Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dunia anak memang sangat menarik untuk dipelajari karena terdapat
keunikan tersendiri dari masing–masing pribadi serta karakter yang mereka
miliki, yakni perbedaan dari masing–masing yang sedang mengalami
perkembangan dan pertumbuhan,baik fisk maupun mental. Pada Anak usia
dini ini mengalami masa the golden age yang artinya merupakan masa emas
untuk seluruh aspek perkembangan manusia,baik fisik, motorik, kognitif
maupun moral. Menurut Hurlock, ketika anak berada dalam periode sensitif
atau masa peka, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tubuh perlu
dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya1. Segala
rangsangan dan informasi yang anak dapatkan dari masa ini akan
mempengaruhi perkembangan pada periode berikutnya sampai anak menjadi
dewasa. Bila kemampuan berbicara anak tidak dirangsang maka anak akan
mengalami kesulitan berbicara pada masa-masa selanjutnya.
Orang tua perlu mengoptimalkan perkembangan anak pada masa
berharga ini karena otak anak bekerja 80% pada fase ini memaksimalkan
potensi pada anak karena nantinya akan mempengaruhi kebiasaan dan sifat
pada anak seumur hidupnya. Perkembangan otak manusia dimulai dari sejak
kandungan. Golden age adalah usia usia 0-5 tahun2. Pada masa ini, otak anak
memiliki empat bagian yang berkembang semua, termasuk belahan otak kiri
dan kanan. Sebagai orang tua dan pendidik sudah selayaknya bisa
membimbing serta mengarahkan mereka dengan memberikan pola asuh yang
sesuai,pola asuh yang baik akan menjadikan anak menjadi pribadi yang baik
di masa yang akan datang,baik itu secara karakter dia akan tumbuh menjadi
pribadi yang memiliki rasa percaya diri yang baik, peka terhadap lingkungan

1
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (terjemahan). Jakarta: Erlangga, hlm. 115
2
_. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
(terjemahan). Jakarta: Erlangga, hlm. 115

1
sosial, bermoral serta mampu memecahkan masalah yang sedang terjadi saat
sedang mengalami kesulitan3.
Pola asuh yang baik harus diberikan sejak anak masih kecil saat
masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dalam
segala aspek perkembangan nya.Karena pada masa ini anak akan dengan
mudah menerima serta menyerap apa yang dia lihat dan dengar maka akan
melekat dan terekam hingga dewasa. Untuk itu orang tua hendak nya
memberikan pola asuh yang tidak otoriter/pola asuh yang menjadikan mereka
menjadi anak yang mandiri, percaya diri serta tidak tergantung kepada orang
lain di masa depan. Orang tua memegang peranan penting dalam
menumbuhkan sifat/karakter anak, maka dari itu orang tua hendaknya
menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak sejak dini. Keluarga
merupakan yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Sangat besar
pengaruh keluarga dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian anak.
Salah satu faktor dalam keluarga yang memiliki peran dalam
pembentukan dan perkembangan kepribadian anak adalah pola asuh. Perilaku
keluarga khususnya orang tua dalam menerapkan pola asuh terhadap anak
akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak terutama dalam
membentuk kepribadian anak. Setiap orang tua mempunyai pola asuh
tersendiri dalam mendidik anaknya, dan ini mempengaruhi perkembangan
anak. Salah satu macam pola asuh orang tua yang masih diterapkan yaitu pola
asuh otoriter4. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang merupakan kebalikan
dari pola asuh demokratis yaitu cenderung menetapkan standar yang mutlak
harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman. Bentuk pola asuh
ini menekan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditunjukan pada
anak untuk mendapatkan kepatuhan ketaatan. Orang tua otoriter kebanyakan
membatasi kebebasan bertanya serta mengutarakan pendapat anak, karena
mereka beranggapan anak adalah miniatur hidup dan pencapaian misi hidup.

3
Kartono, K. (1990). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar
Maju, hlm. 79
4
Wiyani A Novan. (2013). Bina Karakter Anak Usia Dini. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
hlm 19

2
Ciri pola asuh otoriter yaitu aturan orang tua yang kaku, ketat dan saklek
yang harus dipatuhi oleh anak tanpa mau tahu perasaan sang anak. Hukuman
mental dan fisik akan sering diterima oleh anak dengan alasan agar anak tetap
harus patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah
membesarkan dan menghidupinya.
Karakteristik anak dengan pola asuh otoriter akan menghasilkan
karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar
menentang, suka melanggar norma, temperamen, berkepribadian lemah,
cemas dan menarik diri dari lingkungan sosialnya. Bentuk pola asuh ini
menekan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditunjukan pada anak
untuk mendapatkan kepatuhan ketaatan5. Biasanya anak dengan pola asuh
otoriter ini jika didepan orang tua dia akan menjadi anak yang manis dan
patuh, namun jika tanpa sepengetahuan orang tua maka dia akan
melampiaskan keinginannya dengan bebas dan lebih emosional serta agresif.
Interaksi orang tua pada anaknya tentunya sangat mempengaruhi
perkembangan moral anak. Karena pada dasarnya perkembangan moral anak
itu tidak bisa terjadi secara cepat. Akan tetapi perkembangan moral pada anak
itu berjalan secara bertahap. Orang tua sebagai pembimbing bisa
mempengaruhi perkembangan moral pada anak6.
Peneliti telah melakukan observasi sementara di TK ‘Aisyiyah
Bustanul Athfal 72 Surabaya, Usia 4–5 tahun, hasil observasi tersebut
ditemukan berbagai macam perilaku anak saat berkegiatan disekolah, baik
saat belajar dan saat bermain. Beberapa anak banyak menunjukan perilaku
yang baik, seperti meminta maaf ketika ia melakukan kesalahan, meminta
tolong dengan sopan kepada teman, guru dan orang yang lebih tua, namun
nampak ada beberapa yang kontrol emosional kurang bagus saat bermain
bahkan ada yang membuat teman terluka serta mengeluarkan kata–kata yang
dianggap melampiaskan saat emosi dalam bahasa Surabaya “Meso” dan

5
Risaldy, Sabil. (2014.). Panduan Mengatasi Permasalahan Anak Usia Dini. Jakarta
Timur: PT.Luxima Metro Media, hlm. 55
6
Hasnida. (2015). Analisis Kebutuhan Anak Usia Dini. Jakarta Timur: PT.Luxima Metro
Media, hlm 77

