BAB I
Gangguan kecemasan adalah masalah kesehatan mental yang paling umum dengan
usia onset paling awal, dan dikaitkan dengan beban yang cukup besar baik bagi individu
yang tinggi.1 Kecemasan klinis pada masa kanak-kanak berdampak buruk terhadap fungsi
akademik, sosial, dan emosional. Gangguan kecemasan cenderung bertahan hingga dewasa
definisi, yaitu, merupakan ketakutan atau kecemasan yang tidak wajar dan berlebihan
berkaitan dengan perpisahan dengan tokoh yang dirasa terikat yang seharusnya secara tahap
perkembangan sudah tidak dialami lagi. 3 Cemas perpisahan merupakan suatu fenomena yang
normal dijumpai pada tahap perkembangan manusia. Umumnya cemas perpisahan akan
mulai muncul pada bayi dalam usia kurang dari satu tahun. Hal ini menandakan kesadaran
seorang anak terhadap perpisahan dengan orangtuanya. Adanya ekspresi cemas perpisahan
juga dapat muncul pada saat anak – anak memasuki sekolah. 4 Gangguan cemas perpisahan
berlebihan, masalah tidur, kesulitan dalam lingkungan sosial dan akademik, hingga gejala
fisik yang apabila dibiarkan dan tidak dilakukan intervensi, maka dapat menyebabkan
penurunan fungsi sosial dan akademik.5 Kecemasan perpisahan pada masa kanak-kanak dapat
peer yang buruk, dan meningkatkan kemungkinan munculnya gangguan mental lainnya. Hal
ini menuntut praktisi kinis untuk lebih teliti dan waspada terhadap gejala cemas perpisahan
Hingga saat ini mendiagnosis gangguan ansietas perpisahan masih sulit untuk
dilakukan dan kasusnya masih sering terlewatkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kurangnya literatur berbasis bukti yang membahas mengenai kasus gangguan ansietas
perpisahan, serta kurangnya pedoman dan pentunjuk dalam melakukan diagnosis hingga
teruatama pada usia sekolah, dibawa ke pelayanan kesehatan untuk dilakukan penanganan
apabila telah dijumpai adanya penolakan untuk pergi ke sekolah, ataupun dijumpai gejala
BAB II
2.1 Definisi
Gangguan cemas perpisahan merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan adanya
rasa takut ataupun rasa cemas berkaitan dengan perpisahan terhadap orangtua, pengasuh,
ataupun tempat tinggal pada seseorang yang seharusnya telah melewati tahap perkembangan
tersebut. Ketakutan ataupun kecemasan yang dihadapi dapat disertai dengan adanya
kekhawatiran terhadap hal buruk yang mungkin terjadi apabila terdapat perpisahan yang
dapat menyebabkan stres berlebihan maupun mimpi buruk.4 Ketakutan ataupun rasa cemas
yang dialami, bersifat abnormal dibandingkan dengan tahap perkembangannya. Hal ini dapat
Penyebab dari gangguan cemas perpisahan merupakan gabungan dan interaksi dari
berbagai faktor, yaitu faktor biologis, faktor genetik dan juga faktor lingkungan. Faktor
biologis dapat meliputi genetik dan watak atau perangai pada seorang anak. Sementara faktor
lingkungan meliputi faktor seperti interaksi orangtua dan anak, serta kecemasan pada
orangtua. Keduanya merupakan faktor yang sering difokuskan oleh para peneliti sebagai
topik penelitian.8
andil yang besar dalam gangguan cemas perpisahan anak, dimana faktor lingkungan memberi
pengaruh yang lebih besar pada gangguan cemas perpisahan dibandingkan jenis kecemasan
lain yang dialami oleh anak. Faktor keluarga yang memicu munculnya gangguan cemas
perpisahan pada anak antara lain pola kelekatan anak dengan orangtua. Anak yang memiliki
kelekatan insecure cenderung mudah merasa cemas dan kesulitan untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosial seperti sekolah. Permasalahan lain seperti perceraian orangtua, orangtua
yang mengalami depresi, ataupun orangtua yang terlalu banyak terlibat dalam pengambilan
keputusan anak juga menjadi faktor risiko anak mengalami gangguan cemas perpisahan.9,10
1. Genetik
Penelitian yang ada menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara anak dengan
ataupun depresi pada orangtunya. Anak – anak dengan perangai ataupun watak yang
