A. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan
emosional anak
2. Melihat gambaran pola asuh orangtua terhadap anak
3. Mengetahui hasil akhir hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan
emosional anak di TK Al-Hidayah Kumpulan
B. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
Terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan perkembangan emosional anak di TK
Al-Hidayah Kumpulan
C. Defenisi Operasional
Beberapa defenisi yang perlu dikemukakan dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut:
1. Pola asuh adalah suatu interaksi antara orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan
seperti menerapkan aturan, mengajarkan nilai/ norma, memberikan perhatian dan kasih
sayang, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta
member pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
2. Kecerdasan emosional adalah mengenali emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang ain, dan membina hubungan baik dengan orang lain.
D. Landasan Teori
Berkenaan dengan kajian pustaka ini, dikemukakan: (a) konsep pola asuh, (b) kecerdasan
emosi, (c) konsep anak usia pra sekolah
Shocib (1998:14) menyatakan bahwa pola pertemuan antara orang tua sebagai
pendidik dan anak sebagai terdidik dengan maksud bahwa orangtua mengarahkan anaknya
sesuai dengan tujuan yaitu membantu anak memiliki dan mengembangkan dasar-dasar
perilaku moral. Orangtua dan anak sebagai pribadi dan pendidik dapat mengelola bentuk pola
asuhnya dalam menanamkan perilaku moral dan mengembangkan segala aspek pada anak
sesuai dengan tempat, situasi dan kondisi yang bersangkutan. (Jannah 2012).
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pola asuh orang tua yaitu pola pengasuhan orangtua terhadap anak, yaitu
bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta
melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan sampai dengan membentuk perilaku
anak sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Pola
asuh orang tua sangat berperan dalam perkembangan, kualitas pendidikan serta kepribadian
anak. Oleh karena itu, pola asuh yang diterapkan setiap orang tua perlu mendapat perhatian.
Menurut Hurlock (2002) jenis kelamin anak juga berpengaruh pada pola asuh. Orangtua jauh
lebih baik dalam memberikan ola asuh jenis kelamin anak sesuai dengan jenis kelamin yang
diinginkan oleh orantua. Sehingga sering kita lihat orangtua yang salah dalam
memperlakukan pola asuh untuk anak, contohnya jika orangtua menginginkan anak laki-laki
tetapi yang lahir anak perempuan , terkadang membuat orangtua frustasi dan memperlakukan
dan mengasuh anak perempuan seperti laki-laki, dilarang cengeng, diberikan mainan laki-
laki, dilarang memakai rok, dan masih banyak hal lagi. (Windarwati, Melani, AND Yustita
2013).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu
interaksi antara orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti menerapkan aturan,
mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih sayang, melindungi, dan
mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta memberi pengaruh
terhadap perkembangan kepribadaian anak dan terkait dengan kondisi psikologis anak
bagaimana cara orang tua mengkomunikasikan perasan dan norma – norma yang berlaku di
masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.Selain itu pola asuh permisif
juga di tandai dengan adanya kebebasan yang diberikan kepada anak untuk berperilaku sesuai
dengan keinginan sendiri. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena
orangtua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya anak berperilaku
sesuai dengan keinginan sendiri, tidak perduli apakah hal itu sesuai dengan norma
masyarakat atau tidak. Keadaan lain pada pola asuh ini adalah anak – anak bebas bertindak
dan berbuat. Anak dari orang tua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak
dewasa, kesulitan belajar menghargai orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya,
egosentris, tidak menuruti peraturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya
(Santrock, 2013).
Menurut Hourlock (2010) mengemukakan ada tiga jenis pola asuh orangtua terhadap
anaknya, yakni:
Selain itu menurut pendapat Baumrind (dalam Santrock, 2002: 257-258) ada tiga
macam bentuk pola asuh yang diterapkan oleh masing – masing orang tua, bentuk – bentuk
pola asuh itu adalah pola asuh demokratis, pola asuh otoriter dan pola asuh permisif. Dari
ketiga macam bentuk pola asuh itu, bentuk pola asuh demokratislah yang paling baik
diterapkan oleh orang tua dalam mengasuh anak – anaknya.
