuh antara lain melalui media gambar atau poster, lagu, dan permainan.
Pemahaman pendidikan seks di usia dini ini diharapkan anak agar anak dapat
memperoleh informasi yang tepat mengenai seks. Hal ini dikarenakan adanya media lain
yang dapat mengajari anak mengenai pendidikan seks, yaitu media informasi. Anak dapat
memperoleh informasi yang tidak tepat dari media massa, terutama tayangan televisi
yang kurang mendidik. Dengan mengajarkan pendidikan seks pada anak, diharapkan
dapat menghindarkan anak dari risiko negatif perilaku seksual maupun perilaku
menyimpang (Jatmikowati, 2015)

2.1.2.4 Upaya pendidikan seks tahap awal


Pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan
kepada anak di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menanamkan rasa malu pada anak
Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak,
walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya, ketika keluar kamar
mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Membiasakan anak perempuan sejak kecil
10

berbusana muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu
sekaligus mengajari anak tentang auratnya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak
perempuan
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan
mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya
perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi
yang berbeda yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam
telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga.
Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan
memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-
laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak
berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai
dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata: Rasulullah Saw. melaknat laki-laki
yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki (HR al-Bukhari).
3. Memisahkan tempat tidur mereka
Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang
pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir
tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan
tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang
eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan
orang tuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba
untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang
tuanya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya
yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya
tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu)
Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan
(kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat
subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara
ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat
11

orang dewasa banyak terbuka Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak,
mereka akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan etika yang luhur.
5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.
Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat
sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang
air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini, akan terbentuk pada diri anak
sikap hatihati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan
sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat
(Jatmikowati, 2015).
Menurut Mini seorang psikolog pendidikan, seks bagi anak wajib diberikan
orangtua sedini mungkin. Pendidikan seks wajib diberikan orangtua pada anaknya
sedini mungkin. Tepatnya dimulai saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun),
karena pada usia ini anak sudah dapat mengerti mengenai organ tubuh mereka dan
dapat pula dilanjutkan dengan pengenalan organ tubuh internal. Tidak ada cara
instan untuk mengajarkan seks pada anak kecuali melakukannya setahap demi
setahap sejak dini. Orangtua dapat mengajarkan anak mulai dari hal yang sederhana,
dan menjadikannya sebagai satu kebiasaan sehari-hari (Noeratih, 2016).
Pemahaman pendidikan seks di usia dini ini diharapkan anak agar anak dapat
memeroleh informasi yang tepat mengenai seks. Hal ini dikarenakan adanya media
lain yang dapat mengajari anak mengenai pendidikan seks, yaitu media informasi.
Dengan mengajarkan pendidikan seks pada anak, diharapkan dapat menghindarkan
anak dari risiko negatif perilaku seksual maupun perilaku menyimpang. Dengan
sendirinya anak diharapkan akan tahu mengenai seksualitas dan akibat-akibatnya bila
dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama, dan adat istiadat, serta dampak
penyakit yang bisa ditimbulkan dari penyimpangan tersebut.
6. Khitan bagi anak laki-laki
Khitan secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin
lelaki (penis). Khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota
tubuh yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis, dan bau yang tidak
sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit
yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit
12

tersebut. Setelah berkhitan, tidak ada kotoran yang bisa „bersembunyi‟ di kulup
penis sehingga alat kelamin anak terjaga kebersihannya.
7. Tanamkan rasa malu sedini mungkin
Menanamkan rasa malu sangat penting bagi anak. Ini tidak berarti kita mencetak
anak pemalu dan tidak berani tampil, namun yang diamksud malu di sini adalah malu
untuk berbuat seenaknya sendiri dan melanggar norma yang berlaku. Di sekeliling
kita masih marak anak-anak yang tidak diajarkan rasa malu oleh orang tuanya.
Alasan masih kecil, para orang tua memperbolehkan anaknya buang air kecil di
selokan depan rumah atau membiarkan anaknya telanjang keluar dari kamar mandi,
walaupun di sana ada tamu yang berkunjung, atau sang orang tua menemui tamunya
sambil menghanduki anaknya dan memakaikan celana atau bajunya. Bukankah aurat
anak juga harus ditutupi di hadapan orang lain? Biasakan anak bersikap sopan dalam
bersikap ataupun bertutur kata. Adakalanya kita sering menyaksikan anak-anak yang
minta pangku orang lain (lain jenis), bermanja-manja, berjoget atau duduk dengan
rok tersingkap. Peringatkan anak supaya rapi dan sopan dalam bersikap, termasuk
dalam hal duduk. Jaga aurat anak supaya tidak terbuka sehingga mengundang hasrat
orangorang yang mempunyai penyakit di hatinya. Menurut Ilmawati (dalam
Jatmikowati dkk, 2015:437) rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini.
Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain:
misalnya, ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya.
Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana muslimah menutup aurat juga
penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya
8. Beri tahu bagian tubuh yang boleh atau tidak boleh disentuh orang lain
Kita beri tahu aurat yang harus dijaga. Kita perkenalkan aurat anak sedini mungkin,
misalnya aurat anak laki-laki adalah antara pusar dan lututnya. Terangkan juga
bahwa paha termasuk aurat yang harus ditutup. Selain itu juga kita harus
menjelaskan aurat anak perempuan, yang meliputi seluruh badan, kecuali muka dan
telapak tangan. Kita juga memperkenalkan bagian tubuh yang tidak boleh disentuh
oleh siapapun dan merupakan milik pribadi si anak yang paling berharga. Bagian
tersebut adalah mulai dari bahu sampai ke lutut, apalagi alat kelamin anak tidak
boleh ada orang yang melihat atau menyentuhnya (Jatmikowati, 2015). Anak
seharusnya mengetahui bahwa tubuhnya merupakan miliknya dan tidak ada
13