cemas juga memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami gangguan ansietas
perpisahan menunjukkan bahwa adanya faktor lingkungan yang dialami bersama lebih
penting dibandingkan dengan keberadaan faktor genetik dalam kasus gangguan cemas
perpisahan. Adanya gangguan kecemasan pada orangtua juga dikaitkan dengan adanya
peningkatan risiko terjadiya gangguan ansietas perpisahan. Pada anak – anak dengan
2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian yang ada menunjukkan prevalensi gangguan cemas perpisahan yang
sedikit lebih tinggi pada perempuan jika dibandingkan dengan laki – laki. Hal ini
dijumpai adanya tanpa adanya perbedaan gejala. Perbedaan pada jenis kelamin belum
dapat ditegakkan, walaupun persentasi penderita gangguan cemas perpisahan, lebih sering
3. Perangai
Deregulasi terhadap emosi, dianggap sebagai salah satu faktor utama dalam gangguan
kecemasan. Anak – anak dengan gangguan kecemasan lebih sering menunjukkan respon
emosi yang negatif. Anak – anak maupun remaja dengan gangguan kecemasan dapat
peranan dalam terjadinya gangguan kecemasan pada anak. Gangguan cemas perpisahan
perpisahan. Adanya sifat yang protektif, sifat yang terlalu mengontrol, dan memberi
kritikan yang berlebihan yang dapat membatasi kemandirian pada anak dapat
berkontribusi dalam terbentuknya gangguan cemas, terutama pada anak – anak dengan
5. Perubahan Lingkungan
Gangguan kecemasan pada anak dapat dikaitkan dengan adanya paparan terhadap
adanya perubahan dalam kehidupan seseorang. Gejala juga dapat muncul apabila terdapat
perubahan pada pengasuh, ataupun perubahan pada sikap atau perilaku orangtua dalam
2.3 Epidemiologi
pada anak – anak, dengan prevalensi mencapai 6 hingga 18%. Pada gangguan cemas
perpisahan, onset usia rata – ratanya adalah usia 7 tahun. Prevalensi seumur hidup pada
gangguan cemas perpisahan anak – anak adalah 4.1% hingga 7% pada populasi secara umum
Pada suatu penelitian, dijumpai bahwa angka kejadian pada kondisi klinis memiliki
angka yang lebih tinggi, dimana 49% anak – anak dan 46% orang dewasa yang mencari
pertolongan psikiater, memenuhi kriteria untuk gangguan cemas perpisahan. Prevalensi pada
gangguan cemas perpisahan pada anak ditemukan lebih sering pada perempuan dan dapat
bervariasi berdasarkan rentang umurnya. Sementara pada dewasa muda, gangguan ansietas
dengan adanya kecemasan ataupun rasa takut yang berkaitan dengan perpisahan terhadap
orangtua maupun pengasuh utama, yang seharusnya sudah dilewati dalam tahap
perkembangan normal. Pada DSM-5, gangguan cemas perpisahan harus memiliki tiga gejala
utama yang wajib dijumpai terkait dengan kecemasan yang berlebihan terhadap perpisahan
dengan orangtua, maupun pengasuh utama atau yang kita sebut dengan tokoh kesayangan
dalam periode lebih dari 4 minggu. Seseorang dengan gangguan cemas perpisahan
menunjukkan rasa takut ataupun rasa cemas yang berlebihan apabila menghadapi perpisahan
terhadap seorang tokoh kesayangan walaupun dalam waktu yang singkat. Beberapa gejala
yang dapat dijumpai dalam gangguan cemas perpisahan seperti takut akan perpisahan dengan
tokoh kesayangan, menolak untuk pergi ke manapun untuk menghindari perpisahan dengan
major attachment figure, kesulitan untuk berada dalam keadaan sendirian ataupun tidur
sendirian, mendapat mimpi buruk, adanya keluhan somatik berkaitan dengan perpisahan.
Diagnosis dapat ditegakkan untuk anak – anak dan dewasa muda apabila gejala ditemukan
selama 4 minggu atau lebih, sesuai dengan tahap perkembangannya. Penderita harus
diagnosis.4,12
2.5 Diagnosis
Ketakutan ataupun kecemasan yang tidak pantas atau berlebihan berkaitan dengan
perpisahan dengan individu yang memiliki keterikatan, yang tidak sesuai dengan
tahap perkembangan seseorang. Hal ini dibuktikan oleh setidaknya tiga dari beberapa
kejadian yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan perpisahan dengan tokoh
kesayangan.
