Parent-Child Relationship
FAKULTAS PSIKOLOGI
2023
Menurut psikolog sosial, keluarga dapat didefinisikan sebagai kelompok sosial
mendasar dalam masyarakat yang biasanya terdiri dari satu atau dua orang tua dan
keluarga dan dinamika interaksi keluarga. Di sebagian besar budaya, sosialisasi awal
terjadi dari konteks keluarga, lebih khusus interaksi orangtua-anak (Grusec, 2011).
umum, ada dua jenis utama keluarga: Nuklir (terdiri dari seorang ibu, ayah, dan anak-
anak mereka), dan Keluarga Extended (terdiri dari lebih banyak kerabat, termasuk
orang tua, anak, sepupu, bibi, paman, kakek nenek, anak asuh, dll.). Bentuk keluarga
berpusat pada sosial. Keluarga yang berpusat pada orang dicirikan oleh tingkat
perhatian yang tinggi yang diberikan pada kepribadian anak dan dunia batinnya,
penghargaan terhadap kebutuhan dan nilai-nilainya, dan penerimaan tanpa syarat atas
kemungkinan lebih besar untuk mengabaikan kebutuhan dan nilai anak, hubungan yang
lebih ambivalen dan penerimaan anak hanya jika dia berbagi sudut pandang orang tua
(Orlov, 1996). Keluarga yang berpusat pada sosial sangat memperhatikan peran sosial
setiap anak dalam keluarga, sedangkan pada keluarga yang berpusat pada pribadi;
orang tua dan anak; Artinya, ikatan pernikahan yang kuat mengarah pada hubungan
Aspek mendasar dari struktur keluarga yang tidak bisa ditinggalkan ketika
hubungan sosial dan kebutuhan untuk semua hubungan. Ini melibatkan mendengarkan,
hubungan antara orang tua dan anak-anak, itu membuat interaksi antara orang tua dan
anak-anak kuat dan efektif, dan itu berkontribusi secara signifikan untuk menciptakan
pemahaman dan saling menerima antara orang tua dan anak-anak. Artinya semakin
banyak orang tua berkomunikasi dengan anaknya, semakin banyak anak meningkatkan
sekitarnya). Ngai dkk. (2013), menyatakan bahwa komunikasi sangat penting dalam
interaksi orang tua-anak, terutama jika orang tua ingin menemukan cara yang lebih
Oleh karena itu, komunikasi orangtuaanak yang baik yang penuh dengan kepercayaan
dan rasa hormat dapat meningkatkan otonomi anak dan memberikan dukungan yang
memadai bagi mereka untuk menyelesaikan tugas perkembangan selama masa remaja
lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua, sebab hal itu menjadi acuan dalam
interaksi sosial selanjutnya. Jika hubungan anak dengan orang tua di awal masa
hidupnya tidak terjalin secara positif, bisa saja mempengaruhi hubungan dan perilaku
anak ketika dewasa. Seiring dengan perkembangan keterampilan anak, anak juga perlu
mulai diajarkan cara-cara mengembangkan regulasi diri dan emosi, mulai dari
mengenal emosi, membicarakan emosi, dan mengontrol tingkah laku yang didorong
kenyakinan pada keluarga, dalam arti kerangka konseptual dan pola pikir anak tidak
Satu hal yang sangat penting dilakukan orangtua adalah membina interaksi
dengan anak secara berkualitas. Interaksi yang berkualitas tertampil dari sikap, cara
bicara dan tingkah laku orangtua dalam berinteraksi dengan anak. Sebaliknya, bila
orangtua memperlakukan anak dengan sikap dan cara bicara yang kasar (berteriak,
mengomel dan mengancam) dan dengan menampilkan tingkah laku agresi fisik
dan hiperaktif pada anak. Orang tua dapat membantu anak untuk menciptakan
kepada anak untuk melakukan berbagai aktivitas yang sudah dapat dilakukannya
sendiri, namun tetap memberi batasan tegas yang dikaitkan dengan norma dan nilai-
nilai tersebut. Anak belajar bahwa ada rambu-rambu yang harus dipatuhi agar ia dapat
diterima oleh lingkungan sekitarnya dengan baik, dengan demikian anak dapat menjadi
individu yang selain mandiri, terampil, juga bertanggung jawab dan tetap menikmati
hidup
Model-model Pola Asuh Orang Tua Metode pola asuh yang digunakan oleh
orang tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan karakter
seorang anak. Ada banyak jenis-jenis pola asuh yang sering menjadi pedoman bagi
siapa saja yang ingin mencetak generasi paripurna untuk diandalkan bagi kemajuan
bangsa ke depan. Jenis pola asuh orang tua ini masing-masing memiliki karakteristik
dan ciri khas yang berbeda. Berkaitan dengan jenisjenis pola asuh orang tua, Baumrind
mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis yaitu pola asuh (a) otoriter
(permissive).
