Anda di halaman 1dari 19

Mata Kuliah : School Well-Being

Dosen Pengampu : 1. Eva Meizara Puspita Dewi, S.Psi., M.Psi., psikologi

2. Andi Halima, S.Psi,. M.A

Parent-Child Relationship

Disusun Oleh Kelompok 12

Muhammad Rifky Dwisatya 200701502094

Mutakabbir Nurlail Syarif 1971041018

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
Menurut psikolog sosial, keluarga dapat didefinisikan sebagai kelompok sosial

mendasar dalam masyarakat yang biasanya terdiri dari satu atau dua orang tua dan

anak-anak mereka. Dalam psikologi, konsep keluarga dikaji berdasarkan esensi

keluarga dan dinamika interaksi keluarga. Di sebagian besar budaya, sosialisasi awal

terjadi dari konteks keluarga, lebih khusus interaksi orangtua-anak (Grusec, 2011).

Setiap subsistem keluarga penting dalam memahami hubungan orangtua-anak. Secara

umum, ada dua jenis utama keluarga: Nuklir (terdiri dari seorang ibu, ayah, dan anak-

anak mereka), dan Keluarga Extended (terdiri dari lebih banyak kerabat, termasuk

orang tua, anak, sepupu, bibi, paman, kakek nenek, anak asuh, dll.). Bentuk keluarga

penting lainnya termasuk: orang tua tunggal dan keluarga tiri.

Orlov (1996), menggambarkan dua jenis keluarga dalam kaitannya dengan

hubungan orangtua-anak. a) Keluarga yang berpusat pada orang; b) Keluarga yang

berpusat pada sosial. Keluarga yang berpusat pada orang dicirikan oleh tingkat

perhatian yang tinggi yang diberikan pada kepribadian anak dan dunia batinnya,

penghargaan terhadap kebutuhan dan nilai-nilainya, dan penerimaan tanpa syarat atas

individualitasnya. Sebaliknya, keluarga yang berpusat pada sosial dicirikan oleh

kemungkinan lebih besar untuk mengabaikan kebutuhan dan nilai anak, hubungan yang

lebih ambivalen dan penerimaan anak hanya jika dia berbagi sudut pandang orang tua

(Orlov, 1996). Keluarga yang berpusat pada sosial sangat memperhatikan peran sosial

setiap anak dalam keluarga, sedangkan pada keluarga yang berpusat pada pribadi;

setiap anak diperlakukan sebagai individu. Menurut Fincham (1998), kualitas


hubungan perkawinan juga memiliki pengaruh langsung terhadap kualitas hubungan

orang tua dan anak; Artinya, ikatan pernikahan yang kuat mengarah pada hubungan

orangtua-anak yang kuat.

Aspek mendasar dari struktur keluarga yang tidak bisa ditinggalkan ketika

membahas hubungan orangtua-anak adalah komunikasi. Komunikasi adalah mesin

hubungan sosial dan kebutuhan untuk semua hubungan. Ini melibatkan mendengarkan,

ketersediaan, pemahaman, saling menghormati dan emosi. Intinya, berkomunikasi

berarti tahu bagaimana memberi dan bagaimana menerima. Komunikasi memainkan

peran penting dalam hubungan orangtua-anak; itu membangun dan memelihara

hubungan antara orang tua dan anak-anak, itu membuat interaksi antara orang tua dan

anak-anak kuat dan efektif, dan itu berkontribusi secara signifikan untuk menciptakan

pemahaman dan saling menerima antara orang tua dan anak-anak. Artinya semakin

banyak orang tua berkomunikasi dengan anaknya, semakin banyak anak meningkatkan

kemampuan komunikasinya (yaitu hubungan yang baik dengan orang-orang di

sekitarnya). Ngai dkk. (2013), menyatakan bahwa komunikasi sangat penting dalam

interaksi orang tua-anak, terutama jika orang tua ingin menemukan cara yang lebih

baik untuk mentransmisikan nilai-nilai kehidupan yang penting kepada anak-anaknya.

Oleh karena itu, komunikasi orangtuaanak yang baik yang penuh dengan kepercayaan

dan rasa hormat dapat meningkatkan otonomi anak dan memberikan dukungan yang

memadai bagi mereka untuk menyelesaikan tugas perkembangan selama masa remaja

(Lai & McBride-Chang, 2001).


