Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENYULUHAN PSIKIATRI

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP GANGGUAN MENTAL EMOSI


PADA ANAK

Oleh :

Natasha Hana Savitri 011923143085

Adinda Sandya Poernomo 011923143086

Fabilla Faiz Arifin 011923143088

Ifan Ali Wafa 011923143089

Nando Reza Pratama 011923143090

Hidtsa Aqila Noor Arasyi 011923143181

Pembimbing :

Yunias Setyawati, dr., SpKJ(K)

DEPARTEMEN / SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usia prasekolah merupakan periode emas tumbuh kembang anak (Hurlock, 1995). Para
ahli berpendapat bahwa perkembangan kecerdasan anak berkembang cepat pada tahun-tahun
awal kehidupan anak. Pada usia inilah perkembangan anak terjadi dengan pesatnya, termasuk
kecerdasan emosional anak. Perkembangan mental emosional bagi usia prasekolah
merupakan perkembangan dasar karena potensi otak anak dalam masa ini akan
mempengaruhi kejiwaan anak (Prastito, 2010).
Pembentukan kecerdasan emosional pada anak ditentukan oleh dua faktor, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak
adalah jasmani dan psikologi anak, sedangkan faktor eksternal berupa stimulus dan
lingkungan, termasuk didalamnya adalah pola asuh orangtua.
Ada beberapa jenis gangguan mental dan emosi pada anak yaitu depresi, kesedihan, post
traumatic stress disorder (PTSD), attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan
gangguan antisosial. Yang perlu diperhatikan adalah akibat dari terabaikannya gangguan
mental dan emosional pada anak. Manifestasi dari gejala gangguan mental dan emosional
mulai dari penurunan prestasi belajar sampai berkembangnya pribadi antisosial (Garfinkel
dkk., 1990).
Pola asuh orangtua memiliki pengaruh yang kuat bagi perkembangan emosi anak.
Orangtua memiliki hubungan yang dekat dan waktu yang relatif lama dalam bersosialisasi
dengan anak, sehingga kemampuan orangtua dalam memberikan rangsangan atau stimulus
mempengaruhi kondisi emosi anak (Isfandari & Suhardi, 1997). Sikap, perilaku, dan
kebiasaan orangtua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anak, secara sadar atau tidak sadar
akan diresapi kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak. Hal ini akan berpengaruh
terhadap perkembangan anak (Sudjud dan Endarwati, 2019).
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mendalami mengenai hubungan antara pola
asuh dengan gangguan mental dan emosi anak. Dengan memahami mengenai hubungan
antara pola asuh dengan gangguan mental dan emosi anak diharapkan dapat melakukan
langkah intervensi selanjutnya berupa psikoterapi dan psikoedukasi kepada penderita serta
melakukan edukasi kepada masyarakat awam.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang ditetapkan antara lain:
 Apakah definisi dari pola asuh?
 Apa saja jenis – jenis pola asuh pada anak?
 Bagaimana tahap perkembangan psikologis pada anak?
 Apa saja jenis gangguan mental dan emosi pada anak?
 Bagaimana ciri anak yang memiliki gangguan mental dan emosi?
 Bagaimana hubungan antara pola asuh orang tua dengan gangguan mental dan emosi
anak?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini antara lain:
 Mengetahui definisi dari pola asuh
 Mengetahui jenis – jenis pola asuh pada anak
 Mengetahui tahap perkembangan psikologis pada anak
 Mengetahui jenis gangguan mental dan emosi pada anak
 Mengetahui ciri anak yang memiliki gangguan mental dan emosi
 Mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan gangguan mental dan emosi
anak

1.4 Manfaat
Diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat dalam memberi pengetahuan kepada
dokter muda mengenai hubungan antara pola asuh dengan gangguan mental dan emosi anak
serta mampu memberi edukasi kepada masyarakat awam mengenai pola asuh yang baik bagi
kesehatan mental dan emosi anak

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pola Asuh

Orang tua memiliki peran yang berpengaruh dalam membentuk perilaku anak (Sarwar,
2016). Pola asuh orang tua terdiri dari perilaku pengasuhan yang berupa mengendalikan,
mengelola, atau mengatur perilaku anak, baik melalui penegakan tuntutan dan aturan, strategi
disiplin, kontrol dari hadiah dan hukuman (reward and punishment), dan melakukan fungsi
pengawasan (Kuppens dan Ceulemans, 2019). Baumrind, seorang psikolog klinis
mengidentifikasi tiga gaya pengasuhan berdasarkan tuntutan orang tua dan responsif, yang
meliputi pengasuhan yang otoritatif, pengasuhan yang otoriter, dan pengasuhan yang permisif
(Sarwar, 2016).

