Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Psikologi MANDALA

2020, Vol. 4, No. 1, 57-70


ISSN: 2580-4065

Regulasi Emosi Orang Tua yang Mempunyai Anak Autis


di Pusat Layanan Autis Kota Denpasar

Sinta Wahidayanti
Program Studi Psikologi, Fakultas Ekonomika dan Humaniora,
Universitas Dhyana Pura
Email: sintawahida13@gmail.com

Abstrak. Orang tua memiliki tantangan yang lebih besar dalam merawat anak
autis, karena anak autis memiliki tantangan yang membuat orang tua harus
ekstra dalam pengasuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menemukan aspek-aspek serta faktor-faktor yang mendukung regulasi emosi
orang tua yang mempunyai anak autis di PLA Kota Denpasar. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatıf dengan pendekatan
fenomenologi. Adapun hasil penelitian ini bahwa orang tua yang mempunyai
anak autis mampu meregulasi emosinya dengan mengevaluasi dan mengubah
reaksi-reaksi emosional sehingga dapat bertingkah laku secara adaptif sesuai
dengan situasi yang terjadi yang didukung oleh keempat aspek yaitu
strategies to emotion regulation, engaging on goal directed behavior, control
emotional responses, acceptance of emotional responses serta tujuh faktor
yaitu usia, jenis kelamin, religiusitas, budaya, goals, frekuensi dan
capabilties.

Kata Kunci: Orang tua, Anak Autis, Regulasi Emosi, Kualitatif:


Fenomenologi.

Abstract. Parents hold greater challenges in taking care of autistic children


since they have bigger challenges which cause parents to be extra in
babysitting. This study aimed at describing and finding the aspects and factors
supporting the emotional regulations of parents with autistic children at PLA
of Denpasar City. In this study, the researcher used qualitative method with
phenomenology approach. The result of this study showed that parents who
had autistic children were capable of regulating their emotions by evaluating
and changing emotional reactions so that they were able to behave adaptively
in accordance to the situations supported by 4 aspects namely, strategies to
emotion regulation, engaging on goal directed behavior, control emotional
responses and acceptance of emotional responses and also 7 factors including
age, gender, religiousness, culture, goals, frequency and capabilities.

Keywords: Parents, Autistic Children, Emotion Regulation, Qualitative:


Phenomenology.

57
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

Pendahuluan orang tua yang memiliki anak disabilitas


Pertumbuhan dan perkembangan atau gangguan diantaranya down
adalah proses yang berbeda namun syndrome, tourette syndrome, autis dan
keduanya saling berkaitan satu sama lain ADHD, penelitian menemukan bahwa
dan proses tersebut merupakan yang memiliki tingkat stres pengasuhan
perubahan yang terjadi pada setiap tertinggi adalah orang tua dari anak
makhluk hidup (Jafar & Apt, 2005). dengan gangguan autis.
Demikian halnya, setiap anak akan Autis merupakan gangguan
melewati proses tumbuh kembang sesuai perkembangan yang gejalanya sudah
dengan tahapan usianya, akan tetapi tampak sebelum anak mencapai umur
terdapat beberapa faktor yang tiga tahun yaitu dengan tidak adanya
memengaruhi di antaranya faktor kontak mata dan tidak menunjukkan
genetik dan lingkungan sejak respons terhadap lingkungan (Saharso,
prenatal, perinatal, dan postnatal 2004). Strock (Hallahan & Kauffman,
(Usman & Sukandar, 2014). Dari 2006) menyatakan autisme merupakan
beberapa faktor yang memengaruhi gangguan perkembangan pervasif. Tiga
tumbuh kembang anak pastinya terdapat area yang merupakan tanda keterbatasan
permasalahan yang berbeda- autis yaitu: keterampilan komunikasi,
beda. Apabila dalam masa interaksi sosial, dan pengulangan pola
perkembangan anak terhambat atau perilaku. Kebanyakan orang tua
mengalami gangguan, orang yang mengalami shock bercampur perasaan
pertama kali akan merasakan kesedihan sedih, khawatir cemas, takut dan marah
serta kekhawatiran terhadap anak ketika mengetahui anaknya mengalami
tentunya adalah orang tua. Setiap orang gangguan autis (Safaria, 2005). Menurut
tua pasti menginginkan anaknya dapat Tomanik, Harris dan Hawkins (Pisula,
tumbuh dan berkembang dengan 2011) ditemukan bahwa dua pertiga ibu
pesat. Menurut Lutfianawati dkk (2019) dari anak autis menunjukkan adanya
orang tua yang mempunyai anak dengan tingkat stres pengasuhan yang tinggi.
gangguan perkembangan seperti halnya Maka dari itu, autis merupakan
retardasi mental sebagian besar gangguan yang gejalanya sudah tampak
mengalami stres sebelum anak mencapai umur 3 tahun
ringan. Sedangkan, pada orang tua yang dengan tidak adanya kontak mata serta
mempunyai anak dengan gangguan autis tidak menunjukkan adanya respons
mengalami tingkat stres yang sangat lingkungan. Selain itu, adanya 3 area
tinggi, dibandingkan dengan yang tanda keterbatasan autis yakni dari segi
dialami oleh orang tua dari anak-anak keeterampilan komunikasi, interaksi
yang mengalami hampir semua jenis sosial dan pengulangan pola perilaku.
gangguan ataupun masalah kesehatan Orang tua mempunyai tantangan
(Fido & Al-Saad, 2013; Osborne, dkk. yang lebih besar dalam merawat anak
2007). Hal ini juga selaras dengan autis, karena anak autis memiliki
penelitian Phelps dkk (2009) perilaku yang membuat orang tua harus
membuktikan bahwa dari beberapa ekstra dalam pengasuhan (Chodidjah &

