Anda di halaman 1dari 38

PENGARUH POLA ASUH OTORITER TERHADAP KESEHATAN MENTAL REMAJA

DI DESA BUKIT GAJAH KECAMATAN UKUI KABUPATEN PELALAWAN

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri


Sultan Syarif Kasim Riau Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Strata (S1) Sosial (S.Sos)

Oleh :
WINDI ISA AGUSTINA PUTRI
11840220903

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1443 H / 2022 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam sebuah keluarga hadirnya seorang anak adalah moment yang ditunggu-
tunggu bagi setiap pasangan dan keluarga. Kelahiran seorang anak tentu akan membawa
kebahagiaan bagi orang tua.. Orang tua memiliki peranan penting dalam membesarkan
anak, namun panggilan ibu atau ayah dapat diberikan pada perempuan ataupun pria yang
bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang, yang dapat mengisi peranan tersebut.
Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa “ orang tua merupakan ayah
dan ibu kandung”.1 Selanjutnya H.M Arifin juga mengatakan bahwa “Orang tua menjadi
kepala keluarga”.2 Orang tua merupakan pendidik utama bagi anak-anak mereka,
sehingga orang tua memegang peranan yang amat penting dan bertanggung jawab penuh
dalam tumbuh kembang anak secara keseluruhan sejak anak masih kecil hingga dewasa.
Sehingga orang tua memiliki peran untuk dapat memenuhu segala kebutuhan anak. John
Locke mengemukakan bahwa, posisi yang pertama dalam mendidik seorang individu
terletak pada keluarga. Melalui konsep tabula rasa John Locke menjelaskan bahwa
individu ibarat sebuah kertas kosong yang bentuk dan coraknya tergantung pada
bagaimana orang tua mengisi kertas kosong tersebut sedari bayi.
Tentunya setiap orang tua memiliki caranya sendiri dalam mengasuh anak
mereka, dengan kata lain sebagai pola asuh. Menurut pendapat Casmini (dalam Palupi,
2007:3) Pola asuh memiliki arti yaitu bagaimana cara orang tua memperlakukan anak,
mendidik, membimbing, mendisiplinkan, serta melindungi anak, untuk mencapai proses
pendewasaan, sampai upaya pembentukan norma yang diharapkan masayrakat pada
umumnya.3 Pola asuh juga dapat disebut sebagai gaya pengasuhan. Gaya pengasuhan
merupakan suatu pola perilaku orang tua yang paling menonjol atau paling dominan

1
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1990,
h.629
2
H.M Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan
Bintang, Jakarta, 1987 h.74
3
Imam Sibawaih , Anita Tri Rahayu2. Analisis Pola Asuh Orangtua Terhadap Gaya Belajar Siswa Di
Sekolah Menengah Atas Kharismawita Jakarta Selatan. Research and Development Journal Of Education. Vol 3,
No. 2 April 2017
dalam mendidik anaknya sehari-hari.4 untuk anak mereaka. “Pola asuh merupakan cara
orang tua mengasuh anaknya, untuk membantu dan membimbing mereka supaya hidup
mandiri’.5
Saat orang tua mengasuh anaknya, mereka dipengaruhi oleh budaya yang ada
dalam lingkungannnya. Selain itu, orang tua juga memiliki sikap tertentu dalam
mengasuh, membimbing, serta mengarahkan anak-anaknya. Sikap ini terlihat dalam pola
pengasuhan pada anaknya yang berbeda, karena pada setiap orang tua memiliki pola asuh
tertentu yang berbeda pula. Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan
anaknya. selama dalam proses pengasuhan orang tua inilah memiliki peranan penting
dalam pembentukan kesehatan mental anak.
Dalam pengasuhan anak, ada orang tua yang bersifat keras (otoriter), yang artinya
orang tua akan merasa berkuasa dalam rumah tangga, sehingga segala tindakannya
terlihat keras, kata-katanyayang tajam kepada anak-anak dan banyak memerintah sesuai
dengan keinginannya, kurang mendengarkan keluhan dan usul dari anak-anaknya. Tentu
saja dengan sikap orang tua yang demikian akan menyebabkan anak menjadi, penakut,
daya kreatif tidak berkembang, apatis, dan gugup. Selanjutnya sikap apatis yang berasal
dari pengasuhan yang bersifat otoriter ini, akan mengakibatkan anak menjadi penggugup,
pendiam, mengucilkan diri sendiri, dan suka menentang, susah untuk dapat bergaul
dengan orang lain sehingga membawa dampak yang kurang baik dalam penyesuaian
sosial.6
Namun, pola asuh otoriter akan berdampak positif. Jika, misalnya anak dapat
berperilaku lebih baik dan lebih mudah diatur, disiplin, dan cenderung tidak melakukan
hal-hal buruk (atas larangan orang tuanya). Selain itu, anak dapat lebih mudah mencapai
tujuan yang diinginkan. Karena orang tua telah memberi tahu anak-anak mereka apa yang
harus dilakukan. Tapi sekali lagi, setiap anak berbeda. Ada anak yang bisa diperlakukan
seperti itu dan baik-baik saja, tapi banyak juga yang tidak. Tetapi, jika dapat
digeneralisasikan. Pola asuh otoriter yang diterapkan pada orang tua di Desa Bukit Gajah
Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan ini memperlihatkan bagaimana orang tua

4
Euis Sunarti, Mengasuh Dengan Hati, (Jakarta: Elex Media Kompotindo, 2004),
5
Rahmad Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini (Konsep dan Paktik
PAUD Islami), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet 1, h. 25.
6
Syoyan S Willis, Psikologi Pendidikan. ( Bandung: Alfabeta 2012). 141
mengekang anak, tidak mendengarkan pendapat anak, memberikan peraturan yang ketat,
tidak memberikan kepercayaan pada anak dalam menentukan pilihannya sendiri..
Mengenai tipe pola asuh ini dapat diketahui adanya pola asuh otoriter yang
ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang cenderung menetapkan standar yang mutlak
harus dipatuhi, menuntut ketaatan, mendikte, hubungan yang kurang hangat, kaku dan
keras.7 Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang menuntut anak patuh dan tunduk pada
semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa kebebasan untuk bertanya
atau mengungkapkan pendapat mereka sendiri. Orang tua menentukan sendiri aturan dan
batasan yang mutlak dan wajib dipatuhi oleh anak tanpa kompromi dan dengan
memperhatikan keadaan remaja. Jadi, dalam hal ini, kebebasan remaja sangat terbatas.
Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua kepada remaja sebenarnya dapat
mempengaruhi proses pendidikan remaja terutama dalam pembentukan kepribadiannya.
Selain itu, menurut Watson, akibat dari sikap otoriter seringkali mengarah pada
gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak mampu merencanakan suatu hal dan juga
penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah berprasangka buruk. 8 Setiap anak
sangat membutuhkan kedisiplinan karena ia belum dewasa dan cukup berpengalaman
untuk menghadapi semua masalah tanpa bimbingan dan pengawasan dari orang dewasa.
Namun kedisiplinan yang dianggap efektif oleh orang tua (sepihak) belum tentu sejalan
dengan perkembangan anak yang semakin bertambah dewasa.
Pola asuh otoriter yang dimaksud peneliti disini adalah cara dan sikap orang tua
dalam mendidik, membimbing dan mengarahkan anak dengan otoriter atau semuanya
hanya di tangan orang tua tanpa mau memikirkannya pendapat dan apa yang diinginkan
anak dalam menentukan hidupnya, sehingga pola pengasuhan ini dapat mempengaruhi
kesehatan mental remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak
menuju dewasa, dimana pada fase ini merupakan bagian kehiudpan yang penting dalam
siklus perkembangan. Dimana pada masa inilah terjadinya perubahan dalam system kerja
hormon, sehingga seseorang akan mengalami begitu banyak perubahan dalam dirinya,
baik bentuk fisik (organ-organ seksual) dan juga psikis seperti emosi dan intelektual.

