Anda di halaman 1dari 17

JUDUL : HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP TINGKAT

KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA PRA SEKOLAH (4-6

TAHUN) DI TK AL-HIDAYAH KUMPULAN

A. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan
emosional anak
2. Melihat gambaran pola asuh orangtua terhadap anak
3. Mengetahui hasil akhir hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan
emosional anak di TK Al-Hidayah Kumpulan

B. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
Terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan perkembangan emosional anak di TK
Al-Hidayah Kumpulan

C. Defenisi Operasional
Beberapa defenisi yang perlu dikemukakan dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut:
1. Pola asuh adalah suatu interaksi antara orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan
seperti menerapkan aturan, mengajarkan nilai/ norma, memberikan perhatian dan kasih
sayang, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta
member pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
2. Kecerdasan emosional adalah mengenali emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang ain, dan membina hubungan baik dengan orang lain.
D. Landasan Teori
Berkenaan dengan kajian pustaka ini, dikemukakan: (a) konsep pola asuh, (b) kecerdasan
emosi, (c) konsep anak usia pra sekolah

Konsep Pola Asuh


Sehubung dengan kajian teori yang berkenaan dengan konsep pola asuh, dikemukakan: (1)
pengertian pola asuh, (2) klasifikasi pola asuh, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi pola
asuh orang tua, (4) aspek-aspek pembentukan pola asuh orang tua, (5) kelebihan dan
kekurangan jenis pola asuh orang tua

1. Pengertian Pola Asuh


Pola asuh adalah suatu cara yang digunakan oleh orang dalam mencoba berbagai
strategi untuk mendorong anak – anaknya mencapai tujuan yang diinginkan, dimana tujuan
tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral dan standart perilaku yang harus dimiliki anak
bila dewasa nanti (Mussen,2016).
Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anaknya yaitu bagaimana
sikap antara perilaku orangtua saat berinteraksi dengan anak, termasuk caranya menerapkan
aturan, mengajarkan nilai / atau norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta
menunjukkansikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh atau panutan bagi
anaknya (Aisyah,2010).

Shocib (1998:14) menyatakan bahwa pola pertemuan antara orang tua sebagai
pendidik dan anak sebagai terdidik dengan maksud bahwa orangtua mengarahkan anaknya
sesuai dengan tujuan yaitu membantu anak memiliki dan mengembangkan dasar-dasar
perilaku moral. Orangtua dan anak sebagai pribadi dan pendidik dapat mengelola bentuk pola
asuhnya dalam menanamkan perilaku moral dan mengembangkan segala aspek pada anak
sesuai dengan tempat, situasi dan kondisi yang bersangkutan. (Jannah 2012).

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pola asuh orang tua yaitu pola pengasuhan orangtua terhadap anak, yaitu
bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta
melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan sampai dengan membentuk perilaku
anak sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pola
asuh orang tua sangat berperan dalam perkembangan, kualitas pendidikan serta kepribadian
anak. Oleh karena itu, pola asuh yang diterapkan setiap orang tua perlu mendapat perhatian.
Menurut Hurlock (2002) jenis kelamin anak juga berpengaruh pada pola asuh. Orangtua jauh
lebih baik dalam memberikan ola asuh jenis kelamin anak sesuai dengan jenis kelamin yang
diinginkan oleh orantua. Sehingga sering kita lihat orangtua yang salah dalam
memperlakukan pola asuh untuk anak, contohnya jika orangtua menginginkan anak laki-laki
tetapi yang lahir anak perempuan , terkadang membuat orangtua frustasi dan memperlakukan
dan mengasuh anak perempuan seperti laki-laki, dilarang cengeng, diberikan mainan laki-
laki, dilarang memakai rok, dan masih banyak hal lagi. (Windarwati, Melani, AND Yustita
2013).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu
interaksi antara orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti menerapkan aturan,
mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih sayang, melindungi, dan
mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta memberi pengaruh
terhadap perkembangan kepribadaian anak dan terkait dengan kondisi psikologis anak
bagaimana cara orang tua mengkomunikasikan perasan dan norma – norma yang berlaku di
masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.Selain itu pola asuh permisif
juga di tandai dengan adanya kebebasan yang diberikan kepada anak untuk berperilaku sesuai
dengan keinginan sendiri. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena
orangtua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya anak berperilaku
sesuai dengan keinginan sendiri, tidak perduli apakah hal itu sesuai dengan norma
masyarakat atau tidak. Keadaan lain pada pola asuh ini adalah anak – anak bebas bertindak
dan berbuat. Anak dari orang tua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak
dewasa, kesulitan belajar menghargai orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya,
egosentris, tidak menuruti peraturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya
(Santrock, 2013).