3
berkata kasar hal ini bisa berpengaruh terhadap teman yang lain yang
mendengar dan melihat sehingga membawa dampak negatif. Sebagian besar
dari orang tua bekerja sebagai pedagang pasar bahkan ada yang 24 jam
pengasuhan anak dilakukan di pasar karena tuntutan ekonomi, sehingga
memang tidak dipungkiri berdampak terhadap perkembangan moral anak,
tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga berpengaruh terhadap pola
asuh yang mereka terapkan pada anak, bahkan seringkali mengabaikan waktu
beribadah, Seringkali juga ditemui anak yang masih suka tantrum ketika ada
keinginannya yang belum terpenuhi yaitu dengan menangis bahkan menjerit-
jerit7. Tentunya sikap/perilaku seperti itu akan menjadikannya anak yang sulit
di beri nasehat dan semua keinginannya harus selalu terpenuhi. Bahkan ada
juga peristiwa yang paling menonjol dan menjadikan saya memilih judul
skripsi ini yaitu peristiwa ketika ada anak yang belum bisa mengontrol
emosinya ketika ada teman lain mengganggunya bahkan ketika teman-
temannya tidak mengganggunya pun dia masih tidak bisa mengontrol
emosinya. Tentu sikap yangseperti itu dapat mengganggu teman-temannya
bahkan dirinya sendiri.
Orang tua berperan penting dalam pembentukan kebiasaan yang baik
pada anak karena orang tua yang memiliki peran utama ketika anak berada di
rumah. Pendidikan nilai agama dan moral yang dilakukan sejak usia dini
diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak akan mampu
membedakan baik buruk, benar salah, sehingga ia dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Hal itu akan berpengaruh pada mudah tidaknya anak diterima
oleh masyarakat sekitarnya dalam hal bersosialisasi. Pendidikan nilai agama dan
moral sejak usia dini merupakan tanggung jawab bersama semua pihak terutama
pihak keluarga atau orang tua. Peran orang tua dan lingkungan tempat tinggal sangat
berpengaruh pada perkembangan moral anak. Apakah anak akan memiliki moral
yang kokoh ataupun sebaliknya, dengan kata lain moralitas anak bisa dibina sejak
dini.8 Anak usia dini mempunyai sifat meniru terhadap apapun yang di lihatnya.
7
Wawancara dengan Bapak Sulaiman orang tua dari renaldy, tentang pola asuh
anak pada tanggal 20 april 2022 secara online (whatshap)
8
Hapsari I Iriani. (2016.). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta Barat: PT Indeks, hlm
18

4
Masa ini adalah masa yang sangat rentan karena anak akan memperhatikan,
mengingat dan melakukan apa yang telah dilakukan oleh orang terdekatnya,
terutama kedua orang tua. Oleh sebab itu, orang tua harus menerapkan pola asuh
yang tepat agar perkembangan moral anak dapat berkembang dengan baik 9. Berbagai
perbedaan pola pengasuhan yang terdapat di lapangan tentang perkembangan moral
anak memiliki perbedaan, tergantung dengan pengasuhan yang diberikan orang
tuanya dirumah. Tentunya pola pengasuhan apa yang diterapkan orang tua dirumah
ada hubungannya dengan perkembangan moral anak dilingkungan sekitar nya
maupun disekolah.10
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti
pola asuh otoriter terhadap perkembangan nilai agama dan moral pada anak
usia 4–5 tahun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalahnya yaitu :
1. Bagaimana pola asuh otoriter anak usia 4–5 tahun di TK ‘Aisyiyah
Bustanul Athfal 72 Surabaya ?
2. Bagaimana perkembangan nilai agama dan moral anak usia 4 – 5 tahun di
TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal 72 Surabaya ?
3. Bagaiman pola asuh otoriter pada anak usia dini terhadap perkembangan
nilai agama dan moral anak usia 4 – 5 tahun di TK ‘Aisyiyah Bustanul
Athfal 72 Surabaya ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pola asuh otoriter terhadap perkembangan nilai

9
Zulfitria. (2017). Pola asuh orang tua dalam pendidikan karakter berbasis Al-Qur’an
untuk anak usia dini. Jurnal bunayya pendidikan anak usia dini, vo1, No 2, hlm. 18
10
Jannah, Husnatul.Bentuk Pola Asuh Orang Tua Dalam Menanamkan Perilaku Moral
Pada Anak Usia Di Kecamatan Ampek Angkek. Volume 1. Diakses tanggal 23 mei 2017,
hlm 23

5
agama dan moral anak usia 4–5 tahun di TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal 72
Surabaya.
D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi alat bantu di dalam


melakukan pola asuh yang baik terhadap anak terutama dalam
perkembangan nilai agama dan moral. Penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khazanah keilmuan pendidikan anak usia dini serta
diharapkan bermanfaat bagi civitas akademika, khususnya bagi
pelaksana dan pemerhati serta pencinta dunia pendidikan anak usia dini
terutama tentang pola asuh anak yang nanti menjadikan disiplin ilmu
pengetahuan dalam dunia pendidikan dan dapat menambah wacana
kepustakaan yang berkaitan dengan pendidikan anak usia dini.

2. Praktis
a. Bagi Orang Tua
Mengetahui bagaimana cara melakukan pola asuh yang baik
untuk anak-anaknya agar anak tersebut tidak menjadi anak yang
temperamen dan reaktif.
b. Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman dan pemahaman tentang bagaimana
menjadi orang tua yang baik dengan pola asuh yang tidak otoriter pada
anak-anaknya.
c. Bagi Sekolah
Mendapat informasi mengenai hal yang harus di perhatikan
dalam membimbing anak dengan pola asuh yang otoriter tersebut.
d. Bagi Masyarakat
Mengetahui pentingnya pola asuh yang baik terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak sejak masih kecil.

6
E. Sistematika Penyusunan
Untuk lebih jelas dalam mempelajari dan memahami isi dari
penelitian secara keseluruhan dan berkesinambungan, maka penulis merasa
perlu untuk menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah, Identifikasi masalah,
Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kajian Pustaka, Manfaat
penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan,
Sistimatika Penyusunan.
BAB II : KAJIAN TEORI
Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini, Hakikat Pola Asuh
Otoriter, Hakikat Kecerdasan Moral Anak Usia 5-6 Tahun.
BAB III : METODELOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian, Tempat dan
Waktu Penelitian, Subjek Penelitian, Instrumen Penelitian,
Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis
Data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi dan Sampel Penelitian, Deskripsi Hasil
Penelitian
BAB V : PENUTUP
Kesimpulan, dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini
A. Pengertian Anak Usia Dini
Menurut NAEYC (National Association Education For Young
Children) asosiasi yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan anak di
Amerika Serikat seperti yang dikutip oleh Nur Hamzah, menyatakan
bahwa anak usia dini adalah sekelompok individu yang berada pada
rentang usia antara 0-8 tahun.11 Menurut Conny semiawan, pada masa ini
proses pertumbuhan dan perkembangan anak dalam berbagai aspek sedang
mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup
manusia.12
Dari pemaparan di atas, seorang anak dikategorikan sebagai
anak usia dini jika berada pada rentang usia 0-8 tahun. Di mana pada usia
tersebut seorang anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat, proses pertumbuhan dan perkembangan ini sangat
penting bagi anak karena akan mempengaruhi kehidupan anak di masa
yang akan datang.
Diana Mutiah berpendapat, bahwa anak usia dini merupakan
kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
yang bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan
fisik (kordinasi motorik kasar dan halus), sosio emosional, bahasa, dan
komunikasi.13 Senada dengan yang dikemukakan oleh Diana Mutiah,
Marganti Sit menyatakan bahwa anak usia dini ini sedang mengalami masa

Nur Hamzah, (2015). Perkembangan Sosial Anak Usia Dini, (Pontianak: IAIN
11

Pontianak Press, hlm. 1


12
Cony Semiawan, ( 2020). Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Usia Dini
(Jakarta: Prenhalindo, hlm. 19
13
Marganti Sit, (2017). Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini, Depok: PT Kencana,

8
keemasan, sebab pada usia ini terjadi perkembangan yang sangat
menakjubkan dan terbaik yang mencakup perkembangan fisik dan psikis.4
Dalam sudut pandang agama, khususnya agama Islam, anak
merupakan makhluk yang lemah dan mulia, yang keberadaannya
merupakan kehendak dari Allah SWT. Melalui proses penciptaannya Anak
usia dini adalah anak yang memiliki sifat unik, karena di dunia ini tidak
ada satupun yang sama, meskipun dilahirkan kembar mereka memiliki
potensi yang berbeda, memiliki kelebihan, kekurangan, dan bakat masing-
masing. Masa usia dini merupakan masa peletakan dasar atau pondasi awal
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, setiap anak
tentunya akan berbeda satu sama lain, hal ini tergantung dari rangsangan
yang diberikan oleh orang dewasa di sekitar anak (orang tua). Rangsangan
yang diberikan terhadap anak, bisa berupa pola asuh yang benar dan
pendidikan. Karena masa golden age ini tidak akan terulang lagi,
pemberian rangsangan pendidikan terhadap anak yang tepat sangat
diperlukan supaya anak bisa berkembang dengan baik dan optimal.
Pendidikan anak usia dini menurut Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional psal 1 ayat 4 adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan
rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut.14 Pendidikan anak usia dini sendiri menurut Suyudi adalah
pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi
pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh atau
menekankan pada seluruh aspek kepribadian anak.15

