Anda di halaman 1dari 9

MODEL POLA ASUH ORANG TUA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN

SEORANG ANAK
Yumna Mumtaza1
1
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
1
mumtazayumna60@gmail.com
ABSTRAK
Setiap orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh dan membesarkan anak mereka dengan baik.
Kenakalan remaja merupakan hal yang saat ini banyak dikeluhkan oleh para orang tua. Pola asuh yang
diterapkan orang tua memengaruhi kepribadian seorang anak, dan kepribadian tersebut memengaruhi
perilaku anak hingga mereka dewasa. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan cara
menganalisis beberapa jurnal tentang pola asuh orang tua. Database yang digunakan adalah aplikasi
goggle scholar. Ditemukan sebanyak 26 artikel jurnal yang sesuai dengan tema artikel yang diambil. Ada
tiga jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak, yaitu pola asuh otoriter yang
cenderung keras dan menekan perilaku anak, pola asuh permisif yang cenderung memanjakan anak, dan
pola asuh demokratis yang cenderung memberikan kebebasan kepada anak tapi masih memperhatikan
aspek kedisiplinan pada anak. Model pola asuh ini harus dipahami, agar orang tua bisa menerapkan pola
asuh yang paling tepat untuk anaknya, karena pola asuh memiliki dampak yang besar dalam kehidupan
anak kedepannya. Pola asuh yang dianggap paling ideal untuk diterapkan pada anak adalah pola asuh
demokratis.
Kata Kunci: pola asuh orang tua, kepribadian anak.
PENDAHULUAN
Anak merupakan amanah titipan Tuhan kepada seluruh orang tua yang harus dijaga
dengan baik. Setiap orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik, merawat, dan membesarkan
anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, karena kelak amanah tersebut akan dimintai
pertanggung jawaban oleh pencipta-Nya. Anak adalah generasi penerus yang akan melanjutkan
perjalanan orang tuanya, karena itu dalam tahapan pertumbuhan dan perkembangannya, seorang
anak harus diberi stimulasi yang baik sejak usia dini agar semua aspek perkembangan dalam
dirinya bisa berkembang dengan baik dan optimal (Taib et al., 2020). Saat anak menginjak usia
dini, mereka mengalami sebuah proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat,
sehingga disebut sebagai lompatan perkembangan. Usia dini merupakan rentang usia yang sangat
berharga dibandingkan dengan usia-usia selanjutnya, karena anak mengalami perkembangan
kecerdasan yang sangat luar biasa pada masa ini.
Masa anak usia dini yang dimulai dari umur 0-6 tahun merupakan masa kritis yang
disebut dengan golden age di mana mereka memiliki rasa ingin tahu yang kuat terhadap hal-hal
yang baru dilihat dan didengarnya (Khairi, 2018). Masa ini merupakan masa terbentuknya
kepribadian seorang anak, karena itu setiap orang tua harus mengarahkan dan mendidik mereka
dengan baik sehingga terbentuk kepribadian yang baik dalam diri mereka dan mereka menjadi
pribadi yang mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Menurut Dr. John Bradshaw,
seorang ahli psikologi, pada usia 6-7 tahun gelombang otak anak berkembang pesat untuk
merespon sesuatu di mana anak memiliki kemampuan untuk mengingat sesuatu dengan mudah
dan ingatan tersebut tersimpan dalam long term memory (ingatan jangka panjang), sehingga
peristiwa-peristiwa yang mereka alami akan disimpan dengan kuat dalam memori mereka.
Segala hal yang dilakukan oleh orang tua saat anak-anak usia dini akan selalu mereka ingat

1
hingga mereka dewasa dan hal itu bisa membentuk kepribadian mereka seiring berjalannya
waktu. Hal tersebut sejalan dengan Sonia & Apsari (2020) yang menyatakan bahwa pola asuh
yang diterapkan orang tua kepada anak sejak mereka dalam masa perkembangannya akan
berpengaruh saat mereka dewasa, di mana pola asuh bisa membentuk sebuah karakter yang akan
memengaruhi kepribadian seorang anak dan memberi dampak dalam waktu yang lama bahkan
permanen.