2. Klasifikasi pola asuh


Menurut Baumrind terbagi menjadi empat macam yaitu:
a. Authoritative, yaitu pola pengasuhan dengan orang tua yang tinggi tuntutan
(demandingness) dan tanggapan (responsiveness).
b. Indulgent, yaitu pola pengasuhan dengan orang tua yang rendah pada tuntutan
(demandingness) namun tinggi pada tanggapan (responsiveness).
c. Authoritarian, yaitu pola pengasuhan dengan orang tua yang tinggi tuntutan
(demandingness) namun rendah tanggapan (responsiveness).
d. Neglectful, yaitu pola pengasuhan dengan orang tua yang rendah dalam tuntutan
(demandingness) maupun tanggapan (responsiveness).

Menurut Hourlock (2010) mengemukakan ada tiga jenis pola asuh orangtua terhadap
anaknya, yakni:

1) Pola Asuh Otoriter


Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan – aturan yang
ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku sesuai dirinya (orang tua), kebebasan untuk
bertindak atas nama diri sendiri di batasi.Jadi dalam hal ini kebebasan anak sangat dibatasi
oleh orang tua, apa saja yang akan dilakukan oleh anak harus sesuai dengan keinginan orang
tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan – batasan yang tegas dan tidak memberikan
peluang yang besar kepada anak – anak untuk berbicara atau bermusyawarah.
Menurut Hurlock (2010), peraturan yang keras untuk memaksa perilaku yang diinginkan
menandai semua jenis pola asuh yang otoriter. Orang tua tidak mendorong anak untuk
mandiri dengan mengambil keputusan – keputusan yang berhubungan dengan tindakan
mereka, sebaliknya, mereka hanya mengatakan apa yang harus dilakukan. Dengan cara
otoriter, ditambah dengan sikap keras, menghukum dan mengancam akan menjadikan anak
“patuh” di hadapan orang tua tetapi dibelakangnya dia akan menentang dan melawan karena
anak merasa “ dipaksa”.
2) Pola Asuh Demokratis
Baumrind (Agoes Dariyo ,2013) menjelaskan bahwa pola asuh demokratis
mendorong anak – anak untuk mandiri tetapi masih menetapkan batasan – batasan
pengendalian mereka. Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua
terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung pada
orangtua. Dalam pola asuh ini ditandai sikap terbuka antara orang tua dengan anak. Mereka
membuat aturan – aturan yang telah disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk
mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginan.

Menurut Hurlock (2010) metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan


penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Pola asuh
ini menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada
penghargaan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak – anak secara sadar
menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar
yang diharapkan, orang tua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian. Jadi dalam
pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orangtua dengan anak.

Selain itu menurut pendapat Baumrind (dalam Santrock, 2002: 257-258) ada tiga
macam bentuk pola asuh yang diterapkan oleh masing – masing orang tua, bentuk – bentuk
pola asuh itu adalah pola asuh demokratis, pola asuh otoriter dan pola asuh permisif. Dari
ketiga macam bentuk pola asuh itu, bentuk pola asuh demokratislah yang paling baik
diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh anak – anaknya.
3) Pola Asuh Permisif
Baumrind (Agoes Dariyo ,2013) menjelaskan bahwa pengasuhan yang bersifat
permisif ialah suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Pola
asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak yang cenderung bebas, anak dianggap
sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas – luasnya untuk melakukan
apa saja yang dikehendaki.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Dalam setiap keluarga, terutama orang tua memiliki norma dan alasan tertentu dalam
menerapkan pola asuh kepada anak – anaknya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola
asuh (Harlock, 2010), yaitu:
1) Pekerjaan
Orangtua dari kalangan menegah ke bawah akan lebih tidak baik dan memaksa dari
pada dari mereka dari menengah keatas. Semakin tinggi profersi orang tua maka akan
mempengaruhi pola asuh yang diberikan. Jika orang tua memiliki pekerjaan yang mapan
maka kesejahteraan keluarga juga meningkat dan peranpengasuhan pun dapat terlaksana
dengan baik (Supartini, 2010). Orang tua akan cenderung menerapkan pola asuh demokratis.
Metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak
mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Jadi dalam pola asuh ini terdapat komunikasi
yang baik antara orangtua dengan anak.