14
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, (2014)Buku
Panduan Pendidik Kurikulum 2013 PAUD Anak Usia 5-6 Tahun, (Jakarta:
Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan)
15
Suyudi, (2014). Teori Pembelajaran Anak Usia Dini, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, hlm. 73

9
Bredecamp dan Copple, seperti yang dikutip oleh Suyudi
menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini mencakup berbagai program
yang melayani anak dari lahir sampai usia delapan tahun yang dirancang
untuk meningkatkan perkembangan intelektual, sosial, emosi, bahasa, dan
fisik anak.16
Dari pernyataan di atas terlihat jelas bahwa pendidikan yang
diberikan kepada anak haruslah mencakup segala aspek, pendidikan bukan
hanya untuk membuat anak menjadi berkembang hanya pada aspek
kognitifnya saja dan mengabaikan aspek yang lain. Hal ini diperkuat oleh
Ki Hajar Dewantara seperti yang dikutip oleh Luluk Asmawati,
menyebutkan bahwa pendidikan anak adalah segala daya upaya untuk
menumbuh kembangkan perkembangan dan pertumbuhan serta
memajukan budi pekerti berupa kekuatan batin, karakter, pikiran, atau
intelektual, dan jasmani anak.17 Jadi pendidikan ini ditujukan untuk
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka
sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagian yang setinggi-tingginya.
Langeveld menuturkan seperti yang dikutip oleh Luluk
Asmawati, bahwa pendidikan adalah sebagai bimbingan yang diberikan
oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai
tujuan yaitu kedewasaan.18 Dengan bimbingan orang dewasa anak akan
berkembang menjadi dewasa dengan baik. Pendidikan yang diberikan
terhadap anak usia dini dalam pelaksanaannya haruslah disesuaikan
dengan usia dan tugas perkembangannya, sehingga anak tidak merasa
terbebani dalam menempuh pendidikannya. Dengan kata lain setiap orang
tua maupun pendidik haruslah memahami apa itu tugas perkembangan
anak usia dini.
16
_, (2014). Teori Pembelajaran Anak Usia Dini, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, hlm. 23
17
Luluk Asmawati, (2017), Konsep Pembelajaran PAUD, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya), hlm.1
18
_, (2017), Konsep Pembelajaran PAUD, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya),
hlm.117

10
B. Tugas Perkembangan Anak Usia Dini
Tugas perkembangan anak adalah tugas yang disesuaikan pada
periode tertentu dari kehidupan individu. Apabila individu berhasil
melaksanakan tugas perkembangannya sesuai dengan usianya, ia akan
merasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan
tugas-tugas selanjutnya.19
Pada masa kanak-kanak awal, anak memiliki tugas-tugas
perkembangan yang harus dipenuhinya agar dapat memasuki tahap
berikutnya dengan baik. Menurut Hildebrand yang dikutip Edy Gustian,
tugas perkembangan anak usia dini adalah sebagai berikut :
“Berkembang menjadi pribadi yang mandiri, belajar berbagi, dan
memperoleh kasih sayang, belajar bergaul dengan anak lain,
mengembangkan pengendalian diri, belajar bermacam-macam
peran dalam masyarakat, belajar mengenal tubuh, belajar
menguasai keterampilan motorik halus dan kasar, belajar mengenal
lingkungan fisik dan mengendalikannya, belajar menguasai kata-
kata baru untuk memahami orang lain dan mengembangkan
perasaan positif dalam berhubungan dengan lingkungan.”20

Marliani menyebutkan, bahwa tugas perkembangan anak


dalam buku psikologi perkembangan anak adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-
permainan yang umum.
2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
makhluk yang sedang tumbuh.
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya.
4. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.
5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca,
menulis, dan menghitung.

19
Derry Ishwindarmajaya, dkk, ( 2 0 2 0 ) , Bila Anak Usia Dini Bersekolah
(Jakarta: Gramedia Pustaka), h. 40
20
Edy Gustian, (2001), Mempersiapkan anak Masuk sekolah, (Jakarta: Puspa
swara), hlm. 3

11
6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk
kehidupan sehari-hari.
7. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata nilai
8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga
9. Mencapai kebebasan pribadi.21
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
mendidik anak agar berkembang sesuai dengan tugas perkembangannya
harus dilaksanakan secara bertahap, dan disesuaikan dengan fase
perkembangan anak.

C. Fase Perkembangan Anak Usia Dini


Setiap orang tua menginginkan anak berkembang dengan baik, di
mana ada tahapan-tahapan perkembangan yang harus dilalui oleh anak
supaya berhasil berkembang dengan baik. Aristoteles menyebutkan seperti
yang dikutip oleh Rosleny Marliani, bahwa fase perkembangan anak
terbagi dalam tiga fase yakni sebagai berikut :
1. Fase I: Umur 0-7 tahun yang disebut masa anak kecil, kegiatan anak di
waktu ini hanya bermain.
2. Fase II: Umur 7-14 tahun masa sekolah, yaitu anak mulai belajar di
sekolah dasar.
3. Fase III: Umur 14-21 tahun disebut masa remaja atau pubertas, masa ini
adalah masa peralihan (transisi) dari anak menjadi dewasa.22
Dalam tahap perkembangan, seorang anak akan berkembangan
dengan melalui tiga tahapan yakni tahap anak kecil atau uisa dini, tahap
anak-anak usia sekolah, dan yang terakhir tahap remaja. Setelah mencapai
tahap remaja maka anak-anak akan beralih ke tahap dewasa, di mana pada
tahap ini seorang anak harus sudah berkembang dengan sempurna
sehingga bisa menjadi seorang pribadi yang siap untuk bekerja dan sukses.

21
Rosleny Marliani, (2020), Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Jakarta:
Pustaka Setia), hlm. 63
22
_, (2020), Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Jakarta: Pustaka Setia),
hlm.167

12
Bowlby seorang psikiater Inggris yang dikutip oleh Marganti Sit
menyatakan bahwa ada empat tahapan perkembangan yang terjadi pada
fase anak usia dini yakni:
1. Fase pertama: Respon tidak terpilah (0-3 bulan), pada fase ini bayi
sangat menyukai wajah manusia dibandingkan dengan benda yang
lainnya. Sikap ini menunjukan kemelekatan bayi dengan semua orang
yang ada disekitarnya.
2. Fase kedua: Fokus pada orang yang dikenal (3-6 bulan), pada fase ini
bayi lebih selektif dalam memberikan senyuman. Mereka hanya
memberikan senyuman pada orang-orang yang dikenalnya.
3. Fase ketiga: Kemelekatan yang intens dan pencarian kedekatan yang
aktif (usia 6 bulan- 3 tahun), pada fase ini bayi akan menangis jika
ditinggalkan oleh ibunya dan akan tersenyum jika ibu nya kembali.
4. Fase keempat: Tingkah laku persahabatan (3 tahun-sampai masa kanak-
kanak), pada fase ini anak-anak berkonsentrasi pada kebutuhan mereka
untuk mempertahankan kedekatannya kepada orang tuanya atau
pengasuhnya.23
Tahapan perkembangan pada anak usia dini yang dituturkan oleh
Bowlby lebih menyoroti pada aspek emosi anak terhadap lingkungan
sekitar, dimana orang tua sangat berperan penting dalam kehidupan anak.
Berbeda dengan pernyataan Bowbly, Sigmund Freud yang dikutip
oleh Marganti Sit membagi perkembangan anak berdasarkan kematangan
fisik dari bagian tubuh tertentu menjadi enam fase, yakni sebagai berikut :
1. Fase Oral: 0-1 tahun: mulut merupakan sentral pokok keaktifan yang
dinamis.
2. Fase Anal: 1-3 tahun: dorongan dan tahanan berpusat pada alat
pembuangan kotoran.
3. Fase phalic: 3-5 tahun: alat kelamin merupakan daerah organ paling
perasa.