Peran pengasuhan orang tua sangat dibutuhkan saat anak sedang berada dalam masa
kritisnya, karena saat itu anak-anak membutuhkan sosok role model yang akan menjadi
acuannya dalam berperilaku. Seorang anak akan belajar dengan mengamati perilaku yang
dilakukan orang-orang sekitarnya, dan orang yang paling dekat dengan mereka adalah orang
tuanya, karena orang tua sudah ada disamping mereka sejak lahir dan orang tua bertugas untuk
selalu mendampingi tumbuh kembangnya. Oleh karena itu, orang tua harus mempersiapkan pola
pengasuhan yang paling tepat untuk diterapkan saat mengasuh anak agar pengasuhan anak bisa
terpenuhi dengan baik dan benar. Menurut Rakhmawati (2015) apabila pengasuhan anak belum
bisa dipenuhi dengan baik, maka akan menyebabkan anak mengalami permasalahan atau konflik
sosial, baik konflik dengan orang tuanya sendiri maupun konflik dengan teman-teman di
lingkungan sekitarnya.
Anak menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarganya, karena keluarga
merupakan kelompok sosial primer. Keluarga merupakan lembaga pertama yang paling dasar
dalam membentuk kepribadian seorang anak, di mana anak-anak mulai dikenalkan dengan nilai
dan norma yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Anisah (2017)
bahwa dalam keluarga, orang tua memegang kekuasaan tertinggi dan bertanggung jawab penuh
dalam pembentukan kepribadian anak-anaknya, sehingga seluruh perilaku anak berada di bawah
kendali orang tua. Otoritasi yang dimiliki orang tua berfungsi untuk mengatur perilaku anak-
anaknya dan membuat mereka agar taat kepada orang tuanya, karena itu seorang anak mau tidak
mau harus mematuhi segala perintah dan larangan yang dibuat oleh orang tuanya.
Setiap orang tua memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga mereka memiliki
model pola asuh yang berbeda untuk diterapkan kepada anaknya. Menurut Inikah (2015) pola
asuh orang tua merupakan perilaku yang digunakan dan diperlihatkan orang tua saat berinteraksi
dengan anak-anaknya. Biasanya para orang tua menerapkan pola asuh seperti yang diterapkan
oleh orang tua mereka terdahulu (Ayun, 2017), meskipun begitu seluruh orang tua selalu ingin
memberikan yang terbaik untuk anaknya. Namun, terkadang mereka tidak menyadari bahwa
mereka menerapkan pola asuh yang salah dalam mendidik anak, dan kesalahan pola asuh
tersebut bisa memberikan dampak pada kehidupan anak kedepannya. Hal tersebut disebabkan
karena kepribadian yang dimiliki orang dewasa merupakan sebuah kebiasaan yang sudah
ditanamkan dalam diri mereka sejak masa kanak-kanak, yang berarti perlakuan yang diberikan
orang tua memiliki pengaruh dalam perkembangan kepribadian anak ketika dewasa.
Kebanyakan orang tua saat ini mengeluhkan kenakalan remaja yang sulit di atasi, akan
tetapi mereka tidak melakukan introspeksi diri mengenai pola asuh yang diterapkan saat anak
mereka masih usia dini. Kusdi (2018) menyatakan bahwa peran kepengasuhan orang tua sangat
dibutuhkan dalam pembentukan kepribadian seorang anak di mana orang tua bertanggung jawab
untuk meyakinkan anak-anaknya bahwa rumah adalah surga bagi mereka, dan fungsi keluarga
untuk memberikan rasa aman dan nyaman benar-benar ada. Anak yang tumbuh dalam
lingkungan keluarga yang positif dan harmonis akan membentuk kepribadian yang baik dan

2
penyayang, sebaliknya apabila anak tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan
konflik dan kekerasan mereka juga akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit diatur dan suka
membangkang (Anggraini & Hartuti, 2018), karena anak adalah seorang peniru yang baik.