2) Usia
Usia muda lebih cenderung demokratis dibandingkan dengan mereka yang tua, karena
pada usia muda orang tua cenderung dapat menerima hal-hal yang baru dan mampu dalam
mengakses teknologi informasi sehingga penerapan pola asuh yang baik mudah diterapkan.

3) Lingkungan tempat tinggal


Lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi cara orang tua dalammenerapkan
pola asuh. Hal ini dapat dilihat jika suatu keluarga yang tinggal dikota besar, kemungkinan
orangtua akan banyak mengontrol anak karena merasa khawatir, misal melarang anaknya
pergi kemana – mana sendiri. Sedangkan keluarga yang tinggal di pedesaan kemungkinan
orangtua tidak begitu khawatir anaknya pergi kemana mana.
4) Pendidikan Orang Tua
Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi
persiapan merekan menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menjadi lebih siap dalam melakukan peran pengasuhan antara lain terlibat aktif dalam setiap
pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu
berupaya dalam menyediakan waktu untuk anak – anak dan menilai perkembangan fungsi
keluarga dan kepercayaan anak.

Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson (2013) menunjukkan bahwa pendidikan di
artikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan –
perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap.
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelunya dapat mengasuh anak akan lebih
siap dalam menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-
tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

5) Jenis Kelamin
Orang Tua umunya akan lebih protektif terhadap anak perempuan dibandingkan
dengan anak laki – lakinya.

4. Aspek-aspek Pembentukan Pola Asuh Orang Tua


Dalam menerapkan pola asuh penting yang dapat mendukung pembentukan pola asuh
pada anak. Hurlock (2010) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua memiliki aspek –
aspek berikut ini:

1.Peraturan, tujuanya adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui
dalam situasi tertentu. Hal ini berfusngsi untuk mendidik dan bersikap lebih bermoral.
Karenan peraturan memiliki nilai pendidikan mana yang baik serta mana yang tidak.
Peraturan juga akan membantu mengekan perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah
dimengerti, diingat dan diterima oleh anak sesuai fungsi peraturan itu sendiri.

2.Hukuman, yaitu merupakan sanksi pelanggaran. Hukuman memiliki tiga peranan penting
dalam perkembangan moral anak. Pertama,hukuman menghalangi pengulangan tindakan
yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Kedua hukuman sebagai pendidik, karena sebelum
anak tahu tentang peraturan merekan dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah,
dan tindakan yang salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi
untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.

3.Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harus berupa benda atau materi,
namun dapat berupa kata – kata pujian, senyuman,dan ciuman. Biasanya hadiah diberikan
setelah anak melaksanakan hal yang terpuji. Fungsi penghargaan meliputi penghargaan
mempunyai nilai yang mendidik, motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara
sosial serta memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tiadanya penghargaan
melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku itu.

Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman. Sehingga anak tidak bingung tentang apa
yang diharapkan pada mereka. Fungsi konsistensi adalah mempunyai nilai didik yang besar
sehingga dapat memacu proses belajar, memiliki motivasi yang kuat akan mempertinggi
penghargaan terhadap peraturan dan orang tua yang berkuasa. Oleh karena itu orang tua harus
konsisten dalam menerapkan semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang.

5. Kelebihan dan Kekurangan Jenis Pola Asuh Orang Tua

Baumrind (Agoes Dariyo, 2011) mengatakan bahwa setiap pola asuh yang diterapkan
memiliki akibat positif dan negatif. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan pada pola asuh
otoriter, maka akibat negatif yang timbul pada pola asuh ini akan cenderung lebih dominan.
Hal yang senada juga disampaikan oleh (Bjorklund, 2010) yang mengatakan bahwa pola asuh
otoriter menjadikan seorang anak menarik diri dari pergaulan serta tidak puas dan tidak
percaya terhadap orang lain. Namun, tidak hanya akibat negatif yang ditimbulkan, tetapi juga
terdapat akibat positif atau kelebihan dari pola asuh otoriter yaitu anak yang dididik akan
menjadi disiplin yakni menaati peraturan. Meskipun, anak cenderung disiplin hanya di
hadapan orang tua.

Pola asuh demokratis memiliki kelebihan yaitu menjadikan anak sebagai seorang
individu yang mempercayai orang lain, bertanggungjawab terhadap tindakannya, tidak
munafik, dan jujur. Pendapat (Bjorklund, 2010) memperkuat pendapat Baumrind bahwa pola
asuh otoritatif juga menjadikan anak mandiri, memiliki kendali diri, bersifat eksploratif, dan
penuh dengan rasa percaya diri. Namun, terdapat kekurangan dari pola asuh otoritatif yaitu
menjadikan anak cenderung mendorong kewibawaan otoritas orang tua, bahwa segala sesuatu
harus dipertimbangkan antara anak dan orang tua.

