Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika
seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta
dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kondisi
perkembangan yang tidak sesuai pada individu disebut gangguan jiwa (UU No.18 tahun
2014).
Di rumah sakit jiwa di Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan, dan
10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan. Angka terjadinya
halusinasi cukup tinggi. Berdasarkan hasil pengkajian di rumah sakit jiwa Medan
ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Menurut perawat di Rumah Sakit
Grhasia Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya di ruang kelas III rata- rata
angka halusinasi mencapai 46,7% setiap bulannya (Mamnu’ah, 2010).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pasien psikososial di Ruang Citro Anggodo?
2. Bagaimana genogram pasien di Ruang Citro Anggodo, meliputi komunikasi
keluarga, pengambilan keputusan, pola asuh?
3. Bagaimana konsep diri pasien di Ruang Citro Anggodo?
4. Bagaimana hubungan sosial pasien di Ruang Citro Anggodo?
5. Bagaimana spiritual pasien di Ruang Citro Anggodo?

1
C. Tujuan
Tujuan Umum: Mahasiswa mampu mengetahui psikososial pada pengkajian
keperawatan jiwa pada pasien di Ruang Citro Anggodo
Tujuan Khusus:
1. Mahasiswa mampu mengetahui psikososial pasien di Ruang Citro Anggodo
meliputi genogram, konsep diri, hubungan sosial, dan spiritual
2. Mahasiswa mampu mengaitkan antara kasus dengan jurnal yang telah ditelaah

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Genogram
Secara etimologis, genogram berarti silsilah, yaitu gambaran asal usul keluarga konseli
sebanyak tiga generasi (Arikunto, 2006). Secara konseptual genogram merupakan suatu pola
utnuk menggambar pohon keluarga yang menyimpan informasi tentang anggota keluarga
dan hubungan diantara mereka sepanjang tiga generasi (McGoldrick dan Gerson, 2008).
1. Komunikasi Keluarga
Komunikasi keluarga adalah suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan
keluarga. Tanpa komunikasi, sepilah kehidupan keluarga dari kegiatan berbicara,
berdialog, bertukar pikiran akan hilang. Akibatnya kerawanan hubungan antara anggota
keluarga sukar dihindari, oleh karena itu komunikasi antara suami dan istri, komunikasi
antara orang tua dengan anak perlu dibangun secara harmonis dalam rangaka
membangun hbungan yang baik dalam keluarga (Djamarah, 2004).
Menurut Hurlock (1999) komunikasi keluarga adalah pembentukan pola kehidupan
keluarga dimana didalamnya terdapat unsur pendidikan, pembentukan sikap dan
perilaku anak yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Dengan demikian maka
seseorang akan belajar menyesuaikan diri pada kehidupan atas dasar peraturan dalam
keluarga. Peranan keluarga sangat penting terhadap perkembangan sosial anak, tidak
hanya terbatas pada situasi sosial ekonominya atau keutuhan struktur dan interaksinya
saja. Hal ini mudah diterima apabila kelompok sosial dengan tujuan–tujuan, norma–
norma, dinamika kelompok termasuk kepemimpinannya yang sangat mempengaruhi
kehidupan individu yang menjadi keloompok tersebut diantara anak.
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi
anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai–nilai
kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang
sehat (Yusuf, 2007).
Komunikasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menanamkan nilai –
nilai. Bila hubungan yang dikembangkan oleh orang tua tidak harmonis misalnya,
ketidaktepatan orang tua dalam memilih pola asuhan, pola komunikasi yang tidak

3
dialogis dan adanya permusuhan serta pertentangan dalam keluarga, maka akan terjadi
hubungan yang tegang. Komunikasi dalam keluarga terbentuk bila hubungan timbal
balik selalu terjalin antara ayah, ibu dan anak (Gunarsa, 2000).
Kegiatan komunikasi dalam keluarga biasanya berlangsung secara tatap muka dan
memungkinkan adanya dialog antar anggota–anggota dalam keluarga pad umumnya
bersikap akrab dan terbuka. Namun untuk mengadakan komunikasi yang baik antara
orang tua dengan anak usia remaja tidak mudah karena ada faktor–faktor yang menjadi
penghambat, yaitu (Soekanto, 2003):
a. Orang tua biasanya merasa kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan anaknya
yang menginjak usia remaja.
b. Orang tua dan remaja tidak mempergunakan bahsa yang sama sehingga
meninggalkan salah tafsir atau salah paham.
c. Orang tua hanya memberikan informasi, akan tetapi tidak ikut serta memcahkan
masalah yang dihadapi remaja.
d. Hubungan antara orang tua dan remaja hanya terjadi secara singkat dan formal,
karena selalu sibuknya orang tua.
e. Remaja tidak diberi kesempatan mengembangkan kreativitasnya serta memberikan
pandangan – pandangan secara bebas
2. Pengambilan Keputusan
Menurut Green (1980) dalam Notoadmojo (2003) pengetahuan atau kognitif
merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
mengenal masalah kesehatan merupakan kegiatan mengkaji lebih lanjut mengenai
semua hal yang berkaitan dengan penyakit yang diderita anggota keluarga. Informasi
tersebut terdiri dari pengertian, tanda gejala, penyebab, serta cara merawat (Friedman,
1998).
Kemampuan mengenal masalah erat kaitannya dengan tingkatpengetahuan keluarga.
Kemampuan tersebut merupakan pengembangan upaya seseorang dalam mencari tahu
informasi mengenai permasalahan kesehatan yang dialami anggota keluarganya
sehingga menjadi dasar terbentuknya tindakan.
3. Pola Asuh
a. Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola asuh di mana orang tua cenderung mengandalkan
kekuasaan daripada alasan untuk menegakkan tuntutan, menciptakan disiplin yang
tinggi dan perilaku pengasuhan yang rendah, menilai kepatuhan sebagai suatu