Hubungan dan interaksi yang paling intens dari seorang anak adalah dalam

lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua, sebab hal itu menjadi acuan dalam

interaksi sosial selanjutnya. Jika hubungan anak dengan orang tua di awal masa

hidupnya tidak terjalin secara positif, bisa saja mempengaruhi hubungan dan perilaku

anak ketika dewasa. Seiring dengan perkembangan keterampilan anak, anak juga perlu

mulai diajarkan cara-cara mengembangkan regulasi diri dan emosi, mulai dari

mengenal emosi, membicarakan emosi, dan mengontrol tingkah laku yang didorong

emosi. Beberapa guru menyatakan bahwa anak yang berperilaku mengganggu

disebabkan oleh kurangnya pengasuhandan model peran orang dewasa dalam

masyarakat, orang tua tidak menanamkan nilai-nilai moral dan mengabaikan

kenyakinan pada keluarga, dalam arti kerangka konseptual dan pola pikir anak tidak

diinternalisasikan dari kehidupan orang-orang barat yang khas.

Satu hal yang sangat penting dilakukan orangtua adalah membina interaksi

dengan anak secara berkualitas. Interaksi yang berkualitas tertampil dari sikap, cara

bicara dan tingkah laku orangtua dalam berinteraksi dengan anak. Sebaliknya, bila

orangtua memperlakukan anak dengan sikap dan cara bicara yang kasar (berteriak,

mengomel dan mengancam) dan dengan menampilkan tingkah laku agresi fisik

(memukul dan mencubit) maka dapat memperparah perilaku membangkang, agresif

dan hiperaktif pada anak. Orang tua dapat membantu anak untuk menciptakan

keseimbangan antara keinginan untuk menampilkan perilaku dan keharusan untuk

memahami dan mematuhi aturan-aturan, norma dan nilai-nilai berlaku dalam


masyarakat dimana ia tinggal. Caranya adalah antara lain dengan memberi kesempatan

kepada anak untuk melakukan berbagai aktivitas yang sudah dapat dilakukannya

sendiri, namun tetap memberi batasan tegas yang dikaitkan dengan norma dan nilai-

nilai tersebut. Anak belajar bahwa ada rambu-rambu yang harus dipatuhi agar ia dapat

diterima oleh lingkungan sekitarnya dengan baik, dengan demikian anak dapat menjadi

individu yang selain mandiri, terampil, juga bertanggung jawab dan tetap menikmati

hidup

A. Pola asuh orang tua-anak

Model-model Pola Asuh Orang Tua Metode pola asuh yang digunakan oleh

orang tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan karakter

seorang anak. Ada banyak jenis-jenis pola asuh yang sering menjadi pedoman bagi

siapa saja yang ingin mencetak generasi paripurna untuk diandalkan bagi kemajuan

bangsa ke depan. Jenis pola asuh orang tua ini masing-masing memiliki karakteristik

dan ciri khas yang berbeda. Berkaitan dengan jenisjenis pola asuh orang tua, Baumrind

mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis yaitu pola asuh (a) otoriter

(Authoritarian), (b) pola asuh demokratis (Authoritative), (c)pola asuh permisif

(permissive).

Tiga jenis pola asuh menurut Baumrind ini hampir sama dengan jenis pola asuh

menurut Hurlock, juga Hardy & Heyes, yaitu: (a) pola asuh otoriter, (b) pola asuh

demokratis, (c) pola asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orang tua

membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh dan tidak boleh bertanya. Pola
asuh demokratis mempunyai ciri orang tua mendorong anak untuk membicarakan apa

yang diinginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan

penuh pada anak untuk berbuat.

Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak

hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak

untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh yang permisif (yang

cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda

dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk

terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter

anak. Artinya jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya

menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan menggunakan

kepemimpinan otoriter, kepemimpinan otoriter yaitu pemimpin menentukan semua

kebijakan, langkah dan tugas yang harus dijalankan. Sebagaimana diketahui pola asuh

otoriter mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan cenderung

diskriminatif. Hal ini ditandai dengan tekanan anak untuk patuh kepada semua perintah

dan keinginan orang tua, kontrol yang sangat ketat terhadap tingkah laku anak, anak

kurang mendapatkan kepercayaan dari orang tua, anak sering di hukum, apabila anak

mendapat prestasi jarang diberi pujian atau hadiah. Baumrind menjelaskan bahwa pola

asuh orang tua yang otoriter ditandai dalam hubungan orang tua dengan anak tidak
hangat dan sering menghukum. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai

dengan cara mengasuh anak-anak dengan aturan yang ketat, sering kali memaksa anak

untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri

sendiri dibatasi, anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita,

bertukar pikiran dengan orang tua.