3) Pola Asuh Permisif
Baumrind (Agoes Dariyo ,2013) menjelaskan bahwa pengasuhan yang bersifat
permisif ialah suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Pola
asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak yang cenderung bebas, anak dianggap
sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas – luasnya untuk melakukan
apa saja yang dikehendaki.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Dalam setiap keluarga, terutama orang tua memiliki norma dan alasan tertentu dalam
menerapkan pola asuh kepada anak – anaknya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola
asuh (Harlock, 2010), yaitu:
1) Pekerjaan
Orangtua dari kalangan menegah ke bawah akan lebih tidak baik dan memaksa dari
pada dari mereka dari menengah keatas. Semakin tinggi profersi orang tua maka akan
mempengaruhi pola asuh yang diberikan. Jika orang tua memiliki pekerjaan yang mapan
maka kesejahteraan keluarga juga meningkat dan peranpengasuhan pun dapat terlaksana
dengan baik (Supartini, 2010). Orang tua akan cenderung menerapkan pola asuh demokratis.
Metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak
mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Jadi dalam pola asuh ini terdapat komunikasi
yang baik antara orangtua dengan anak.
2) Usia
Usia muda lebih cenderung demokratis dibandingkan dengan mereka yang tua, karena
pada usia muda orang tua cenderung dapat menerima hal-hal yang baru dan mampu dalam
mengakses teknologi informasi sehingga penerapan pola asuh yang baik mudah diterapkan.
Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson (2013) menunjukkan bahwa pendidikan di
artikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan –
perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap.
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelunya dapat mengasuh anak akan lebih
siap dalam menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-
tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
5) Jenis Kelamin
Orang Tua umunya akan lebih protektif terhadap anak perempuan dibandingkan
dengan anak laki – lakinya.
1.Peraturan, tujuanya adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui
dalam situasi tertentu. Hal ini berfusngsi untuk mendidik dan bersikap lebih bermoral.
Karenan peraturan memiliki nilai pendidikan mana yang baik serta mana yang tidak.
Peraturan juga akan membantu mengekan perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah
dimengerti, diingat dan diterima oleh anak sesuai fungsi peraturan itu sendiri.
2.Hukuman, yaitu merupakan sanksi pelanggaran. Hukuman memiliki tiga peranan penting
dalam perkembangan moral anak. Pertama,hukuman menghalangi pengulangan tindakan
yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Kedua hukuman sebagai pendidik, karena sebelum
anak tahu tentang peraturan merekan dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah,
dan tindakan yang salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi
untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
3.Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harus berupa benda atau materi,
namun dapat berupa kata – kata pujian, senyuman,dan ciuman. Biasanya hadiah diberikan
setelah anak melaksanakan hal yang terpuji. Fungsi penghargaan meliputi penghargaan
mempunyai nilai yang mendidik, motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara
sosial serta memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tiadanya penghargaan
melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku itu.
Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman. Sehingga anak tidak bingung tentang apa
yang diharapkan pada mereka. Fungsi konsistensi adalah mempunyai nilai didik yang besar
sehingga dapat memacu proses belajar, memiliki motivasi yang kuat akan mempertinggi
penghargaan terhadap peraturan dan orang tua yang berkuasa. Oleh karena itu orang tua harus
konsisten dalam menerapkan semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang.
Baumrind (Agoes Dariyo, 2011) mengatakan bahwa setiap pola asuh yang diterapkan
memiliki akibat positif dan negatif. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan pada pola asuh
otoriter, maka akibat negatif yang timbul pada pola asuh ini akan cenderung lebih dominan.
Hal yang senada juga disampaikan oleh (Bjorklund, 2010) yang mengatakan bahwa pola asuh
otoriter menjadikan seorang anak menarik diri dari pergaulan serta tidak puas dan tidak
percaya terhadap orang lain. Namun, tidak hanya akibat negatif yang ditimbulkan, tetapi juga
terdapat akibat positif atau kelebihan dari pola asuh otoriter yaitu anak yang dididik akan
menjadi disiplin yakni menaati peraturan. Meskipun, anak cenderung disiplin hanya di
hadapan orang tua.