58
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

Kusumasari, 2018). Orang tua dituntut barang yang diinginkanya dan terus
menerima kondisi anak dan mengenal mengingat akan hal tersebut secara terus
lebih dalam mengenai autis. orang tua menerus, KA meregulasi emosinya
harus memikirkan reaksi lingkungan dengan berusaha untuk memenuhi serta
terhadap anak dan menghadapi mengalihkan dengan mengajaknya
keterbatasan-keterbatasan serta bermain. Sedangkan pada subjek kedua
kebutuhan khusus anak. Tuntutan- yaitu EM dalam meregulasi emosinya
tuntutan tersebut akan memengaruhi dengan menahan, menegur, bahkan jika
emosi orang tua dalam menghadapi anak sudah keterlaluan subjek mencubit sang
autis sehingga harus dikelola dengan anak. Tekanan maupun tuntutan yang
baik. Kemampuan orang tua dalam dialami orang tua selama merawat anak
mengelola emosi yang dirasakannya penyandang autis berbeda-beda pada
disebut regulasi emosi. Regulasi emosi umumnya. Kemampuan regulasi emosi
didefinisikan sebagai cara individu yang baik diharapkan dapat mengurangi
memengaruhi emosi yang mereka miliki, emosi-emosi negatif. Berdasarkan uraian
kapan mereka merasakannya dan di atas maka peneliti tertarik melakukan
bagaimana mereka mengalami atau penelitian tentang regulasi emosi
mengekspresikan emosi tersebut. dikarenakan anak autis memiliki
Regulasi emosi juga dapat diartikan perilaku yang membuat orang tua harus
sebagai kemampuan untuk ekstra dalam pengasuhan. Tantangan
mengevaluasi dan mengubah reaksi- maupun tuntutan yang dijalani tersebut
reaksi emosional untuk bertingkah laku akan memengaruhi emosi orang tua
tertentu yang sesuai dengan situasi yang dalam menghadapi anak autis sehingga
sedang terjadi (Gross, Thompson, harus dikelola dengan baik.
Garnefski dalam Salamah 2009). Orang
tua harus meregulasi emosinya seiring Metode
pengasuhan terhadap anak. Kemampuan Penelitian ini menggunakan metode
regulasi emosi yang baik dapat penelitian kualitatif dengan model
membantu orang tua dalam mengatasi penelitian fenomenologi. Pengumpulan
ketegangan, reaksi-reaksi emosional dan data pada penelitian ini yaitu dengan
mengurangi emosi-emosi negatif. menggunakan beberapa metode
Berdasarkan wawancara yang telah observasi, wawancara dan dokumentasi.
dilakukan di Pusat Layanan Autis Kota Unit analisa yang peneliti kaji adalah
Denpasar pada tanggal 23 September regulasi emosi orang tua yang
2019 dengan orang tua yang mempunyai mempunyai anak autis, sedangkan unit
anak autis, peneliti menemukan bahwa amatan dalam penelitian ini adalah Pusat
narasumber berusaha meregulasi Layanan Autis Kota Denpasar. Adapun
emosinya dengan cara yang berbeda- karakteristik unit yang akan diamati
beda ketika menghadapi permasalahan ialah orang tua yang mempunyai anak
berkaitan dengan pengasuhan anaknya. autis di Pusat Layanan Autis Kota
Pada subjek KA menyatakan bahwa Denpasar dan orang tua yang anaknya
ketika anaknya ingin meminta sesuatu menjalankan program kelas dan terapi di

