Anda di halaman 1dari 17

Refarat Kepada Yth:

dr. M. Surya Husada, M.Ked (KJ), Sp.KJ

GANGGUAN CEMAS PERPISAHAN PADA ANAK

Presentator : dr. Claudy Bunga H. Saing


Pembimbing : Prof dr H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K-AR)
Moderator : dr. M. Surya Husada, M.Ked (KJ), Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
Refarat Psikiatri Kepada Yth:

GANGGUAN CEMAS PERPISAHAN PADA ANAK

Penyaji : Prof dr H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K-AR)


Moderator : dr. M. Surya Husada, M.Ked (KJ), Sp.KJ
Hari/Tanggal : Selasa, 25 Oktober 2022
Pukul :
Tempat : Daring via Zoom

BAB I

1.1 Latar Belakang

Gangguan kecemasan adalah masalah kesehatan mental yang paling umum dengan

usia onset paling awal, dan dikaitkan dengan beban yang cukup besar baik bagi individu

maupun masyarakat karena berkurangnya produktivitas dan penggunaan perawatan medis

yang tinggi.1 Kecemasan klinis pada masa kanak-kanak berdampak buruk terhadap fungsi

akademik, sosial, dan emosional. Gangguan kecemasan cenderung bertahan hingga dewasa

serta berkaitan erat dengan berbagai hasil negatif jangka panjang.2

Gangguan cemas perpisahan, berdasarkan kriteria diagnostik DSM-5, memiliki

definisi, yaitu, merupakan ketakutan atau kecemasan yang tidak wajar dan berlebihan

berkaitan dengan perpisahan dengan tokoh yang dirasa terikat yang seharusnya secara tahap

perkembangan sudah tidak dialami lagi. 3 Cemas perpisahan merupakan suatu fenomena yang

normal dijumpai pada tahap perkembangan manusia. Umumnya cemas perpisahan akan

mulai muncul pada bayi dalam usia kurang dari satu tahun. Hal ini menandakan kesadaran

seorang anak terhadap perpisahan dengan orangtuanya. Adanya ekspresi cemas perpisahan

juga dapat muncul pada saat anak – anak memasuki sekolah. 4 Gangguan cemas perpisahan

memiliki banyak pengaruh ataupun konsekuensi terhadap kehidupan seseorang, terutama


pada anak – anak usia sekolah. Pengaruh yang dapat diberikan adalah kekhawatiran yang

berlebihan, masalah tidur, kesulitan dalam lingkungan sosial dan akademik, hingga gejala

fisik yang apabila dibiarkan dan tidak dilakukan intervensi, maka dapat menyebabkan

penurunan fungsi sosial dan akademik.5 Kecemasan perpisahan pada masa kanak-kanak dapat

mempengaruhi fungsi sehari-hari anak, menyebabkan penolakan sekolah, hubungan dengan

peer yang buruk, dan meningkatkan kemungkinan munculnya gangguan mental lainnya. Hal

ini menuntut praktisi kinis untuk lebih teliti dan waspada terhadap gejala cemas perpisahan

dalam kasus yang ditangani.6

Hingga saat ini mendiagnosis gangguan ansietas perpisahan masih sulit untuk

dilakukan dan kasusnya masih sering terlewatkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh

kurangnya literatur berbasis bukti yang membahas mengenai kasus gangguan ansietas

perpisahan, serta kurangnya pedoman dan pentunjuk dalam melakukan diagnosis hingga

melakukan tatalaksana yang tepat. Umumnya penderita gangguan ansietas perpisahan

teruatama pada usia sekolah, dibawa ke pelayanan kesehatan untuk dilakukan penanganan

apabila telah dijumpai adanya penolakan untuk pergi ke sekolah, ataupun dijumpai gejala

yang melibatkan somatik yang bersifat mengganggu.5

BAB II

2.1 Definisi
Gangguan cemas perpisahan merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan adanya

rasa takut ataupun rasa cemas berkaitan dengan perpisahan terhadap orangtua, pengasuh,

ataupun tempat tinggal pada seseorang yang seharusnya telah melewati tahap perkembangan

tersebut. Ketakutan ataupun kecemasan yang dihadapi dapat disertai dengan adanya

kekhawatiran terhadap hal buruk yang mungkin terjadi apabila terdapat perpisahan yang

