Anda di halaman 1dari 15

INTUISI 9 (3) (2017)

INTUISI
JURNAL PSIKOLOGI ILMIAH
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI
Terindeks DOAJ: 2541-2965

TERAPI KOGNITIF PERILAKU PADA REMAJA DENGAN GANGGUAN KOMORBID


PERILAKU MENENTANG DAN DEPRESI YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN

Diany Ufieta Syafitri

Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang


Info Artikel Abstrak
Sejarah Artikel: Pengasuhan dan kondisi panti asuhan seringkali dianggap kurang kondusif
Diterima 20 September 2017 untuk perkembangan anak serta remaja yang ada di dalamnya. Hal ini kemudian
Disetujui 25 Oktober 2017 dibuktikan oleh banyaknya penelitian yang menyebutkan banyaknya
Dipublikasikan 1 November 2017 permasalahan anak dan remaja di panti asuhan. Salah satu gangguan yang paling
banyak terjadi adalah Gangguan Perilaku (GP), terutama yang akan dibahas
Keywords:
behavioral disorder, adolescent, dalam penelitian ini adalah Gangguan Perilaku Menentang (GPM). Subjek
cognitive behavioral therapy, dalam penelitian ini adalah seorang remaja laki-laki usia 15 tahun yang dirujuk
orphanage kepada psikolog karena menunjukkan gejala GPM. Penelitian ini menggunakan
studi kasus di mana proses pengumpulan data menggunakan multi sumber yaitu
wawancara kepada orang di sekitar subjek, observasi, dan asesmen psikologi.
Hasilnya menunjukkan bahwa selain gejala GPM subjek juga menunjukkan
depresi yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa subjek mengalami gangguan
komorbid. Penanganan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kognitif
perilaku sebanyak delapan pertemuan, yang terdiri atas penanganan komponen
kognitif, emosi, dan perilaku. Hasilnya, subjek mengalami peningkatan dalam
berpikir secara seimbang tentang dirinya yang berpengaruh terhadap kondisi
emosi dan perilakunya. Di dalam artikel ini juga didiskusikan tentang dimensi
gejala dalam GPM yang memprediksi terjadinya komorbiditas dengan gangguan
afektif.

Abstract
Parenting and orphanage are often considered less conducive to the
development of children and adolescents. This is evidenced by many studies that
mention many problems of children and adolescents ot orphanages. One of the
most common disruptions is Behavioral Disorder (GP), those discussed in this
study are Behavioral Disorder (GPM). Subjects in this study were a 15-year-old
male teenager who is showing symptoms of GPM. This study uses case studies
and the process of collecting data using multiple sources of interviews to people
around the subject, observation, and psychological assessment. The results
showed that in addition to symptoms GPM subjects also showed high
depression. This indicates that the subject has comorbid disorders. Handling is
done through the cognitive approach to the behavior of eight meetings, which
consists of handling cognitive, emotional, and behavioral components. To sum
up, the subject has increased in thinking in a balanced about himself that affects
his emotional state and behavior. In this article is also discussed about the
dimensions of symptoms in GPM that predict the occurrence of comorbidities
with affective disorders.

© 2017 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: p-ISSN 2086-0803
Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang e-ISSN 2541-2965
Email: dianysyafitri@unissula.ac.id

181
PENDAHULUAN meningkatkan faktor risikonya (Clausen,
Di Indonesia, jumlah panti asuhan Landsverk, Ganger, Chadwick, & Litrownik,
beserta dengan anak yang diasuh semakin 1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008, 50-60% anak di panti asuhan mengalami
Kementrian Sosial RI menyatakan bahwa ada masalah kesehatan mental (Landsverk, Burns,
sekitar 4000-5000 panti asuhan di Indonesia Stambaugh & Rolls Reutz, 2006; Minnis,
yang 99% diselenggarakan oleh pihak swasta dkk., 2006). Demikian pula hasil penelitian di
(Kementerian Sosial RI, 2008). Lebih lanjut Indonesia, menunjukkan bahwa anak-anak di
menurut Pembina Panti Asuhan Yatim panti asuhan daerah Jawa Barat memiliki
Mandiri, pada tahun 2013 jumlah anak di masalah perkembangan yang lebih tinggi
panti asuhan mencapai 3,2 juta (Maruli, dibandingkan anak-anak yang diasuh oleh
2013). Di Jawa Tengah, jumlah panti asuhan orangtuanya (Riyadi, Rusmil, & Effendi,
berjumlah 905 pada 2013 dengan jumlah anak 2014). Syafitri (2016) juga menunjukkan
yang diasuh mencapai hampir 80 ribu (BPS, bahwa remaja di panti asuhan di Sleman, DIY
2013). mengalami berbagai stresor baik stresor dari
Sayangnya jumlah panti asuhan yang permasalahan harian di panti asuhan maupun
semakin meningkat tidak diimbangi dengan akibat peristiwa hidup besar (major life
ketersediaan fasilitas fisik maupun non fisik events).
untuk memberikan pengasuhan yang tepat Salah satu permasalahan kesehatan
bagi anak-anak di panti. Pada tahun 2008 mental yang banyak dialami oleh anak dan
Kementrian Sosial bekerja sama dengan NGO remaja di panti asuhan adalah masalah
Save the Children meluncurkan sebuah buku perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh
hasil penelitian yang mengupas kondisi panti Clausen, dkk. (1998) menunjukkan bahwa 75-
asuhan di Indonesia, yang menyatakan 80% anak usia sekolah mendapatkan skor
kurangnya pengasuhan anak di panti asuhan tinggi pada masalah perilaku dan kompetensi
karena kebanyakan panti hanya berfokus pada sosial, baik salah satu maupun keduanya.
pemenuhan kebutuhan fisik atau materi Lebih lanjut pada anak usia 4-16 tahun, dua
seperti menyediakan akses untuk melanjutkan dari lima subjek mendapat skor yang lebih
pendidikan (Kementerian Sosial RI, 2008). tinggi dibandingkan titik potong klinis pada
Berita tentang panti asuhan yang bermasalah permasalahan perilaku. Penelitian yang
di Indonesia memang sudah sering terdengar, dilakukan oleh Minnis, dkk., (2006) pada
di mana banyak pengelola panti asuhan yang sampel subjek yang tinggal di panti asuhan
melakukan tindak kekerasan bahkan menggunakan Strengths and Difficulties
melakukan pelecehan seksual pada anak-anak Questionnaire (SDQ) juga menunjukkan
yang diasuh (Assifa, 2017). tingginya gangguan perilaku. Dari 182 subjek
Melihat berbagai kondisi yang kurang sebanyak 54% mengalami hiperaktivitas, 45%
menguntungkan dari di panti asuhan, maka masalah emosi, 66% masalah perilaku, 63%
banyak penelitian menyimpulkan bahwa anak- masalah dengan teman sebaya, dan 38%
anak di panti asuhan berada dalam risiko yang masalah perilaku prososial.
lebih besar untuk mengalami masalah Gangguan perilaku menurut DSM V
kesehatan mental (Hayek, dkk., 2014; Minnis, (American Psychological Association, 2013)
Everett, Pelosi, Dunn, & Knapp, 2006). saat ini tergolong dalam Distruptive, Impulse-
Terlebih sebagian besar anak yang berakhir di Control, Conduct Disorder yang di dalamnya
panti asuhan pernah mengalami masalah terdapat gangguan-gangguan lain dalam
keluarga seperti penelantaran atau spektrum gangguan perilaku (GP). Salah satu
penganiayaan sehingga semakin yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah

182
Oppositional Defiant Disorder (Gangguan perilaku agresif, dan penyakit psikosomatis.
Perilaku Menentang (GPM)). Hal ini karena Penelitian menunjukkan komorbiditas antara
selain Gangguan Pemusatan Perhatian dan GP dengan depresi secara signifikan terjadi
Hiperaktivitas (GPPH) dan GP, GPM adalah lebih tinggi sehingga perlu mendapatkan
salah satu gangguan tertinggi yang dialami perhatian yang lebih karena terkait dengan
oleh anak dan remaja (Loeber, Burke, Lahey, penanganan dan prognosis (Wolff &
Winters, & Zera, 2000), meskipun demikian Ollendick, 2006). Gangguan mood yang
GPM sering dilihat sebagai gangguan yang paling sering terjadi bersamaan dengan
paling ringan di antara ketiganya (Nock, gangguan perilaku maupun GPM adalah
Kazdin, Hiripi, & Kessler, 2007). Ciri utama depresi, bipolar, distimia, dan psikosis
dari GPM adalah pola perilaku negativistik, (Arredondo & Butler, 1994). GPM atau GP
menentang, tidak patuh, dan bermusuhan pun biasanya terjadi lebih dulu dibandingkan
terhadap figur otoritas yang berulang dan depresi (Essau, 2003).
mengakibatkan gangguan dalam kehidupan Southam-Gerow (2003) menyatakan
sehari-hari (Burke, Loeber, & Lahey, 2003). bahwa pendekatan terapi yang paling banyak
Lebih lanjut DSM V kini menggolongkan dipakai dan diteliti untuk mengatasi
GPM menjadi empat yang lebih spesifik, yaitu permasalahan anak dan remaja adalah
subtipe mood marah/mudah tersinggung, pendekatan cognitive behavioral therapy atau
perilaku menentang/argumentatif, dan penuh terapi kognitif perilaku (TKP). Lochman,
dendam yang terjadi lebih dari enam bulan Powell, Boxmeyer, & Jimenez-Camargo
(APA, 2013). GPM dapat terjadi pada anak, (2011) menunjukkan bahwa terdapat beberapa
remaja, hingga dewasa. Prevalensi GPM program pelatihan maupun psikoterapi yang
menurut hasil penelitin (Nock, dkk., 2007) di sudah terbukti efektif mengatasi GP dan GPM
Amerika Serikat diperkirakan 10,2% untuk seperti Coping Power Program, The Life
laki-laki dan perempuan, yang mana laki-laki Skills Training Program, dan The Art of Self-
lebih tinggi dibandingkan perempuan, GPM Control. Beberapa hasil penelitian meta
juga lebih banyak terjadi pada keluarga analisis (Battagliese dkk., 2015) menunjukkan
dengan pengasuhan yang kasar, tidak TKP secara umum efektif menangani
konsisten, dan mengabaikan (APA, 2013). gangguan eksternalisasi. Lebih lanjut, setelah
GPM seringkali terjadi dengan mengikuti sesi TKP terjadi penurunan paling
komorbid gangguan lain, yaitu GPPH, GP, besar pada gejala GPM yang kemudian diikuti
Depresi, dan Kecemasan (Essau, 2003). dengan stres pada orangtua, gejala
Gejala menentang, argumentatif, dan penuh eksternalisasi, dan lain sebagainya. Demikian
dendam menjadi risiko untuk terjadinya pula dengan hasil penelitian (Sukhodolsky,
Gangguan Perilaku sementara gejala mood Kassinove, & Gorman, 2004) juga
marah/mudah tersinggung membawa risiko menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan
untuk gangguan emosi (APA, 2013). Menurut lebih efektif menurunkan perilaku agresif, di
Essau (2003), anak dan remaja tidak mana penanganan problem solving efektif
mengekspresikan depresi dengan gejala untuk menurunkan perasaan marah. Di
depresif tetapi melalui perilaku yang menjadi Indonesia, beberapa penelitian menunjukkan
topeng bagi perasaan depresif, lebih lanjut bahwa TKP sudah banyak digunakan untuk
pada anak dan remaja gejala depresi dapat menangani GPM dan menunjukkan hasil yang
berupa tantrum, bosan, merasa lelah setiap menguntungkan (Karismatika, 2014;
saat, hipokondriasis, tidak patuh, perilaku Mahabbati, 2014). TKP pada dasarnya
merusak diri sendiri, kenakalan remaja, fobia menggabungkan terapi kognitif dan perilaku
sekolah, kesulitan belajar, hiperaktivitas, sehingga memiliki komponen pemahaman dan