Pola asuh adalah pola untuk membesarkan anak yang terbentuk dari interaksi normal
orang tua dan respons mereka terhadap perilaku anak-anak. Sebagai contoh, orang tua yang
agresif akan melakukan pembatasan yang ketat dan berat terhadap anaknya. Hal ini dapat
berdampak pada sikap agresi yang juga muncul pada anak-anak. Dengan demikian, gaya
pengasuhan adalah komponen dasar dalam evolusi dan mengasuh anak dan sebagai konteks
untuk banyak aspek kepribadian, psikologis, sikap, perasaan, dan kebiasaan orang (Arman, dkk.,
2018). Penelitian menunjukkan anak-anak sangat bergantung pada orang tua terutama perihal
dukungan, kasih sayang, dan perhatian (Hanafi dan Thabet, 2018).

Orang tua merupakan pendidik pertama bagi anak-anak, karena dari merekalah anak
mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya, serta menjadi dasar bagi perkembangan dan
kehidupan anak dikemudian hari. Model perilaku orang tua secara langsung maupun tidak
langsung akan dipelajari dan ditiru oleh anak. Bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam
kehidupan keluarga, sehingga keluarga merupakan awal dari pengasahan mental emosional anak
(Suwanti dan Suidah, no date).

2.2 Jenis-Jenis Pola Asuh


Baumrind membagi gaya pengasuhan anak menjadi otoritatif, otoriter, dan permisif.

 Otoritatif
Otoritatif adalah kombinasi dari tuntutan dan rasa tanggung jawab. Para orang tua akan
membuatn tuntutan yang logis, menetapkan batasan, dan menuntut kepatuham anak.
Namun, kepribadian mereka sangat hangat, menerima sudut pandang anak, dan
mendorong partisipasi anak dalam pengambilan keputusan dan sering mencari pandangan
anak dalam pertimbangan dan keputusan keluarga. Tipe orang tua ini memantau dan
mendisiplinkan anak-anak mereka secara adil, sementara pada saat yang sama sangat
mendukung (Bibi, dkk., 2013).

Gaya pengasuhan yang otoritatif berpengaruh dalam perkembangan remaja yang sehat
secara psikologis dan sosial. Pola asuh ini membantu anak untuk mengembangkan tingkat
kemandirian yang lebih tinggi (Sarwar, 2016).
 Permisif
Orang tua permisif berusaha berperilaku dengan cara yang menerima, tegas dan tidak
menghukum pada tindakan dan keinginan anak-anak mereka. Mempertimbangkan
definisi yang dikemukakan oleh Baumrind bahwa gaya pengasuhan ini cenderung
memiliki tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi, itu menyiratkan bahwa orang tua
yang responsif lebih cenderung untuk menentukan aturan yang terkait dengan keluarga,
sementara mendorong remaja untuk menganggapnya sebagai sumber daya (Johnson &
Kelley, 2011). Menurut Hoskins (2014), orang tua permisif dapat ditandai sebagai
menunjukkan tingkat rendahnya tuntutan dan tingkat tanggung jawab yang tinggi.
Mereka berperilaku dengan cara yang lebih tegas terhadap impuls, tindakan dan
keinginan remaja saat berkonsultasi dengan mereka tentang keputusan keluarga. Selain
itu, mereka cenderung menghindari keterlibatan dalam kontrol perilaku, tidak
menetapkan aturan dan menetapkan sejumlah kecil harapan perilaku untuk anaknya
(Sarwar, 2016).