4
kebajikan, mendukung adanya hukuman sebagai usaha untuk menegakkan tuntutan
orang tua, tidak memberikan dorongan dan penerimaan secara verbal, dan
menganggap bahwa keputusan mereka bersifat final (Lagacé-Séguin dan
d’entremont, 2006). Dampak dari pola asuh otoriter → harga diri rendah → menarik
diri.
b. Permisif/Pengabaian
Pola asuh permisif merupakan pola asuh di mana orang tua memberikan
kebebasan penuh kepada anak. Ciri dari pola asuh permisif yaitu, orang tua bersikap
longgar, tidak terlalu memberi bimbingan dan kontrol, perhatian kurang dan kendali
anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendiri. Pola asuh permisif cenderung
memberi kebebasan terhadap anak untuk berbuat apa saja ternyata sangat tidak
kondusif bagi pembentukan karakter anak (Fathi, 2011). Efek negatif dari pola asuh
ini adalah mau menang sendiri → tidak percaya diri → kurang percaya diri.
c. Demokratis
Pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menentukan
peraturanperaturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak
Dengan demikian merupakan suatu hak dan kewajiban orangtua sebagai penanggung
jawab yang utama dalam mendidik anaknya (Shochib, 2010). Dampak dari pola asuh
ini adalah memiliki harga diri tinggi, mandiri, mengontrol diri, senang belajar pada
lingkungan.
d. Menuruti/Neglectful
Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang
tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak
tidak pernah belajar mengendalikan perilaku sendiri dan selalu berharap
mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka
dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang
hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.
Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar
menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya.
Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan
dalam berhubungan dengan teman sebaya (Diana Baumrind, 1971, dalam Santrock,
2005).

5
B. Konsep Diri
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahuai
individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain
(Stuart dan Sudeen, 1998). Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan
dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Upaya memandang dirinya
tersebut berbentuk penilaian subjektif individu terhadap dirinya; perasaan sadar atau tidak
sadar dan persepsi terhadap fungsi, peran, dan tubuh. Pandangan atau penilaian terhadap diri
meliputi: ketertarikan talenta dan ketrampilan, kemampuan, kepribadian pembawaan, dan
persepsi terhadap moral yang dimiliki.
Konsep diri adalah merefleksikan pengalaman interaksi sosial, sensasinya juga
didasarkan bagaimana orang lain memandangnya. Konsep diri sebagai caramemandang
individu terhadap diri secara utuh baik fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Terdapat
dua aspek besar dalam menjelaskan konsep diri, yaitu identitas dan evaluasi diri (Varcarolis,
E.M., 2000). Pertama, konsep identitas, konsep ini terfokus pada makna yang dikandung diri
sebagai suatu obyek, memberi struktur dan isi pada konsep diri, dan mengaitkan diri individu
pada sistem sosial. Secara umum, identitas mengacu pada siapa atau apa dari seseorang,
sekaligus mengacu pada berbagai makna yang diberikan pada seseorang oleh dirinya sendiri
dan orang lain. Kedua, evaluasi diri (atau harga diri) dapat terjadi pada identitas-identitas
tertentu yang dianut oleh individu atau dapat juga terjadi pada evaluasi holistik tentang diri.
Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri yang mengandung
unsur citra tubuh, peran, identitas pribadi, dan ideal diri merupakan manifestasi dari bentuk
identitas yang dipandang secara konfrehensif untuk mendukung kepribadian.
1. Citra Tubuh
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak
sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi
penampilan, dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan
dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen, 1995).
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang
lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari
lingkungan (Keliat, 1994)
Masalah keperawatan yang mungkin timbul: gangguan citra tubuh dan harga diri =
dari masalah ini, keduanya dapat ditemukan pada klien dengan gangguan fisik,

6
sedangkan klien dengan gangguan jiwa masalah keperawatannya adalah gangguan
harga diri (Keliat, 1994)
2. Ideal Diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan
standar, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart and Sundeen, 1995).
Gangguan ideal diri adalah ideal terlau tinggi, sukar dicapai dan tidak realistis, ideal diri
yang samar dan tidak jelas dan cenderung menuntut. Standar dapat berhubungan dengan
tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai yang ingin
dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma
sosial (keluarga budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan. Ideal diri mulai berkembang
pada masa kanak-kanak yang dipengaruhi orang yang penting pada dirinya yang
memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja, ideal diri akan dibentuk melalui
proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman (Keliat, 1994)
3. Peran
Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang berhubungan
dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap individu mempunyai
berbagai fungsi peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu. Peran adalah sikap
dan perilaku nilai serta tujuan yang akan diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya
di masyarakat (Keliat, 1994). Peran yang ditetapkan adalah peran dimana seseorang tidak
punya pilihan, sedangkan peran yang akan diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih
oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri. Harga diri yang
tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal
diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor tehadap peran karena struktur sosial
yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan
(Keliat, 1994)
4. Identitas
Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan
penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri satu kesatuan
yang utuh ( Stuart and Sudeen, 1995). Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri
yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari
perasaan berharga (aspek diri sendiri), kemampuan, dan penyesuaian diri. Identitas diri
terus berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri.
Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin (keliat, 1994). Identitas jenis
kelamin berkembang sejak lahir secara bertahap dimulai dengan konsep laki-laki dan

7
wanita banyak dipengaruhi oleh pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap masing-
masing jenis kelamin tersebut. Perasaan dan prilaku yang kuat akan identitas diri individu
dapat ditandai dengan:
a. Memandang dirinya secara unik
b. Merasakan dirinya berbeda dengan orang lain
c. Merasakan otonomi: menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima diri, dan
dapat mengontrol diri
d. Mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran, dan konsep diri
6. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1995). Frekuensi
pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang
tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri
diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima
penghargaan dari orang lain (Keliat, 1994). Biasanya harga diri sangat rentan terganggu
pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan
fisik mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri tinggi terkait dengan anxiety yang
rendah, efektif dalam kelompok, dan diterima oleh orang lain. Sedangkan harga diri
rendahterkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan risiko terjadi depresi dan
skizofrenia. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat
terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi yang telah
berlangsung lama) dan dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung (Keliat,
1994).
C. Hubungan Sosial
1. Pengenalan
Hubungan sosial merujuk kepada hubungan timbal balik antara individu yang satu
dengan individu yang lain, saling mempengaruhi berdasarkan kepada kesedaran untuk
saling tolong menolong di antara satu sama lain. Menurut Taneko (1990: 112),
hubungan sosial merujuk kepada adanya interaksi antara individu, individu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok dinamik yang menghasilkan perubahan.
Manakala Weber mengatakan interaksi sosial disebut sebagai tindakan sosial individu
yang secara subjektif diarahkan terhadap orang lain (Jackson, et al., 1988: 214).Oleh