183
regulasi emosi, analisis fungsional terhadap METODE
perilaku, dan pemahaman serta restrukturisasi Subjek
cara berpikir yang terdistorsi. Pada komponen Subjek berinisial FIF berjenis kelamin
emosi, subjek akan diajarkan untuk mengenali laki-laki, berusia 15 tahun berada di kelas X
berbagai emosi, terutama emosi negatif dan di sebuah SMK. FIF berada di panti asuhan
intensitasnya, sehingga dapat membantu sejak kelas 5 SD. Subjek adalah anak hasil
mereka mengenali kondisi yang mengarahkan pernikahan kedua ibunya. Ibu subjek sudah
mereka melakukan perilaku agresif (Lochman, meninggal saat FIF kelas 4 SD dan ayahnya
dkk., 2011). Selanjutnya pada komponen meninggalkan keluarganya sejak FIF kelas 2
kognitif, beberapa anak dan remaja SD. Subjek memiliki tiga kakak tiri tetapi
memproses informasi secara terdistorsi tidak mampu secara ekonomi untuk
sehingga dalam TKP mereka akan diajarkan mengasuhnya, sehingga FIF dimasukkan ke
untuk memeriksa cara berpikir dan berusaha panti asuhan. Pengumpulan data yang
mengganti cara berpikir yang salah dengan digunakan adalah 1) Observasi di setting
yang lebih adaptif atau disebut juga natural, yaitu di sekitar Panti Asuhan yakni
restrukturisasi kognitif. Hal ini penting karena saat subjek sedang bermain di sekitar panti, 2)
subjek yang agresif biasanya memiliki cara Wawancara dengan subjek, sahabat subjek,
berpikir yang terdistorsi, di mana ia seringkali Pekerja Sosial (Peksos) di Panti Asuhan, 3)
melihat anak atau orang lain ingin Analisis Perilaku Fungsional, dan 5) BDI
menyakitinya (Southam-Gerrow, 2003). (Beck Depression Inventory)
Terakhir adalah komponen perilaku, di mana Presenting Problems
melalui asesmen fungsional perlu dilihat Beberapa Peksos pendamping di panti
bagaimana perilaku maladaptif tersebut terjadi asuhan mengeluhkan bahwa subjek
dan apa faktor yang memelihara perilaku belakangan sering melanggar berbagai
tersebut (Southam-Gerrow, 2003; Lochman, peraturan, misalnya tidak mau mengikuti
dkk., 2011). kegiatan rutin seperti sholat, makan bersama,
Penelitian ini bertujuan untuk piket, dan lain sebagainya. Selain tu, subjek
mengetahui bagaimana gejala komorbid GPM sering berkelahi dengan teman-temannya,
dengan depresi pada subjek remaja laki-laki sehingga menjadi anak yang paling ditakuti di
yang tinggal di panti asuhan. Selain itu, panti.
penelitian ini juga bertujuan untuk Hasil Pengumpulan Data
mengetahui apakah TKP dapat mengatasi 1. Hasil Obervasi
komorbid GPM-depresi pada subjek.  Ekspresi subjek cenderung datar dan
Penelitian ini merupakan laporan penanganan enggan berkontak mata, sehingga ia
klien praktik kerja profesi psikologi klinis cenderung menunduk atau melihat ke
yang dilakukan dengan studi kasus. Studi arah lain
kasus merupakan salah satu metode kualitatif  Subjek tampak sering melakukan
yang digunakan untuk memahami fenomena kekerasan fisik pada teman-teman
kompleks, berfokus pada bagaimana serta yang usianya relatif lebih muda
mengapa suatu fenomena terjadi, dan dibanding dirinya. Subjek juga
menggunakan lebih dari satu sumber (Noor, tampaknya tidak mempedulikan jika
2008; Zainal, 2007) temannya ada yang kesakitan
karenanya.
 Subjek membutuhkan waktu sampai
ia dapat benar-benar merasa nyaman
dan akhirnya dapat terbuka

184
sepenuhnya. Subjek juga tidak ragu PSAA, ―jangan dekat-dekat
dalam mengungkapkan pikiran atau sama FIF, sekarang dia anak
perasaannya paling nakal di sini,‖.
2. Hasil Wawancara Perkataan ini membuat subjek
a. Subjek sangat kesal karena ia tidak
 Subjek menyadari waktu kecil merasa melakukan kesalahan
ia sangat aktif dan tidak dapat seburuk itu. Hal ini membuat
diam sehingga diberi label subjek akhirnya menunjukkan
nakal oleh tetangga- bahwa ia benar-benar nakal.
tetangganya. Ia juga kerap Semua hal ini membuat
diejek karena ayahnya tidak subjek terpikir untuk keluar
tinggal di rumah, hanya dari PSAA.
sesekali datang  Subjek pun tidak ingin lagi
 Prestasi akademis subjek tinggal di PSAA karena
sejak SD selalu bagus. merasa citra dirinya di mata
Setidaknya ia selalu mendapat teman-teman dan para Peksos
peringkat di sekolahnya. sudah sangat buruk. Jika ia
Demikian pula saat SMP dan sholat berjama’ah pun teman-
SMA, subjek selalu masuk temannya akan berkata ―wah
peringkat lima besar di tumben sholat,‖ yang
sekolahnya bahkan tanpa menunjukkan bahwa ia sudah
belajar. sangat buruk di mata teman-
 Anak-anak di panti menurut temannya. Jika ia
subjek nakal dan banyak yang melaksanakan tugas piket di
suka mencuri. Khususnya, dapur pun, petugas dapur
yang lebih membuat subjek justru pernah memarahinya
jengkel adalah anak-anak dan bahkan berkata, ―ngopo
tersebut terkadang piket? Mbok uwis ra sah piket
melaporkan subjek pada sisan!‖ (kenapa piket? Sudah
peksos untuk hal yang tidak lebih baik tidak usah piket
dilakukan subjek. Misalnya, sekalian)
ada seorang anak melaporkan  Pikiran subjek bahwa ia
pada peksos bahwa subjek sudah dianggap buruk ini juga
memukulnya, padahal bukan membuat subjek enggan atau
subjek yang melakukan. menghindari kegiatan-
Akibatnya, subjek sering kegiatan bersama di PSAA,
dimarahi oleh peksos karena misalnya makan bersama atau
ini. Subjek pun menjadi kesal apel sore. Hal ini membuat
dan memukul anak yang subjek sering membawa
melaporkannya itu. Beberapa makan siangnya ke wisma
bulan terakhir ini, beberapa dan makan di kamar.
peksos bahkan sering  Ia merasa mood nya sering
melarang anak-anak kecil buruk dan perasaannya tidak
untuk bermain dengan subjek enak. Kondisi yang tidak
karena menganggap subjek nyaman ini membuat subjek
adalah anak paling nakal di malas makan. Ia berkata