59
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

Pusat Layanan Autis Kota Denpasar. dan bagaimana individu mengalami dan
Subjek dalam penelitian ini berjumlah mengekspresikan emosi tersebut. Proses
dua pasang orang tua atau total subjek tersebut meliputi menurunkan dan
penelitian adalah berjumlah empat orang meningkatkan emosi yang positif
yang mudah ditemui, lebih terbuka dan maupun negatif (Gross, 2007). Individu
bersedia ikut serta dalam wawancara. yang memiliki kemampuan meregulasi
Sedangkan, informan dalam penelitian emosi dapat mengendalikan dirinya
ini ialah 1 orang terdekat yaitu keluarga apabila sedang kesal dan dapat
dari masing-masing subjek serta satu mengatasi rasa cemas, sedih atau marah
orang informan dari PLA sebagai sehingga mempercepat dalam
Koordinator Layanan Umum. Analisis pemecahan suatu masalah (Syahadat,
data pada penelitian ini menggunakan 2013).
model Miles dan Huberman (dalam Berdasarkan hasil analisis data,
Herdiansyah, 2015) dengan teknik peneliti mendapati bahwa Orang tua 1
pengumpulan data, reduksi data, dan 2 telah memenuhi aspek-aspek
penyajian data dan penarikan regulasi emosi melalui berbagai macam
kesimpulan dan verifikasi. Teknik cara seiring dengan pengasuhan sang
validasi yang penulis gunakan dalam anak. Selain itu, peneliti juga mendapati
penelitian ini yaitu triangulasi sumber adanya faktor-faktor yang mendukung
data melalui penggabungan antara dat dalam memengaruhi regulasi emosi
yang diperoleh dari wawancara, orang tua yang mempunyai anak autis di
observasi, dan dokumentasi. PLA Kota Denpasar yaitu usia, jenis
kelamin, religiusitas, budaya, goals,
Hasil dan Pembahasan frekuensi dan capabilities. Walaupun
Perasaan yang dialami oleh kedua pada mulanya orang tua merasakan
pasangan orang tua ketika mengetahui emosi negatif selama pengasuhan anak
anak mengalami autis pada saat itu namun dengan seiring berjalannya waktu
adalah sedih, marah, kecewa dan sedikit terlebih lagi semenjak anak terdiagnosa
tidak terima atas kondisi sang anak. Hal mengalami autis pada umur 8 dan 15
ini pun juga disampaikan oleh (Safaria, tahun yang lalu, orang tua mampu untuk
2005) dimana kebanyakan orang tua mengevaluasi dan mengubah reaksi-
mengalami shock bercampur perasaan reaksi emosional untuk bertingkah laku
sedih, khawatir cemas, takut dan marah adaptif sesuai dengan situasi yang terjadi
ketika mengetahui anaknya mengalami (Gross, Thompson, Garnefski dalam
gangguan autis. Tuntutan-tuntutan Salamah 2009). Adapun aspek-aspek
maupun tantangan yang lebih besar regulasi emosi orang tua yang
ketika mempunyai anak autis membuat mempunyai anak autis di PLA Kota
orang tua harus meregulasi emosinya Denpasar sebagai berikut:
seiring pengasuhan sang anak. Regulasi 1. Strategies to emotion regulation
emosi merupakan suatu proses individu Orang tua memiliki kemampuan
dalam memengaruhi emosi yang dalam strategies to emotion regulation
dimilikinya, kapan individu merasakan dengan berbagai macam cara yaitu

60
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

dengan membiarkan sang anak ketika lain, orang tua pernah merasa kecewa
sedang mengalami tantrum, berbagi terhadap kondisi sang anak tetapi
cerita dengan pasangan maupun dengan berpikir kembali bahwa ini semua adalah
temannya ketika mempunyai anak nasib dan merasa bangga sudah
penyandang autis. Selain itu orang tua diberikan kepercayaan dalam merawat
juga berdoa agar diberikan kesembuhan anak spesial serta tidak lupa untuk selalu
serta kekuatan selama merawat sang menjalaninya dengan ikhlas dan tabah.
anak serta dapat tetap tenang. Orang tua Sedangkan orang tua 2 menganggap
juga mengambil kegiatan yang positif bahwa takdir yang diberikan merupakan
seperti berkebun, melakukan pekerjaan ada pada kesalahan di dalam kehidupan
rumah dengan menyapu serta mengikuti terdahulu secara Hindu.
adanya kelas parenting yang diadakan di Selain itu, orang tua 1 berdoa agar
PLA. Ketika sedang penat di rumah pun diberikan kesehatan pada dirinya dalam
mereka mengajak sang anak jalan-jalan merawat sang anak, mengikuti sharing-
dan berharap agar anak dapat sharing, serta untuk tidak terpengaruh
bersosialisasi. Menurut Dennis (2007), emosi negatif selama merawat anak
regulasi emosi merupakan strategi yang terutama ketika anak tengah membuat
digunakan oleh individu untuk kesalahan di lingkungan sekitar orang
mengubah jalan dan pengalaman dalam tua berusaha untuk meminta maaf dan
mengungkapkan emosi. Dari hal tersebut menjelaskan terkait kondisi sang anak.
orang tua telah memenuhi aspek Hal ini berbanding terbalik dengan apa
strategies to emotion regulation yang dikatakan oleh Santrock (2007)
(strategies) yang dikemukakan oleh dimana para orang tua sering kali
Gross (2007) yaitu keyakinan individu menerapkan manipulasi fisik seperti
untuk dapat mengatasi suatu masalah, menjauhkan anak dari aktivitas yang
memiliki kemampuan untuk membahayakan ke tempat yang mereka
menemukan suatu cara yang dapat inginkan. Sedangkan orang tua 2, pada
mengurangi emosi negatif serta dapat mulanya memengaruhi emosi dalam hal
dengan cepat menenangkan diri kembali menjemput anak tetapi seiring
setelah merasakan emosi yang beranjaknya usia sang anak menjadikan
berlebihan. orang tua terbiasa serta dapatnya
2. Engaging on goal directed behavior dukungan dari teman maupun atasan
Orang tua 1 dan 2 mempunyai dalam hal ijin ketika menjemput anak
kemampuan engaging on goal directed sehingga tidak mengakibatkan konflik.
behavior ialah kemampuan individu Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
untuk tidak terpengaruh oleh emosi yang ditemukan Gottman (1997)
negative yang dirasakannya sehingga menunjukkan bahwa dengan
dapat tetap berpikir dan melakukan mengaplikasikan regulasi emosi dalam
sesuatu dengan baik selama mengasuh kehidupan akan berdampak positif baik
anak penyandang autis yaitu dengan dalam kesehatan fisik, keberhasilan
mengajak keluarga termasuk sang anak akademik, kemudahan dalam membina
untuk bepergian atau jalan-jalan. Di sisi hubungan dengan orang lain dan