Pola asuh demokratis memiliki kelebihan yaitu menjadikan anak sebagai seorang
individu yang mempercayai orang lain, bertanggungjawab terhadap tindakannya, tidak
munafik, dan jujur. Pendapat (Bjorklund, 2010) memperkuat pendapat Baumrind bahwa pola
asuh otoritatif juga menjadikan anak mandiri, memiliki kendali diri, bersifat eksploratif, dan
penuh dengan rasa percaya diri. Namun, terdapat kekurangan dari pola asuh otoritatif yaitu
menjadikan anak cenderung mendorong kewibawaan otoritas orang tua, bahwa segala sesuatu
harus dipertimbangkan antara anak dan orang tua.
Pada pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan yang sebebas- bebasnya
kepada anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelebihan pola asuh ini adalah memberikan
kebebasan yang tinggi pada anak dan jika kebebasan tersebut dapat digunakan secara
bertanggung jawab, maka akan menjadikan anak sebagai individu yang mandiri, kreatif,
inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya. Di samping kelebihan tersebut, akibat
negatif juga ditimbulkan dari penerapan pola asuh ini yaitu dapat menjadikan anak kurang
disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Sejalan dengan pendapat tersebut juga
menyampaikan bahwa pola asuh permisif menjadikan anak kurang dalam harga diri, kendali
diri dan kecenderungan untuk bereksplorasi. Setiap pola asuh yang diterapkan orang tua
memiliki dampak positif dan negatif terhadap perilaku dan kondisi emosi seorang anak. Agar
anak berkembang dengan baik, maka setiap orang tua perlu memilih jenis pola asuh yang
sesuai dengan karakteristik anak.
Kecerdasan Emosi
Emosi adalah letupan perasaan yang muncul dari dalam diri seseorang, baik bersifat
positif ataupun negatif.5 Sedangkan dalam pengertian yang sederhana, Lawrence E. Shapiro
menjelaskan, emosi adalah kondisi kejiwaan manusia.6 Karena sifatnya yang psikis atau
kejiwaan, lanjut Lawrence, maka emosi hanya dapat dikaji melalui letupan-letupan
emosioanal atau gejala-gejala dan fenomena-fenomena. Seperti kondisi sedih, gembira,
gelisah, benci, dan lain sebagainya. (Mulyani 2017)
Menurut Crow dan Crow (1958), perngertian emosi adalah ‘An emotion, is an
affective experience that accompanies generalized inner adjustement and mental and
physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his evert behavior’.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang digeneralisasikan dalam penyesuaian diri dan
mental sehingga dapat menerangkan siapa individu tersebut sesungguhnya dan ditunjukan
dalam setiap perilakunya. (Sukatin et al. 2020)
Perkembangan emosi, dalam artian yang sederhana adalah luapan perasaan ketika
anak berinteraksi dengan orang lain.7 Umar Fakhrudin menjelaskan bahwa perkembangan
emosi adalah proses yang berjalan secara perlahan dan anak dapat mengontrol dirinya ketika
menemukan self comforting behavior atau merasa nyaman. Atau dengan kata lain, anak
belajar emosinya secara bertahap.
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri
individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Jadi
emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi sering
didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman afektif, kenikmatan atau
ketidaknikmatan, marah terkerjut, bahagia, sedih dan jijik. Emosi juga sering berhubungan
dengan ekspresi tingkah laku dan respon-respon fidiologis. Menurut Elizabeth B. Hurlock,
kemampuan anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada semenjak bayi baru dilahirkan.
Gejala pertama perilaku emosional ini adalah berupa keterangsangan umum. Dengan
meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka kurang menyebar, kurang sembarangan,
lebih dapat dibedakan, dan lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain
terhadap luapan emosi yang berlebihan.
2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut (Goleman, 2015), ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, faktor
tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.
1.Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri seorang individu yang
dipengaruhi oleh keadaan otak emosi seseorang. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah
sistem limbik. SistemLimbik terletak jauh dalam himisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi.
2.Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi
individu untuk mengubah sikap. Pengaruh luar dapat bersifat individu maupun kelompok.
Misalnya antara individu kepada individu lain ataupun antara kelompok kepada individu
maupun sebaliknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak merupakan salah satu
contoh pengaruh yang diberikan dari individu kepada individu lain, dalam hal ini adalah
anak. Pengaruh juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media
masa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit. Kondisi
ikut mempengaruhi emosi.