Pada pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan yang sebebas- bebasnya
kepada anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelebihan pola asuh ini adalah memberikan
kebebasan yang tinggi pada anak dan jika kebebasan tersebut dapat digunakan secara
bertanggung jawab, maka akan menjadikan anak sebagai individu yang mandiri, kreatif,
inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya. Di samping kelebihan tersebut, akibat
negatif juga ditimbulkan dari penerapan pola asuh ini yaitu dapat menjadikan anak kurang
disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Sejalan dengan pendapat tersebut juga
menyampaikan bahwa pola asuh permisif menjadikan anak kurang dalam harga diri, kendali
diri dan kecenderungan untuk bereksplorasi. Setiap pola asuh yang diterapkan orang tua
memiliki dampak positif dan negatif terhadap perilaku dan kondisi emosi seorang anak. Agar
anak berkembang dengan baik, maka setiap orang tua perlu memilih jenis pola asuh yang
sesuai dengan karakteristik anak.
Kecerdasan Emosi

1.Pengertian Kecerdasan Emosi


Kecerdasan dikenal juga dengan istilah intelegensi. Intelegensi berasal dari
Bahasa Inggris yaitu intelligence yang berarti kecerdasan atau keteranganketerangan. Howard
Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan atau
menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.

Emosi adalah letupan perasaan yang muncul dari dalam diri seseorang, baik bersifat
positif ataupun negatif.5 Sedangkan dalam pengertian yang sederhana, Lawrence E. Shapiro
menjelaskan, emosi adalah kondisi kejiwaan manusia.6 Karena sifatnya yang psikis atau
kejiwaan, lanjut Lawrence, maka emosi hanya dapat dikaji melalui letupan-letupan
emosioanal atau gejala-gejala dan fenomena-fenomena. Seperti kondisi sedih, gembira,
gelisah, benci, dan lain sebagainya. (Mulyani 2017)

Menurut Crow dan Crow (1958), perngertian emosi adalah ‘An emotion, is an
affective experience that accompanies generalized inner adjustement and mental and
physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his evert behavior’.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang digeneralisasikan dalam penyesuaian diri dan
mental sehingga dapat menerangkan siapa individu tersebut sesungguhnya dan ditunjukan
dalam setiap perilakunya. (Sukatin et al. 2020)

Perkembangan emosi, dalam artian yang sederhana adalah luapan perasaan ketika
anak berinteraksi dengan orang lain.7 Umar Fakhrudin menjelaskan bahwa perkembangan
emosi adalah proses yang berjalan secara perlahan dan anak dapat mengontrol dirinya ketika
menemukan self comforting behavior atau merasa nyaman. Atau dengan kata lain, anak
belajar emosinya secara bertahap.

Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri
individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Jadi
emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi sering
didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman afektif, kenikmatan atau
ketidaknikmatan, marah terkerjut, bahagia, sedih dan jijik. Emosi juga sering berhubungan
dengan ekspresi tingkah laku dan respon-respon fidiologis. Menurut Elizabeth B. Hurlock,
kemampuan anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada semenjak bayi baru dilahirkan.

Gejala pertama perilaku emosional ini adalah berupa keterangsangan umum. Dengan
meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka kurang menyebar, kurang sembarangan,
lebih dapat dibedakan, dan lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain
terhadap luapan emosi yang berlebihan.
2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Menurut (Goleman, 2015), ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, faktor
tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.

1.Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri seorang individu yang
dipengaruhi oleh keadaan otak emosi seseorang. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah
sistem limbik. SistemLimbik terletak jauh dalam himisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi.

2.Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi
individu untuk mengubah sikap. Pengaruh luar dapat bersifat individu maupun kelompok.
Misalnya antara individu kepada individu lain ataupun antara kelompok kepada individu
maupun sebaliknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak merupakan salah satu
contoh pengaruh yang diberikan dari individu kepada individu lain, dalam hal ini adalah
anak. Pengaruh juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media
masa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit. Kondisi
ikut mempengaruhi emosi.