61
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

meningkatkan resiliensi. Berdasarkan orang tua 1 yang berusaha meminta maaf


paparan di atas, seluruh subjek orang tua terhadap orang di sekitar jika anak
1 dan 2 telah memenuhi aspek engaging membuat kesalahan. Seperti yang
on goal directed behavior yang diungkapkan oleh Hetherington dan
dikemukakan oleh Gross (2007) yaitu Parke (dalam Faridh, 2008) bahwa
kemampuan individu untuk tidak individu yang mampu meregulasi
terpengaruh oleh emosi negatif yang dirinya, maka individu tersebut akan
dirasakannya sehingga dapat tetap dapat memahami dan mengetahui
berpikir dan melakukan sesuatu dengan perilaku seperti apa yang dapat diterima
baik. oleh lingkungan. Berdasarkan hal
3. Control emotion responses tersebut, seluruh subjek telah memenuhi
Keseluruhan subjek orang tua 1 aspek control emotional responses
dan 2 pada mulanya tidak dapat (impulse) yang dikemukakan oleh Gross
mengontrol emosi marah maupun (2007) yaitu kemampuan individu untuk
menangis saat anak sedang tantrum atau mengontrol emosi yang dirasakannya
tidak dapat di handle hingga membuat dan respon emosi yang ditampilkan
orang tua melampiaskan emosi tersebut (respon fisiologis, tingkah laku dan nada
dengan memukul paha dan mencubit suara), meskipun awalnya orang tua
sang anak, namun setelah itu pada orang tidak dapat mengontrol emosinya namun
tua 1 dapat segera kembali memeluk selepas itu mereka dapat kembali
sang anak berbeda dengan orang tua 2 menunjukkan respon emosi yang tepat
yang seiringnya waktu tidak lagi sehingga individu tidak akan merasakan
melakukan hal tersebut dikarenakan emosi yang berlebihan.
orang tua berpikir kembali bahwa sang 4. Acceptance of emotional response
anak memang dalam kondisi yang tidak Berdasarkan hasil penelitian,
normal dan membiarkan atau seluruh subjek mampu dalam
mendiamkan sang anak agar emosi dapat acceptance of emotional response
terkendali karena merasa anak tidak seiring berjalannya waktu. Orang tua
mengerti jika mereka sedang kesal atau dapat menerima dengan sabar dan ikhlas
marah. Hal itu sejalan dengan apa yang sembari mencari berbagai pengobatan
diungkapkan oleh Gratz & Roemer baik medis maupun non medis terlebih
(2004), bahwa seseorang hanya dalam lagi dalam menerapkan diet therapy.
waktu singkat merasakan emosi yang Danuatmaja (2003) menyatakan bahwa
berlebihan dan dengan cepat orangtua perlu memperkaya
menetralkan kembali pikiran, tingkah pengetahuan mengenai autisme terlebih
laku, respon fisiologis dan dapat lagi pengetahuan mengenai terapi yang
menghindari efek negatif akibat emosi tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak.
yang berlebihan. Orang tua 1 pun merasa bersyukur
Ketika sedang merasakan emosi karena sang anak tidak separah dengan
negatif, orang tua pun dapat tetap anak autis lainnya, dalam merawat anak
menunjukkan respon emosi yang baik di ia juga berusaha bersikap tegas, serta
lingkungan sekitar begitu pula dengan merasa ketika mempunyai anak autis