23
Marganti Sit, (2019), Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini Edisi Pertama,
hlm. 15

13
4. Fase latent: 5-12/13 tahun: implus-implus cenderung berada pada
kondisi tertekan.
5. Fase pubertas: 12/13-20 tahun: impuls-impuls ( dorongan kembali
menonjol
6. Fase genital: umur 20 tahun keatas : seseorang telah sampai pada awal
dewasa.24

D. Hakikat Pola Asuh Demokratis


1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi pola asuh
terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Pola berarti corak atau model,
sistem kerja, bentuk (struktur) yang tetap, sedangankan asuh memiliki
arti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing
(membantu, melatih, dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan
menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.25
Dari pengertian pola dan asuh di atas, maka pola asuh adalah
sebuah corak atau model pengasuhan yang diberikan oleh orang tua dalam
merawat dan mendidik anak. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Asti
Musman bahwa pola asuh adalah suatu proses untuk meningkatkan dan
mendukung perkembangan fisik, emosional, sosial, finansial, dan
intelektual seorang anak sejak bayi hingga dewasa.26
Senada dengan pendapat Asti Musman, Al.Tridhonanto
mengatakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi
orang tua dan anak, di mana orang tua memberikan dorongan bagi anak
dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang
dianggap paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta

24
_, (2019),
Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini Edisi Pertama, hlm. 16
25
Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Versi Online/daring,”
dalam https://kbbi.web.id/asuh. Diakses pada 23 Oktober 2020
26
Asti Muswan, (2020) Seni Mendidik Anak Di Era 4.0, (Yogyakarta: Psikologi
Corner), hlm. 2

14
berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki
sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorentasi untuk sukses.27
Berdasarkan penjelasan Asti Muswan dan Al Tridhonanto dapat
dipahami bahwa pola asuh adalah suatu cara atau usaha yang dilakukan
orang tua dalam mendidik anak dengan berbagai macam pendidikan
baik itu moral, agama atau pengetahuan yang diberikan kepada anak
yang bertujuan menjadikan anak sukses.
Dalam proses pelaksanaannya, Baumrid menjelaskan seperti yang
dikutip oleh Al Tridhonanto bahwa pola asuh memiliki dua dimensi yaitu :
a. Dimensi Kontrol
Dalam dimensi kontrol ini, orang tua mengharapkan dan
menuntut kematangan serta perilaku yang bertanggung jawab dari anak.
Di mana dalam dimensi kontrol ini ada lima aspek yang berperan yaitu:
aspek pembatasan, tuntutan, sikap ketat, campur tangan, serta
kekuasaan yang sewenang-wenang. Oang tua bertugas untuk
mengontrol atau mengatur anak, sehingga anak akan berkembang
sesuai dengan harapan orang tua.
b. Dimensi Kehangatan
Dimensi selanjutnya adalah dimensi kehangatan, berbeda dari
dimensi sebelumnya dimensi ini sangat berperan untuk menumbuhkan
suasana yang menyenangkan dalam keluarga. Dalam dimensi
kehangatan ini ada lima aspek yang berperan yakni :
1. Perhatian orang tua terhadap kesejahteraan anak.
2. Responsivitas orang tua terhadap kebutuhan anak.
3. Meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan bersama dengan anak.
4. Menunjukan rasa antusias pada tingkah laku yang ditampilkan anak.
5. Peka terhadap kebutuhan emosional anak.28

27
Al.Tridhonanto, (2014), Mengembangkan Pola Asuh Demokratis, (Jakarta:
PT Elex Media Komputindo), hlm. 5
28
_, (2014), Mengembangkan Pola Asuh Demokratis, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo), hlm. 5

15
Berdasarkan penjelasan Boumrid di atas, dapat dipahami
bahwa dalam pengasuhan terhadap anak, orang tua harus memiliki
kontrol terhadap anak dengan melakukan pengawasan dan aturan
sehingga anak tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, tetapi orang tua
juga harus tetap memberikan kehangatan berupa kasih sayang sehingga
anak tetap merasa di hargai oleh orang tua nya.
Setiap orang tua dalam mengasuh anak memiliki tujuan yang
sama yakni anak yang bertanggung jawab dan sukses dalam hidupnya.
Namun karena banyaknya perbedaan di antara kehidupan orang tua,
maka pola asuh orang tua pun berbeda-beda jenisnya.

2. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua


Menurut Diana Baumrind yang dikutip Asti Muswan, ada empat
macam jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh
anak, antara lain sebagai berikut :
a. Authoritative Parenting
Pengasuhan authoritative atau demokratis adalah gaya
pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra terhadap tingkah
laku anak, tetapi mereka juga bersikap responsif, menghargai, dan
menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam
mengambil keputusan. Inti dari gaya pengasuhan ini adalah untuk
meningkatkan perasaan positif anak, supaya anak memiliki kapabilitas
untuk bertanggungjawab dan mandiri.
b. Authoritarian Parenting/ otoriter
Pengasuhan authoritarian parenting atau otoriter merupakan
pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti
perintah- perintah orang tua.
c. Neglectful Parenting
Neglectful parenting adalah gaya pengasuhan di mana orang
tua tidak terlibat dalam kehidupan anak mereka. Dalam pengasuhan ini
orang tua hanya menunjukan sedikit komitmen dalam mengasuh anak,

16
yang berarti mereka hnya memiliki sedikit waktu dan perhatian untuk
anaknya.
d. Indulgent Parenting
Orang tua dengan gaya asuh seperti ini cenderung
membolehkan anak mereka melakukan apa saja. Mereka percaya bahwa
dengan begitu, anak mereka akan menjadi individu yang kreatif dan
percaya diri.29

Tridhonanto mengemukakan bahwa secara umum pola asuh


orang tua dibedakan menjadi tiga jenis pola asuh yaitu: pola asuh otoriter,
pola asuh demokratis, pola asuh permisif.
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh ini menurut Tridhonanto adalah suatu pola asuh yang
lebih mengutamakan membentuk kepribadian anak dengan cara
menetapkan standar mutlak yang harus dituruti anak, biasanya dikuti
dengan ancaman- ancaman.
b. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah pola asuh orang tua pada anak dalam
rangka membentuk kepribadian anak dengan cara memberikan
pengawasan yang sangat longgar dan memberikan kesempatan pada
anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup
darinya.
c. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua yang
menerapkan perlakuan kepada anak dalam rangka membentuk
kepribadian anak dengan cara memprioritaskan kepentingan anak yang
bersikap rasional atau pemikiran-pemikiran.30