Tiga jenis pola asuh menurut Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh
menurut Hurlock, juga Hardy & Heyes, yaitu: (a) pola asuh otoriter, (b) pola asuh
demokratis, (c) pola asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orang tua
membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh dan tidak boleh bertanya. Pola
asuh demokratis mempunyai ciri orang tua mendorong anak untuk membicarakan apa
yang diinginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak
hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak
untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh yang permisif (yang
cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda
dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk
terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter
anak. Artinya jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya
kebijakan, langkah dan tugas yang harus dijalankan. Sebagaimana diketahui pola asuh
otoriter mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan cenderung
diskriminatif. Hal ini ditandai dengan tekanan anak untuk patuh kepada semua perintah
dan keinginan orang tua, kontrol yang sangat ketat terhadap tingkah laku anak, anak
kurang mendapatkan kepercayaan dari orang tua, anak sering di hukum, apabila anak
mendapat prestasi jarang diberi pujian atau hadiah. Baumrind menjelaskan bahwa pola
asuh orang tua yang otoriter ditandai dalam hubungan orang tua dengan anak tidak
hangat dan sering menghukum. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai
dengan cara mengasuh anak-anak dengan aturan yang ketat, sering kali memaksa anak
untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri
sendiri dibatasi, anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita,
Orang tua malah menganggap bahwa semua sikap yang dilakukan itu sudah
benar sehingga tidak perlu minta pertimbangan anak atas semua keputusan yang
mengangkat permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga
ditandai dengan hukuman hukuman yang dilakukan dengan keras, anak juga diatur
dengan berbagai macam aturan yang membatasi perlakuannya. Perlakuan seperti ini
sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak
dewasa. Menurut Abdul Aziz Al Qussy yang dikutip Oleh Chabib Thoha mengatakan
bahwa kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, akan tetapi Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang,
sentuhan dan kedekatan emosi orang tua - anak sehingga dan anak seakan memiliki
dinding pembatas yang memisahkan antara “si otoriter” (orang tua) dan “si patuh”
(anak).
Dampaknya: muncul perilaku agresif sangat tinggi atau sangat rendah, cemas
dan mudah putus asa, penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, berkepribadian
lemah, cemas dan terkesan menarik diri, membangkang, tak dapat merencanakan
sesuatu, tingkah laku pasif dan cenderung menarik diri, sehingga menjadikan anak
tidak mandiri
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap
kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang
tua. Sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi
menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri .Anak diberi kesempatan untuk
mengembangkan kontrol internal nya sehingga asedikit demi sedikit berlatih untuk
Pola asuh ini akan menghasilkan anak yang mempunyai kompetensi sosial dan
rasa percaya diri yang tinggi, kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan kognitif
orang tua tidak memberikan hukuman dan pengendalian. Pola asuh ini ditandai dengan
adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya
sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan kepada anak,
diri, selalu hidup bergantung, salah bergaul, rendah diri, nakal, kontrol diri buruk,
antisosial
tingkah laku orangtua menerima dan menghadapi tingkah laku anaknya yang
dinilai tidak sesuai dengan pola tingkah laku yang diharapkan orangtua.
Tuntutan terhadap tingkah laku yang matang adalah bagaimana tingkah laku
Komunikasi antara orangtua dan anak adalah bagaimana usaha orangtua dalam
Salah satu aspek dari gaya pengasuhan yang telah muncul dalam studi terbaru
yang berkaitan dengan kesejahteraan anak berpusat pada kemampuan beberapa orang
tua untuk mengembangkan bentuk interaksi timbal balik dengan anak-anak mereka
seperti: berbagi pengaruh positif dan saling tanggap (Maccoby, 2000). Perilaku
pengasuhan sebagian besar dibentuk oleh norma dan harapan sosial (seperti komunitas,
nilai budaya, dan kebijakan sosial dan hukum yang terkait di mana perilaku tersebut
oleh ibu tidak memprediksi internalisasi larangan perilaku, tetapi hubungan ibu-anak
yang hangat secara afektif. Meskipun Ngai & Cheung (2009), melaporkan bahwa orang
tua yang berperilaku dengan pengasuhan yang tinggi dan memiliki interaksi orang tua-
Kelekatan adalah ikatan psikologis dan emosional yang terjadi antara pengasuh
atau ibu dengan anak, yang ditandai dengan cemas ketika berpisah, senang atau
gembira ketika figur lekatnya kembali, dan memiliki orientasi tetap pada figur lekat
dibentuk oleh individu dengan orang lain secara spesifik, dan berada dalam hubungan
yang mengikat keduanya dalam suatu hubunagan yang kekal dan sepanjang waktu.