Hasil riset yang dilakukan oleh Ridhoyanti Hidayah & Eka Yunita & Yulian Wiji
Utami tahun (2015) di TK Senaputra Malang, orangtua yang menggunakan pola asuh
demokratis sebesar 63,15 %, pola asuh otoriter sebesar 19,29% dan pola asuh permisif
sebesar 17,56%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahwa mayoritas orangtua
siswa TK Senaputra terdapat pola asuh demokratis.Dari hasil penelitian tersebut menjukkan
bahwa anak usia prasekolah yang memiliki tingkat kecerdasan emosional baik sebesar
63,16%, tingkat kecerdasan emosional cukup sebesar 26,31% dan tingkat kecerdasan
emosional kurang sebesar 10,53%.Pengujian menggunakan uji kolerasi Spearman Rank
menghasilkan nilai p value sebesar 0,000 yang berarti bahwa kedua variabel mempunyai
hubungan yang signifikan/bermakna karena nilai p value <0,05 yang artinya ada hubungan
antara pola asuh orangtua dengan tingkat kecerdasan emosional anak usia prasekolah.
Menurut (Hurlock, 2010) ada beberapa kondisi yang mempengaruhi emosi seseorang,
diantaranya sebagai berikut:

1.Kondisi kesehatan
Kondisi kesehatan yang baik mendorong emosi yang menyenangkan menjadi
dominan, sedangkan kesehatan yang buruk menjadikan emosi yang tidak menyenangkan
lebih menonjol.

2.Suasana rumah
Suasana rumah yang berisi kebahagiaan, sedikit kemarahan, kecemburuan dan
dendam, maka anak akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang
bahagia.
3.Pola asuh orang tua
Pola asuh yang digunakan untuk mendidik anak oleh orang tua berbeda – beda,
misalnya mendidik anak secara otoriter, yang menggunakan hukuman untuk memperkuat
kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan.
Cara mendidik anak yang bersifat demokratis dan permisif akan menjadikan suasana yang
santai akan menunjang emosi yang menyenangkan.

4.Hubungan dengan para anggota keluarga


Hubungan yang tidak rukun antara orang tua atau saudara akan lebih banyak
menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi negatif cenderung menguasai
kehidupan anak di rumah.

5.Hubungan dengan teman sebaya


Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya, maka emosi yang
menyenangkan akan menjadi dominan. Apabila anak ditolak atau diabaikan oleh kelompok
teman sebaya maka emosi yang dominan adalah emosi yang negatif.

6.Perlindungan yang berlebih-lebihan


Orang tua yang melindungi anak secara berlebihan, yang selalu berprasangka bahaya
terhadap sesuatu akan menimbulkan rasa takut pada anak menjadi dominan.

7.Bimbingan
Bimbingan dengan menitikberatkan kepada penanaman pengertian bahwa mengalami
frustasi diperlukan sekali waktu dapat mencegah kemarahan dan kebencian menjadi emosi
yang dominan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh yang
diterapkan orang tua merupakan salah satu kondisi juga sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi kecerdasan emosi anak.

3.Aspek- Aspek Pembentukan Kecerdasan Emosi


Cooper dan Sawaf, (2007) menyebutkan empat aspek kecerdasan emosi, yaitu:
1.Kesadaran emosi (emotional literacy)
Kesadaran Emosi bertujuan untuk membangun rasa percaya diri pribadi melalui
pengenalan emosi yang dialami dan kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran
emosi akan mempengaruhi penyaluran energi emosi ke arah yang konstruktif jika seseorang
dapat mengelola emosi yang telah dikenalnya.

2.Kebugaran emosi (emotional fitness)


Kebugaran emosi bertujuan mempertegas antusiasme dan ketangguhan untuk
menghadapi tantangan dan perubahan.Pada kebugaran emosi terdapat kemampuan untuk
mempercayai oran lain, mengelola konflik serta mengatasi kekecewaan dengan cara yang
membangun.

3.Kedalaman emosi (emotional depth)


Kedalaman emosi yaitu mencakup komitmen untuk menyelaraskan hidup dan kerja
dengan potensi serta bakat unik yang dimiliki. Dengan adanya kedalaman emosi, seseorang
dapat melakukan kerja dengan senang hati.

4.Alkimia emosi (emotional alchemy)


Alkimia emosi yaitu kemampuan kreatif untuk mengalir bersama masalah-masalah
dan tekanan-tekanan tanpa larut di dalamnya.Mencakup keterampilan bersaing dengan lebih
peka terhadap kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang masih terbuka
untuk memperbaiki hidup.

4.Ciri-ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi Tinggi


Dapsari (2007) mengemukakan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi
diantaranya:
1.Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidupnya, misalnya
saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan masalah yang dihadapi.