62
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

menjadikan mereka hemat dan tidak orang tua 1 dan 2 berkisar antara 40-54
berfoya-foya terutama dalam mengajak tahun. Penelitian menunjukkan bahwa
jalan-jalan anak serta tidak lagi bertambahnya usia seseorang
menyediakan makanan sembarangan dihubungkan dengan adanya
seperti dahulu. Berbanding terbalik peningkatan kemampuan regulasi emosi,
dengan apa yang disampaikan oleh dimana semakin tinggi usia maka
Zager (2005) kesulitan keuangan terkait semakin baik kemampuan regulasi
dengan membesarkan anak yang emosinya sehingga menyebabkan
dihadapi oleh keluarga pada umumnya, ekspresi emosi semakin terkontrol
seringkali lebih intens dan berlangsung (Gross, 2007). Hal itu juga selaras
secara berkelanjutan pada keluarga yang dengan apa yang disampaikan oleh
memiliki anak dengan gangguan autis. Brenner dan Salovey (dalam Salovey &
Lain halnya dengan orang tua 2, mereka Sluyter, 1997) dimana semakin
berpasrah dengan kondisi sang anak bertambahnya usia seseorang maka
karena merasa sudah tidak bisa relatif semakin baik dalam meregulasi
diperbaiki lagi dan tidak bisa berbuat emosi. Selain itu Hurlock (1996)
banyak hal lagi atas kondisi sang anak, mengungkapkan bahwa usia 40–54
orang tua menganggap bahwa ia telah tahun berada dalam rentang
ditakdirkan oleh Tuhan dan dipercaya perkembangan dewasa madya, yaitu
menjadi orang tua pilihan ketika antara usia 40-60 tahun. Sebagian besar
mempunyai anak autis. Hal ini sejalan individu telah mampu menentukan
dengan yang disampaikan oleh masalah-masalah mereka dengan cukup
Rachmayanti & Anita (2007) bahwa baik sehingga menjadi cukup stabil dan
salah satu bentuk penerimaan yang matang secara emosi begitu pula
terjadi pada orangtua adalah menyadari terhadap kemampuan regulasi emosi
akan apa yang bisa dilakukan anak dan yang dimiliki oleh subjek orang tua 1 dan
apa yang belum bisa dilakukan anak. 2 yang mempunyai anak autis di PLA
Dalam hal tersebut, orang tua 1 dan 2 Kota Denpasar.
telah memenuhi aspek acceptance of 2. Jenis Kelamin
emotional response yang dikemukakan Menurut Gross (2007)
oleh Gross (2007) kemampuan individu perempuan menunjukkan sifat
untuk menerima suatu peristiwa yang feminimnya dengan mengekspresikan
menimbulkan emosi negatif dan tidak emosi sedih, takut, cemas dan
merasa malu merasakan emosi tersebut. menghindari mengekspresikan emosi
Selain itu, adapun faktor-faktor marah dan bangga yang menunjukkan
pendukung dalam memengaruhi regulasi sifat maskulin (regulasi pada perasaan
emosi orang tua yang mempunyai anak marah dan bangga). Sedangkan laki-laki
autis di PLA Kota Denpasar yaitu lebih mengekspresikan emosi marah dan
sebagai berikut: bangga untuk mempertahankan dan
1. Usia menunjukkan dominasi (regulasi
Peneliti menemukan usia terhadap emosi takut, sedih dan cemas).
pasangan yang dimiliki oleh subjek Pada penelitian ini, peneliti hanya

63
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

mendapati salah satu orang tua yaitu dari mana seseorang menerima dan
pihak ayah yang mengekspresikan emosi mengakui doktrin agama yang meliputi
marah sedangkan 3 subjek lainnya tidak keyakinan atau kepercayaan terhadap
menunjukkan adanya perbedaan dalam Tuhan, sifat-sifat Tuhan, adanya utusan
mengekspresikan emosi baik dari atau Nabi, percaya adanya surga dan
perempuan dan laki-laki sama-sama neraka serta ganjaran baik atau buruk
memunculkan ekspresi sedih, marah atas perilaku yang dilakukan. Begitu
maupun kecewa. Hal ini berbanding pula dengan subjek pada penelitian ini
terbalik dengan penelitian Simon & Nath yang berumat Hindu, dalam meregulasi
(2004) menemukan bahwa laki-laki dan emosinya ia berpikir bahwa apa yang
perempuan berbeda dalam terjadi pada saat ini merupakan
mengekspresikan emosi baik verbal kesalahan terdahulu secara ajaran umat
maupun non-verbal sesuai dengan jenis Hindu. Umat Hindu mempunyai
kelaminnya. keyakinan dan percaya dengan adanya
3. Religiusitas Panca Sradha, yang merupakan lima
Faktor lainnya yang mendukung keyakinan dasar umat Hindu, salah satu
dalam regulasi emosi subjek ialah dalam keyakinan dasar umat Hindu
religiusitas. Seseorang yang tinggi tersebut merupakan ajaran karmaphala,
tingkat religiusitasnya akan berusaha yaitu keyakinan untuk mempercayai
untuk menampilkan emosi yang tidak adanya hukum sebab akibat. Setiap
berlebihan bila dibandingkan dengan perbuatan manusia secara hirarki akan
orang yang tingkat religiusitasnya mendapatkan hasil baik maupun buruk.
rendah. Dengan berdoa, orang tua dapat Karena dalam ajaran karmaphala,
tetap tenang ketika sedang mengalami keadaan manusia dalam suka maupun
emosi negatif selama merawat anak duka disebabkan oleh hasil perbuatan
autis, selain itu orang tua juga memohon manusia itu sendiri yang dilakukan
agar diberikan kesehatan, kesembuhan, dalam menjalani kehidupan sekarang
serta kekuatan selama merawat anak maupun kehidupan terdahulu (Dira &
yang mengalami gangguan autis. Orang Juliantara 2019).
tua juga menganggap bahwa Tuhan telah 4. Budaya
mempercayakannya untuk menjadi Budaya memengaruhi regulasi
orang tua pilihan ketika mempunyai emosi yang dilakukan oleh subjek orang
anak autis. Hal ini sesuai dengan yang tua yang mempunyai anak autis.
dijelaskan oleh (Gross, 2007) bahwa Menurut Gross (2007) budaya
religiusitas memengaruhi seseorang merupakan norma atau belief yang
meregulasi emosinya. Begitu pula terdapat dalam kelompok masyarakat
dengan apa yang dikemukakan oleh tertentu dapat memengaruhi cara
Glock dan Starck (dalam Ancok & individu menerima, menilai suatu
Suroso, 2004) bahwa religiusitas pengalaman emosi, dan menampilkan
individu dapat dilihat dari beberapa suatu respon emosi. Begitu pula dari
dimensi yang dikemukan oleh pertama, penjelasan etnotheories tentang emosi
dimensi keyakinan yakni melihat sejauh dipahami bahwa budaya memengaruhi