4. Keengganan atau penolakan yang gigih untuk pergi, jauh dari rumah, ke sekolah,
pergi bekerja, atau ke manapun, karena adanya rasa takut untuk berpisah.
5. Adanya rasa takut yang terus menerus dan berlebihan ataupun keengganan untuk
berada dalam kondisi sendirian atau tanpa tokoh kesayangan baik di rumah
6. Keengganan ataupun menolak untuk tidur jauh dari rumah ataupun tidur tanpa
tokoh kesayangan.
pada anak – anak serta dewasa muda, dan umumnya 6 bulan atau lebih pada orang
dewasa.
Gangguan yang dialami menyebabkan adanya tekanan yang signifikan secara klinis
Gangguan yang dialami tidak dapat dijelaskan dengan gangguan mental lain, seperti
berkaitan dengan perpisahan pada gangguan psikotik, menolak untuk pergi ke luar
tanpa teman yang dipercaya pada penderita agorafobia, kekhawatiran bahwa sakit
penyakit ataupun bahaya lain dapat menimpa orang - orang yang disayangi pada
Ciri diagnostik yang terpenting ialah ansietas yang berlebihan yamg terfokus dan
berkaitan dengan perpisahan dari tokoh yang akrab hubungannya dengan si anak
(lazimnya orangtua ataupun kerabat akrab lainnya), yang bukan hanya bagian dari
1. Tidak realistik, kekhawatiran yang mandalam kalua ada bencana, yang akan
menimpa tokoh yang lekat atau kekhawatiran orang itu akan pergi dan tidak
kembali lagi.
misalnya akan kesasar, diculik atau dimasukkan ke dalam rumah sakit, atau
terbunuh, yang akan memisahkannya dari tokok yang lekat dengan dirinya.
3. Terus menerus enggan atau menolak untuk masuk sekolah, semata – mata karena
takut akan perpisahan (bukan karena alasan lain seperti kekhawatiran tentang
peristiwa di sekolah).
4. Terus menerus enggan atau menolak tidur tanpa ditemani atau didampingi oleh
tokoh kesayangannya.
5. Terus menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggalkan seorang diri, atau tanpa
7. Sering timbulnya gejala fisik (rasa mual, sakit perut, sakit kepala, muntah –
muntah dan sebagainya) pada peristiwa perpisahan dari tokoh yang akrab dengan
mengadat, merana, apati, atau pengunduran sosial) pada saat sebelum, selama,
Diagnosis ini mensyaratkan tidak ada gangguan umum pada perkembangan fungsi
kepribadian.
kecemasan pada kondisi lain, kecemasan tersebut tampak tidak mendominasi pada
gambaran klinis.
Serangan panik
kecemasan yang ekstrem, bahkan sebuah serangan panik. Pada gangguan cemas
dari tokoh kesayangan dan cemas terhadap terjadinya kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan yang terjadi pada mereka, sementara serangan panik bersifat tidak diduga.
Agorafobia
Pada penderita gangguan ansietas perpisahan, penderita tidak merasa cemas berada
dalam keadaan terperangkap ataupun berada dalam situasi yang menunjukkan adanya
kesulitan untuk lepas dari suatu tempat atau situasi pada keadaan dengan sekumpulan
Gangguan perilaku
Menghindari sekolah merupakan salah satu gejala yang umum dijumpai pada
kehadiran di sekolah.