seseorang pun dapat menyentuhnya tanpa ijin dari dirinya sendiri. Mulainya
membuka pembicaraan sejak dini tentang seksualitas dan “bagian tubuh yang
privasi”, dengan menggunakan nama yang sesuai dengan bagian tubuh genital dan
bagian tubuh lainnya akan membantu anak untuk mengerti. Anak seharusnya dapat
menolak dan berkata“TIDAK” dengan berani dan lantang pada kontak fisik yang
tidak sesuai, menghindar dari situasi yang tidak aman dan dapat mengadu pada
orang dewasa (Justicia, 2017).
9. Beri tahu jenis sentuhan yang pantas dan tidak pantas
Sejak masih kecil, anak jangan dibiasakan disentuh oleh lain jenis, misalnya untuk
berjabat tangan, memberikan ciumam kepada orang lain, minta dipangku, minta
digandeng, dan lain-lain. Hal ini perlu kita biasakan agar anak terbiasa dengan
adanya batasan dalam berinteraksi terhadap lain jenis. Anak-anak yang tidak terbiasa
disentuh orang lain, akan menjaga jarak dan menolak apabila akan disentuh orang
lain. Hal ini sebagai upaya protektif dimana anak akan lebih sukar dibujuk oleh
orang lain (Jatmikowati, 2015).
Adapun menurut Ratnasari (2016) memberikan penjelasan mengenai beberapa sikap
yang disarankan dalam berbicara dengan anak tentang seks.
a. Luangkan waktu untuk membuat dialog atau diskusi tentang seks dengan anak
b. Sikap terbuka, informatif, dan yakin atau tidak ragu-ragu
c. Siapkan materi dan penyampaian disesuaikan dengan usia anak
d. Gunakan media atau alat bantu konkret seperti boneka, gambar, binatang, untuk
memudahkan anak menyerap informasi.
e. Membekali diri dengan wawasan cukup untuk menjawab pertanyaan anak.
f. Menjawab pertanyaan dengan jujur dan dengan bahasa yang lebih halus.
g. Memberikan pendidikan seks pada anak sebaiknya anak mengenali bagian tubuh
dirinya sendiri dan jangan pernah mengeksplor tubuh orang lain.
h. Mendiskusikan kepada ahli atau psikolog apabila ada hal-hal yang masih ragu atau
bingung, terutama apabila terjadi hambatan dalam memberikan informasi.
i. Meyakinkan diri bahwa pendidikan seks pada anak adalah penting dan bermanfaat
(Ratnasari, 2016).
2.1.2.5 Perkembangan seksualitas anak usia dini
14