Kepribadian merupakan suatu organisasi yang dinamis dalam diri individu yang sistem
psikologisnya menentukan karakteristik, tingkah laku serta cara berfikir seseorang (Sitanggang et
al., 2021). Kepribadian meliputi sebuah pola perilaku dan cara berpikir yang sifatnya khas, yang
berguna sebagai acuan untuk menentukan seseorang saat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, di mana kepribadian yang dimiliki seseorang berpengaruh dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Suryana & Sakti (2022) mengemukakan bahwa kepribadian manusia
sudah tertanam sejak mereka lahir di dunia, akan tetapi lingkungan sekitar juga bisa membentuk
sebuah kepribadian dalam diri manusia. Perbedaan kepribadian pada setiap anak disebabkan
karena mereka juga hidup dalam lingkungan dengan pola asuh yang berbeda-beda pula.
METODE
Metode ini menggunakan pendekatan review literatur, yaitu artikel jurnal. Objek
penelitian ini adalah pola asuh orang tua. Mengambil pola asuh orang tua sebagai objek
penelitian memiliki beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, orang tua merupakan Pendidikan
pertama bagi anak. Kedua, banyaknya kasus kenakalan remaja yang semakin meningkat. Ketiga,
benyak anak usia dini yang mengalami tantrum parah
Kelayakan data dipilih untuk menjadi sumber data penelitian yang tepat. Kriteria data
yang dikatakan layak menjadi sumber data penelitian yaitu jurnal nasional maupun internasional
yang dipublikasi selama sepuluh tahun terakhir. Literatur yang digunakan sebagai referensi
adalah jurnal nasional dengan tahun publikasi 2014 sampai dengan 2020. Seluruh referensi yang
digunakan hanya artikel jurnal, baik berupa artikel penelitian maupun artikel ulasan yang bisa
diakses sepenuhnya yang berkaitan dengan pola asuh orang tua.
Pada tahap pengumpulan data, kata kunci yang digunakan adalah “pola asuh orang tua”
AND “kepribadian anak”, Databsae yang digunakan untuk penelitian kepustakaan adalah
aplikasi Google Scholar. Pada tahap pengumpulan data, kata kunci yang digunakan adalah “pola
asuh orang tua terhadap kepribadian”, dari kata kunci tersebut ditemukan sebanyak 25 artikel
yang relevan dengan tujuan penelitian.
PEMBAHASAN
Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh merupakan bentuk pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak,
dan termasuk dalam mikrosistem perkembangan (Santrock, 2003 seperti dikutip dalam Langi &
Talibandang, 2021,). Pola asuh merupakan hal yang fundamental dalam pembentukan karakter
anak (Suryana & Sakti, 2022) di mana pola asuh berperan dalam memberikan contoh kepada
anak mengenai cara berperilaku, karena itu orang tua harus menjalin kedekatan dengan anak agar
mereka mau bersikap terbuka dengan orang tuanya, sehingga mereka bisa terhindar dari
pengaruh-pengaruh negatif yang ada di luar. Bentuk pola asuh orang tua bisa dilihat dari cara
mereka dalam memperlakukan anaknya, karena tentunya setiap pola asuh menghasilkan
kepribadian yang berbeda pada anak. Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap kepribadian
seorang anak, karena pola asuh yang diterapkan akan menjadi sebuah stimulus yang direkam
dalam pikiran seorang anak dan kemudian dikembangkan menjadi sebuah perilaku.

3
Setiap orang tua memiliki pola asuh yang berbeda-beda untuk diterapkan kepada
anaknya. Baurmin mengidentifikasi pola asuh orang tua menjadi tiga tipe, yaitu pola asuh
otoriter (authoritarian), permisif (permissive), dan demokratis (authoritative) (Baumrind &
Black, 1967 seperti dikutip dalam Anisah, 2017,). Bentuk pola asuh otoriter cenderung
memperlakukan anak dengan keras dan tegas, bentuk pola asuh permisif cenderung memanjakan
dan kurang memerhatikan perilaku anak, dan bentuk pola asuh demokratis adalah mendidik anak
dengan penuh kasih sayang tanpa mengabaikan aturan-aturan yang ada. Ketiga pola asuh
tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kepribadian seorang anak.
Seorang anak akan berkembang secara optimal apabila dia mendapatkan pola asuh yang
tepat dari orang tuanya. Menurut Nadhifah et al. (2021) seorang anak harus dibiasakan untuk
mandiri sejak dini di rumah. Kemandirian yang sudah terbentuk sejak dini bisa memudahkan
anak untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya saat mereka dihadapkan dengan
situasi yang baru. Dengan kemandirian yang telah diterapkan oleh orang tua, seorang anak bisa
memiliki kemampuan yang baik dalam mengambil keputusan dan memiliki rasa tanggung jawab
yang tinggi.
Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang cenderung menekankan adanya ketaatan
secara mutlak akan adanya peraturan yang dibuat, tanpa adanya toleransi dan anak tidak diberi
kesempatan bertanya mengenai alasan mengapa peraturan tersebut dibuat (Taib et al., 2020).
Dalam menerapkan peraturan yang telah dibuat, orang tua dengan pola asuh otoriter akan
memberikan ancaman-ancaman agar anak mau untuk terus taat dan berperilaku sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Orang tua jarang melakukan komunikasi dengan anak,
sehingga anak akan merasa keberadaannya kurang diakui oleh orang tuanya. Kerasnya perlakuan
orang tua juga menyebabkan anak menjadi takut saat berada di dekat orang tuanya. Hal tersebut
sejalan dengan Kurniati et al. (2019) yang menjelaskan bahwa dalam pola asuh ini, orang tua
mendidik anak dengan memberikan peraturan yang kaku dan tidak ada negosiasi di dalamnya,
orang tua selalu menuntut kepatuhan anak dengan membatasi perilaku-perilaku seorang anak dan
memberikan hukuman apabila perilaku anaknya tidak sesuai dengan keinginan orang tuanya.
Orang tua dengan pola asuh otoriter cenderung melakukan diskriminasi terhadap
anaknya. Hal tersebut sejalan dengan Ayun (2017) yang menjelaskan bahwa orang tua dengan
pola asuh otoriter tidak mau menghargai pendapat anaknya, tidak mendengarkan keluh kesah
anaknya, tidak memberikan apresiasi maupun pujian ketika anak mendapatkan prestasi,
seringkali tidak percaya dengan apa yang dilakukan anak. Namun, mereka menekankan pada
hukuman-hukuman ketika anak melakukan kesalahan, karena mereka hanya ingin anaknya
melakukan segala hal yang dianggap sesuai dengan keinginan mereka. Hal itu menyebabkan
adanya tembok pembatas antara anak dan orang tua, sehingga membuat hubungan antara anak
dan orang tua menjadi renggang.
Menurut Santrock (dalam Hidayati, 2014) pola asuh otoriter diterapkan dengan
melakukan pembatasan dan memberikan sejumlah hukuman kepada anak agar mereka mengikuti
arahan dan menghargai pekerjaan orang tuanya. Sebagian besar orang tua dengan pola asuh
otoriter berpikir bahwa dengan pola asuh tersebut seorang anak akan menjadi pribadi yang kuat
dan disiplin, karena mereka sudah terbiasa didik dengan keras sejak dini. Memang, anak yang
dibesarkan dengan pola asuh otoriter bisa menjadi anak yang bertanggung jawab dan memiliki
kompetensi. Namun, disisi lain ada banyak dampak buruk yang terjadi pada kepribadian anak
4
tersebut. Pola asuh otoriter bisa melemahkan mental anak, sehingga ada banyak aspek psikologis
yang terganggu dalam diri anak tersebut. Hal tersebut sejalan dengan Sari (2020) yang
menyatakan bahwa anak yang diasuh secara otoriter oleh orang tuanya lebih banyak merasakan
dampak negatif daripada dampak positifnya.
Pola asuh otoriter memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan seorang anak.
Riati (2016) menyatakan bahwa pola asuh otoriter membentuk kepribadian anak menjadi (1)
pasif saat bersama dengan orang tuanya, tetapi mereka menjadi agresif saat bersama dengan
teman-temannya atau saat bersama dengan orang lain, (2) selalu bergantung kepada orang lain
karena tidak mampu untuk menyelesaikan masalahnya (3) sulit mengambil keputusan ketika
dihadapkan dengan pilihan-pilihan hidup, karena mereka terlalu sering diatur oleh orang tuanya,
(4) pemalu dan kurang percaya diri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2020)
anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter memiliki kemampuan bersosial yang rendah dan
memiliki kesulitan untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, mereka tidak bisa bekerja
sama dengan baik di dalam tim, cenderung pendiam, tidak kreatif, dan bersikap agresif.
