Anda di halaman 1dari 88

DISIPLIN POSITIF

Pendekatan Sekolah Secara Menyeluruh

INSTITUTE OF GOOD GOVERNANCE AND REGIONAL DEVELOPMENT


JAKARTA
2016
Disiplin Positif. Pendekatan Sekolah Secara Menyeluruh
Jakarta. @iggrd2016

IGGRD2016 Hal 2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 3


PENGANTAR.......................................................................................................................... 4
PERKEMBANGAN ANAK ........................................................................................................ 6
DAMPAK PENGGUNAAN HUKUMAN TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK......................... 16
KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP GURU YANG MENGGUNAKAN HUKUMAN ................. 25
MEMAHAMI DISIPLIN POSITIF ............................................................................................ 32
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: MENGENALI DAN MEMAHAMI MISBEHAVE ..................... 42
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: BULLYING .......................................................................... 49
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: PENERAPAN LOGICAL CONSEQUENCES ............................ 53
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: POSITIVE REINFORCEMENT AND ENCOURAGEMENT ....... 61
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: MENGATASI KONFLIK ........................................................ 68
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: MENGINTEGRASIKAN DISIPLIN POSITIF DALAM PROSES
PEMBELAJARAN .................................................................................................................. 74
PENDEKATAN SEKOLAH SECARA MENYELURUH DALAM PENERAPAN DISIPLIN POSITIF ... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 86

IGGRD2016 Hal 3
PENGANTAR

Akhir-akhir ini kekerasan terhadap anak marak terjadi, seperti


bullying bahkan melalui pendekatan disiplin yang digunakan guru
(misalnya pendekatan hukuman). Sekolah yang seharusnya menjadi
tempat dimana anak mendapatkan rasa aman, juga menjadi tempat
kekerasan itu terjadi. Salah satu penyebabnya adalah pendekatan yang
diterapkan di sekolah masih cenderung pada pendekatan hukuman.
Padahal dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman berdampak
negatif terhadap perkembangan anak. Untuk itu, perlu ada pendekatan
alternatif menggantikan pendekatan hukuman dalam menghadapi anak
di sekolah. Pendekatan disiplin yang diyakini mendukung perkembangan
anak adalah disiplin positif. Prinsip dalam penerapan disiplin positif yang
dianut adalah pendekatan menyeluruh baik dari pribadi guru, proses
pembelajaran, aturan sekolah, peran seluruh warga sekolah dan orang
tua (budaya dan sistem). Oleh karena itu, guru-guru perlu mendapat
pelatihan mengenai disiplin positif sehingga dapat meningtegrasikannya
dalam pembelajaran di dalam kelas maupun dalam lingkungan sekolah.

Bahan bacaan ini merupakan rujukan dan referensi yang


digunakan dalam memahami disiplin positif. Bahan bacaan ini disusun
sesuai dengan prinsip pendekatan menyeluruh penerapan disiplin positif
di sekolah yang dikembangkan dalam pelatihan. Oleh karena itu, materi
yang disajikan dalam bahan bacaan ini sesuai dengan urutan materi dalam
“Manual Pelatihan Disiplin Positif Untuk Guru”. Dengan demikian
partisipan ataupun fasilitator dapat menggunakan materi bacaan ini

IGGRD2016 Hal 4
untuk memperdalam pemahamannya mengenai disiplin positif di
sekolah.

Selain mengenai konsep dan pemahaman akan disiplin positif,


bahan bacaan ini juga disusun dengan berbagai tips dan langkah-langkah
penerapannya di sekolah. Sehingga bahan bacaan ini bisa membantu
partisipan, guru, kepala sekolah dan fasilitator dalam menerapkan disiplin
positif di sekolah secara menyeluruh.

Akhirnya, tim penulis berharap bahan bacaan ini bisa membantu


pembaca dalam memahami dan menerapkan disiplin positif di sekolah.

Tim Penulis

IGGRD2016 Hal 5
PERKEMBANGAN ANAK

Banyak perbedaan paradigma dalam memahami anak. Sebelum


pertengahan abad 20, konsep dominan mengenai anak adalah melihat
anak sebagai penerima passif, tidak dapat berpikir dengan baik dan
tergantung pada orang dewasa. Konsep ini sudah ditinggalkan. Sekarang
disadari bahwa anak adalah aktor sosial aktif, yang punya kontribusi
terhadap masyarakat tidak sekedar mengikuti apa yang terjadi dalam
masyarat atau lingkungannya. Untuk itu guru harus memahami konsep
perkembangan sebagai proses aktif dimana masyarakat harus
memberikan ruang dan jaminan berlangsungnya proses perkembangan
tersebut dengan baik. Perkembangan didefenisikan sebagai proses
perubahan dimana anak menjadi semakin mahir dan bertumbuh pada
level yang semakin kompleks, baik dari segi pemikiran, perasaan dan
interaksi dengan orang lain dan objek dalam lingkungan.

Perkembangan anak meliputi:1


- Pertumbungan
- Perubahan
- Komunikasi
- Belajar
- Pertumbungan pada kemandirian diri
- Mengambil peran dalam kehidupan sosial

Prinsip utama yang mendasari perkembangan anak adalah sebagai


berikut:2

1
Elizabeth and Pal Jareg. 1994. Reaching Children Through Dialogue, Redd Barna Pb.
Macmillan.
2
Lihat Evans, J.L., Myers, R.G., Ilfeld, E.M. 2000. Early Childhood Counts: A Programming
Guide on Early Childhood Care for Development. Washington DC: The World Bank.

IGGRD2016 Hal 6
- Perkembangan bersifat holistik. Perkembangan adalah hasil saling
mempengaruhi antara faktor bawaan, sosial, budaya dan
lingkungan.
- Perkembangan anak dimulai pada masa prenatal
- Delapan tahun pertama anak adalah dasar untuk perkembangan
selanjutnya untuk itu perlu perhatian intens pada tahap ini
- Kebutuhan anak berbeda di setiap tahun pada usia dini
- Perkembangan bersifat multi-determined dan bervariasi
tergantung gizi anak, pengaruh biologis, warisan genetik, sosial
dan konteks budaya
- Perkembangan anak secara natural adalah komulatif dan tidak
selalu progresif
- Anak adalah partisipan aktif dalam perkembangannya dan proses
belajarnnya
- Perkembangan dan proses belajar terjadi sebagai hasil dari
interaksi anak dengan orang lain dan objek dalam lingkungannya
- Anak tinggal dalam sebuah konteks—keluarga, komunitas,
budaya—dan kebutuhan mereka semakin efektif jika
dihubungkan dengan konteks ini.
- Perkembangan berlangsung seumur hidup, artinya
perkembangan berlangsung dan berkesinambungan sepanjang
hidup
- Perkembangan bersifat multidireksional, yaitu bahwa
perkembangan terjadi pada arah tertentu, misalnya pada masa
bayi lebih condong pada perkembangan fisikal
- Perkembangan bersifat lentur, artinya perkembangan itu dapat
distimulasi sehingga berlangsung optimal

Prinsip yang diutarakan di atas juga sesuai dengan prinsip


perkembangan menurut lifespan development perspective. Ada empat
asumsi yang mendasari prinsip ini yaitu (1) lifelong, (2) multidimensional

Lihat juga Rita Eka I, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: Fakultas
Fsikologi-UNY

IGGRD2016 Hal 7
and multidirectional, (3) highly plastic, and (4) affected by multiple
interacting forces.3
Selain prinsip di atas perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang
memperngaruhi perkembangan anak. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan anak yaitu keberadaan anak itu seperti genetik dan faktor
bawaan, dan faktor lingkungan meliputi keamanan dan penerimaan anak,
kasih sayang dan dukungan dari berbagi pihak serta lingkungan yang
ramah anak (kebutuhan dasar anak terpenuhi, anak memperoleh
kesemapat untuk berpartisipasi secara adil, kesempatan
mengekspresikan diri, hak anak dijamin, jaminan perlindungan dari
berbegai bentuk kekerasan). Lingkungan dan faktor bawaan saling
mempengaruhi dalam perkembangan anak.
Oleh karena itu perkembangan anak harus dilihat dari kerangka
interaksi dengan lingkungan sekitarnya yang terus menerus saling
mempengaruhi. Interaksi ini meliputi konteks personal, interpersonal,
sosial dan tingkatan budaya. Setiap konteks ini masing-masing punya
peran yang signifikan terhadap perkembangan anak. Salah satu teori
mengenai interaksi dan partisipasi yang saling memperngaruhi antar
konteks diperkenalkan oleh Urie Bronfenbrenner melalui teori sosial
ekologi-nya.4 Dasar dari perkembangan anak direpresentasikan oleh
faktor fisik (inner physical), kognitif, emosi dan sosial. Kemudian menurut
Bronfenbrenner terdapat lima sistem lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan anak selain faktor internal. Kelima sistem tersebut

3
Berk, L.E. 2007. Development Through The Lifespan, 4/e. Illinois State University
4
Ibid. Lihat juga: Rita Eka I, dkk. Op. Cit.

IGGRD2016 Hal 8
meliputi mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan
kronosistem. Pada level Mikrosistem perkembangan anak dipengaturi
oleh interaksi anak dengan orang lain dan institusi yang dekat dengannya
yaitu orang tua, teman sebaya, dan sekolah. Pada level berikutnya, yaitu
Mesositem, terjadi interaksi antar mikrosistem misalnya interaksi antar
orang tua, guru dalam sistem sekolah, anggota keluarga dan teman
sebaya dalam institusi keagamaan, organisasi kepemudaan, atau anak-
anak. Lingkungan berikutnya adalah Ekosistem, yaitu struktur yang
memperngaruhi perkembangan anak melalui interaksi beberapa struktur
dalam mikrosistemnya. Ekosistem merupakan sistem sosial yang lebih
luas dimana siswa tidak terlibat langsung atau tidak punya peran langung.
Meskipun anak tidak terlibat langsung namun mereka tetap dapat
merasakan dampak positif atau negatif yang memperngaruhi sistem
mereka sendiri. Misalnya adalah jadwal dan beban kerja orang tua di
kantor akan mempengaruhi anak, kondisi kemiskinan dan kekondusifan
masyarakat. Tingkat berikutnya adalah Makrositem yang mengelilingi
mikro-meso dan ekosistem. Nilai-nilai, ideologi, hukum, masyarakat dan
budaya direpresentasikan dalam sistem ini. Pada tingkatan inilah kita
mengerti bahwa anak di Indonesia berbeda dengan anak di Eropa.
Contohnya adalah ada tidaknya payung hukum, budaya yang melindungi
anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sitem kelima
adalah Kronosistem yang meliputi dimensi waktu yang berpengaruh pada
lingkungan anak (dari mikrosistem ke makrosistem). Elemen dari sistem
ini bisa saja terjadi dari faktor ekstenal seperti perubahan psikologis yang
terjadi pada anak, kehilangan orang tua.

IGGRD2016 Hal 9
http://www.growingupinaustralia.gov.au/pubs/reports/krq2009/keyresearchquestions.html

Dari teori sosial ekologi-nya Bronfenbrenner kita dapat melihat bahwa


perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungan dari yang mikro sampai
ke makro bahkan faktor luar yang tidak bisa diduga seperti
kehilangan/kematian orang tua. Untuk itu, dalam berhubungan dengan
anak guru harus mempertimbangkan setiap sistem ini. Lebih lanjut, untuk
menyediakan kesempatan yang luas pada perkembangan anak setiap
sistem tersebut harus diberdayakan, dari keluarga, masyarakat, budaya
bahwa kebijakan pemerintah.

Aspek perkembangan anak


Sebagaimana yang diungkapkan pada prinsip perkembangan anak bahwa
terdapat beberapa area/aspek perkembangan anak. Berikut adalah
area/aspek perkembangan anak:

IGGRD2016 Hal 10
 Perkembangan fisik, yang meliputi kesehatan, perkembangan
otak, perkembangan biologis dan perkembangan psikomotorik
 Perkembangan emosional, meliputi
penghargaan diri, kepercayaan diri, dan
identitas diri. Perkembangan emosional
adalah dasar bagi perkembangan kognitif
dan sosial. Perkembangan emosional
anak akan mempengaruhi hubungannya
dengan orang lain, dan sebaliknya.
 Perkembangan kognitif, meliputi bahasa, intelegensia, pemikiran,
pemecahan masalah dan skill analisis
 Perkembangan sosial meliputi komunikasi, membangung relasi,
sikap, skill sosial, norma, aturan, kemampuan resolusi konflik
bahkan perkembangan etika dan moral.

Setiap aspek perkembangan ini saling mempengaruhi satu dengan


yang lain, tidak mungkin satu aspek berkembang optimal tanpa diikuti
perkembangan aspek lain. Salah satu gambaran relasi antar aspek ini
diungkapkan oleh Horno.
Social
Development Horno5 menggambarkan
relasi keempat aspek ini
Cognitive
Development dalam bentuk piramida

Affective/Emotional seperti yang terlihat di


Development
samping. Melalui gambaran

5
Horno, P. 2005. Love, Power and Violence: A Transcultural Comparison of Physical and
Psychological Punishment Patterns. Spain: Save the Children Spain

IGGRD2016 Hal 11
relasi piramid ini Horno ingin mengatakan bahwa perkembangan
emosional menjadi dasar pada perkembangan yang lain. Namun ini
hanyalah salah satu gambaran, berbagai gambaran lain melihat interrelasi
terjadi tidak bertingkat namun secara totalitas.

Ciri dasar perkembangan berdasarkan tahap umur:6


Tingkatan Ciri dasar perkembangan
0-1 tahun  Anak pada umur ini belajar mempercayai orang tua atau
orang lain
 Anak membutuhkan rasa aman, kepercayaan, perhatian
dan interaksi yang intens. Untuk itu tindakan seperti
memeluk, berbicara, tersenyum, sentuhan, dll dari
orang tua sangat dibutuhkan anak.

1-4 tahun  Anak sekarang sudah mengalami rasa marah baik karena
hal fisik maupun emosional
 Pada umur ini, anak ingin mengeksplorasi segala sesuatu
yang berada di sekitarnya. Hal ini karena rasa ingin tahu
mereka yang besar
 Anak sudah mampu berbicara, berjalan, pergi ke toilet,
memakai baju dan memulai melakukan sesuatu secara
mandiri
 Anak menganggap temannya sebagai
saingan/kompetitor. Misalnya anak tidak ingin berbagi
mainan, makanan dengan temannya.
 Anak sudah mulai mengetahui sesuatu tindakan ada
penyebab dan akibatnya
 Anak membutuhkan aturan, tuntunan dan penjelasan
sederhana untuk mengontrol dorongan emosi mereka.

5 tahun Cenderung tenang dan pendiam. Biasanya terdapat


keinginan untuk mencoba hanya pada hal-hal yang dapat

6
Lihat UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan
Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam
Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi Pendidik. Thailand:UNESCO. Dan lihat
juga: Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual. Vietnam: Plain in Vietnam

IGGRD2016 Hal 12
dia lakukan, sehingga dia merasa nyaman dalam melakukan
penyesuaian. Ramah, periang, apresiatif, ingin
menyenangkan orang lain dan melakukan hal-hal yang
benar; ingin dan berniat jadi anak baik; belum mampu
mengakui kesalahan dan juga belum mampu
mengungkapkan kebenaran.
6 tahun Emosi tinggi. Cepat suka dan cepat pula untuk benci pada
sesuatu hal. Sering membuat kekacauan dan
menimbulkan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Terkadang memancing kegaduhan dan
perkelahian dengan orang lain. Ketika suasana hatinya
sedang baik, anak berumur 6 tahun akan menunjukkan
sifatnya yang riang gembira, enerjik, dan antusias. Anak
dalam masa perkembangan ini membutuhkan banyak
pujian, namun perilakunya cenderung menimbulkan
kritikan dari orang sekitarnya. Namun sayangnya kritikan
tersebut seringnya malah membuat perilaku anak semakin
tidak baik. Anak umur 6 tahun belum dapat membedakan
kepemilikannya maupun kepemilikan orang lain.
7 tahun Cenderung tenang dan berperilaku positif. Bersikap serius,
asyik dengan diri sendiri, moody (suasana
hati yang berubah-ubah), penuh kecurigaan atau
kekhawatiran. Sangat sensitif dengan suasana
hati orang disekitarnya. Terkadang merasa dirinya tidak
disukai oleh orang lain sehingga mereka merasa harus
membuat orang tersebut senang. Sering bermalas-
malasan, rentang ingatan pendek, dan perhatiannya mudah
dialihkan.
8 tahun Penuh semangat, dramatis, rasa ingin tahu yang tinggi, dan
banyak kemauannya. Tidak se – moody anak usia 7 tahun,
namun anak usia 8 tahun tetap sensitif. Membutuhkan
orang lain untuk meluangkan waktu, perhatian, dan setuju
pada dirinya; mulai berpikir secara abstrak; Tertarik dan
fokus pada kepemilikan pribadi.
9 tahun Lebih pendiam dari pada anak usia 8 tahun. Cenderung
mandiri, bertanggung jawab, dapat
diandalkan, dan kooperatif. Terkadang bisa menjadi

IGGRD2016 Hal 13
temperamental (cepat marah) namun pada dasarnya
kemarahan mereka berdasar. Mereka dapat menerima
kritikan dengan baik apabila kritikan tersebut disampaikan
dengan baik; tertarik dengan kesamarataan; bagi anak
berumur 9 tahun standar kelompok lebih penting daripada
standar yang ditetapkan oleh orang dewasa. Cenderung
asyik dengan diri sendiri dan mungkin tidak mendengarkan
ketika diajak bicara. Terkadang mereka terlihat tidak peduli
dan acuh tak acuh
namun di waktu lain mereka dapat menunjukkan
10 tahun Ceplas-ceplos, terus terang, sederhana, jelas, stabil namun
masih bersikap kekanakan. Memiliki banyak
kemauan namun tidak sebanyak anak berusia 9 tahun.
Cenderung ceria dan berbahagia dengan kehidupan yang
mereka jalani. Di suatu waktu menunjukkan sikap dengan
tensi tinggi melalui kemarahan yang meledak-ledak namun
di lain waktu menunjukkan rasa kasih sayangnya. Anak usia
10 tahun tidak dalam masa perkembangan yang
mengkhawatirkan, namun sifatsifatnya pada usia
sebelumnya bagaimanapun masih terlihat.
Senang membuat kelucuan sendiri yang belum tentu lucu
bagi orang lain. Usia 10 tahun adalah usia yang
bahagia.
11-13tahun Usia awal masa remaja, usia di mana terdapat banyak
perubahan. Mengembangkan identitas pribadi dan lebih
mandiri. Kebutuhan akan privasi meningkat dan merasa
sangat sensitif bila di olok-olok dan moody. Kebutuhan
untuk memiliki teman
meningkat.
14-16 Usia pertengahan masa remaja. Kemandirian,
tahun pengembangan seksual, dan kepedulian pada diri
sendiri meningkat. Sangat sadar/mengutamakan
penampilan. Pemikiran kekanakan sudah banyak
berkurang; mereka peduli akan fakta dan dapat
membuat keputusan yang baik.
17-21 tahun Usia akhir masa remaja. Menjadi lebih mandiri, bergantung
pada diri sendiri, hanya sedikit sekali

IGGRD2016 Hal 14
terpengaruh oleh teman-teman di sekitarnya;
mengembangkan kapasitas pemikiran yang dewasa.
Umumnya lebih mudah ditangani daripada anak-anak pada
usia awal atau tengah masa keremajaan.
Bereksplorasi pada hubungan jangka panjang.
Berpendapat pada banyak hal yang terjadi di sekitarnya.
Berkurangnya kesadaran diri akan penampilan semata.

IGGRD2016 Hal 15
DAMPAK PENGGUNAAN HUKUMAN TERHADAP
PERKEMBANGAN ANAK

1. Defenisi dan Bentuk Hukuman


a. Defenisi Hukuman

Menjadi guru memang tidak mudah, banyak aspek yang harus


dipertimbangkan ketika berhadapan dengan siswa. Selain memikirkan
bagaimana menciptakan suasana yang mendorong berkembangkannya
hasrat belajar siswa, guru juga harus memikirkan bagaimana menghadapi
perilaku anak yang sangat beragam. Banyak guru yang menyakini
efektivitas proses belajar akan terjadi jika perilaku anak harus disesuai
dengan apa yang dimaui oleh guru. Oleh karena itu dalam praktik belajar
mengajar guru percaya teknik reward and punishment adalah cara yang
paling efektif. Di berbagai tempat, hukuman sudah menjadi kebiasaan
guru dalam mengarahkan perilaku siswa. Bahkan hukuman dianggap
sebagai bentuk pendidikan. Guru dan orang tua melihat bahwa anak atau
siswa perlu bahkan harus diberi semacam efek jera berupa hukuman agar
mereka tidak mengulangi perilaku yang dianggap tidak pantas.

Hukuman adalah semua tindakan yang diberikan guru atau orang tua
pada anak untuk mengubah perilaku negatif dan yang menyebabkan rasa
sakit secara fisik ataupun emosional atau kedua-duanya. Hukuman ada
dua jenis yaitu hukuman fisik dan hukuman emosional. Hukuman fisik
berarti semua tindakan yang diberikan guru yang menyebabkan rasa
sakit atau luka pada tubuh (fisik) anak. Hukuman fisik digunakan untuk
memberikan efek jera dengan cara memberikan rasa sakit pada fisik

IGGRD2016 Hal 16
anak. Dengan rasa sakit ini, anak diharapkan menghentikan perilakunya
yang dianggap tidak pantas. Jika hukuman fisik berbentuk tindakan fisik,
hukuman emosional adalah tindakan yang menyebabkan dampak (rasa
sakit) secara psikologis dan emosional. Hukuman emosional bermaksud
menyerang anak dengan memalukan dan menyebabkan rasa sakit
psikologis sehingga anak menghentikan perilakunya. Berikut bentuk-
bentuk hukuman (fisik dan emosioanl) yang sering diberikan guru pada
anak:

Hukuman Fisik Hukuman Emosional


dipukul, dicubit, ditendang, ejekan, cacian, mengutuk,
diminta berdiri bahkan mempermalukan, membuat panik,
menghormat bendera di terik mengancam, mengabaikan,
matahari. menjadikan bahan tertawaan,
sarkasme, membentak, bahkan
menempatkan anak pada posisi
sehingga ia menjadi bahan perhatian
semua orang.

Hukuman dan Kekerasan

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa hukuman (fisik dan emosional)


adalah bentuk kekerasan pada anak. Untuk mengidentifikasi kekerasan,
ada tiga hal yang dapat dijadikan indikator, yaitu:7

 Kekerasan mengganggung perkembangan anak. Tindakan


kekerasan pada anak akan merusak perkembangan anak
meskipun hal itu tidak disengaja.

7
Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual. Vietnam: Plan in Vietnam

IGGRD2016 Hal 17
 Kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan: Seseorang yang
menggunakan kekerasan pada anak sebenarnya sedang
melakukan penyalahgunaan kekuasaan mereka atas anak. Dalam
banyak kasus, orang yang menggunakan kekerasan memiliki
hubungan yang dekat dan intens dengan anak seperti orang tua,
kerabat dekat, teman dan guru.
 Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik tetapi juga emosional
dan kekerasan seksual. Kekerasan terjadi dalam bentuk
penyalahgunaan atau kelalaian

2. Dampak Hukuman Fisik

Hukuman fokus pada kesalahan, pelanggaran dan tindakan anak yang


dianggap oleh dewasa salah atau tidak pantas. Sering sekali hukuman
membuat anak menghentikan perilakunya tanpa tahu kenapa. Hal ini
tidak membantu anak untuk mengembangkan perilakunya. Anak malah
melihat bahwa apa yang dilarang oleh orang dewasa selalu benar,
dengan kata lain orang dewasa itu lebih superior di mata anak. Anak akan
melihat bahwa orang dewasa berhak untuk menghukumnya, baik melalui
kekerasan fisik maupun secara emosional.

Karena hukuman fokus pada penghentian tindakan dan kotrol


perilaku, maka anak pun tidak dapat belajar untuk mengendalikan
perilakunya sendiri. Anak melihat bahwa orang dewasa-lah yang
menentukan dan menilai perilaku mereka sendiri. Oleh karena itu
hukuman tidak mendorong kemampuan mengendalikan dan menilai
perilaku diri sendiri.

IGGRD2016 Hal 18
Sebaliknya hukuman tersebut hanya akan membuat anak semakin
marah, benci, dan merasa ketakutan. Hukuman tersebut juga hanya akan
membuat anak merasa malu, bersalah, gelisah, bertambah agresif, tidak
mandiri, dan tidak peduli pada orang lain. Sifat-sifat tersebutlah yang
merupakan masalah yang lebih besar baik bagi guru, wali anak, dan anak-
anak lain.8 Berikut beberapa dampak dari hukuman terhadap
perkembangan anak:

1. Hukuman memberikan dampak rasa sedih, rendahnya penghargaan


diri, kemarahan, aggressive behaviour, desire for revenge, nightmares
and bedwetting, higher states of depression, axienty, drug use, sexual
abuse, child abuse, spousal abuse, delinquency, bahkan
mengakibatkan hukuman fisik yang lebih berat dan berlanjut
2. Dalam jangka panjang, anak yang mengalami hukuman akan menjadi
anti sosial dan cepat melakukan kekerasan fisik jika menghadapi
masalah
3. Anak yang mengalami kekerasan fisik berpotensi besar putus sekolah
karena mereka takut akan mengalaminya lagi di sekolah. Keluar dari
sekolah mereka akan menjadi pengonsumsi minuman keras dan
melakukan tindakan sosial yang tidak baik dan tidak dapat diterima.9
4. Perilaku positif anak tidak berkembang karena setiap mengalami
hukuman fisik, anak hanya menghentikan tindakannya tanpa tahu
mengapa.

8
Unesco. Op. Cit. Hal 18
9
Hasil penelitian Cotton juga menunjukkan hal yang sama. Lihat: Cotton dan Katherine.
Schoolwide and Classroom Discipline. School Improvement Research Series.
http://educationnorthwest.org/sites/default/files/SchoolwideandClassroomDiscipline.pdf
[08/08/2016. Pukul 14.00 WIB]

IGGRD2016 Hal 19
5. Hukuman mengakibatkan terjadinya permusuhan dan dendam.
6. Anak mengalami luka fisik sehingga membutuhkan perawatan
medis.Luka fisik tersebut bisa berdampak permanen bahkan
kematian.10
7. Siswa yang mendapat hukuman memperoleh konsekuensi psikologis
dan emosional dimana siswa menjadi bingung dan tidak dapat
memahami situasi dimana dia berada. Misalnya, orang tua
mengatakan menyayangi mereka tetapi anak mengalami rasa sakit,
malu sehingga mereka tidak tahu apakah yang salah perasaan
mereka atau bukan.
8. Anak yang mendapat hukuman atas perilaku mereka menjadi tidak
percaya diri atas tindakan yang mereka ambil, sehingga ketika
mengambil sebuah tindakan mereka sudah siap untuk mendapat
hukuman.
9. Akibat dari seringnya mendapat hukuman kemampuan anak untuk
mengontrol diri, bertanggungjawab bahkan kekritisan akan suatu
bentuk tindakan tidak berkembang
10. Hukuman ini akan menimbulkan dendam dalam diri anak, sehingga
berlanjut ke generasi berikutnya jika tidak segera dicegah dan
ditanggulangi. Hal ini adalah konsekuensi logis dan juga terlihat dari
hasil penelitian karena hukuman fisik mempunyai dampak
permusahan, dendam dan menghasilkan dampak balik yang lebih
besar.11

10
Op. Cit. Plan in Vietnam Hal 45
11
UNESCO. Op. Cit., dan lihat juga: Albert, L. A Teacher’s Guide to Cooperative Discipline,
(American Guidance Service, 1989) in Charles C.M. and Senter G.W. Building Classroom

IGGRD2016 Hal 20
11. J.J. Bigner et al (1994) menemukan bahwa menggunakan
pendekatan pendidikan yang bersifat otokrasi dan hukuman
berkorelasi negatif terhadap tingkat kreatifitas anak. 12

3. Efektifitas Hukuman Fisik

Konsekuensi negatif hukuman fisik pada perkembangan anak baik


secara fisik, emosi maupun perkembangan sosialnya menunjukkan
bahwa hukuman fisik bukanlah cara yang efektif untuk mendorong anak
mengembangkan perilakunya. Malahan hukuman fisik membuat anak
tidak mampu mengontrol dan bertanggungjawab akan perilakunya.
Hukuman fisik dengan demikian tidak efektif dan berbahaya terhadap
perkembangan anak. Dengan demikian, pendekatan pendidikan dengan
menggunakan hukuman bukanlah cara yang efektif.

4. Mengapa orang tetap menggunakan Hukuman (Mitos Penggunaan


Hukuman)

Meskipun penelitian dengan jelas menunjukkan bahaya dan


ketidakefektifan hukuman fisik, guru tetap menggunakan pendekatan ini
ketika berhadapan dengan anak. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan
yang melekat dalam diri guru akan pentingnya hukuman fisik. Keyakinan
ini sebenarnya hanyalah sebuah mitos karena, sebagaimana diungkapkan
di atas, hukuman fisik lebih banyak berdampak negatif dibanding dampak
positifnya.

Discipline. http://faculty.washington.edu/cadavis1/503%20Readings/AlbertChapter.pdf
[accessed online 10 June 2016. Pukul 15.00]
12
Bigner J. J. 1994. Parent-child relations – An Introduction to parenting. Pearson

IGGRD2016 Hal 21
Hukuman fisik ini diperkuat oleh mitos-mitos yang diyakini benar.
Berbagai mitos tersebut misalnya sebagai berikut:13
Mitos: “Saya dulu mengalaminya dan tidak ada yang membahayakan saya.”
Fakta: “Argumen ini bisa saja hanya sekedar pembelaan akan tindakan
yang telah dilakukan, karena mereka mungkin saja pernah merasa
takut dan marah ketika hal ini terjadi pada mereka. Lagi pula cara
yang digunakan pada mereka tidak berarti sesuai pada anak jaman
sekarang. Pendapat ini akan menjadi legitimasi terjadinya
kekerasan secara turun-menurun.”

Mitos: “ Untuk kelas yang besar, siswa yang banyak, hukuman diperlukan
agar kelas bisa kondusif”.
Fakta: “Alasan ini menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmauan
guru mencari cara lain dalam berhubungan dengan anak dan
manajemen kelas. Kegagalan guru dalam mengembangkan
tanggung jawab anak terhadap perilakunya tercermin dari
argumen ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan
yang berpusat pada siswa dapat membuat kelas lebih kondusif
karena siswa aktif dalam proses belajar.”

Mitos: “Hukuman fisik cara yang paling baik. Metode yang lain tidak bisa
melakukan sebaik itu.”

13
UNESCO. Op. Cit. Hal 21-23, lihat juga : http://www.nospank.net/pta.htm dan
http://birthwithoutfearblog.com/2011/12/17/myths-and-facts-spanking/

IGGRD2016 Hal 22
Fakta: “Hukuman fisik tidak sama dengan disiplin. Pandangan ini lahir dari
pemahaman yang dangkal akan disiplin dan juga hukuman fisik itu
sendiri. Dari hasil penelitian sendiri telah menunjukkan bahwa
hukuman fisik berdampak negatif pada perkembangan anak.”

Mitos: “Hukuman mengajarkan ketaatan dan rasa hormat.”


Fakta: ”Hukuman fisik tidak sesuai dengan pembelajaran students
centered karena membatasi siswa untuk bertanya, berpikir kreatif,
dan menerima tujuan personal. Anak hanya taat ketika ada yang
mengawasi, padahal ketaatan pada peraturan dan etik harus
didasarkan pada kesadaran.”

Mitos: “Di ujung rotan ada emas”


Fakta: “Hasil penelitian menunjukkan cara mendidik yang menggunakan
kekerasan (hukuman) berdampak negatif bagi perkembangan
anak. Negara seperti Finlandia yang tidak menerapkan hukuman
dapat mendidik anak dengan baik bahkan menjadi negara dengan
pendidikan terbaik di dunia saat ini.”

Mitos: “Hukuman adalah bentuk kasih sayang. Anak yang kukasihi kuhajar
dan ku didik.”
Fakta: “Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman berdampak
negatif bagi perkembangan anak, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Apakah hal ini masih bentuk kasih
sayang?”

IGGRD2016 Hal 23
Mitos: “Anak perlu mengenal hukuman karena dalam kehidupan sehari-hari
banyak aturan yang harus ditaati.”
Fakta: “Hampir semua sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan
hukuman, namun nyatanya warga Indonesia masih belum taat
pada aturan. Sebaliknya Selandia Baru yang tidak lagi
menggunakan pendekatan hukuman di sekolah menjadi negara
yang paling taat pada aturan.”

Mitos: “Hukuman fisik adalah salah satu budaya kita. Orang Indonesia timur
keras, maka untuk mendidik juga harus keras”
Fakta:” Padahal, meski memang tidak bisa ditampik bahwa budaya ini
ada, di Asia budaya yang menekankan adanya harmoni dan
pengaturan diri juga kuat. Dibanding hukuman fisik, cara
tradisional dapat digunakan sebagai bentuk disiplin yang tidak
melibatkan kekerasan.”

IGGRD2016 Hal 24
KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP GURU YANG
MENGGUNAKAN HUKUMAN

Menurut UU Perlindungan Anak (UU


No 23 Tahun 2002), anak adalah
seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Melalui
UU ini, negara memberikan jaminan Sumber gambar: P2TP2A, 2009

perlindungan bagi anak. Dalam Pasal 1 disebutkan “Perlindungan anak


adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dari pasal ini
terlihat jelas bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari kekerasan,
yang artinya seseorang yang menggunakan kekerasan pada anak akan
mendapat konsekuensi hukum berdasarkan UU yang berlaku.
Sebagaimana telah dijelaskan pada materi sebelumnya bahwa
hukuman adalah bentuk kekerasan pada anak. Oleh karena itu, guru atau
orang tua yang menggunakan hukuman pada anak berpotensi melanggar
UU.

Apakah hukuman yang diberikan guru di sekolah bisa dipidanakan?


Masih banyak guru bahkan orang tua menganggap bahwa
hukuman adalah bentuk pendidikan yang berguna dan baik pada
perkembangan anak. Oleh karena itu, guru bahkan pihak sekolah

IGGRD2016 Hal 25
beranggapan bahwa guru tidak boleh/bisa dipidanakan jika memberikan
hukuman pada anak. Namun, apapun alasannya kekerasan (meskipun
dalam bentuk hukuman) adalah tindakan pelanggaran hukum yang bisa
dipidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada
beberapa UU dan Konvensi yang mengatur mengenai perlindungan anak
terhadap tindakan kekerasan. Misalnya, UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak memuat sanksi pidana bagi para pelaku kekerasan
terhadap anak. Ketentuan pidana ini termuat dalam Bab XII dari pasal 77
hingga pasal 90. Berikut ini adalah pasal-pasal yang bisa digunakan untuk
mendakwa para pelaku kekerasan di sekolah:14

Pasal 80 (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau


ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka
berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2)

14
Disadur dari P2TP2A. 2007. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Di Lingkungan
Pendidikan. Jakarta: P2TP2A

IGGRD2016 Hal 26
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 86 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu
muslihat, rangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan
atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai
dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Tapi bagaimana dengan hukuman emosional, apakah berpotensi


melanggar UU?
Hukuman emosional juga bentuk kekerasan pada anak. Oleh karena
itu, tindakan seperti itu juga berpotensi melanggar UU atau Konvensi
mengenai perlindungan anak. Misalnya pada UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Pasal 77, dimana dikatakan bahwa setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap
anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; dan penelantaran
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial dipidana dengan pidana

IGGRD2016 Hal 27
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Gugatan Secara Perdata


Selain secara pidana, kekerasan di sekolah (baik dalam bentuk
hukuman) juga dapat digugat secara perdata. Gugata dapat diajukan
secara perdata ke pengadilan negeri terhadap pelaku kekerasan di
sekolah atau pihak sekolah sebagai lembaga berupa gugatan ganti rugi
material dan imaterial dalam bentuk uang atau natura. Gugatan ini
mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan pasal-pasal
sebagai berikut:15

Pasal 1365 "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa


kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Pasal 1366 "Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang hati-hatinya.”
Pasal 1367 "Guru sekolah bertanggung-jawab tentang kerugian yang
diterbitkan oleh murid selama waktu murid itu berada di bawah
pengawasan mereka, kecuali, jika mereka dapat membuktikan bahwa
mereka tidak dapat mencegah perbuatan yang mesti mereka
seharusnya bertanggungjawab.”

UU dan Konvensi yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia


Mengenai Perlindungan Anak
 UU Dasar 1945 (pasal 28 B, 34)
 UU No.4 Tahun 1979 ttg Kesejahteraan Anak
 UU No.39 Tahun 1999 ttg Hak Asasi Manusia

15
Ibid, Hal 27

IGGRD2016 Hal 28
 UU No. 13 Tahun 2003 ttg Ketenagakerjaan
 UU No. 20 Tahun 2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional
 UU No. 23 Tahun 2004 ttg Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
 UU No. 12 Tahun 2006 ttg Kewarganegaraan
 UU No. 7 Tahun 2007 ttg Perlindungan Saksi dan Korban
 UU No. 44 Tahun 2008 ttg Anti Pornografi
 UU No. 21 Tahun 2007 ttg Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
 UU No. 11 Tahun 2009 ttg Kesejahteraan Sosial
 UU No. 36 Tahun 2009 ttg Kesehatan
 UU No.13 Tahun 2011 ttg Penanganan Fakir Miskin
 UU No. 11 Tahun 2012 ttg Sistem Peradilan Pidana Anak
 UU No. 24 Tahun 2013 ttg Perubahan Atas Undang-Undang
No.23/2003 tentang Adminduk.
 UU No. 35 tahun 2014 ttg Perubahan Atas Undang-Undang
No.23/2002 tentang Perindungan Anak
 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Perlindungan Anak
 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
 Perpres 2/2015 tentang RPJMN 2014-2019
 Inpres No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan nasional Anti Kejahatan
Seksual terhadap Anak
 Inpres 1/2010 ttg Akselerasi Implementasi Prioritas Pembangunan
Nasional
IGGRD2016 Hal 29
 Inpres No 3/2010 ttg Pembangunan yg Berkeadilan
 Nota Kesepahaman Mendagri, Menlu, Menkumham, Menkes,
Mendiknas, Mensos, Menag, dan MenPPPA Tahun 2011 tentang
Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka Perlindungan
Anak
 Peraturan Menteri Sosial RI No.30/HUK/2011 tentang Standar
Pengasuhan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak
 Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak No. 8 Tahun 2014 tentang Sekolah Ramah Anak
 Peraturan Menetri Kesehatan NO. 68 tahun 2013 tentang Kewajiban
Pemberi Layanan Kesehatan untuk Memberikan Informasi Apabila
Ada Dugaan Kasus Kekerasan terhadap Anak
 Permensos No. 21/2014 tentang Pengasuhan Anak
 PermenPPPA No. 07/2011 ttg Kebijakan Peningkatan Ketahanan
Keluarga Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus
 Permenko PMK No. 2/2016 ttg Strategi Nasional Penghapusan
Kekerasan terhadap Anak
 Permendikbud 82/2015 ttg Penghapusan Kekerasan terhadap Anak
di Lingkungan Satuan Pendidikan

Substansi Perubahan Di Uu35/2014:16


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 merupakan Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
sehingga segala Ketentuan / Pasal dalam Undang-Undang Nomor 23

16
UNICEF. Materi Pelatihan Awal Disiplin Positif Pada Mentor yang dilatihkan pada
tanggal 25-27 Juli 2016.

IGGRD2016 Hal 30
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih tetap berlaku sepanjang
tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ini.
 Menguraikan lebih jelas kondisi untuk Perlindungan khusus bagi anak
 Pemberian restitusi bagi anak korban kejahatan tertentu melalui
putusan pengadilan
 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari
kejahatan seksual dan kekerasan
 Pemberatan sanksi pidana dan denda untuk kejahatan terhadap anak
 Memperkuat peran dan tanggungjawab wali dalam hal pengasuhan
anak
 Memperkuat koordinasi antar pemerintah, pemerintah daerah dan
lembaga terkait
 Mengefektifkan peran Pemerintah Daerah, masyarakat, dunia usaha,
dan media massa
 Mengatur perlunya ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pengasuhan Anak dan pelaksanaaan pengangkatan Anak dengan
Peraturan Pemerintah.

IGGRD2016 Hal 31
MEMAHAMI DISIPLIN POSITIF

1. Kedisiplinan berbeda dengan Hukuman Fisik

Hukuman berbeda dengan disiplin. Hukuman mengarah pada


pengendalian perilaku siswa, sementara disiplin lebih pada
mengembangkan perilaku siswa. Dengan demikian hukuman lebih
mengarah pada bagaimana mengontrol perilaku atau tindakan siswa
sesuai dengan yang dimaui oleh guru. Hal ini berbeda dengan disiplin
yang menekankan tanggungjawab siswa akan perilakunya, mengenai
pengendalian diri serta kepercayaan bahwa siswa mampu
mengembangkan dan memahami bagaiman berperilaku yang pantas.
“Tujuan utama kedisiplinan adalah agar anak memahami tingkah lakunya
sendiri, berinisiatif dan bertanggung jawab atas apa yang mereka pilih,
serta menghormati dirinya sendiri dan juga orang lain. Dengan kata lain,
disiplin menanamkan proses pemikiran dan perilaku positif sepanjang
hidup anak.”17 Pendekatan hukuman dibangun atas ketidakpercayaan
guru atau orang tua bahwa siswa/anak dapat mengembangkan
perilakunya dan dapat bertanggungjawab akan tindakan yang dipilihnya.
Sementara disiplin dibangun di atas relasi kepercayaan guru-siswa atau
orang tua-anak. Hukuman sendiri bersifat jangka pendek, spontan,
negatif dan pasif sementara disiplin bersifat jangka panjang, positif dan
aktif.

17
Katharine C. Don’t Jime It Out On Your Kids: A Parent’s and Teacher’s Guide to Positive
Discipline. http://www.cei.net/~rcox/dontake.html [10/10/2005. Pukul 12.00] dan
UNESCO. Op. Cit. Hal 20

IGGRD2016 Hal 32
2. Apa itu Disiplin Positif?

Selain hukuman bentuk lain yang pendekatan lain yang sering


digunakan guru dalam menghadapi anak adalah disiplin negatif.
Kedisiplinan negatif sama seperti hukuman bertujuan mengendalikan
perilaku dan tindakan anak. Disiplin negatif cenderung menggunakan
perintah dan pernyataan yang menakut-nakuti anak. Guru yang tidak
menerapkan hukuman cenderung menggunakan disiplin negatif.
Misalnya guru memberikan perintah untuk diam atau mengerjakan
sesuatu dimana siswa tidak diajak untuk memahami mengapa mereka
melakukan itu. Namun seperti halnya hukuman fisik, disiplin negatif juga
akan membuat anak menjadi lebih marah dan agresif serta tidak
menghargai diri sendiri.

Untuk itu penting suatu pendekatan alternatif menggantikan


pendekatan hukuman dan disiplin negatif. Clark Power and Hart S.N
mengutarakan suatu prinsip yang menjadi pedoman mengkonstruksi
disiplin sebagai ganti hukuman yaitu respect the child’s dignity, develop
pro-social behaviour, self-discipline and character, maximize the child’s
active participation, respect the child’s developmental needs and quality of
life, respect the child’s motivation and life views, Assure fairness and
transformative justice, promote solidarity.18 Pendapat Clark dan Hart ini
dikuatkan oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penerapan

18
Power. C and Hart S.N. The way forward to constructive child discipline. In Hart, Stuart
N (ed). 2005. Eliminating Corporal Punishment: The Way Forward to Constructive Child
Discipline, Paris: Unesco Publishing.

IGGRD2016 Hal 33
pendekatan positif seperti negosiasi dan sistem reward (penghargaan),
baik bagi anak perempuan maupun anak laki-laki dapat menghasilkan
umpan balik yang lebih baik dibandingkan dengan penerapan hukuman
melalui kekerasan verbal; fisik atau emosional.19

Berdasarkan prinsip ini dibangun suatu pendekatan yang disebut


dengan disiplin positif. Positive discipline represents an alternative to the
corporal and emotional punishment. Rather than enforcing behaviour
through fear, it aims to encourage good behaviour without fear, by
providing children with positive models of behaviour, positive
reinforcement and by helping children to understand why certain
behaviours are unacceptable.20—Dicek ulang apakah tidak lebih baik di
prinsip2 positif disiplin

Disiplin positif juga dimaknai sebagai sebuah program yang didesain


untuk mengajar anak menjadi pribadi yang beranggungjawab,
menghargai dan bijaksana dalam komunitas/masyarakat. 21 Positive
Disipline berbeda dengan hukuman. Guru sendiri sering menyamakan
hukuman sebagai bentuk disiplin. Jika punishment/hukuman merupakan
upaya untuk mengontrol perilaku siswa, maka discipline adalah upaya
mengembangkan perilaku siswa, secara khusus tingkah lakunya. Ini
artinya mengajari siswa mengenai self-control dan confidence dengan
fokus pada apa yang kita inginkan siswa pelajari dan kemampuan belajar

19
Save the Children. 2004. How To Research the Physical and Emotional Punishment of
Children. Bangkok: Southeast, East Asia and Pacific Region.
20
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education.
2012. Positive Discipline and Classroom Management-Trainer’s Manual. Afrika Selatan.
Hal 15
21
www.positivediscipline.com. [accesed online 10 June 2016. Pukul 11.00 WIB].

IGGRD2016 Hal 34
siswa. Berbeda dengan punishment yang didasarkan pada pengkotrolan
perilaku dan sikap anak, positive discipline, menurut Jane Nelsen,
dibangun atas konsep: mutual respect, mengidentifikasi belief dibalik
perilaku, komunikasi efektif dan ketrampilan problem solving, discipline
that teaches (and is neither permissive nor punitive), focusing on solutions
instead of punishment, encouragement (instead of praise).22

Dari konsep yang diutarakan Jane Nelsen di atas, disiplin positif


berarti penerapan disiplin yang bertujuan tidak hanya mengatasi masalah
tingkah laku, tetapi juga dapat membantu anak mengembangkan rasa
percaya diri (self confidence), kedisiplinan diri, tanggung jawab, harga diri
(self-esteem) yang sehat serta berbagai keterampilan hidup (life skills).
Terutama keterampilan dalam memecahkan masalah. Pickhardt, seorang
psikolog dalam bukunya “The Everything Parent’s Guide To Positive
Discipline” menjelaskan bahwa disiplin bukan hanya meminta anak
berperilaku sesuai dengan yang orangtua mau atau sebaliknya menyuruh
anak berhenti berperilaku yang tidak sesuai dengan situasi tertentu.
Disiplin menurutnya lebih merupakan suatu proses dimana melalui
arahan positif dan koreksi negatif, anak diajarkan untuk berperilaku
sesuai dengan aturan dan nilai keluarga.

3. Perbedaan Disiplin Positif dan Hukuman

Penanaman disiplin adalah: Hukuman adalah:

https://www.positivediscipline.com/about-positive-discipline
22
[accessed online
on10/06/2016. Pukul 14.00 WIB]

IGGRD2016 Hal 35
Memberikan alternatif lain pada Hanya melarang anak
anak
Mengakui dan menghargai upaya Menanggapi perilaku negatif
anak dan anak dengan cara yang kasar
tingkah laku mereka yang baik
Anak menaati peraturan apabila Anak menaati peraturan karena
mereka mereka
diajak berdiskusi dan menyetujui diancam atau diomeli
peraturan tersebut
Konsisten, bimbingan yang tegas Mengendalikan, memalukan,
dan melecehkan
Positif dan menghargai anak Negatif dan tidak menghargai
anak
Tidak mengandung kekerasan baik Mengandung kekerasan fisik
secara maupun
fisik maupun verbal verbal serta agresif
Konsekuensi logis yang Konsekuensi yang tidak logis
bersinggungan dan tidak
secara langsung dengan bersinggungan dengan
pelanggaran yang pelanggaran yang dilakukan
dilakukan oleh anak oleh anak
Anak harus berubah ketika perilaku Anak harus dihukum karena
mereka memberi dampak negatif memberi
pada orang lain dampak negatif pada orang lain
dan tidak menunjukkan
bagaimana mereka dapat
berubah
Memahami kemampuan, Tidak menghiraukan
kebutuhan, kondisi dan tingkat kemampuan, kebutuhan,
perkembangan individual anak kondisi dan tingkat
perkembangan individual anak
Mengajarkan anak untuk Mengajarkan anak untuk
menamkan berbuat baik
kedisiplinan pada diri mereka hanya ketika mereka takut akan
dimarahi atau disetrap

IGGRD2016 Hal 36
Mendengarkan dan memberikan Secara terus menerus memarahi
contoh anak bahkan hanya untuk
pelanggaran kecil
sekalipun sehingga
mengakibatkan anak
tidak menghiraukan kita
(mengabaikan
kita atau tidak mendengarkan
kita)
Memanfaatkan kesalahan sebagai Memaksa anak untuk mematuhi
peluang peraturan yang tidak logis hanya
untuk pembelajaran karena “Anda mengatakan
demikian”
Langsung menuju pada Permasalahan terletak pada
permasalahannya yaitu perilaku anak bukan
anak bukan anaknya, dengan pada perilaku anak, dengan
mengatakan “Apa yang kamu mengatakan
lakukan adalah salah” “Kamu bodoh, kamu salah”

4. Prinsip disiplin positif

Disiplin positif bukanlah hal yang terpisah dari proses pendidikan. Ia


terintegrasi dalam semua proses pendidikan baik proses belajar di kelas,
di luar kelas dan di dalam keluarga. Bahkan sebenarnya disiplin positif itu
adalah pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu disiplin positif didasarkan
pada prinsip-prinsip pendidikan yaitu:23

 Menyeluruh (Holistik): Artinya bahwa pendekatan disiplin positif


harus didasarkan pada kesadaran bahwa semua aspek proses belajar
dan perkembangan anak/siswa saling mempengaruhi satu dengan

23 Lihat: Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Trainer’s Manual.
Afrika Selatan.

IGGRD2016 Hal 37
yang lain. Misalnya, perilaku seorang anak sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial. Oleh karena itu pendekatan disiplin positif harus
didasarkan pada pemahaman akan keterhubungan semua aspek:
perkembangan anak, pembelajaran, pencapaian akademik,
kesehatan, ekonomi, keadaan keluarga dan komunitas (masyarakat).
 Didasarkan pada kekuatan anak: penerapan disiplin positif
didasarkan pada kesadaran bahwa setiap anak memilik kekuatan,
kemampuan dan talenta, dan setiap tindakan pendidikan (termasuk
disiplin) bertujuan mendorong dan membangun kemampuan, usaha
dan perkembangan mereka. Kesalahan tidak dilihat sebagai
kegagalan melainkan kesempatan untuk belajar dan
mengembangkan diri.
 Konstruktif: Disiplin positif menekankan pada peran pendidikan
dalam menumbuhkan penghargaan diri anak dan kepercayaan diri,
mengembangkan kemerdekaan dan kemandirian, dan
mengembangkan self-efficacy. Dari pada menghukum anak karena
kesalahan akademis dan misbehave anak, pendidik lebih baik
menjelaskan, mendemostrasikan dan meneladankan konsep dan
perilaku yang dapat dipelajari anak. Pendidik lebih baik mencoba
memahami dan menuntun anak secara positif daripada mencoba
mengontrol perilaku anak.
 Inklusif: Disiplin positif menghargai perbedaan setiap individual anak
dan kesamaan hak. Semua anak dilibatkan dalam setiap proses
pendidikan. Dalam disiplin positif, menekankan pada pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan, kekuatan, kemampuan sosial dan

IGGRD2016 Hal 38
gaya belajar anak yang terintegrasi dalam proses belajar di kelas dan
lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Pendidik juga harus
mengidentifikasi dan memahami tantangan/hambatan belajar dan
mencari cara yang efektif untuk menuntun proses belajar anak.
 Proaktif: Disiplin positif fokus dalam membantu anak berhasil pada
masa yang akan datang tidak sekedar simultan. Pendidik harus
merespon permasalahan dengan fokus pada pemahaman akan akar
masalah kesulitan belajar dan masalah perilaku anak dibanding
memberikan respon reaktif. Oleh karena itu disiplin positif fokus pada
apa yang dapat dipelajari anak di masa yang akan datang, tidak
sekedar menghentikan perilaku yang sedang terjadi.
 Partisipatori: Disiplin positif melibatkan anak dalam mengambil
keputusan dan memahami tindakan mereka. Dengan prinsip ini anak
akan belajar karena mereka dilibatkan dalam proses belajar mereka
sendiri. Dibanding mengontrol dan menekan, pendidik
mendengarkan pendapat dan perspektif anak dan melibatkan
mereka menciptakan lingkungan belajar, kelas, keluarga, sekolah dan
masyarakat yang mendukung proses belajar.

Prinsip-prinsip yang mendasari disiplin positif di atas dapat kita sederhana


dalam 7 prinsip dalam penanaman disiplin positif bagi anak, yaitu:24

1. Hormati harkat dan martabat anak


2. Kembangkan perilaku, kedisiplinan diri, dan karakter yang ramah

24 Clark. F.P. and Hart, Stuart N. The Way Forward to Constructive Child Discipline,”
dalam Hart, Stuart N (ed.). 2005. Eliminating Corporal Punishment: The Way Forward to
Constructive Child Discipline. Paris: UNESCO.

IGGRD2016 Hal 39
3. Maksimalkan partisipasi anak secara aktif
4. Hormati kebutuhan perkembangan dan kualitas kehidupan anak
5. Hormati motivasi dan pandangan hidup anak
6. Terapkan kejujuran, kesetaraan, non-diskriminasi, dan keadilan
7. Utamakan solidaritas

5. Langkah-langkah (Step-step) Penanaman Disiplin Positif

Berbeda dengan hukuman yang hanya terdiri satu langkah tunggal,


kedisiplinan positif terdiri 4 tahapan proses yang mengakui dan
menghargai perilaku positif anak. Berikut tahapan-tahapan tersebut:25

1. Menggambarkan perilaku yang baik: “Semuanya harap tenang.”


2. Memberikan alasan yang jelas: “Sebentar lagi kita akan memulai
pelajaran Matematika dan semuanya harus mendengarkan dengan
baik.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa dengan bersikap tenang
maka kita telah menghormati orang lain juga. Hal ini merupakan
contoh yang baik, yang memberikan pembelajaran bagi anak untuk
memperlakukan orang lain sama seperti bagaimana mereka ingin
diperlakukan oleh orang lain.
3. Membutuhkan pengakuan: “Apakah kalian mengerti mengapa kalian
harus tenang saat ini?” atau seperti yang terjadi pada Bayu, “Kapan
kita bisa bicara tanpa menggangu orang lain dan menghambat
kesempatan mereka untuk belajar.”

25 Diadaptasi dari: Positive Discipline: An Approach and a Definition.


http://www.brainsarefun.com/Posdis.html [12/2/2005. Pukul 14.30 WIB]

IGGRD2016 Hal 40
4. Mendorong perilaku yang baik: Hal ini dapat dilakukan melalui,
kontak mata, anggukan, senyuman, dan 5 menit tambahan di akhir
pelajaran untuk mengadakan permainan, pemberian nilai tambahan,
dan mengumumkan keberhasilan anak di depan kelas (pengakuan
sosial merupakan penghargaan yang paling berarti). Sebaiknya
penghargaan diberikan sesegera mungkin, bersifat sederhana,
namun memuaskan.

IGGRD2016 Hal 41
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Mengenali dan
Memahami Misbehave

Memahami latar belakang tindakan Anak26


Perilaku adalah sesuatu yang dapat dipahami dan mempunyai suatu
tujuan. Perilaku atau pun tindakan tidak datang tiba-tiba, tanpa alasan
dan tujuan. Anak atau siswa melakukan sesuatu untuk suatu alasan
tertentu meskipun mereka tidak memahami alasan tersebut. Oleh karena
itu penting untuk mencoba memahami dan melihat dunia sebagaimana
anak/siswa memahami dan melihatnya. Selain itu, orang dewasa (baik
orang tua maupun guru) harus mencoba mengerti persoalan yang
mungkin mempengaruhi bagaimana anak/siswa bertindak di dalam kelas.
Kita harus menanya ke dalam diri kita sendiri jikalau mereka mengalami
kesulitan akan keadaan kelas dan sekolah atau sesuatu dari luar kelas dan
sekolah yang mungkin penyebab dari persoalan tersebut. Dengan
demikianlah kita bisa memulai merespon perilaku siswa dengan
bijaksana, percaya diri dan efektif.
Untuk mencoba memahami latar belakang perilaku/tindakan siswa,
pertanyaan berikut dapat membantu:
- Apakah ada permasalahan dengan materi belajar atau pendekatan
pembelajaran yang digunakan guru? Kadang-kadang siswa berbuat
sesuatu yang tidak pantas dikarenakan tugas-tugas belajar yang

26 Diadaptasi dari: Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Course Reader. Afrika
Selatan; dan juga: UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk
Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran Buku khusus 1:
Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi Pendidik.
Thailand: UNESCO

IGGRD2016 Hal 42
terlalu sulit atau terlalu mudah bagi mereka. Metode pembelajaran
yang tidak sesuai dengan gaya belajar mereka atau ekspektasi guru
yang tidak jelas dan tidak logis dapat membuat mereka bosan
sehingga mereka melakukan tindakan yang tidak pantas.
- Apakah karena motivasi emosional anak? Anak sering bertindak di
luar batas untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mencari
perhatian, perasaan yang meluap-luap dan tidak terkontrol, atau
reaksi atas kenyataan yang dihadapi atau merasa disakiti atau
terluka. Anak juga dapat bertindak tidak pantas sebagai cara untuk
menghindari ketakutan akan kegagaln atau menutupi perasaan
mereka yang tidak menentu.
- Apakah perilaku atau tindakan tersebut refleksi dari masalah di
sekolah? Siswa sebagai korban atau pelaku bullying atau trauma
akibat kondisi sekolah akan mengalami ketakutan, cemas, gelisah,
dan menarik diri. Siswa yang mengalami hal ini mungkin akan
melakukan tindakan bullying pada temannya sebagai konsekuensi
emosi mereka atau cara agar mereka merasa lebih baik.27
- Apakah perilaku atau tindakan mereka sebagai akibat dari masalah
personal atau masalah di dalam rumah? Siswa yang mempunyai
masalah di rumah akan mempengaruhi tindakan dan perilakunya di
sekolah. Siswa banyak menghadapi tantangan emosional di rumah
dan pengaruhnya akan terbawa ke sekolah. Misalnya, siswa yang
mengalami kekerasan di rumah, orang tua tidak akur, anggota

27 Lihat .....? 2015. School Safety Framework Early Warning System module on Preventing
and Addressing Bullying: CJCP, UNICEF dan Departemnt Basic Education of South Africa

IGGRD2016 Hal 43
keluarga sakit, serta masalah ekonomi-sosial keluarga bahkan
mungkin saja anak dijadikan pekerja di bawah umur. Masalah-
masalah ini mempengaruhi tindakan anak di sekolah. Misalnya, siswa
yang mendapat perlakuan fisik atau bullying di rumah akan
melakukan hal yang sama kepada temannya. Oleh karena itu guru
perlu mengetahui bagaimana keadaan anak di rumah dalam
hubungannya dengan perilakunya di sekolah.
- Apakah perilaku merupakan refleksi dari persoalan sosial-ekonomi?
Faktor sosial ekonomi sangat mempengaruhi perilaku anak. Misalnya
anak yang lapar akan mengalami kesulitan untuk konsentrasi dan
cenderung performanya rendah dibanding anak yang cukup makan.
Selain itu, siswa yang punya tanggungjawab besar dalam pekerjaan
rumah, akan mengalami kelelahan dan sulit untuk konsetrasi di
sekolah. Siswa miskin juga punya tantangan untuk mendapatkan
bahan pelajaran seperti buku, perlengkapan sekolah bahkan
transfortasi ke sekolah.
- Apakah itu diakibatkan persoalan medis atau biologis? Perasaan tidak
nyaman atau depresi, sebagai contoh, dapat mempengaruhi
bagaimana anak bertindak. Sesuatu yang normal jika kadang siswa
lupa tugas/PR mereka, melamun selama di kelas, bertindak tanpa
berpikir panjang, atau gelisah. Namun permasalahan yang muncul
juga dapat berhubungan dengan attention deficit disorder (ADD)
atau deficit hyperactivity disorder (ADHD). Anak mungkin mengalami
hambatan membaca dan mengeja (seperti siswa yang menyandang
dyslexia) akan berdampak pada proses belajar anak.

IGGRD2016 Hal 44
Guru penting berbicara dengan siswa untuk memahami latar
belakang dan persoalan serta tantangan yang mereka hadapi. Hal ini
penting untuk mengetahui apa dibalik tindakan dibanding fokus pada
orang yang melakukan kesalahannya. Pemahaman konteks dan kondisi
yang mempengaruhi perilaku anak tidak hanya mendapatkan solusi tetapi
juga dapat mencegah hukuman yang tidak adil, yang diakibatkan oleh
kemarahan dan tindakan yang mengacaukan.
Selain alasan atau faktor-faktor di atas, ada tujuan tertentu dalam
misbehave anak. Menurut Dreikurs, R. Dan Soltz28, ada empat tujuan anak
berperilaku tidak tepat (misbehave), yaitu mencari perhatian (attention
seeking), menunjukkan kekuasaan (showing power), untuk balas dendam
(revenge) dan menghindari kegagalan atau ketidakmampuan (feeling
adequate).
 Mencari perhatian: semua anak membutuhkan perhatian, hal ini
berhubungan dengan self-esteem. Anak yang tidak mendapat
perhatian yang mereka butuh, dari guru, orang tua bahkan dari
temannya akan melakukan sesuatu yang berbeda, bahkan yang
mengganggu untuk mendapat perhatian. Misalnya, anak berjalan di
kelas atau mencoba mengitrupsi ketika guru berbicara atau
mengganggu temannya yang sedang belajar.
 Menunjukkan kekuasaan: Ketika anak menyadari bahwa mereka
dapat mempengaruhi lingkungan mereka, pada saat ini anak
mencoba menguji kekuatan atau kekuasaan mereka. Anak mencoba
menguji apakah mereka bisa melampaui atau melanggar batas yang

28 Dreikurs, R. And Soltz. 1964. Children: The Challenge. New York: Dutton.

IGGRD2016 Hal 45
telah ditetapkan oleh orang dewasa. Misalnya ketika orang tua atau
guru mengatakan bahwa anak tidak boleh berjalan di dalam kelas,
anak mencoba menguji bagaimana jika mereka melanggar larangan
ini.
 Untuk balas dendam: Anak yang menganggu atau memukul,
menyerang temannya atau orang dewasa mungkin karena
mengalami ketidakadilan atau perlakuan yang menyakitkan fisik dan
emosi mereka. Anak yang ingin membalas dendam akan menyerang
atau menarik diri (tidak mau berkerja sama) dari temannya.
 Menghindari kegagalan atau ketidakmampuan: Anak yang tidak bisa
mencapai harapan guru atau orang tua cenderung akan mengangap
mereka tidak memiliki kemampuan. Hal ini sering terjadi jika anak
mereka tugas-tugas belajar yang dihadapi di luar kemampuannya.
Perasaan tidak mampu ini akan diperlihatkan anak dengan menarik
diri dari proses pembelajaran atau aktivitas yang dilakukan bersama.

Motivasi Contoh Tindakan Respon Guru atau Oang Tua


Anak Negatif Negatif
Mencari Mengungkapkan joke Cenderung Memberikan
perhatian atau membuat trick mengeluh perhatian pada
pada guru/orang tua dan tindakan positif
atau pada temannya, mengulang- anak, bukan
berpakaian tidak ulang agar pada tindakan
normal, berisik. anak negatifnya.
Melupakan atau berhenti Mengarahkan/
mengabaikan atau mengalihkan
sesuatu diam anak pada
tindakan yang
positif.
Gunakan logical
consequences

IGGRD2016 Hal 46
Menunjukka Bertindak agresif, Marah, Mencoba tetap
n kekuasaan berkelahi, terprovoka tenang.
menantang, si sehingga Mencoba
menggoda, tidak cenderung memahami
kooperatif, menghuku perasaan anak
menampilkan agresi, m dan dan
berkelahi, menyerang menunjukkan
menantang, balik bahwa guru
keras kepala, resisten mengerti
perasaan
mereka
Membantu
anak untuk
menyadari
bahwa
kekuasaan dan
kekuatan
mereka dapat
digunakan
untuk hal baik
Untuk balas Merugikan atau Cenderung Coba bersabar.
dendam menyakiti membalas Tetap bersikap
seseorang/teman, kembali ramah sambil
berlaku kasar, tidak menunggu anak
sopan, kekerasan,
menjadi tenang.
menghancurkan
sesuatu
Mendorong
Benci dengan kerjasama
seseorang, menghina membangun
seseorang. kepercayaan
dengan anak-
anak.
Bekerja sama
dengan anak
untuk

IGGRD2016 Hal 47
memecahkan
masalah .
Mendorong
anak, tunjukkan
padanya bahwa
mereka dicintai
dan dihormati.
Mengatur
jadwal untuk
bertemu secara
intens dengan
anak.
Menghindari Mudah menyerah akan Cenderung Tidak
kegagalan tugas yang diberikan, setuju pada menunjukkan
atau tidak mau siswa tanpa penghinaan atau
ketidakmam mencoba/berusaha, memberika kritik.
tidak mau Memberikan
puan n solusi.
berpartisipasi, bolos bantuan
Menjatuhk
dari sekolah, Membagi tugas
menghabiskan waktu an menjadi
bermain game atau semangat beberapa yang
mencoba merokok siswa lebih sederhana,
atau minum minuman membantu anak
keras. untuk mulai
dengan tugas
yang mudah bagi
keberhasilan
awal.
Mendorong
anak; fokus pada
kekuatan nya dan
nilai internal.
Tidak
menunjukkan
belas kasihan
atau kasih sayang
yang berlebihan;
jangan
menyerah.

IGGRD2016 Hal 48
Menghabiskan
waktu yang
teratur dengan
anak untuk
membantu dia.

Misbehave anak mempunyai berbagai bentuk seperti yang


diungkapkan di atas, ada yang sangat serius sehingga mungkin tidak bisa
dihadapi oleh guru saja. Untuk itu guru harus dibantu oleh pihak lain
seperti kepala sekolah, dll. Berikut petunjuk dalam menghadapi
misbehave anak:29
Level Contoh Misbehave Contoh Konsekuensi
(akan diperdalam dalam
materi logical
consequences)
Level 1: Misbehave - Ribut - Peringatan dari guru
di dalam kelas - Terlambat masuk - Pulang lebih akhir
kelas - Membersihkan kelas
Ditangani oleh: guru - Tidak
mengerjakan
tugas
- Mengotori kelas
Level 2: Misbehave - Merokok - Peringatan tertulis
berupa melanggar - Bolos Sekolah - Berbicara dengan
aturan atau kode - Mengganggu orang tua
etik sekolah Kelas lain - Kontrak tindakan yang
disetujui/dibuat
Ditangangin ole: bersama siswa
guru dan dibantu
oleh guru BP
Level 3: Misebehave - Menyakiti siswa - Peringatan tertulis
berupa melanggar lain berupa jika siswa

29
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education. Op.
Cit.

IGGRD2016 Hal 49
aturan atau kode - Vandalisme melanggar lagi akan
etik sekolah yang - Mencuri diskors
serius - Rasis - Bimbingan khusus
dengan konselor
Ditangaini oleh: sekolah
Kepala Sekolah
Level 4: Misbehave - Menggunakan - Bimbingan intens
yang sangat serius Alkohol dengan guru dan
- Terlibat dalam konselor sekolah (BP),
Ditangani oleh: tindakan seksual untuk sementara tidak
Kepala Sekolah, di sekolah melibatkan dalam
Yayasan atau proses belajar dengan
Komite Sekolah teman yang lain

Level 5: Misbehave - Menggunakan - Menyerahkan pada


berupa terlibat senjata tajam pihak yang berwajib
dalam kriminalitas - Ganguan seksual,
sexual abuse
Ditangani oleh: - Perampokan
Kepala Sekolah, - Membunuh
Yayasan, Komite
dan Dinas Pend dan
Pihak Kepolisisan

IGGRD2016 Hal 50
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Bullying 30

 Bullying adalah ketika satu atau lebih anak-anak (bully/pengganggu)


menargetkan satu anak (korban) dan menggunakan perilaku yang
memiliki niat untuk menyakiti anak tersebut.
 Bullying adalah perilaku yang serius, negatif yang terjadi berulang kali
dan dilakukan dengan sengaja. Hal ini bisa dalam bentuk fisik, verbal
atau sosial.
 Bully/Pengganggu:
• memiliki kekuasaan atas korban
• memiliki niat untuk menyakiti korban melalui kuasa ini, dan
• mengancam dan target korban dari waktu ke waktu
 Bullying seringkali terjadi di kemar mandi, lapangan permainan,
tempat yang ramai, bis sekolah atau melalui ponsel dan komputer
(dimana adanya minim pengawasan) dan hal ini harus ditindak lanjuti
secara serious.

Jenis Bullying:
Tidak semua bullying/intimidasi meninggalkan tanda yang dapat melihat.
Perilaku Bullying meliputi:
o Perkelaian, mendorong atau menendang
o Nama panggilan/labeling dan menggoda
o Mengisolasi anak-anak lain secara sosial: Tidak membiarkan mereka
duduk di suatu tempat saat makan siang, misalnya, atau
menyebarkan rumor tentang mereka
o Melecehkan orang lain di jaringan sosial, melalui teks atau email, atau
instant messaging, disebut "cyberbullying"
Anak-anak yang di-bully rentan terhadap:
• Depresi dan kecemasan
• Peningkatan perasaan sedih dan kesepian
• Perubahan tidur dan pola makan
• Kehilangan minat dalam kegiatan yang disenangi

30
Materi disadur dari UNICEF. Op. Cit.

IGGRD2016 Hal 51
• Tingkat percaya diri yang rendah
• Perilaku berisiko, seperti obat-obatan dan alkohol
• Pikiran untuk bunuh diri

Masalah-masalah ini tidak langsung hilang ketika korban meninggalkan


sekolah: Anak-anak yang telah diganggu/bully mungkin memiliki
masalah sosial dan emosional yang bertahan hingga menjadi dewasa.

Tindakan Untuk Mencegah/Merespon Bullying


Guru & Pihak Sekolah
 Tingkatkan Pengetahuan Dan Jeli Situasi
 Libatkan Orangtua Dan Anak
 Menetapkan Harapan Positif Tentang Perilaku Bagi Anak Dan Orang
Dewasa
 Ingatkan Anak Tentang Peraturan Bersama
 Rujuk Pada Layanan Profesional, Mis. P2TP2A, Psikolog, Pekerja
Sosial
 Buat Tim Kepemimpinan Anak
 Buat Kesempatan Bagi Anak Untuk Berpikir Tentang Kepedulian Dan
Rasa Hormat
Orangtua/Wali
 Mengamati Anak Untuk Tanda-Tanda Mereka Mungkin Diintimidasi
 Ajarkan Anak Bagaimana Menangani Situasi
 Tetapkan Batas Penggunaan Teknologi Informasi Dan Media Sosial
 Laporkan Kepada Pihak Sekolah, Polisi, Lembaga Perlindungan Anak
 Konsultasikan Pada Layanan Profesional, Mis. P2TP2A, Psikolog,
Pekerja Sosial
Anak
 Laporkan Bullying Kepada Guru, Orangtua
 Hindari Membully Kembali
 Hindari Menyendiri
 Bantu Teman Untuk Mencari Tempat Yang Aman Untuk Bermain

IGGRD2016 Hal 52
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Penerapan Logical
Consequences

Setiap tindakan yang kita ambil mempunyai konsekuensi, dengan


kata lain konsekuensi adalah akibat dari setiap tindakan yang dilakukan
seseorang. Mengajarkan mengenai konsekuensi bagi anak penting
sebelum anak mengenal/diajarkan mengenai aturan dan norma. Hal ini
penting agar ketika anak menaati aturan atau norma bukan karena takut
pada hukuman tetapai karena kesadaran.
Ada dua bentuk konsekuensi yaitu konsekuensi natural dan
konsekuensi logis. Konsekuensi natural adalah segala sesuatu yang
terjadi secara alamiah, tanpa campur tangan manusia, sebagai akibat dari
suatu tindakan. Misalnya, rasa lapar akibat alamiah dari tidak makan,
terasa sakit karena tertujuk benda tajam, dll. Sementara konsekuensi
logis terjadi karena adanya intervensi dari orang lain. Misalnya, anak yang
terlambat datang ke sekolah mendapat konsekuensi harus pulang lebih
akhir, anak yang mengotori ruangan mendapat konsekuensi
membersihkan kembali ruangan tersebut, dll. Dalam konsekuensi logis,
anak mendapat penjelasan bahwa setiap tindakan mereka berpengaruh
pada orang lain atau pada kondisi lain. Penjelasan ini mendorong anak
untuk bertanggung jawab dan menerima pendapat serta mencoba
memahami perasaan orang lain. Hal ini membuat anak bisa melihat suatu
tindakan dari berbagai perspektif.
Konsekuensi (baik natural maupun logis) akan suatu tindakan
anak mungkin tidak mengenakkan. Namun hal ini perlu diketahui oleh
anak, dan peran orang tua adalah menuntun anak untuk belajar dari

IGGRD2016 Hal 53
setiap konsekuensi yang mereka hadapi, bukan malah
mempersalahkannya.

Prinsip Logical Consequences


Ada emapt prinsip/formula yang dapat mengidentifikasi apakah
tindakan yang kita berikan pada anak adalah konsekuensi logis atau
malah bentuk hukuman. Keempat hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Related
2. Respectful
3. Reasonable
4. Dialogis

Keempat prinsip ini harus ada dalam setiap konsekuensi yang


diterima anak akibat tindakannya. Karena jika salah satu prinsip ini tidak
ada, maka konsekuensi/tindakan yang diterima oleh anak adalah bentuk
hukuman. Misalnya ketika anak mencoret-coret meja belajarnya.
Konsekuensi logis dari tindakan anak ini adalah bahwa dia harus
membersihkan meja tersebut. Tapi bagaimana jika salah satu dari ketiga
prinsip ini tidak dipenuhi dalam memberikan tindakan. Jika guru tidak
memegang prinsip “related” mungkin guru akan meminta anak untuk
berdiri di depan kelas, padahal tindakan itu tidak berhubungan dengan
apa yang dilakukan oleh anak. Kedua, jika guru tidak mempunyai rasa
hormat dengan memaki, menghina anak sambil meminta membersihkan
meja maka ini bukanlah konsekuensi logis karena guru sudah tidak lagi
menghormati anak sebagai pribadi yang terus belajar. Ketiga, jika tidak
ada prinsip “reasonable” hilang, hal yang mungkin dilakukan guru adalah
meminta siswa membersihkan semua meja, hal ini tidak lagi logis.
Keempat, jika guru tidak memulai dengan dialog (yaitu bertanya pada

IGGRD2016 Hal 54
siswa mengapa mereka melakukan hal itu, apa yang terjadi jika mereka
melakukannya, siapa yang dirugikan, dll) maka anak kemungkinan besar
tidak dapat belajar dari konsekuensi yang diterimanya karena dia tidak
terlibat dalam mengkonstruksi konsekuensi tersebut. Anak akan
mengganggap hal ini adalah bentuk otoritas guru atau orang tua. Jika
keempat prinsip ini tidak ada maka tindakan yang diambil adalah suatu
bentuk hukuman yang ditandai dengan tiga R, yaitu Rasentment, Ravenge
dan Retreat.
Keberhasilan suatu konsekuensi tergantung pada konsistensi
guru/orang tua dalam menerapkan hal ini. Berikut beberapa tips dalam
menerapkan konsekuensi logis:
1. Konseskuensi harus didesain untuk mengajarkan anak bahwa
tindakan/perilaku mereka tidak tepat/salah dan pilihan yang
mereka buat bukan pilihan yang baik/bijak. Konsekuensi tidak
boleh membuat anak merasa bahwa mereka adalah anak yang
jahat.
2. Indentifikasi bahwa konsekuensi yang diambil bukanlah suatu
bentuk kekerasan atau serangan pada anak. Konsekuensi
seharusnya dikonstruksi oleh anak dengan bantuan guru/orang
tua. Guru dan orang tua juga harus mendampingi anak selama
menjalani konsekuensi, dengan mengembangkan suatu skill
tertentu (misalnya membantu bagaimana memperbaiki sesuatu
yang sudah dirusak).
3. Jangan mencoba menunjukkan kekuasaan pada anak
4. Ketika menerapkkan konsekuensi, jelaskan dengan tepat apa yang
telah anak lakukan. Penekanan pada tindakan/perilaku yang tidak
IGGRD2016 Hal 55
dapat diterima bukan pada pribadi anak. Misalnya,” memukul
orang lain tidak baik karena akan menyakininya” daripada
mengatakan “kamu telah membully dia.”
5. Konsekuensi harus dilakukan secara adil, wajar, jujur dan dengan
tenang. Guru atau orang tua harus konsisten dalam menerapkan
aturan. Sering sekali orang tua bertindak berbeda ketika mood
mereka tidak baik dibanding ketika mereka memiliki mood yang
baik. Bahkan kadang-kadang guru/orang tua melakukan suatu
tindakan bergantung pada apa yang mereka rasakan dan alami
pada hari itu. Hal ini membuat siswa/anak merasa orang tua tidak
adil. Anak akan lebih fokus pada mood nya orang tua dari pada
konsekuensi sebagai prinsip dalam melihat tindakan mereka.
6. Konsisten dengan aturan tidak berarti menerapkannya dengan
seragam pada setiap waktu dan kondisi. Penerapan aturan akan
efektif jika mempertimbangkan konteks dan keadaan setiap anak.
Misalnya, anak yang tidak memakai seragam, tidak bisa diterapkan
konsekuensi yang sama. Karena mungkin saja seseorang anak
tidak memakai seragam karena orang tuanya tidak dapat
membelikan seragam untuknya. Anak yang lain mungkin karena
hanya punya satu seragam dan kotor ketika berangkat atau
pulang sekolah. Untuk itu, sebagaimana yang telah dibahas dalam
materi “Mengenali dan Memahami Misbehave Anak” guru harus
mengidentifikasi terlebih dahulu alasan atau faktor yang
membuat anak perilaku atau bertindak seperti itu sebelum
mengambil tindakan.

IGGRD2016 Hal 56
7. Jangan mengambil tindakan atau “memberi” konsekuensi tanpa
melibatkan dan berdiskusi dengan siswa. Anak akan belajar
melalui diskusi dan keterlibatan mereka, dalam hal inilah mereka
belajar mengenai tindakan mereka. Konsekuensi yang hanya
diambil oleh guru hanya akan membuat anak “penurut” tetapi
anak tidak belajar dan kemampuan mereka tidak berkembang.
Dalam menerapkan suatu konsekuensi guru harus berdialog
dengan siswa, bahkan jika dibutuhkan mengubah peraturan
itupun harus berdasarkan dialog dengan siswa.

Perbedaan logical consequences dengan hukuman31


Hukuman Logical Consequences
Menekankan pada kekuatan Mengekspresikan realitas
otoritas personal dan cenderung kehidupan, saling menghargai
menuntut Contoh: Mira, saya tahu kamu
Contoh: Mira, matikan musiknya, suka lagu itu, tetapi kami sedang
kami sedang istirahat istirhat. Jadi tolong kecilkan
volume atau matikan musiknya
Sewenang-wenang dan tidak Langsung berhubungan dengan
berhubungan dengan situasi atau misbehave anak
tindakan Contoh: Kamu seharusnya tidak
Contoh: Kenapa kamu masih memutar musik terlalu keras pada
memutar musik ketika kami malam hari ketika orang sedang
sedang istirahat? Kamu tidak beristirahat
boleh lagi mendengarkan musik.
Mengidentikkan misbehave anak Membedakan antara tindakan
dengan personalitinya, yang dan pelaku, tidak membuat moral
berimplikasi pada moral judgment judgment.
Contoh: Kamu bertindak seperti Contoh: Kamu menggunakan
pencuri ketika menggunakan motorku tanpa permisi. Itu bukan
motorku tanpa permisi. Mulai tindakan yang benar. Mulai
sekarang, kamu harus meminta

31
Plan in Vietnam. Op. Cit.

IGGRD2016 Hal 57
sekarang kamu tidak boleh lagiijin dulu sebelum
menyentuh motorku. menggunakannya
Fokus pada perilaku yang dahulu
Fokus hanya pada tindakan
Contoh: Kamu tidak boleh lagi sekarang dan akan datang
pergi bermain. Kemarin kamu Contoh: Kamu dapat bermain,
tidak mencuci piring karena asyik
tetapi kamu harus menyelesaikan
bermain tugasmu terlebih dahulu
Mengancam, tidak sopan atau Mendiskusikan tindakan dengan
merendahkan anak cara bersahabat, setelah guru dan
Contoh: Kamu membuat ibu anak tenang. Mengimplikasikan
marah, hati-hatilah nilai kamu di
niat baik
rapot! Contoh:
Menuntut kepatuhan Memberikan pilihan
Contoh: Kerjakan tugasmu
Contoh: Kamu dapat melakukan
sekarang, jika tidak nilaimu akan
aktivitas yang kamu sukai tetapi
rendah tugas-tugasmu harus selesai tepat
waktu
Menggunakan skspresi dan nada Ekspresi dan nada yang tenang
marah
Tidak bersahabat, menunjukkan Bersahabat tetapi tetap menjaga
rasa benci sikap
Tidak mau menerima pendapat Dapat menerima keputusan anak,
anak namun dengan batasan

Keberhasilan suatu konsekuensi tergantung pada konsistensi


guru/orang tua dalam menerapkan hal ini. Berikut beberapa tips dalam
menerapkan konsekuensi logis:
1. Konseskuensi harus didesain untuk mengajarkan anak bahwa
tindakan/perilaku mereka tidak tepat/salah dan pilihan yang
mereka buat bukan pilihan yang baik/bijak. Konsekuensi tidak
boleh membuat anak merasa bahwa mereka adalah anak yang
jahat.

IGGRD2016 Hal 58
2. Indentifikasi bahwa konsekuensi yang diambil bukanlah suatu bentuk
kekerasan atau serangan pada anak. Konsekuensi seharusnya
dikonstruksi oleh anak dengan bantuan guru/orang tua. Guru dan
orang tua juga harus mendampingi anak selama menjalani
konsekuensi, dengan mengembangkan suatu skill tertentu (misalnya
membantu bagaimana memperbaiki sesuatu yang sudah dirusak).
3. Jangan mencoba menunjukkan kekuasaan pada anak
4. Ketika menerapkkan konsekuensi, jelaskan dengan tepat apa yang
telah anak lakukan. Penekanan pada tindakan/perilaku yang tidak
dapat diterima bukan pada pribadi anak. Misalnya,” memukul orang
lain tidak baik karena akan menyakininya” daripada mengatakan
“kamu telah membully dia.”
5. Konsekuensi harus dilakukan secara adil, wajar, jujur dan dengan
tenang. Guru atau orang tua harus konsisten dalam menerapkan
aturan. Sering sekali orang tua bertindak berbeda ketika mood
mereka tidak baik dibanding ketika mereka memiliki mood yang baik.
Bahkan kadang-kadang guru/orang tua melakukan suatu tindakan
bergantung pada apa yang mereka rasakan dan alami pada hari itu.
Hal ini membuat anak/anak merasa orang tua tidak adil. Anak akan
lebih fokus pada mood nya orang tua dari pada konsekuensi sebagai
prinsip dalam melihat tindakan mereka.
6. Konsisten dengan aturan tidak berarti menerapkannya dengan
seragam pada setiap waktu dan kondisi. Penerapan aturan akan
efektif jika mempertimbangkan konteks dan keadaan setiap anak.
Misalnya, anak yang tidak memakai seragam, tidak bisa diterapkan
konsekuensi yang sama. Karena mungkin saja seseorang anak tidak
IGGRD2016 Hal 59
memakai seragam karena orang tuanya tidak dapat membelikan
seragam untuknya. Anak yang lain mungkin karena hanya punya satu
seragam dan kotor ketika berangkat atau pulang sekolah. Untuk itu,
sebagaimana yang telah dibahas dalam materi “Mengenali dan
Memahami Misbehave Anak” guru harus mengidentifikasi terlebih
dahulu alasan atau faktor yang membuat anak perilaku atau
bertindak seperti itu sebelum mengambil tindakan.
7. Jangan mengambil tindakan atau “memberi” konsekuensi tanpa
melibatkan dan berdiskusi dengan anak. Anak akan belajar melalui
diskusi dan keterlibatan mereka, dalam hal inilah mereka belajar
mengenai tindakan mereka. Konsekuensi yang hanya diambil oleh
guru hanya akan membuat anak “penurut” tetapi anak tidak belajar
dan kemampuan mereka tidak berkembang. Dalam menerapkan
suatu konsekuensi guru harus berdialog dengan anak, bahkan jika
dibutuhkan mengubah peraturan itupun harus berdasarkan dialog
dengan anak.

Sumber gambar:
Selain tips di atas, berikut step-stephttp://www.learning-knowledge.com/punishment.html
yang dapat dijadikan pertimbangan
dalam menerapkan konsekuensi logis:

IGGRD2016 Hal 60
Step 1
Jika anak berperilaku tidak tepat, misalnya anak terlambat maka guru harus
berdialog dengan siswa untuk mengetahui alasan dan tujuan mereka
berperilaku seperti itu. "Misalnya, mengapa kamu mengambil mainan
temanmu?"

Step 2
Tanyakan pada mereka mengenai dampak tindakan mereka (jangan
menghakimi/menjustifikasi kepribadi an mereka)
Contoh: "Bagaimana jika mainan kamu diambil temanmu?"

Step 3
Jika mereka tidak bisa menyebutkan atau tidak mengetahui dampak tindakan
mereka maka guru harus mengatakan pada siswa mengenai dampak tindakan
mereka (perasaan orang yang gangu, dll)
Contoh: "Yahokima merasa sedih karena dia tidak bisa lagi bermain"

Step 4
Jika anak sudah tahu dan menyadari dampak negatif dari tindakan mereka
maka diskusikan mengenai konsekuensi yang harus mereka terima/lakukan
Contoh: "Sekarang Yahokima sedih karena bonekanya kamu ambil, menurut
kamu apa yang harus dilakukan"

Step 5
Jika mereka tidak bisa menentukan konsekuensinya, berikan bantuan dengan
memberikan pilihan (Tetap tegas karena anak sering ingin melepaskan diri
dari tanggung jawab)
Contoh: "Kamu harus mengembalikan bonekanya dan minta maaf. Berikutnya
jika kamu ingin memainkan boneka orang lain seharusnya kamu minta ijin
dulu"
Step 6
Temani dan bimbing anak ketika menjalani konsekuensi

Step 7
Berikan penguatan positif (positive reinforcement)

PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Positive


Reinforcement and Encouragement

IGGRD2016 Hal 61
Anak-anak ingin didengar, dicintai dan dipuji oleh guru atau orang tua
mereka. Oleh karena itu anak senang jika guru atau orang tua sering
memberikan senyuman, pujian berkat usaha
atau pencapaian mereka. Anak ingin mendapat
pengakuan dan apresiasi dari orang dewasa
(baik guru maupun orang tua) dan teman-
temannya. Dorongan, pengakuan dan pujian
akan mendorong anak untuk terus berusaha.
Perasaan positif yang dialami anak karena
dicintai dan dihargai oleh orang lain akan Sumber Gambar: Plan Vietnam, 2009

mengembangkan kebiasaan dan tindakan baik. Proses ini adalah


perekembangan dalam bentuk spiral bukan garis lurus (linear), kebiasaan
baik bisa saja ditinggalkan jika tidak didorong atau dikuatkan secara terus
menerus.
Guru atau orang tua sering sekali menjadikan misbehave anak sebagai
identitas anak itu sendiri. Hal ini membuat guru atau orang tua tidak bisa
melihat hal positif dari anak. Anak pun akan merasa marah, kehilangan
kepercayaan diri, tidak semangat, tidak bergairah bahkan depresi kerena
penilaian orang dewasa pada mereka. Dalam proses belajar baik di
sekolah maupun di rumah, anak yang tidak mendapat penguatan dan
dorongan yang baik dari guru atau orang tua akan kehilangan motivasi,
takut gagal, malu, gelisah dan takut.

IGGRD2016 Hal 62
Berikut beberapa prinsip yang dapat dijadikan pedoman dalam
menguatkan perilaku positif anak:32

1. Beri pujian pada pencapaian yang real dan spesifik.

Guru dan orang tua sering tidak memeprhatikan perilaku atau


tindakan positif hanya fokus pada kesalahan dan misbehave anak. Dalam
memberikan penguatan, hal yang sangat penting adalah mengidentifikasi
kebaikan dan perilaku positif anak. Sikap dan cara berbicara guru atau
orang tua sangat penting dan mempengaruhi dalam menguatkan anak
dapat proses belajarnya. Misalnya, anak yang tidak tertarik dan kesulitan
dalam belajar matematika, guru dapat memberikan pujian ketika anak
dapat menyelesaikan satu soal. Guru dapat mengatakan, “jawaban ini
sangat bagus, kamu dapat menyelesaikan dengan sistemais dan jelas.”

2. Dorongan yang spesifik dan menyebutkan kebaikan


Guru penting menyebutkan atau mengatakan kebaikan yang
dilakukan oleh anak. Misalnya, “Saya suka cara kamu menyelesaikan
tugas-tugas di rumah, kamu menunjukkan sikap tanggung jawab dan
kerajian.” Melalui pengakuan dan penyebutan kebaikan yang dilakukan
guru, anak akan mengingat kebaikan ini dan berusaha terus
mengembangkannya. Hal ini akan membuat anak menjauhi sikap malas
dan tidak bertanggung jawab.

3. Tulus

32
Diadaptasi dari Plan Vietnam. Op. Cit

IGGRD2016 Hal 63
Dalam memberikan pujian dan dorongan, ketulusan orang tua atau
guru adalah faktor yang paling penting. Anak dapat menilai mana pujian
yang tulus atau sekedar basa-basi. Misalnya, ketika anak begitu senang
akan hasil menggambarnya, guru dan orang tua dengan senyum dan
mengatakan: “Wah, lihat warna yang kamu gunakan—merah, biru,
hijau—dan lekukan yang ini.” Deskripsi yang diberikan oleh guru akan
hasil kerja anak, menunjukkan bahwa guru tersebut mengakui pekerjaan
anak. Anak akan memiliki dorongan positif.

4. Dengan Emosi positif dan keikhlasan


Guru sering kali memberikan pujian atau dorong pada anak dengan
tidak ikhlas. Misalnya, “Pekerjaan kamu sangat bagus hari ini. Tetapi
kenapa kamu tidak melakukannya setiap hari?” Dorongan positif yang
diberikan oleh guru kemudian ditutup dengan menjatuhkan semangat
anak. Hal ini terjadi karena dalam memberikan pujian atau dorong guru
tidak dalam emosi yang positif dan tidak penuh keikhlasan.

5. Beri respon dengan segera


Ketika anak menunjukkan perilaku positif (khusus perilaku yang baru
dilakukan anak), guru perlu memberikan dorongan dengan segera. Hal ini
akan menunjukkan pada anak bahwa perilaku tersebut adalah hal baik
yang harus terus dilakukan. Selain itu, ketika anak tidak menunjukkan
perilaku positif, guru juga harus dengan segera memberikan respon.
Misalnya, ketika anak malas belajar. Guru atau orang tua dengan segera
menemani dan mengajak anak untuk belajar. Guru harus memberikan
bantuan, bukan hukuman. Lalu ketika anak sudah mulai menikmati
IGGRD2016 Hal 64
belajarnya, guru mendorong anak untuk melanjutkannya secara mandiri,
namun harus tetap memberikan perhatian pada pekerjaan anak.

Keterampilan memberikan dorongan


Sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa anak membutuhkan
penguatan baik dalam bentuk dorongan ataupun pujian. Dorongan dapat
berbentuk senyum, anggukan ataupun kata-kata yang positif. Namun
keterampilan memberikan dorongan perlu terus dilatih. Berikut beberapa
keterampilan dalam memberikan dorongan.

1. Keterampilan menunjukkan pemahaman, simpatik dan penerimaan


anak
Sering sekali dalam memberikan dorongan, guru dan orang tua
membanding-bandingkan anak dengan orang lain, apakah itu saudaranya
atau siswa lain bahkan orang tuanya. Perbandingan ini bisa meruntuhkan
kepercayaan diri anak. Usaha dan kemampuan anak secara personal tidak
diakui sebagaimana adanya. Untuk itu dalam memberikan dorongan,
anak harus mengakui dan memahami usaha dan perkembangan anak
secara individual. Selain itu, anak juga harus diberi dorongan serta usaha,
tantangan dan kesulitan mereka harus dipahami oleh guru. Dengan
demikian, anak tidak merasa sendiri dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Dorongan yang diberikan guru dan orang tua akan
mengembakan kepercayaan diri dan self-esteem anak. Guru dan orang tua
juga perlu berhati-hati dalam menyampaikan harapannya akan anak.
Sering sekali harapan ini tanpa diikuti oleh dorongan dan bantuan bahkan
sering tidak realitis dengan keadaan anak.
IGGRD2016 Hal 65
Contoh:
Positif: “Saya telah melihat kerja kerasmu. Saya percaya bahwa kamu
dapat melakukan yang lebih baik ke depannya.”
Negatif: “Jangan menyerah. Kamu harus terus bekerja kerja biar nilaimu
tidak lagi rendah.”

2. Keterampilan untuk fokus pada kekuatan dan kontribusi anak


Kencederungan yang terlihat dalam kehidupan sosial, kita sering
lebih memperhatikan dan menekankan pada kesalahan seseorang.
Bahkan keselahaan ini sering kita ungkit-ungkit dan diperbesar, sehingga
orang yang melakukan kesalahan akan semakin merasa begitu bersalah,
merasa tidak layak, dll. Padahal setiap orang di dunia ini pernah
melakukan kesalahan. Hal ini jugalah yang sering dilakukan oleh guru dan
orang tua pada anak. Anak yang diperlakukan demikian, secara perlahan
akan sulit mengenali kekuatannya sehingga kehilangan kepercayaan diri.
Oleh karena itu, guru dan orang tua seharusnya fokus pada kekuatan dan
perilaku positif anak. Namun bukan berarti mengabaikan kesalahan dan
perilaku negatif anak. Anak juga harus ditunjukkan bahwa apa yang
mereka lakukan tidak tepat atau negatif.
Contoh:
Positif: “Saya senang kamu menyadari kesalahanmu dan bertanggung
jawaban akan hal itu. Ini menjadi pelajaran berharga ke
depannya.”
Negatif; “Kamu tidak pernah berpikir sebelum bertindak! Harusnya kamu
malu dengan diri sendiri, sudah berkali-kali kamu melakukan hal
seperti ini.”
IGGRD2016 Hal 66
3. Keterampilan dalam mengeksplorasi hal positif dan
mengembangkan solusi alternatif dalam situasi yang sama. Sering
sekali karena fokus pada kesalahan dan perilaku negatif, guru dan
orang tua malah tidak membantu anak dalam menemukan solusi.
Contoh:
“Seorang anak pulang bermain dengan temannya sampai larut malam,
sehingga ia kehujanan dan takut pulang ke rumah.”
Positif: “Saya pikir kamu dapat belajar bahwa pulang terlalu lama tidak
baik, untuk itu berikutnya kamu dapat mengambil tindakan yang
lebih bijak.”
Negatif: “Apa yang sudah saya bilang, jangan pulang larut-larut malam.”
4. Keterampilan fokus pada usaha dan kemajuan/perkembangan
Anak sering mengalami kehilangan semangat dan akhirnya menyerah
ketika ia tidak dapat mencapai apa yang diharapkannya meskipun sudah
berusaha. Untuk itu orang tua dan guru perlu fokus pada usaha dan
perkembangan yang dialami anak, sehingga dapat memberikan
dorongan yang tepat.
Contoh:
Positif: “Kemampuanmu dalam matematika berkembang pesat, seperti
pemahaman mengenai materi logaritma. Saya pikir kamu akan
semakin menikmati dan mampu dalam topik lain.”
Negatif: “Kamu bilang kamu sudah belajar di rumah dan ikut les, mengapa
nilai matematika kamu masih rendah?”

IGGRD2016 Hal 67
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Mengatasi Konflik

Dalam kehidupan sosial, konflik sangat mungkin terjadi karena adanya


perbedaan latar belakang, cara pemikiran, kepentingan, dan minat setiap
orang. Di sekolah sendiri, konflik antar siswa tidak jarang terjadi, bahkan
antar siswa dengan guru. Sering kali terjadi, ketika menghadapi dua orang
anak atau lebih yang sedang berkonflik, guru menggunakan pendekatan
negatif seperti memberikan hukuman kepada siswa tanpa memahami
latar belakang permasalahan. Oleh karena itu dalam menghadapi konflik
yang terjadi di sekolah, guru perlu memahami dan memiliki keterampilan
dalam mengatasi konflik yang sesuai dengan prinsip disiplin positif. Selain
itu, anak juga perlu dibekali keterampilan dalam mengatasi konflik,
karena tidak semua konflik dapat diketahui oleh guru atau pihak sekolah.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, bahwa untuk
mengatasi konflik yang terjadi di sekolah, anak juga harus dibekali
keterampilan mengatasi konflik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
mengenai penyelesaian konflik di sekolah. Berikut hasil penelitian
tersebut:33
a. Konflik antar siswa sering terjadi di sekolah;
b. Siswa yang tidak terlatih dalam mengatasi konflik, biasanya
menerapkan strategi mengatasi konflik yang menimbulkan
dampak negatif. Siswa cenderung tidak memperdulikan
hubungan mereka dengan teman-temannya ketika menyelesaikan
konflik;

33
Johnson, D.W., Johnson, R.T., Dudley, B., and Burnett, R. 1992. Teaching students to
be peer mediators. Educational Leadership, 50(1), 10-13.

IGGRD2016 Hal 68
c. Program penyelesaian konflik dan mediasi teman sebaya sangat
efektif dalam mengajarkan siswa mengenai keterampilan dalam
bernegosiasi dan bermediasi;
d. Siswa yang telah dilatih dalam menyelesaikan konflik cenderung
menerapkan keterampilan bernegosiasi dengan konflik yang pada
akhirnya menghasilkan hal-hal yang konstruktif/positif;
e. Keterampilan siswa dalam mengatasi konflik secara mandiri akan
mengurangi potensi ternjadinya konflik antar siswa, yang
selanjutnya dapat meminimalisis hukuman terhadap siswa.

Ada beberapa langkah dalam mengajarkan siswa menghindari dan


mengatasi konflik, yaitu:34
1. Ajarkan keterampilan bernegosiasi pada anak sehingga mereka
mampu:
a. Memahami konflik yang terjadi (“apa yang kita pertengkarkan,
mengapa kita bertengkar, bagaimana permasalah tersebut
timbul”),
b. Bertukar pikiran dan mengajukan jalan keluar (“Saya kira kita
seharusnya begini… karena …”),
c. Memandang permasalahan dari ke dua sisi (misalnya dengan
bermain peran),
d. Memutuskan masalah di mana masing-masing siswa tidak
merasa dirugikan (solusi yang “memenangkan semua pihak”,
misalnya “Baiklah, hari ini kita lakukan dengan caramu, dan

34
UNESCO . Op. Cit. Hal 85

IGGRD2016 Hal 69
besok dengan caraku, setelahnya kita lihat bersama cara mana
yang terbaik”), dan Mencapai kesepakatan bersama.
2. Ajarkan siswa untuk melakukan mediasi guna mencapai penyelesaian
masalah yang terjadi di antara teman-teman mereka. Mediasi adalah
sebuah prosesdengan melibatkan orang lain untuk membantu dalam
penyelesaian perselisihan. Dalam mengajarkan keterampilan
mediasi, Anda dapat memilih sebuah permasalahan yang mungkin
timbul atau pernah terjadi di kelas di antara dua siswa Anda.
Kemudian, adakan kegiatan bermain peran yang dilakukan oleh dua
orang siswa dan mintalah siswa ketiga untuk membantu kedua
temannya tersebut dalam mencapai sebuah penyelesaian atau
kesepakatan. Dalam upaya mediasi tersebut, siswa ketiga dapat
menggunakan apa yang dia ketahui mengenai teman-temannya
tersebut, permasalahan yang terjadi, dan pemikirannya untuk
mencapai kesepakatan antara kedua temannya yang berkonflik.
3. Setelah siswa mendapatkan pembelajaran mengenai keterampilan
negosiasi dan mediasi, maka ke dua siswa tersebut (jika
memungkinkan satu siswa perempuan dan satu siswa laki-laki) dapat
dijadikan mediator (petugas penjaga perdamaian) di kelas. Peran ini
dapat diberlakukan secara bergilir bagi semua siswa, dan para
mediator ini akan membantu menyelesaikan masalah untuk semua
konflik yang tidak bisa diselesaikan oleh kedua belah pihak yang
terlibat di dalamnya.

Selain mengajarkan siswa bagaimana mengatasi konflik, yang paling


penting juga adalah bagaimana guru mengatasi konflik yang terjadi di

IGGRD2016 Hal 70
antara siswa. Dalam menghadapi konflik yang terjadi antar siswa, guru
harus bertindak sebagai mediator yang bersikap netral, tidak
berprasangka dan tidak menghakimi. Berikut cara mengatasi konflik yang
terjadi di antara siswa:
1. Ketika menyadari adanya konflik yang terjadi di antara siswa, hal
yang pertama yang harus guru lakukan adalah time out, yaitu
menenangkan diri dan mendorong siswa untuk menghindar dari
situasi sampai mereka merasa tenang.
2. Jika guru dan siswa sudah merasa tenang, mulailah berbicara.
Dalam memulai pembicaraan, hindari kata-kata yang
menyudutkan siswa atau membuat siswa merasa terserang
sehingga akan berusaha mempertahankan diri. Sebagai tips,
mulailah dengan kata “saya” dibanding kata “kamu”.
3. Persilahkan siswa mengungkapkan mengapa mereka berkonflik
atau bertengkar secara bergiliran. Guru tidak perlu dulu
memberikan justifikasi terhadap pendapat siswa.
4. Setelah semua siswa berbicara, mulailah memberikan penyadaran
akan letak kesalahan dari setiap siswa. Fokus pada perliaku dan
tindakan bukan pada pribadi siswa (Lihat prinsip pada Logical
Consequences dan Positive Reinforcement and Encouragement).
5. Ajak siswa untuk mendialogkan solusi yang harus diambil. Jika
siswa tidak bisa dan mau mengambil solusi, berikan alternatif
solusi yang tepat.
6. Setelah itu, ajak dan dorong siswa untuk saling memaafkan.
Namun, jika siswa belum bisa saling memafaatkan pada saat itu,
sebaiknya jangan memaksakan. Berikan pengertian pada siswa
IGGRD2016 Hal 71
yang sudah bisa memaafkan, bahwa temannya mungkin butuh
waktu, dan hal itu tidak masalah.
7. Jika guru kesulitan dalam melakukan mediasi dalam mengatasi
konflik ini minta bantuan pihak lain, seperti kepala sekolah (lihat
bagaimana mengatasi misbehave atau misconduct siswa pada
materi Mengenali dan Memahami Misbehave)

Dalam menghadapi konflik ataupun misbehave atau misconduct anak,


rasa marah kita akan muncul. Rasa marah ini harus dikontrol dengan baik
sehingga dalam berhadapan dengan siswa kita bisa dengan tenang dan
tidak menggunakan kekerasan ataupun hukuman.
Berikut cara mengontrol rasa marah:35
1. Ambil napas dalam-dalam. Coba berpikir sebelum berbicara dan
mengambil tindakan.
2. Hindari sejenak konflik atau masalah dan dorong siswa untuk
sejenak mengindarkan diri dari masalah untuk menenangkan diri.
3. Mulailah berbicara dengan anak (berikut contoh format yang
dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perasaan: “Ketika
kamu....—sebutkan tindakan anak; Saya merasa/Saya...—
ungkapkan perasaanmu; Karena...—fokus pada tindakan yang
tidak tepat bukan pada anaknya; Tindakan kamu....—sebutkan
konsekuensi dari tindakan tersebut. Gunakan prinsip dan langkah
penerapan logical consequences serta positive reinforcement and
encouragement).

35
Diadapatasi dari Plan in Vietnam. Op. Cit.

IGGRD2016 Hal 72
4. Berikan Positive Reinforcement and Encouragement

Sumber gambar: prezi.com

IGGRD2016 Hal 73
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Mengintegrasikan
Disiplin Positif dalam Proses Pembelajaran

Disiplin positif bukanlah hanya berada di luar proses belajar, namun


terintegrasi dalam proses belajar di ruang kelas maupun dalam kehidupan
sekolah secara luas. Sering kali yang terjadi adalah disiplin positif
dikembangkan dalam bentuk pelatihan atau program khusus yang
diberikan pada anak atau guru. Padahal disiplin positif itu sendiri harus
include dalam setiap proses pendidikan, karena disiplin adalah salah satu
aspek pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, hal yang paling penting yang
perlu dikembangkan guru adalah bagaimana mengintegrasikan atau
menerapkan disiplin positif dalam proses belajar di kelas atau di luar kelas.
Penerapan atau integrasi disiplin positif dalam ruang lingkup proses
pembelajaran bukanlah hal yang mudah. Tidak mudah karena pada saat
yang sama juga guru harus mempertimbangkan “tuntutan kurikulum.”
Berikut beberapa prinsip dalam mengintegrasikan disiplin positif
dalam proses pembelajaran:36
a. Selalu mendasarkan pada hak, kewajiban dan perkembangan anak;
b. Fokus pada hal positif;
c. Menjadi teladan;
d. Mendengarkan sebelum memberikan pendapat atau keputusan;
e. Konsisten;

36
Sebagai referensi lihat Centre for Justice and Crime Prevention and the Department
of Basic Education, Course Reader. Op. Cit Hal 25. Dan lihat juga: Jim Walters and
Shelly Frei. 2007. Managing Classroom Behavior and Discipline
http://www.peoriapublicschools.org/cms/lib2/IL01001530/Centricity/Domain/4528/Sa
mple%203.pdf [08/08/2016. Pukul 14.00]

IGGRD2016 Hal 74
f. Bedakan antara perilaku atau tindakan dengan kepribadian anak;
g. Kembangkan rasa saling menghargai;
h. Selalu mengotrol emosi;
i. Berikan penguatan (dorongan atau pujian);
j. Kenali faktor/alasan dan motivasi dibalik perilaku dan misbehave
anak;
k. Gunakan konsekuensi logis dalam menghadapi perilaku anak
(termasuk menghubungkan dengan peraturan/kode etik kelas);
l. Hindari berkonfrontasi dengan anak;
m. Sebisa mungkin menghindari penggunaan ancaman.

IGGRD2016 Hal 75
Langkah-langkah penerapan disiplin positif dalam kelas:37
Step 1: Deskripsikan perilaku yang diinginkan secara jelas
“Semuanya tolong mendengarkan temannya ya..”

Step 2: Berikan alasan (rasionalisasi) menengenai perilaku yang diharapkan


“Karena jika semua berbicara pada waktu yang bersamaan, siapa yang akan
didengarkan? Dan kita harus menghargai pendapat teman, bukan?” Pada
tahap ini, guru juga dapat merujuk pada peraturan yang telah disusun
bersama sebagai alasan perilaku tersebut.

Step 3: Tanya anak untuk mengetahui apakah mereka memahami perilaku


yang diharapkan
“Mengapa kita harus mendengarkan teman yang sedang berbicara?”

Step 4: Berikan Reinforcement


Berikan penguatan terhadap perilaku yang tepat. “Mendengarkan orang lain
bicara adalah hal yang baik dan bentuk menghargai teman. Kamu telah
menghargai temanmu.”

Step 5: Jika anak berperilaku yang tidak tepat, kenali dan pahami alasan dan
motivasi dibalik misbehave mereka

Step 6: Terapkan konsekuensi logis


(sesuai dengan tingkat misbehave anak--lihat hal 49 mengenai petunjuk
menghadapi misbehave)

Step 7: Berikan Reinforcement


Reinforcement yang diberikan yaitu dorongan (encouragement bentuk
keempat).

37
Dikembangkan berdasarkan Centre for Justice and Crime Prevention and the
Department of Basic Education-Course Reader. Op. Cit. Hal 26 dan UNESCO. Op. Cit.

IGGRD2016 Hal 76
Hal penting yang juga harus dipertimbangkan dalam penerapan
disiplin positif di dalam kelas adalah bagaimana menciptakan kelas yang
kondusif. Dalam kelas yang kondusif maka kemungkinan besar anak akan
terlibat secara positif dalam proses belajar. Guru juga akan mudah dalam
memperhatikan setiap anak, sehingga membantu dalam penerapan
disiplin positif. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan guru dalam
memanajemen kelas secara efektif:38
1. Menetapkan aturan dasar. Sebelum memulai tahun ajar baru,
peraturan kelas harus ditetapkan. Dalam menyusun aturan ini tidak
boleh hanya dilakukan guru. Peraturan kelas harus disusun oleh siswa
bersama guru. Sehingga siswa tidak melihat aturan tersebut sebagai
otoritas dan kekuasaan guru, tetapi kesepakatan bersama.
2. Serius dan konsisten dalam implementasi aturan. Hal yang paling
penting setelah menerapkan aturan bersama adalah konsisten dalam
menerapkannya. Anak yang melihat guru tidak konsisten dalam
menerapkan aturan akan menilai bahwa aturan bukanlah hal yang
harus dijaga bersama.
3. Fokus dalam membangun hubungan. Hubungan yang baik antar guru
dengan anak, guru dengan orang tua dan anak dengan anak akan
membuat komunikasi berjalan dengan baik. Dalam hubungan yang
baik ini jugalah guru dapat memahami perilaku, latar belakang,

38
Sebagai referensi lihat Centre for Justice and Crime Prevention and the Department
of Basic Education, Course Reader. Op. Cit. Hal 26 dan UNESCO. Op. Cit. Lihat juga:
Cotton, Katherine. Schoolwide dan Classroom Discipline. School Improvement Research
Series.
http://educationnorthwest.org/sites/default/files/SchoolwideandClassroomDiscipline.
pdf [08/08/2016. Pukul 13. 30]

IGGRD2016 Hal 77
hambatan dan kekuatan anak. Dalam hubungan yang baik, anak
merasakan penghargaan dari guru.
4. Profesional. Profesionalisme guru akan membantu dalam
menerapkan disiplin positif. Misalnya, guru yang mempersiapkan
proses belajar di kelas dengan baik akan lebih mudah dalam
memanajemen kelas, lebih tenang menghadapi anak dan dapat
mengantisipasi kemungkinan-kemungkian yang terjadi di kelas. Guru
profesional berarti guru yang reflektif, yaitu guru yang terus menerus
melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri dalam hubungan proses
belajar dan menghadapi anak. Dengan demikian guru akan terus-
menerus memperbaiki diri dan mencari cara yang positif dalam
berhadapan dengan anak. Profesional juga berarti mengembangkan
pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing anak.
Pendekatan ini harus terus-menerus diperbaiki oleh guru karena tidak
ada satu pendekatan yang tepat untuk semua kondisi.
5. Inklusif. Guru tidak boleh membeda-bedakan anak. Anak pejabat dan
anak rakyat biasa bahkan anak dengan disabilitas harus diperlakukan
adil oleh guru. Untuk itu guru harus intens mengamati,
mendengarkan dan berdialog dengan semua anak, tanpa membeda-
bedakan.
6. Menciptakan kesempatan bagi anak untuk merasakan pengalaman
mencoba dan keberhasilan dalam pembelajaran dan hubungan
sosial. Ketidaksabaran akan proses yang dijalani anak, membuat guru
mengotrol anak dengan ketat. Anak tidak diberikan kesempatan
untuk mengeksplorasi dan mencoba bertindak sesuai dengan apa
yang mereka pikirkan. Padahal dengan kesempatan mengalami
IGGRD2016 Hal 78
proses (baik kesalahan maupun keberhasilan) membuat anak belajar
dan semakin percaya diri.
7. Memberikan kesempatan anak mengambil tanggung jawab. Guru
yang tidak percaya pada kemampuan anak, akan sulit memberikan
tanggung jawab bahkan melibatkan anak dalam mengerjakan
sesuatu. Hal ini akan berdampak negatif pada perkembangan anak
dalam belajar bertanggung jawab. Untuk itu penting sekali guru
melibatkan anak dalam berbagai hal yang sesuai dengan
kehidupannya dan memberikan kesempatan anak untuk
melakukannya sendiri bahkan mengambil keputusan.
8. Selalu mendorong terjadinya kerja kelompok yang koperatif sebisa
mungkin.
9. Perlunya memberi ruang pada rasa humor, musik, dll yang dapat
mengurangi dan menghilangkan suasana tegang di dalam kelas.
10. Menciptkan ruangan kelas yang nyaman, menarik, ramah dan
terbuka bagi semua siswa, orang tua dan guru. Ruang kelas yang
nyaman akan mendorong perasaan positif dalam diri anak dan guru.
Untuk itu, ruang kelas harus diatur/didekorasi sedemikian rupa
sehingga mendukung proses belajar dan menciptakan rasa nyaman
dalam diri anak dan guru. Untuk mengatur/mendekorasi ruang kelas,
guru harus melibatkan anak. Anak harus terlibat bahkan menciptakan
sendiri ruang kelas yang nyaman menurut mereka dengan bimbingan
guru. Misalnya, anak ingin ada bunga di dalam kelas, anak ingin
mendekorasi dinding kelas, dll yang harus diakomodasi. Namun guru
juga harus memastikan bahwa keinginan anak tidak malah
menganggu proses belajar dan keinginan serta kebutuhan anak lain.
IGGRD2016 Hal 79
11. Mengidentifikasi sumber-sumber pendukung. Dalam menghadapi
anak dan menciptakan kelas yang kondusif serti mendukung proses
belajar anak, guru memerlukan bantuan dari berbagai pihak.
Misalnya, guru perlu bantuan dari psikolog untuk mengembangkan
kemampuan guru dalam memahami perkembangan psikologi anak.

Dalam kehidupan bersama di dalam kelas, perlu ada peraturan yang


akan membantu setiap orang untuk bersama-sama berkembang.
Peraturan juga menjadi salah satu hal penting dalam mengembangkan
disiplin positif. Peraturan menjadi semacam norma atau etik yang
disepakati bersama. Untuk itu dalam menyusunan aturan harus dilakukan
oleh anak bersama guru dan melibatkan orang tua. Sehingga dalam
peraturan atau kode etik kelas, tidak hanya berisi apa yang diharapkan
oleh guru dari siswa, tetapi juga apa yang diharapkan oleh siswa dari
gurunya. Peraturan atau kode etik kelas harus dinyatakan dengan jelas,
sehingga tidak memberikan makna ambigu.
Berikut langkah-langkah membuat peraturan di dalam kelas.
1. Minta anak mengungkapkan bagaimana kelas yang mereka harapkan
dan tingkah laku/sikap apa yang bisa diterima dan tidak bisa diterima.
Daftar setiap harapan yang diungkapkan oleh anak.
2. Diskusikan setiap harapan bersama anak, lalu jika setiap orang setuju
(anak dan guru) kembangakan menjadi sebuah peraturan.
3. Minta pendapat anak, apakah peraturan yang dikembangkan
dipahami dengan jelas (tidak menimbulkan ambigu). Kemudian

IGGRD2016 Hal 80
bersama-sama menyusun konsekuensi setiap peraturan yang telah
disusun.
4. Bersama anak menulis atau membuat peraturan ini dapat dilihat
bersama. Misalnya membuat poster, dll.
5. Minta anak untuk memberi tahu peraturan yang telah disusun pada
orang tua. Guru juga berkomunikasi dengan orang tua mengenai
peraturan yang disusun bersama.
6. Adakan revisi atau peninjauan peraturan kelas secara rutin agar anak
dan guru bisa melihat apakah ada poin peraturan yang tidak
diperlukan lagi atau harus ditambahkan.

IGGRD2016 Hal 81
PENDEKATAN SEKOLAH SECARA MENYELURUH
DALAM PENERAPAN DISIPLIN POSITIF 39

Dalam menerapkan
disiplin positif di sekolah
harus mempertimbangkan
semua komponen sekolah
secara menyeluruh. Peran
setiap komponen, seperti
siswa, guru, kepala
sekolah, tata usaha, yayasan, komite sekolah, bahkan orang tua dan
masyarakat. Setiap komponen ini tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan
saling berinteraksi dan memperngaruhi dalam proses penerapan disiplin
positif di sekolah. Dalam menerapkan disiplin positif yang
mempertimbangkan semua komponen tersebut, hal yang perlu dilakukan
adalah:
1. Melakukan assesment. Untuk melibatkan semua komponen perlu
dilakukan assesment bersama untuk mengidentifikasi peran setiap
komponen, melihat tantangan dan peluang yang dimiliki oleh
sekolah.
2. Menyusun perencanaan. Berdasarkan hasil assesment tersebut
disusunlah suatu rencana dalam penerapan disiplin positif.

39
Diadaptasi dari Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of
Basic Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Course Reader.
Afrika Selatan

IGGRD2016 Hal 82
3. Melibatkan semua stakeholder. Keberhasilan dalam penerapan
disiplin positif tidak hanya tergantung pada guru dan kepala sekolah
tetapi juga semua stakeholder. Pelibatan ini untuk menyusun dan
membagikan visi bersama, komitmen, nilai dan pemahaman
bersama.
4. Tetap realistis dan inklusif.
5. Pelaksanaan.
6. Monitoring dan Evaluasi. Untuk melihat perkembangan dan
memperbaiki apa yang telah direncanakan perlu disusun kerangka
monitoring dan evalusi.

Berdasarkan hal-hal yang perlu dilakukan tersebut dapat disusun


langkah-langkah dalam mengimplementasikan disiplin positif secara
menyeluruh di sekolah, yaitu:
Step 1: Melakukan assement, pelatihan dan belajar mengenai disiplin
positif. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperlajari
disiplin positif. Lalu melakukan assement untuk mengetahui
bagaimana kemampuan komponen untuk menerapkan disiplin
positif. Pada tahap ini mungkin diperlukan pelatihan dan diskusi
mengenai displin positif pada setiap komponen pendukung.
Step 2: Menyusun visi bersama. Bersama-sama semua warga sekolah
(guru, kepala sekolah, orang tua, yayasan, komite dan staff
pendukung) menyusun visi bersama mengenai sekolah yang
berlandaskan disiplin positif.

IGGRD2016 Hal 83
Step 3: Menyusun pendekatan dan strategi yang akan diambil. Setelah
disusun strategi dan pendekatan ini harus dibagikan dan
dipahami oleh semua warga sekolah.
Step 4: Mereview apakah kode etik sekolah merefleksikan pendekatan
disiplin positif. Hal ini penting dilakukan karena kode etik sekolah
adalah dasar perilaku yang ditekankan di sekolah.
Step 5: Menyusun koordinasi. Untuk memastikan pelaksanaan dan
keterlibatan semua pihak, perlu dibentuk suatu tim koordinasi
yang khusus memperhatikan pelaksanaan disiplin positif.
Step 6: Mengintegrasikan dalam kurikulum. Hal ini penting agar proses
disiplin positif tidak hanya sebatas program tetapi juga
terintegrasi dalam proses belajar setiap hari.
Step 7: Evaluasi dan monitoring. Evaluasi dan monitoring harus dilakukan
secara rutin yang dikoordinir oleh tim yang telah dibentuk pada
step 5.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam penerapan disiplin


positif sangat dipengaruhi oleh semua stakeholder, khususnya orang tua.
Untuk itu sekolah harus melibatkan orang tua secara intens dalam
penerapan disiplin positif. Berikut beberapa tips bagaimana melibatkan
orang tua.
1. Mengundang orang tua dalam penyusunan visi bersama, kode etik
dan peraturan sekolah dan kelas. Selain itu, orang tua juga harus
dilibatkan secara terus menerus untuk melakukan evaluasi dan revisi
akan hal ini. Pelibatan orang tua dapat dilakukan melalui pertemuan
komite sekolah atau pertemuan yang dirancang secara khusus.
IGGRD2016 Hal 84
2. Merencanakan pertemuan dengan orang tua. Pertemuan dengan
orang tua perlu dirangcang secara intens baik yang reguler ataupun
simultan. Pertemuan ini sebagai ajang untuk mendapat informasi dari
orang tua atau memberikan informasi bagi orang tua mengenai
perkembangan anak dan sekolah. Pertemuan juga dapat dilakukan
dengan mengunjungi orang tua. Orang tua juga dapat diundang
dalam program-progam sekolah, seperti pentas seni, dll.
3. Menunjukkan dan berdiskusi dengan orang tua bagaimana
membantu anak belajar dan mengembangkan disiplin positif di
rumah.

IGGRD2016 Hal 85
DAFTAR PUSTAKA

Beazley, H., dkk. 2006. What children say: Results of comparative research
on the physical and emotional punishment of children in Southeast Asia and
the Pacific, 2005. Swedia. Save the Children

Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Trainer’s
Manual. Afrika Selatan

Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Course
Reader. Afrika Selatan

Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Work
Book. Afrika Selatan

Collins, I. J. 2007. Examining the Implementation of School-Wide Positive


Discipline Intervention and Its Impact on Teacher Beliefs, Values and
Practices. Electronic Theses & Dissertations

Cotton, Katherine. Schoolwide dan Classroom Discipline. School


Improvement Research Series.
http://educationnorthwest.org/sites/default/files/SchoolwideandClassro
omDiscipline.pdf [08/08/2016. Pukul 14.00 WIB]

Dreikurs, R. And Soltz. 1964. Children: The Challenge. New York: Dutton.

Elizabeth and Pal Jareg. 1994. Reaching Children Through Dialogue, Redd
Barna Pb. Macmillan

Evans, J.L., Myers, R.G., Ilfeld, E.M. 2000. Early Childhood Counts: A
Programming Guide on Early Childhood Care for Development. Washington
DC: The World Bank.

IGGRD2016 Hal 86
Hart, S. N (ed). 2005. Eliminating Corporal Punishment the Way Forward to
Constructive Child Discipline. UNESCO: Francis

Horno, P. 2005. Love, Power and Violence: A Transcultural Comparison of


Physical and Psychological Punishment Patterns. Spain: Save the Children
Spain

Ignatius Dharta Ranu Wijaya. 2015. Disiplin Positif dalam Pengasuhan dan
Pendidikan. Home PBS dan SOS CHILDREN’S VILLAGES Indonesia

Jim Walters, M.A. dan Shelly Frei. 2007. Managing Classroom Behavior and
Discipline. Shell Education: USA

Johnson, D.W., Johnson, R.T., Dudley, B., and Burnett, R. 1992. Teaching
students to be peer mediators. Educational Leadership, 50(1), 10-13.

Judith Ennew,J. and Plateau, D.P. 2004. How to Research the Physical
and Emotional Punishment of Children. Save the Children

Katharine C. Don’t Jime It Out On Your Kids: A Parent’s and Teacher’s Guide
to Positive Discipline. http://www.cei.net/~rcox/dontake.html
[10/10/2005]

Marina Monteith. 2006. Promoting Positive Discipline An Evaluation of the


Alternatives to Physical Punishment Training Project. Save the Children.

Naker, D and Sekitoleko,S. 2009. Positive Discipline: Creating A Good


School Without Corporal Punishment. Raising Voices. Uganda

Nelsen, J. Positive Discipline. Sunrise Books atau


www.positivediscipline.com

Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual. Vietnam

Positive Discipline: An Approach and a Definition.


http://www.brainsarefun.com/Posdis.html [12/2/2005]

IGGRD2016 Hal 87
Ramsden, P. 2008. Positive Disciplin Techniques to Promote Positive
Behaviour in Children. Save the Children. Finlandia

.....? 2015. School Safety Framework Early Warning System module on


Preventing and Addressing Bullying: CJCP, UNICEF dan Departemnt
Basic Education of South Africa

Save the Children. 2007. A Toolkit on Positive Discipline, with particular


emphasis on South and Central Asia. Nepal: Save the Children

Save the Children. 2006. Public Education against Corporal Punishment of


Children and Promotion of Positive Discipline in Families and Communities.
Proceedings of the Save the Children and partner organizations Regional
workshop on corporal punishment of children 20-24 March 2006. Bangkok,
Thailand: Save the Children

Tim Penulis. 2007. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan


Pendidikan. Jakarta: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta.

Tim Raising Voices. 2009. The Good School Toolkit, Step Four: Positive
Discipline. Raising Voices: Uganda

UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan


Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran Buku khusus 1: Disiplin
Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi Pendidik.
Thailand: UNESCO

Unicef. 2012. The 2011 Multiple Indicator Cluster Survey in Selected Districts
of Papua and Papua Barat. Papua : Unicef.

www.positivediscipline.com [accesed online 10 June 2016].

https://www.positivediscipline.com/about-positive-discipline [accessed
online on10/06/2016]

Lihat Lihat juga Rita Eka I, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik.
Yogyakarta: Fakultas Fsikologi. UNY

IGGRD2016 Hal 88

Anda mungkin juga menyukai