64
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

pengalaman emosi dan dengan demikian Goals atau tujuan dilakukannya


juga memengaruhi regulasi emosi regulasi emosi merupakan keyakinan
(Holodynski & Friedlmeier, 2005). Dari orang tua terhadap pengalaman
hasil penelitian, orang tua cenderung terdahulu yang dialaminya terutama
memiliki budaya yang bersifat dalam hal yang menimbulkan emosi
kolektivisme. Menurut Hofstede (1991) negatif menjadikan mereka dapat
kolektivisme menunjukkan keadaan menerima dan memahami kondisi sang
masyarakat dimana setiap anggotanya anak dengan seiring berjalannya waktu
terintegrasikan dalam ikatan kelompok serta orang tua dapat mampu merespon
yang kuat dan terpadu sepanjang rentang emosi yang dirasakan dengan tepat. Hal
hidup mereka untuk saling melindungi ini sejalan dengan Santrock (2007)
satu sama lain. Pada negara dengan menjelaskan regulasi emosi adalah
tingkat kolektivisme yang tinggi, kemampuan individu untuk mengatur
individu mempunyai kepedulian rangsangan (misalnya kemarahan)
terhadap individu lain dalam kelompok dalam rangka beradaptasi dan meraih
serta mengharapkan orang lain untuk suatu tujuan secara efektif. Regulasi
peduli terhadap dirinya secara timbal emosi juga melibatkan perubahan satu
balik. Hofstede (1991) menempatkan atau lebih aspek dari emosi termasuk
Indonesia sebagai bangsa dengan nilai memunculkan situasi, perhatian,
budaya kolektivisme yang tinggi bila penilaian, subjektif pengalaman,
dibandingkan dengan India, Jepang, perilaku atau fisiologi (Mauss, dkk,
Malaysia, Philiphina dan negara-negara 2007).
Arab. Hal tersebut dibuktikan oleh orang 6. Frekuensi
tua sebagai warga negara Indonesia yang Orang tua memiliki adanya
memiliki budaya kolektivisme terkait frekuensi atau seberapa sering mereka
dengan kemampuannya dalam melakukan regulasi emosi dengan
meregulasi emosi seperti berbagi cerita berbagai macam cara untuk mencapai
dengan pasangan maupun teman, suatu tujuan (Gross, 2007). Adapun cara-
mengajak keluarga jalan-jalan, cara yang sering dilakukan oleh orang
mengikuti kegiatan kelas parenting di tua yaitu dengan membiarkan anak
PLA guna mendapatkan pengetahuan ketika tantrum, bercerita pada pasangan
dan saling berbagi solusi dengan orang maupun dengan teman, berdoa,
tua yang sesama mempunyai anak autis. melakukan kegiatan positif, jalan-jalan,
Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari merawat anak dengan ikhlas, sharing,
Gross (2007) yaitu apa yang dianggap relasi baik dengan orang lain, memeluk,
sesuai oleh budaya atau culturally memahami kondisi anak, menahan
permissible dapat memengaruhi cara emosi, sabar, melakukan yang terbaik
seseorang berespon dalam berinteraksi dengan mencari berbagai pengobatan
dengan orang lain dan dalam cara ia untuk anak dan bersyukur. Dengan
meregulasi emosi. seringnya orang tua melakukan regulasi
5. Goals emosi berbagai macam cara maka orang
tua mampu menyesuaikan emosi yang