7
James, M, (It’s Never Too Late to Be Happy. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, Inc,
2002) h. 34.
8
Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), h. 23
Remaja ialah individu yang sedang dalam fase proses berkembang ke arah
kematangan atau kemandirian. Disiplin sangat penting artinya bagi perkembangan
remaja. Dengan mengenal aturan-aturan, remaja akan lebih merasa aman karena mereka
tau dengan pasti perbuatan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh untuk
dilakukan. Sehingga pola asuh orang tua sangatlah berpengaruh dalam perkembangan
psikologisnya. Faktor pola asuh otoriter yang diterapkan orang tua, merupakan salah satu
faktor yang memiliki pengaruh buruk pada kesehatan mental remaja seperti misalnya:
remaja terlalu bergantung pada peraturan, mudah merasa cemas, kurang percaya diri dan
sulit mengambil keputusan, memberontak, sulit mempercayai orang lain.
. Dengan ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul :
“PENGARUH POLA ASUH OTORITER TERHADAP KESEHATAN MENTAL
REMAJA DI DESA BUKIT GAJAH KECAMATAN UKUI KABUPATEN
PELALAWAN”.

B. PENEGASAN ISTILAH
Untuk terhindar dari kerancuan pada terjemahan arti judul pada proposal ini,
maka dari itu penulis menegaskan istilah sarana penegasan istilah dalam judul yang
peneliti angkat agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pembaca. Judul penelitian yang
akan diteliti adalah : “Pengaruh Pola Asuh Otoriter Terhadap Kesehatan Mental Remaja
Di desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan ”
1. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh
orangtua dalam mendidik anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa
tanggung jawab kepada anak-anaknya.9 Menurut Kamus Besar Bahasa .
Indonesia, pola yang berarti corak, model, system, cara kerja, bentuk
(struktur) yang tepat. Sedangkan kata “asuh” berarti menjaga (merawat
dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan
sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyenggarakan) satu
badan atau lembaga.10

9
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 350
10
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam keluarga. (Jakarta: Rineka Cipta
2014) hlm 50
Pola asuh otoriter merupakan gaya yang membatasi dan bersifat
menghukum yang akhirnya mendesak remaja untuk dapat mengikuti
petunjuk atau arahan orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan
usaha.11
2. Kesehatan Mental
Menurut kartini kartono, Jenny Andri mengutarakan rumusan
bahwa: “ Mental hygiene atau ilmu kesehatan mental ialah ilmu yang
mempelajari tentang masalah kesehatan mental/jiwa, dengan tujuan untuk
dapat mencegah munculnya gangguan/ penyakit mental, dan memajukan
kesehatan jiwa pada masyarakat. Dengan demikian mental hygiene
menjadi tema sentral, yaitu debgan bagaimana cara orang dapat
memcahkan segenap kesulitan dalam batin manusia, yang ditimbulkan
oleh berbagai macam kesulitan hidup. Serta berusaha mendapatkan
kebersihan dan ketenangan jiwa, dalam artian tidak terganggu dengan
berbagai macam ketegangan, kekalutan, dan konflik terbuka serta konflik
batin.12
3. Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju
dewasa dan merupakan bagian kehidupan yang penting dalam siklus
perkembangan. Pada masa remaja terjadi banyak perubahan dalam system
kerja hormone, sehingga seseorang banyak mengalami perubahan dalam
dirinya. Hal ini dapat memberi perubahan baik dalam bentuk fisik (organ
seksual)maupun psikis seperti emosi dan intelektual.13
C. ALASAN MEMILIH JUDUL
Berdasarkan latar belakang serta hasil pengamatan penulis tentang Pola Asuh Otoriter
dan Kesehatan Mental Remaja, maka penulis ingin mengetahui:
1. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan keahlian penulis dan sesuai dengan Program
studi Bimbingan Konseling Islam Konsentrasi Keluarga Masyarakat demi menunjang
kemahiran konselor agar lebih kompeten dan bertanggungjawab.

11
John W. Santrock. Adolescence Perkembangan Remaja.167
12
Adang Hambali, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm 281-282
13
Yusuf. S, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000)
2. Untuk dapat mengetahui”Pengaruh Pola Asuh Otoriter Terhadap Kesehatan Mental
Remaja Di Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan”.

D. PERMASALAHAN
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah diatas, peneliti mengidentifikasikan
beberapa masalah yang akan dijadikan bahan penelitian, adalah:
a. Pengaruh pola auh otoriter terhadap kesehatan mental remaja
b. Faktor yang mempengaruhi pola asuh otoriter pada remaja
c. Adanya pengaruh pola asuh otoriter sehingga dapat mengganggu
kesehatanmental pada remaja
2. Batasan Masalah
Agar penelitian ini dapat lebih terfokus sempurna, dan untuk menghindari kesalah
pahaman dalam penulisan ini, maka penulis memfokuskan penelitian initerhadap
“Pengaruh Pola Asuh Otoriter Terhadap Kesehatan Mental Remaja Di Desa Bukit
Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan”. Adapun remaja yang diteliti,
mwrupakan remaja yang tinggal di Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten
Pelalawan,
3. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka penulis dapat mengemukakan
rumusan masalah yang berkaitan dengan hal ini, yaitu: “Pengaruh Pola Asuh Otoriter
Terhadap Kesehatan Mental Remaja Di Desa Bukit Gajjah Kecamatan Ukui
Kabupaten pelalawan”.

E. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN


1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban yang berasal dari rumusan
masalah diatas, yaitu untuk dapat menguji aoakah terdapat pengaruh antara pola asuh
otoriter dan kesehatan mental remaja di Desa bukit gajah Kecamatan Ukui Kabupaten
Pelalawan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan wawasan
perihal pengaruh pola asuh otoriter terhadap kesehatan mental remaja sehingga
dapat mengetahui faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh otoriter pada
remaja, maupun para pembaca dapat mengembangkan diri dengan baik.
b. Manfaat Praktis
Bagi mahasiswa, terutama pada mahasiswa akhir diharapkan penelitian ini
dijadikan sarana berefleksi supaya dapat menumbuhkan kesadaran akan pengaruh
pola asuh otoriter terhadap kesehatan mental remaja.

F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sebagai bentuk gambaran dari penulisan skripsi ini nanti maka sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang kajian teori, kajian terdahulu, dan kerangka berpikir
yang berhubungan dengan pola asuh otoriter terhadap kesehatan mental remaja.
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang jenis dan pendekatan penelitian, lokasi dan waktu
penelitian, sumber data, informan penelitian, teknik pengumpulan data, validitas
data, dan teknik analisis data.
DAFTAR PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KAJIAN TERDAHULU
1. Penelitian yang dilakukan oleh Widia Nengsih dalam rangka penulisan skripsi guna
memenuhi persyaratan lulus starta 1 Jurusan Bimbingan Konseling Islam, Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2020.
Dengan judul “PENGARUH POLA ASUH OTORITER TERHADAP
PENYESUAIAN SOSIAL REMAJA DI KELURAHAN AIRTIRIS
KECAMATAN KAMPAR” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh
Pola Asuh Otoriter Terhadap Penyesuaian Sosial Remaja Di Kelurahan Airtiris
Kecamatan Kampar. Penelitian ini dilatar belakangi oleh Pola Asuh yang di terapkan
oleh orang tua pada anaknya dikelurahan Airtiris yaitu pola Asuh Otoriter Seperti,
sikap dan perilaku orang tua yang memarahi, mencela atau memberi hukuman fisik
sekehendak hatinya kepada anaknya jika anaknya melakukan kesalahan, serta orang
tua yang selalu mengekang anak untuk bergaul dan memlih-milih orang yang menja
di teman anaknya dan juga orang tua melarang anaknya untuk berpartisipasi dalam
kegiatan kelompok. Dampak yang ditimbulkan dari sikap dan perilaku orang tua
seperti ini, anak akan memiliki sifat dan sikap mudah tersinggung, penakut, tidak
bertanggung jawab, perasaan rendah diri, merasa tidak bahagia, tidak bisa
memecahkan masalahnya, mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan, terutama dengan temannya ataupun dengan orang-orang yang baru kenal.
Subjek dari penelitian ini adalah Orang tua yang memiliki anak remaja berumur 12-
15 tahun berjumlah 67 Orang.Penelitian ini adalah penelitian Deskriptif Kuantitatif.14