185
bahwa sebulan terakhir nafsu lakukan salah. Tapi karena
makannya menurun drastis sudah menjadi kebiasaan,
sehingga di malam hari ia rasanya jadi sulit sekali
hampir tidak pernah makan mengubahnya
malam. Ia juga sering tidak b. Sahabat
dapat tidur dan baru dapat  Menurut YR, subjek memang
tidur pukul satu atau dua pagi. berubah, terutama sejak
Ia sering banyak berpikir sebelum ujian kelas tiga SMP,
tentang kondisinya di PSAA, yaitu sekitar awal tahun. YR
tentang keluarganya sehingga melihat subjek menjadi lebih
ia tidak dapat tidur. Karena nakal, lebih mudah emosi,
tidur terlalu larut, ini sering menggunakan
membuat ia sering kesiangan kekuatan fisiknya, dan kata-
bangun dan tidak dapat sholat katanya menjadi kasar.
shubuh berjama’ah, sarapan, Misalnya ada hal yang tidak
dan berangkat dengan bus pas sedikit saja, subjek akan
dari PSAA. Kondisi ini juga marah
membuatnya mudah sekali  Subjek sering bangun
tersinggung atau marah kesiangan dan minta
 Belakangan ini subjek merasa diambilkan makan meskipun
dirinya menjadi lebih mudah tidak sakit. Subjek juga sering
marah. Ia merasa tidak dapat menyuruh-nyuruh anak-anak
lagi menahan amarahnya. Ia kecil untuk mengambilkan ia
juga merasa emosinya tidak makan. Jika tidak dipatuhi, ia
stabil, mudah tersinggung, akan memukul anak tersebut.
dan pada akhirnya mudah  Tidak hanya dengan anak
meledak. Hal ini juga pada PSAA, di sekolah pun subjek
akhirnya terbawa pada sering bertengkar. Misalnya
suasana hatinya (mood) yang saat bermain bola dan ia
mudah berubah. Ia juga dijegal, subjek biasanya tidak
mudah merasakan perasaan- terima dan mengajak YR
perasaan yang tidak enak, untuk balas dendam.
meski ia tidak dapat menamai  Saat ini di SMA, subjek juga
apa saja emosi negatif yang ia bergaul dengan anak-anak
rasakan saat itu. Ia sendiri yang bermasalah. Di satu sisi
menyadari bahwa ia lebih ini juga karena di kelas
emosional meski ia tidak tahu tersebut memang banyak
apa yang membuatnya anak-anak yang bermasalah,
menjadi sangat emosional misalnya suka minum
 Subjek pun sebenarnya sangat minuman keras, merokok,
ingin berubah menjadi lebih bahkan narkoba
baik. Ia ingin menjadi anak c. Pekerja Sosial
yang nakal tapi sembodo. Beberapa minggu terakhir, subjek
Tapi sekarang ini ia merasa tampaknya berubah menjadi
belum dapat sembodo. Ia pun sering melanggar peraturan. Ia
tahu apa yang selama ini ia menjadi emosional sehingga ia

186
sering memukul temannya. Jika teman, terutama yang
ada antar teman ada masalah, ia tinggal satu wisma.
lah yang turun tangan dan  Merasa tidak nyaman
menyelesaikan masalah tersebut atas kondisi dirinya
melalui kekuatan fisik. Ia juga sendiri.
tidak mau makan di ruang makan,  Mendapat label negatif
tapi minta diambilkan dan makan dari para peksos.
di wisma. Padahal hal ini hanya  Response Strength :
berlaku pada anak yang sakit. o Frekuensi : setiap hari 3-4
Subjek juga sudah jarang bahkan kali
tidak pernah lagi sholat o Intensitas : merasa dirinya
berjama’ah. Ia juga pernah sangat buruk (pada skala 10
membolos sekolah untuk bermain dari 1-10)
Play Station. Belakangan ini ia 4. Hasil BDI
juga bergaul dengan anak yang Subjek mendapatkan skor 31 yang artinya
dianggap memberi pengaruh ia berada dalam kategori depresi berat.
buruk di panti Dari 21 gejala depresi, subjek memenuhi
17 gejala yang ada. Subjek merasa ia
sedih pada sebagian besar waktu. Ia juga
3. Hasil Analisis Fungsional untuk TKP merasa tidak ada yang dapat ia harapkan
 Target response : dari masa depannya. Saat ia melihat ke
Pikiran ―Aku pasti sudah dianggap belakang, yang tampak adalah kegagalan.
buruk oleh semua orang di PSAA‖ Ia juga terus merasa bersalah pada suatu
 Antecedent : hal yang seharusnya tidak ia lakukan.
Saat mengikuti kegiatan bersama di Oleh karena itu, ia merasa dirinya pantas
PSAA (sholat jama’ah, kegiatan piket, untuk dihukum dan ia terus menyalahkan
makan malam, apel) dirinya. Ia juga merasa bahwa dirinya
 Consequences : tidak berharga, apalagi jika dibandingkan
o Positive : orang lain. Ia ingin menangis tapi tidak
 Kebanyakan teman- dapat. Ia juga merasa gelisah sehingga
teman subjek tidak harus terus bergerak atau melakukan
terlalu mempedulikan sesuatu. Hal ini membuatnya sedikit
keadaan subjek kesulitan dalam membuat keputusan dan
 Subjek tidak pernah lebih sulit berkonsentrasi. Dalam
mendapat hukuman yang melakukan kegiatan yang berhubungan
membuatnya jera dengan orang lain, ia merasa kehilangan
o Negative : minat. Nafsu makannya pun berkurang
 Merasa tidak nyaman drastis. Ia merasa tidak lapar, sehingga
karena komentar dan hanya makan satu kali sehari.
sindiran dari beberapa

187
“Konseptualisasi Kasus Berdasarkan Pendekatan Terapi Kognitif Perilaku”

Primary Scheme
Anak yang baik adalah anak
yang patuh pada peraturan

Secondary Belief
Jika aku melanggar peraturan, aku
akan dianggap buruk oleh orang
lain

SITUASI: Negative Automatic Thought


Mengikuti kegiatan REAKSI
bersama di PSAA "Aku pasti sudah dianggap buruk
oleh semua orang di Panti"

emosi: merasa tidak ada harapan


untuk memperbaiki citra diri, merasa
buruk, kecewa pada diri sendiri

perilaku: berusaha keluar dari


PSAA, tidak mau makan, tidak lagi
termotivasi melaksanakan peraturan

fisiologis: tidak ditemukan

Bagan 1. Konseptualisasi Terapi Kognitif Perilaku


Primary scheme atau core belief, Secondary belief, dapat disebut juga
menurut Grant, Townend, Mills, & Cockx conditional belief, yang merupakan asumsi
(2008), kebanyakan diperoleh seseorang pada yang menghubungkan belief dengan cara
masa kecil dan remajanya dan dikuatkan oleh berpikir sehari-hari. Conditional belief ini
pengalaman saat dewasa yang seakan-akan juga membuat peraturan untuk hidup (Wilding
memberi bukti bahwa belief ini benar dan Milne, 2008). Di sini terlihat bahwa
(Wilding dan Milne, 2008). Sejak kecil, ibu secondary belief subjek berhubungan dengan
subjek selalu menyuruh subjek menjadi anak primary scheme-nya. Sejak kecil, subjek
yang patuh karena sejak kecil subjek sangat belajar bahwa ketika ia nakal atau tidak patuh
aktif, sehingga ibu dan orang-orang di pada peraturan, ia akan mendapatkan
sekitarnya menghendaki agar subjek subjek anggapan, bahkan label buruk dari orang-
patuh pada peraturan. Ini diperkuat saat orang di sekitarnya. Ia pun sudah terbiasa
setelah ia tinggal di PSAA, di mana ia dengan para tetangga yang menyebut bahwa
menyadari bahwa anak-anak yang dianggap ia ―anak nakal‖. Hal ini menjadi suatu respon
baik adalah anak yang patuh pada peraturan. yang dipelajari sehingga menjadi asumsi atau