Orang tua malah menganggap bahwa semua sikap yang dilakukan itu sudah

benar sehingga tidak perlu minta pertimbangan anak atas semua keputusan yang

mengangkat permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga

ditandai dengan hukuman hukuman yang dilakukan dengan keras, anak juga diatur

dengan berbagai macam aturan yang membatasi perlakuannya. Perlakuan seperti ini

sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak

dewasa. Menurut Abdul Aziz Al Qussy yang dikutip Oleh Chabib Thoha mengatakan

bahwa kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya, akan tetapi Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang,

sentuhan dan kedekatan emosi orang tua - anak sehingga dan anak seakan memiliki

dinding pembatas yang memisahkan antara “si otoriter” (orang tua) dan “si patuh”

(anak).

Dampaknya: muncul perilaku agresif sangat tinggi atau sangat rendah, cemas

dan mudah putus asa, penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, berkepribadian

lemah, cemas dan terkesan menarik diri, membangkang, tak dapat merencanakan
sesuatu, tingkah laku pasif dan cenderung menarik diri, sehingga menjadikan anak

tidak mandiri

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap

kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang

tua. Sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi

dirinya,anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutamayang

menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri .Anak diberi kesempatan untuk

mengembangkan kontrol internal nya sehingga asedikit demi sedikit berlatih untuk

bertanggung jawab kepada diri sendiri.

Pola asuh ini akan menghasilkan anak yang mempunyai kompetensi sosial dan

rasa percaya diri yang tinggi, kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan kognitif

tinggi, kreatif, dan memiliki kecerdasan majemuk.

c. Pola Asuh Permisif

Pola Permisif adalah membiarkan anak bertindak sesuai dengan keinginannya,

orang tua tidak memberikan hukuman dan pengendalian. Pola asuh ini ditandai dengan

adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya

sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan kepada anak,

sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri walaupun

terkadang bertentangan dengan norma sosial.


Dampaknya: anak impulsif, agresif, manja, kurang mandiri, kurang percaya

diri, selalu hidup bergantung, salah bergaul, rendah diri, nakal, kontrol diri buruk,

egois, suka memaksakan keinginan, kurang bertanggungjawab, berperilaku agresif dan

antisosial

B. Aspek dalam Pola Asuh

Menurut Baumrind (dalam Agustina, 2014), terdapat empat aspek perilaku

orangtua dalam praktek pengasuhan.terhadap anaknya. Keempat aspek tersebut adalah:

1) Parental control (kendali orangtua). Kendali orangtua adalah bagaimana

tingkah laku orangtua menerima dan menghadapi tingkah laku anaknya yang

dinilai tidak sesuai dengan pola tingkah laku yang diharapkan orangtua.

2) Parental Maturity Demands (tuntutan terhadap tingkah laku yang matang).

Tuntutan terhadap tingkah laku yang matang adalah bagaimana tingkah laku

orangtua dalam mendorong kemandirian anak dan mendorong supaya anak

memiliki rasa tanggung jawab terhadap segala tindakannya;

3) Parent-Child Communication (komunikasi antara orangtua dan anak).

Komunikasi antara orangtua dan anak adalah bagaimana usaha orangtua dalam

menciptakan komunikasi verbal dengan anaknya, mencakup hal-hal yang

berhubungan dengan diri anak, sekolah dan teman-temannya.

4) Parental Nuturance (cara pengasuhan atau pemeliharaan orangtua terhadap

anak). Cara pengasuhan atau pemeliharaan orangtua terhadap anak adalah


bagaimana ungkapan orangtua dalam menunjukkan kasih sayang, perhatian

terhadap anak, dan bagaimana cara memberikan dorongan kepada anaknya

Salah satu aspek dari gaya pengasuhan yang telah muncul dalam studi terbaru

yang berkaitan dengan kesejahteraan anak berpusat pada kemampuan beberapa orang

tua untuk mengembangkan bentuk interaksi timbal balik dengan anak-anak mereka

seperti: berbagi pengaruh positif dan saling tanggap (Maccoby, 2000). Perilaku

pengasuhan sebagian besar dibentuk oleh norma dan harapan sosial (seperti komunitas,

nilai budaya, dan kebijakan sosial dan hukum yang terkait di mana perilaku tersebut

tertanam). Menurut Kochanska et al. (2007), strategi pendisiplinan yang digunakan

oleh ibu tidak memprediksi internalisasi larangan perilaku, tetapi hubungan ibu-anak

yang hangat secara afektif. Meskipun Ngai & Cheung (2009), melaporkan bahwa orang

tua yang berperilaku dengan pengasuhan yang tinggi dan memiliki interaksi orang tua-

anak yang lebih demokratis lebih cenderung membesarkan anak-anak yang

menunjukkan tingkat kesehatan mental, pencapaian identitas, penyesuaian perilaku,

ketahanan, dan prestasi akademik yang lebih tinggi.