2. Dalam skripsi yang di tulis oleh Ayu Cahyanti dalam rangka untuk memenuhi
persyaratan lulus starta 1 Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro Tahun 2020 dengan Judul
“PERAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KESEHATAN MENTAL
REMAJA DI KELURAHAN YOSOREJO 21 A METRO TIMUR” Jenis
penelelitian ini adalah penelitian lapangan (field Reserch) Bersifat deskriptif. Sumber
data yang digunakan adalah sumber data primer yang diperoleh di Yosorejo 21 A
Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku. Metode pengumpulan data, peneliti
menggunakan metode Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi. Metode analisis
14
Widia Nengsih, Pengaruh Pola Asuh Otoriter Terhadap Penyesuaian Sosial Remaja Kelurahan Air Tiris
Kecamatan Kampar, (Pekanbaru: UniversitasSultan Syarif Kasim, 2020)
data peneliti menggunakan analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah,
diharapkan keluarga selalu memperhatikan perkembangan mental anak,baik saat ia
berada didalam rumah, maupun di luar lingkungan masyarakat. Serta lebih banyak
berusaha untuk meluangkan waktu untuk anak, baik itu memberikan rasa aman,
nyaman, dan menciptakan suasana home yang damai agar mental anak dapat tumbuh
dan berkembang secara baik dan sempurna15

3. Sebuah sekripsi yang di tulis oleh Fatimah, guna memenuhi syarat lulus starta 1
Jurusan Pendidikan Agama, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung, 2019. Dengan judul “PENGARUH KESEHATAN
MENTAL TERHADAP HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
SMP PIRI JATI AGUNG” Jenis penelitian yang digunakan adalah lapangan dengan
pendekatan korelasi. Penelitian ini dilakukan di SMP PIRI Jati Agung yaitu mengenai
kesehatan mental dengan hasil belajar. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
= 0,71, bila dikonsultasikan kedalam “r” tabel berada pada taraf korelasi 0,70 – 0,90
yang menunjukkan taraf korelasi yang baik atau tinggi.16
B. LANDASAN TEORI
1. Pola Asuh
a. Pengertian Pola Asuh
Berbicara mengenai pola asuh, dalam kamus bahasa Indonesia pola asuh
terdiri dari kata pola dan asuh. Pola adalah sistem atau kerja.4 Pola juga berarti
bentuk struktur yang tetap. Sedangkan asuh yaitu menjaga, merawat, dan
mendidik anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan sebagainya), dan
memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga17
“Pola Asuh ialah cara orangtua dalam mengasuh anaknya untuk dapat
menolong dan membimbing agar anak nantinya dapat hidup mandiri”. 18 Pola asuh
dapat didefinisikan sebagai bentuk interaksi antara anak dengan orangtua yang
15
Ayu Cahyanti, Skripsi, “Peran Keluarga Dalam Membentuk Kesehatan Mental Remaja Di Kelurahan Yosorejo
21 A Metro Timur”, (Metro: IAIN Metro,2020)
16
Fatimah, Skripsi, “Pengaruh Kesehatan Mental Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Di SMP Piri
Jati Agung”, (Lampung:UIN Raden Intan Lampung, 2019)
17
5 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orangtua & Anak Dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
hlm 1
18
Rahmad Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini (Konsep dan Paktik PAUD
Islami), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet 1, hlm. 25
meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan
kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta
sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup
selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola
interaksi orangtua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak.19 Pola
asuh merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orangtua dalam mendidik
anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada
anakanaknya.20
Menurut para ahli pola asuh selama ini cenderung, menggunakan kekuatan
orang tua, kadang dengan memberikan hadiah atau ancaman serta sanksi, ingin
sukses saat ini juga, mengutamakan perilaku anak serta mengabaikan
perasaannya, hanya satu pendapat yang benar yaitu orangtua dan kadang
berkeyakinan anak tidak mau dan tidak mau disiplin dalam menjalankan
hidupnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan berarti orangtua mempunyai
tanggung jawab primer.
Berkaitan dengan pendidikan atau pengasuhan anak, orangtua memiliki
tanggung jawab besar di hadapan Allah SWT. Hal ini terlihat dalam firman Allah
SWT dalam Qur‟an Surah Luqman [31] : 13. Yang memiliki arti sebagai berikut :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".21
Pola asuh dapat di artikan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang
tua dalam mendidik anak-anaknya sebagai perwujudan rasa tanggung jawab serta
bagaimana orangtua memperlakukan anak, mendidik, membimbing,
mendisiplinkan, serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan.
Bahkan sampai upayaupaya pembentukan norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
b. Dasar Pengasuhan Anak
19
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara,
2011), Cet 1, hlm 100.
20
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 350
21
QS. Luqman [31] : 13.
1) Al-Qur’an Surah At Tahrim ayat 6.
Yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan”22
2) Al-Qur’an Surah Thaaha ayat 132
Artinya : “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta
rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan
akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”.
Dari ayat-ayat diatas, jelas bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk
mendidikan dan mengajar anaknya untuk berbuat kebaikan, mengerjakan
perintah-perintah Allah seperti melaksanakan ibadah shalat dan selalu
bersabar dalam mengerjakannya. Sebaliknya anak diajarkan untuk berbakti
kepada orang tuanya.

c. Jenis jenis Pola Asuh


Orang tua ingin remaja mereka tumbuh menjadi individu yang dewasa
secara sosial, dan mereka seringkali merasa putus asa dalam peran mereka sebagai
orangtua. Para psikolog sudah lama mencari resep untuk peran orang tua yang
menghasilkan perkembangan sosial yang tepat pada remaja. Menurut Baumrind
ada tiga jenis pengasuh diantaranya, peran mereka sebagai orangtua. Para
psikolog sudah lama mencari resep untuk peran orang tua yang menghasilkan
perkembangan sosial yang tepat pada remaja. Menurut Baumrind ada tiga jenis
pengasuh diantaranya;
1. Pola asuh Otoriter (Authoritarian Parenting)
22
Departemen Agama RI. Qur’an Tajwid dan Terjemahan, Jakarta: Maghfirah Pustaka,
(2006). 560
Adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak
remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan
dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali
yang tegas terhadap remaja dan hanya melaukan sedikit komunikasi verbal.
Pengasuh Otoriter berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap.23
Pola asuh Otoriter memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:
1) Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua
2) Pengontrolan orangtua terhadap perilaku anak sangat ketat.
3) Anak hampir tidak pernah memberi pujian
4) Orang tua yang tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi
biasanya bersifat satu arah.
5) Orang tua mengekang anak untuk bergaul dan memilih-milih orang
yang menjadi teman anaknya
6) Orang tua memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berdialog,
mengeluh dan mengemukakan pendapat
7) Orang tua menentukan aturan bagi anak dalam berinteraksi baik
dirumah maupun di luar rumah
8) Orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk berinisiatif
dalam berintak dan menyelesaikan masalah
9) Orang tua melarang anaknya untuk berpartisipasi dalam kegiatan
kelompok
10) Orang tua menuntut anaknya bertanggang jawab terhadap tindakan
yang dilakukannya .