2.Terampil dalam membina emosinya, dimana orang tersebut terampil didalam mengenali
kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi.

3.Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, meliputi kecakapan intensionalitas, kreativitas,


ketangguhan, hubungan antarpribadi dan ketidakpuasan kostruktif.

4.Optimal pada nilai-nilai empati, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi dan integritas.

5.Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship quotient dan
kinerja optimal.

Goleman (2015) mengemukakan ciri seseorang yang memiliki kecerdasan emosi


tinggi yaitu:
1.Sosial mantap.
2.Mudah bergaul dan jenaka.
3.Tidak mudah takut dan gelisah.
4.Berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan.
5.Memikul tanggung jawab dan mempunyai pandangan moral.
6.Simpatik dan hangat dalam berhubungan.
7.Merasa nyaman dengan dirinya sendiri, orang lain maupun pergaulannya, dan
memandang dirinya secara positif.
5.Upaya Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak

Pelatihan emosi yang dilakukan orang tua merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan kecerdasan emosi yang dimiliki anak. John Gottman dan Joan
DeClaire (2010) mengemukakan bahwa pelatihan emosi biasanya digunakan oleh
orang tua untuk memupuk empati dalam membina hubungan dengan anak mereka
sambil meningkatkan kecerdasan emosi anak.Langkah-langkah yang digunakan untuk
melatih emosi menurut dua ahli di atas yaitu:

1.Menyadari emosi anak.


2.Mengenali emosi anak.
3.Mendengarkan dengan penuh empati dan menegaskan perasaan - perasaan anak.
4.Menolong anak untuk memberi nama bagi emosinya dengan kata-kata.
5.Menentukan batas-batas sambil menolong anak untuk memecahkan masalah.

Kecerdasan emosi dapat mendukung kesuksesan seseorang. Oleh karena itu,


perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembangkan kecerdasan emosi seseorang.
Salah satunya dengan cara pelatihan emosi seperti yang telah diuraikan di atas.

6.Fungsi perkembangan emosional pada anak usia dini


Ada beberapa fungsi dari perkembangan emosional pada anak usia dini diantaranya:
a.Perilaku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan
sosial terhadap dirinya.
Penilaian lingkungan sosial ini akan menjadi dasar individu dalam menilai
dirinya sendiri. Contoh: jika seorang anak sering mengekspresikan ketidaknyamannya
dengan menangis, lingkuangan sosialnya akan menilai ia sebagai anak yang
“cengeng”

b.Emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dapat mempengaruhi


Interaksi sosial anak melalui reaksi-reaksi yang ditampilkan lingkungannya.
Melalui reaksi lingkungan sosial anak dapat belajar untuk membentuk tingkah laku
emosi yang dapat diterima lingkungannya. Jika anak melemparkan mainannya saat
marah, reaksi yang muncul dari lingkungannya adalah kurang menyukai atau
menolaknya.

c.Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan, artinya jiks ada yang ditampilkan
dapat menentukan iklim psikologis lingkungan.
Artinya jika ada seorang anak yang pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat
mempengaruhi kondisi psikologis lingkungannya saat itu.
d.Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan.
Artinya jika seorang anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan
perilakunya tersebut dan lingkunganpun menyukainya maka anak akan melakukan perbuatan
tersebut berulang-ulang hingga akhirnya menjadi kebiasaan

f.Ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat mengahambat atau mengganggu aktivitas
motorik dan mental anak. Seorang anak yang mengalami stress atau ketakutan menghadapi
suatu situasi, dapat menghambat anak tersebut untuk melakukan aktivitas. Misalnya, seorang
anak akan menolak bermain kreasi dengan cat poster karena takut akan mengotori bajunya
dan dimarahi orang tua. Kegiatan kreasi dengan cat poster ini sangat baik untuk melatih
motorik halus dan indra perabaannya.