Menolak untuk pergi ke sekolah dapat merupakan gejala yang disebabkan oleh
gangguan ansietas sosial. Pada kasus-kasus ini, menghindari sekolah disebabkan oleh
rasa cemas terhadap penilaian yang negatif oleh orang lain dibandingkan dengan rasa
Adanya rasa takut untuk berpisah dengan orang-orang yang disayangi merupakan hal
yang umum dijumpai setelah melewati kejadian yang bersifat traumatis, terutama
apabila terjadi perpisahan pada saat terjadi peristiwa traumatic. Pada gangguan stres
paska trauma, gejala utama adalah menghindari ingatan yang berkaitan dengan
Hipokondriasis
terjadinya suatu penyakit, dan pokok utama dari kecemasannya adalah penyakit itu
Keadaan berduka
Pada kondisi ini, hal utama yang ditemui adalah adanya keinginan dan kerinduan
yang besar dengan orang yang sudah meninggal, rasa kesedihan yang mendalam dan
perasaan emosional yang menyakitkan, sehingga pikiran dipenuhi oleh orang yang
Pada gangguan ini, terdapat keengganan untuk meninggalkan rumah, namun inti
kesayangan, tetapi kecilnya niat untuk berinteraksi dengan dunia luar. Namun, pada
gangguan ansietas perpisahan, dapat terjadi keadaan depresif apabila dipisahkan atau
Pada anak – anak dan dewasa muda dengan gangguan ansietas perpisahan terdapat
Gangguan psikotik
Tidak seperti halusinasi pada gangguan psikotik, pengalaman persepsi yang dialami
eksternal yang nyata, dan hal ini umumnya terjadi pada saat – saat tertentu, dan dapat
Gangguan kepribadian
kesayangan.13
2.7 Tatalaksana
psikologis, perilaku, maupun farmakologi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai
efikasi dari terapi-terapi tersebut. Saat ini, terapi yang menjadi rekomendasi salah satunya
Terapi perilaku kognitif, merupakan intervensi lini pertama terutama pada anak-anak
dengan gangguan cemas perpisahan. Apabila dijumpai terapi kognitif perilaku tidak
memberikan perubahan, maka terapi kombinasi dapat dipertimbangkan. Terapi pada anak-
anak dengan umur di bawah 6 tahun dapat menjadi kasus yang sulit karena keterbatasan
tahun, intervensi yang dipergunakan adalah terapi kognitif perilaku. Terapi perilaku kognitif
merupakan terapi psikososial dengan efikasi yang tinggi untuk menangani gangguan
kognitif, pemaparan bertahap terhadap stimulus yang ditakuti, dan konsolidasi metode –
metode tersebut untuk mecegah terjadinya pengulangan gejala. Pada terapi perilaku kognitif,
awalnya penderita diminta untuk mengkaji ulang hubungan antara pikiran, perasaan, dan
sensasi fisiologis, serta perilaku. Pada kasus anak-anak, diajarkan bahwa terkadang rasa
cemas juga memiliki fungsi pada beberapa keadaan tertentu. Mereka juga diminta untuk
dengan terapi kognitif perilaku dalam kombinasi. Obat golongan SSRI, umumnya merupakan
obat pilihan dalam penanganan gangguan ansietas sedang hingga berat, apabila dijumpai
terapi kognitif perilaku dijumpai tidak efektif. SSRI bekerja melalui inhibisi dari
pengambilan serotonin pada celah sinaps di sistem saraf pusat yang berperan dalam
meregulasi mood. Dengan meningkatnya kadar serotonin di celah sinaps, terjadi penurunan
gejala kecemasan. Meskipun memberikan keuntungan, terapi farmakologis tidak lepas dari
risiko-risiko, serta kemunculan efek samping dari pengobatan. Beberapa dari efek samping
yang dapat dijumpai pada penggunaan SSRI seperti, insomnia, rasa mual dan muntah,
berkurang ataupun bertambahnya selera makan, dan perasaan lelah. Sehingga penting bagi
pelayan kesehatan untuk memantau penggunaan SSRI terutama pada satu hingga dua bulan
pertama. Beberapa contoh dari obat-obatan golongan SSRI yang paling sering digunakan
adalah adalah fluoxetine, sertraline, dan paroxetine. SSRI dapat mencapai efek maksimum
dalam waktu empat hingga enam minggu konsumsi. Penggunaan SSRI sebaiknya dilakukan
pemantauan untuk menilai risiko untuk kejadian bunuh diri, efek samping, dan juga
keefektifan dari obat. SSRI sebaiknya dilanjutkan hingga 6 bulan sejak kemunculan respon
dari gejala yang dialami penderita dan kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap.5,12,14,15
2.8 Prognosis
Prognosis dari gangguan ansietas perpisahan, dapat berbeda-beda bergantung pada faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yaitu, usia pada saat onset gejala,