Dampak yang timbulkan dari pola asuh otoriter, anak memiliki sifat dan
sikap seperti; mudah tersinggung, penakut, pemurung dan measa tidak bahagia,
mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas
dan tidak bersahabat.

2. Pola asuh Laisses Fire

23
John W. Santrock. Adolescence Perkembangan Remaja. hlm 167
Tipe pola asuh orang tua ini tidak berdasarkan aturan-aturan. Kebebasan
memilih terbuka bagi anak dengan sedikit campur tangan orang tua agar
kebebasan yang diberikan terkendali. Bila tidak ada kendali dari orang tua,
maka perilaku anak tidak terkendali, tidak terorganisasi, tidak produktif, dan
apatis, sebab anank merasa tidak memiliki maksud dan tujuan yang hendak
dicapai. Orang tua yang menggunakan gaya ini menginginkan seluruh
anaknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntuk kewenangan yang
dimilikinya. Tindak komunikasi dari orang tua cendrung berlaku sebagai
seorang penghubung yang menghubungkakn kontribusi atau sumbang
pemikiran dari anggota keluarga.24
Ciri-ciri pola asuh Laisses Fire yaitu;
1) Dengan bebas menerima semua ungkapan si anak
2) Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat sesuai
keinginan mereka.
3) Memberikan kebutuhan materi kepada anak.
4) Menawarkan penghiburan kepada si anak yang sedang mengalami
perasaan-perasaan negatif.
5) Memberikan sedikit petunjuk mengenai tingkah laku
6) Tidak mengajarkan anak tentang emosi
7) Terlalu mudah memberikan izin, tidak menentukan batas-
8) Tidak membantu anak menyelesaikan masalah
9) Tidak mengajarkan anak metode menyelesaikan masalah
10) Percaya bahwa hanya sedikit yang dapat anda lakukan untuk emosi-
emosi negatif selain bertahan darinya.
11) Berpendapat bahwa mengelola emosi negatif merupakan masalah
ilmu hidrolikka, lepaskanlah emosi, maka sehausnya akan selesai

24
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam keluarga. (Jakarta: Rineka Cipta
2014).hlm 62
Dampak dari pola asuh ini terhadap anak yaitu; mereka tidak belajar
mengatur emosi mereka, mereka menghadapi kesulitan berkonsentrasi,
menjalin persahabatan, bergaul dengan anak lain25

3. Pola asuh Demokrasi (Authoritative Parenting)


Pola asuh demokrasi adalah pola asuh orang tua yang menerapkan
perlakuan kepada anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan
cara memprioritaskan kepentingan anak yang bersikap rasional atau
pemikiran-pemikiran. Pola asuh demokratis mengharapkan anak untuk
berbagi tanggung jawab dan mampu mengembangkan potensi kepemimpinan
yang dimilikinya. Memiliki kepedulian terhadap hubungan antar pribadi
dalam keluarga. Meskipun tampak kurang terorganisasi dengan baik, namun
gaya ini dapat berjalan dalam suasana yang rileks dan memiliki kecendrungan
untuk menghasilkan produktivitas dan kreativitas, karena tipe pola asuh
demokratis ini mampu memaksimalkan kemampuan yang dimiliki anak.26
Pola asuh demokrasi mempunyai ciri-ciri, yaitu:
1) Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol
internal.
2) Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan dalam
pengambilan keputusan.
3) Menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak. Saat orang tua
menggunakan hukuman fisik, dan diberikan jika terbukti anak secara
sadar menolak melakukan apa yang telah disetujui bersama, sehingga
lebih bersikap edukatif.
4) Memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu
mengendalikan mereka.
5) Bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang
berlebihan yang melampaui kemampuan anak.

25
Jhon Ghotman & Joan Declaire, Kiat-Kiat Membesarkan Anak Yang Memiliki Kecerdasan Emosional.
(Jakarta: PT Gramedia 1997) hlm 42
26
Syaiful Bahri Djamarah, Pola asuh orang tua dan komunikasi dalam keluarga. (Jakarta: Rineka Cipta,
2014). hlm 61
6) Mmberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan.
7) Pendekatannya kepada anak bersifat hangat.27

Dampak dari pola asuh ini bisa membentuk perilaku anak seperti;
memiliki rasa percaya diri, bersikap bersahabat, mampu mengendalikan
diri (self control), bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin
tahunya yang tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas dan
berorientasi terhadap prestasi.

Hoffman(1989) mengemukakan tiga jenis pola asuh orang tua, yaitu:

a) Pola asuh bina kasih (induction)


Pola asuh yang diterapkan orangtua dalam mendidik
anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk
akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi
anaknya.
b) Pola asuh unjuk kuasa (power assertion)
Pola asuh yang diterapkan orangtua dalam mendidik
anaknya dengan senantiasa melaksanakan kehendaknya untuk
dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat
menerimanya.
c) Pola asuh lepas kasih (love withdrawal)
Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya
dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak tidak
menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya, tetapi jika anak
sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orang tuanya
maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakala.28
d. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
1. Usia Orang tua

27
Al. Tridhonanto & Beranda Agency, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis. (Jakarta: PT Gramedia
2014).hlm 16
28
M. Ali & M. Asrori, Psikologi remaja perkembangan peserta didik. (Jakarta: PT Bumi Aksara). hlm 102
Tujuan dari undang-undang perkawinan sebagai salah satu upaya didalam
setiap pasangan dimungkinkan untuk siap secara fisik maupun psikososial
untuk membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Walaupun demikian,
tentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Bila
terlalu muda atau terlalu tua, maka tidak akan dapat menjalankan peran-peran
tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
2. Pendidikan Orang tua
Bagaimanapun pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak
akan memngaruhi kesiapan mereka menjalankan peran pengasuh. Agar
menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuh yaitu dengan terlibat
aktif dalam setiap upaya pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan
berorientasi pada masalah anak, menjaga kesehatan anak dengan secara
regular memeriksakan dan mencari pelayanan imunisasi, memberikan nutrisi
yang adekuat, mempehatikan keamanan dan melaksanakan praktik
pencegahan kecelakaan, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak dan
menilai perkembangan fungsi keluarga dalam perawatan anak.
3. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Hasil penelitian membuktikan bahwa orang tua yang telah memiliki
pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan
peran pengasuhan dan lebih tenang. Dalam hal lain, mereka akan lebih
mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan anak yang
normal.
4. Stress orang tua
Stress yang dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi
kemampuan orang tua dalam menyelesaikan peran sebagai pengasuh,
terutama dalam kaitannya dengan strategi menghadapi masalah yang dimiliki
dalam menghadapi permasalahan anak.
Stress sebagai suatu perasaan tetekan yang disertai dengan meningkatnya
emosi yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh orang tua, seperti marah
yang berlangsungan lama, gelisah, cemas dan takut. Stress adala istilah yang
muncul bersamaan kehidupan masyarakat saat ini. Orang tua mengatasi stres
dengan cara yang berbeda-beda. Orang tua yang mengalami stres, akan
mencari kenyamanan atas kegelisahan jiwanya dengan cara berbicara kasar
kepada anak.
5. Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami dan istri akan berpengaruh
atas kemampuan mereka dalam menjalankan perannya sebagai orangtua dan
merawat serta mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia karena satu sama
lain dapat saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan
strategi yang positif.29
2. Kesehatan Mental
a. Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan mental berdasarkan pendapat dari beberapa ahli dijelaskan
bahwa:“Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan mengembangkan dan
memanfaatkan potensi,bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin,
sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain,serta terhindar dari gangguan
dan penyakit jiwa. Atau dengan kata lain penyesuaian diri terhadap lingkungan
social.30
Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan mental, Zakiah
Daradjat mengemukakan :
‘’Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan
penyakit kejiwaan,mampu menyesuaikan diri,serta sanggup
menyelesaikan masalah masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa,
adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik)dan merasa bahwa
dirinya berharga dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada
padannya seoptimal mungkin.
Menurut M. Buchori,kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang
meliputi system prinsip, peraturan serta prosedur untuk mempertinggi kesehatan
rohani. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohaninnya ataupun
hatinya selalu merasa tenang ,aman, dan tentram.Jalaluddin dengan mengutip
29
Al. Tridhonanto & Beranda Agency, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis. (Jakarta: PT Gramedia
2014). Hlm 28
30
Abdul Hamid, Agama Dan Kesehatan Mental Dalam Perspektif Psikologi Agama, Kesehatan Tadulako,
vol 3 no. 1 (Januari 2017) 3
H.C. Witherington menambahkan, permasalahan kesehatan mental menyangkut
pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapanagan psikologi,
kedokteran ,psikiatri ,biologi ,sosiologi, dan agama.
Menurut Kartini Kartono, Jenny Andri mengetengahkan rumusan bahwa
“Mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari
masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah timbulnya
gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi,dan berusaha mengurangi atau
menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa masyarakat.
Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema sentral, yaitu bagimana cara
orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh
macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa,
dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan, dan
konflik terbuka serta konflik batin.31 Sedangkan remaja adalah masa peralihan
manusia dari anak-anak menuju dewasa.yang berjalan antara umur 11 tahun
sampai 21 tahun.32