Perkembangan seksualitas anak merupakan bagian dari kehidupan anak yang perlu
memperoleh perhatian orang tua sejak usia dini. Sikap orang yang komitmen akan
membuat perkembangan seksual tumbuh secara wajar dan sehat. Sebaliknya sikap yang
salah akan membuat perkembangan seksual menjadi terganggu. Akibatnya muncul
berbagai penyimpangan yang tidak dikehendaki di kemudian hari. Sigmund Freud
mengemukakan bahwa kehidupan psikoseksual manusia dibagi dalam beberapa tahapan
perkembangan sebagai berikut:
a. Seksualitas infantile (masa anak-anak)
b. Seksualitas remaja
c. Seksualitas dewasa
d. Seksualitas senile (masa tua)
Secara kualitatif seksualitas infantile sangat berbeda dari seksualitas dewasa, dan
penyertaan perasaan yang diasosiasikan dengan seksualitas infantile sama sekali tidak
dapat dianalogikan dengan penyertaan perasaan dan impulse seksual seperti halnya
kehidupan seksual orang dewasa, walaupun kemudian Freud pun menekankan bahwa
perasaan seksual pada masa anak-anak memang ada, namun maknanya sangat berbeda
dari makna seksualitas pada orang dewasa. Dengan demikian seorang anak akan
mengalami tahapan berbeda dalam perkembangan seksualnya. Pada fase oral (usia 0-1,5
tahun); ditandai dengan kepuasan yang diperoleh melalui daeragh mulut atau oral, seperti
gerakan mengisap putting susu ibu saat lapar memberikan kenikmatan pada bagian-
bagian mulut dan bibir. Fase anal/anus (usia 1,5-3 tahun); kepuasan diperoleh anak
melalui daerah anusnya. Seperti gerakan menahan dan mengeluarkan faeces (kotoran)
menimbulkan rasa nikmat. Fase phallic/penis (usia 3,5 tahun) yaitu fase dimana
kesadaran akan perbedaan alat kelamin antara anak laki-laki dan anak perempuan
memberikan arti yang besar kepada kepribadian mereka. Fase genital (usia 6-10 tahun);
secara bersamaan menghadapi kompleks Elektra dan kompleks oedipus pada anak laki-
laki, keberhasilan mengatasi kompleks Elektra/Oedipus memberikan peluang bagi
perkembangan identitas seksual dan identitas gender yang sehat, sesuai hakekat kodrat
kelaki-lakian bagi anak laki-laki dan keperempuanan bagi anak perempuan, sehingga
mereka dapat melepaskan diri dari keterikatan abnormal dengan figure ayah/ibu, dan
mampu mendapatkan dan mencari pasangan lain jenis dilingkungan pergaulan diluar
rumah (Irsyad, 2019).
15

2.2 Penelitian Terkait/Keaslian Penelitian


Tabel 2.1 Penelitian Terkait

Keterangan Justicia, R., Nadar, W., 2017 Pandia, W.S.S.,


2017 Widyawati, Y &
Indriti, E., 2017

Topik Pandangan orang tua terkait Persepsi orang tua Sexual education
pendidikan seks untuk anak usia knowledge for early
Penelitian mengenai pendidikan childhood
dini seks untuk anak usia
dini

Desain Pendekatan kualitatif Deskriptif teknik survey Quasi- experimental

Variable Pendidikan seks dan Pendidikan seks anak Early childhood and
pandangan orang tua usia dini dan persepsi sexual education
orang tua knowledge

Orang tua yang memiliki Orang tua murid Parents and teachers
Subjek
anak usia dibawah enam
tahun
16

Tempat
Purwakarta Kelurahan
Margahayu Canada

Analisis Univariat Univariat Univariat

2.3 Kerangka Teori


Kerangka teori merupakan visualisasi hubungan antara berbagai variabel untuk
menjelaskan sebuah fenomena (Wibowo,2014). Hubungan antara berbagai variabel
digambarkan dengan lengkap dan menyeluruh dengan alur dan skema yang menjelaskan
sebab akibat suatu fenomena. Sumber pembuatan kerangka teori adalah dari paparan satu
atau lebih teori yang terdapat pada tinjauan pustaka.

Skema 2.1 Kerangka Teori

Pendidikan seksual pada Pendapat orang tua terhadap


anak usia dini pengenalan pendidikan seks
terhadap anak sejak usia
dini.

Respon orang tua memberi pendidikan seksual Melakukan perpanjangan


pada anak usia dini: survei tentang persepsi orang
tua terhadap pentingnya
1. Setuju pendidikan seks terhadap
2. Tidak setuju anak usia dini
17

: Diteliti

--------- : Tidak Diteliti

Sumber ; Kemenkes RI, 2019; Notoatmojo, 2010; Mubarok, W. I., et al, 2015; Yusuf, et
al, 2015.