Hasil riset yang dilakukan oleh Ridhoyanti Hidayah & Eka Yunita & Yulian Wiji
Utami tahun (2015) di TK Senaputra Malang, orangtua yang menggunakan pola asuh
demokratis sebesar 63,15 %, pola asuh otoriter sebesar 19,29% dan pola asuh permisif
sebesar 17,56%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahwa mayoritas orangtua
siswa TK Senaputra terdapat pola asuh demokratis.Dari hasil penelitian tersebut menjukkan
bahwa anak usia prasekolah yang memiliki tingkat kecerdasan emosional baik sebesar
63,16%, tingkat kecerdasan emosional cukup sebesar 26,31% dan tingkat kecerdasan
emosional kurang sebesar 10,53%.Pengujian menggunakan uji kolerasi Spearman Rank
menghasilkan nilai p value sebesar 0,000 yang berarti bahwa kedua variabel mempunyai
hubungan yang signifikan/bermakna karena nilai p value <0,05 yang artinya ada hubungan
antara pola asuh orangtua dengan tingkat kecerdasan emosional anak usia prasekolah.
Menurut (Hurlock, 2010) ada beberapa kondisi yang mempengaruhi emosi seseorang,
diantaranya sebagai berikut:
1.Kondisi kesehatan
Kondisi kesehatan yang baik mendorong emosi yang menyenangkan menjadi
dominan, sedangkan kesehatan yang buruk menjadikan emosi yang tidak menyenangkan
lebih menonjol.
2.Suasana rumah
Suasana rumah yang berisi kebahagiaan, sedikit kemarahan, kecemburuan dan
dendam, maka anak akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang
bahagia.
3.Pola asuh orang tua
Pola asuh yang digunakan untuk mendidik anak oleh orang tua berbeda – beda,
misalnya mendidik anak secara otoriter, yang menggunakan hukuman untuk memperkuat
kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang tidak menyenangkan menjadi dominan.
Cara mendidik anak yang bersifat demokratis dan permisif akan menjadikan suasana yang
santai akan menunjang emosi yang menyenangkan.
7.Bimbingan
Bimbingan dengan menitikberatkan kepada penanaman pengertian bahwa mengalami
frustasi diperlukan sekali waktu dapat mencegah kemarahan dan kebencian menjadi emosi
yang dominan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh yang
diterapkan orang tua merupakan salah satu kondisi juga sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi kecerdasan emosi anak.
2.Terampil dalam membina emosinya, dimana orang tersebut terampil didalam mengenali
kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi.
4.Optimal pada nilai-nilai empati, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi dan integritas.
5.Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship quotient dan
kinerja optimal.
Pelatihan emosi yang dilakukan orang tua merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan kecerdasan emosi yang dimiliki anak. John Gottman dan Joan
DeClaire (2010) mengemukakan bahwa pelatihan emosi biasanya digunakan oleh
orang tua untuk memupuk empati dalam membina hubungan dengan anak mereka
sambil meningkatkan kecerdasan emosi anak.Langkah-langkah yang digunakan untuk
melatih emosi menurut dua ahli di atas yaitu:
c.Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan, artinya jiks ada yang ditampilkan
dapat menentukan iklim psikologis lingkungan.
Artinya jika ada seorang anak yang pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat
mempengaruhi kondisi psikologis lingkungannya saat itu.
d.Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan.
Artinya jika seorang anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan
perilakunya tersebut dan lingkunganpun menyukainya maka anak akan melakukan perbuatan
tersebut berulang-ulang hingga akhirnya menjadi kebiasaan
f.Ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat mengahambat atau mengganggu aktivitas
motorik dan mental anak. Seorang anak yang mengalami stress atau ketakutan menghadapi
suatu situasi, dapat menghambat anak tersebut untuk melakukan aktivitas. Misalnya, seorang
anak akan menolak bermain kreasi dengan cat poster karena takut akan mengotori bajunya
dan dimarahi orang tua. Kegiatan kreasi dengan cat poster ini sangat baik untuk melatih
motorik halus dan indra perabaannya.