Kesehatan mental bukan sekadar tidak hadirnya gangguan kejiwaan dalam


diri seseorang, tapi juga kemampuan untuk bisa mengatasi stres dan masalah
dalam hidup. Gangguan kejiwaan tersebut tidak sama artinya dengan sakit jiwa
(gila). Jika tidak dipedulikan, kesehatan mental yang terganggu akan berakhir
kepada permasalahan belajar, perkembangan, kepribadian, dan masalah kesehatan
fisik remaja.33

Berdasarkan teori diatas dapat dipahami bahwa kesehatan mental remaja


adalah terhindarnya dari gangguan ataupun penyakit kejiwaan,mampu
menyesuaikan diri,sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-
kegoncangan biasa,sehingga mendapatkan keserasian fungsi-fungsi jiwa ( tidak
konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga,berguna dan bahagia, serta
bermanfaat dan mampu berbuat baik untuk orang lain atau dirinya sendiri,serta

31
Adang Hambali, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm. 281-282
32
www.lampungpost.com.Diunduh pada 2 April 2019.
33
Stephanie Devina Sutanto, Perancangan Buku Cerita Tentang Pengelolaan Kesehatan Mental Bagi
Remaja, Surabaya: 1
dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin baik secara
psikologi, sosiologi, dan agama di usia 12 sampai 21 tahun.

b. Ciri-ciri Kesehatan Mental


Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa, sukma,
roh, dan semangat. Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu kesehatan jiwa yang
memasalahkan kehidupan rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia
sebagai satu totalitas psikofisik yang kompleks. Pada abad kedua puluh,ilmu ini
berkembang dengan pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern.
Kesehatan mental dipandang sebagai ilmu praktis yang banyak dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari,baik dalam bentuk bimbingan dan penyuluhan yang
dilaksananakan di rumah tangga, sekolah, kantor dan lembaga –lembaga maupun
dalam kehidupan masyarakat.
Sesuai Sesuai dengan ilmu pengetahuan,pengertian terhadap kesehatan
mental juga mengalami kemajuan. Sebelumnya pengertian manusia tentang
kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada pengertian gangguan
dan penyakit jiwa. Dengan pengertian ini, kesehatan metal hanya dianggap perlu
bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal, kesehatan
mental tersebut diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketentraman dan
kebahagiaan.
Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang kesehatan
mental.Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya seseorang dari
gangguan kejiwanaan dan penyakitnya.Akan tetapi orang
yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut :
a) Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat
mengenal diri sendiri dengan baik.
b) Pertumbuhan, perkembangan , dan perwujudan diri yang baik.
c) Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan
pandangan, dan tahan terhadap tekanan –tekanan yang terjadi .
d) Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari
dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
e) Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta
memiliki empati dan kepekaan sosial.
f) 34
Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi
dengannya secara baik

Adapun ciri-ciri kesehatan mental jika dilihat dari factor-faktor meliputi,


pertama, perasaan yaitu dalam perasaan yangselamanya terganggu (tertekan),
tidak tenteram, rasagelisah tidak menentu, tidak bisa pula
mengatasinya,berperasaan takut yang tidak masuk akal atau tidakjelas apa yang
ditakuti, merasa iri, rasa sombong, sukabergantung kepada orang lain, tidak mau
bertanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pikiran memiliki perananpenting dalam
menggangu kesehatan mental,demikian pula mental dapat mempengaruhi
pikiran.Ketiga, kelakuan yaitu terganggunya kesehatan mentalbiasanya ditandai
dengan senangnya berkelakuan tidak baik, seperti; kenakalan, keras kepala,
sukaberdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang lain, dan lain-lain.
Keempat, kesehatan jasmani juga dapat terganggu, hal ini terjadi bukan
karenafisiknya langsung, akan tetapi perasaannya akibat dari jiwa yang tidak
tenteram.35

Berdasarkan keterangan diatas, dapat dipahami bahwa cirri-ciri mental


yang sehat adalah memiliki kepribadian yang baik,mampu megembangkan dan
menumbuhkan dirinya sendiri, mampu mengatasi segala bentuk tekanan dan
masalah, memiliki integrasi diri, sifat empati dan kepekaan social, serta mudah
menyesuaikan lingkungan dengan baik.

c. Upaya Mencapai Kesehatan Mental


Menurut Zakiah Daradjat secara garis besar ada dua peran yang sangat
penting dalam mencapai kesehatan mental, peran agama dan peran
pendidikan.Jika seseorang telah menerapkan peran ini, berarti dia telah
melakukan upaya mencapai kesehatan mental yang sehat.

34
H. Adang Hambali dan Ujam Jaenudi, Psikologi Kepribadian(Bandung: Pustaka Setia 2013) hlm 282-
283
35
Noor Fuát Aristiana, Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Pasien
HIV/AIDS Di Klinik VCT Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, UIN Walisongo Semarang, hlm 46-47
a. Peran Agama.
Ibadah sebagai psikoterapi kejiwaan:
1) Shalat
2) Zikir
3) Membaca Al Quran
4) Puasa
5) Haji
b. Peran Pendidikan
Peran pendidikan terhadap kesehatan mental:
1) Memberikan bimbingan dalam kehidupan.
2) Penolong dalam kesukaran.
3) Menentramkan batin.
4) Pengendali moral.
5) Terapi terhadap gangguan mental36

Berangkat dari penjelasan kesehatan mental yang berbeda-beda sesuai dengan


bidang dan pandangan masing-masing, maka upaya pencapaiannya juga beragam.ada
tiga prinsip pokok untuk mendapatkan kesehatan mental, yaitu:

Pertama, pemenuhan kebutuhan pokok.Setiap individu selalu memiliki


dorongan-dorongan dan kebutuhan kebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan
psikis) dan yang bersifat sosial. Kebutuhankebutuhandan dorongan-dorongan itu
menuntut pemuasan,timbul ketegangan-ketegangan dalam usaha pencapaiannya.
Ketegangan cenderung menurun jika kebutuhan-kebutuhan terpenuhi dan cenderung
naik/makin banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.