Mereka memberi anak-anak tingkat kebebasan yang tinggi dan tidak menahan perilaku
mereka kecuali terlibat secara fisik. Pola asuh yang permisif mengungkapkan pendekatan
yang terlalu toleran untuk sosialisasi dengan perilaku pengasuhan yang responsif dan
tidak menuntut. Orang tua ini mengasuh dan menerima, tetapi pada saat yang sama
mereka menghindari memaksakan tuntutan dan kontrol atas perilaku anak. Mereka sering
memandang anak-anak mereka sebagai teman dan memiliki beberapa batasan yang
diberlakukan (Bibi, dkk., 2013).
 Otoriter
Gaya pengasuhan orang tua yang otoriter menuntut dan tidak bertanggungjawab. Mereka
terlibat dalam sedikit interaksi timbal balik dengan anak-anak dan berharap mereka
menerima tuntutan orang dewasa tanpa pertanyaan. Teknik sosialisasi yang tegas
digunakan oleh orang tua yang otoriter dan menahan ekspresi dan kemandirian anak.
Orang tua yang otoriter cenderung untuk menetapkan standar dan pedoman yang tinggi
dan kepatuhan diperlukan. Orang tua yang otoriter menghubungkan cinta dengan
kesuksesan dan tidak mengasuh seperti dua gaya pengasuhan lainnya (Bibi, dkk., 2013)

Orang tua yang otoriter berupaya mengevaluasi, membentuk, dan mengendalikan sikap
serta perilaku anak-anak mereka sesuai dengan standar perilaku yang ditetapkan.
Mengingat standar absolut ini, anak-anak seharusnya mengikuti aturan yang sangat ketat
yang ditentukan oleh orang tua mereka. Jika anak-anak gagal mematuhi aturan seperti itu,
mereka dihukum. Cherry (2015) menunjukkan bahwa orang tua otoriter biasanya gagal
memunculkan alasan di balik aturan tersebut (Sarwar, 2016).

2.3 Tahap Perkembangan Psikologis


 Tahap 1 Trust vs Mistrust (kepercayaan vs kecurigaan)

Kepercayaan dasar terbentuk pada masa bayi terhadap ibu (pengasuh) yang ditunjukkan
dengan kenyamanan selama dalam pengasuhan, baik ketika tidur, makan, maupun bermain.
Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi
berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Bayi belajar untuk percaya pada orang
dewasa di sekitarnya dan menjadi dasar baginya untuk mempercayai dirinya sendiri.

 Tahap 2 Otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu.

Anak cenderung aktif dalam segala hal. Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi
yang menuntut kemandirian dalam melakukan pilihan. Rasa mampu mengendalikan diri
membuat anak memiliki kemauan yang baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya,
pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan
kehilangan kontrol diri sehingga menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu dalam bertindak
yang juga bersifat menetap.

 Tahap 3 Inisiatif vs kesalahan

Tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab dengan
berinteraksi dengan lingkungan. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih
seimbang secara fisik maupun kejiwaan yang memunculkan rasa  ingin tahu terhadap segala hal
yang dilihatnya. Akan tetapi bila anak-anak pada masa ini mendapatkan pola asuh yang salah,
mereka cenderung merasa bersalah dan akhirnya hanya berdiam diri. Keterasingan batin timbul
karena suatu perasaan bersalah dan sifat ini menetap hingga dewasa.

 Tahap 4 Kerajinan vs inferioritas

Pada Tahapan Perkembangan Psikososial Eric Erikson ini, individu diharapkan mulai
menempuh pendidikan formal. Orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi
perhatian, teman harus menerima kehadirannya. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa
mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang
dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtua. Anak dapat mengembangkan sikap rajin,
jika anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (infieoritas), anak dapat
mengembangkan sikap rendah diri.

 Tahap 5 Identitas vs kekacauan identitas

Individu mulai mencari siapa dirinya, namun sudah siap untuk memasuki suatu peranan yang
berarti di tengah masyarakat. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan
mengintegrasikan bakat-bakat dan ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang
sependapat dalam lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman
dan kecemasan. Apabila terjadi krisis identitas, membentuk bentuk suatu identitas yang stabil
atau sebaliknya akan kekacauan peranan. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya
bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Namun
sebaliknya, jika remaja bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul
kekacauan identitas pada diri remaja tersebut.