3. Karakteristik Pola Asuh Otoriter

Asti Muswan, (2022), Seni Mendidik Anak Di Era 4.0, hlm. 6-10
29

_, (2014), Mengembangkan Pola Asuh Demokratis, (Jakarta: PT Elex


30

Media Komputindo), hlm. 12

17
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang merupakan kebalikan dari
pola asuh demokratis yaitu cenderung menetapkan standar yang mutlak
harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman. Bentuk pola
asuh ini menekan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditunjukan
pada anak untuk mendapatkan kepatuhan ketaatan. Hal tersebut dikuatkan
oleh Bumrind, menurutnya pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola
asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk terhadap semua perintah
dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya
atau mengemukakan pendapat sendiri.31
Anak di jadikan sebagai miniatur hidup dan pencapaian misi
hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Shapiro bahwa “Orang tua
otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang di dasarkan pada
struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal tekanan mereka akan
keteraturan dan pengawasan membebani anak.32 Jadi orang tua yang
otoriter sangat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaan tertinggi
serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya. Menurut
Santrock, pola asuh otoriter, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan
hukuman (kekerasan) dengan cara orang tua memaksakan kehendaknya,
sehingga orang tua dengan pola asuh otoriter memegang kendali penuh
dalam mengontrol anak-anaknya.33 Menurut Dariyo, menyebutkan bahwa
“pola asuh otoriter adalah sentral artinya segala ucapan, perkataan,
maupun kehendak orang tua dijadikan patokan (aturan) yang harus ditaati
oleh anak-anaknya”. Supaya taat, orang tua tidak segan-segan menerapkan
hukuman yang keras kepada anak.34

31
Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup, Edisi ke
Lima.Tej.Juda Dumanik dan Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangg Shochib, Moh. 1998.
Pola Asuh Orang Tua. Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 153
32
Rahayu dkk. (2008). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kesehatan Mental
Remaja. Jurnal Keperawatan Unpad (Nursing Jounal of Padjajarr University), 10(18)
33
_, (2002). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup, Edisi ke Lima.Tej.Juda
Dumanik dan Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangg Shochib, Moh. 1998, hlm. 153
34
. (2002). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup, Edisi ke Lima.Tej.Juda Dumanik
dan Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangg Shochib, Moh. 1998, hlm. 153

18
Pola asuh otoriter ini menjelaskan bahwa sikap orang tua yang
cenderung memaksa anak untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan
orang tua. Pola asuh ini adalah pola asuh dimana orang tua memberikan
peraturan-peraturan kepada anaknya dan anak harus mematuhi peraturan
yang dibuat dilingkungan keluarga. Hal tersebut di kuatkan oleh pendapat
Hurlock, menjelaskan bahwa penerapan pola asuh otoriter sebagai disiplin
orang tua secara otoriter yang bersifat disiplin tradisional. Dalam disiplin
yang otoriter orang tua menetapkan peratura-peraturan dan
memberitahukan anak bahwa ia harus mematuhi peraturan tersebut.35 Anak
tidak di berikan penjelasan mengapa harus patuh dan tidak diberi
kesempatan mengemukakan pendapat meskipun peraturan yang ditetapkan
tidak masuk akal.
Ciri-ciri pola asuh otoriter :
1. Menurut Baumrind, dijelaskan bahwa :36
a) Orang tua suka menghukum secara fisik.
b) Orang tua cenderung bersikap mengomando (mengharuskan atau
memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi).
c) Bersikap kaku.
d) Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak.
2. Menurut Yamin dan Irwanto37
a) Kurang komunikasi.
b) Sangat berkuasa.
c) Suka menghukum.
d) Selalu mengatur.
e) Suka memaksa.
f) Bersifat kaku

35
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, hlm. 115
36
Yusuf, Syamsu. LN. (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, hlm. 68
37
Yuliyanti, Yupit. (2017). Pola Asuh Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Moral
Pada Anak Remaja.https://media.neliti.com/media/publications/129097-ID-pola-asuh-
orangtua- dalam-membentuk-peril.pdf. Diunduh pada jumat 10, hlm. 100

19
3. Menurut Hurlock38
a) Anak dituntut untuk patuh kepada semua perintah dan kehendak
orang tua.
b) Sering memberikan hukuman fisik kepada anak.
c) Jarang memberikan pujian dan hadiah apabila anak mencapai suatu
prestasi.
d) Pengontrolan terhadap tingkah laku anak sangat ketat.
e) Kurang adanya komunikasi yang baik terhadap anak.

Bentuk pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri orang tua bertindak


tegas, suka menghukum, kurang memberikan kasih sayang, kurang
simpatik, memaksa anak untuk patuh terhadap peraturan, dan cenderung
mengekang keinginan anak. Selain itu pola asuh otoriter penerimaan
(responsiveness) rendah dan tuntutan (demandingness) orang tua tinggi.
Kecendurungan pola asuh otoriter menyebabkan anak kurang insiatif,
menjadi tidak disiplin, cenderung ragu, dan mudah gugup. Anak laki-laki
dengan pola asuh otoriter memiliki kemungkinan untuk berperilaku
agresif.39 Odebunmi mengungkapkan bahwa hasil dari beberapa laporan
penelitian yang telah dilakukan menunjukan sebagian besar dari semua
kenakalan remaja berasal dari rumah yang orang tuanya kurang memiliki
cinta dan perhatian. Perhatian, cinta dan kehangatan tidak ada dalam
membantu perkembangan emosional dan penyesuaian pada anak.40
Penelitian yang dilakukan di China justru menunjukkan fakta
sebaliknya, yaitu pola asuh otoriter memberi dampak yang positif terhadap
perkembangan anak. Chao mengatakan bahwa pola asuh otoriter berdampak
negatif pada anak darikeluarga Eropa-Amerika namun pola asuh ini justru
memberi dampak positif pada keluarga Cina- Amerika. Dalam artikelnya
yang lain, Chao berkeyakinan bahwa pendekatan dari orang tua, terutama

38
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, hlm. 115
39
Morisson. (2016). Pendidikan Anak Usia Dini Saat Ini. Yogyakarta: Pustaka Belajar,
hlm. 35
40
Rahayu dkk. (2008). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kesehatan Mental
Remaja. Jurnal Keperawatan Unpad (Nursing Jounal of Padjajarr University), hlm. 10

20
ibu, member dampak yang lebih positif terhadap perkembangan anak
apabila di asuh dengan pola asuh otoriter. Inkonsistensi hasil penelitian
terkait pola asuh otoriter ini menjadi dasar bahwa dibutuhkan variabel
tertentu yang dapat menerangkan efek dari pola asuh otoriter terhadap
perkembangan anak.41
Variabel ini akan dapat menjelaskan bahwa dampak negatif atau
positif dari pola asuh otoriter tergantung kondisi variabel yang menjadi
perantaranya. Variabel yang diharapkan menjadi variable moderator terkait
pola asuh otoriter dan dampak pada perkembangan anak adalah kesabaran,
hal ini mengacu pada penelitian pada remaja yang menunjukkan adanya
peran kesabaran sebagai mediator dari pengaruh yang positif antara
religiusitas dan kemampuan negosiasi konflik integratif.42