Attachment merupakan ikatan emosional antara individu yang merupakan dasar dari
rasa nyaman dan aman Bowlby (dalam Aimsworth, 1985) menjelaskan bahwa
terutama pada saat seorang individu merasa sakit, takut, maupun terancam.
Pembentukan kelekatan berlangsung lama dan cenderung bertahan untuk waktu yang
lama. Sehingga peran orang tua terutama ibu sangat penting dalam pembentukan
semua hubungan yang bersifat emosional dapat diartikan sebagai kelekatan. Ainsworth
menjelaskan bahwa terdapat beberapa ciri khusus yang menunjukkan adanya hubungan
kelekatan antara seorang anak dengan figur tertentu, yaitu hubungan tersebut bertahan
cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan
pandang anak atau bahkan jika figur ini digantikan oleh orang lain, serta hubungan ini
anak masih dalam masa kebergantungan kepada seseorang, dan masih membutuhkan
rasa aman untuk menjaga dirinya maka anak akan mencari kedekatan atau hubungan
dengan figur lekat terutama bila ia merasa takut, sakit, lelah, tertekan dan juga ketika
membutuhkan perhatian dan perlindungan. sosok ayah dan sosok ibu harus hadir utuh
pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk mencurahkan cinta dan
kelekatan terhadap ayah bundanya, selain itu ada penguatan identitas gender untuk
fitrah seksualitasnya.
Terdapat dua faktor yang mendasari terbentuknya kasih sayang yang nyaman,
pertama, orang tua yang sensitif terhadap kebutuhan anaknya pada masa bayi biasanya
melanjutkan kasih sayang itu sampai pada masa perkembangan berikutnya. Dengan
kata lain kasih sayang yang nyaman berkembang menjadi hubungan yang solid dan
penuh cinta. Kedua, anak dengan kenyamanan kasih sayang akan memiliki harapan
positif dengan orang lain dan membawa harapan positif ini dalam suatu hubungan.
yaitu:
Pola kelekatan yang terbentuk dari interaksi orangtua dan anak, sehingga anak
merasa percaya kepada orangtua dan teman sebagai figur yang selalu siap
mendampingi dan penuh kasih sayang. Anak akan cenderung mencari perlindungan
atau kenyamanan pada saat anak membutuhkan bantuan dalam menghadapi situasi
Pola kelekatan yang terbentuk dari interaksi orangtua dan anak, sehingga anak
merasa tidak yakin bahwa orangtua dan teman akan selalu ada dan cepat membantu
untuk berpisah dan cenderung bergantung. Dalam diri anak muncul ketidakpastian
akibat orang tua yang terkadang tidak selalu membantu dalam setiap kesempatan dan
Pola kelekatan yang terbentuk dari interaksi orangtua dan anak, sehingga anak
tidak memiliki rasa percaya diri, karena ketika anak mencari kasih sayang tidak
direspon bahkan ditolak. Anak cenderung memenuhi kebutuhan akan afeksi sendiri
Terdapat banyak hal yang menjadi faktor pengaruh pada attachment. Faktor
yang mempengaruhi attachment berasal dari dalam diri (internal), maupun dari
lingkungan atau dari luar individu (external) (M. D. Ainsworth & Bell, 1970). Faktor
internal meliputi faktor keturunan, dimana diyakini bahwa anak cenderung akan
meniru perilaku orang tua dalam memberikan attachmen; pengalaman masa lalu
diyakini terutama pada masa bayi dan kanakkanak dalam kehidupan individu akan
orang sekitarnya saat dewasa; cara pengasuhan yang tidak konsisten dilihat dari adanya
sosok orang tua yang tidak konsisten keberadaannya secara fisik maupun emosional
pada anak, akan membentuk kebingungan pada anak dalam membangun Attachment
dalam tahap perkembangannya. Sikap orang tua yang tidak bisa di prediksi akan
membuat anak tidak yakin, sulit mempercayai dan patuh pada orang tua, dan akan
terjadinya ssuatu peristiwa dalam keluarga, seperti pergi dari rumah, perceraian,
D. Perceraian
pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan
kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama,
karena tidak ada ikatan yang resmi. Perceraian adalah pemutusan tali perkawinan
karena suatu sebab yang disahkan oleh keputusan hakim atas tuntutan dari
salah satu pihak atau kedua belah pihak. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan
termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan
trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Kurangnya perhatian orang
tua (tunggal) tentu akan memengaruhi perkembangan jiwa anak. Merasa kasih sayang
orang tua yang didapatkan tidak utuh, anak akan mencari perhatian dari orang lain atau
bahkan ada yang merasa malu, minder, dan tertekan. Anak-anak tersebut umumnya
mencari pelarian dan tidak jarang yang akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas.