 Tahap 6 Keintiman vs isolasi


Dalam Tahapan Perkembangan Psikososial Eric Erikson ini, individul memiliki keinginan
dan kesiapan untuk menyatukan identitasnya dengan orang lain, dan diistilahkan dengan kata
cinta. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang
untuk dicintai dan diajak mengadakan hubungan seksual. Apabila hal tersebut tidak dapat
dilakukan maka ada kecenderungan mengalami masalah intimasi yaitu isolasi.

 Tahap 7 Generatifitas vs stagnasi

Tugas yang harus dicapai dalam tahapan ini adalah dapat mengabdikan diri guna mencapai
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generatifitas) dengan tidak melakukan apa-apa
(stagnasi). Individu menaruh perhatian perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan,
produk, ide serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang.
Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan
mengalami stagnasi.

 Tahap 8 Integritas vs keputusasaan

Tahap ini merupakan tahap terakhir, dimana individu berhasil menyesuaikan diri dengan
keberhasilan dan kegagalan dalam hidup. Apabila individu mengalami kegagalan dalam
menyesuaikan diri, maka yang terbentuk adalah keputusasaan. Keputusasaan dalam menghadapi
perubahan siklus kehidupan. Dalam tahapan ini berkembang pula kebijaksanaan, yaitu nilai yang
berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan (McLeod, 2018).

2.4 Gangguan mental pada anak beserta cirinya

Gangguan mental pada anak merupakan suatu perubahan yang serius pada cara anak
bertingkah laku, belajar, atau mengatur emosi mereka (CDC, 2019). Hal ini dapat menimbulkan
banyak masalah pada kehidupan sehari-hari anak. Menurut PPDGJ-III, jenis gangguan perilaku
dan emosional pada anak meliputi:

1.Gangguan Hiperkinetik
Reaksi hiperkinetik ditandai dengan aktivitas yang berlebihan, kegelisahan, perhatian
yang mudah dialihkan, dan daya konsentrasi yang kurang. Anak hiperkinetik hampir selalu
bergerak kesana kesini dan melakukan hal hal yang mengkhawatirkan orang tua. Anak
hiperkinetik dapat bereaksi berdasarkan rangsangan dan emosi yang berlebihan, ia sering labil,
impulsif, dan mudah mengalami kecelakaan. Gangguan hiperkinetik bisa disebabkan oleh
perlakuan orang tua terhadapnya (tidak sabar, tekanan, hukuman, celaan, dst) karena mereka
tidak mengerti perilaku anak tersebut (Maramis dan Maramis, 2009)

Ciri utamanya ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Kedua ciri tersebut
haruslah nyata dan ada pada lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, di kelas, dan di klinik).
Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu cepat dihentikannya tugas dan meninggalkan
kegiatan sebelum tugas selesai. Anak-anak ini sering beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain,
mereka kehilangan minatnya terhadap suatu tugas yang satu, karena perhatiannya tertarik kepada
kegiatan lainnya. Tolak ukur penilaian pada gangguan hiperkinetik ini adalah apabila respon
anak berlebihan pada suatu aktivitas dibandingkan dengan anak-anak lain yang sama umur dan
nilai IQ-nya (Maslim, 2013).

2. Gangguan Tingkah Laku

Linda De Clerg (1994) mengemukakan bahwa istilah gangguan tingkah laku atau conduct
disorder mengacu pada pola perilaku antisosial yang bertahan yang melanggar hakhak orang lain
dan norma susila (Rehani, 2012). Gangguan tingkah laku memiliki ciri khas dengan adanya
suatu pola tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap. Contoh
perilaku yang dapat menjadi dasar dalam pengambilan diagnosis ini adalah apabila anak
mengikuti perkelahian atau menggertak secara berlebihan, kejam terhadap hawan atau sesama
manusia, perusakan yang hebat barang milik orang lain, membakar, mencuri, sangat sering
meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak biaa, perilaku provokatif yang menyimpan, dan
sikap menentang yang berat serta menetap. Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah
laku seperti di atas berlanjut selama 6 bulan atau lebih (Maslim, 2013).

3. Gangguan Campuran Tingkah Laku dan Emosi

Kelompok gangguan ini memiliki ciri khas adanya gabungan perilaku agresif, dissosial,
atau menentang yang menetap dengan gejala yang nyata dari depresi, anxietas, atau gangguan
emosional lainnya. Gangguan ini harus cukup berat untuk dapat memenuhi kriteria gangguan
tingkah laku pada masa kanak dan gangguan emosional pada masa kanak atau gangguan neurotik
pada masa dewasa atau gangguan suasana perasaan (Maslim, 2013).