188
peraturan yang ada dalam hidupnya, yaitu jika Diagnosis
ia nakal atau melanggar peraturan, ia akan Berdasarkan hasil asesmen di atas,
mendapat anggapan buruk dari orang-orang di dapat dilihat bahwa subjek memiliki gejala-
sekitarnya. Terakhir adalah negative gejala GPM seperi negativistik, mudah marah,
automatic thought (NAT), yaitu pikiran berkelahi, melanggar semua peraturan, dan
negatif yang otomatis muncul pada suatu lain sebagainya yang pada akhirnya
peristiwa spesifik (Wilding dan Milne, 2008). mengganggu adaptivitasnya sehari-hari,
Pikiran otomatis ini muncul berkaitan dengan bahkan membuat orang-orang di sekitarnya
primary scheme dan secondary belief yang tidak nyaman. Di sisi lain, ia juga
dimiliki subjek. Dalam kasus ini, peristiwa menunjukkan gejala-gejala depresi seperti di
spesifik yang membuat subjek memunculkan mana ia merasa tidak memiliki harapan, nafsu
pikiran otomatisnya adalah ia mengikuti makan berkurang, merasa bersalah, dan lain
kegiatan bersama di PSAA. Misalnya, saat sebagainya yang membuatnya tidak dapat
akan sholat berjama’ah, apel, makan bersama, melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti
dan bertugas piket. Subjek enggan sholat biasanya. Hal ini menunjukkan adanya dua
jama’ah lagi karena saat ia sholat jama’ah sindrom yaitu sindrom GPM dan ganguan
teman-temannya akan berkata, ―wah tumben depresi. Berikut adalah diagnosis multiaksial
sholat‖. Kata-kata ini bagi subjek merupakan subjek yang dibuat berdasarkan ICD 10 atau
bukti bahwa ia memang sudah sangat buruk di PPDGJ III. Diagnosis dibuat berdasarkan
mata teman-temannya sehingga semakin PPDGJ karena dalam PPDGJ masih terdapat
menguatkan pikiran otomatisnya. Dalam kategori gangguan tingkah laku campuran
kegiatan piket pun, subjek enggan sedangkan di DSM V tidak ada.
melaksanakan karena ia tahu bahwa ia sudah Aksis I: F 92.0 Gangguan Tingkah Laku
terlanjur dianggap paling malas oleh teman- Depresif
temannya. Aksis II: Z 60.3 Ciri Kepribadian
Reaksi dari pikiran negatif seperti Kepribadian Emosional Tak Stabil Tipe
dijelaskan di atas termanifestasi secara emosi Impulsif
dan perilaku. Secara emosi, subjek merasa Aksis III: Tidak dilakukan pemeriksaan
merasa tidak ada harapan untuk memperbaiki Aksis IV: Masalah berkaitan dengan
citra dirinya, merasa buruk dirinya buruk, dan lingkungan sosial
ia kecewa pada dirinya sendiri. Subjek juga Aksis V GAF: 70 beberapa gejala ringan
mudah merasa mood nya menjadi buruk, di dan menetap, disabilitas ringan dalam
mana ia sering merasakan banyak emosi fungsi secara umum masih baik.
negatif pada saat yang bersamaan. Ia merasa
marah, kesal, sekaligus sedih dan kecewa. Prognosis
Bentuk perilaku yang muncul atas cara Prognosis subjek masih tergolong baik karena
berpikir subjek adalah berusaha keluar dari banyak faktor protektif dari lingkungan
PSAA, tidak mau makan bersama, dan seperti keluarga, peksos, dan teman-teman
semakin tidak termotivasi melaksanakan yang mendukung subjek dan dari diri sendiri
peraturan. Hal ini karena ia merasa bahwa di mana subjek memiliki potensi kognitif yang
apapun yang ia lakukan toh tidak akan baik serta menyadari bahwa ia bermasalah dan
mengubah anggapan teman-teman tentang ingin memperbaiki kondisi dirinya.
dirinya.
Rancangan Intervensi
Dalam pendekatan TKP, suatu
permasalahan dilihat memiliki komponen

189
kognitif, emosi, dan perilaku. Regulasi emosi membantu klien untuk memodifikasi cara
juga menjadi perhatian tersendiri dalam TKP berpikirnya di mana ia akan diajak
karena anak dengan gangguan perilaku mempraktikkan cara berpikir yang baru
biasanya mengalami kesulitan dalam tentang diri mereka sendiri dan cara
mengelola emosi. Selanjutnya, pada aspek berperilaku yang baru. Hal ini tentunya harus
kognitif, mereka juga seringkali memiliki cara dilakukan dengan cara yang hangat dan
berpikir yang terdistorsi sehingga membuat suportif, sehingga memiliki hubungan
mereka melakukan perilaku menentang terapeutik dengan klien juga merupakan hal
bahkan agresif kepada orang lain (Southam- yang harus diutamakan di awal (Karver &
Gerow, 2003; Southam-Gerow & Kendall, Caporino, 2014). Berdasarkan gambaran
2000). Oleh sebab itu, rancangan terapi yang tersebut, maka dibuat rancangan intervensi
disusun terdiri atas berbagai komponen yaitu berbasis pendekatan TKP yang
komponen pengenalan emosi, restrukturisasi mengintegrasikan ketiga komponen kognitif,
kognitif, dan modifikasi perilaku. Pada emosi, dan perilaku di bawah ini.
komponen restrukturisasi kognitif, terapis

Tabel 1. Rancangan Intervensi


Waktu
Sesi Kegiatan Substansi
(menit)