Kedua, kepuasan yaitu setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang


bersifat jasmaniah maupun yang bersifat psikis.Individu ingin merasa kenyang, aman
terlindungi, ingin puas dalam hubungan seks, ingin mendapat simpati, dan
diakuiharkatnya.Pendeknya ingin puas disegala bidang, lalu timbullah sense of
importancy dan sense of mastery (kesadaran nilai dirinya dan kesadaran penguasaan)
yang memberi rasa senang, puas dan bahagia.
36
www. Lampungpost.com.Diunduh pada 2 April 2019
Ketiga, posisi dan status sosial yaitu setiap individu selalu berusaha mencari
posisi sosial dan status sosial dalam lingkungannya.Tiap manusia membutuhkan cinta
kasih dan simpati, karena cinta, kasih, dan simpati menumbuhkan rasa
diriaman/assurance, keberanian dan harapanharapan dimasa mendatang.Orang lalu
menjadi optimis dan bergairah.Individu-individu yang mengalamigangguan mental,
biasanya mersa dirinya tidak aman.Mereka senantiasa dikejar-kejar dan selalu
dalamkondisi ketakutan.Mereka tidak mempunyaikepercayaan pada diri sendiri,
37

jiwanya senantiasabimbang, dan tidak imbang.

3. Remaja
Remaja dalam bahasa aslinya disebut Adolescence, berasal dari bahasa Latin
Adolescare yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”.
Menurut Mappiare Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahunsampai dengan
21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria.
Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antar masa kanak-kanak
dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biolgis, memasuki masa
dewasa. Perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang dialami remaja dapat
berkisar mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berfikir abstrak dan
kemandirian.38
Ada tiga tahap perkembangan pada Remaja, yaitu:
a. Remaja awal (Early Adolescene).
Seseorang remaja pada tahap ini masih heran pada perubahanperubahan
yang terjadi pada diri sendiri, mengembangkan pikiran baru, cepat tertarik
pada lawan jenis, kurang kendali terhadap ego (sulit mengerti orang lain)
adapun umur remaja awal sekitar 12-15 tahun.
b. Remaja pertengahan (Middle Adolescene).
Pada tahap ini remaja membutuhkan kawan-kawan, cenderung narcistic
(mncintai dirinya sendiri, suka dengan teman-teman yang memiliki sifat yang

37
Noor Fuát Aristiana, Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan
Mental Pasien HIV/AIDS Di Klinik VCT Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, UIN Walisongo Semarang,
hlm 49- 50
38
M Ali & M Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. (Jakarta: PT Bumi Aksara) hlm 9
sama atau mirip dengan dia), dan labil. Adapun umur remaja pertengahan
sekitar 15-18 tahun.
c. Remaja akhir (Late Adolescence).
Umur pada remaja akhir sekitar 18-21 tahun. Tahap ini merupakan masa
konsolidasi menuju peiode dewasa dan ditandai dengan pencapaian. 5 hal
berikut:
1) Minat terhadap fungsi-fungsi intelektual
2) Egonya mencari kesempatan bersatu dengan orang-orang lain dan
dalam pengalaman-pengalaman baru
3) Terbentuknya identitas seksual tidak berubah lagi
4) Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan
sendiri dengan orang lain
5) Tumbuh dinding yang memisahan diri pribadinya dan masyarakat.39
Dalam tahap remaja, remaja memiliki tugas perkembangan, dimana hal ini
difokuskan pada upaya dalam meninggalkan sikap dan perilaku kenakkanakan
serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara
dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan remaja menurut Hurlock adalah:
a. Mampu menerima keadaan fisiknya.
b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
c. Mampu membina hubungan baik dengan aggota kelompok yang berlain jenis.
d. Mencapai kemandirian emosional
e. Mencapai kemandirian ekonomi
f. Mengembangkan konsep dan kterampilan intelektual yang sangat diperlukan
untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orangtua.
h. Mengembangkan perilaku tanggung jawan sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa.
i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

39
Sarlito Wirawan Sarwono, 25
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan dengan penyesuian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan
lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus
menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.

Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus


membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah
penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan
dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai nilai baru dalam
seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan
nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.40

C. KONSEP OPERASIONAL
1. Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional adalah suatu pemikiran umum yang menggambarkan
hubungan antara konsep khusus yang akan menentukan variable yang saling
berhubungan antara keduanya.41
2. Operasional Variabel
Operasional variable adalah penjelasan dari masing-masing variable yang
digunakan dalam penelitian terhadap indicator-indikator yang membentuknya. Dalam
penelitian kali ini, penulis mengkaji dua variabel, yaitu pola asuh ototriter yang
disebut sebagai variabel bebas (independen variabel) yang dilambangkan dengan (X),
serta kesehatan mental remaja yang disebut variabel terkait, yang dilambangkan
dengan (Y). sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, yang akan diteliti adalah
pengaruh pola asuh otoriter terhadap kesehatan mental remaja.
Tabel Indikator.

Variabel Indikator Sub Indikator


Pola Asuh Orang Tua 1. Pengontrolan orang tua yang
40
Juntika nurihsan & Mubiar Agustin, Dinamika perkembangan anak dan remaja, (Bandung; Refika
Editama), 79
41
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cet-16.(Jakarta : Rineka Cipta,
2020) hlm 109
Otoriter (X) sangat ketat terhadap anak
2. Orang tua mengekang anak
untuk dapat bergaul, dan
orang tua juga memilih orang
yang akan menjadi teman
anaknya
3. Bersikap keras (kaku)
4. Orang tua melarang anaknya
untuk dapat berpartisipasi
dalam kegiatan sosial.
5. orang tua memberikan
kesempatan kepada anaknya
untuk berdialog, mengeluh
dan mengemukakan pendapat
6. orang tua menentukan aturan
bagi anak dalam berinteraksi
baik dirumah maupun di luar
rumah
7. orang tua memberikan
kesempatan pada anak untuk
berinisiatif dalam bertindak
dan menyelesaikan masalah
8. Orang tua melarang anaknya
untuk dapat berpartisipasi
dalam kegiatan kelompok.
9. Orang tua menuntut anaknya
bertanggung jawab terhadap
tindakan yang dilakukannya.

Kesehatan Remaja 1. Saya merasakan depresi


Mental 2. Marah ketika menghadapi
Remaja (X) kejadian yang tidak sesuai
dengan harapan
3. Menjadi beban dalam keluarga
4. Cemas berlebihan
5. Emosi tidak terkendali ketika
menghadapi masalah
6. Menyalahkan orang lain
7. Mudah mengeluh ketika usaha
tidak sesuai dengan keinginan
8. Peraturan orang tua membuat
saya tidak bebas
9. Susah untuk menerima
kegagalan.
10. Memberontak

11. Menghindari tanggung jawab


12. Kesulitan kecil
mengecewakan
13. Berfikir negative pada hasil
pencapaian orang lain.

D. HIPOTESIS
Hipotesis diartikan sebagai suatu yang sifatnya sementara, terkait permasalahan
yang diteliti sehingga diperlukan bukti melalu data. Hipotesis ini berfungsi penting
sebagai pedoman kerja dalam penelitian. Suatu dugaan sementara dari suatu yang harus
dibuktikan kebenarannya melalui penelitian ilmiah. Hipotesis dapat juga dikatakan
kesimpulan sementara, dan merupakan suatu konstruk yang masih perlu dibuktikan. Ada
dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian, yaitu :
1) Hipotesis kerja atau biasa disebut dengan hipotesis alternative yang disingkat Ha.
Ialah hipotesis yang menyatakan adanya hubungan adanya hubungan antara
variabel X dan Y, atau adanya pengaruh variabel X terhadap Y
2) Hipotesis nol, atau biasa disingkat Ho, hipotesis ini menyatakan tidak adanya
pengaruh X terhadap Variabel Y.42
Dalam penelitian ini, rumusan Hipotesis kerja dan hipotesis nol yang diajukan
untuk dapat dilakukan pembuktian melalui penelitian di tuliskan sebagai berikut:
Ho : Tidak ada pengaruh antara pola asuh otoriter terhadap kesehatan
mental rema di Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten
Pelalawan
Ha : Ada pengaruh antara pola asuh otoriter terhadap kesehatan mental
rema di Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang diartikan sebagai penelitian
yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu. Tehnik pengambilan
sampel pada umumnya dilakukan secara random atau acak, pengumpulan data
menggunakan instrument penelitian, analisi bersifat kuantitatif atau statistik dengan
bertujuan untuk dapat menguji hipotesis yang telah di tetapkan.43
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif karena data
penelitian yang diperoleh menggunakan angka dan analisisnya menggunakan statistik.
Untuk dapat mengetahui pengaruh pola asuh otoriter terhadap kesehatan mental remaja di
Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan.