C. Kelekatan orang tua-anak

Kelekatan adalah ikatan psikologis dan emosional yang terjadi antara pengasuh

atau ibu dengan anak, yang ditandai dengan cemas ketika berpisah, senang atau

gembira ketika figur lekatnya kembali, dan memiliki orientasi tetap pada figur lekat

walaupun tidak melakukan interaksi atau tatap muka


Attachment menurut Ainsworth (1970) merupakan ikatan emosional yang

dibentuk oleh individu dengan orang lain secara spesifik, dan berada dalam hubungan

yang mengikat keduanya dalam suatu hubunagan yang kekal dan sepanjang waktu.

Attachment merupakan ikatan emosional antara individu yang merupakan dasar dari

rasa nyaman dan aman Bowlby (dalam Aimsworth, 1985) menjelaskan bahwa

kelekatan diperoleh dengan usaha agar mampu mempertahankan kelekatan dengan

seseorang yang di anggap mampu dalam memberikan perlindungan dan ancaman

terutama pada saat seorang individu merasa sakit, takut, maupun terancam.

Pembentukan kelekatan berlangsung lama dan cenderung bertahan untuk waktu yang

lama. Sehingga peran orang tua terutama ibu sangat penting dalam pembentukan

perilaku kelekatan terhadap anak.

Walaupun kelekatan merupakan sebuah ikatan yang emosional, namun tidak

semua hubungan yang bersifat emosional dapat diartikan sebagai kelekatan. Ainsworth

menjelaskan bahwa terdapat beberapa ciri khusus yang menunjukkan adanya hubungan

kelekatan antara seorang anak dengan figur tertentu, yaitu hubungan tersebut bertahan

cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan

pandang anak atau bahkan jika figur ini digantikan oleh orang lain, serta hubungan ini

menimbulkan rasa aman (secure).

Kelekatan merupakan hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat

(attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut. Karena

anak masih dalam masa kebergantungan kepada seseorang, dan masih membutuhkan
rasa aman untuk menjaga dirinya maka anak akan mencari kedekatan atau hubungan

dengan figur lekat terutama bila ia merasa takut, sakit, lelah, tertekan dan juga ketika

membutuhkan perhatian dan perlindungan. sosok ayah dan sosok ibu harus hadir utuh

pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk mencurahkan cinta dan

kelekatan terhadap ayah bundanya, selain itu ada penguatan identitas gender untuk

fitrah seksualitasnya.

Terdapat dua faktor yang mendasari terbentuknya kasih sayang yang nyaman,

pertama, orang tua yang sensitif terhadap kebutuhan anaknya pada masa bayi biasanya

melanjutkan kasih sayang itu sampai pada masa perkembangan berikutnya. Dengan

kata lain kasih sayang yang nyaman berkembang menjadi hubungan yang solid dan

penuh cinta. Kedua, anak dengan kenyamanan kasih sayang akan memiliki harapan

positif dengan orang lain dan membawa harapan positif ini dalam suatu hubungan.

Bowbly (1969:395) menjelaskan tiga pola pola/gaya attachment (kelekatan),

yaitu:

a) Secure Attachment (kelekatan aman)

Pola kelekatan yang terbentuk dari interaksi orangtua dan anak, sehingga anak

merasa percaya kepada orangtua dan teman sebagai figur yang selalu siap

mendampingi dan penuh kasih sayang. Anak akan cenderung mencari perlindungan

atau kenyamanan pada saat anak membutuhkan bantuan dalam menghadapi situasi

yang menakutkan mengancam.


b) Anxious Resistant Attachment (cemas)

Pola kelekatan yang terbentuk dari interaksi orangtua dan anak, sehingga anak

merasa tidak yakin bahwa orangtua dan teman akan selalu ada dan cepat membantu

ketika anak membutuhkan mereka. Akibatnya anak mudah mengalami kecemasan

untuk berpisah dan cenderung bergantung. Dalam diri anak muncul ketidakpastian

akibat orang tua yang terkadang tidak selalu membantu dalam setiap kesempatan dan

juga adanya keterpisahan.

c) Avoidant Attachment (menghindar)

Pola kelekatan yang terbentuk dari interaksi orangtua dan anak, sehingga anak

tidak memiliki rasa percaya diri, karena ketika anak mencari kasih sayang tidak

direspon bahkan ditolak. Anak cenderung memenuhi kebutuhan akan afeksi sendiri

tanpa bantuan orang tua.