Perkenalan  Terapis memperkenalkan diri, menjalin relasi yang hangat dan


Pra
dan building suportif dengan subjek. 60
sesi
rapport  Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan dalam proses terapi
a) Psikoedukasi
 Menjelaskan hasil asesmen, faktor-faktor apa yang
memelihara permasalahan subjek.
 Menjelaskan keterkaitan komponen fisiologis, kognitif, dan
perilaku.
 Psikoedukasi tentang perubahan masa remaja, terkait dengan
Psikoedukasi perubahan emosi yang mulai dirasakan oleh subjek.
1 dan mood b) Termometer mood 90
monitoring Menjelaskan pada subjek tentang berbagai emosi/mood lalu
mengajarkannya untuk mengidentifikasi intensitas emosi tersebut
dengan memintanya memberikan rating dari skala 1-10 pada
berbagai emosi yang sedang ia raskan
c) Tugas rumah
Memberikan tugas rumah berupa Simple thought record di mana
subjek dapat mencatat pikiran dan perasaan yang muncul pada
situasi tertentu
a) Termometer mood
Identifikasi b) Me-review tugas rumah dan membahasnya
distorsi c) Restrukturisasi kognitif
kognitif, - Memperkenalkan dan mendeskripsikan gaya berpikir yang
2 pikiran terdistorsi, di mana subjek cenderung melakukan blaming 90
otomatis, dan dan overgeneralisasi.
membuat - Membantu subjek untuk membantah distorsi kognitif tersebut
bantahan dengan melihat bukti-bukti pada masa lalu atau masa
sekarang.
a) Termometer mood
Restrukturisasi b) Me-review tugas rumah dan membahasnya
3 90
kognitif 1 c) Restrukturisasi kognitif
 Dilakukan dengan membuat daftar sifat buruk dan sifat baik

190
subjek
 Membuat pikiran otomatis yang lebih seimbang
Restrukturisasi a) Termometer mood
4 b) Me-review pertemuan sebelumnya 90
kognitif 1
c) Restrukturisasi kognitif lanjutan
a) Termometer mood
b) Me-review pertemuan sebelumnya dan memantau perkembangan
subjek
Aktivasi
5 c) Behavioral experiment 90
perilaku 1
Meminta subjek untuk mencoba berada pada situasi yang
mengaktifkan pikiran otomatisnya dan menggunakan teknik
restrukturisasi yang telah diajarkan

a) Termometer mood
b) Me-review pertemuan sebelumnya dan memantau perkembangan
Aktivasi subjek
6 90
perilaku 2 c) Behavioral experiment lanjutan
Mengevaluasi percobaan subjek dan membahas hasilnya,
memberi penguatan pada subjek

 Termometer mood
 Subjek diminta mengidentifikasi perasaannya saat dulu di sesi
pertama dan saat ini di sesi terakhir. Setelah itu, subjek ditanya
apa yang membuat perasaan tersebut berbeda atau sama.
7 Evaluasi  Subjek diminta untuk mengidentifikasi hal apa yang telah ia 60
dapatkan selama terapi
 Subjek diminta untuk mengidentifikasi perubahan yang terjadi
pada dirinya
 Memberi penguatan pada subjek

HASIL DAN PEMBAHASAN dirinya, sehingga ia pun lebih termotivasi


Proses intervensi diawali dengan untuk menjadi lebih baik.
terapis menjalin relasi yang baik dengan Selama proses intervensi, subjek
subjek. Hal ini tidak mudah dilakukan karena menunjukkan perubahan yang positif. Dari
di awal subjek terus menerus menghindar segi cara berpikir, awalnya ia merasa dirinya
bertemu dengan terapis sampai akhirnya sangat buruk dengan skala 10 (dari skala 1-
subjek bersedia bertemu dengan terapis. Di 10), kemudian dengan proses restrukturisasi
awal pertemuan, subjek tampak masih enggan kognitif melalui metode menuliskan kelebihan
terbuka menceritakan masalahnya tetapi dan kekurangan serta sifat baik dan sifat
akhirnya ia bersedia menceritakan buruknya, ia menemukan bahwa ternyata
permasalahannya. Terapis berusaha menjalin kekurangan dan sifat buruknya jumlahnya
hubungan yang hangat, di mana terapis sama dengan kelebihan dan sifat baiknya. Ia
menghindari untuk menghakimi atau memberi pun pada akhirnya dapat membuat NAT yang
arahan yang direktif. Hal ini membuat subjek lebih berimbang yaitu ―aku tidak buruk tapi
pada akhirnya bersedia terbuka dan bersedia juga tidak baik‖. Dari segi emosi, di awal
mengikuti proses intervensi dengan cukup pertemuan subjek biasanya hanya berkata
baik. Di sela-sela proses intervensi, subjek ―perasaanku rasanya nggak enak banget‖,
seringkali mengatakan bahwa ia senang dalam proses termometer mood subjek belajar
mengikuti kegiatan intervensi karena ia untuk mengidentifikasi apa saja perasaan
merasa ada orang yang memperhatikan negatif yang sedang ia rasakan dengan terapis
memberikan berbagai kata-kata emosi

191
padanya, sehingga ia dapat mengenalinya. Di gangguan atau lebih dalam kerangka sistem
beberapa pertemuan terakhir, subjek pada diagnostik kategoris. Diagnosis komorbid
akhirnya dapat dengan mudah mengatakan merupakan hal yang umum ditemui pada
apa yang ia rasakan dan memberikan angka gangguan di masa kanak-kanak dan remaja,
untuk menunjukkan seberapa intensitas emosi terutama pada gangguan depresi, di mana
yang ia rasakan. Kemajuan yang dialami beberapa penelitian menunjukkan bahwa
subjek ini juga didukung oleh kemampuan sebagian besar gangguan pada anak dan
intelektual yang cukup baik sehingga dapat remaja memiliki gangguan komorbid
dengan cepat menangkap informasi yang (Hammen & Compas, 1994). Lebih lanjut
diberikan terapis. beberapa peneliti menggambarkan
Pada komponen perilaku berupa permasalahan perilaku yang dialami oleh
melanggar peraturan, karena cara berpikirnya subjek dengan depresi dan masalah perilaku
yang mulai lebih berimbang dan bukan sebagai dasar dari permasalahan,
kemampuannya dalam mengenali emosi mulai sehingga sering disebut dengan topeng depresi
berkembang, subjek mengalami perubahan yang artinya permasalahan utama yang
yang signifikan. Ia tadinya tidak sholat dialami subjek adalah gejala depresinya
jama’ah samasekali, ia mulai sholat jama’ah (Burke, Hipwell, & Loeber, 2010). Hal ini
dan mulai ikut kegiatan belajar bersama. Hal tampak terlihat dari subjek di mana gejala
ini juga dikonfirmasi pula oleh teman se- GPM yang muncul merupakan topeng dari
wisma subjek, di mana subjek sudah mau ikut gejala depresi yang ia rasakan. Hal ini tampak
kegiatan bersama lagi dan emosinya sudah dari konseptualisasi kasus pada bagan 1, di
lebih stabil, tidak lagi mudah marah. Pada mana permasalahan emosi dan perilakunya
perilakunya yang memukul dan berkelahi, bersumber pada pikiran negatif otomatis
subjek dapat mengidentifikasi bahwa setiap berupa "Aku pasti sudah dianggap buruk oleh
hari ia pasti memukul orang lain paling tidak semua orang di Panti" dan ditambah dengan
satu kali. hasil dari BDI yang menunjukkan kategori
Evaluasi proses intervensi adalah tinggi. Lebih lanjut, hasil penelitian (Burke
intervensi ini tidak berjalan sesuai dengan dkk., 2010), GPM memang seringkali menjadi
rancangan yang telah dibuat. Fleksibilitas ini pendahulu bagi gangguan afek seperti depresi
berkaitan dengan kondisi subjek sendiri yang dan kecemasan. Ini juga sesuai dengan
tidak memungkinkan untuk mengikuti permasalahan yang dialami oleh subjek di
protokol terapi sepenuhnya. Pertama, setelah mana ia menunjukkan permasalahan perilaku
pertemuan kedua, subjek sudah langsung terlebih dahulu hingga akhirnya mengalami
mengalami perubahan perilaku akibat masalah dengan hubungan sosialnya, yang
perubahan cara berpikir dan perubahan mood kemudian memunculkan pikiran negatif
nya. Kedua, kondisi eksternal subjek di panti otomatis yang mengandung pikiran depresif
asuhan yang sangat fluktuatif, di mana sehingga memunculkan emosi yang juga
beberapa kali terjadi situasi di panti yang bersifat depresif berupa putus asa, merasa diri
membuat kondisi emosi subjek berubah sangat buruk, dan lain sebagainya. Selain itu
drastis. juga berupa perilaku yang ingin keluar dari
Berdasarkan hasil asesmen yang panti dan perilaku menentang peraturan panti.
dilakukan, dapat dilihat bahwa subjek ternyata Lebih lanjut, permasalahan perilaku
tidak hanya menunjukkan gejala dan sindrom dapat meningkatkan kemungkinan depresi
GPM tetapi juga mengarah pada depresi. karena kurangnya keterampilan sosial,
Kondisi ini disebut dengan komorbiditas yang misalnya seringnya terjadi konflik dengan
secara spesifik mengacu pada terjadinya dua teman, guru, dan orangtua yang berujung pada