B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten
Pelalawan.

42
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cet-16.(Jakarta : Rineka Cipta, 2020)
hlm 112-113

43
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan disesuaikan oleh jadwal penelit. Kemungkinan akan
dilaksanakan pada bulsn Maret atau April. Tetapi itu dapat dapat sewaktu-waktu
berubah , tergantung kegiatan yang dilakukan peneliti.

C. POPULASI DAN SAMPEL


1. Populasi
Menurut Suharsimin Arikunto bahwa, Populasi merupakan keseluruhan dari
subyek penelitian.44 Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian. Jika peneliti
ingin meneliti seluruh elemen yang terdapat didaerah peneliti, maka penelitiannya
menggunakan penelitian populasi.45 Kedudukan populasi dalam suatu penelitian
adalah suatu keniscayaan, karena dengan adanya suatu populasi akan memudahkan
peneliti untuk penentuan/pengambilan data.
Demikian juga pendapat Winarno Surakhmad yang mengatakan: “Populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri dari objek-objek yang memiliki kuantitas dan
karakteristik tertentu oleh peneliti untuk dipelajari pada kesimpulan yang ditarik. Jadi
dalam penelitian ini, yang dijadikan sebagai populasi adalah seluruh orang tua yang
memiliki anak remaja berusia dari 14-18 tahun. Yang ada di Desa Bukit Gajah
Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan yang berjumlah 105 remaja.

2. Sampel
Menurut Sugiyono sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Penentuan subjek dalam penelitian ini dengan
menggunakan teknik random sampling. Hal ini dilakukan pengambilan anggota
sampel dari populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam
populasi tersebut. Pengambilan sampel acak dilakukan dengan cara undian memilih
bilangan dari data bilangan secara acak.46

44
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. (Jakarta : PT. Rinneka Cipta,2010). 161
45

46
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung:
Alfabeta, 2015), hlm 14.
Menurut Suharsimi Arikunto, bila subyek populasi kurang dari 100, lebih baik
diambil semua, tetapi jika subyeknya lebih dari jumlah tersebut, maka dapat diambil
sampel antara 10-15% atau 20-25% atau lebih.47
Pengambilan sampel dengan teknik ini mempertimbangkan jumlah populasi di
Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan sebanyak 105 kepala
keluarga yang memiliki anak remaja, dengan rumus berikut :
N 105 105
n= = = =51,2 (dibulatkan menjadi 51)
1+ Ne 1+105(0,1) 2,05
2 2

Dengan demikian karena jumlah populasi lebih dari 100, maka sampel diambil
10% dari 105 kepala keluarga. Sehingga jumlah sampel pada penelitian ini adalah 51
kepala keluarga yang memiliki anak remaja dengan karakteristik sebagai berikut:
a. Remaja berusia 14-18 tahun
b. Tinggal bersama orang tua

D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA


Untuk mempermudah dan memperjelas hasil penelitian, maka penelitian
membatasi penggunaan instrument pada penelitian ini, dan adapun instrument yang akan
digunakan sebagai berikut :
1. Angket (Kuesioner)
Angket merupakan daftar pertanyaan atau pernyataan yang diberikan kepada
orang lain yang bersedia memberikan respon yang sesuai dengan permintaan
pengguna. Pertanyaan atau pernyataan yang tertulis pada angket berdasarkan
indicator yang diturunkan pada setiap variabel tertentu. Tujuan dari penyebaran
angket adalah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dan
responden tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak
sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Dalam pengisian daftar pertanyaan peneliti
akan menggunakan angket dengan skala likert guna mengukur sikap, pendapat dan
persepsi responden terkait variabel penelitian. Jawaban dari setian item instrument
pada skala likert yang digunakan gradasinya dari positif sampai dengan negative.48

47
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta : Rineka Cipta, 2013) hlm 27.

48
Sofian Siregar, Statistik Parametrik untuk penelitian kuantitatif. (Jakarta, Bumi Aksara, 2014) hlm 50
Bobot Nilai Angka

No. Item Instrumen Bobot


1 Sangat Setuju (SS) 5
2 Setuju (S) 4
3 Kurang Setuju (KS) 3
4 Tidak Setuju (TS) 2
5 Sangat Tidak Setuju (STS) 1

Sumber: Sugiono (2012)


2. Dokumentasi
Peneliti melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan pelaksanaan
kegiatan penelitian berupa dokumen-dokumen, deskripsi, lokasi penelitian, foto atau
gambar, yang dijadikan sebagai bukti fisik pelaksanaan penelitian.49
E. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkatan kevalidan atau
keshahihan suatu instrument.50 Validitas atau shahih menunjukkan sejauh mana suatu
alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur dalam suatu penelitian yang baik,
bersifat deskriptif maupun eksplanatif yang melibatkan variabel atau konsep yang
tidak bias diukur secara langsung.51
Uji validitas diperlukan dalam sebuah penelitian yang berfungsi untuk
mengukur dan mengetahui valid atau tidak validnya suatu pertanyaan atau pernyataan
dalam kuesioner. Apabila alat ukur tersebut memiliki tingkat validitas yang tinggi,
maka dapat dikatakan bahwa alat tersebut akan menunjukkan yang seharusnya diukur
atau dapat dikatakan sesuai dan mengenai sasarannya.52

49
Arikunto, S. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002)

50
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta 2002).
51
Syofian Siregar, Statistik Parametik Untuk Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014) hlm
75
52
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung:
Alfabeta, 2015),
Menurut Ghozali untuk mengetahui valid tidaknya suatu pernyataan atau
pertanyaan digunakan uji signifikansi dengan membandingkan nilai r hitung dengan r
tabel, apabila r hitung < r tabel maka variabel tersebut tidak valid sedangkan apabila r
hitung > r tabel dapat dikatakan variabel tersebut valid. Perhitungan validitas dengan
menggunakan rumus koefisien korelasi produk moment pearson dengan rumus
sebagai berikut:

2. Uji Reabilitas
Uji reliabilitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi dan
keakuratan dari alat ukur pengumpulan data yang digunakan walaupun berbeda
waktu, individu, dan tempat. Sugiyono (2017) menyatakan reliabilitas sering
diartikan sebagai karakteristik yang terkait mengenain ketelitian, keakuratan, serta
kekonsistensian. Suatu alat ukur dapat dikatakan reliabel apabila jawaban yang
diberikan dari seseorang terhadap penyataan atau pertanyaan yang diberikan
konsisten atau stabil dalam kata lain tidak berubah – ubah dari setiap waktu.

Uji reliabilitas yang digunakan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode
Cronbach Alpha. Adapun rumus Cronbach Alpha yaitu:
r11 = Reliabilitas Instrument
k = Jumlah Butir Pertanyaan
Vt = Varian Total/Jumlah
p = Rasio Subjek Yang Menjawab Benar (Skor 1)

q = Rasio Subjek Yang Menjawab Salah (Skor 0)

Apabila koefisien reliabitas memiliki nilai sama dengan atau lebih tinggi dari
0,60 maka alat pengumpulan data tersebut dapat dikatakan konsisten tidak berubah –
ubah.

r11 = Reliabilitas Instrument


k = Jumlah Butir Pertanyaan
Vt = Varian Total/Jumlah
p = Rasio Subjek Yang Menjawab Benar (Skor 1)

q = Rasio Subjek Yang Menjawab Salah (Skor 0)

Apabila koefisien reliabitas memiliki nilai sama dengan atau lebih tinggi dari
0,60 maka alat pengumpulan data tersebut dapat dikatakan konsisten tidak berubah-ubah.