Munculnya sikap agresif berawal dari rasa frustasi pada anak yang disebabkan karena batasan
dan kendali penuh yang diterapkan oleh tua, sehingga membuat anak tidak mampu
mengungkapkan perasaannya (Maulida, 2008 seperti dikutip dalam Dewi & Susilawati, 2016,).
Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini berbanding terbalik dengan pola asuh otoriter. Pola asuh permisif
merupakan pola asuh yang cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk melakukan hal-
hal yang disukai dan selalu memenuhi segala sesuatu yang diinginkan oleh anak. Pola asuh
permisif ditandai dengan cara orang tua yang mendidik anak dengan memberikan kebebasan
seluas-luasnya dalam melakukan segala hal yang disukai tanpa adanya pengawasan yang cukup
(Fonta, 2020 seperti dikutip dalam Nuryatmawati, 2020). Kebanyakan anak menyukai pola asuh
permisif, karena dalam pola asuh ini orang tua cenderung memanjakan anak, sehingga mereka
bisa melakukan hal-hal yang mereka sukai dan tidak ada paksaan maupun pengekangan dalam
melakukan suatu hal. Hal tersebut sejalan dengan Nuryatmawati (2020) yang menjelaskan bahwa
orang tua dengan pola asuh permisif merupakan orang tua yang cenderung santai, karena mereka
tidak pernah membatasi perilaku anak, mereka jarang melakukan komunikasi dengan anak dan
hanya berperan sebagai “pemberi fasilitas” untuk anak. Pola asuh ini dianggap sebagai pola asuh
yang acuh tak acuh, karena orang tua membiarkan anak berperilaku seenaknya tanpa
memberikan pemahaman mengenai hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Pola asuh permisif dapat memberikan dampak yang positif apabila anak mampu
memanfaatkan kebebasan yang diberikan orang tuanya untuk mengembangkan kreatifitas yang
dimiliki. Namun, pada kenyataannya banyak anak yang menyalahgunakan kebebasan tersebut,
disebabkan karena kurangnya sosialisasi yang diberikan orang tua tentang perilaku, sehingga
mereka cenderung melakukan hal-hal yang menyimpang. Hal tersebut sejalan dengan
Makagingge et al. (2019) yang menjelaskan bahwa pola asuh permisif menyebabkan anak
bersikap seenaknya sendiri, cenderung memiliki ego yang tinggi, dan memiliki sifat yang tidak
mau mengalah saat bergaul dengan teman-temannya. Pola asuh ini bisa membentuk anak
menjadi pribadi yang tidak bisa mengontrol perilakunya sendiri, karena orang tuanya tidak
bersikap tegas dalam membatasi perilaku yang tidak boleh dilakukan. Selain itu anak yang
diasuh secara permisif akan mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan larangan-larangan
yang ada di lingkungannya.

5
Latar belakang dan pekerjaan orang tua bisa menjadi faktor penyebab orang tua
menerapkan pola asuh permisif. Hal tersebut sejalan dengan Fadhilah et al. (2019) yang
menjelaskan bahwa orang tua yang terlalu disibukkan dengan pekerjaannya menyebabkan
mereka kurang memiliki waktu untuk anaknya, sehingga membuat mereka kurang
memperhatikan apa yang dilakukan oleh anaknya saat kecil. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hanifah et al. (2021) pola asuh permisif menyebabkan anak menjadi pribadi yang
suka memaksakan seluruh keinginannya agar selalu dipenuhi, anak memiliki emosi yang
meledak-ledak apabila keinginannya tidak terpenuhi, anak memiliki kesulitan untuk
bersosialisasi dengan orang lain di lingkungannya, tidak tumbuh rasa empati dalam diri anak
sehingga mereka selalu ingin menang sendiri, anak tidak mau minta maaf meski mereka
menyadari kesalahannya.