8
itu, hubungan sosial antara individu adalah skop batasan yang ingin dikaji. Terdapat
dua corak hubungan sosial antara individu iaitu:
a. hubungan sosial antara individu dengan keluarga.
b. hubungan sosial antara individu dengan rakan sebaya.
Hubungan sosial antara individu dalam kajian ini merujuk kepada hubungan antara
yang membentuk interaksi sosial dengan keluarga dan rakan sebaya. Dalam aspek ini,
kajian ingin melihat sejauhmanakah corak hubungan sosial yang berkeupayaan
membentuk tingkah laku agresif dalam kalangan .
CORAK HUBUNGAN SOSIAL
Corak hubungan sosial terbahagi kepada dua, iaitu
a) hubungan sosial individu dengan ibu bapa
b) hubunagn sosial Individu dengan rakan sebaya.
Kedua-dua corak hubungan sosial ini memperlihatkan dimensi kekautan hubungan
individu yang membentuk tingkah laku agresif.
2. Hubungan Sosial Individu Dengan Ibu Bapak
Hubungan sosial ini merujuk kepada hubungan interaksi antara pelumba haram
jalanan dengan ibu bapa. Hoghughi (2004) menyatakan bahawa anak-anak sebenarnya
secara aktif membentuk tingkah laku ibu bapa mereka menerusi diri mereka sendiri.
Oleh yang demikian, hubungan ibu bapa dan anak adalah satu proses transaksional.
Menurut Ambert (2001) (dalam Che Hasniza Che Noh, 2006), anak-anak dan ibu bapa
saling mempengaruhi di antara satu sama lain. Menurutnya lagi ciri mereka merupakan
unsur yang penting dalam proses tersebut. Beliau menyatakan bahawa di dalam dunia
yang semakin pesat dengan perkembangan teknologi ini, adalah sukar untuk ibu bapa
memainkan peranan secara total di dalam perkembangan anak-anak, di mana kuasa
sosial seperti rakan-rakan, media massa, budaya popular, politik dan sebagainya telah
mempengaruhi anak-anak dan secaratidak langsung mereka pula akan mempengaruhi
ibu bapa.
Berdasarkan kepada Teori Sistem Keluarga oleh Galvin & Brommel (1996) (dalam
Che Hasniza Che Noh, 2006: 46)), hubungan keluarga adalah bersifat menyeluruh dan
melihat kepada interaksi dan saling bergantungan di antara ahli-ahli di dalam sistem
untuk mengekalkan keseimbangan dan kelangsungan sistem. Teori Sistem Keluarga ini
digunakan untuk menerangkan proses komunikasi yang berlaku dalam keluarga. Selain
itu, berdasarkan kepada Model Belsky (1984) (dalam Che Hasniza Che Noh, 2006),
melihat hubungan di antara ibubapa dan anak secara dua hala iaitu saling mempengaruhi

9
di antara satu sama lain. Belsky (1984) memberi tumpuan kepada aspek gaya
keibubapaan di mana terdapat tiga faktor utama yang akan mempengaruhi proses
tersebut iaitu ciri ibu bapa, ciri anak dan konteks sosial seperti hubungan perkahwinan,
jaringan sosial dan pekerjaan.
3. Hubungan Sosial Individu Dengan Rakan Sebaya
Hubungan sosial ini merujuk kepada hubungan pelumba haram jalanan dengan
rakan sebaya mereka yang mempengaruhi pembentukan personaliti mereka. Rakan
sebaya merupakan sekumpulan remaja yang sama dari segi umur, pendidikan atau kelas
sosial dan minat. Remaja biasanya lebih gemar menghabiskan masa bersama rakan
sebaya mereka. Ahlisosiologi mengistilahkan rakan sebaya sebagai kumpulan kanak-
kanak ataupun kumpulan remaja yang mempunyai lingkungan umur yang sama (Hazil
Abdul Hamid: 1990: 89).
Kumpulan rakan sebaya ini mempunyai peranan dalam aktiviti sosial. Bagi pelumba
haram jalanan, rakan sebaya adalah tempat mereka mencurahkan masalah dan pengganti
ibu bapa, terutamanya bagi golongan yang mempunyai masalah di rumah. Mereka
biasanya akan memilih rakan sebaya yang mempunyai persamaan tingkah laku, sikap
dan identiti dengan mereka (Akers, Jones & Coyle, 1998; Hogue, & Steinberg 1995).
Selain dipengaruhi mereka juga didominasi oleh rakan sebaya (Brown, 1990).

D. Faktor-Faktor Mempengaruhi Hubungan Sosial


1. Imitasi (peniruan)
Imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain
melalui sikap, penampilan, gaya hidup, atau apasaja yang dimiliki oleh orang lain
tersebut. Misalnya seorang anak meniru kebiasaan-kebiasaan orang tuanya, baik cara
berbicara atau tutur kata, cara berjalan, cara berpakaian, dan sebagainya. Proses imitasi
yang dilakukan oleh seseorang berkembang dari lingkup keluarga kepada lingkup
lingkungan yang lebih luas, seperti lingkungan tetangga, lingkungan sekolah,
lingkungan kerja, dan seterusnya, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
pergaulan orang tersebut. Ruang lingkup imitasi menjadi semakin luas seiring dengan
berkembangnya media massa, terutama media audio-visual.Proses imitasi dapat
berlangung terhadap hal-hal yang positif maupun negatif, maka pengaruhnya terhadap
interaksi sosial juga dapat positif maupun negatif. Apabila imitasi berlangsung terhadap
cara -cara atau hal-hal yang positif maka akan menghasilkan interaksi sosial yang
berlangsung dalam keteraturan sebaliknya apabila imitasi berlangsung terhadap cara-