2.4 Kerangka Konsep


Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta
variabelvariabel yang akan diukur (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan tinjauan
kepustakaan yang telah dibahas pada bab dua peneliti membuat kerangka konsep yang
berisi variabel-variabel yang akan diteliti.
Skema 2.2 Kerangka konsep teori

Variabel Independen Variabel Dependen

Pendidikan seksual pada Persepsi orang tua


anak usia dini 1. Setuju 50-100%
2. Tidak setuju >49%
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu dugaan pernyataan sementara terhadap rumusan masalah yang
harus di buktikan kebenaran nya melalui data yang terkumpul. ( Sugiono, 2017)
H°: Orang tua tidak setuju memberikan pendidikan seksual pada anak usia dini
Ha: Orang tua setuju untuk memberikan pendidikan seksual pada anak usia dini
18

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan desain penelitian bersifat
deskriptif. Penelitian deskriptif diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu
keadaan di dalam suatu komunitas atau masyarakat(Dharma, 2011). Penelitian deskriptif
yaitu penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan suatu kondisi atau keadaan yang
ada secara obyektif berdasarkan data-data yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan persepsi orang tua dalam memberikan pendidikan seksual pada anak
usia dini.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di daerah Pekanbaru Kabupaten Riau. Pengumpulan data dan
pengolahan data dimulai dari 1 April hingga 31 mei 2021.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek atau totalitas subjek penelitian yang dapat berupa
orang, benda, suatu hal yang di dalamnya dapat diperoleh dan atau dapat memberikan
informasi (data) penelitian. (Ismiyanto, 2021). Populasi dengan penelitian ini adalah
masyarakat umum Orang tua yang memiliki anak usia dini dibawah 6 tahun.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel yang bersedia untuk menjawab masalah penelitian merupakan bagian dari
populasi. Penentuan karakteristik sampel sangat membantu untuk mengurangi bias hasil
penelitian. Dan penelitian ini menggunakan kriteria inklusi dimana subjek penelitian
dapat mewakili sampel penelitian yang sudah memenuhi syarat sebagai sample (Hidayat,
2014). Dengan kriteria inklusi yakni :
1. Responden bersedia menjadi responden
2. Responden orang tua dan memiliki anak usia dibawah 6 tahun
3. Responden tinggal di kota Pekanbaru
4. Responden kooperatif, dapat membaca dan dapat mengisi kuisioner.
19

3.4 Besar Sampel


Berikut rumus Slovin dibawah ini (Nursalam,2011)
N
n= 2
1+ N ( d )
38
n= 2
1+ 38 ( 0,05 )
38
n=
1+ 0,095
112
n=
1,095
n = 34,70 dibulatkan 35
Berdasrkan rumus Slovin maka besar sampel yang didapatkan adalah 34,70 = 35 orang,
sehingga pada penelitian ini setidaknya penulis harus mengambil data dari sampel
sekurang-kurangnya sejumlah 35 orang.
keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat akurasi 5% = 0,05

3.5 Teknik Sampling


Teknik sampling adalah teknik atau metode untuk memilih dan mengambil unsur-unsur
atau anggota-anggota dari populasi untuk digunakan sebagai sampel secara representative
(Hayati, R., 2019). Teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti pada penelitian
ini menggunakan metode penarikan sampel nonprobability sampling dengan teknik
sampel terpilih (purposive sample) sering pula disebut dengan judgmental sampling dapat
didefinisikan sebagai tipe penarikan sampel nonprobabilitas yang mana unit yang hendak
diamati atau diteliti dipilih berdasarkan pertimbangan peneliti dalam hal unit yang mana
dianggap paling bermanfaat dan representative.
20

3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


3.6.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek, atau kegiatan yang
mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2021). Dalam penelitian ini pendidikan seksual sebagai
variabel independen, persepsi orang tua sebagai variabel dependen.
3.6.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan
cara memberikan arti, atau menspesifikasi kegiatan, ataupun memberikan suatu
operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Definisi operasional yang
dibuat dapat berbentuk definisi operasional yang diukur, ataupun definisi operasional
eksperimental (Mustafa, P.S., dkk, 2020).
3.9 Pengolahan data
Dalam proses pengolahan data ini ada beberapa tahapan yang dilakukan, berikut
tahapan tersebut :
1. Editing
Setelah kuisioner diisi oleh responden, kemudian dikumpulkan oleh peneliti,
selanjutnya peneliti akan memeriksa kelengkapan dan kejelasan isi dari kuisioner.
Kuisioner yang tidak lengkap dan tidak jelas dikembalikan kepada responden untuk
diisi dengan lengkap dan jelas.
2. Coding
Coding adalah proses penyusunan data mentah secara sistematis kedalam mesin
pengolahan data agar mempermudah untuk dibaca dalam bentuk penomoran.
Peneliti memberi kode pada karakteristik responden jenis kelamin dengan kode
(laki-laki = 1), (perempuan = 2).

