Anda di halaman 1dari 8

STEP 1

1. Epigastrium : nyeri bagiab atas perut


2. Jaundice : peubahan warna kuning pada kulit
3. Kudran kanan : bagian tubuh sebelah kanan
4. Bilirubin : pigmen kekuningan saat sel darah merah pecah
5. Scapula : tulang yg menghubungkan tulang lengan dgn tulang leher
6. Leukosit : sel darah putih

STEP 2
1. Apa penyebab perubahan warna kuning pada kulit ?
2. Diagnosa medis apa yang sesuai dgn kasus ?
3. Apa peran perawat dalam kasus ?
4. Apa penyebab rasa panas di dada seperti terbakar ?
5. Pengkajian apa saja yang dilakukan ?
6. Berapa rentang normal pemeriksaan bilirubin ?
7. Apakah jumlah leukosit pada kasus normal atau tidak ?
8. Apa dignosa keperawatan pada kasus ?
9. Apa yang dapat dilakukan untuk menghilangkan nyeri ?

STEP 3
1. Meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
Bilirubin tidak di proses sebagaimana mestinya karena hati mengalami kerusakan
3. Membantu klien untuk mengurangi rasa nyeri
5. Riwayat kesehatan
Keluhan utama : nyeri epigastrium, nyeri menjalar ke punggung dan nyeri lebih parah saat berbaring
Pemeriksaan fisik : warna kulit dan sklera
Pemeriksaan diagnostik : tes leukosit dan tes bilirubin
6. Nilai normal 0,1 – 1,2 mg/dl
7. Jumlah leukosit tidak normal, pada orang dewasa normalnya 4500 – 10000/mm3
8. Nyeri akut, perubahan citra tubuh
9. Diajarkan relaxasi atau nafas dalam
Penggunaan obat

STEP 4
Tanda gejala : nyeri pada epigastrium, rasa terbakar pada dada, nyeri kuadran kanan menjalar ke scapula
Nyeri di epigastrium dipengaruhi oleh bilirubin yang tidak normal, sehinggal menyebabkan nyeri
Diagnosa medis : Colelitiasis

STEP 5
TU : mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatn colelitiasis
TK : mahasiswa mampu :
1. Menjelaskan definisi colelitiasis
2. Menyebutkan etiologi colelitiasis
3. Menjelaskan patofisiologi colelitiasis
4. Menyebutkan manifestasi klinis colelitiasis
5. Menyebutkan penatalaksanaan colelitiasis
6. Menyebutkan pengkajian fokus colelitiasis
7. Menyebutkan diagnosa colelitiasis
8. Menyebutkan fokus intervensi rasional colelitiasis
STEP 6
1. Definisi
Kolelitiasis adalah pembentukan batu empedu yang biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari
unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu (Brunner & Suddarth, 2001).
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu kolesterol, bilirubin, garam
empedu, kalsium, protein, asam lemak dan fosfolipid (Price & Wilson, 2005).
Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk oleh colesterol, kalsium, bilirubinat atau campuran yang
disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu ( Marlyn E Doengoes, 2000)
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu.
Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks
inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol
dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).

2. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic), 22%
fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum
diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan
oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen
utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu
menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di
luar empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain :
a. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
b. Usia lebih dari 40 tahun .
c. Kegemukan (obesitas).
d. Faktor keturunan
e. Aktivitas fisik
f. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
g. Hiperlipidemia
h. Diet tinggi lemak dan rendah serat
i. Pengosongan lambung yang memanjang
j. Nutrisi intravena jangka lama
k. Dismotilitas kandung empedu
l. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
m. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung
empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
n. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang Afrika)

3. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi,
(2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan.
Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu
pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid
(terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut
dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid
yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan
lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi
lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol. Pada
tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan
membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen
parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih
pengkristalan. (Schwartz S 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat,
karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam
empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak
terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang
akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak
terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan
bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.

Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu



Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase

Presipitasi / pengendapan

Berbentuk batu empedu

Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
4. Manifestasi
(Fransisca, 2009)
a. Nyeri
Nyeri (60%) bersifat kolik, mulai daerah epigastrium kanan dan menjalar ke bahu kanan.
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, maka kandung empedu akan mengalami distensi
dan infeksi . Sehingga pasien akan mengalami panas dan teraba massa padat pada abdomen. Pasien
akan dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang
menjalar kepunggung.
Rasa nyeri diserta dengan rasa mual dan muntah dan bertambah hebat saat makan makanan
dalam porsi besar. Serangan kolik bilier disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersembatnya saluran empedu. Dalam keadaan distensi, bagian
fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah katilago kosta 9-10 kanan.
Nyeri tekan yang mencolok ketika passien melakukan inspirasi dalam dan pengembangan rongga
dada (Murphy sign)
b. Demam
Demam timbul jika terjadi keradangan ( kolesistitis /kolangitis).
c. Ikterus
Ikterus obstrksi terjadi bila ada batu yang menyumbat saluran empedu utama (duktus hepatikus/
koledukus). Akibatnya getah empedu yang tidak lagi dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh
darah dan penyerapan ini akan menimbulkan kulit dan mukosa berwarna kuning disertai gejala
gatal-gatal pada kulit.
d. Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin akan berwarna sangat gelap. Feses yang
tidak diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu dan pekat disebut “clay-colored”.
e. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu akan mengganggu absorbsi vitamin ADEK yang larut lemak. Oleh karena
itu pasien akan memperlihatkan gejala defisiensi vitamin. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu
pembekuan darah yang normal.

5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Nonbedah
1) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus
ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika
kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :
a) Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
b) Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c) Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
d) Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
e) Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2) Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan
oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena
efek samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis,
terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5
tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi nonoperatif
diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung
empedu baik dan duktus sistik paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada
anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
3) Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol dengan
memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui
hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl
eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol
yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan
adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu
4) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave)
yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG
2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat pada
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
5) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke
dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang
di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat
b. Penatalaksanaan Bedah
1) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris
yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari
0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
2) Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar
90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang
dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk
operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu
diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini
pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.
c. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Meredakan nyeri
2) Memperbaiki status nutrisi
3) Pengaturan diet TKTP, rendah lemak
4) Support Mental pada pre operasi

6. Pengkajian Fokus
a. Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada individu yang berusia
di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun. Dan wanita mempunyai resiko 3 kali
lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya
keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual
muntah.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau
provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana
nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu
posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time
(T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut. Klien sering mengalami nyeri di ulu
hati yang menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai dengan mual dan
muntah.
3) Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya.
Klien memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu
pun tinggi.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis. Penyakit
kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok manusia yang memiliki
pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
5) Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan mempercayakan sepenuhnya
dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal cepat
sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul sehubungan telah dilakukan
tindakan cholesistektomi.
6) Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena kolelitiasis dipengaruhi
oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak baik.
c. Pemeriksaan fisik
1) B1 : Peningkatan frekuensi pernafasan, pernafasan tertekan ditandai nafas pendek dan
tertekan.
2) B2 : Takikardi, demam, resiko perdarahan karena kekurangan vitamin K
3) B3 : Nyeri pada perut kanan atas menyebar ke punggung atau bahu kanan. Gelisah
4) B4 : Urine gelap pekat
5) B5 : Distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, feses warna seperti tanah liat.
6) B6 : Kelemahan, ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus)
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Kenaikan serum kolesterol, fofolipid, protrombin, serum time, bilirubin total, transminase, sel
darah putih, serum amilase (bila pangkreas terlibat atau bila ada batu di duktus utama).
Penurunan ester kolesterol, urobilirubin.
2) Radiologi
a) USG : mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledukus yang mengalami
dilatasi.
b) Kolesistografi : mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya.
c) Sonografi : Mendeteksi apakah dinding kandung empedu telah menebal.
d) ERCP : menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisasi serta
pecabangan bilier.

7. Diagnosa
Analisa data
DS : Pasien mengeluh nyeri di daerah epigastrium
DO : -
Etiologi :
Sumbatan empedu / koleltiasis

Aliran balik cairan empedu ke hepar

Proses radang di sekitar hepatobilier

Infeksi

MK : Nyeri
Diagnosa keperawatan
Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus, proses inflamasi, iskemia
jaringan/nekrosis.
8. Intervensi Rasional
a. Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik).
Rasional : membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang
kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi.
b. Catat respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang.
Rasional : nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan terjadinya
komplikasi/kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut.
c. Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
Rasional : tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien
akan melakukan posisi yang menghilangkan nyeri secara alamiah.
d. Control suhu lingkungan.
Rasional : dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit.
e. Dorong menggunakan tehnik relaksasi, contoh : bimbingan imajinasi, visualisasi, latihan nafas
dalam, berikan aktivitas senggang.
Rasional : meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian, dapat meningkatkan koping.
f. Sediakan waktu untuk mendengar dan mempertahankan kontak dengan pasien sering.
Rasional : membantu dalam menghilangkan cemas dan memusatkan kembali perhatian yang dapat
menghilangkan nyeri.
g. Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : menghilangkan reflex spasme/kontraksi otot halus dan membantu dalam manajemen
nyeri.

Anda mungkin juga menyukai