65
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

sedang dirasakannya selama merawat positif, dan optimisme. Ekstraversi dapat


anak autis. Hal itu juga sejalan dengan didefinisikan dalam pengertian sempit
yang disampaikan Gruyak dkk (2011) dan pengertian yang luas. Dalam
bahwa regulasi emosi memungkinkan pengertian sempit, ekstraversi adalah
fleksibilitas dalam emosi merespon individu yang senang membangun
sesuai dengan apa yang dirasakan oleh hubungan sosial dengan orang lain.
seseorang dengan berbagai tujuan untuk Dalam definisi yang luas, ekstraversi
masa panjang. dapat mencakup banyak komponen
7. Capabilitites perilaku yang berbeda-beda seperti
Orang tua memiliki trait ketegasan, kehangatan, emosi positif,
kepribadian ekstraversi yang mengacu serta senang melakukan aktivitas (Depue
pada hal-hal yang dapat mereka lakukan & Collins, dalam Weiner, 2003).
dalam meregulasi emosinya yaitu Individu dengan kepribadian ekstraversi
dengan bercerita kepada pasangan terlihat aktif dalam mencari rangsang
maupun teman, jalan-jalan, mengadakan dari luar dan memiliki daya toleransi
sharing, mengikuti kegiatan parenting di terhadap stres yang besar (Alwisol,
PLA serta bersyukur dan menerima 2006). Oleh karena itu, orang tua yang
segala peristiwa yang telah terjadi terkait memiliki kepribadian ektraversi mampu
kondisi anak. Hal ini sejalan dengan teori meregulasi emosinya ketika sedang
yang dipaparkan mengenai kepribadian merasakan stres atau emosi negatif
ekstraversi yaitu merupakan himpunan dalam menghadapi permasalahan terkait
bagian dari sifat dengan model yang dengan kondisi anak yang mengalami
berbeda, yang di dalamnya mencakup gangguan autis dengan mencari
sifat-sifat suka bersosialisasi, emosi rangsangan dari luar.
tua yang mempunyai anak autis,
Simpulan diharapkan dapat mengelola emosi
Berdasarkan hasil penelitian ini dalam menghadapi permasalahan selama
diketahui bahwa orang tua yang merawat anak terutama dari pihak ibu
mempunyai anak autis di PLA Kota agar mampu mengelola emosi sedih dan
Denpasar mampu meregulasi emosinya dari pihak ayah agar mampu mengelola
dengan mengevaluasi dan mengubah emosi marah sehingga dapat bertingkah
reaksi-reaksi emosional sehingga dapat laku secara adaptif sesuai dengan situasi
bertingkah laku secara adaptif sesuai yang terjadi selama merawat anak autis.
dengan situasi yang terjadi yang Selain itu, orang tua juga diharapkan
didukung oleh keempat aspek yaitu mampu meneruskan karma (perbuatan)
strategies to emotion regulation, baik yang telah dilakukan selama
engaging on goal directed behavior, merawat anaknya agar dapat mengalami
control emotional responses, acceptance perkembangan yang lebih baik. Bagi
of emotional response serta 7 faktor Masyarakat, diharapkan dapat
yaitu usia, jenis kelamin, religiusitas, memahami berbagai gejolak emosi yang
budaya, goals, frekuensi, dan dialami oleh orang tua yang mempunyai
capabilities. Adapun saran bagi orang anak autis, tidak memberikan stigma

66
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

negative dan dapat mendukung secara Dira, A. A. G., & Juliantara, I. W. W.


moral sehingga dapat meningkatkan (2019). Interpretasi Nilai Filosofis
emosi positif terhadap orang tua yang Teks Sri Jayakasunu. Vidya
mempunyai anak autis. Bagi PLA Kota Wertta: Media Komunikasi
Denpasar, diharapkan dapat terus Universitas Hindu Indonesia, 2(2),
mengadakan maupun mengembangkan 257-268.
kegiatan yang dapat membantu orang tua Faridh, R. (2008). Hubungan antara
dalam pemecahan masalah selama regulasi emosi dengan
merawat anak autis khususnya pada kecenderungan kenakalan remaja.
pengelolaaan emosi. Bagi peneliti Naskah publikasi. Fakultas
selanjutnya yang tertarik meneliti Psikologi Universitas Islam
regulasi emosi dapat menggunakan Indonesia Yogyakarta.
orang tua yang mempunyai anak autis Fido, A., & Al-Saad, S. (2013).
dengan rentang usia anak yang lebih dini Psychologicaleffects of parenting
serta lebih menggali dan children with autism prospective
mengembangkan informasi tidak hanya study in Kuwait. Journal of
pada orang tua yang mempunyai anak Psychiatry, 3, 5 – 10.
autis, tetapi juga dapat melakukan pada Gottman, J. (1997). Raising an
orang tua yang mempunyai anak Emotionally Intelligent Child: The
berkebutuhan khusus lainnya. Heart of Parenting. New York:
Rockefeller Center.
Pustaka acuan Gratz, K.L., & Roemer, L. (2004).
Ancok, D & Suroso. (2004). Psikologi Multidimensional assessment of
Islam. Yogyakarta: Pustaka emotion regulation and
Belajar. dysregulation: Development,
Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian factor structure, and initial
Edisi Revisi. Malang: UMM Press. validation and difficulties in
emotion regulation scale. Journal
Chodidjah, S., & Kusumasari, A. P. of Psychopathology and
(2018). Pengalaman Ibu Merawat Behavioral Assessment. Vol. 26,
Anak Usia Sekolah dengan No. 1.
Autis. Jurnal Keperawatan Gross, J. J (2007). Handbook of
Indonesia, 21(2), 94-100. Regulation Emotion. USA: The
Danuatmaja, B. (2003). Terapi autis Guildford Press.
dirumah. Jakarta: Puspa Swara. Gruyak, A., Gross J, J., Ektin, A. (2011).
Dennis, T. A. (2007). Interactions Explicit and Implicit Emotion
Between Emotion Regulation Regulation: A Dual-Proces
Strategies and Affective Style: Framework, Cognition And
Implications for Trait Anxiety Emotion, 25.3,p 400-412, USA:
Versus Depressed Mood. Journal Published Psychology Press.
Hunter College, 200-207. Hofstede, Geert. (1991). Cultures and
Organizations, Software of The