dapat menyebabkan stres berlebihan maupun mimpi buruk.4 Ketakutan ataupun rasa cemas

yang dialami, bersifat abnormal dibandingkan dengan tahap perkembangannya. Hal ini dapat

menyebabkan gangguan pada fungsi dan aktivitas sehari – hari.7

2.2 Faktor Risiko

Penyebab dari gangguan cemas perpisahan merupakan gabungan dan interaksi dari

berbagai faktor, yaitu faktor biologis, faktor genetik dan juga faktor lingkungan. Faktor

biologis dapat meliputi genetik dan watak atau perangai pada seorang anak. Sementara faktor

lingkungan meliputi faktor seperti interaksi orangtua dan anak, serta kecemasan pada

orangtua. Keduanya merupakan faktor yang sering difokuskan oleh para peneliti sebagai

topik penelitian.8

Penelitian menunjukkan bahwa faktor biologis maupun faktor lingkungan memiliki

andil yang besar dalam gangguan cemas perpisahan anak, dimana faktor lingkungan memberi

pengaruh yang lebih besar pada gangguan cemas perpisahan dibandingkan jenis kecemasan

lain yang dialami oleh anak. Faktor keluarga yang memicu munculnya gangguan cemas

perpisahan pada anak antara lain pola kelekatan anak dengan orangtua. Anak yang memiliki

kelekatan insecure cenderung mudah merasa cemas dan kesulitan untuk berinteraksi dengan

lingkungan sosial seperti sekolah. Permasalahan lain seperti perceraian orangtua, orangtua

yang mengalami depresi, ataupun orangtua yang terlalu banyak terlibat dalam pengambilan

keputusan anak juga menjadi faktor risiko anak mengalami gangguan cemas perpisahan.9,10
1. Genetik

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara anak dengan

gangguan ansietas perpisahan dengan adanya riwayat gangguan panik, kecemasan,

ataupun depresi pada orangtunya. Anak – anak dengan perangai ataupun watak yang

cemas juga memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami gangguan ansietas

perpisahan. Penelitian – penelitian pada bidang genetik mengenai gangguan cemas

perpisahan menunjukkan bahwa adanya faktor lingkungan yang dialami bersama lebih

penting dibandingkan dengan keberadaan faktor genetik dalam kasus gangguan cemas

perpisahan. Adanya gangguan kecemasan pada orangtua juga dikaitkan dengan adanya

peningkatan risiko terjadiya gangguan ansietas perpisahan. Pada anak – anak dengan

orangtua yang memiliki gangguan kecemasan, terdapat peningkatan risiko untuk

terjadinya gangguan kecemasan pada usia yang lebih muda.8

2. Jenis Kelamin

Beberapa penelitian yang ada menunjukkan prevalensi gangguan cemas perpisahan yang

sedikit lebih tinggi pada perempuan jika dibandingkan dengan laki – laki. Hal ini

dijumpai adanya tanpa adanya perbedaan gejala. Perbedaan pada jenis kelamin belum

dapat ditegakkan, walaupun persentasi penderita gangguan cemas perpisahan, lebih sering

dijumpai pada wanita.8

3. Perangai

Deregulasi terhadap emosi, dianggap sebagai salah satu faktor utama dalam gangguan

kecemasan. Anak – anak dengan gangguan kecemasan lebih sering menunjukkan respon

emosi yang negatif. Anak – anak maupun remaja dengan gangguan kecemasan dapat

memiliki perangai yang berbeda.8

4. Ikatan Orangtua dan Anak


Tekanan pada orangtua, psikopatologi pada orangtua, dan juga fungsi keluarga, memiliki

peranan dalam terjadinya gangguan kecemasan pada anak. Gangguan cemas perpisahan

merupakan bentuk utama gangguan kecemasan yang dikaitkan dengan kecemasan

perpisahan. Adanya sifat yang protektif, sifat yang terlalu mengontrol, dan memberi

kritikan yang berlebihan yang dapat membatasi kemandirian pada anak dapat

berkontribusi dalam terbentuknya gangguan cemas, terutama pada anak – anak dengan

watak ataupun perangai yang rentan.8

5. Perubahan Lingkungan

Gangguan kecemasan pada anak dapat dikaitkan dengan adanya paparan terhadap

peristiwa – peristiwa negatif. Gangguan ansietas perpisahan dapat ditimbulkan oleh