7.Jenis emosi pada anak usia dini


a.Gembira
Setiap orang dari berbagai usia mulai dari jenjang bayi hingga dewasa di seluruh
bumi ini mengenal dan memiliki pengalaman dalam mengekspresikan rasa kebahagiaan
yang dirasakannya. Misal, jika anak mampu mengerjakan tugasnya dengan baik dan guru
memberikan hadiah baik lisan maupun benda, anak akan kegirangan dan berteriak “hore
aku dapat hadiah dari bu guru”. Begitu pula seorang istri yang mendapat karangan bunga
dari suami dihari ulang tahunnya, istri akan tersenyum bahagia. Aktivitas kreatif saat
menemukan sesuatu yang dicari-cari dan kemenangan olahraga akan menampilkan
perasaan bahagia.

b.Marah
Rasa marah yang dirasakan manusia terpicunya karena tidak terpenuhinya sesuatu
sesuai keinginan atau harapannya. Rasa marah dilampiaskan dengan berbagai cara
misalnya orang yang ditendang akan baik menendang lebih keras dibarengi dengan tenaga
atau dorongan yang lebih keras. Chaplin (1998) dalam dictionary of psychology, bahwa
marah adalah reaksi emosional akut yang timbul karena sejumlah situasi yang merangsang,
termasuk ancaman, agresi lahiriyah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau
frustasi dan dicirikan kuat oleh reaksi pada sistem otomik, khususnya oleh reaksi darurat
pada bagian simpatetik, dan secara emplisit disebabkan oleh reaksi seragam, baik yang
bersifat somatis atau jasmaniyah maupun yang verbal atau lisan.

Emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap secara biologis yang telah
terbentuk sejak awal kelahiran. Diantara emosi primer adalah gembira, sedih, marah dan
takut. Sedangkan emosi sekunder merupakan emosi yang lebih kompleks dibandingkan
emosi primer. Emosi sekunder adalah emosi yang mengandung kesadaran diri atau evaluasi
diri, sehingga pertumbuhannya tergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Contoh:
malu, iri, dengki, sombong, angkuh, bangga, kagum, takjub, cinta, benci, bingung, terhina,
sesal dan sebagainya. Beragam emosi ini timbul dalam diri manusia pada kondisi dan
situasi tertentu dan pengendaliannya ditentukan oleh kemampuan yang berbeda-beda pada
masing-masing individu itu sendiri.
Konsep Anak Usia Pra Sekolah

1.Pengertian Anak Usia Pra Sekolah


Hidayat (2010) mengatakan anak merupakan individu yang berada dalam satu
rentang perubahan perkembangan yang mulai dari bayi hingga remaja. Masa anak
merupakan perkembangan yang dimulai dari bayi (0- 1 tahun), usia bermain/toddler
(1- 2,5 tahun), pra sekolah (2,5 – 5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), usia remaja (11-
18 tahun).Rentang ini berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainya karena
mengingat latar belakang anak yang berbeda.

Anak usia pra sekolah dalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka biasa
mengikuti program pra sekolah. Di Indonesia pada umumnya mereka mengikuti
program tempat penitipan anak 3 – 5 tahun dan kelompok bermain atau Play Group
( usia 3 tahun), sedangkan pada anak usia 4 -6 tahun biasanya mereka mengikuti
program taman kanak – kanak (TK) ( Patmonodewo, 2011).

2.Ciri Anak Usia Pra Sekolah


Menurut Snowman dalam Dewi dkk (2015), mengemukakan ciri-ciri anak usia
pra sekolah meliputi emosional, sosial, dan kognitif anak.
1.Ciri Emosional Anak Usia Pra Sekolah
Anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap sering
marah dan iri hati sering diperlihatkan.

2.Ciri Sosial Anak Usia Pra sekolah


Anak usia pra sekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang di sekitarnya.
Biasanya mereka mempunyai sahabat yang berjenis kelamin sama. Kelompok
bermainnya cenderung kecil dan tidak terlalu terorganisasi secara baik, oleh karena itu
kelompok tersebut cepat berganti-ganti.

3.Ciri Kognitif Anak Usia Pra Sekolah


Anak usia pra sekolah umumnya telah terampil dalam berbahasa. Sebagian besar dari
mereka senang berbicara, khususnya dalam kelompoknya. Sebagian dari mereka juga
perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
3.Tugas Perkembangan Anak Usia Pra Sekolah
Menurut Gunarsa (2010) tugas – tugas perkembangan anak usia dini (0 -6
tahun) adalah sebagia berikut :
1.Belajar berjalan. Belajar berjalan terjadi pada usia antara 9 sampai 15 bulan, pada usia
ini tulang kaki, otot dan sumsum sarafnya telah matang untuk belajar berjalan.

2.Belajar memakai pakaian. Terjadi pada tahun kedua, sistem alat – alat pencernaan
makanan dan alat – alat pengunyah pada mulut telah matang.

3.Belajar berbicara. Diperlukan kematangan otot – otot dan saraf dari alat – alat bicara
untuk dapat mengeluarkan suara yang berarti dan menyampaikannya kepada orang lain
dengan perantara suara.