192
penolakan dari lingkungan (Essau, 2003). Hal seperti kehilangan kendali, menentang, dan
ini terjadi pada subjek di mana masalah bertengkar dengan orang lain. Saat gejala-
perilakunya ang berupa menentang, seringkali gejala ini diringkas untuk membuat konstruk
bertengkar, dan lain sebagainya membuat ia yang terpisah, gejala afek negatif
ditolak oleh lingkungannya, baik oleh teman memprediksi depresi, sementara perilaku
maupun pekerja sosial di panti. Kegagalan menentang memprediksi gejala GP.
dalam hubungan sosial ini kemudian Berdasarkan penelitian ini, tidak hanya dalam
memunculkan mood depresi. Gejala depresif GPM terdapat dimensi yang terpisah tetapi
ini lalu berinteraksi dengan agresivitas, setiap dimensi memprediksi permasalahan
melanggar peraturan, dan lain sebagainya psikologis yang berbeda di masa yang akan
yang akan semakin meningkatkan masalah datang.
perilaku. Penanganan yang diberikan kepada
Hasil penelitian (Burke, Loeber, subjek mengacu pada kerangka TKP, di mana
Lahey, & Rathouz, 2005) menunjukkan dapat dilihat subjek mengalami perkembangan
bahwa GPM secara langsung mempengaruhi yang signifikan, di mana ia mampu mengikuti
dan memprediksi terjadinya depresi. Gejala sesi restrukturisasi kognitif dengan baik
GPM yang sebagian berupa afek dan ciri sehingga ia menemukan cara berpikir yang
kepribadian negatif seperti seringkali penuh lebih berimbang tentang dirinya. Di sini
kemarahan, kehilangan kendali, penuh subjek juga dibantu untuk menemukan
dendam, dan kebencian serta hubungan yang kelebihan-kelebihan dirinya, sehingga ia tidak
bermusuhan dengan orang lain terutama orang berfokus pada gambaran dirinya yang buruk.
dewasa secara langsung berkontribusi Dari segi emosi, subjek tampak sudah lebih
terhadap terjadinya depresi, sementara aspek cakap dalam mengenali emosi yang dirasakan.
gejala perilaku menentang memprediksi gejala Hal ini pun berpengaruh terhadap perilakunya
GP. Lebih lanjut, GPM merupakan gangguan di mana ia tidak lagi menunjukkan yang
perkembangan yang sangat penting pada menentang peraturan panti dan berusaha
remaja laki-laki karena mempengaruhi untuk kembali taat pada peraturan. Ini
terjadinya gangguan perilaku dan afektif di menunjukkan sesuai dengan penelitian-
masa yang akan datang. penelitian sebelumnya yang menunjukkan
Beberapa penelitian menunjukkan TKP dapat efektif dalam menangani gangguan
bahwa GPM terdiri atas dimensi gejala yang perilaku pada anak dan remaja.
terpisah dan masing-masing dimensi dapat Faktor yang mendukung keberhasilan
memprediksi gangguan psikologis di masa intervensi ini adalah dari segi internal, subjek
yang akan datang. Penelitian (Stringaris & memiliki kemampuan kognitif yang memadai,
Goodman, 2009) menunjukkan bahwa GPM sehingga dapat cepat memahami apa yang
terdiri atas tiga dimensi yaitu dimensi mudah dijelaskan terapis. Hubungan yang hangat
marah yang menjadi prediktor terhadap antara subjek dengan terapis juga mendorong
gangguan emosional, dimensi rasa sakit hati, subjek untuk mengikuti proses intervensi
dan keras kepala menjadi prediktor utama dengan baik.
gejala non agresif. Penelitian (Burke dkk.,
2005) menggunakan analisis faktor DAFTAR PUSTAKA
menunjukkan bahwa gejala GPM memiliki Assifa, F. (2017, Januari 28). Kompas.
dua dimensi yaitu afek negatif dan perilaku Retrieved from Kompas Website:
menentang. Afek negatif terdiri atas gejala http://regional.kompas.com/read/2017
seperti sensitif, marah, dan kebencian /01/28/19513941/seorang.anak.balita.
sementara gejala perilaku menentang adalah