4. Analisis Pola Asuh Otoriter Orang Tua Terhadap Perkembangan


Nilai Agama Moral Anak
Matsumato menyebutkan bahwa orang tua berperan sangat
penting dalam meletakkan dasar-dasar perilaku bagi anaknya. Sikap,
perilaku dan tindakan serta kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai,
ditiru, dan diperhatikan oleh anak lalu semua itu secara sadar atau tidak
sadar akan menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya pula.43 Hal demikian
disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya
sebelum mengidentifikasi orang lain. Dan dengan demikian maka konsep
diri anak dapat terbentuk dimulai dari pengaruh orang tuanya, dimana anak
masih berada dalam pengasuhan orang tua.
41
Bentuk Pola Asuh Orang Tua Dalam Menanamkan Perilaku Moral Pada Anak Usia Di
Kecamatan Ampek Angkek | Jannah | Jurnal Ilmiah Pesona Paud (Unp.Ac.Id)
42
Hafiz El Subhan&Almaududi A’la Abul,Peran Pola Asuh Otoriter Terhadap
Kematangan Emosi Yang Dimoderatori Oleh Kesabaran https://www.google.com/search?
q=peran+pola+asuh+otoriter+terhadap+kematang
an+emosi+yang+dimoderatori+oleh+kesabaran&oq=peran+pola+asuh+otoriter+ter
hadap+kematangan+emosi+yang+dimoderatori+oleh+kesabaran&aqs=chrome..69i5
7j69i 59j69i60j69i61.2156j0j7&sourceid=chrome&ie=utf-8 Diunduh pada kamis 16 juli
2020.
43
Demista. (2013). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosda
karya, hlm. 74

21
Hubungan orang tua dan anak menjadi aspek yang sangat penting
melalui tipe pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Santrock
mengemukakan bahwa anak- anak dari orang tua otoriter sering tidak
bahagia, takut dan ingin membandingkan dirinya dengan orang lain, gagal
untuk memulai aktivitas dan memiliki komunikasi yang lemah, berperilaku
agresif.44 Yusuf menjelaskan bahwa sikap otoriter orang tua akan
berpengaruh pada profil perilaku anak. Perilaku anak yang mendapat
pengasuhan otoriter cenderung bersikap mudah tersinggung, penakut,
pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak
mempunyai arah masa depan yang jelas dan tidak bersahabat.45
Analisis dari pola asuh otoriter yang di terapkan oleh orang tua
dapat berpengaruh terhadap perkembangan moral anak baik dampak
positif maupun dampak negatif. Dampak positif yaitu jika anak dipaksa
melakukan sesuatu yang hukumnya wajib misalnya mengerjakan sholat,
ibadah dan taat kepada orang tua maka akan berdampak positif terhadap
moral, sedangkan dampak negatifnya yaitu jika anak diberi aturan yang
banyak, ditekan, sering dibentak, dicaci maki, dan menuntut kepada anak
makan akan berdampak negatif pada perilaku moral anak.

1. Hakikat Kecerdasan Moral


1. Definisi Moral
Moral secara etimologi adalah ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebaganya. Hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Winda Gunarti bahwa moral adalah
sistem kepercayaan, penghargaan, dan ketetapan tentang perbuatan yang
benar dan salah.46 Hal tersebut terbentuk berdasarkan kebiasaan-kebiasaan
yang muncul dari standar sosial yang dipengaruhi dari luar individu atau
44
_, (2002). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup, Edisi ke Lima.Tej.Juda
Dumanik dan Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangg Shochib, Moh. 1998, hlm. 153
Yusuf, Syamsu. LN. (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT
45

Remaja Rosdakarya, hlm. 68


Ebta Setiawan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Versi Online/daring,”
46

dalam https://kbbi.web.id/asuh. Diakses pada 25 Oktober 2020

22
sesuai dengan harapan masyarakat atau kelompok sosial tertentu. 47 Senada
dengan Winda gunarti, Sa’dun Akbar mengatakan bahwa moral adalah
aturan baik buruk perilaku manusia berdasarkan kebiasaan masyarakat.
Serta moral itu bersifat praktis dan berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan ruang dan waktu serta masyarakat.48
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah
aturan yang berlaku di masyarakat sebagai acuan untuk mengetahui baik
dan buruknya perbuatan seseorang, apabila seseorang melanggar aturan
tersebut maka perbuatannya disebut tidak bermoral atau salah. Kecerdasan
moral sendiri menurut Robert Coles adalah kemampuan yang tumbuh
perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah,
dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual pikiran
manusia.49 Sedangkan menurut Micchele Borba kecerdasan moral adalah
kemampuan memahami hal yang benar dan salah; artinya, memiliki
keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut,
sehingga orang bersikap benar dan terhormat.50
Menurut Borba, kecerdasan moral ini terbangun dari tujuh
kebajikan utama yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat,
kebaikan hati, toleransi, dan keadilan yang membantu anak menghadapi
tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat dihindari dalam
kehidupannya kelak.
a. Empati
Empati merupakan inti emosi moral yang membantu anak
untuk memahami perasaan orang lain. Kebajikan ini membuat anak
menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain serta

47
Winda Gunarti, dkk, (2019) Metode Pengembangan Perilaku dan
Kemampuan Dasar Anak Usia Dini, Jakarta: Universitas Terbuka, hlm. 5.5
48
Sa’dun Akbar, dkk, ( 2019) Pengembangan Nilai Agama dan Moral bagi
Anak usia Dini, Bandung: Refika aditama, hlm. 183
49
Robert Coles, ( 2 0 0 3 ) , Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak,
Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, hlm. 3
50
Michele Borba, (2018) Membangun Kecerdasan Moral, Jakarta: Pt Gramedia
Pustaka Utama, hlm. 4

23
mendorong anak untuk menolong dan memperlakukan orang dengan
kasih sayang.
b. Hati Nurani
Hati nurani adalah suara hati yang membantu anak memilih
jalan yang benar daripada jalan yang salah, serta tetap berada dijalur
yang bermoral; membuat dirinya merasa bersalah ketika menyimpang
dari jalur yang semestinya.
c. Kontrol Diri
Kontrol diri ini membantu anak menahan dorongan dari dalam
dirinya dan berfikir sebelum bertindak, sehingga ia melakukan hal yang
benar, dan kecil kemungkinan mengambil tindakan yang akan
menimbulkan akibat buruk. Kebajikan ini membantu anak menjadi
mandiri karena anak tahu bahwa dirinya bisa mengendalikan
tindakannya sendiri.
d. Rasa Hormat
Kebajikan ini mengarahkan anak untuk memperlakukan orang
lain sebagaimana anak ingin orang lain memperlakukan dirinya,
sehingga mencegah anak untuk bersikap kasar, tidak adil dan bersikap
memusuhi.
e. Kebaikan Hati
Kebajikan ini menunjukan kepeduliannya terhadap
kesejahteraan dan perasaan orang lain. Anak akan lebih banyak
memikirkan kebutuhan orang lain, menunjukan kepedulian, memberi
bantuan kepada yang memerlukan, serta melindungi mereka yang
kesulitan dan kesakitan.
f. Toleransi
Kebajikan ini membuat anak mampu menghargai perbedaan
kualitas dalam diri orang lain, membuka diri terhadap pandangan dan
keyakinan baru dan menghargai orang lain tanpa membedakan suku,
gender, penampilan, budaya, kepercayaan, dan kemampuan.
g. Keadilan