Pola Asuh Demokratis
Pola asuh ini dianggap pola asuh yang paling bagus dan paling ideal di antara dua pola
asuh yang lain. Dalam pola asuh ini, orang tua mendidik anak dengan tegas, tapi juga
mendampingi mereka dengan penuh kasih sayang, di mana orang tua memberikan apresiasi
ketika anak melakukan kebaikan dan memberi mereka peringatan ketika mereka melakukan
perbuatan yang tidak sesuai. Bahkan orang tua juga memberi hukuman apabila pelanggaran yang
dilakukan oleh anak sudah tidak bisa ditoleransi. Pola asuh demokratis merupakan pola asuh
yang diterapkan orang tua dengan cara menerapkan peraturan-peraturan dengan tetap
memerhatikan kemampuan dan kebutuhan anak, tanpa mengabaikannya. Hurlock (dalam Masni,
2017) menjelaskan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis menekankan pada
pemberian bimbingan dan pengertian kepada anak mengenai alasan mengapa anak tersebut
dilarang atau diperbolehkan melakukan hal tersebut. Bentuk pola asuh demokratif berupa
pemberian kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya dan melakukan hal-hal
yang disukai, asalkan tidak melampaui batasan atau melanggar peraturan yang sudah ditetapkan
oleh orang tuanya.
Pola asuh demokratis bisa menciptakan kedekatan hubungan antara orang tua dan anak,
karena dalam pola asuh ini terdapat kesepakatan antara orang tua dan anak mengenai peraturan
yang dibuat. Dalam pola asuh ini, anak diajari untuk percaya diri dalam menyampaikan pendapat
dan mendengarkan pendapat orang lain ketika berdiskusi. Anak yang dibesarkan dengan pola
asuh demokratis akan menjadi anak yang kreatif dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya.
Hal tersebut sejalan dengan Masni (2017) yang menjelaskan bahwa pola asuh demokratif bisa
mengembangkan kreatifitas anak dengan baik karena orang tua selalu mengarahkan anak untuk
berinisiatif agar mereka selalu bisa menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapi. Dengan
begitu, anak-anak yang diasuh secara demokratis bisa menjadi anak yang mandiri dan bisa
mengelola emosi dengan baik ketika mereka dihadapkan dengan situasi yang tidak
menyenangkan dalam hidup.
Sikap orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis menunjukkan bahwa pola asuh
ini adalah yang paling tepat untuk diterapkan. Orang tua dengan pola asuh demokratis memiliki
sikap yang hangat dan penuh kasih sayang kepada anak, membuat peraturan kedisiplinan yang
disepakati bersama dengan anak, mengontrol perilaku anak agar disiplin dengan memberikan
hukuman dan hadiah, memberikan alasan yang rasional akan mengapa aturan tersebut dibuat,
dan mengakui keberadaan anak dengan mendengarkan pendapat mereka.
Kepribadian Anak
6
Secara etimologis, kepribadian berasal dari bahasa Inggris (personality). Istilah tersebut
berasal dari bahasa Latin (persona) yang berarti topeng dan personare yang berarti menembus.
Sejarah istilah topeng berasal dari salah satu atribut yang digunakan oleh para aktor Romawi
kuno untuk memainkan sebuah peran. Namun definisi tersebut ditolak oleh para ahli psikologi,
karena istilah “kepribadian” mengacu pada suatu hal yang lebih besar daripada sekedar peran
yang dimainkan oleh seseorang (Ja’far, 2016).
Sebenarnya para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai definisi
kepribadian. Namun, dari semua definisi yang telah disebutkan oleh para ahli dapat disimpulkan
bahwa kepribadian merupakan sebuah pola perilaku yang sifatnya khas dan berguna sebagai
acuan untuk menentukan seseorang saat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Istilah khas
berarti adanya konsistensi antara cara berpikir seseorang dengan perilakunya ketika dihadapkan
dengan berbagai situasi. Sedangkan perilaku terbentuk dari karakteristik kepribadian, keadaan
sosial, dan keadaan fisik lingkungan yang saling berhubungan satu sama lain.
Kepribadian merupakan karakteristik perilaku yang ditunjukkan seseorang dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Kepribadian manusia bisa terbentuk melalui dua faktor, yaitu
genetik dan lingkungan. Faktor genetik berarti sifat bawaan yang diturunkan orang tua dan telah
dibawa sejak manusia lahir ke dunia, sedangkan faktor lingkungan berasal dari pengaruh
lingkungan sekitar yang membentuk kepribadian manusia seiring berjalannya waktu.