10
cara atau hal-hal yang negatif, maka akan berperan besar terhadap munculnya
prosesproses interaksi sosial yang negatif.
2. Identifikasi (menyamakan ciri)
Identifikasi adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
untuk menjadi sama (identik) dengan seseorang atau sekelompok orang lain.
Identifikasi dapat dinyatakan sebagai proses yang lebih dalam atau lebih lanjut dari
imitasi. Apabila pada imitasi orang hanya meniru cara yang dilakukan oleh orang lain,
maka dalam identifikasi ini orang tidak hanya meniru tetapi mengidentikkan dirinya
dengan orang lain tersebut. Dalam identifikasi yang terjadi tidak sekedar peniruan pola
atau cara, namun melibatkan proses kejiwaan yang dalam. Sebagai contoh: seorang
pengagum tokoh besar, apakah seorang pemikir, tokoh politik, ilmuwan, penyanyi
ataupun bintang film, sebegitu berat kekaguman orang tersebut sehingga tidak hanya
pola atau gaya perilaku tokoh yang dikaguminya yang ditiru,tetapi juga pikiran-pikiran
dan nilai yang didukung sang tokoh. Bahkan,orang tersebut menyamakan dirinya
dengan sang tokoh.
3. Motivasi
Motivasi merupakan dorongan, rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan
oleh seseorang individu atau sekelompok individu kepada individu atau sekelompok
individu lain dan diterima secara rasional, kritis serta bertanggungjawab. Apabila
dibandingkan dengan sugesti, yang membedakan adalah cara penerimaan pengaruh,
dalam sugesti pengaruh diterima secara tidak rasional, pada motivasi pengaruh diterima
dengan pertimbangan akal dan pikiran yang jernih dan kritis. Contoh seorang guru yang
dikenal jujur dan berwibawa memberikan motivasi kepada para muridnya untuk rajin
belajar dan bekerja keras demi meraih prestasi.
4. Empati
Empati lebih dari simpati. Apabila pada simpati hanya melibatkan proses kejiwaan,
maka pada empati proses kejiwaan tersebut diikuti dengan proses organisma tubuh.
Misalnya ketika seseorang mendapatkan teman dekat atau saudaranya mengalami
kecelakaan sehingga luka berat atau meninggal dunia, maka orang tersebut akan ikut
merasakan dan menghayati kecelakaan itu seolah-olah terjadi pada dirinya atau diliputi
perasaan kehilangan yang luar biasa sehingga sampai menitikkan air mata.

11
E. Spiritual
1. Definisi Spiritualitas
Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia
sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar inferioritasnya, mampu
membimbing tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari segala
perbuatan untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya. (dalam
Mahpur&Habib,2006:35). Spiritualitas diarahkan kepada pengalaman subjektif
dari apa yang relevan secara eksistensial untuk manusia. Spiritualitas tidak hanya
memperhatikan apakah hidup itu berharga namun juga fokus pada mengapa hidup
berharga. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang
bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau
material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam
mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari
keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (Hasan, 2006:288)

Carl Gustav Jung mengatakan, “Dari sekian banyak pasien yang saya hadapi,
tak satupun dari mereka yang problem utamanya bukan karena pandangan religius,
dengan kata lain mereka sakit karena tidak ada rasa beragama dalam diri mereka,
apalagi semuanya sembuh setelah bertekuk lutut di hadapan agama.” (dalam Ihsan,
2012:9). Ternyata, kemudian ilmu pengetahuan dan agama keduanya merupakan
kunci berharga untuk membuka pintu rumah berharga dunia untuk mengetahui Dia
sebagai Pencipta. (Piedmont, 1999:985)

Menurut Fontana&Davic, definisi spiritual lebih sulit dibandingkan


mendefinisikan agama atau religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog
membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spiritual mempunyai beberapa
arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau
menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai
faktor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan
psikologi, (dalam Tamami,2011:19).

Secara terminologis, spiritualitas berasal dari kata “spirit”. Dalam literatur


agama dan spiritualitas, istilah spirit memiliki dua makna substansial, yaitu:

a. Karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-masing saling


berkaitan, serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut yang

12
merupakan dasar utama dari keyakinan spiritual. “Spirit” merupakan bagian
terdalam dari jiwa, dan sebagai alat komunikasi atau sarana yang
memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan.
b. “Spirit” mengacu pada konsep bahwa semua “spirit” yang saling berkaitan
merupakan bagian dari sebuah kesatuan

Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa
latin „Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti
bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki
nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang
lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang
bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan
diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian
esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (dalam
Tamami, 2011:19).

Spiritualitas kehidupan adalah inti keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas


adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan
nasib. (Hasan, 2006:294).

Pada penelitian-penelitian awal, baik spiritualitas maupun agama sering


dilihat sebagai dua istilah yang memiliki makna yang hampir sama. Apa yang
dimaksud dengan spiritualitas dan apa yang dimaksud dengan agama sering
dianggap sama dan kadang membingungkan. Namun kemudian, spiritualitas telah
dianggap sebagai karakter khusus (connotations) dari keyakinan seseorang yang
lebih pribadi, tidak terlalu dogmatis, lebih terbuka terhadap pemikiran-pemikiran
baru dan beragam.
Sedangkan, menurut Wigglesworth (dalam Schreurs:2002), spiritualitas
memiliki dua komponen yaitu vertikal dan horizontal:
a. Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu,
sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan
untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.
b. Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet secara
keseluruhan.

Ahli lain menyebutkan definisi lain terkait spiritualitas, yakni spiritualitas


merupakan pencarian terhadap sesuatu yang bermakna (a search of the sacred).
(Synder&Lopez,2005).
13
Spiritualitas merupakan terjemahan dari kata ruhaniyah. Ruhaniyah itu sendiri
secara kebahasaan berasal dari kata ruh. Al Qur‟an menginformasikan bahwa ruh
manusia ditiupkan langsung oleh Allah setelah fisik terbentuk dalam rahim.
(Aman, 2013:22).

Menurut Aman (2013:20), Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang
berhubungan dengan spirit, sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi
yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan
Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin terdapat
kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama , tetapi memiliki
penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat merupakan ekspresi dari
kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi
dalam pandangan hidup seseorang,dan lebih dari pada hal yang bersifat inderawi.
Salah satu aspek dari menjadi spiritual adalah memiliki arah tujuan, yang secara
terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari
seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam
semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indera,
perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa aspek spiritual memiliki dua
proses, pertama proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang
mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan, kedua proses ke bawah yang
ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal.
Konotasi lain perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya
kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar
melalui pengalaman dan kemajuan diri

14
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengkajian Pasien

No Nama Genogram Konsep Hubungan Spiritual


(Inisial) Diri Sosial
1 Ny. L a. Komunikasi : Pasien mengatakan a. Orang yang Pasien mengatakan
komunikasi pasien suka dengan semua paling dekat : agama yang
adalah komunikasi apa yang ada di Pasien mengatakan dianutnya adalah
dua arah bagian tubuhnya, orang yang dapat agama Islam dan
b. Pengambilan pasien mengatakan mengerti dirinya tidak menyalahkan
keputusan : dalam sebelum dirawat di hanyalah ibu dan apa yang terjadi
pengambilan rsj merupakan ibu suami karena klien sekarang adalah
keputusan saat pasien rumah tangga yang takut memberikan kehendak Tuhan
ada masalah pasien berperan mengurus kepercayaan dengan keadaan
mendiskusikan dan rumah namun kepada orang lain saat ini, pasien
dibantu oleh keluarga pasien mengeluh karena hanya bisa berdoa minta
c. Pola asuh : pada saat tidak bisa bekerja menjelekan dirinya supaya diberikan
pasien kecil dia sekarang, dan itu b. Kelompok : kesembuhan dan
diperbolehkan mengganggu Pasien mengatakan kembali
melakukan apa saja perannya sebagai dirinya dulu pernah beraktivitas
yang dia mau akan seorang wanita ikut dalam kembali seperti
tetapi tetap ada karena pasien perkumpulan ibu- biasa. Dan ini
batasan diberikan dianggap sakit dan ibu di sekitar terakhir kali masuk
(demokratis) tidak bisa rumahnya dan ikut ke rsj. Pasien
melakukan kegiatan ekstra mengatakan sering
pekerjaannya diluar rumah malakukan ibadah
seperti biasa namun saat ini sholat dengan
sebelum sakit, pasien tidak dapat harapan pasien bisa
pasien sekarang di terima lagi cepat pulang dan
merasa sedih karena ibu-ibu berkumpul dengan
karena tidak ada merasa bahwa keluarga.
lagi yang percaya pasien dapat
dan menerima membahayakan
dirinya bekerja anggota yang
setelah sakit lainnya.
2 Ny. W a. Komunikasi : dalam Pasien merasakan a. a. Orang yang Pasien mengaku
keluarga pasien lebih senang dengan paling dekat: kalau tuhan itu ada,
sering berkomunikasi badannya yang terdekat pasien adalah dan bisa
dan terbuka pada dimiliki sekarang, dilibatkan oleh ibu menyembuhkan
ibunya (satu arah). Pasien dahulu karena orang yang penyakitnya yang
b. Pengambilan bekerja disebuah terdekat yang bisa di alami sekarang,
keputusan : jika toko rumah makan diajak curhat. pasien selalu sholat
pasien mengalami dan pasien setiap b. b. Kelompok: pasien dan berdoa agar
suatu masalah pasien bulan dapet gaji mengatakan sebelum cepat sembuh dan
dan uangnya buat dirawat di rsj pasien bisa bekerja

15
berdiskusi sama jajan sama pernah mengikuti kembali, bisa
ibunya. keluarganya, dan kegiatan perkumpulan berkumpul sama
c. Pola asuh : Pola asuh sekarang pasien ibu-ibu pkk ibu dan anaknya
klien mengatakan tidak bekerja dirumah. Pasien
mendapat pola asuh karena pasien melaksanakan
pada saat pasien kecil mengalami ibadah sholat
dia diperbolehkan perawatan di rsj, terkadang di
melakukan apa yang pasien senang mushola, terkadang
dia mau tetapi tetap dengan perannya sholat sendiri
ada batasan sebagai ibu dan rumah.
(demokratis) pasien memiliki 1
anak perempuan
berumur 7 tahun,
pasien selalu
berdoa agar
diberikan
kesembuhan dan
bisa bekerja lagi,
saat masih sehat
pasien pernah ikut
ibu-ibu pkk dan
sekarang pasien
tidak mengikuti
ibu-ibu pkk lagi
karena pasien
sedang dalam
perawatandi rsj.
3 Ny. D a. Komunikasi : pasien Pasien merasakan c. Orang yang Pasien mengatakan
sering berkomunikasi senang dengan paling dekat : tuhan itu ada, pasti
dan terbuka pada badannya yang Pasien mengatakan tuhan bisa
dimiliki sekarang, orang yang dapat menyembuhkan
adeknya dan bu dhe
Pasien Cuma mengerti dirinya penyakit yang
(dua arah). bersih-bersih hanyalah ibu nya, diderita saat ini,
b. Pengambilan rumah dan mencuci tapi pada saat ibu pasien hanya
keputusan : dalam piring (ibu rumah nya meninggal minum obat yang
pengambilan tangga), dan yang paling dekat diberikan oleh
keputusan pada saat sekarang pasien sama pasien perawat dan ber
pasien ada masalah tidak bekerja adeknya dan bu dhe do’a agar bisa
karena pasien d. Kelompok : sembuhan dari
pasien mendiskusikan
mengalami Pasien mengatakan penyakitnya.
dan dibantu oleh perawatan di rsj, pada saat di rumah
keluarga pasien selalu tidak pernah
d. Pola asuh : pada saat berdoa agar ngumpul sama
kecil pasien diberikan tetangga (tidak
diperbolehkan kesembuhan dan pernah ikut dalam
melakukan apa saja bisa berkumpul kegiatan pkk),
yang dia mau akan sama keluarga, pasien hanya ke
tetapi tetap ada pada saat ibu rumah bu dhe
batasan diberikan pasien meninggal
(demokratis) pasien merasa

16
bersalah atas
kematian ibunya
4 Ny. K a. Komunikasi : Pasien mengatakan a. Orang yang paling Pasien mengatakan
komunikasi pasien menyukai seluruh dekat : pasien agama yang
dalam keluarga lebih anggota tubuhnya, mengatakan orang dianutnya adalah
pasien mengatakan yang paling dekat Islam dan tidak
sering berkomunikasi
sebelum dirawat di dan berarti adalah menyalahkan
pada ibunya (satu rsj merupakan ibu anak dan Tuhan dengan
arah) rumah tangga yang saudaranya keadaannya saat
b. Pengambilan berperan mengurus b. Kelompok : pasien ini, pasien berdoa
keputusan : dalam rumah dan mengatakan semoga diberikan
pengambilan mengasuh 3 anak. sebelum dirawat kesembuhan. Saat
keputusan saat ada Pasien berharap kadang mengikuti perawatan di rumah
segera pulang ke kegiatan sakit kadang
masalah pasien
rumah dan perkumpulan ibu- menjalankan
mendiskusikan dan berkumpul dengan ibu ibadah solat kadang
dibantu oleh keluarga anaknya tidak karena pasien
c. Pola asuh : pasien lebih banyak
mengatakan dulu saat menghabiskan
kecil diasuh dengan waktu untuk tidur
didikan yang
mengharuskan
mengikuti kemauan
orang tua (otoriter)

5 Ny. A a. Komunikasi : Pasien mengatakan e. Orang yang Pasien mengatakan


Komunikasi pasien suka dengan semua paling dekat : sakit yang diderita
adalah komunikasi 2 bagian tubuhnya Pasien mengatakan ini adalah karena
arah. namun pasien orang yang dapat hukuman dari tuhan
b. Pengambilan mengeluh tidak bisa mengerti dirinya agar dirinya lebih
keputusan : bekerja sekarang, hanyalah ibu dan dekat dengan tuhan,
Pasien dalam keluarga dan itu adek kandungnya karena dulu pasien
selalu di ajak mengganggu karena klien takut suka marah-marah
komunikasi dalam perannya karena memberikan dan pasien saat ini
pengambilan pasien dianggap kepercayaan hanya ingin berobat
keputusan dan diajak sakit dan tidak bisa kepada orang lain dan berdoa pada
diskusi dengan suami melakukan karena hanya bisa kepada tuhan
dan anak. pekerjaannya menjelekan dirinya semoga dia diberi
c. Pola asuh : sekarang, pasien f. Kelompok : kesembuhan dari
Pola asuh klien dulu sekarang merasa Pasien mengatakan tuhan, pada saat ini
mengatakan mendapat sedih karena tidak dirinya dulu pernah pasien selalu ingin
pola asuh yang keras ada lagi yang ikut dalam berdoa dan ibadah
dan harus selalu ikut percaya dan perkumpulan ibu- sebisanya
dengan kemauan menerima dirinya ibu di sekitar walaupun dirumah
orang tua (otoriter) bekerja rumahnya namun sakit.
saat ini pasien tidak
di terima lagi
karena ibu-ibu
merasa bahwa

17
pasien dapat
membahayakan
anggota yang
lainnya.
6 Ny. I a. Komunikasi : dalam Pasien tidak a. Orang yang Pasien mengatakan
keluarga pasien lebih mengeluhkan paling dekat : penyakit yang
sering berkomunikasi tentang anggota pasien paling dekat diderita saat ini
dan terbuka pada badan/ penampilan dengan ibunya bukan salah tuhan.
ibunya (satu arah) fisiknya, dia b. Kelompok : Kadang waktu
b. Pengambilan menerima perannya dimasyarakat melamun pasien
keputusan : di dalam sebagai seorang ibu pasien mengikuti berdoa kepada
keluarga pada saat ada yang memiliki 2 perkumpulan tuhan supaya cepat
masalah keluarga / anak dan seorang pengajian ibu-ibu, keluar dari rsj
pun ingin mengambil istri. Pasien pasien berharap karena sudah
keputusan pasti mengatakan ingin semoga para kangen dengan
didiskusikan terlebih bekerja tetapi tidak tetangga tidak anaknya dirumah.
dahulu memiliki keahlian mengucilkannya
c. Pola asuh : pada saat khusus. karena dia pernah
pasien kecil dia mondok di rsj.
diperbolehkan
melakukan apa yang
dia mau tetapi tetap
ada batasan
(demokratis)

18
B. Pembahasan
1. Genogram
a. Dari hasil data pengkajian pada 6 pasien diruang 3 Citro Anggodo RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah dapat disimpulkan bahwa dalam
berkomunikasi 3 psien pada komunikasi 2 arah dan 3 pasien pada komunikasi 1
arah dan hal ini terlihat bahawa pasien yang komunikasi 1 arah cendrung tertutup
dengan orang baru yang akan berkenalan dengannya pasien cendrung curiga
dengan orang baru di sekitarnya.
b. Pada tahap pengambilan keputusan rata-rata pasien di ruang 3 citro anggodo
selalu diajak dalam melakukan pengambilan keputusan dan bersifat terbuka saat
ada masalah yang membutuhkan keputusan bersama namun 3 diantaranya
mengatakan saat mengemukakan solusi atau pendapatnya sering di bantah dan
tidak di pakai dalam hasil keputusan pasien mengatakan terkadang hatinya sakit
seperti tidak di hargai dan di sepelekan oleh keluarga.
c. Pada poin pengkajian pola asuh pasien terdapat 2 pasien dengan pola asuh yang
otoriter dan 4 diantaranya mendapat pola asuh secara demokratis, terdapat
perbedaan karakter pasien antara jenis pola asuh otoriter dengan demokratis yaitu
pada pola asuh otoriter kecendrungan pasien menjadi pendiam dan terlihat kurang
berani dalam mengemukakan pendapatnya sedangkan pasien yang dulunya
mendapat pola asuh demokratis pasien cendrung lebih terbuka dan mampu
mengemukakan pendapatnya secara jelas dan lebih tenang dan pasien yang
mendapat pola asuh secara otoriter mengatakan takut salah saat mengemukakan
pendapatnya.
2. Konsep diri
a. Pada poin konsep diri semua pasien di ruang 3 citro anggodo mengatakan senang
dan menerima keadaan tubuhnya yang sekarang, namun pasien saat ini mengeluh
tidak berguna bagi keluarga lantaran mereka yang dulunya bekerja dan sekarang
harus berhenti bekerja dan ada pula pasien yang mendapat penolakan di tempat
kerjanya dikarenakan penyakit yang di derita pasien saat ini ada juga yang
sekarang mengeluh tidak bisa mendapat uang/ bekerja seperti biasanya lantaran
saat ini pasien sedang menjalani perawatan di RSJD pasien berharap saat dirinya
sudah sembuh nanti ada pekerjaan yang mau menerima dan menanmpung mereka

19
bekerja sehingga mereka bisa mendapat pendapatan dan tidak menyusahkan
orang lain dalam hidupnya.
3. Hubungan Sosial
a. Pada pengkajian orang terdekat yang dimiliki pasien menjawab semuanya
memiliki orang terdekat dan orang yang dapat dipercaya, antara lain orang yang
dapat dipercaya adalah ayah,ibu ataupun saudara kandung yang dimiliki oleh
pasien karena hanya mereka yang dapat mereka percaya dan menjadi tempat
berkeluh kesah.
b. Kelompok sosial
Pada pengkajian ini semua pasien dulunya mempunyai perkumpulan ataupun
adanya hubungan dengan orang sekitarnya namun saat pasien mengalami sakit
seperti ini ada juga pasien yang mengalami penolakan karena keadaan pasien saat
ini rata-rata masyarakat sekitar takut pada pasien karena terkadang mereka suka
marah tanpa sebab dan pasien berharap saat mereka sembuh nanti dapat
berkumpul dan bersosialisai dengan tetangga sekitar dan tidak ada yang menghina
atau mencaci maki mereka dalam bersosialisasi.
4. Spiritual
Pada pengkajian spiritual pasien mengatakan bahwa yang dialami sekarang adalah
ujian yang harus dilalui dan pasien sadar bahwa kesembuhan hanya milik allah, pasien
saat ini sedang berikhtiar menjalani pengobatan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Provinsi Jawa Tengah, pasien saat menjalani pengobatan juga tidak lupa menjalankan
ibadah dan berdoa sesuai kemampuannya karena pasien sadar bahwa kesembuhan
mereka juga dapat dilakukan dengan berdoa meminta kesembuhan pada tuhan agar
pengobatan yang mereka jalani dapat segera menemukan kesembuhannya.

C. Keterkaitan Jurnal
1. Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu
dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun
antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol
diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka
yang menggunakannya Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat
manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut

20
bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara
seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun
dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang
dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan
interpretative process Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau
kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap
pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu
informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan.
Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi
dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi
dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki
seorang individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di
sini dapat meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi ruang dan
dimensi waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi dari W.I. Thomas. Hall membagi
ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi,
jarak sosial, dan jarak publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga menjelaskan
aturan mengenai Waktu. Pada dimensi waktu ini terlihat adanya batasan toleransi waktu
yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang terakhir adalah dimensi situasi
yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi situasi merupakan penafsiran seseorang
sebelum memberikan reaksi. Definisi situasi ini dibuat oleh individu dan masyarakat.
2. Spiritual
Tujuan dari peranan agama dalam kesehatan jiwa adalah untuk mengembalikan
keadaan kejiwaan yang terganggu agar bisa berfungsi kembali dengan optimal sehingga
bisa merasa dirinya lebih sehat mental. Ajaran spiritual Islam sangat erat dengan
kesehatan jiwa. Spiritualitas Islam dan kesehatan jiwa sama-sama berhubungan erat
dengan soal kejiwaan, akhlak dan kebahagiaan manusia. Dalam uraian ini akan
dielaskan secara konseptual pandangan Islam terhadap kesehatan jiwa (Sarwono, 2009:
77). Konsep-konsep Islam tentang kesehatan jiwa antara lain: Pertama, al-Qur’an
dengan tegas menyatakan dirinya sebagai mau’izah dan syifa’ bagi jiwa yakni obat bagi
segala penyakit hati yang terdapat dalam diri. Dalam surat Yunus: 57, Allah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat

21
bagi orang yang beriman.” Ayat ini menggambarkan bahwa agama berisikan terapi bagi
gangguan jiwa. Bukankah penderita batin biasanya akan menyesakkan dada seperti
tersirat di dalam surat di atas. Ada lagi ayat-ayat yang lain yang sejalan dengan ayat di
atas. Diantaranya (Qs. al-Isra’: 82) artinya : “Dan kami turunkan dari al-Qur’an suatu
yang menjadi penawar dan Rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. Kedua, agama
Islam memberikan tugas dan tujuan bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Misalnya, tugas dan tujuan hidup manusia di dunia ditegaskan al-Qur’an sebagai
beribadah (dalam arti luas) kepada Allah swt. (Qs. al-Zariyat: 56) yang artinya : “Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku”. dan menjadi khalifahnya di bumi (Qs. al-Baqarah: 30). Yang artinya : Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di bumi”. Mereka berkata : “Mengapa engkau hendak
menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman : “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui”. Dengan melaksanakan konsep ibadah dan kekhalifahan, orang
dapat menumbuhkan dan mengembangkan potensi jiwa dan memperoleh kesehatan
mentalnya. Ketiga, Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya berlaku sabar dan
menjalankan shalat dalam menghadapi musibah dan cobaan (Qs. Al-Baqarah: 153).
Yang artinya: “Dan ingatlah ketika kami berjanji kepada Musa (Memberikan Taurat,
sesudah) empat puluh malam, lalu kami menjadikan anak lembu (sembahan)
sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim”. Dengan bantuan sabar dan
shalat orang dapat menghadapi kesulitan hidupnya dengan jiwa tenang dan lapang.
Keempat, ajaran Islam menganjurkan agar manusia selalu berdzikir kepada Allah
karena dengan dzikir itu hati akan tenang dan damai (tadma’inul qulb). Dengan metode
berdzikir atau bermeditasi segala persoalan-persoalan duniawi disandarkan kepada
Allah, zat yang mengatasi segalanya. Kelima, ajaran Islam memberikan pedoman
dalam urusan duniawi (harta-benda-kekayaan) supaya manusia selalu melihat ke bawah
tidak ke atas. Karena tidak sedikit penyakit jiwa itu muncul dari tuntunan duniawi yang
selalu ingin lebih. Dengan melihat ke bawah ia akan merasa cukup dan bersyukur
kepada Allah dengan apa yang telah dimilikinya. Keenam, Allah tidak memandang
manusia itu hanya dari dusut fisik semata tetapi lebih pada hatinya dan pikirannya.
Sehingga Islam menganjurkan agar selalu hidup bersih, berbaik hati dan menghindari

22
perbuatan-perbuatan yang bisa mengotori hati dan pikiran. Ketujuh, Ajaran Islam
membantu orang dalam menumbuhkan dan membina pribadinya yakni melalui
penghayatan nilai-nilai ketaqwaan dan keteladanan yang diberikan Muhammad saw.
Kedelapan, Ajaran Islam memberikan tuntunan kepada akal agar benar dalam berpikir
yakni melalui wahyu. Kesembilan, Ajaran Islam memberikan tuntunan bagi manusia
dalam mengadakan hubungan baik dengan orang lain dengan alam dan lingkungan,
seperti ajaran yang terdapat dalam Syari’at, Aqidah dan Akhlak serta hubungan dengan
Allah dan dirinya sendiri. Sepuluh, Ajaran Islam berperan dalam mendorong orang
untuk berbuat baik dan taat serta mencegahnya dari berbuat jahat dan maksiat.
Kesebelas, menurut Islam, hakekat manusia sesungguhnya bukan terletak pada
pemenuhan kebutuhan jasmaninya melainkan kebutuhan rohani (spiritualnya).
Kebutuhan jasmani dipenuhi sebagai sarana menunjang tercapainya kebutuhan rohani.
Melihat uraian di atas pandangan Islam dapat membantu orang dalam mengobati
jiwanya dan mencegahnya dari gangguan kejiwaan serta membina kondisi kesehatan
mental. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran Islam orang dapat memperoleh
kebahagiaan dan kesejahteraan jiwa atau mentalnya. Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ajaran Islam berhubungan erat dengan soal-soal kejiwaan dan
kesehatan mental. Ajaran Islam adalah paling utamanya jalan bagi perawatan jiwa dan
pengobatan gangguan penyakit jiwa serta membina dan mengembangkan kehidupan
jiwa manusia karena Islam adalah fitrah dan dimensi kehidupan spiritual manusia yang
teramat penting (Musbikin, 2005: 29).

3. Pola asuh

Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku anak adalah sikap orang
tua terhadap anak. Sikap orang tua atau pola-pola pengasuhan orang tua terhadap anak
merupakan faktor yang sangat menentukan perkembangan kepribadian anak. Pola asuh
adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu
ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi.
Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar
artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses
perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan
penting dalam pembentukan kepribadian adalah tipe pola asuh keluarga. Hal tersebut

23
dikuatkan oleh pendapat Nurdiana (2007) yang mengatakan bahwa keluarga adalah
lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak. Orang tua mempunyai
berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya.
Dalam mengasuh anaknya orang tua diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam
memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin
dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena setiap orang tua
mempunyai tipe pola asuh tertentu. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam
keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-
anaknya. Pola asuh keluarga memiliki sumbangan terhadap perkembangan tingkah laku
individu (anak) ialah keluarga khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanak-
kanak) sampai masa remaja. Penggunaan tipe pola asuh tertentu memberikan
sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap psikologis anak. Pola asuh orang
tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan
pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan
norma-norma. Menurut Friedman (1998) menyatakan bahwa pola asuh merupakan
sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi
cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua
menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan
terhadap anaknya.

24
BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan
individu yang lain, atau sebaliknya. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi
apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak
sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu antara orang perorangan, antara orang
perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, antara suatu kelompok
manusia dengan kelompok manusia lainnya. Komunikasi adalah bahwa seseorang yang
memberi tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah
atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang
yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin
disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui
oleh kelompok lain atau orang lain. Hal ini kemudian merupakan bahan untuk
menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. Bentuk-bentuk interaksi sosial ada
yang disebut Proses Asosiatif (Processes of Association) dan Proses Disosiatif
(Processes of Dissociation). Yang termasuk proses asosiasi adalah (1) Kerja Sama
(Cooperation), yang mempunyai lima bentuk, yaitu: Kerukunan, Bargaining, Ko-optasi
(Co-optation), Koalisi (Coalition), dan Joint-ventrue. (2) Akomodasi (Accomodation),
yang mempunyai betuk-bentuk: Coercion, Compromise, Arbitration, Mediation,
Conciliation, Toleration, Stalemate, dan Adjudication. (3) Asimilasi (Assimilation).
Yang termasuk proses disosiatif yaitu Persaingan (competition), Kontravensi
(contravention), dan Pertentangan atau pertikaian (conflict). Yang termasuk bentuk
persaingan yaitu Persaingan ekonomi, Persaingan kebudayaan, Persaingan kedudukan
dan peranan, dan Persaingan ras. Yang termasuk ke dalam bentuk kontravensi yaitu
kontravensi yang umum, sederhana, intensif, rahasia, dan taktis. Bentuk-bentuk
pertentangan antara lain: Pertentengan pribadi, Pertentangan rasial, Pertentangan antara
kelas-kelas sosial, Pertentangan politik, dan Pertentangan yang bersifat internasional.
Ada tiga jenis interaksi sosial, yaitu: Interaksi antara Individu dan Individu, Interaksi
antara Kelompok dan Kelompok, dan Interaksi antara Individu dan Kelompok.
Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Ada pelaku dengan jumlah lebih

25
dari satu orang, Ada komunikasi antarpelaku, Ada dimensi waktu, dan Ada tujuan-
tujuan tertentu. Faktor-faktor dalam interaksi sosial yaitu Faktor Imitasi, Faktor
Sugesti, Fakor Identifikasi, dan Faktor Simpati.

26
Daftar Pustaka

Arikunto S. (2006). Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Djamarah, Bahri, Syaiful. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga.

Jakarta : PT. Reneka Cipta

Fathi S. (2011). An Analysis of Factors Affecting the Consumer’s Attitude of Trust and their

Impact on Internet Purchasing Behavior. International Journal of Business and Social

Science Vol. 2 No. 23.

Gunarsa, Singgih. (2000). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. BPK Jakarta:

Gunung Mulia

Hurlock, Elzabeth. B. (1999). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Keliat, B. A, 1994, Gangguan Konsep Diri, Jakarta : EGC

Kemenkes RI. (2014). UU RI No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta:

Kemenkes RI

Mamnu’ah. (2010). Stres dan Strategi Koping Keluarga Merawat Anggota Keluarga yang

Mengalami Halusinasi. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan. Yogyakarta:

Stikes A’isyiyah Yogyakarta

Stuart dan Sundeen. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3 alih bahasa Achir Yani.

S. Jakarta: EGC.

Yusuf, Gunawan. (2007). PADU, Kapita Selekta. Jurnal Anak Usia Dini. Jakarta: PLS

Ditjen Departemen Pendidikan Nasional

27

Anda mungkin juga menyukai