antara pasangan yang sah terbukti memiliki beberapa dampak negatif pada hubungan
orang tua-anak; hal ini karena banyak anak yang memiliki hubungan baik dengan kedua
orang tuanya (dalam hal kontak dan dukungan), namun hal ini kurang terlihat ketika
orang tua bercerai (Albertini & Garriga, 2011). Tiga penyebab utama buruknya
hubungan orang tua-anak akibat perceraian antara lain: 1) Sebagian besar anak dari
orang tua yang bercerai tidak dapat melihat orang tuanya pada waktu yang sama ini
mengarah pada kemunduran hubungan dengan satu orang tua sementara pada saat yang
sama hubungan dengan orang tua lainnya membaik. 2) Sebagian besar orang tua
diberikan kepada anaknya. 3) Beberapa anak menyalahkan orang tua mereka atas
perceraian yang selalu mengarah pada sikap yang lebih terpisah terhadap kedua orang
tua.
Geuzaine et al. (2000), melaporkan bahwa terdapat efek negatif jangka panjang
dari perpisahan dan perceraian orang tua terhadap hubungan antara orang tua dan anak
(efek negatif ini terutama terlihat pada anak-anak). Ini termasuk: harga diri rendah,
masalah emosional dan perilaku, prestasi sekolah yang buruk, dan kenakalan remaja.
Studi tentang dampak perceraian orang tua terhadap hubungan orang tua-anak yang
menggunakan sampel anak kecil menunjukkan pengaruh negatif perceraian orang tua
terhadap hasil hubungan dengan ayah dan menunjukkan tidak adanya pengaruh
perceraian terhadap hasil hubungan dengan ibu kustodian. Salah satu penjelasan untuk
perbedaan ini adalah bahwa efek perceraian pada hubungan antara orang tua dan anak-
anak mungkin lebih sedikit di antara anak-anak yang lebih muda yang mengalami
perceraian orang tua mereka dalam periode sejarah baru-baru ini ketika ibu tunggal
mengalami lebih sedikit stigma. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak dapat memilih
ketidaksetaraan dalam hubungan yang dimiliki anak dengan ayah dan ibunya
orangtua kepada anak sebagai dukungan yang meliputi perilaku-perilaku secara fisik
atau verbal menunjukkan afeksi atau dorongan positif (Beest dan Baerveldt dalam
Lestari, 2012). Beest dan Baerveldt (dalam Lestari, 2012) mengatakan bahwa aspek-
dukungan otonom dan dukungan direktif. Dukungan emosi terkait dengan perilaku-
perilaku yang secara fisik maupun verbal menunjukkan afeksi atau dorongan dan
keterbukaan dalam berkomunikasi antara anak dan orang tua. Dukungan instrumental
penguasaan kompetensi dan bantuan yang diberikan secara langsung (bersifat materi).
Dukungan otonom terkait orang tua yang memfasilitasi anak untuk mampu bersikap
mandiri dan tidak tergantung. Sedangkan Dukungan direktif merupakan durungan yang
atau verbal untuk menampilkan afeksi atau dorongan dan komunikasi yang
3. Dukungan Otonom Dukungan ini orang tua sebagai fasilitator dalam membantu
kepada orang tua dan yang lebih utama anak belajar bagaimana menyelesaikan
masalahnya sendiri dengan mandiri, membuat pilihan apa yang anak inginkan
anak dan memerintah. Dukungan direktif ini dianggap kurang baik karena
Pada konsep school well-being, dukungan orang tua masuk pada aspek sudut
pandang hubungan sosial (having). Orang tua merupakan bagian penting dari
(Skripsi Sarjana Psikologi, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2016), hal
48-49.