durasi dari gejala, dan apakah terdapat kemunculan komorbid gangguan kecemasan dan
gangguan depresif. Pada anak-anak dengan kemampuan untuk tetap hadir di sekolah,
kegiatan setelah sepulang sekolah, dan memiliki hubungan sesame teman di sekolah,
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menolak
untuk pergi ke sekolah dan menarik diri dari berbagai aktivitas sosial. Berbagai penelitian
menemukan bahwa terdapat tumpang tindih yang signifikan, antara gangguan ansietas
perpisahan dengan gangguan depresi. Pada kasus-kasus yang dijumpai dengan beberapa
komorbid, prognosisnya dijumpai lebih buruk ataupun tidak pasti. Pada beberapa studi yang
ada, menunjukkan bahwa keluhan penolakan pergi ke sekolah dapat bertahan hingga masa
BAB III
3.1 Kesimpulan
Gangguan cemas perpisahan merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan adanya
rasa takut ataupun rasa cemas berkaitan dengan perpisahan terhadap orangtua, pengasuh,
ataupun tempat tinggal pada seseorang yang seharusnya telah melewati tahap perkembangan
tersebut. Penyebab dari gangguan cemas perpisahan merupakan gabungan dan interaksi dari
berbagai faktor, yaitu faktor biologis, faktor genetik dan juga faktor lingkungan. Penanganan
gangguan cemas perpisahan dapat dilakukan dengan intervensi psikologis, perilaku, maupun
farmakologi. Prognosis dari gangguan ansietas perpisahan, dapat berbeda-beda bergantung
DAFTAR PUSTAKA
1. Lo, S. L., Schroder, H. S., Fisher, M. E., Durbin, C. E., Fitzgerald, K. D., Danovitch, J.
H., & Moser, J. S. (2017). Associations between Disorder-Specific Symptoms of Anxiety
and Error-Monitoring Brain Activity in Young Children. Journal of Abnormal Child
Psychology, 45(7), 1439–1448.
2. Gordon-Hollingsworth, A. T., Becker, E. M., Ginsburg, G. S., Keeton, C., Compton, S.
N., Birmaher, B. B., … March, J. S. (2015). Anxiety Disorders in Caucasian and African
American Children: A Comparison of Clinical Characteristics, Treatment Process
Variables, and Treatment Outcomes. Child Psychiatry and Human Development, 46(5),
643–655.
3. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder 5. Edisi ke-5. Washington DC: American Psychiatric Association.
4. Sadock, B.J. Sadock, V.A. Ruiz. 2015. P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi ke-11. Pataki, C.S. Sussman, N. editor.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
5. Vaughan, J. Coddington, J. dkk. Separation Anxiety Disorder in School-Age Children:
What Health Care Providers Should Know. National Association of Pediatric Nurse
Practitioners. 2019. A
6. Naldan, M. E., Karayagmurlu, A., Ahıskalıoglu, E. O., Cevizci, M. N., Aydin, P., & Kara,
D. (2018). Is surgery a risk factor for separation anxiety in children? Pediatric Surgery
International, 34(7), 763–767.
7. Semple, D. Smyth, R. 2013. Oxford Handbook of Psychiatry. Edisi ke-3. Inggris: Oxford
University Press.
8. Malgorzata, D. Aleksander, A. dkk. 2011. Separation Anxiety in Children and
Adolescents, Different Views of Anxiety Disorders. Intechopen.
9. Pine DS, Klein RG. 2015. Anxiety disorders. In Rutter M, Bishop D, Pine D et al (eds).
Rutter’s Child and Adolescent Psychiatry, 6th ed. Blackwell Publishing, pp628-647.
10. Figueroa, A., Soutullo, C., Ono, Y., & Saito, K. 2012. Separation anxiety. IACAPAP e-
textbook of child and adolescent mental health. Geneva: International Association for
Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions.
11. Krajniak, M. Anderson, K. dan Eisen, A. 2016. Separation Anxiety. Encyclopedia of
Mental Health. pp.128-132.
12. Tasman, A. Kay, J. dkk. Psychiatry. Edisi ke-4. Oxford: Wiley Blackwell.
13. Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
14. Ehrenreich, J. T., Santucci, L. C., & Weiner, C. L. 2008. Separation anxiety disorder in
youth: phenomenology, assessment, and treatment. Psicologia conductual, 16(3), 389.
15. Milrod, B., Markowitz, J. C., Gerber, A. J., Cyranowski, J., Altemus, M., Shapiro, T., ...
& Glatt, C. 2014. Childhood separation anxiety and the pathogenesis and treatment of
adult anxiety. American Journal of Psychiatry, 171(1), 34-43.