3. Entry
Setelah data dikumpulkan peneliti melakukan entry data untuk diolah kedalam
analisi data. Peneliti melakukan entry data dengan memasukkan data-data yang di
dapat pada kuisioner ke dalam program computer untuk memudahkan dalam
21

pengolahan data selanjutnya. Apabila semua data telah di entry selanjutnya


melakukan transformasi pada data karakteristik responden, variavel independen dan
dependen.
4. Cleaning
Kemudian peneliti melakukan pemeriksaan kembali data yang telah dimasukkan
kedalam program computer. Setelah dilakukan pemeriksaan pada data peneliti tidak
dapat menemukan data yang salah saat memasukkan data dan menemukan data
yang tidak lengkap.
5. Pengolahan data (processing)
Apabila data yang telah dimasukkan tidak ditemukan kesalahan, maka peneliti
selanjutnya memproses data dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan
variabelnya. Setelah itu peneliti mengolah data dengan menggunakan program
computer.
3.10 Analisa data
Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif dan analitik yang disusun berdasarkan
hasil kuisioner dan tabel checklist.
1. Analisa Univariat
Analisis univariat adalah analisa satu variabel yang meliputi deskripsi, ciri-ciri dan
karakteristik variabel. Penyajian analisis univariat dilakukan dengan penyajian tabel
frekuensi, ukuran pemusatan dan ukuran penyebaran. Tujuan analisis univariat
adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel
penelitian (Notoadmodjo, 2010). Analisis univariat dilakukan pada data usia, jenis
kelamin, status perkawinan, dan pendidikan.
2. Analisa Bivariat
Setelah dilakukan analisis univariat maka untuk mengetahui hubungan dua variable
perlu dilakukan analisis bivariate. Analisis bivariate dalam penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui hubungan variabel independen (Pendidikan seksual) dan variabel
dependen (persepsi orang tua).
3.11 Etika penelitian
Masalah etika yang harus dimonitorkan adalah sebagai berikut :
1. Informed consent
22

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang telah ditentukan sebagai
subjek pada penelitian, serta di dalam lembar persetujuan ini telah terdapat maksud
dan tujuan dalam penelitian yang dilakukan peneliti, dan peneliti juga akan
menjelaskan secara rinci dari penelitian ini. Setelah responden bersedia maka akan
dilanjutkan dengan mengisi kuisioner yang diberikan oleh peneliti.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Suatu masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian
dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar
alat ukur dan hanya mencantumkan kode. Dalam penelitian ini, peneliti akan
menjaga kerahasiaan responden. Responden hanya menulis inisial tanpa nama
lengkap di lembar persetujuan, ini adalah salah satu etik untuk melindungi hak-hak
dan kerahasiaan responden.
3. Kerahasiaan Subjek (Confidentiality)
Responden memiliki hak penuh akan kerahasiaan data yang ia berikan kepada
peneliti, oleh sebab itu responden hanya perlu menulis inisial tanpa nama panjang
dan bersifat rahasia. Semua data yang telah diberikan oleh responden kepada
peneliti akan dikumpulkan dan hanya akan digunakan untuk keperntingan
penelitian sebagai hasil riset.
4. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan mengandung makna bahwa dalam penelitian ini memberikan
keuntungan, beban dan perlakuan yang sama kepada semua responden. Dan peneliti
harus memperlakukan responden sama rata tanpa ada perbedaan satu dengan yang
lain.
5. Memperhitungkan Manfaat dan Kerugian
Prinsip ini berarti bahwa setiap penelitian harus memperhatikan kepentingan
terbaik dari populasi dan subjek yang akan di aplikasikan hasil penelitiannya, dan
meminimalisir dampak buruk pada subjek penelitian.
23

DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, A. (2015). Perilaku Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Usia Dini Pada
Anak Pra Sekolah (Studi Deskriptif Eksploratif Di Tk It Bina Insani Kota
Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-Journal), 3(1), 619–628. Retrieved
from https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/11555

Budhi, J. S., & E-mail, B. (2016). PROGRAM UNDERWEAR RULES UNTUK


MENCEGAH Universitas Pendidikan Indonesia Masa dini sering penyerapan
informasi yang sangat proses Komnas tersebut jauh melebihi kenyataannya. Jurnal
Pendidikan Usia Dini, 9(2), 217–232.

Irsyad, M. (2019). Pendidikan PENDIDIKAN SEKS UNTUK ANAK USIA DINI.


Elementary: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 5(1), 73.
https://doi.org/10.32332/elementary.v5i1.1374

Jatmikowati. (2015). a Model and Material of Sex Education for Early-Aged-Children.


Cakrawala Pendidikan, No. 03, 434–448.

Justicia, R. (2017). Pandangan Orang Tua Terkait Pendidikan Seks Untuk Anak Usia
Dini. Early Childhood : Jurnal Pendidikan, 1(2), 28–37.
https://doi.org/10.35568/earlychildhood.v1i2.121

Latipah. E. 2017. Psikologi Dasar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai