IGGRD2016 Hal 2
DAFTAR ISI
IGGRD2016 Hal 3
PENGANTAR
IGGRD2016 Hal 4
untuk memperdalam pemahamannya mengenai disiplin positif di
sekolah.
Tim Penulis
IGGRD2016 Hal 5
PERKEMBANGAN ANAK
1
Elizabeth and Pal Jareg. 1994. Reaching Children Through Dialogue, Redd Barna Pb.
Macmillan.
2
Lihat Evans, J.L., Myers, R.G., Ilfeld, E.M. 2000. Early Childhood Counts: A Programming
Guide on Early Childhood Care for Development. Washington DC: The World Bank.
IGGRD2016 Hal 6
- Perkembangan bersifat holistik. Perkembangan adalah hasil saling
mempengaruhi antara faktor bawaan, sosial, budaya dan
lingkungan.
- Perkembangan anak dimulai pada masa prenatal
- Delapan tahun pertama anak adalah dasar untuk perkembangan
selanjutnya untuk itu perlu perhatian intens pada tahap ini
- Kebutuhan anak berbeda di setiap tahun pada usia dini
- Perkembangan bersifat multi-determined dan bervariasi
tergantung gizi anak, pengaruh biologis, warisan genetik, sosial
dan konteks budaya
- Perkembangan anak secara natural adalah komulatif dan tidak
selalu progresif
- Anak adalah partisipan aktif dalam perkembangannya dan proses
belajarnnya
- Perkembangan dan proses belajar terjadi sebagai hasil dari
interaksi anak dengan orang lain dan objek dalam lingkungannya
- Anak tinggal dalam sebuah konteks—keluarga, komunitas,
budaya—dan kebutuhan mereka semakin efektif jika
dihubungkan dengan konteks ini.
- Perkembangan berlangsung seumur hidup, artinya
perkembangan berlangsung dan berkesinambungan sepanjang
hidup
- Perkembangan bersifat multidireksional, yaitu bahwa
perkembangan terjadi pada arah tertentu, misalnya pada masa
bayi lebih condong pada perkembangan fisikal
- Perkembangan bersifat lentur, artinya perkembangan itu dapat
distimulasi sehingga berlangsung optimal
Lihat juga Rita Eka I, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: Fakultas
Fsikologi-UNY
IGGRD2016 Hal 7
and multidirectional, (3) highly plastic, and (4) affected by multiple
interacting forces.3
Selain prinsip di atas perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang
memperngaruhi perkembangan anak. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan anak yaitu keberadaan anak itu seperti genetik dan faktor
bawaan, dan faktor lingkungan meliputi keamanan dan penerimaan anak,
kasih sayang dan dukungan dari berbagi pihak serta lingkungan yang
ramah anak (kebutuhan dasar anak terpenuhi, anak memperoleh
kesemapat untuk berpartisipasi secara adil, kesempatan
mengekspresikan diri, hak anak dijamin, jaminan perlindungan dari
berbegai bentuk kekerasan). Lingkungan dan faktor bawaan saling
mempengaruhi dalam perkembangan anak.
Oleh karena itu perkembangan anak harus dilihat dari kerangka
interaksi dengan lingkungan sekitarnya yang terus menerus saling
mempengaruhi. Interaksi ini meliputi konteks personal, interpersonal,
sosial dan tingkatan budaya. Setiap konteks ini masing-masing punya
peran yang signifikan terhadap perkembangan anak. Salah satu teori
mengenai interaksi dan partisipasi yang saling memperngaruhi antar
konteks diperkenalkan oleh Urie Bronfenbrenner melalui teori sosial
ekologi-nya.4 Dasar dari perkembangan anak direpresentasikan oleh
faktor fisik (inner physical), kognitif, emosi dan sosial. Kemudian menurut
Bronfenbrenner terdapat lima sistem lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan anak selain faktor internal. Kelima sistem tersebut
3
Berk, L.E. 2007. Development Through The Lifespan, 4/e. Illinois State University
4
Ibid. Lihat juga: Rita Eka I, dkk. Op. Cit.
IGGRD2016 Hal 8
meliputi mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan
kronosistem. Pada level Mikrosistem perkembangan anak dipengaturi
oleh interaksi anak dengan orang lain dan institusi yang dekat dengannya
yaitu orang tua, teman sebaya, dan sekolah. Pada level berikutnya, yaitu
Mesositem, terjadi interaksi antar mikrosistem misalnya interaksi antar
orang tua, guru dalam sistem sekolah, anggota keluarga dan teman
sebaya dalam institusi keagamaan, organisasi kepemudaan, atau anak-
anak. Lingkungan berikutnya adalah Ekosistem, yaitu struktur yang
memperngaruhi perkembangan anak melalui interaksi beberapa struktur
dalam mikrosistemnya. Ekosistem merupakan sistem sosial yang lebih
luas dimana siswa tidak terlibat langsung atau tidak punya peran langung.
Meskipun anak tidak terlibat langsung namun mereka tetap dapat
merasakan dampak positif atau negatif yang memperngaruhi sistem
mereka sendiri. Misalnya adalah jadwal dan beban kerja orang tua di
kantor akan mempengaruhi anak, kondisi kemiskinan dan kekondusifan
masyarakat. Tingkat berikutnya adalah Makrositem yang mengelilingi
mikro-meso dan ekosistem. Nilai-nilai, ideologi, hukum, masyarakat dan
budaya direpresentasikan dalam sistem ini. Pada tingkatan inilah kita
mengerti bahwa anak di Indonesia berbeda dengan anak di Eropa.
Contohnya adalah ada tidaknya payung hukum, budaya yang melindungi
anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Sitem kelima
adalah Kronosistem yang meliputi dimensi waktu yang berpengaruh pada
lingkungan anak (dari mikrosistem ke makrosistem). Elemen dari sistem
ini bisa saja terjadi dari faktor ekstenal seperti perubahan psikologis yang
terjadi pada anak, kehilangan orang tua.
IGGRD2016 Hal 9
http://www.growingupinaustralia.gov.au/pubs/reports/krq2009/keyresearchquestions.html
IGGRD2016 Hal 10
Perkembangan fisik, yang meliputi kesehatan, perkembangan
otak, perkembangan biologis dan perkembangan psikomotorik
Perkembangan emosional, meliputi
penghargaan diri, kepercayaan diri, dan
identitas diri. Perkembangan emosional
adalah dasar bagi perkembangan kognitif
dan sosial. Perkembangan emosional
anak akan mempengaruhi hubungannya
dengan orang lain, dan sebaliknya.
Perkembangan kognitif, meliputi bahasa, intelegensia, pemikiran,
pemecahan masalah dan skill analisis
Perkembangan sosial meliputi komunikasi, membangung relasi,
sikap, skill sosial, norma, aturan, kemampuan resolusi konflik
bahkan perkembangan etika dan moral.
5
Horno, P. 2005. Love, Power and Violence: A Transcultural Comparison of Physical and
Psychological Punishment Patterns. Spain: Save the Children Spain
IGGRD2016 Hal 11
relasi piramid ini Horno ingin mengatakan bahwa perkembangan
emosional menjadi dasar pada perkembangan yang lain. Namun ini
hanyalah salah satu gambaran, berbagai gambaran lain melihat interrelasi
terjadi tidak bertingkat namun secara totalitas.
1-4 tahun Anak sekarang sudah mengalami rasa marah baik karena
hal fisik maupun emosional
Pada umur ini, anak ingin mengeksplorasi segala sesuatu
yang berada di sekitarnya. Hal ini karena rasa ingin tahu
mereka yang besar
Anak sudah mampu berbicara, berjalan, pergi ke toilet,
memakai baju dan memulai melakukan sesuatu secara
mandiri
Anak menganggap temannya sebagai
saingan/kompetitor. Misalnya anak tidak ingin berbagi
mainan, makanan dengan temannya.
Anak sudah mulai mengetahui sesuatu tindakan ada
penyebab dan akibatnya
Anak membutuhkan aturan, tuntunan dan penjelasan
sederhana untuk mengontrol dorongan emosi mereka.
6
Lihat UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan
Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran Buku khusus 1: Disiplin Positif dalam
Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi Pendidik. Thailand:UNESCO. Dan lihat
juga: Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual. Vietnam: Plain in Vietnam
IGGRD2016 Hal 12
dia lakukan, sehingga dia merasa nyaman dalam melakukan
penyesuaian. Ramah, periang, apresiatif, ingin
menyenangkan orang lain dan melakukan hal-hal yang
benar; ingin dan berniat jadi anak baik; belum mampu
mengakui kesalahan dan juga belum mampu
mengungkapkan kebenaran.
6 tahun Emosi tinggi. Cepat suka dan cepat pula untuk benci pada
sesuatu hal. Sering membuat kekacauan dan
menimbulkan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Terkadang memancing kegaduhan dan
perkelahian dengan orang lain. Ketika suasana hatinya
sedang baik, anak berumur 6 tahun akan menunjukkan
sifatnya yang riang gembira, enerjik, dan antusias. Anak
dalam masa perkembangan ini membutuhkan banyak
pujian, namun perilakunya cenderung menimbulkan
kritikan dari orang sekitarnya. Namun sayangnya kritikan
tersebut seringnya malah membuat perilaku anak semakin
tidak baik. Anak umur 6 tahun belum dapat membedakan
kepemilikannya maupun kepemilikan orang lain.
7 tahun Cenderung tenang dan berperilaku positif. Bersikap serius,
asyik dengan diri sendiri, moody (suasana
hati yang berubah-ubah), penuh kecurigaan atau
kekhawatiran. Sangat sensitif dengan suasana
hati orang disekitarnya. Terkadang merasa dirinya tidak
disukai oleh orang lain sehingga mereka merasa harus
membuat orang tersebut senang. Sering bermalas-
malasan, rentang ingatan pendek, dan perhatiannya mudah
dialihkan.
8 tahun Penuh semangat, dramatis, rasa ingin tahu yang tinggi, dan
banyak kemauannya. Tidak se – moody anak usia 7 tahun,
namun anak usia 8 tahun tetap sensitif. Membutuhkan
orang lain untuk meluangkan waktu, perhatian, dan setuju
pada dirinya; mulai berpikir secara abstrak; Tertarik dan
fokus pada kepemilikan pribadi.
9 tahun Lebih pendiam dari pada anak usia 8 tahun. Cenderung
mandiri, bertanggung jawab, dapat
diandalkan, dan kooperatif. Terkadang bisa menjadi
IGGRD2016 Hal 13
temperamental (cepat marah) namun pada dasarnya
kemarahan mereka berdasar. Mereka dapat menerima
kritikan dengan baik apabila kritikan tersebut disampaikan
dengan baik; tertarik dengan kesamarataan; bagi anak
berumur 9 tahun standar kelompok lebih penting daripada
standar yang ditetapkan oleh orang dewasa. Cenderung
asyik dengan diri sendiri dan mungkin tidak mendengarkan
ketika diajak bicara. Terkadang mereka terlihat tidak peduli
dan acuh tak acuh
namun di waktu lain mereka dapat menunjukkan
10 tahun Ceplas-ceplos, terus terang, sederhana, jelas, stabil namun
masih bersikap kekanakan. Memiliki banyak
kemauan namun tidak sebanyak anak berusia 9 tahun.
Cenderung ceria dan berbahagia dengan kehidupan yang
mereka jalani. Di suatu waktu menunjukkan sikap dengan
tensi tinggi melalui kemarahan yang meledak-ledak namun
di lain waktu menunjukkan rasa kasih sayangnya. Anak usia
10 tahun tidak dalam masa perkembangan yang
mengkhawatirkan, namun sifatsifatnya pada usia
sebelumnya bagaimanapun masih terlihat.
Senang membuat kelucuan sendiri yang belum tentu lucu
bagi orang lain. Usia 10 tahun adalah usia yang
bahagia.
11-13tahun Usia awal masa remaja, usia di mana terdapat banyak
perubahan. Mengembangkan identitas pribadi dan lebih
mandiri. Kebutuhan akan privasi meningkat dan merasa
sangat sensitif bila di olok-olok dan moody. Kebutuhan
untuk memiliki teman
meningkat.
14-16 Usia pertengahan masa remaja. Kemandirian,
tahun pengembangan seksual, dan kepedulian pada diri
sendiri meningkat. Sangat sadar/mengutamakan
penampilan. Pemikiran kekanakan sudah banyak
berkurang; mereka peduli akan fakta dan dapat
membuat keputusan yang baik.
17-21 tahun Usia akhir masa remaja. Menjadi lebih mandiri, bergantung
pada diri sendiri, hanya sedikit sekali
IGGRD2016 Hal 14
terpengaruh oleh teman-teman di sekitarnya;
mengembangkan kapasitas pemikiran yang dewasa.
Umumnya lebih mudah ditangani daripada anak-anak pada
usia awal atau tengah masa keremajaan.
Bereksplorasi pada hubungan jangka panjang.
Berpendapat pada banyak hal yang terjadi di sekitarnya.
Berkurangnya kesadaran diri akan penampilan semata.
IGGRD2016 Hal 15
DAMPAK PENGGUNAAN HUKUMAN TERHADAP
PERKEMBANGAN ANAK
Hukuman adalah semua tindakan yang diberikan guru atau orang tua
pada anak untuk mengubah perilaku negatif dan yang menyebabkan rasa
sakit secara fisik ataupun emosional atau kedua-duanya. Hukuman ada
dua jenis yaitu hukuman fisik dan hukuman emosional. Hukuman fisik
berarti semua tindakan yang diberikan guru yang menyebabkan rasa
sakit atau luka pada tubuh (fisik) anak. Hukuman fisik digunakan untuk
memberikan efek jera dengan cara memberikan rasa sakit pada fisik
IGGRD2016 Hal 16
anak. Dengan rasa sakit ini, anak diharapkan menghentikan perilakunya
yang dianggap tidak pantas. Jika hukuman fisik berbentuk tindakan fisik,
hukuman emosional adalah tindakan yang menyebabkan dampak (rasa
sakit) secara psikologis dan emosional. Hukuman emosional bermaksud
menyerang anak dengan memalukan dan menyebabkan rasa sakit
psikologis sehingga anak menghentikan perilakunya. Berikut bentuk-
bentuk hukuman (fisik dan emosioanl) yang sering diberikan guru pada
anak:
7
Plan in Viernam. 2009. Positive Disiplin-Training Manual. Vietnam: Plan in Vietnam
IGGRD2016 Hal 17
Kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan: Seseorang yang
menggunakan kekerasan pada anak sebenarnya sedang
melakukan penyalahgunaan kekuasaan mereka atas anak. Dalam
banyak kasus, orang yang menggunakan kekerasan memiliki
hubungan yang dekat dan intens dengan anak seperti orang tua,
kerabat dekat, teman dan guru.
Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik tetapi juga emosional
dan kekerasan seksual. Kekerasan terjadi dalam bentuk
penyalahgunaan atau kelalaian
IGGRD2016 Hal 18
Sebaliknya hukuman tersebut hanya akan membuat anak semakin
marah, benci, dan merasa ketakutan. Hukuman tersebut juga hanya akan
membuat anak merasa malu, bersalah, gelisah, bertambah agresif, tidak
mandiri, dan tidak peduli pada orang lain. Sifat-sifat tersebutlah yang
merupakan masalah yang lebih besar baik bagi guru, wali anak, dan anak-
anak lain.8 Berikut beberapa dampak dari hukuman terhadap
perkembangan anak:
8
Unesco. Op. Cit. Hal 18
9
Hasil penelitian Cotton juga menunjukkan hal yang sama. Lihat: Cotton dan Katherine.
Schoolwide and Classroom Discipline. School Improvement Research Series.
http://educationnorthwest.org/sites/default/files/SchoolwideandClassroomDiscipline.pdf
[08/08/2016. Pukul 14.00 WIB]
IGGRD2016 Hal 19
5. Hukuman mengakibatkan terjadinya permusuhan dan dendam.
6. Anak mengalami luka fisik sehingga membutuhkan perawatan
medis.Luka fisik tersebut bisa berdampak permanen bahkan
kematian.10
7. Siswa yang mendapat hukuman memperoleh konsekuensi psikologis
dan emosional dimana siswa menjadi bingung dan tidak dapat
memahami situasi dimana dia berada. Misalnya, orang tua
mengatakan menyayangi mereka tetapi anak mengalami rasa sakit,
malu sehingga mereka tidak tahu apakah yang salah perasaan
mereka atau bukan.
8. Anak yang mendapat hukuman atas perilaku mereka menjadi tidak
percaya diri atas tindakan yang mereka ambil, sehingga ketika
mengambil sebuah tindakan mereka sudah siap untuk mendapat
hukuman.
9. Akibat dari seringnya mendapat hukuman kemampuan anak untuk
mengontrol diri, bertanggungjawab bahkan kekritisan akan suatu
bentuk tindakan tidak berkembang
10. Hukuman ini akan menimbulkan dendam dalam diri anak, sehingga
berlanjut ke generasi berikutnya jika tidak segera dicegah dan
ditanggulangi. Hal ini adalah konsekuensi logis dan juga terlihat dari
hasil penelitian karena hukuman fisik mempunyai dampak
permusahan, dendam dan menghasilkan dampak balik yang lebih
besar.11
10
Op. Cit. Plan in Vietnam Hal 45
11
UNESCO. Op. Cit., dan lihat juga: Albert, L. A Teacher’s Guide to Cooperative Discipline,
(American Guidance Service, 1989) in Charles C.M. and Senter G.W. Building Classroom
IGGRD2016 Hal 20
11. J.J. Bigner et al (1994) menemukan bahwa menggunakan
pendekatan pendidikan yang bersifat otokrasi dan hukuman
berkorelasi negatif terhadap tingkat kreatifitas anak. 12
Discipline. http://faculty.washington.edu/cadavis1/503%20Readings/AlbertChapter.pdf
[accessed online 10 June 2016. Pukul 15.00]
12
Bigner J. J. 1994. Parent-child relations – An Introduction to parenting. Pearson
IGGRD2016 Hal 21
Hukuman fisik ini diperkuat oleh mitos-mitos yang diyakini benar.
Berbagai mitos tersebut misalnya sebagai berikut:13
Mitos: “Saya dulu mengalaminya dan tidak ada yang membahayakan saya.”
Fakta: “Argumen ini bisa saja hanya sekedar pembelaan akan tindakan
yang telah dilakukan, karena mereka mungkin saja pernah merasa
takut dan marah ketika hal ini terjadi pada mereka. Lagi pula cara
yang digunakan pada mereka tidak berarti sesuai pada anak jaman
sekarang. Pendapat ini akan menjadi legitimasi terjadinya
kekerasan secara turun-menurun.”
Mitos: “ Untuk kelas yang besar, siswa yang banyak, hukuman diperlukan
agar kelas bisa kondusif”.
Fakta: “Alasan ini menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmauan
guru mencari cara lain dalam berhubungan dengan anak dan
manajemen kelas. Kegagalan guru dalam mengembangkan
tanggung jawab anak terhadap perilakunya tercermin dari
argumen ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan
yang berpusat pada siswa dapat membuat kelas lebih kondusif
karena siswa aktif dalam proses belajar.”
Mitos: “Hukuman fisik cara yang paling baik. Metode yang lain tidak bisa
melakukan sebaik itu.”
13
UNESCO. Op. Cit. Hal 21-23, lihat juga : http://www.nospank.net/pta.htm dan
http://birthwithoutfearblog.com/2011/12/17/myths-and-facts-spanking/
IGGRD2016 Hal 22
Fakta: “Hukuman fisik tidak sama dengan disiplin. Pandangan ini lahir dari
pemahaman yang dangkal akan disiplin dan juga hukuman fisik itu
sendiri. Dari hasil penelitian sendiri telah menunjukkan bahwa
hukuman fisik berdampak negatif pada perkembangan anak.”
Mitos: “Hukuman adalah bentuk kasih sayang. Anak yang kukasihi kuhajar
dan ku didik.”
Fakta: “Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman berdampak
negatif bagi perkembangan anak, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Apakah hal ini masih bentuk kasih
sayang?”
IGGRD2016 Hal 23
Mitos: “Anak perlu mengenal hukuman karena dalam kehidupan sehari-hari
banyak aturan yang harus ditaati.”
Fakta: “Hampir semua sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan
hukuman, namun nyatanya warga Indonesia masih belum taat
pada aturan. Sebaliknya Selandia Baru yang tidak lagi
menggunakan pendekatan hukuman di sekolah menjadi negara
yang paling taat pada aturan.”
Mitos: “Hukuman fisik adalah salah satu budaya kita. Orang Indonesia timur
keras, maka untuk mendidik juga harus keras”
Fakta:” Padahal, meski memang tidak bisa ditampik bahwa budaya ini
ada, di Asia budaya yang menekankan adanya harmoni dan
pengaturan diri juga kuat. Dibanding hukuman fisik, cara
tradisional dapat digunakan sebagai bentuk disiplin yang tidak
melibatkan kekerasan.”
IGGRD2016 Hal 24
KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP GURU YANG
MENGGUNAKAN HUKUMAN
IGGRD2016 Hal 25
beranggapan bahwa guru tidak boleh/bisa dipidanakan jika memberikan
hukuman pada anak. Namun, apapun alasannya kekerasan (meskipun
dalam bentuk hukuman) adalah tindakan pelanggaran hukum yang bisa
dipidana dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada
beberapa UU dan Konvensi yang mengatur mengenai perlindungan anak
terhadap tindakan kekerasan. Misalnya, UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak memuat sanksi pidana bagi para pelaku kekerasan
terhadap anak. Ketentuan pidana ini termuat dalam Bab XII dari pasal 77
hingga pasal 90. Berikut ini adalah pasal-pasal yang bisa digunakan untuk
mendakwa para pelaku kekerasan di sekolah:14
14
Disadur dari P2TP2A. 2007. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Di Lingkungan
Pendidikan. Jakarta: P2TP2A
IGGRD2016 Hal 26
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 86 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu
muslihat, rangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan
atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai
dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
IGGRD2016 Hal 27
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
15
Ibid, Hal 27
IGGRD2016 Hal 28
UU No. 13 Tahun 2003 ttg Ketenagakerjaan
UU No. 20 Tahun 2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 23 Tahun 2004 ttg Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
UU No. 12 Tahun 2006 ttg Kewarganegaraan
UU No. 7 Tahun 2007 ttg Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 44 Tahun 2008 ttg Anti Pornografi
UU No. 21 Tahun 2007 ttg Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
UU No. 11 Tahun 2009 ttg Kesejahteraan Sosial
UU No. 36 Tahun 2009 ttg Kesehatan
UU No.13 Tahun 2011 ttg Penanganan Fakir Miskin
UU No. 11 Tahun 2012 ttg Sistem Peradilan Pidana Anak
UU No. 24 Tahun 2013 ttg Perubahan Atas Undang-Undang
No.23/2003 tentang Adminduk.
UU No. 35 tahun 2014 ttg Perubahan Atas Undang-Undang
No.23/2002 tentang Perindungan Anak
Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Perpres 2/2015 tentang RPJMN 2014-2019
Inpres No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan nasional Anti Kejahatan
Seksual terhadap Anak
Inpres 1/2010 ttg Akselerasi Implementasi Prioritas Pembangunan
Nasional
IGGRD2016 Hal 29
Inpres No 3/2010 ttg Pembangunan yg Berkeadilan
Nota Kesepahaman Mendagri, Menlu, Menkumham, Menkes,
Mendiknas, Mensos, Menag, dan MenPPPA Tahun 2011 tentang
Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka Perlindungan
Anak
Peraturan Menteri Sosial RI No.30/HUK/2011 tentang Standar
Pengasuhan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak No. 8 Tahun 2014 tentang Sekolah Ramah Anak
Peraturan Menetri Kesehatan NO. 68 tahun 2013 tentang Kewajiban
Pemberi Layanan Kesehatan untuk Memberikan Informasi Apabila
Ada Dugaan Kasus Kekerasan terhadap Anak
Permensos No. 21/2014 tentang Pengasuhan Anak
PermenPPPA No. 07/2011 ttg Kebijakan Peningkatan Ketahanan
Keluarga Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus
Permenko PMK No. 2/2016 ttg Strategi Nasional Penghapusan
Kekerasan terhadap Anak
Permendikbud 82/2015 ttg Penghapusan Kekerasan terhadap Anak
di Lingkungan Satuan Pendidikan
16
UNICEF. Materi Pelatihan Awal Disiplin Positif Pada Mentor yang dilatihkan pada
tanggal 25-27 Juli 2016.
IGGRD2016 Hal 30
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih tetap berlaku sepanjang
tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ini.
Menguraikan lebih jelas kondisi untuk Perlindungan khusus bagi anak
Pemberian restitusi bagi anak korban kejahatan tertentu melalui
putusan pengadilan
Hak anak untuk mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari
kejahatan seksual dan kekerasan
Pemberatan sanksi pidana dan denda untuk kejahatan terhadap anak
Memperkuat peran dan tanggungjawab wali dalam hal pengasuhan
anak
Memperkuat koordinasi antar pemerintah, pemerintah daerah dan
lembaga terkait
Mengefektifkan peran Pemerintah Daerah, masyarakat, dunia usaha,
dan media massa
Mengatur perlunya ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pengasuhan Anak dan pelaksanaaan pengangkatan Anak dengan
Peraturan Pemerintah.
IGGRD2016 Hal 31
MEMAHAMI DISIPLIN POSITIF
17
Katharine C. Don’t Jime It Out On Your Kids: A Parent’s and Teacher’s Guide to Positive
Discipline. http://www.cei.net/~rcox/dontake.html [10/10/2005. Pukul 12.00] dan
UNESCO. Op. Cit. Hal 20
IGGRD2016 Hal 32
2. Apa itu Disiplin Positif?
18
Power. C and Hart S.N. The way forward to constructive child discipline. In Hart, Stuart
N (ed). 2005. Eliminating Corporal Punishment: The Way Forward to Constructive Child
Discipline, Paris: Unesco Publishing.
IGGRD2016 Hal 33
pendekatan positif seperti negosiasi dan sistem reward (penghargaan),
baik bagi anak perempuan maupun anak laki-laki dapat menghasilkan
umpan balik yang lebih baik dibandingkan dengan penerapan hukuman
melalui kekerasan verbal; fisik atau emosional.19
19
Save the Children. 2004. How To Research the Physical and Emotional Punishment of
Children. Bangkok: Southeast, East Asia and Pacific Region.
20
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education.
2012. Positive Discipline and Classroom Management-Trainer’s Manual. Afrika Selatan.
Hal 15
21
www.positivediscipline.com. [accesed online 10 June 2016. Pukul 11.00 WIB].
IGGRD2016 Hal 34
siswa. Berbeda dengan punishment yang didasarkan pada pengkotrolan
perilaku dan sikap anak, positive discipline, menurut Jane Nelsen,
dibangun atas konsep: mutual respect, mengidentifikasi belief dibalik
perilaku, komunikasi efektif dan ketrampilan problem solving, discipline
that teaches (and is neither permissive nor punitive), focusing on solutions
instead of punishment, encouragement (instead of praise).22
https://www.positivediscipline.com/about-positive-discipline
22
[accessed online
on10/06/2016. Pukul 14.00 WIB]
IGGRD2016 Hal 35
Memberikan alternatif lain pada Hanya melarang anak
anak
Mengakui dan menghargai upaya Menanggapi perilaku negatif
anak dan anak dengan cara yang kasar
tingkah laku mereka yang baik
Anak menaati peraturan apabila Anak menaati peraturan karena
mereka mereka
diajak berdiskusi dan menyetujui diancam atau diomeli
peraturan tersebut
Konsisten, bimbingan yang tegas Mengendalikan, memalukan,
dan melecehkan
Positif dan menghargai anak Negatif dan tidak menghargai
anak
Tidak mengandung kekerasan baik Mengandung kekerasan fisik
secara maupun
fisik maupun verbal verbal serta agresif
Konsekuensi logis yang Konsekuensi yang tidak logis
bersinggungan dan tidak
secara langsung dengan bersinggungan dengan
pelanggaran yang pelanggaran yang dilakukan
dilakukan oleh anak oleh anak
Anak harus berubah ketika perilaku Anak harus dihukum karena
mereka memberi dampak negatif memberi
pada orang lain dampak negatif pada orang lain
dan tidak menunjukkan
bagaimana mereka dapat
berubah
Memahami kemampuan, Tidak menghiraukan
kebutuhan, kondisi dan tingkat kemampuan, kebutuhan,
perkembangan individual anak kondisi dan tingkat
perkembangan individual anak
Mengajarkan anak untuk Mengajarkan anak untuk
menamkan berbuat baik
kedisiplinan pada diri mereka hanya ketika mereka takut akan
dimarahi atau disetrap
IGGRD2016 Hal 36
Mendengarkan dan memberikan Secara terus menerus memarahi
contoh anak bahkan hanya untuk
pelanggaran kecil
sekalipun sehingga
mengakibatkan anak
tidak menghiraukan kita
(mengabaikan
kita atau tidak mendengarkan
kita)
Memanfaatkan kesalahan sebagai Memaksa anak untuk mematuhi
peluang peraturan yang tidak logis hanya
untuk pembelajaran karena “Anda mengatakan
demikian”
Langsung menuju pada Permasalahan terletak pada
permasalahannya yaitu perilaku anak bukan
anak bukan anaknya, dengan pada perilaku anak, dengan
mengatakan “Apa yang kamu mengatakan
lakukan adalah salah” “Kamu bodoh, kamu salah”
23 Lihat: Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Trainer’s Manual.
Afrika Selatan.
IGGRD2016 Hal 37
yang lain. Misalnya, perilaku seorang anak sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial. Oleh karena itu pendekatan disiplin positif harus
didasarkan pada pemahaman akan keterhubungan semua aspek:
perkembangan anak, pembelajaran, pencapaian akademik,
kesehatan, ekonomi, keadaan keluarga dan komunitas (masyarakat).
Didasarkan pada kekuatan anak: penerapan disiplin positif
didasarkan pada kesadaran bahwa setiap anak memilik kekuatan,
kemampuan dan talenta, dan setiap tindakan pendidikan (termasuk
disiplin) bertujuan mendorong dan membangun kemampuan, usaha
dan perkembangan mereka. Kesalahan tidak dilihat sebagai
kegagalan melainkan kesempatan untuk belajar dan
mengembangkan diri.
Konstruktif: Disiplin positif menekankan pada peran pendidikan
dalam menumbuhkan penghargaan diri anak dan kepercayaan diri,
mengembangkan kemerdekaan dan kemandirian, dan
mengembangkan self-efficacy. Dari pada menghukum anak karena
kesalahan akademis dan misbehave anak, pendidik lebih baik
menjelaskan, mendemostrasikan dan meneladankan konsep dan
perilaku yang dapat dipelajari anak. Pendidik lebih baik mencoba
memahami dan menuntun anak secara positif daripada mencoba
mengontrol perilaku anak.
Inklusif: Disiplin positif menghargai perbedaan setiap individual anak
dan kesamaan hak. Semua anak dilibatkan dalam setiap proses
pendidikan. Dalam disiplin positif, menekankan pada pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan, kekuatan, kemampuan sosial dan
IGGRD2016 Hal 38
gaya belajar anak yang terintegrasi dalam proses belajar di kelas dan
lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Pendidik juga harus
mengidentifikasi dan memahami tantangan/hambatan belajar dan
mencari cara yang efektif untuk menuntun proses belajar anak.
Proaktif: Disiplin positif fokus dalam membantu anak berhasil pada
masa yang akan datang tidak sekedar simultan. Pendidik harus
merespon permasalahan dengan fokus pada pemahaman akan akar
masalah kesulitan belajar dan masalah perilaku anak dibanding
memberikan respon reaktif. Oleh karena itu disiplin positif fokus pada
apa yang dapat dipelajari anak di masa yang akan datang, tidak
sekedar menghentikan perilaku yang sedang terjadi.
Partisipatori: Disiplin positif melibatkan anak dalam mengambil
keputusan dan memahami tindakan mereka. Dengan prinsip ini anak
akan belajar karena mereka dilibatkan dalam proses belajar mereka
sendiri. Dibanding mengontrol dan menekan, pendidik
mendengarkan pendapat dan perspektif anak dan melibatkan
mereka menciptakan lingkungan belajar, kelas, keluarga, sekolah dan
masyarakat yang mendukung proses belajar.
24 Clark. F.P. and Hart, Stuart N. The Way Forward to Constructive Child Discipline,”
dalam Hart, Stuart N (ed.). 2005. Eliminating Corporal Punishment: The Way Forward to
Constructive Child Discipline. Paris: UNESCO.
IGGRD2016 Hal 39
3. Maksimalkan partisipasi anak secara aktif
4. Hormati kebutuhan perkembangan dan kualitas kehidupan anak
5. Hormati motivasi dan pandangan hidup anak
6. Terapkan kejujuran, kesetaraan, non-diskriminasi, dan keadilan
7. Utamakan solidaritas
IGGRD2016 Hal 40
4. Mendorong perilaku yang baik: Hal ini dapat dilakukan melalui,
kontak mata, anggukan, senyuman, dan 5 menit tambahan di akhir
pelajaran untuk mengadakan permainan, pemberian nilai tambahan,
dan mengumumkan keberhasilan anak di depan kelas (pengakuan
sosial merupakan penghargaan yang paling berarti). Sebaiknya
penghargaan diberikan sesegera mungkin, bersifat sederhana,
namun memuaskan.
IGGRD2016 Hal 41
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Mengenali dan
Memahami Misbehave
26 Diadaptasi dari: Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Course Reader. Afrika
Selatan; dan juga: UNESCO. 2006. Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk
Mengembangkan Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran Buku khusus 1:
Disiplin Positif dalam Kelas Inklusif Ramah Pembelajaran:Panduan bagi Pendidik.
Thailand: UNESCO
IGGRD2016 Hal 42
terlalu sulit atau terlalu mudah bagi mereka. Metode pembelajaran
yang tidak sesuai dengan gaya belajar mereka atau ekspektasi guru
yang tidak jelas dan tidak logis dapat membuat mereka bosan
sehingga mereka melakukan tindakan yang tidak pantas.
- Apakah karena motivasi emosional anak? Anak sering bertindak di
luar batas untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mencari
perhatian, perasaan yang meluap-luap dan tidak terkontrol, atau
reaksi atas kenyataan yang dihadapi atau merasa disakiti atau
terluka. Anak juga dapat bertindak tidak pantas sebagai cara untuk
menghindari ketakutan akan kegagaln atau menutupi perasaan
mereka yang tidak menentu.
- Apakah perilaku atau tindakan tersebut refleksi dari masalah di
sekolah? Siswa sebagai korban atau pelaku bullying atau trauma
akibat kondisi sekolah akan mengalami ketakutan, cemas, gelisah,
dan menarik diri. Siswa yang mengalami hal ini mungkin akan
melakukan tindakan bullying pada temannya sebagai konsekuensi
emosi mereka atau cara agar mereka merasa lebih baik.27
- Apakah perilaku atau tindakan mereka sebagai akibat dari masalah
personal atau masalah di dalam rumah? Siswa yang mempunyai
masalah di rumah akan mempengaruhi tindakan dan perilakunya di
sekolah. Siswa banyak menghadapi tantangan emosional di rumah
dan pengaruhnya akan terbawa ke sekolah. Misalnya, siswa yang
mengalami kekerasan di rumah, orang tua tidak akur, anggota
27 Lihat .....? 2015. School Safety Framework Early Warning System module on Preventing
and Addressing Bullying: CJCP, UNICEF dan Departemnt Basic Education of South Africa
IGGRD2016 Hal 43
keluarga sakit, serta masalah ekonomi-sosial keluarga bahkan
mungkin saja anak dijadikan pekerja di bawah umur. Masalah-
masalah ini mempengaruhi tindakan anak di sekolah. Misalnya, siswa
yang mendapat perlakuan fisik atau bullying di rumah akan
melakukan hal yang sama kepada temannya. Oleh karena itu guru
perlu mengetahui bagaimana keadaan anak di rumah dalam
hubungannya dengan perilakunya di sekolah.
- Apakah perilaku merupakan refleksi dari persoalan sosial-ekonomi?
Faktor sosial ekonomi sangat mempengaruhi perilaku anak. Misalnya
anak yang lapar akan mengalami kesulitan untuk konsentrasi dan
cenderung performanya rendah dibanding anak yang cukup makan.
Selain itu, siswa yang punya tanggungjawab besar dalam pekerjaan
rumah, akan mengalami kelelahan dan sulit untuk konsetrasi di
sekolah. Siswa miskin juga punya tantangan untuk mendapatkan
bahan pelajaran seperti buku, perlengkapan sekolah bahkan
transfortasi ke sekolah.
- Apakah itu diakibatkan persoalan medis atau biologis? Perasaan tidak
nyaman atau depresi, sebagai contoh, dapat mempengaruhi
bagaimana anak bertindak. Sesuatu yang normal jika kadang siswa
lupa tugas/PR mereka, melamun selama di kelas, bertindak tanpa
berpikir panjang, atau gelisah. Namun permasalahan yang muncul
juga dapat berhubungan dengan attention deficit disorder (ADD)
atau deficit hyperactivity disorder (ADHD). Anak mungkin mengalami
hambatan membaca dan mengeja (seperti siswa yang menyandang
dyslexia) akan berdampak pada proses belajar anak.
IGGRD2016 Hal 44
Guru penting berbicara dengan siswa untuk memahami latar
belakang dan persoalan serta tantangan yang mereka hadapi. Hal ini
penting untuk mengetahui apa dibalik tindakan dibanding fokus pada
orang yang melakukan kesalahannya. Pemahaman konteks dan kondisi
yang mempengaruhi perilaku anak tidak hanya mendapatkan solusi tetapi
juga dapat mencegah hukuman yang tidak adil, yang diakibatkan oleh
kemarahan dan tindakan yang mengacaukan.
Selain alasan atau faktor-faktor di atas, ada tujuan tertentu dalam
misbehave anak. Menurut Dreikurs, R. Dan Soltz28, ada empat tujuan anak
berperilaku tidak tepat (misbehave), yaitu mencari perhatian (attention
seeking), menunjukkan kekuasaan (showing power), untuk balas dendam
(revenge) dan menghindari kegagalan atau ketidakmampuan (feeling
adequate).
Mencari perhatian: semua anak membutuhkan perhatian, hal ini
berhubungan dengan self-esteem. Anak yang tidak mendapat
perhatian yang mereka butuh, dari guru, orang tua bahkan dari
temannya akan melakukan sesuatu yang berbeda, bahkan yang
mengganggu untuk mendapat perhatian. Misalnya, anak berjalan di
kelas atau mencoba mengitrupsi ketika guru berbicara atau
mengganggu temannya yang sedang belajar.
Menunjukkan kekuasaan: Ketika anak menyadari bahwa mereka
dapat mempengaruhi lingkungan mereka, pada saat ini anak
mencoba menguji kekuatan atau kekuasaan mereka. Anak mencoba
menguji apakah mereka bisa melampaui atau melanggar batas yang
28 Dreikurs, R. And Soltz. 1964. Children: The Challenge. New York: Dutton.
IGGRD2016 Hal 45
telah ditetapkan oleh orang dewasa. Misalnya ketika orang tua atau
guru mengatakan bahwa anak tidak boleh berjalan di dalam kelas,
anak mencoba menguji bagaimana jika mereka melanggar larangan
ini.
Untuk balas dendam: Anak yang menganggu atau memukul,
menyerang temannya atau orang dewasa mungkin karena
mengalami ketidakadilan atau perlakuan yang menyakitkan fisik dan
emosi mereka. Anak yang ingin membalas dendam akan menyerang
atau menarik diri (tidak mau berkerja sama) dari temannya.
Menghindari kegagalan atau ketidakmampuan: Anak yang tidak bisa
mencapai harapan guru atau orang tua cenderung akan mengangap
mereka tidak memiliki kemampuan. Hal ini sering terjadi jika anak
mereka tugas-tugas belajar yang dihadapi di luar kemampuannya.
Perasaan tidak mampu ini akan diperlihatkan anak dengan menarik
diri dari proses pembelajaran atau aktivitas yang dilakukan bersama.
IGGRD2016 Hal 46
Menunjukka Bertindak agresif, Marah, Mencoba tetap
n kekuasaan berkelahi, terprovoka tenang.
menantang, si sehingga Mencoba
menggoda, tidak cenderung memahami
kooperatif, menghuku perasaan anak
menampilkan agresi, m dan dan
berkelahi, menyerang menunjukkan
menantang, balik bahwa guru
keras kepala, resisten mengerti
perasaan
mereka
Membantu
anak untuk
menyadari
bahwa
kekuasaan dan
kekuatan
mereka dapat
digunakan
untuk hal baik
Untuk balas Merugikan atau Cenderung Coba bersabar.
dendam menyakiti membalas Tetap bersikap
seseorang/teman, kembali ramah sambil
berlaku kasar, tidak menunggu anak
sopan, kekerasan,
menjadi tenang.
menghancurkan
sesuatu
Mendorong
Benci dengan kerjasama
seseorang, menghina membangun
seseorang. kepercayaan
dengan anak-
anak.
Bekerja sama
dengan anak
untuk
IGGRD2016 Hal 47
memecahkan
masalah .
Mendorong
anak, tunjukkan
padanya bahwa
mereka dicintai
dan dihormati.
Mengatur
jadwal untuk
bertemu secara
intens dengan
anak.
Menghindari Mudah menyerah akan Cenderung Tidak
kegagalan tugas yang diberikan, setuju pada menunjukkan
atau tidak mau siswa tanpa penghinaan atau
ketidakmam mencoba/berusaha, memberika kritik.
tidak mau Memberikan
puan n solusi.
berpartisipasi, bolos bantuan
Menjatuhk
dari sekolah, Membagi tugas
menghabiskan waktu an menjadi
bermain game atau semangat beberapa yang
mencoba merokok siswa lebih sederhana,
atau minum minuman membantu anak
keras. untuk mulai
dengan tugas
yang mudah bagi
keberhasilan
awal.
Mendorong
anak; fokus pada
kekuatan nya dan
nilai internal.
Tidak
menunjukkan
belas kasihan
atau kasih sayang
yang berlebihan;
jangan
menyerah.
IGGRD2016 Hal 48
Menghabiskan
waktu yang
teratur dengan
anak untuk
membantu dia.
29
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic Education. Op.
Cit.
IGGRD2016 Hal 49
aturan atau kode - Vandalisme melanggar lagi akan
etik sekolah yang - Mencuri diskors
serius - Rasis - Bimbingan khusus
dengan konselor
Ditangaini oleh: sekolah
Kepala Sekolah
Level 4: Misbehave - Menggunakan - Bimbingan intens
yang sangat serius Alkohol dengan guru dan
- Terlibat dalam konselor sekolah (BP),
Ditangani oleh: tindakan seksual untuk sementara tidak
Kepala Sekolah, di sekolah melibatkan dalam
Yayasan atau proses belajar dengan
Komite Sekolah teman yang lain
IGGRD2016 Hal 50
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Bullying 30
Jenis Bullying:
Tidak semua bullying/intimidasi meninggalkan tanda yang dapat melihat.
Perilaku Bullying meliputi:
o Perkelaian, mendorong atau menendang
o Nama panggilan/labeling dan menggoda
o Mengisolasi anak-anak lain secara sosial: Tidak membiarkan mereka
duduk di suatu tempat saat makan siang, misalnya, atau
menyebarkan rumor tentang mereka
o Melecehkan orang lain di jaringan sosial, melalui teks atau email, atau
instant messaging, disebut "cyberbullying"
Anak-anak yang di-bully rentan terhadap:
• Depresi dan kecemasan
• Peningkatan perasaan sedih dan kesepian
• Perubahan tidur dan pola makan
• Kehilangan minat dalam kegiatan yang disenangi
30
Materi disadur dari UNICEF. Op. Cit.
IGGRD2016 Hal 51
• Tingkat percaya diri yang rendah
• Perilaku berisiko, seperti obat-obatan dan alkohol
• Pikiran untuk bunuh diri
IGGRD2016 Hal 52
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Penerapan Logical
Consequences
IGGRD2016 Hal 53
setiap konsekuensi yang mereka hadapi, bukan malah
mempersalahkannya.
IGGRD2016 Hal 54
siswa mengapa mereka melakukan hal itu, apa yang terjadi jika mereka
melakukannya, siapa yang dirugikan, dll) maka anak kemungkinan besar
tidak dapat belajar dari konsekuensi yang diterimanya karena dia tidak
terlibat dalam mengkonstruksi konsekuensi tersebut. Anak akan
mengganggap hal ini adalah bentuk otoritas guru atau orang tua. Jika
keempat prinsip ini tidak ada maka tindakan yang diambil adalah suatu
bentuk hukuman yang ditandai dengan tiga R, yaitu Rasentment, Ravenge
dan Retreat.
Keberhasilan suatu konsekuensi tergantung pada konsistensi
guru/orang tua dalam menerapkan hal ini. Berikut beberapa tips dalam
menerapkan konsekuensi logis:
1. Konseskuensi harus didesain untuk mengajarkan anak bahwa
tindakan/perilaku mereka tidak tepat/salah dan pilihan yang
mereka buat bukan pilihan yang baik/bijak. Konsekuensi tidak
boleh membuat anak merasa bahwa mereka adalah anak yang
jahat.
2. Indentifikasi bahwa konsekuensi yang diambil bukanlah suatu
bentuk kekerasan atau serangan pada anak. Konsekuensi
seharusnya dikonstruksi oleh anak dengan bantuan guru/orang
tua. Guru dan orang tua juga harus mendampingi anak selama
menjalani konsekuensi, dengan mengembangkan suatu skill
tertentu (misalnya membantu bagaimana memperbaiki sesuatu
yang sudah dirusak).
3. Jangan mencoba menunjukkan kekuasaan pada anak
4. Ketika menerapkkan konsekuensi, jelaskan dengan tepat apa yang
telah anak lakukan. Penekanan pada tindakan/perilaku yang tidak
IGGRD2016 Hal 55
dapat diterima bukan pada pribadi anak. Misalnya,” memukul
orang lain tidak baik karena akan menyakininya” daripada
mengatakan “kamu telah membully dia.”
5. Konsekuensi harus dilakukan secara adil, wajar, jujur dan dengan
tenang. Guru atau orang tua harus konsisten dalam menerapkan
aturan. Sering sekali orang tua bertindak berbeda ketika mood
mereka tidak baik dibanding ketika mereka memiliki mood yang
baik. Bahkan kadang-kadang guru/orang tua melakukan suatu
tindakan bergantung pada apa yang mereka rasakan dan alami
pada hari itu. Hal ini membuat siswa/anak merasa orang tua tidak
adil. Anak akan lebih fokus pada mood nya orang tua dari pada
konsekuensi sebagai prinsip dalam melihat tindakan mereka.
6. Konsisten dengan aturan tidak berarti menerapkannya dengan
seragam pada setiap waktu dan kondisi. Penerapan aturan akan
efektif jika mempertimbangkan konteks dan keadaan setiap anak.
Misalnya, anak yang tidak memakai seragam, tidak bisa diterapkan
konsekuensi yang sama. Karena mungkin saja seseorang anak
tidak memakai seragam karena orang tuanya tidak dapat
membelikan seragam untuknya. Anak yang lain mungkin karena
hanya punya satu seragam dan kotor ketika berangkat atau
pulang sekolah. Untuk itu, sebagaimana yang telah dibahas dalam
materi “Mengenali dan Memahami Misbehave Anak” guru harus
mengidentifikasi terlebih dahulu alasan atau faktor yang
membuat anak perilaku atau bertindak seperti itu sebelum
mengambil tindakan.
IGGRD2016 Hal 56
7. Jangan mengambil tindakan atau “memberi” konsekuensi tanpa
melibatkan dan berdiskusi dengan siswa. Anak akan belajar
melalui diskusi dan keterlibatan mereka, dalam hal inilah mereka
belajar mengenai tindakan mereka. Konsekuensi yang hanya
diambil oleh guru hanya akan membuat anak “penurut” tetapi
anak tidak belajar dan kemampuan mereka tidak berkembang.
Dalam menerapkan suatu konsekuensi guru harus berdialog
dengan siswa, bahkan jika dibutuhkan mengubah peraturan
itupun harus berdasarkan dialog dengan siswa.
31
Plan in Vietnam. Op. Cit.
IGGRD2016 Hal 57
sekarang kamu tidak boleh lagiijin dulu sebelum
menyentuh motorku. menggunakannya
Fokus pada perilaku yang dahulu
Fokus hanya pada tindakan
Contoh: Kamu tidak boleh lagi sekarang dan akan datang
pergi bermain. Kemarin kamu Contoh: Kamu dapat bermain,
tidak mencuci piring karena asyik
tetapi kamu harus menyelesaikan
bermain tugasmu terlebih dahulu
Mengancam, tidak sopan atau Mendiskusikan tindakan dengan
merendahkan anak cara bersahabat, setelah guru dan
Contoh: Kamu membuat ibu anak tenang. Mengimplikasikan
marah, hati-hatilah nilai kamu di
niat baik
rapot! Contoh:
Menuntut kepatuhan Memberikan pilihan
Contoh: Kerjakan tugasmu
Contoh: Kamu dapat melakukan
sekarang, jika tidak nilaimu akan
aktivitas yang kamu sukai tetapi
rendah tugas-tugasmu harus selesai tepat
waktu
Menggunakan skspresi dan nada Ekspresi dan nada yang tenang
marah
Tidak bersahabat, menunjukkan Bersahabat tetapi tetap menjaga
rasa benci sikap
Tidak mau menerima pendapat Dapat menerima keputusan anak,
anak namun dengan batasan
IGGRD2016 Hal 58
2. Indentifikasi bahwa konsekuensi yang diambil bukanlah suatu bentuk
kekerasan atau serangan pada anak. Konsekuensi seharusnya
dikonstruksi oleh anak dengan bantuan guru/orang tua. Guru dan
orang tua juga harus mendampingi anak selama menjalani
konsekuensi, dengan mengembangkan suatu skill tertentu (misalnya
membantu bagaimana memperbaiki sesuatu yang sudah dirusak).
3. Jangan mencoba menunjukkan kekuasaan pada anak
4. Ketika menerapkkan konsekuensi, jelaskan dengan tepat apa yang
telah anak lakukan. Penekanan pada tindakan/perilaku yang tidak
dapat diterima bukan pada pribadi anak. Misalnya,” memukul orang
lain tidak baik karena akan menyakininya” daripada mengatakan
“kamu telah membully dia.”
5. Konsekuensi harus dilakukan secara adil, wajar, jujur dan dengan
tenang. Guru atau orang tua harus konsisten dalam menerapkan
aturan. Sering sekali orang tua bertindak berbeda ketika mood
mereka tidak baik dibanding ketika mereka memiliki mood yang baik.
Bahkan kadang-kadang guru/orang tua melakukan suatu tindakan
bergantung pada apa yang mereka rasakan dan alami pada hari itu.
Hal ini membuat anak/anak merasa orang tua tidak adil. Anak akan
lebih fokus pada mood nya orang tua dari pada konsekuensi sebagai
prinsip dalam melihat tindakan mereka.
6. Konsisten dengan aturan tidak berarti menerapkannya dengan
seragam pada setiap waktu dan kondisi. Penerapan aturan akan
efektif jika mempertimbangkan konteks dan keadaan setiap anak.
Misalnya, anak yang tidak memakai seragam, tidak bisa diterapkan
konsekuensi yang sama. Karena mungkin saja seseorang anak tidak
IGGRD2016 Hal 59
memakai seragam karena orang tuanya tidak dapat membelikan
seragam untuknya. Anak yang lain mungkin karena hanya punya satu
seragam dan kotor ketika berangkat atau pulang sekolah. Untuk itu,
sebagaimana yang telah dibahas dalam materi “Mengenali dan
Memahami Misbehave Anak” guru harus mengidentifikasi terlebih
dahulu alasan atau faktor yang membuat anak perilaku atau
bertindak seperti itu sebelum mengambil tindakan.
7. Jangan mengambil tindakan atau “memberi” konsekuensi tanpa
melibatkan dan berdiskusi dengan anak. Anak akan belajar melalui
diskusi dan keterlibatan mereka, dalam hal inilah mereka belajar
mengenai tindakan mereka. Konsekuensi yang hanya diambil oleh
guru hanya akan membuat anak “penurut” tetapi anak tidak belajar
dan kemampuan mereka tidak berkembang. Dalam menerapkan
suatu konsekuensi guru harus berdialog dengan anak, bahkan jika
dibutuhkan mengubah peraturan itupun harus berdasarkan dialog
dengan anak.
Sumber gambar:
Selain tips di atas, berikut step-stephttp://www.learning-knowledge.com/punishment.html
yang dapat dijadikan pertimbangan
dalam menerapkan konsekuensi logis:
IGGRD2016 Hal 60
Step 1
Jika anak berperilaku tidak tepat, misalnya anak terlambat maka guru harus
berdialog dengan siswa untuk mengetahui alasan dan tujuan mereka
berperilaku seperti itu. "Misalnya, mengapa kamu mengambil mainan
temanmu?"
Step 2
Tanyakan pada mereka mengenai dampak tindakan mereka (jangan
menghakimi/menjustifikasi kepribadi an mereka)
Contoh: "Bagaimana jika mainan kamu diambil temanmu?"
Step 3
Jika mereka tidak bisa menyebutkan atau tidak mengetahui dampak tindakan
mereka maka guru harus mengatakan pada siswa mengenai dampak tindakan
mereka (perasaan orang yang gangu, dll)
Contoh: "Yahokima merasa sedih karena dia tidak bisa lagi bermain"
Step 4
Jika anak sudah tahu dan menyadari dampak negatif dari tindakan mereka
maka diskusikan mengenai konsekuensi yang harus mereka terima/lakukan
Contoh: "Sekarang Yahokima sedih karena bonekanya kamu ambil, menurut
kamu apa yang harus dilakukan"
Step 5
Jika mereka tidak bisa menentukan konsekuensinya, berikan bantuan dengan
memberikan pilihan (Tetap tegas karena anak sering ingin melepaskan diri
dari tanggung jawab)
Contoh: "Kamu harus mengembalikan bonekanya dan minta maaf. Berikutnya
jika kamu ingin memainkan boneka orang lain seharusnya kamu minta ijin
dulu"
Step 6
Temani dan bimbing anak ketika menjalani konsekuensi
Step 7
Berikan penguatan positif (positive reinforcement)
IGGRD2016 Hal 61
Anak-anak ingin didengar, dicintai dan dipuji oleh guru atau orang tua
mereka. Oleh karena itu anak senang jika guru atau orang tua sering
memberikan senyuman, pujian berkat usaha
atau pencapaian mereka. Anak ingin mendapat
pengakuan dan apresiasi dari orang dewasa
(baik guru maupun orang tua) dan teman-
temannya. Dorongan, pengakuan dan pujian
akan mendorong anak untuk terus berusaha.
Perasaan positif yang dialami anak karena
dicintai dan dihargai oleh orang lain akan Sumber Gambar: Plan Vietnam, 2009
IGGRD2016 Hal 62
Berikut beberapa prinsip yang dapat dijadikan pedoman dalam
menguatkan perilaku positif anak:32
3. Tulus
32
Diadaptasi dari Plan Vietnam. Op. Cit
IGGRD2016 Hal 63
Dalam memberikan pujian dan dorongan, ketulusan orang tua atau
guru adalah faktor yang paling penting. Anak dapat menilai mana pujian
yang tulus atau sekedar basa-basi. Misalnya, ketika anak begitu senang
akan hasil menggambarnya, guru dan orang tua dengan senyum dan
mengatakan: “Wah, lihat warna yang kamu gunakan—merah, biru,
hijau—dan lekukan yang ini.” Deskripsi yang diberikan oleh guru akan
hasil kerja anak, menunjukkan bahwa guru tersebut mengakui pekerjaan
anak. Anak akan memiliki dorongan positif.
IGGRD2016 Hal 67
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Mengatasi Konflik
33
Johnson, D.W., Johnson, R.T., Dudley, B., and Burnett, R. 1992. Teaching students to
be peer mediators. Educational Leadership, 50(1), 10-13.
IGGRD2016 Hal 68
c. Program penyelesaian konflik dan mediasi teman sebaya sangat
efektif dalam mengajarkan siswa mengenai keterampilan dalam
bernegosiasi dan bermediasi;
d. Siswa yang telah dilatih dalam menyelesaikan konflik cenderung
menerapkan keterampilan bernegosiasi dengan konflik yang pada
akhirnya menghasilkan hal-hal yang konstruktif/positif;
e. Keterampilan siswa dalam mengatasi konflik secara mandiri akan
mengurangi potensi ternjadinya konflik antar siswa, yang
selanjutnya dapat meminimalisis hukuman terhadap siswa.
34
UNESCO . Op. Cit. Hal 85
IGGRD2016 Hal 69
besok dengan caraku, setelahnya kita lihat bersama cara mana
yang terbaik”), dan Mencapai kesepakatan bersama.
2. Ajarkan siswa untuk melakukan mediasi guna mencapai penyelesaian
masalah yang terjadi di antara teman-teman mereka. Mediasi adalah
sebuah prosesdengan melibatkan orang lain untuk membantu dalam
penyelesaian perselisihan. Dalam mengajarkan keterampilan
mediasi, Anda dapat memilih sebuah permasalahan yang mungkin
timbul atau pernah terjadi di kelas di antara dua siswa Anda.
Kemudian, adakan kegiatan bermain peran yang dilakukan oleh dua
orang siswa dan mintalah siswa ketiga untuk membantu kedua
temannya tersebut dalam mencapai sebuah penyelesaian atau
kesepakatan. Dalam upaya mediasi tersebut, siswa ketiga dapat
menggunakan apa yang dia ketahui mengenai teman-temannya
tersebut, permasalahan yang terjadi, dan pemikirannya untuk
mencapai kesepakatan antara kedua temannya yang berkonflik.
3. Setelah siswa mendapatkan pembelajaran mengenai keterampilan
negosiasi dan mediasi, maka ke dua siswa tersebut (jika
memungkinkan satu siswa perempuan dan satu siswa laki-laki) dapat
dijadikan mediator (petugas penjaga perdamaian) di kelas. Peran ini
dapat diberlakukan secara bergilir bagi semua siswa, dan para
mediator ini akan membantu menyelesaikan masalah untuk semua
konflik yang tidak bisa diselesaikan oleh kedua belah pihak yang
terlibat di dalamnya.
IGGRD2016 Hal 70
antara siswa. Dalam menghadapi konflik yang terjadi antar siswa, guru
harus bertindak sebagai mediator yang bersikap netral, tidak
berprasangka dan tidak menghakimi. Berikut cara mengatasi konflik yang
terjadi di antara siswa:
1. Ketika menyadari adanya konflik yang terjadi di antara siswa, hal
yang pertama yang harus guru lakukan adalah time out, yaitu
menenangkan diri dan mendorong siswa untuk menghindar dari
situasi sampai mereka merasa tenang.
2. Jika guru dan siswa sudah merasa tenang, mulailah berbicara.
Dalam memulai pembicaraan, hindari kata-kata yang
menyudutkan siswa atau membuat siswa merasa terserang
sehingga akan berusaha mempertahankan diri. Sebagai tips,
mulailah dengan kata “saya” dibanding kata “kamu”.
3. Persilahkan siswa mengungkapkan mengapa mereka berkonflik
atau bertengkar secara bergiliran. Guru tidak perlu dulu
memberikan justifikasi terhadap pendapat siswa.
4. Setelah semua siswa berbicara, mulailah memberikan penyadaran
akan letak kesalahan dari setiap siswa. Fokus pada perliaku dan
tindakan bukan pada pribadi siswa (Lihat prinsip pada Logical
Consequences dan Positive Reinforcement and Encouragement).
5. Ajak siswa untuk mendialogkan solusi yang harus diambil. Jika
siswa tidak bisa dan mau mengambil solusi, berikan alternatif
solusi yang tepat.
6. Setelah itu, ajak dan dorong siswa untuk saling memaafkan.
Namun, jika siswa belum bisa saling memafaatkan pada saat itu,
sebaiknya jangan memaksakan. Berikan pengertian pada siswa
IGGRD2016 Hal 71
yang sudah bisa memaafkan, bahwa temannya mungkin butuh
waktu, dan hal itu tidak masalah.
7. Jika guru kesulitan dalam melakukan mediasi dalam mengatasi
konflik ini minta bantuan pihak lain, seperti kepala sekolah (lihat
bagaimana mengatasi misbehave atau misconduct siswa pada
materi Mengenali dan Memahami Misbehave)
35
Diadapatasi dari Plan in Vietnam. Op. Cit.
IGGRD2016 Hal 72
4. Berikan Positive Reinforcement and Encouragement
IGGRD2016 Hal 73
PENERAPAN DISIPLIN POSITIF: Mengintegrasikan
Disiplin Positif dalam Proses Pembelajaran
36
Sebagai referensi lihat Centre for Justice and Crime Prevention and the Department
of Basic Education, Course Reader. Op. Cit Hal 25. Dan lihat juga: Jim Walters and
Shelly Frei. 2007. Managing Classroom Behavior and Discipline
http://www.peoriapublicschools.org/cms/lib2/IL01001530/Centricity/Domain/4528/Sa
mple%203.pdf [08/08/2016. Pukul 14.00]
IGGRD2016 Hal 74
f. Bedakan antara perilaku atau tindakan dengan kepribadian anak;
g. Kembangkan rasa saling menghargai;
h. Selalu mengotrol emosi;
i. Berikan penguatan (dorongan atau pujian);
j. Kenali faktor/alasan dan motivasi dibalik perilaku dan misbehave
anak;
k. Gunakan konsekuensi logis dalam menghadapi perilaku anak
(termasuk menghubungkan dengan peraturan/kode etik kelas);
l. Hindari berkonfrontasi dengan anak;
m. Sebisa mungkin menghindari penggunaan ancaman.
IGGRD2016 Hal 75
Langkah-langkah penerapan disiplin positif dalam kelas:37
Step 1: Deskripsikan perilaku yang diinginkan secara jelas
“Semuanya tolong mendengarkan temannya ya..”
Step 5: Jika anak berperilaku yang tidak tepat, kenali dan pahami alasan dan
motivasi dibalik misbehave mereka
37
Dikembangkan berdasarkan Centre for Justice and Crime Prevention and the
Department of Basic Education-Course Reader. Op. Cit. Hal 26 dan UNESCO. Op. Cit.
IGGRD2016 Hal 76
Hal penting yang juga harus dipertimbangkan dalam penerapan
disiplin positif di dalam kelas adalah bagaimana menciptakan kelas yang
kondusif. Dalam kelas yang kondusif maka kemungkinan besar anak akan
terlibat secara positif dalam proses belajar. Guru juga akan mudah dalam
memperhatikan setiap anak, sehingga membantu dalam penerapan
disiplin positif. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan guru dalam
memanajemen kelas secara efektif:38
1. Menetapkan aturan dasar. Sebelum memulai tahun ajar baru,
peraturan kelas harus ditetapkan. Dalam menyusun aturan ini tidak
boleh hanya dilakukan guru. Peraturan kelas harus disusun oleh siswa
bersama guru. Sehingga siswa tidak melihat aturan tersebut sebagai
otoritas dan kekuasaan guru, tetapi kesepakatan bersama.
2. Serius dan konsisten dalam implementasi aturan. Hal yang paling
penting setelah menerapkan aturan bersama adalah konsisten dalam
menerapkannya. Anak yang melihat guru tidak konsisten dalam
menerapkan aturan akan menilai bahwa aturan bukanlah hal yang
harus dijaga bersama.
3. Fokus dalam membangun hubungan. Hubungan yang baik antar guru
dengan anak, guru dengan orang tua dan anak dengan anak akan
membuat komunikasi berjalan dengan baik. Dalam hubungan yang
baik ini jugalah guru dapat memahami perilaku, latar belakang,
38
Sebagai referensi lihat Centre for Justice and Crime Prevention and the Department
of Basic Education, Course Reader. Op. Cit. Hal 26 dan UNESCO. Op. Cit. Lihat juga:
Cotton, Katherine. Schoolwide dan Classroom Discipline. School Improvement Research
Series.
http://educationnorthwest.org/sites/default/files/SchoolwideandClassroomDiscipline.
pdf [08/08/2016. Pukul 13. 30]
IGGRD2016 Hal 77
hambatan dan kekuatan anak. Dalam hubungan yang baik, anak
merasakan penghargaan dari guru.
4. Profesional. Profesionalisme guru akan membantu dalam
menerapkan disiplin positif. Misalnya, guru yang mempersiapkan
proses belajar di kelas dengan baik akan lebih mudah dalam
memanajemen kelas, lebih tenang menghadapi anak dan dapat
mengantisipasi kemungkinan-kemungkian yang terjadi di kelas. Guru
profesional berarti guru yang reflektif, yaitu guru yang terus menerus
melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri dalam hubungan proses
belajar dan menghadapi anak. Dengan demikian guru akan terus-
menerus memperbaiki diri dan mencari cara yang positif dalam
berhadapan dengan anak. Profesional juga berarti mengembangkan
pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing anak.
Pendekatan ini harus terus-menerus diperbaiki oleh guru karena tidak
ada satu pendekatan yang tepat untuk semua kondisi.
5. Inklusif. Guru tidak boleh membeda-bedakan anak. Anak pejabat dan
anak rakyat biasa bahkan anak dengan disabilitas harus diperlakukan
adil oleh guru. Untuk itu guru harus intens mengamati,
mendengarkan dan berdialog dengan semua anak, tanpa membeda-
bedakan.
6. Menciptakan kesempatan bagi anak untuk merasakan pengalaman
mencoba dan keberhasilan dalam pembelajaran dan hubungan
sosial. Ketidaksabaran akan proses yang dijalani anak, membuat guru
mengotrol anak dengan ketat. Anak tidak diberikan kesempatan
untuk mengeksplorasi dan mencoba bertindak sesuai dengan apa
yang mereka pikirkan. Padahal dengan kesempatan mengalami
IGGRD2016 Hal 78
proses (baik kesalahan maupun keberhasilan) membuat anak belajar
dan semakin percaya diri.
7. Memberikan kesempatan anak mengambil tanggung jawab. Guru
yang tidak percaya pada kemampuan anak, akan sulit memberikan
tanggung jawab bahkan melibatkan anak dalam mengerjakan
sesuatu. Hal ini akan berdampak negatif pada perkembangan anak
dalam belajar bertanggung jawab. Untuk itu penting sekali guru
melibatkan anak dalam berbagai hal yang sesuai dengan
kehidupannya dan memberikan kesempatan anak untuk
melakukannya sendiri bahkan mengambil keputusan.
8. Selalu mendorong terjadinya kerja kelompok yang koperatif sebisa
mungkin.
9. Perlunya memberi ruang pada rasa humor, musik, dll yang dapat
mengurangi dan menghilangkan suasana tegang di dalam kelas.
10. Menciptkan ruangan kelas yang nyaman, menarik, ramah dan
terbuka bagi semua siswa, orang tua dan guru. Ruang kelas yang
nyaman akan mendorong perasaan positif dalam diri anak dan guru.
Untuk itu, ruang kelas harus diatur/didekorasi sedemikian rupa
sehingga mendukung proses belajar dan menciptakan rasa nyaman
dalam diri anak dan guru. Untuk mengatur/mendekorasi ruang kelas,
guru harus melibatkan anak. Anak harus terlibat bahkan menciptakan
sendiri ruang kelas yang nyaman menurut mereka dengan bimbingan
guru. Misalnya, anak ingin ada bunga di dalam kelas, anak ingin
mendekorasi dinding kelas, dll yang harus diakomodasi. Namun guru
juga harus memastikan bahwa keinginan anak tidak malah
menganggu proses belajar dan keinginan serta kebutuhan anak lain.
IGGRD2016 Hal 79
11. Mengidentifikasi sumber-sumber pendukung. Dalam menghadapi
anak dan menciptakan kelas yang kondusif serti mendukung proses
belajar anak, guru memerlukan bantuan dari berbagai pihak.
Misalnya, guru perlu bantuan dari psikolog untuk mengembangkan
kemampuan guru dalam memahami perkembangan psikologi anak.
IGGRD2016 Hal 80
bersama-sama menyusun konsekuensi setiap peraturan yang telah
disusun.
4. Bersama anak menulis atau membuat peraturan ini dapat dilihat
bersama. Misalnya membuat poster, dll.
5. Minta anak untuk memberi tahu peraturan yang telah disusun pada
orang tua. Guru juga berkomunikasi dengan orang tua mengenai
peraturan yang disusun bersama.
6. Adakan revisi atau peninjauan peraturan kelas secara rutin agar anak
dan guru bisa melihat apakah ada poin peraturan yang tidak
diperlukan lagi atau harus ditambahkan.
IGGRD2016 Hal 81
PENDEKATAN SEKOLAH SECARA MENYELURUH
DALAM PENERAPAN DISIPLIN POSITIF 39
Dalam menerapkan
disiplin positif di sekolah
harus mempertimbangkan
semua komponen sekolah
secara menyeluruh. Peran
setiap komponen, seperti
siswa, guru, kepala
sekolah, tata usaha, yayasan, komite sekolah, bahkan orang tua dan
masyarakat. Setiap komponen ini tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan
saling berinteraksi dan memperngaruhi dalam proses penerapan disiplin
positif di sekolah. Dalam menerapkan disiplin positif yang
mempertimbangkan semua komponen tersebut, hal yang perlu dilakukan
adalah:
1. Melakukan assesment. Untuk melibatkan semua komponen perlu
dilakukan assesment bersama untuk mengidentifikasi peran setiap
komponen, melihat tantangan dan peluang yang dimiliki oleh
sekolah.
2. Menyusun perencanaan. Berdasarkan hasil assesment tersebut
disusunlah suatu rencana dalam penerapan disiplin positif.
39
Diadaptasi dari Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of
Basic Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Course Reader.
Afrika Selatan
IGGRD2016 Hal 82
3. Melibatkan semua stakeholder. Keberhasilan dalam penerapan
disiplin positif tidak hanya tergantung pada guru dan kepala sekolah
tetapi juga semua stakeholder. Pelibatan ini untuk menyusun dan
membagikan visi bersama, komitmen, nilai dan pemahaman
bersama.
4. Tetap realistis dan inklusif.
5. Pelaksanaan.
6. Monitoring dan Evaluasi. Untuk melihat perkembangan dan
memperbaiki apa yang telah direncanakan perlu disusun kerangka
monitoring dan evalusi.
IGGRD2016 Hal 83
Step 3: Menyusun pendekatan dan strategi yang akan diambil. Setelah
disusun strategi dan pendekatan ini harus dibagikan dan
dipahami oleh semua warga sekolah.
Step 4: Mereview apakah kode etik sekolah merefleksikan pendekatan
disiplin positif. Hal ini penting dilakukan karena kode etik sekolah
adalah dasar perilaku yang ditekankan di sekolah.
Step 5: Menyusun koordinasi. Untuk memastikan pelaksanaan dan
keterlibatan semua pihak, perlu dibentuk suatu tim koordinasi
yang khusus memperhatikan pelaksanaan disiplin positif.
Step 6: Mengintegrasikan dalam kurikulum. Hal ini penting agar proses
disiplin positif tidak hanya sebatas program tetapi juga
terintegrasi dalam proses belajar setiap hari.
Step 7: Evaluasi dan monitoring. Evaluasi dan monitoring harus dilakukan
secara rutin yang dikoordinir oleh tim yang telah dibentuk pada
step 5.
IGGRD2016 Hal 85
DAFTAR PUSTAKA
Beazley, H., dkk. 2006. What children say: Results of comparative research
on the physical and emotional punishment of children in Southeast Asia and
the Pacific, 2005. Swedia. Save the Children
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Trainer’s
Manual. Afrika Selatan
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Course
Reader. Afrika Selatan
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. 2012. Positive Discipline and Classroom Management-Work
Book. Afrika Selatan
Dreikurs, R. And Soltz. 1964. Children: The Challenge. New York: Dutton.
Elizabeth and Pal Jareg. 1994. Reaching Children Through Dialogue, Redd
Barna Pb. Macmillan
Evans, J.L., Myers, R.G., Ilfeld, E.M. 2000. Early Childhood Counts: A
Programming Guide on Early Childhood Care for Development. Washington
DC: The World Bank.
IGGRD2016 Hal 86
Hart, S. N (ed). 2005. Eliminating Corporal Punishment the Way Forward to
Constructive Child Discipline. UNESCO: Francis
Ignatius Dharta Ranu Wijaya. 2015. Disiplin Positif dalam Pengasuhan dan
Pendidikan. Home PBS dan SOS CHILDREN’S VILLAGES Indonesia
Jim Walters, M.A. dan Shelly Frei. 2007. Managing Classroom Behavior and
Discipline. Shell Education: USA
Johnson, D.W., Johnson, R.T., Dudley, B., and Burnett, R. 1992. Teaching
students to be peer mediators. Educational Leadership, 50(1), 10-13.
Judith Ennew,J. and Plateau, D.P. 2004. How to Research the Physical
and Emotional Punishment of Children. Save the Children
Katharine C. Don’t Jime It Out On Your Kids: A Parent’s and Teacher’s Guide
to Positive Discipline. http://www.cei.net/~rcox/dontake.html
[10/10/2005]
IGGRD2016 Hal 87
Ramsden, P. 2008. Positive Disciplin Techniques to Promote Positive
Behaviour in Children. Save the Children. Finlandia
Tim Raising Voices. 2009. The Good School Toolkit, Step Four: Positive
Discipline. Raising Voices: Uganda
Unicef. 2012. The 2011 Multiple Indicator Cluster Survey in Selected Districts
of Papua and Papua Barat. Papua : Unicef.
https://www.positivediscipline.com/about-positive-discipline [accessed
online on10/06/2016]
Lihat Lihat juga Rita Eka I, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik.
Yogyakarta: Fakultas Fsikologi. UNY
IGGRD2016 Hal 88