Terdapat banyak hal yang menjadi faktor pengaruh pada attachment. Faktor

yang mempengaruhi attachment berasal dari dalam diri (internal), maupun dari

lingkungan atau dari luar individu (external) (M. D. Ainsworth & Bell, 1970). Faktor

internal meliputi faktor keturunan, dimana diyakini bahwa anak cenderung akan

meniru perilaku orang tua dalam memberikan attachmen; pengalaman masa lalu

diyakini terutama pada masa bayi dan kanakkanak dalam kehidupan individu akan

memberikan pengaruh besar bagaimana individu akan membangun Attachment dengan

orang sekitarnya saat dewasa; cara pengasuhan yang tidak konsisten dilihat dari adanya
sosok orang tua yang tidak konsisten keberadaannya secara fisik maupun emosional

pada anak, akan membentuk kebingungan pada anak dalam membangun Attachment

dalam tahap perkembangannya. Sikap orang tua yang tidak bisa di prediksi akan

membuat anak tidak yakin, sulit mempercayai dan patuh pada orang tua, dan akan

mengalami kebingungan dalam banyak hal.

Faktor eksternal dalam pembentukan Attachment merupakan peristiwa yang

mampu merubah kehidupan Attachment individu secara signifikan, misalnya

terjadinya ssuatu peristiwa dalam keluarga, seperti pergi dari rumah, perceraian,

pernikahan, maupun meninggalnya orang tua atau pasangan.

D. Perceraian

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara

pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan

kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama,

karena tidak ada ikatan yang resmi. Perceraian adalah pemutusan tali perkawinan

karena suatu sebab yang disahkan oleh keputusan hakim atas tuntutan dari

salah satu pihak atau kedua belah pihak. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan

kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta kepada pemerintah untuk dipisahkan.

Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat,

termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan

trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Kurangnya perhatian orang
tua (tunggal) tentu akan memengaruhi perkembangan jiwa anak. Merasa kasih sayang

orang tua yang didapatkan tidak utuh, anak akan mencari perhatian dari orang lain atau

bahkan ada yang merasa malu, minder, dan tertekan. Anak-anak tersebut umumnya

mencari pelarian dan tidak jarang yang akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas.

Perceraian yang merupakan pembubaran perkawinan atau ikatan perkawinan

antara pasangan yang sah terbukti memiliki beberapa dampak negatif pada hubungan

orang tua-anak; hal ini karena banyak anak yang memiliki hubungan baik dengan kedua

orang tuanya (dalam hal kontak dan dukungan), namun hal ini kurang terlihat ketika

orang tua bercerai (Albertini & Garriga, 2011). Tiga penyebab utama buruknya

hubungan orang tua-anak akibat perceraian antara lain: 1) Sebagian besar anak dari

orang tua yang bercerai tidak dapat melihat orang tuanya pada waktu yang sama ini

mengarah pada kemunduran hubungan dengan satu orang tua sementara pada saat yang

sama hubungan dengan orang tua lainnya membaik. 2) Sebagian besar orang tua

mengalami masalah psikologis setelah perceraian yang mengurangi perhatian yang

diberikan kepada anaknya. 3) Beberapa anak menyalahkan orang tua mereka atas

perceraian yang selalu mengarah pada sikap yang lebih terpisah terhadap kedua orang

tua.

Geuzaine et al. (2000), melaporkan bahwa terdapat efek negatif jangka panjang

dari perpisahan dan perceraian orang tua terhadap hubungan antara orang tua dan anak