Lingkungan terdekat manusia adalah keluarga, yang di dalamnya ada peran besar orang tua
untuk mengarahkan dan membentuk kepribadian anak agar tumbuh menjadi pribadi yang baik
dan mampu mengelola emosinya dengan baik. Menurut Ayun (2017) melalui pengasuhan orang
tua yang penuh kasih sayang dan disertai dengan penanaman nilai-nilai moral kehidupan bisa
menjadi cara yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi yang bermoral, sehingga
bisa diterima dengan baik di masyarakat.
Krisis moral pada remaja saat ini berasal dari permasalahan kepribadian saat mereka
masih berusia dini. Hal tersebut bukanlah pemasalahan yang sepele, karena bisa menimbulkan
dampak yang begitu fatal dalam kehidupannya. Menurut Imron (2016) agar kepribadian anak
bisa berkembang seperti yang diharapkan, maka orang tua juga harus menerapkan pola asuh
yang sesuai dengan perkembangan zaman, dengan melatih mereka untuk hidup bersama dalam
masyarakat, membiasakan mereka untuk taat beribadah agar menguatkan keimanan, dan
memberikan sosialisasi kepada mereka mengenai isu-isu penyimpangan seksual agar mereka
lebih berhati-hati dalam bergaul.
SIMPULAN
Anak merupakan sebuah amanah, yang berarti setiap orang tua yang dikaruniai anak
harus benar-benar menjaga dan meperlakukan amanah tersebut dengan baik. Cara orang tua
dalam mendidik anak kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh sang pencipta. Pendidikan
moral anak bisa mulai diterapkan sejak mereka berusia dini, yaitu usia 0-6 tahun saat mereka
berada dalam masa kritisnya. Pada masa ini keberadaan orang tua sangat dibutuhkan untuk
memberikan arahan dan bimbingan kepada mereka dalam berperilaku, karena perilaku anak
sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya.
Setiap orang tua memiliki pola asuh yang berbeda untuk anaknya. Mereka ingin agar
anaknya menjadi pribadi seperti yang diinginkan. Ada tiga pola asuh yang diterapkan orang tua
dalam mendidik anak, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh demokratis.

7
Setiap orang tua akan memilih pola asuh yang menurut mereka paling sesuai untuk diterapkan
kepada anaknya. Pola asuh otoriter berupa perilaku orang tua yang keras dan kaku dalam
mendidik anak, sehingga menyebabkan anak menjadi cemas dan takut saat bersama dengan
orang tuanya. Sebaliknya, pola asuh permisif berupa perilaku orang tua yang kurang tegas dan
terlalu memanjakan anak. Sedangkan pola asuh demokratis berupa perilaku orang tua yang
memberikan cukup kasih sayang kepada anak dengan tetap memperhatikan perilaku anak agar
tetap disiplin dalam berperilaku, pola asuh ini dianggap paling ideal diantara dua pola asuh yang
lain.
Pola asuh orang tua memengaruhi kepribadian anak hingga mereka dewasa. Kepribadian
tersebut akan mendasari perilaku mereka saat berinteraksi dengan orang lain. Apa yang
dilakukan orang tua saat anak masih usia dini akan selalu diingat dalam memori mereka dan
menjadi sebuah acuan mereka untuk merespon atau melakukan sesuatu. Oleh karena itu, pola
asuh yang diterapkan harus menjadi sebuah pertimbangan besar bagi orang tua dalam mendidik
anak.
REFERENSI
Anggraini, A., & Hartuti, P. (2018). Hubungan pola asuh orang tua dengan kepribadian siswa
SMA di Kota Bengkulu. Consilia: Jurnal Ilmiah Bimbingan Dan Konseling, 1(1), 10–18.
Anisah, A. S. (2017). Pola asuh orang tua dan implikasinya terhadap pembentukan karakter anak.
Jurnal Pendidikan UNIGA, 5(1), 70–84.
Asma Fadhilah Hanifah, H., Aisyah, D. S., & Karyawati, L. (2021). Dampak Pola Asuh Permisif
Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial-Emosional Anak Usia Dini. EARLY
CHILDHOOD: JURNAL PENDIDIKAN, 5(2), 90–104.
Ayun, Q. (2017). Pola asuh orang tua dan metode pengasuhan dalam membentuk kepribadian
anak. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 5(1), 102–122.