4.Belajar buang air kecil dan buang air besar. Sebelum usia 4 tahun, anak pada umumnya
belum dapat menahan buang air besar dan kecil karena perkembangan saraf yang
mengatur pembuangan belum sempurna, sehingga diperlukan pembiasaan untuk
memberikan pendidikan kebersihan.

5.Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin. Agar anak mengenal jenis kelamin dengan
baik, maka orang tua prlu memperlakukan anaknya, baik dalam memberikan mainan,
pakaian maupun aspek lainya sesuai dengan jenis kelamin anak.

6.Mencapai kestabilan jasmaniah fisologis. Untuk mencapai kestabilan jasmaniah, bagi


anak diperlukan waktu sampai usia 5 tahun. Dalam proses tersebut, orang tua perlu
memberikan perawatan yang internsif baik menyangkut pemberian makanan yang
bergizi maupun pemeliharaan kebersihan.

7.Membentuk konsep sederhana tentang realitas sosial dan fisik. Mulanya dunia bagi
anak merupakan suatu keadaan yang kompleks. Perkembangan lebih lanjut anak
menemukan keteraturan dan membentuk generalisasi.

8.Belajar melibatkan diri secara emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.
Anak akan berinteraksi dengan orang- orang disekiratnya. Cara yang diperoleh dalam
belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang lain, akan menentukan sikapnya
di kemudian hari.

9. Belajar membentuk konsep tentang benar - salah.


Seiring berkembanganya anak, ia harus belajar pengertian baik - buruk, benar dan salah,
sebab sebagian makhluk sosial manusia tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri
saja, tetapi harus memperhatikan kepentingan oranmg lain. Sedangkan menurut Hurlock
(2010) tugas - tugas perkembangan anak usia 4 - 6 tahun adalah sebagai berikut:
1.Mempelajari ketrampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang umum.
2.Membangn sikap yang sehat mengenal diri sendiri sebaik makhluk yang sedang
tumbuh.
3.Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya.
4.Mulai mengembangkan peran sosial laki - laki atau perempuan dengan tepat.
5.Mengenbangkan ketrampila - keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan
berhitung.
6.Mengenbangkan pengertian - pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari -
hari.
7.Mengembangkan hati nurani, pengertian moral dan tingkah laku.
8.Mengembangkan sikap terhadap kelompok - kelompok sosial dan lembaga- lembaga.
9.Mencapai kebebasan pribadi.
Pola Asuh Orang Tua (X)

Variabel Indikator Diskriptor Item

(+) (-)

1. Mener
Pola Asuh a) Memberi aturan kepada anak
apkan b) Mengontrol kegiatan anak de-
Orang Tua
aturan. ngan cara yang menyenangkan

2. Mengaj a) Mengajarkan sopan santun


arkan kepada anak.
nilai/norm b) Mengenalkan perilaku baik
dan buruk kepada anak
a
a) Memberi anak nasihat dan
3. Membe
bimbingan
rikan b) Membawa anak ke klinik
perhatian ketika sakit
dan kasih
sayang

4. Melind
a) Menjaga pola kesehatan anak
ungi b) Memberi anak makanan
bergizi
5. Mengar
ahkan a) Mengawasi anak ketika
tingkah bertemu teman sebaya
laku anak b) Menegur anak ketika salah
selama
masa
perkemba
ngan

6. Membe
a) Memberi contoh yang baik
ri
kepada anak
pengaruh b) Membimbing anak dengan
terhadap sabar
perkemba
ngan
kepribadi
an anak

Perkembangan Emosional(Y)

Variabel Indikator Diskriptor Item

(+) (-)

Perkemb 1. Mengenali emosi a) Merasakan kesulitan,


angan diri kesusahan, dan penderitaan
anggota keluar-ga, teman dan
Emosion guru (orang yang telah
al dikenal)
b) Merasakan kesulitan,
kesusahan, dan penderitaan
yang dirasakan masyarakat
umum (orang yang tidak
dikenal)
2. Memotivasi diri
sendiri a) Memberi apresiasi terhadap
pencapaian anak
b) Selalu memberi anak semangat
dalam kegiatan apa pun
3. Mengenali emosi
a) Memahamai sikap dan tingkat
orang lain emosional orang sekitar beserta
cara menanggapi nya baik itu
4. Membina emosi nyanegatif atau positif
hubungan baik
dengan orang lain a) Berinteraksi dengan lingkungan
sekitar baik itu
masyarakat,keluarga maupun
teman sebaya sesering mungkin

Anda mungkin juga menyukai