67
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

Mind. England: McGraw-Hill Phelps, K, W., McCammon, S, L.,


Book Company. Wuensch & Golden, J, E. (2009).
Hurlock, Elizabeth. (1996). Psikologi Enrichment, Stress, and Growth
Perkembangan, Suatu Pendekatan from Parenting an Individual with
Sepanjang Rentang Kehidupan, an Autism Spectrum Disorder.
edisi kelima. Jakarta: Penerbit Journal of Intellectual &
Erlangga. Developmental Disability, 34 (2),
Holodynski, F. & Friedlmeier, W. 133-141.
(2005). Development of Emotions Pisula, E. (2011). Parenting stress in
and Their Regulation; An mothers and fathers of children
Internalization Model. New York: with autism spectrum disorders. A
Springer. comprehensive book on autism
Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. spectrum disorders, 5, 87 – 106.
(2006). Exceptional Learners: Rachmayanti, S. & Anita Z. (2007).
Introduction to Spesial Education, Penerimaan Diri Orang Tua
10th edition. United States: Terhadap Anak Autis dan
Pearson Education, Inc. Perannya dalam Terapi Autis.
Herdiansyah, H. (2015). Wawancara, Jurnal Psikologi, 1 (1),7-17.
Observasi, dan Focus Groups Salovey, P. & Sluyter, D. J. (1997).
Sebagai Instrumen Penggalian Emotional Development and
Data Kualitatif. Depok: PT. Emotional Intelligence:
Rajadrafindo Persada. Educational Implications. New
Jafar, N., & Apt, M. K. (2005). York: Basic Books.
Pertumbuhan dan
Perkembangan. Jurnal Universitas Saharso, D. (2004). Peran Neurologi
Hassanudin. http://repository. Pediatri dalam Usaha Melawan
unhas. ac. id/. [Diakses pada 20 Autisme. Anima Indonesian
Oktober 2019]. Psychological Journal. Vol 20. No:
2. 116-127.
Lutfianawati, D., Perwitaningrum, C. Y., Simon, R. W., dan Nath, L. E. (2004).
& Kurnia, R. T. R. (2019). Stres Gender and Emotion in The United
Pada Orang Tua Yang Memiliki States: Do Men and Women Differ
Anak Dengan Retardasi in Self-reports of Feelings and
Mental. Jurnal Psikologi Expressive Behavior? American
Malahayati, 1(1). Journal of Sociology, 109.
Mauss, I, B., Bunge, S, A., Gross, J, J. Safaria, T. (2005). Autisme: Pemahaman
(2007). Automatic Emotion Baru untuk Hidup Bermakna Bagi
Regulation, Journal Compilation Orang Tua. Yogyakarta: Graha
Social and Personality Psychology Ilmu.
Compass, 1.10, California: Santrock, J. W. (2007). Perkembangan
Published Blackwell Publishing anak: jilid dua. Jakarta: Erlangga.
Ltd.

68
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

Salamah, A. (2009). Gambaran Emosi Anak Usia 3-24 Bulan di Daerah


dan Regulasi Emosi pada Remaja Konflik. Kesmas: National Public
yang Memiliki Saudara Kandung Health Journal, 9(1), 44-49.
Penyandang Autis. Jurnal Fakultas Weiner, I. B. (2003). Handbook of
Psikologi Universitas Gunadarma. Psychology, Volume 5:
Personality and Social
Syahadat, Y. M. (2013). Pelatihan Psychology. New Jersey: John
Regulasi Emosi Untuk Wiley & Sons, Inc.
Menurunkan Perilaku Agresif Zager, D. (2005). Autism spectrum
Pada Anak. Humanitas, Vol. X. disorders: Identification,
No. 1. education, and treatment. New
Usman, H., & Sukandar, H. (2014). Jersey: Lawrence Erlbaum
Pertumbuhan dan Perkembangan Associates, Publishers.

69
Jurnal Psikologi MANDALA
2020, Vol. 4, No. 1, 57-70
ISSN: 2580-4065

70

Anda mungkin juga menyukai