Dewi, N., & Susilawati, L. (2016). Hubungan antara kecenderungan pola asuh otoriter
(authoritarian parenting style) dengan gejala perilaku agresif pada remaja. Jurnal Psikologi
Udayana, 3(1), 108–116.
Fadhilah, T. N., Handayani, D. E., & Rofian, R. (2019). Analisis Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Pedagogi Dan Pembelajaran, 2(2), 249–255.
Hidayati, N. I. (2014). Pola Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi, dan Kemandirian
Anak SD. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 3(01).
Imron, A. (2016). Pendidikan Kepribadian Anak Menurut Abdullah Nashih Ulwan. Edukasia
Islamika, 89–118.
Inikah, S. (2015). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Dan Kecemasan Komunikasi Terhadap
Kepribadian Peserta Didik. Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 6(1), 19–40.
Ja’far, S. (2016). Struktur Kepribadian Manusia Perspektif Psikologi Dan Filsafat. Psympathic :
Jurnal Ilmiah Psikologi, 2(2), 209–221. https://doi.org/10.15575/psy.v2i2.461
Khairi, H. (2018). Karakteristik perkembangan anak usia dini dari 0-6 tahun. Jurnal Warna, 2(2),
15–28.

8
Kurniati, R., Menanti, A., & Hardjo, S. (2019). Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter dan
Kematangan Emosi Dengan Perilaku Agresif Pada Siswa SMP Negeri 2 Medan.
Tabularasa: Jurnal Ilmiah Magister Psikologi, 1(1), 59–68.
Kusdi, S. S. (2018). Peranan pola asuh orang tua dalam pembentukan karakter anak. AL-
USWAH: Jurnal Riset Dan Kajian Pendidikan Agama Islam, 1(2), 100–111.
Langi, F. M., & Talibandang, F. (2021). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan
Kepribadian Anak. Journal of Psychology" Humanlight", 2(1), 48–68.
Makagingge, M., Karmila, M., & Chandra, A. (2019). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Perilaku Sosial Anak (Studi Kasus Pada Anak Usia 3-4 Tahun di KBI Al Madina
Sampangan Tahun Ajaran 2017-2018). Yaa Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini,
3(2), 115–122.
Masni, H. (2017). Peran pola asuh demokratis orangtua terhadap pengembangan potensi diri dan
kreativitas siswa. Jurnal Ilmiah Dikdaya, 6(1), 58–74.
Nadhifah, I., Kanzunnudin, M., & Khamdun, K. (2021). Analisis Peran Pola Asuh Orangtua
Terhadap Motivasi Belajar Anak. Jurnal Educatio FKIP UNMA, 7(1), 91–96.
Nuryatmawati, A. M. (2020). Pengaruh Pola Asuh Permisif Terhadap Kemandirian Anak Usia
Dini. Pedagogi: Jurnal Anak Usia Dini Dan Pendidikan Anak Usia Dini, 6(2), 81–92.
Rakhmawati, I. (2015). Peran keluarga dalam pengasuhan anak. Jurnal Bimbingan Konseling
Islam, 6(1), 1–18.
Riati, I. K. (2016). Pengaruh pola asuh orang tua terhadap karakter anak usia dini. Jurnal
Infantia, 4(2), 1–8.
Sari, C. W. P. (2020). Pengaruh Pola Asuh Otoriter Orang Tua Bagi Kehidupan Sosial Anak.
Jurnal Pendidikan Dan Konseling, 2(1), 76–80.
Sitanggang, F. S., Silaban, P. J., Lumbangaol, R., & Simarmata, E. J. (2021). Pengaruh Pola
Asuh Orang Tua terhadap Kepribadian Siswa pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu,
5(4), 2358–2362.
Sonia, G., & Apsari, N. C. (2020). Pola Asuh Yang berbeda-beda dan Dampaknya Terhadap
Perkembangan Kepribadian Anak. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, 7(1), 128–135.
Suryana, D., & Sakti, R. (2022). Tipe Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya terhadap
Kepribadian Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(5),
4479–4492.
Taib, B., Ummah, D. M., & Bun, Y. (2020). Analisis Pola Asuh Otoriter Orang Tua Terhadap
Perkembangan Moral Anak. Jurnal Ilmiah Cahaya Paud, 2(2).

Anda mungkin juga menyukai