4. Gangguan Emosional dengan Onset Khas pada Kanak

Gangguan emosional dengan onset khas pada masa kanak dapat dibagi menjadi beberapa
subdiagnosis lain yaitu gangguan anxietas perpisahan, gangguan anxietas fobik pada masa
kanak, gangguan anxietas sosial, dan gangguan persaingan antar saudara.

Gangguan anxietas perpisahan memiliki ciri diagnostik yaitu kekhawatiran yang


berlebihan terkait dengan perpisahan dari tokoh yang akrab hubungannya dengan si anak tidak
sepert anxietas umum yang khawatir pada anek situasi. Anxietas ini dpat berbentuk kekhawairan
yang tidak realistik kalau-kalau ada peristiwa buruk yang terjadi pada si anak ataupun tokoh
akrabnya sehingga dapat memisahkan mereka, berulang mimpi buruk, merasa susah saat akan
berpisah, dan sebagainya. Diagnosis ini memiliki syarat yaitu tidak adanya gangguan umum pada
perkembangan fungsi kepribadiannya (Maslim, 2013).

Gangguan anxietas fobik pada masa kanak adalah rasa takut yang khas pada suatu benda
yang jelas dan hanya terjadi pada suatu fase perkembangan yang spesifik pada anak. Selanjutnya
adalah gangguan anxietas sosial pada masa kanak. Anak dengan gangguan ini senantiasa
mengalami rasa waswas dan takut serta menghidari orang yang tidak dikenal. Rasa takut ini bisa
muncul baik kepada teman sebaya maupun orang dewasa (Maslim, 2013).

Gangguan persaingan antar saudara biasanya memiliki ciri khas terdapat bukti adanya
rasa persaingan dan atau iri hati terhadap saudara, onset selama beberapa bulan setelah adik
lahir, dan gangguan emosional melampaui taraf normal dan/atau berkelanjutan serta
berhubungan dengan masalah psikososial (Maslim, 2013).

5. Gangguan Fungsi Sosial pada Masa Kanak dan Remaja

Gangguan fungsi sosial pada masa kanak dan remaja ini dibagi jadi beberapa gangguan.
Pertama gangguan mutism elektif. Gangguan ini memiliki ciri khas untuk selektifitas yang
ditentukan secara emosional dalam hal berbicara. Syarat diagnosis ini adalah anak mengerti
bahasa yang normal atau hampir normal, tingkat kemampuan yang cukup untuk komunikasi
sosial, serta bukti nyata bahwa anak dapat bertutur kata dengan normal atau hampir normal
dalam situasi tertentu. Kedua, gangguan kelekatan reaktif. Pada gangguan ini anak tidak dapat
menjalani ikatan sehat dengan pengasuhnya sebelum anak mencapai usia 5 tahun. Gangguan ini
hampir selalu timbul berkaitan dengan pengasuhan anak yang sangat kurang memadai.
Berkebalikan dengan gangguan kelekatan tak terkendali, pada gangguan ini memiliki perangai
ramah pada semua orang dan memiliki perilaku menarik perhatian. Biasanya anak ini akan sulit
membangun hubungan akrab dan saling percaya pada teman sebayanya. Kebanyakan anak
seperti ini memiliki riwayat berganti-ganti pengasuh atau berpindah-pindah keluarga (Maslim,
2013).

6. Gangguan Tik

Tik adalah gerakan motorik yang tidak dibawah pengendalian, berlangsung cepat,
berulang-ulang, tidak berirama, ataupun suatu hasil vokal yang timbul mendadak dan tidak ada
tujuan yang nyata. Ciri khas terpentng yang membedakan tic dari gangguan motorik lainnya
ialah geakan yang mendaak, cepat, sekejab, dan terbata gerakan, tanpa bukti gangguan
neurologis yang mendasari. Biasanya gangguan ini akan berhenti saat tidur dan mudah ditekan
atau ditimbulkan kembali dengan kemauan (Maslim, 2013).
BAB III