(efek negatif ini terutama terlihat pada anak-anak). Ini termasuk: harga diri rendah,

masalah emosional dan perilaku, prestasi sekolah yang buruk, dan kenakalan remaja.
Studi tentang dampak perceraian orang tua terhadap hubungan orang tua-anak yang

menggunakan sampel anak kecil menunjukkan pengaruh negatif perceraian orang tua

terhadap hasil hubungan dengan ayah dan menunjukkan tidak adanya pengaruh

perceraian terhadap hasil hubungan dengan ibu kustodian. Salah satu penjelasan untuk

perbedaan ini adalah bahwa efek perceraian pada hubungan antara orang tua dan anak-

anak mungkin lebih sedikit di antara anak-anak yang lebih muda yang mengalami

perceraian orang tua mereka dalam periode sejarah baru-baru ini ketika ibu tunggal

mengalami lebih sedikit stigma. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak dapat memilih

antara orang tua setelah perceraian. Secara umum, perceraian meningkatkan

ketidaksetaraan dalam hubungan yang dimiliki anak dengan ayah dan ibunya

E. Dukungan Orang Tua

Dukungan orangtua adalah suatu bentuk interaksi yang dikembangankan

orangtua kepada anak sebagai dukungan yang meliputi perilaku-perilaku secara fisik

atau verbal menunjukkan afeksi atau dorongan positif (Beest dan Baerveldt dalam

Lestari, 2012). Beest dan Baerveldt (dalam Lestari, 2012) mengatakan bahwa aspek-

aspek dukungan orangtua antara lain, dukungan emosi, dukungan instrumental,

dukungan otonom dan dukungan direktif. Dukungan emosi terkait dengan perilaku-

perilaku yang secara fisik maupun verbal menunjukkan afeksi atau dorongan dan

keterbukaan dalam berkomunikasi antara anak dan orang tua. Dukungan instrumental

terkait tersedianya sarana dan prasaranan yang menunjang pencapaian prestasi,

penguasaan kompetensi dan bantuan yang diberikan secara langsung (bersifat materi).
Dukungan otonom terkait orang tua yang memfasilitasi anak untuk mampu bersikap

mandiri dan tidak tergantung. Sedangkan Dukungan direktif merupakan durungan yang

bersifat langsung, mengarahkan, memberikan instruksi maupun memberikan nasehat.

Aspek-aspek dukungan orangtua menurut Beest dan Baerveldt yaitu:

1. Dukungan-Emosi Dukungan ini mencakup perilaku-perilaku yang secara fisik

atau verbal untuk menampilkan afeksi atau dorongan dan komunikasi yang

positif/terbuka. Dukungan ini juga meliputi ekspresi empati misalnya

mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa

yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian.

Dukungan emosional akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman,

aman, terjamin, dan disayangi

2. Dukungan Instrumental Dukungan ini meliputi penyediaan sarana dan

prasarana bagi pencapaian prestasi, penguasaan kompetensi dan bantuan yang

diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya menyediakan

fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan,

permainan atau bantuan yang lain

3. Dukungan Otonom Dukungan ini orang tua sebagai fasilitator dalam membantu

anak diharapakan membuat anak tidak memiliki ketergantunga yang berlebih

kepada orang tua dan yang lebih utama anak belajar bagaimana menyelesaikan

masalahnya sendiri dengan mandiri, membuat pilihan apa yang anak inginkan

dan menentukan nasib mereka sendiri


4. Dukungan Direktif Dukungan direktif merupakan orangtua banyak

memberikan instruksi, mengendalikan dan cenderung mengambil alih masalah

anak dan memerintah. Dukungan direktif ini dianggap kurang baik karena

oragtua lebih banyak berperan untuk karir anaknya.

Pada konsep school well-being, dukungan orang tua masuk pada aspek sudut

pandang hubungan sosial (having). Orang tua merupakan bagian penting dari

pendukung keterlaksananya suatu proses pembelajaran.


DAFTAR PUSTAKA

Arlita, A. 2014. NILAI JUJUR REMAJA DITINJAU DARI KUALITAS

HUBUNGAN ORANGTUA - ANAK DAN TRANSMISI NILAI. Skripsi

Sarjana PSikologi dan Pendidikan Agama Islam. Hal 1-18

Baumrind D. Child care practices anteceding three patterns of preschool behavior.

Genet Psychol Monogr. 1967 Feb;75(1):43-88. PMID: 6032134.

Diananda, A. 2020. KELEKATAN ANAK PADA ORANG TUA DALAM

MENINGKATKAN PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN HARGA DIRI.

ISTIGHNA, Vol. 3, No 2 Hal 141-157

Sunarti, K. 2016. HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DAN KEMANDIRIAN

ANAK. Journal of EST, Volume 2, Nomor 3 hal 152-160

Winda Nurjannah, “Pengaruh Pola Kelekatan Terhadap Perkembangan Sosioemosional

Anak Sekolah Dasar Kelas V Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Banyubiru”,

(Skripsi Sarjana Psikologi, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2016), hal

48-49.

Anda mungkin juga menyukai