b.Marah
Rasa marah yang dirasakan manusia terpicunya karena tidak terpenuhinya sesuatu
sesuai keinginan atau harapannya. Rasa marah dilampiaskan dengan berbagai cara
misalnya orang yang ditendang akan baik menendang lebih keras dibarengi dengan tenaga
atau dorongan yang lebih keras. Chaplin (1998) dalam dictionary of psychology, bahwa
marah adalah reaksi emosional akut yang timbul karena sejumlah situasi yang merangsang,
termasuk ancaman, agresi lahiriyah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau
frustasi dan dicirikan kuat oleh reaksi pada sistem otomik, khususnya oleh reaksi darurat
pada bagian simpatetik, dan secara emplisit disebabkan oleh reaksi seragam, baik yang
bersifat somatis atau jasmaniyah maupun yang verbal atau lisan.
Emosi primer adalah emosi dasar yang dianggap secara biologis yang telah
terbentuk sejak awal kelahiran. Diantara emosi primer adalah gembira, sedih, marah dan
takut. Sedangkan emosi sekunder merupakan emosi yang lebih kompleks dibandingkan
emosi primer. Emosi sekunder adalah emosi yang mengandung kesadaran diri atau evaluasi
diri, sehingga pertumbuhannya tergantung pada perkembangan kognitif seseorang. Contoh:
malu, iri, dengki, sombong, angkuh, bangga, kagum, takjub, cinta, benci, bingung, terhina,
sesal dan sebagainya. Beragam emosi ini timbul dalam diri manusia pada kondisi dan
situasi tertentu dan pengendaliannya ditentukan oleh kemampuan yang berbeda-beda pada
masing-masing individu itu sendiri.
Konsep Anak Usia Pra Sekolah
Anak usia pra sekolah dalah mereka yang berusia 3 – 6 tahun. Mereka biasa
mengikuti program pra sekolah. Di Indonesia pada umumnya mereka mengikuti
program tempat penitipan anak 3 – 5 tahun dan kelompok bermain atau Play Group
( usia 3 tahun), sedangkan pada anak usia 4 -6 tahun biasanya mereka mengikuti
program taman kanak – kanak (TK) ( Patmonodewo, 2011).
2.Belajar memakai pakaian. Terjadi pada tahun kedua, sistem alat – alat pencernaan
makanan dan alat – alat pengunyah pada mulut telah matang.
3.Belajar berbicara. Diperlukan kematangan otot – otot dan saraf dari alat – alat bicara
untuk dapat mengeluarkan suara yang berarti dan menyampaikannya kepada orang lain
dengan perantara suara.
4.Belajar buang air kecil dan buang air besar. Sebelum usia 4 tahun, anak pada umumnya
belum dapat menahan buang air besar dan kecil karena perkembangan saraf yang
mengatur pembuangan belum sempurna, sehingga diperlukan pembiasaan untuk
memberikan pendidikan kebersihan.
5.Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin. Agar anak mengenal jenis kelamin dengan
baik, maka orang tua prlu memperlakukan anaknya, baik dalam memberikan mainan,
pakaian maupun aspek lainya sesuai dengan jenis kelamin anak.
7.Membentuk konsep sederhana tentang realitas sosial dan fisik. Mulanya dunia bagi
anak merupakan suatu keadaan yang kompleks. Perkembangan lebih lanjut anak
menemukan keteraturan dan membentuk generalisasi.
8.Belajar melibatkan diri secara emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.
Anak akan berinteraksi dengan orang- orang disekiratnya. Cara yang diperoleh dalam
belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang lain, akan menentukan sikapnya
di kemudian hari.
(+) (-)
1. Mener
Pola Asuh a) Memberi aturan kepada anak
apkan b) Mengontrol kegiatan anak de-
Orang Tua
aturan. ngan cara yang menyenangkan
4. Melind
a) Menjaga pola kesehatan anak
ungi b) Memberi anak makanan
bergizi
5. Mengar
ahkan a) Mengawasi anak ketika
tingkah bertemu teman sebaya
laku anak b) Menegur anak ketika salah
selama
masa
perkemba
ngan
6. Membe
a) Memberi contoh yang baik
ri
kepada anak
pengaruh b) Membimbing anak dengan
terhadap sabar
perkemba
ngan
kepribadi
an anak
Perkembangan Emosional(Y)
(+) (-)