KESIMPULAN

Pola asuh orang tua terdiri dari perilaku pengasuhan yang berupa mengendalikan,
mengelola, atau mengatur perilaku anak, baik melalui penegakan tuntutan dan aturan, strategi
disiplin, kontrol dari hadiah dan hukuman (reward and punishment), dan melakukan fungsi
pengawasan. Terdapat tiga pola asuh pada anak, yaitu autoritatif, otoriter, dan permisif. Dalam
perkembangannya, psikologis manusia mengalami delapan fase menurut usianya, yaitu basic
trust saat bayi, autonomy saat usia balita, initiative saat usia pra sekolah, industry saat usia
sekolah, identity saat remaja, intimacy saat dewasa muda, generativity saat usia dewasa, dan ego-
integrity saat usia tua. Pola asuh anak membawa pengaruh pada sifat anak. Pola asuh pesimis
dapat membuat anak memiliki sifat suka memberontak, mendominasi, kurang percaya diri, dan
sulit mengendalikan diri. Pola asuh otoriter dapat membuat anak memiliki sifat takut salah, sulit
mengambil keputusan, dan cenderung pendiam. Pola asuh autoritatif adalah pola asuh yang
direkomendasikan karena berdampak pada pola asuh anak seperti memiliki keterampilan sosial
yang baik, lebih percaya diri, dan mudah bekerja sama dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Arman, S., Salimi, H., & Maracy, M. R. (2018). Parenting Styles and Psychiatric Disorders in
Children of Bipolar Parents. Advanced biomedical research, 7, 147.
https://doi.org/10.4103/abr.abr_131_18

Bibi, F., Chaudhry, A.G., Awan, E.A., & Tariq, B., (2013). Contribution of Parenting Style in
life domain of Children. Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS).
https://pdfs.semanticscholar.org/0565/0fe6ba5dbd19a1756a1156af3d38770aad11.pdf

Centers for Disease Control and Prevention. 2019. Children's Mental Disorders | CDC. [online]
Available at: <https://www.cdc.gov/childrensmentalhealth/symptoms.html> [Accessed 16
March 2020].

Garfinkel, Carlson, Weller. (1990). Psychiatric Disorders in Children and Adolescents. Saunders
Co. Philadelphia.
Hanafi, H., & Thabet, A.A.M., (2018). The Relationship between Parenting Styles and Mental
Health Problems among Preschool Children Living in Gaza Strip.
https://www.ecronicon.com/ecpp/pdf/ECPP-07-00268.pdf

Hurlock, E. B.(1995). Perkembangan anak. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Isfandari, S & Suhardi. (1997). e-journal Litbang. Gejala gangguan mental emosional pada anak. pusat
penelitian penyakit tidak menular,. http://ejournal.litbang.depkes.go.id.

Kuppens, S., & Ceulemans, E. (2019). Parenting Styles: A Closer Look at a Well-Known
Concept. Journal of child and family studies, 28(1), 168–181.
https://doi.org/10.1007/s10826-018-1242-x

Maramis, W. and Maramis, A., 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2nd ed. Surabaya: Airlangga
University Press.

Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unik Atma Jaya

McLeod, Saul. (2018). Erik Erikson's Stages of Psychosocial Development.


https://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html

Sarwar, Samiullah. (2016). Influence of Parenting Style on Children’s Behaviour. Journal of


Education and Educational Development. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1161470.pdf

Rehani, 2012. GANGGUAN TINGKAH LAKU PADA ANAK. Al-Ta lim, 19(3), p.201.

Suwanti, I., & Suidah, H., (no date). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Mental Emosional
Pada Anak Usia Prasekolah (4-6 tahun).
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/55781083/38-43-1-SM.pdf?response-
content-disposition=inline%3B%20filename
%3DHUBUNGAN_POLA_ASUH_ORANG_TUA_DENGAN_MENT.pdf&X-Amz-Algorithm=AWS4-
HMAC-SHA256&X-Amz-Credential=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A%2F20200316%2Fus-east-
1%2Fs3%2Faws4_request&X-Amz-Date=20200316T091932Z&X-Amz-Expires=3600&X-Amz-
SignedHeaders=host&X-Amz-
Signature=ff721b926b7e260ea788f5207a888fb4d789259871c731e246825408b47b8844

Anda mungkin juga menyukai