24
Berpikir terbuka serta bertindak adil dan benar. Dengan
kabajikan ini anak akan memperlakukan orang lain dengan baik, tidak
memihak, dan adil, sehingga ia mematuhi aturan, mau bergiliran dan
berbagi, serta mendengar semua pihak secara terbuka sebelum memberi
penilaian apapun.51
Dari pemaparan di atas, seorang anak akan dikatakan memiliki
kecerdasan secara moral jika memiliki kebajikan atau sifat-sifat yang
telah dipaparkan diatas, jadi seorang anak yang memiliki intelegensi
tinggi belum tentu memiliki kecerdasan moral. Sehingga setiap orang
tua haruslah menanamkan sikap-sikap yang bisa meningkatkan
kecerdasan moral anak, karena setiap perkembangan moral akan
dipengaruhi oleh orang dewasa disekitarnya.
Dalam pandangan Islam moral sering disandingkan dengan
akhlak, di mana dalam ensiklopedia Islam yang dikutip oleh Ayuhan
kata akhlak merupakan bentuk zaman dari kata al-khuluq atau al-khulq,
yang secara etimologi berarti tabiat/budi pekerti, kebiasaan atau taat.52
Seorang anak yang memiliki akhlak yang baik akan memiliki perilaku
sebagai berikut: anak mampu membedakan mana yang baik dan
buruk, mana yang benar dan mana yang keliru, kecenderungan
dan selalu ingin berbuat baik, serta memahami hakikat dan
mengikutinya.53

2. Perkembangan Moral Pada Anak


Seiring dengan perkembangan pengetahuan mengenai perilaku
baik dan buruk yang diperoleh melalui pendidikan dari orang dewasa
disekitar anak, maka pemahaman mengenai nilai moral dilingkungan akan
semakin berkembang pada diri anak. Dengan demikian, perkembangan
51
_, (2018) Membangun Kecerdasan Moral, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama,
hlm. 7
52
Ayuhan, ( 2 0 1 8 ) , Konsep Pendidikan Anak Salih Dalam Perspektif
Islam, Yogyakarta: Deeppublish, hlm. 113
53
_, ( 2 0 1 8 ) , Konsep Pendidikan Anak Salih Dalam Perspektif Islam,
Yogyakarta: Deeppublish, hlm. 114

25
moral dapat diartikan sebagai bagian dari proses pembelajaran anak atas
aturan-aturan dasar.54
Pada prakteknya perkembangan moral ini mempunyai beberapa
hambatan, banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak
usia dini. Faktor- faktor berpengaruh ini dapat diklasifikasi atas pengaruh
dalam diri anak (faktor internal), dan faktor yang berasal dari luar anak
(faktor eksternal).
a. Pengaruh dari Dalam
Faktor keturunan sangat berpengaruh pada perkembangan
seseorang termasuk perkembangan moral anak. Faktor gen yang
terdapat pada orang tua sangat kuat pengaruhnya turun kepada anak
mereka. Orang tua yang memiliki moral yang baik akan
menurunkannya terhadap anaknya.
b. Pengaruh dari Luar
Perkembangan moral anak khususnya di usia dini banyak juga
yang ditentukan oleh faktor luar yaitu lingkungan, baik itu lingkungan
keluarga, sekolah ataupun lingkungan masyarakat. Lingkungan yang
baik akan membentuk moral anak dengan baik sedangkan lingkungan
yang tidak baik akan abai terhadap perkembangan moral anak.55

3. Tahapan Perkembangan Moral


Perkembangan moral anak akan berkembang seiring dengan
bertambahnya usia anak dan pengalamannya di lingkungan, sehingga
menyebabkan terjadinya tahapan dalam perkembangan moral anak.
Menurut Piaget yang dikutip oleh Winda Gunarti, tahapan
perkembangan moral ini terbagi menjadi dua tahapan yakni :
a. Tahapan Realisme Moral ( moralitas oleh pembatasan)

54
_, ( 2019) Pengembangan Nilai Agama dan Moral bagi Anak usia Dini,
Bandung: Refika aditama, hlm. 60
55
Cyrus Lalompoh & Kartini Ester Lalompoh, (2017), Metode Pengembangan
Moral dan Nilai-Nilai Keagamaan Bagi Anak Usia Dini, Jakarta: PT Grasindo,
hlm.67

26
Pada tahap ini, anak belum dapat menilai atau menalar suatu
aturan atau norma yang berlaku disekitar anak, sehingga anak masih
memandang kaku terhadap aturan tersebut. Anak memandang perlaku
yang benar dan salah bukan berdasarkan motivasi dari dalam dirinya,
melainkan dari konsekuensi yang didapatnya. Tahap ini dialami anak
usi 2-7 tahun.
b. Tahap Moralitas Otonom (moralitas oleh kerjasama atau
hubungan timbal balik)
Pada tahap ini, pandangan anak terhadap suatu aturan tidak
lagi kaku dan berkembang secara bertahap seiring dengan
perkembangan kognitifnya, yaitu berpikir abstrak, memahami, dan
memecahkan masalah berdasarkan asumsi, dalil, dan teori lainnya.
Tahap ini dimulai pada usia 7-12 tahun.56
Selain pendapat piaget ada pula pendapat Kohlberg yang dikutip
oleh Cyrus Lalompoh membagi tahapan moralitas anak menjadi tiga
tahapan yakni :
a. Moralitas Prakonvensional
Tahapan ini dibedakan menjadi dua tahapan sebagai berikut :
1. Anak berorentasi pada kepatuhan dan hukuman. Ciri khususnya
adalah hukum patuh agar tidak dihukum.
2. Anak menyesuaikan diri terhadap harapan sosial untuk memperoleh
penghargaan
b. Moralitas Konvensional
Tahapan ini terbagi menjadi dua sub tahap yakni :
1. Orentasi mengenai anak yang baik.
Pada tahap ini seseorang atau individu menyesuaikan diri
dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan
untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka, dengan kata

Winda gunarti, ( 2 0 1 9 ) , Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan


56

dasar Anak Usia Dini, hlm.5.4

27
lain agar menjadi anak yang baik perbuatannya harus diterima oleh
masyarakat.
2. Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas
3. Pada tahap ini seseorang atau individu menyadari kewajibannya
untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan
mempertahankan pentingnya norma-norma yang ada.
c. Moralitas pasca konvensional
Moralitas ini mengarah pada moralitas sesungguhnya, tidak
perlu diperintah karena sudah menjadi kesadaran dirinya. Tahapan ini
dibedakan menjadi dua subtahap sebagai berikut :
1. Sesorang perlu keluwesan dan adanya modifikasi serta perubahan
standar moral apabila itu dapat menguntungkan kelompok secara
keseluruhan.
2. Seseorang menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal,
terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan
bukan untuk menghindari ancaman sosial.57
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap anak
perkembangan moralnya akan berbeda-beda sesuai dengan tahapannya,
di mana untuk mengetahui apakah perkembangan moral tersebut
tercapai atau tidaknya maka kita dapat menilainya melalui beberapa
indikator yang sudah ditetapkan sesuai dengan usia anak tersebut.

4. Indikator Perkembangan Moral Anak Usia 5-6 Tahun


Indikator pencapaian perkembangan anak adalah penanda
perkembangan secara spesifik dan terukur untuk memantau/menilai
perkembangan anak sesuai tahapan usianya.58 Indikator pencapaian
perkembangan anak merupakan kontinum/rentang perkembangan anak
sejak lahir hingga usia 6 tahun.

57
_, (2017), Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Keagamaan Bagi Anak
Usia Dini, Jakarta: PT Grasindo, hlm.58
58
Siti Maria Ulfah, (2019) Buku Saku Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Makasar:
PT Aksara Timur, hlm. 12

28
Dalam perkembangan moral ada beberapa indikator yang bisa
dijadikan acuan untuk menilai apakah perkembangan moral anak sudah
berkembang atau belum. Dibawah ini adalah indikator dari aspek moral
pada anak usia 5-6 tahun :59

Tabel 2.1. Indikator Moral

No Usia Indikator Perkembangan Moral


1 5-6 tahun 1. Dapat menyayangi Ciptaan Tuhan
Berbuat baik terhadap sesame teman
Menyiram/merawat tanaman
Memberi makan binatang
Suka menolong teman dan orang dewasa
Menyayangi sahabat
Mau berbagi dengan orang lain

2. Terbiasa Berperilaku Sopan Santun dan Saling


Menghormati

59
“Indikator PAUD Kelompok 5-6 tahun” dalam
https://kurikulumpaud.com/2013/07/indikator-paud-kelompok-umur-5-6-tahun.html
Diakses pada 19 Juni, 2020

29
Bersikap ramah
Meminta tolong dengan baik
Meminta maaf jika melakukan kesalahan
Berbahasa sopan dalam berbicara (tidak berteriak)
Mau mengalah
Mendengarkan orang tua?teman berbicara
Tidak menggangu teman
Memberi dan membalas salam
Menutup mulut dan hidung bila bersin/batuk
Menghormati yang lebih tua
Menghargai teman/orang lain
Mendengarkan dan memperhatikan teman
berbicara
Menyayangi yang lebih muda dan menghormati
yang lebih tua

Dapat Membedakan Perbuatan Yang Benar dan Salah


Membedakan perbuatan yang benar dan salah
Menyebutkab perbuatan salah dan benar

Indikator pencapaian perkembangan anak ini berfungsi untuk


memantau perkembangan anak dan bukan untuk digunakan secara
langsung baik sebagai bahan ajar maupun bahan pembelajaran. Dengan
adanya indikator ini maka perkembangan moral pada anak dapat diukur
apakah berkembang atau tidaknya.

F. Penelitian Terdahulu
Sebuah karya ilmiah mensyaratkan orisinalitas, oleh karena itu kajian
penelitian sebelumnya sangat penting dilakukan agar tidak terjadi duplikasi
atau pengulangan penelitian yang telah dilakukan dengan permasalahan yang

30
sama. Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang ada, maka
peneliti mengadakan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu
dengan melakukan kajian terhadap penelitian yang sudah dilakukan, juga
mampu memberikan nuansa yang lain dan berbeda terhadap penelitian yang
telah dilakukan.
Adapun penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang
berkaitan dengan penelitian akan dilakukan peneliti yaitu skripsi yang ditulis
antara lain :
1. Husnatul Jannah, Universitas Negeri Padang 2015, yang berjudul :
“Bentuk Pola Asuh Orang Tua Dalam Menanamkan Perilaku Moral Pada
anak Usia 4-6 Tahun Di Kecamatan Ampek Angkek”. Dalam skripsinya
Husnatul Jannah membahas masalah pola asuh yang dominan dalam
membentuk perilaku moral pada anak di Jorong Sitopung. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa pola asuh demokratis dan permisif lah yang paling dominan untuk
membentuk moral anak. Persamaan penelitian yang peneliti lakukan
dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti pola asuh dan moral,
namun ada perbedaannya yaitu pada penelitian yang peneliti lakukan yang
diteliti adalah pola asuh demokratis saja sedangkan di penelitian ini semua
pola asuh.
2. Fatmawati M Asyik, Universitas Sam Ratulangi Manado 2015 yang
berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecerdasan Emosional
Pada Anak Usia Remaja Dikelurahan Soasio Kota Tidore Kepulauan”,
Fatmawati dalam skripsinya membahas tentang apakah ada hubungannya
pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia remaja.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini
sampel yang digunakan berjumlah 88 responden yang didapat
menggunakan total sampling, Desain penelitian yang digunakan yaitu
desain cross-sectional study dan data dikumpulkan menggunakan kusioner.
Hasil penelitian uji statistik menggunakan uji chi-square pada tingkat
kemaknaan 95% (α > 0,05), maka didapatkan nilai p= 0,609. Ini berarti

31
bahwa nilai p> α (0,05). Dengan demikian bahwa tidak terdapat hubungan
pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional pada anak remaja di
kelurahan Soasio Kota Tidore Kepulauan. Penelitian ini memiliki
kesamaan dengan peneliti yaitu sama-sama meneliti pola asuh, namun
terdapat perbedaan yaitu penelitian yang dilakukan peneliti terfokus pada
pola asuh dan kecerdasan moral, sedangkan penelitian ini berfokus pada
kecerdasan emosional.
Hadisa Putri, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
2017 yang berjudul “Penggunaan Metode Cerita Untuk Mengembangkan
Perilaku Moral Anak TK”, Penelitian ini bertujuan untuk membahas
penggunaan metode cerita untuk mengembangkan moral anak TK. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa metode cerita dapat digunakan untuk
mengembangkan nilai menghargai teman, sopan santun, dan tanggung
jawab. Guru sebaiknya menggunakan teknik bercerita sesuai dengan
tahap perkembangan anak, baik dari segi bahasa, media dan langkah-
langkah pelaksanaannya. Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama
membahas tentang kecerdasan moral, sedangkan perbedaannya adalah
penelitian ini meneliti cara mengembangkan moral dan yang peneliti
teliti adalah efektivutas pola asuh terhadap kecerdasan moral.

B. Kerangka Berpikir
Sikap otoriter orang tua pada hakikatnya bertujuan ingin mencari
jalan yang terbaik bagi anak-anaknya kelak, sebab mereka beranggapan
bahwa orang tua memiliki hak untuk menentukan masa depan anaknya tanpa
memikirkan apakah yang terbaik untuknya juga terbaik untuk anaknya kelak.
Pada dasarnya belajar merupakan suatu usaha untuk melahirkan perubahan
individu berdasarkan aktivitas serta pengalaman yang diperoleh.
Dalam proses belajar terkadang siswa mengalami tekanan dalam
belajar baik dari faktor internal maupun eksternal yang ada pada diri siswa
sehingga dapat menurunkan motivasi belajar, dan masalah ini bisa terjadi
timbul karena dimungkinkan adanya ketidak cocokan terhadap apa yang

32
sedang ia jalani, karena tuntutan dari orang tuanya. Dan telah disadari bahwa
setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menjalani suatu
pendidikan, begitupun memiliki minat yang berbeda pula, oleh karena itu
dalam pembahasan ini penulis ingin menelaah lebih jauh lagi tentang
pengaruh adanya sikap otoriter orang tua terhadap motivasi belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap
otoriter orang tua ada pengaruhnya terhadap motivasi belajar siswa.

C. Hipotesis
Berdasarkan deskripsi teori dan karangan pemikiran yang telah
dikemukakan, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
Ho : tidak terdapat pengaruh antara sikap otoriter orang tua dengan
motivasi belajar siswa.
Ha : terdapat pengaruh antara sikap otoriter orang tua dengan
motivasi belajar siswa.

33
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus merupakan salah satu jenis
pendekatan kualitatif yang menelaah sebuah “kasus” tertentu dalam konteks
atau setting kehidupan nyata kontemporer.60
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus karena
dimaksudkan untuk mengumpulkan data dan mengambil maknanya agar
dapat memperoleh pemahaman mengenai pola asuh demokratis orang tua dan
efektivitasnya pada pengembangan kecerdasan anak usia 5-6 tahun.
Pendekatan studi kasus pada penelitian ini dipilih karena sasaran
penelitiannya merupakan manusia (orang tua/wali murid) dan peristiwa
(proses pengasuhan). Dengan kata lain, penelitian ini dimaksudkan untuk
mendapatkan telaah mendalam mengenai konteks pola asuh otoriter dan
kecerdasan moral anak usia dini serta kaitannya di antara variabel-variabel
tersebut.

John W. Crewsell, (2014). Penelitian Kualitataif dan Desain Riset Edisi 3, Yogyakarta:
60

Pustaka Belajar, hlm. ix.

34

Anda mungkin juga menyukai