adanya perubahan dalam kehidupan seseorang. Gejala juga dapat muncul apabila terdapat

perubahan pada pengasuh, ataupun perubahan pada sikap atau perilaku orangtua dalam

hal rutinitas maupun disiplin.8

2.3 Epidemiologi

Gangguan kecemasan, merupakan gangguan psikiatri yang paling umum ditemukan

pada anak – anak, dengan prevalensi mencapai 6 hingga 18%. Pada gangguan cemas

perpisahan, onset usia rata – ratanya adalah usia 7 tahun. Prevalensi seumur hidup pada

gangguan cemas perpisahan anak – anak adalah 4.1% hingga 7% pada populasi secara umum

dan prevalensi 12 bulan menunjukkan 1.9% pada orang dewasa.

Pada suatu penelitian, dijumpai bahwa angka kejadian pada kondisi klinis memiliki

angka yang lebih tinggi, dimana 49% anak – anak dan 46% orang dewasa yang mencari

pertolongan psikiater, memenuhi kriteria untuk gangguan cemas perpisahan. Prevalensi pada

gangguan cemas perpisahan pada anak ditemukan lebih sering pada perempuan dan dapat

bervariasi berdasarkan rentang umurnya. Sementara pada dewasa muda, gangguan ansietas

memiliki prevalensi 1.1% pada usia 18 tahun hingga 29 tahun.8,11


2.4 Gambaran Klinis

Berdasarkan American Psychiatric Association, DSM-5, gangguan cemas ditandai

dengan adanya kecemasan ataupun rasa takut yang berkaitan dengan perpisahan terhadap

orangtua maupun pengasuh utama, yang seharusnya sudah dilewati dalam tahap

perkembangan normal. Pada DSM-5, gangguan cemas perpisahan harus memiliki tiga gejala

utama yang wajib dijumpai terkait dengan kecemasan yang berlebihan terhadap perpisahan

dengan orangtua, maupun pengasuh utama atau yang kita sebut dengan tokoh kesayangan

dalam periode lebih dari 4 minggu. Seseorang dengan gangguan cemas perpisahan

menunjukkan rasa takut ataupun rasa cemas yang berlebihan apabila menghadapi perpisahan

terhadap seorang tokoh kesayangan walaupun dalam waktu yang singkat. Beberapa gejala

yang dapat dijumpai dalam gangguan cemas perpisahan seperti takut akan perpisahan dengan

tokoh kesayangan, menolak untuk pergi ke manapun untuk menghindari perpisahan dengan

major attachment figure, kesulitan untuk berada dalam keadaan sendirian ataupun tidur

sendirian, mendapat mimpi buruk, adanya keluhan somatik berkaitan dengan perpisahan.

Diagnosis dapat ditegakkan untuk anak – anak dan dewasa muda apabila gejala ditemukan

selama 4 minggu atau lebih, sesuai dengan tahap perkembangannya. Penderita harus

mengalami disfungsi ataupun kesulitan dalam hidupnya, untuk memenuhi kriteria

diagnosis.4,12

2.5 Diagnosis

Kriteria diagnosis gangguan cemas perpisahan menurut DSM-5, yaitu:3

 Ketakutan ataupun kecemasan yang tidak pantas atau berlebihan berkaitan dengan

perpisahan dengan individu yang memiliki keterikatan, yang tidak sesuai dengan

tahap perkembangan seseorang. Hal ini dibuktikan oleh setidaknya tiga dari beberapa

hal di bawah ini:


1. Tekanan berlebihan yang berulang saat mengantisipasi ataupun mengalami

perpisahan dari rumah ataupun tokoh kesayangan.

2. Kekhawatiran yang terus menerus dan berlebihan mengenai kehilangan tokoh

kesayangan, ataupun adanya kemungkinan bahaya yang menimpa mereka seperti

penyakit, luka, bencana, hingga kematian.

3. Kekhawatiran yang terus menerus dan berlebihan tentang mengalami kejadian –

kejadian yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan perpisahan dengan tokoh

kesayangan.

4. Keengganan atau penolakan yang gigih untuk pergi, jauh dari rumah, ke sekolah,

pergi bekerja, atau ke manapun, karena adanya rasa takut untuk berpisah.

5. Adanya rasa takut yang terus menerus dan berlebihan ataupun keengganan untuk

berada dalam kondisi sendirian atau tanpa tokoh kesayangan baik di rumah

maupun di tempat lain.

6. Keengganan ataupun menolak untuk tidur jauh dari rumah ataupun tidur tanpa

tokoh kesayangan.

7. Mimpi buruk yang berulang - ulang dengan tema perpisahan.

8. Adanya keluhan fisik yang berulang-ulang, apabila berpisah ataupun akan

berpisah dengan tokoh kesayangan.

 Ketakutan, kecemasan, ataupun penghindaran bersifat terus menerus selama 4 minggu

pada anak – anak serta dewasa muda, dan umumnya 6 bulan atau lebih pada orang

dewasa.

 Gangguan yang dialami menyebabkan adanya tekanan yang signifikan secara klinis

ataupun penurunan fungsi sosial, akademik, pekerjaan, dan fungsi lainnya.

 Gangguan yang dialami tidak dapat dijelaskan dengan gangguan mental lain, seperti

menolak untuk meninggalkan rumah karena adanya resistensi yang berlebihan


terhadap perubahan pada gangguan spektrum autisme, delusi ataupun halusinasi

berkaitan dengan perpisahan pada gangguan psikotik, menolak untuk pergi ke luar

tanpa teman yang dipercaya pada penderita agorafobia, kekhawatiran bahwa sakit

penyakit ataupun bahaya lain dapat menimpa orang - orang yang disayangi pada

gangguan ansietas menyeluruh, ataupun kekhawatiran untuk mendapat penyakit pada

gangguan ansietas penyakit.

Sementara, kriteria diagnosis dari gangguan ansietas perpisahan berdasarkan PPDGJ

III adalah sebagai berikut:13

 Ciri diagnostik yang terpenting ialah ansietas yang berlebihan yamg terfokus dan

berkaitan dengan perpisahan dari tokoh yang akrab hubungannya dengan si anak

(lazimnya orangtua ataupun kerabat akrab lainnya), yang bukan hanya bagian dari

ansietas umum berkenaan dengan aneka situasi.

1. Tidak realistik, kekhawatiran yang mandalam kalua ada bencana, yang akan

menimpa tokoh yang lekat atau kekhawatiran orang itu akan pergi dan tidak

kembali lagi.

2. Tidak realistik, kekhawatiran mendalam akan terjadi peristiwa buruk, seperti

misalnya akan kesasar, diculik atau dimasukkan ke dalam rumah sakit, atau

terbunuh, yang akan memisahkannya dari tokok yang lekat dengan dirinya.

3. Terus menerus enggan atau menolak untuk masuk sekolah, semata – mata karena

takut akan perpisahan (bukan karena alasan lain seperti kekhawatiran tentang

peristiwa di sekolah).

4. Terus menerus enggan atau menolak tidur tanpa ditemani atau didampingi oleh

tokoh kesayangannya.

5. Terus menerus takut yang tidak wajar untuk ditinggalkan seorang diri, atau tanpa

ditemani orang yang akrab di rumah pada siang hari.


6. Berulang mimpi buruk tentang perpisahan.

7. Sering timbulnya gejala fisik (rasa mual, sakit perut, sakit kepala, muntah –

muntah dan sebagainya) pada peristiwa perpisahan dari tokoh yang akrab dengan

dirinya, seperti keluar rumah untuk pergi ke sekolah.

8. Mengalami rasa susah berlebihan (yang tampak dari ansietas, menangis,

mengadat, merana, apati, atau pengunduran sosial) pada saat sebelum, selama,

atau sehabis berlangsungnya perpisahan dengan tokoh yang akrab dengannya.

 Diagnosis ini mensyaratkan tidak ada gangguan umum pada perkembangan fungsi

kepribadian.

2.6 Diagnosis Banding

 Gangguan cemas menyeluruh

Gangguan cemas perpisahan dapat dibedakan dengan gangguan cemas menyeluruh,

melalui kecenderungan pada gangguan cemas perpisahan yang menunjukkan adanya

kecemasan saat terjadi perpisahan dengan tokoh kesayangan, apabila terjadi

kecemasan pada kondisi lain, kecemasan tersebut tampak tidak mendominasi pada

gambaran klinis.

 Serangan panik

Adanya ancaman untuk terjadinya perpisahan dapat menyebabkan terjadinya

kecemasan yang ekstrem, bahkan sebuah serangan panik. Pada gangguan cemas

perpisahan, kecemasan yang terjadi berkaitan dengan kemungkinan untuk berpisah

dari tokoh kesayangan dan cemas terhadap terjadinya kejadian-kejadian yang tidak

diinginkan yang terjadi pada mereka, sementara serangan panik bersifat tidak diduga.

 Agorafobia

Pada penderita gangguan ansietas perpisahan, penderita tidak merasa cemas berada

dalam keadaan terperangkap ataupun berada dalam situasi yang menunjukkan adanya
kesulitan untuk lepas dari suatu tempat atau situasi pada keadaan dengan sekumpulan

gejala seperti panik ataupun gejala-gejala lainnya.

 Gangguan perilaku

Menghindari sekolah merupakan salah satu gejala yang umum dijumpai pada

gangguan perilaku, umumnya penderita tidak kembali ke rumah untuk menghindari

kehadiran di sekolah.

 Gangguan ansietas sosial

Menolak untuk pergi ke sekolah dapat merupakan gejala yang disebabkan oleh

gangguan ansietas sosial. Pada kasus-kasus ini, menghindari sekolah disebabkan oleh

rasa cemas terhadap penilaian yang negatif oleh orang lain dibandingkan dengan rasa

cemas dipisahkan dengan tokoh kesayangan.

 Gangguan stress paska trauma

Adanya rasa takut untuk berpisah dengan orang-orang yang disayangi merupakan hal

yang umum dijumpai setelah melewati kejadian yang bersifat traumatis, terutama

apabila terjadi perpisahan pada saat terjadi peristiwa traumatic. Pada gangguan stres

paska trauma, gejala utama adalah menghindari ingatan yang berkaitan dengan

kejadian traumatik, sementara pada gangguan ansietas perpisahan menunjukkan

kecemasan terhadap keadaan tokoh kesayangan dan perpisahan dengan mereka.

 Hipokondriasis

Penderita dengan hipokondriasis memiliki kecemasan terhadap kemungkinan

terjadinya suatu penyakit, dan pokok utama dari kecemasannya adalah penyakit itu

sendiri, bukan kecemasan terhadap perpisahan dengan tokoh kesayangan.

 Keadaan berduka

Pada kondisi ini, hal utama yang ditemui adalah adanya keinginan dan kerinduan

yang besar dengan orang yang sudah meninggal, rasa kesedihan yang mendalam dan
perasaan emosional yang menyakitkan, sehingga pikiran dipenuhi oleh orang yang

sudah meninggal tersebut ataupun kejadian yang menyebabkannya. Sementara fokus

dari gangguan ansietas perpisahan adalah perpisahan dengan tokoh kesayangan.

 Gangguan depresi dan gangguan bipolar

Pada gangguan ini, terdapat keengganan untuk meninggalkan rumah, namun inti

utamanya bukanlah kecemasan terhadap kejadian yang mungkin menimpa tokoh

kesayangan, tetapi kecilnya niat untuk berinteraksi dengan dunia luar. Namun, pada

gangguan ansietas perpisahan, dapat terjadi keadaan depresif apabila dipisahkan atau

akan dipisahkan dengan tokoh kesayangan.

 Oppositional Defiant Disorder

Pada anak – anak dan dewasa muda dengan gangguan ansietas perpisahan terdapat

kemungkinan untuk terjadi pemberontakan apabila dihadapkan dengan situasi

dipisahkan dengan tokoh kesayangan. Oppositional Defiant Disorder dapat

dipertimbangkan apabila terdapat tindakan pemberontakan terhadap kondisi di luar

dari perpisahan dengan tokoh kesayangan.

 Gangguan psikotik

Tidak seperti halusinasi pada gangguan psikotik, pengalaman persepsi yang dialami

pada gangguan ansietas perpisahan, umumnya adalah mispersepsi terhadap stimulus

eksternal yang nyata, dan hal ini umumnya terjadi pada saat – saat tertentu, dan dapat

menghilang setelah bertemu dengan tokoh kesayangan.

 Gangguan kepribadian

Pada gangguan kepribadian yang bergantung ditandai dengan adanya kecenderungan

seseorang untuk bergantung dengan orang lain, sementara gangguan ansietas


perpisahan meliputi keinginan untuk tetap dekat dan juga keamanan dari tokoh

kesayangan.13

2.7 Tatalaksana

Penanganan gangguan cemas perpisahan dapat dilakukan dengan intervensi

psikologis, perilaku, maupun farmakologi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai

efikasi dari terapi-terapi tersebut. Saat ini, terapi yang menjadi rekomendasi salah satunya

adalah terapi perilaku kognitif serta penggunaan obat golongan SSRI.

Terapi perilaku kognitif, merupakan intervensi lini pertama terutama pada anak-anak

dengan gangguan cemas perpisahan. Apabila dijumpai terapi kognitif perilaku tidak

memberikan perubahan, maka terapi kombinasi dapat dipertimbangkan. Terapi pada anak-

anak dengan umur di bawah 6 tahun dapat menjadi kasus yang sulit karena keterbatasan

penggunaan medikasi ataupun terapi farmakologis, sehingga pada anak-anak di bawah 6

tahun, intervensi yang dipergunakan adalah terapi kognitif perilaku. Terapi perilaku kognitif

merupakan terapi psikososial dengan efikasi yang tinggi untuk menangani gangguan

kecemasan terutama pada anak-anak. Umumnya terapi kognitif perilaku meliputi

menyediakan edukasi tentang kecemasan dan gejalanya, teknik relaksasi, restrukturisasi

kognitif, pemaparan bertahap terhadap stimulus yang ditakuti, dan konsolidasi metode –

metode tersebut untuk mecegah terjadinya pengulangan gejala. Pada terapi perilaku kognitif,

awalnya penderita diminta untuk mengkaji ulang hubungan antara pikiran, perasaan, dan

sensasi fisiologis, serta perilaku. Pada kasus anak-anak, diajarkan bahwa terkadang rasa

cemas juga memiliki fungsi pada beberapa keadaan tertentu. Mereka juga diminta untuk

mencatat pikiran-pikiran kecemasan, perasaan, dan perilaku untuk setiap sesi.

Terapi farmakologis umumnya dipergunakan sebagai terapi lini kedua, bersamaan

dengan terapi kognitif perilaku dalam kombinasi. Obat golongan SSRI, umumnya merupakan
obat pilihan dalam penanganan gangguan ansietas sedang hingga berat, apabila dijumpai

terapi kognitif perilaku dijumpai tidak efektif. SSRI bekerja melalui inhibisi dari

pengambilan serotonin pada celah sinaps di sistem saraf pusat yang berperan dalam

meregulasi mood. Dengan meningkatnya kadar serotonin di celah sinaps, terjadi penurunan

gejala kecemasan. Meskipun memberikan keuntungan, terapi farmakologis tidak lepas dari

risiko-risiko, serta kemunculan efek samping dari pengobatan. Beberapa dari efek samping

yang dapat dijumpai pada penggunaan SSRI seperti, insomnia, rasa mual dan muntah,

berkurang ataupun bertambahnya selera makan, dan perasaan lelah. Sehingga penting bagi

pelayan kesehatan untuk memantau penggunaan SSRI terutama pada satu hingga dua bulan

pertama. Beberapa contoh dari obat-obatan golongan SSRI yang paling sering digunakan

adalah adalah fluoxetine, sertraline, dan paroxetine. SSRI dapat mencapai efek maksimum

dalam waktu empat hingga enam minggu konsumsi. Penggunaan SSRI sebaiknya dilakukan

pemantauan untuk menilai risiko untuk kejadian bunuh diri, efek samping, dan juga

keefektifan dari obat. SSRI sebaiknya dilanjutkan hingga 6 bulan sejak kemunculan respon

dari gejala yang dialami penderita dan kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap.5,12,14,15

2.8 Prognosis

Prognosis dari gangguan ansietas perpisahan, dapat berbeda-beda bergantung pada faktor-

faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yaitu, usia pada saat onset gejala,

durasi dari gejala, dan apakah terdapat kemunculan komorbid gangguan kecemasan dan

gangguan depresif. Pada anak-anak dengan kemampuan untuk tetap hadir di sekolah,

kegiatan setelah sepulang sekolah, dan memiliki hubungan sesame teman di sekolah,

cenderung memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menolak

untuk pergi ke sekolah dan menarik diri dari berbagai aktivitas sosial. Berbagai penelitian

menemukan bahwa terdapat tumpang tindih yang signifikan, antara gangguan ansietas
perpisahan dengan gangguan depresi. Pada kasus-kasus yang dijumpai dengan beberapa

komorbid, prognosisnya dijumpai lebih buruk ataupun tidak pasti. Pada beberapa studi yang

ada, menunjukkan bahwa keluhan penolakan pergi ke sekolah dapat bertahan hingga masa

pubertas dan bertahan hingga bertahun-tahun.4

BAB III

3.1 Kesimpulan

Gangguan cemas perpisahan merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan adanya

rasa takut ataupun rasa cemas berkaitan dengan perpisahan terhadap orangtua, pengasuh,

ataupun tempat tinggal pada seseorang yang seharusnya telah melewati tahap perkembangan

tersebut. Penyebab dari gangguan cemas perpisahan merupakan gabungan dan interaksi dari

berbagai faktor, yaitu faktor biologis, faktor genetik dan juga faktor lingkungan. Penanganan

gangguan cemas perpisahan dapat dilakukan dengan intervensi psikologis, perilaku, maupun
farmakologi. Prognosis dari gangguan ansietas perpisahan, dapat berbeda-beda bergantung

pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lo, S. L., Schroder, H. S., Fisher, M. E., Durbin, C. E., Fitzgerald, K. D., Danovitch, J.
H., & Moser, J. S. (2017). Associations between Disorder-Specific Symptoms of Anxiety
and Error-Monitoring Brain Activity in Young Children. Journal of Abnormal Child
Psychology, 45(7), 1439–1448.
2. Gordon-Hollingsworth, A. T., Becker, E. M., Ginsburg, G. S., Keeton, C., Compton, S.
N., Birmaher, B. B., … March, J. S. (2015). Anxiety Disorders in Caucasian and African
American Children: A Comparison of Clinical Characteristics, Treatment Process
Variables, and Treatment Outcomes. Child Psychiatry and Human Development, 46(5),
643–655.
3. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder 5. Edisi ke-5. Washington DC: American Psychiatric Association.
4. Sadock, B.J. Sadock, V.A. Ruiz. 2015. P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi ke-11. Pataki, C.S. Sussman, N. editor.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
5. Vaughan, J. Coddington, J. dkk. Separation Anxiety Disorder in School-Age Children:
What Health Care Providers Should Know. National Association of Pediatric Nurse
Practitioners. 2019. A
6. Naldan, M. E., Karayagmurlu, A., Ahıskalıoglu, E. O., Cevizci, M. N., Aydin, P., & Kara,
D. (2018). Is surgery a risk factor for separation anxiety in children? Pediatric Surgery
International, 34(7), 763–767.
7. Semple, D. Smyth, R. 2013. Oxford Handbook of Psychiatry. Edisi ke-3. Inggris: Oxford
University Press.
8. Malgorzata, D. Aleksander, A. dkk. 2011. Separation Anxiety in Children and
Adolescents, Different Views of Anxiety Disorders. Intechopen.
9. Pine DS, Klein RG. 2015. Anxiety disorders. In Rutter M, Bishop D, Pine D et al (eds).
Rutter’s Child and Adolescent Psychiatry, 6th ed. Blackwell Publishing, pp628-647.
10. Figueroa, A., Soutullo, C., Ono, Y., & Saito, K. 2012. Separation anxiety. IACAPAP e-
textbook of child and adolescent mental health. Geneva: International Association for
Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions.
11. Krajniak, M. Anderson, K. dan Eisen, A. 2016. Separation Anxiety. Encyclopedia of
Mental Health. pp.128-132.
12. Tasman, A. Kay, J. dkk. Psychiatry. Edisi ke-4. Oxford: Wiley Blackwell.
13. Maslim, R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
14. Ehrenreich, J. T., Santucci, L. C., & Weiner, C. L. 2008. Separation anxiety disorder in
youth: phenomenology, assessment, and treatment. Psicologia conductual, 16(3), 389.
15. Milrod, B., Markowitz, J. C., Gerber, A. J., Cyranowski, J., Altemus, M., Shapiro, T., ...
& Glatt, C. 2014. Childhood separation anxiety and the pathogenesis and treatment of
adult anxiety. American Journal of Psychiatry, 171(1), 34-43.

Anda mungkin juga menyukai