193
meninggal.diduga.akibat.kekerasan.di. (1998). Mental health problems of
panti.asuhan children in foster care. Journal of
Arredondo, D. E., & Butler, S. F. (1994). Child and Family Studies. Vol 7(3),
Affective Comorbidity in 7(3), 283–296. http://doi.org/1062-
Psychiatrically Hospitalized 1024/98/0900-0283$ 15.00/0
Adolescents with Conduct Disorder or Essau, C. A. (2003). Epidemiology and
Oppositional Defiant Disorder : Comorbidity. Dalam Cecilia A. Essau
Should Conduct Disorder Be Treated (Ed), Conduct and Oppositional
with Mood Stabilizers ? Journal of Defiant Disorders: Epidemiology,
Child and Adolescent Risk Factors, and Treatment. New
Psychopharmacology, 4(3), 151–158. Jersey: Lawrence Erlbaum Associates
Battagliese, G., Caccetta, M., Lupino, O., Grant, A., Townend, M., Mills, J., Cockx, A.
Baglioni, C., Cardi, V., Mancini, F., (2008). Assessment and Case
& Buonanno, C. (2015). Cognitive- Formulation in Cognitive Behavioral
behavioral therapy for externalizing Therapy. London: Sage Publication
disorders : A meta-analysis of Ltd.
treatment effectiveness. Behaviour Hammen, C., & Compas, B. E. (1994).
Research and Therapy, 75, 60–71. Unmasking Unmasked Depression in
http://doi.org/10.1016/j.brat.2015.10.0 Children and Adolescents: The
08 Problem of Comorbidity. Clinical
BPS. (2013). Badan Pusat Statistik. Retrieved Psychology Review, 14(6), 585–603.
from Website Badan Pusat Statistik Hayek, M., Mackie, T. I., Mulé, C. M.,
Jateng: Bellonci, C., Hyde, J., Bakan, J. S., &
http://jateng.bps.go.id/index.php/link Leslie, L. K. (2014). A multi-state
TabelStatis/905 study on mental health evaluation for
Burke, J. D., Hipwell, A. E., & Loeber, R. children entering foster care.
(2010). Dimensions of Oppositional Administration and Policy in Mental
Defiant Disorder as Predictors of Health, 41, 552–567.
Depression and Conduct Disorder in http://doi.org/10.1007/s10488-013-
Preadolescent Girls. Journal of 0495-3
American Academic of Children and Karismatika, I. (2014). Terapi Kognitif
Adolescents Psychiatry, 49(5), 484– Perilaku untuk Remaja dengan
492. Gangguan Tingkah Laku. Jurnal
Burke, J. D., Loeber, R., Lahey, B. B., & Sains Dan Praktik Psikologi, 2(3),
Rathouz, P. J. (2005). Developmental 296–301.
transition among affective and Karver, M. S., & Caporino, N. (2014). The
behavioral disorders in adolescent Use of Empirically Supported
boys Developmental transitions Strategies for Building a Therapeutic
among affective and behavioral Relationship With an Adolescent
disorders in adolescent boys. Journal With Oppositional Defiant Disorder.
of Child Psychology and Psychiatry, Cognitive and Behavioral Practice,
46(11), 1200–1210. 17(2), 222–232.
http://doi.org/10.1111/j.1469- http://doi.org/10.1016/j.cbpra.2009.09
7610.2005.00422.x .004
Clausen, J. M., Landsverk, J., Ganger, W., Kementerian Sosial RI. (2008, Juni 5).
Chadwick, D., & Litrownik, A. Kementerian Sosial. Retrieved from

194
Website Kementerian Sosial: Riyadi, Rusmil, K., & Effendi, S. H. (2014).
http://www.kemsos.go.id/modules.ph Risiko Masalah Perkembangan dan
p?name=News&file=article&sid=674 Mental Emosional Anak yang Diasuh
Lochman, J E., Powell, N. P., Boxmeyer, C., di Panti Asuhan Dibandingkan
& Jimenez-Camargo, L. (2011). dengan Diasuh Orangtua Kandung.
Cognitive-Behavioral Therapy for MKB, 46(2), 118–124.
Externalizing Disorders in Children Southam-Gerow, M. (2003). Child-Focused
and Adolescents. Child and Cognitive-Behavioral Therapies.
Adolescent Psychiatric Clinics of Dalam Cecilia A. Essau (Ed),
North America, 20(2), 305–318. Conduct and Oppositional Defiant
http://doi.org/10.1016/j.chc.2011.01.0 Disorders: Epidemiology, Risk
05 Factors, and Treatment. New Jersey:
Mahabbati, A. (2014). Pola Perilaku Lawrence Erlbaum Associates
Bermasalah dan Rancangan Intervensi Southam-Gerow, M. A., & Kendall, P. C.
Pada Anak Tuna Laras Tipe (2000). Essay Therapy with Youth :
Gangguan Perilaku (Conduct Advances , Challenges , and Future
Disorder) Berdasarkan Functional Directions. Clinical Psychology and
Behavior Assessment. Dinamika Psychotherapy, 7, 343–366.
Pendidikan, (1), 1–21. Stringaris, A., & Goodman, R. (2009). Three
Maruli, A. (2013, April 1). antara news. dimensions of oppositionality in
Retrieved from website antara news: youth. Journal of Child Psychology
http://www.antaranews.com/berita/36 and Psychiatry, 50(3), 216–223.
6329/berapa-jumlah-anak-yatim-di- http://doi.org/10.1111/j.1469-
indonesia- 7610.2008.01989.x
Minnis, H., Everett, K., Pelosi, A. J., Dunn, J., Sukhodolsky, D. G., Kassinove, H., &
& Knapp, M. (2006). Children in Gorman, B. S. (2004). Cognitive-
foster care: mental health, service use behavioral therapy for anger in
and costs. Eur Child Adolesc children and adolescents : A meta-
Psychiatry, 15(2), 63–70. analysis. Aggression and Violent
http://doi.org/10.1007/s00787-006- Behavior, 9, 247–269.
0452-8 http://doi.org/10.1016/j.avb.2003.08.0
Nock, M. K., Kazdin, A. E., Hiripi, E., & 05
Kessler, R. C. (2007). Lifetime Wilding, C. & Milne, A. (2008). Cognitive
prevalence , correlates , and Behavioural Therapy. London:
persistence of oppositional defiant Hodder Headline
disorder : results from the National Wolff, J. C., & Ollendick, T. H. (2006). The
Comorbidity Survey Replication, 7, Comorbidity of Conduct Problems
703–713. and Depression in Childhood and
http://doi.org/10.1111/j.1469- Adolescence. Clinical Child and
7610.2007.01733.x Family Psychology Review,
Noor, K. B. (2008). Case Study : A Strategic 9(December), 201–220.
Research Methodology. American http://doi.org/10.1007/s10567-006-
Journal of Applied Science, 5(11), 0011-3
1603–1604. Zainal, Z. (2007). Case study as a research
http://doi.org/10.3844/ajassp.2008.16 method. Jurnal Kemanusiaan bil.9,
02.1604 (June), 1–6.

195

Anda mungkin juga menyukai