F. TEKNIK ANALISIS DATA


Analisis data merupakan kegiatan dalam tujuan untuk
menyerdahanakan data menjadi sesuatu atau bentuk yang akan mudah untuk dibaca,
dipahami, serta diinterprestasikan. Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian yang
telah dilakukan pleh peneliti nantinya akan dibandingkan dengan data yang didapatkan di
lapangan serta dengan data kepustakaan, yang kemudian akan ditarik kesimpulannya.53
Sugiyono menyatakan bahwa analisis data diartikan sebagai kegiatan setelah
pengumpulan data. Analisis data dilakukan untuk mengelompokkan data bersadarkan
variabel dari keseluruhan reponden, dalam menyampaikan data bagi setiap variabel yang
akan diteliti, dilakukan perhitungan guna menjawab rumusan masalah yang sudah
ditentukan serta menguji hipotesis yang telah ditetapkan dengan melakukan perhitungan.

53
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung : PT Refia Aditama, 2009),
hlm 280
1. Analisi Deskriptif
Di dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan berupa analisis
data statistik deskriptif yang nantinya akan penulis gunakan dan akan berguna
untuk melakukan analisa data dengan cara mengambarkan ataupun menjelaskan
serta mendeskripsikan dari data yang sudah terkumpul, data dapat disajikan
dalam bentuk diagram, skema, tabel, grafik, dan lainnya sebagaimana adanya
tanpa ada maksud untuk membuat kesimpulan yang berlaku secara luad dan
secara general. Selanjutnya dilakukan pengklasifikasian terhadap jawaban
responden. Dari jumlah skor jawaban responden yang diperoleh kemudian
disusun kriteria penilaian untuk setiap item pernyataan. Untuk mendeskripsikan
data pada setiap variabel penilaian dilakukan dengan menyusun tabel distribusi
frekuensi untuk mengetahui apakah tingkat perolehan nilai (skor) variabel
penelitian masuk dalam katagori sangat baik, baik, cukup baik, tidak baik,
sangat tidak baik. Untuk penentuan rentang menggunakan:

Skala dari perhitungan dengan menggunakan rumus di atas yang


digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 0,80 dan berikut merupakan
rentang yang digunakan dalam penelitian ini:

1,00 – 1,80 = Sangat Tidak Baik

1,81 – 2,60 = Tidak Baik

2,61 – 3,40 = Cukup Baik

3,41 – 4,20 = Baik

4,21 – 5,00 = Sangat Baik


2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan pengujian analisis regresi linear sederhana pengujian
asumsi klasik harus dilakukan terlebih dulu hal ini memiliki tujuan untuk
memastikan persamaan regresi yang didapatkan memiliki prediksi yang konsisten
dan tepat.
a) Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2011) uji normalitas bertujuan untuk
mengetahui variabel residual atau pengganggu memiliki distribusi yang
normal. Apabila uji ini tidak dilakukan untuk sampel berjumlah kecil
atau sedikit maka uji statistik dianggap tidak valid. Untuk menguji
apakah data berdistribusi normal atau tidak dilakukan uji statistik
Kolmogorov-Smirnov Test. Residual berdistribusi normal jika memiliki
nilai signifikansi >0,05.
3. Pengujian Hipotesis (Uji T)

Sugiyono (2013) menjelaskan bahwa uji T digunakan dengan tujuan


untuk melihat tingkat signifikansi pengaruh dari masing-masing variabel bebas
(X) terhadap variabel terkait (Y) dengan perkiraan bahwa variabel bebas (X)
lainnya tidak berubah. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:

- Ho diterima dan H1 ditolak, jika nilai t hitung<t tabel atau sig >0.05

- Ho ditolak dan H1 diterima, jika nilai t hitung>t tabel atau sig <0.05.

Dalam pengujian hipotesis, penulis menggunakan uji signifikansi,


adapun pengujian hipotesis pada pengaruh kinerja karyawan terhadap
pengenbangan karier aryawan harus dibuktikan, maka akan dilakukan rumusan
uji hipotesis sebagai berikut:

H0 : β = 0 artinya pola asuh otoriter tidak memiliki pengaruh terhadap kesehatan


mental remaja di Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan.
H1 : β ≠ 0, artinya pola asuh otoriter memiliki pengaruh terhadap kesehatan
mental remaja di Desa Bukit Gajah Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Makruf, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Yogyakarta: Aswaja Persindo,


2015).

Ali Mohammad dan Mohammad Asrori, Psikllogi Remaja, (Jakarta:PT Bumi Aksara,
2012).

Arikunto Suharsimi. 2020. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cet-16..


Jakarta : Rineka Cipta,

Bahri, Djamarah Syaiful. 2014. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam keluarga.
Jakarta: Rineka Cipta

Burhanuddin, Yusak. Kesehatan Mental. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.

Cahyanti, Ayu..2020. Peran Keluarga Dalam Membentuk Kesehatan Mental Remaja Di


Kelurahan Yosorejo 21 A Metro Timur. Skripsi. Metro: IAIN Metro

Daradjat, Zakiyah. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. 2016.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua,
Jakarta: Balai Pustaka,1996

Fatimah. 2019. Pengaruh Kesehatan Mental Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama
Islam Di SMP Piri Jati Agung. Skripsi. Lampung: UIN Raden Intan Lampung

Fuát Aristiana Noor. Pelayanan Bimbingan Dan Konseling Islam Dalam Meningkatkan
Kesehatan Mental Pasien HIV/AIDS Di Klinik VCT Rumah Sakit Islam Sultan
Agung Semarang, UIN Walisongo Semarang

Ghotman Jhon & Joan Declaire. 1997. Kiat-Kiat Membesarkan Anak Yang Memiliki
Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia.

Hambali Adang. 2013. Psikologi Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia

Hamid Abdul 2017. Agama Dan Kesehatan Mental Dalam Perspektif Psikologi Agama,
Kesehatan Tadulako, vol 3 no. 1 (Januari 2017)

Ilyas Yunahar, 1999, kuliah Akhlak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,

Imam Sibawaih , Anita Tri Rahayu2. Analisis Pola Asuh Orangtua Terhadap Gaya
Belajar Siswa Di Sekolah Menengah Atas Kharismawita Jakarta Selatan.
Research and Development Journal Of Education. Vol 3, No. 2 April 2017

Kartono Kartini. 1992. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta: Rajawali

M Ali & M Asrori, Perkembangan Remaja Perkembangan Peseta Didik .Jakarta: PT


Bumi Aksara

M. Nipan Abdul Halim, 2000. Anak Sholeh Dambaan Orang Tua,, Yogyakarta: Mira
Pusaka.

Mansur,2009, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nengsih, Widia. 2020. Pengaruh Pola Asuh Otoriter Terhadap Penyesuaian Sosial
Remaja Kelurahan Air Tiris Kecamatan Kampar. Skripsi. Pekanbaru:
UniversitasSultan Syarif Kasim
Nurihsan Juntika & Agustin Mubiar, Dinamika perkembangan anak dan remaja,
Bandung; Refika Editama

Rosyadi Rahmad 2013. Pendidikan Islam dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini
(Konsep dan Paktik PAUD Islami), Jakarta: Rajawali Pers,

S, Arikunto, 2002. Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT.


Rineka Cipta,

S, Yusuf. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya

Santrock John W. Adolescence Perkembangan Remaja.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R


& D. Bandung: Alfabeta

Susanti, Euis, 2004. Mengasuh Dengan Hati. Jakarta: PT Alex Media Komputindo

Syoyan S, Wilis.2012. Psikologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Tridhonanto Al & Agency Beranda. 2014. Mengembangkan Pola Asuh Demokratis.


Jakarta: PT Gramedia

www.lampungpost.com.Diunduh pada 2 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai