Anda di halaman 1dari 9

BAB 29

PELECEHAN DAN PENELANTARAN ANAK

DEFINISI
Pelecehan anak dapat didefinisikan sebagai tindakan fisik, mental, medis emosional, sosial,
cara mendidik yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh yang membahayakan kepribadian anak.
Untuk tujuan perlindungan anak, seseorang dapat mengenali seorang anak atau remaja sebagai
individu yang berusia kurang dari 17 tahun.

TIPE
1. Pelecehan fisik: cedera yang diakibatkan aktivitas kekerasan fisik sehingga menimbulkan
luka fisik pada adank yang diakibatkan oleh orang tua atau pengasuh anak.
2. Pelecehan seksual: pelecehan dengan cara eksploitasi secara seksual oleh orang tua atau
pengasuh kepada anak.
3. Pelecehan emosional: pelecehan berupa ancaman dan penolakan terhadap kehadiran anak
sehingga anak menjadi tertekan secara batin.
4. Penelantaran adalah kegagalan orang tua atau pengasuh untuk menyediakan kebutuhan dasar
anak seperti makanan, pakaian, tempat berteduh, dan perawatan medis kesehatan dan
perkembangan anak.
5. Perdagangan anak: merupakan kejahatan besar dengan memperjualbelikan anak sebagai
komoditas sehingga anak hilang dan tidak dapat ditemukan kembali. Kasus ini lebih banyak
terjadi di negara berkembang dibanding negara maju.

PREVALENSI CEDERA JARINGAN GIGI DAN MULUT


1. Sekitar 37.5% pelecehan fisik melibatkan cedera pada jaringan orofasial (kepala, wajah,
mulut, gigi dan leher).
2. Menurut American Board of Pedodontics (1979) mayoritas cedera gigi antara lain:
 Fraktur gigi (32%)
 Memar pada jaringan mulut (24%)
 Laserasi jaringan mulut (14%)
 Fraktur dentoalveolar (11%)
 Luka bakar pada jaringan mulut (5%)
3. Beberapa kasus menunjukkan anak yang mengalami kekerasan fisik memiliki luka berupa
gigitan pada bagian tertentu pada tubuhnya yang diakibatkan oleh orang lain.
TANDA ATAU GEJALA
Pada Anak
1. Tidak peduli akan keberadaannya sendiri.
2. Menyalahkan dirinya sendiri atas prestasi sekolah dan perilakunya di rumah daripada
mengatasi masalahnya.
3. Merasa tidak berharga, buruk dan menyedihkan terhadap dirinya sendiri.

Pada Orang Tua


1. Menunjukkan sedikit perhatian pada anak.
2. Menyangkal keberadaan anak atau menyalahkan anak atas masalahnya di sekolah atau di
rumah.
3. Meminta guru atau pengasuh lainnya untuk menggunakan disiplin fisik yang keras jika anak
berperilaku buruk.
4. Melihat anak sepenuhnya buruk, tidak berharga, atau membebani.
5. Menuntut tingkat kinerja fisik atau akademis dari anak yang secara praktis tidak mungkin.
6. Mengharapkan anak memahami kebutuhan emosionalnya dan menuntut perhatian darinya.

Pada Orang Tua dan Anak


1. Kurangnya stabilitas emosi di antara keduanya.
2. Tidak terjalin hubungan emosional yang baik diantara keduanya yang berimbas pada
hubungan yang buruk.
3. Perilaku yang saling tidak menyukai satu sama lain.

Munchausen by proxy syndrome


Munchausen by proxy syndrome adalah bentuk penganiayaan anak dimana orang tua menginduksi
gejala penyakit pada anak untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya sendiri melalui proses
perawatan anak (Tabel 29.1). Penyakit ini paling sering terlihat pada ibu yang ingin mendapatkan
perhatian dari masyarakat.
Tabel 29.1 Perbedaan kekerasan pada anak dengan Munchausen by proxy syndrome
Kekerasan pada anak Munchausen by proxy syndrome
Sering ditemukan laserasi, luka bakar, patah Sering diperiksakan di rumah sakit dengan
tulang atau cedera jaringan lain gejala sakit normal atau gejala infeksi berulang
Anak nampak takut kepada orang tua atau Anak nampak tidak takut kepada orang tua atau
pengasuh pengasuh
Menghindari kontak dengan tenaga medis dan Cenderung ingin rawat inap pasien namun
menolak rawat inap sebisa mungkin disertai dengan banyak komplain kepada staf
tenaga medis yang bertugas
Mudah diidentifikasi Sulit dibedakan dengan sakit biasa
Merasa tidak perlu dianggap sebagai orang tua Merasa perlu perhatian dan penghargaan
yang bertanggungjawab dianggap sebagai orang tua baik

Etiologi
Dalam banyak kasus, ibu adalah pelaku yang mencari perhatian medis yang dengan
mengorbankan anaknya. Alasan di balik perilaku ini tidak terlalu jelas karena etiopatogenesisnya
tidak diketahui.

Gejala
1. Gejala anak tidak sesuai dengan gambaran klasik penyakit
2. Sakit yang dialami sulit untuk diidentifikasi dan dijelaskan
3. Riwayat keluarga memiliki balita yang meninggal secara tiba-tiba
4. Gejala muncul ketika ada orang tua atau pengasuhnya
5. Ibu nampak sangat terlalu baik dan overprotektif terhadap anak

Diagnosis
1. Evaluasi catatan riwayat medis pasien selama ini
2. Pemeriksaan darah tidak terlalu banyak membantu dalam kasus ini
3. Pisahkan anak dan ibu sejenak
4. Amati gejala atau tanda-tanda yang ditimbulkan setelah periode pemisahan tersebut
5. Rujuk ke dokter multidisiplin untuk mendapat pendapat lain
6. Pemeriksaan riwayat sosial keluarga

Managemen Kasus
1. Isolasi dan proteksi anak menjadi tujuan utama dalam managemen kasus ini
2. Orang tua harus mendapatkan pendampingan psikolog
3. Sindrom ini harus dilaporkan ke pihak berwajib guna menjadi catatan khusus dalam
pencegahan kekerasan terhadap anak di kemudian hari.
4. Orang tua harus di isolasi guna memastikan keberhasilan perawatan kasus ini.

Prognosis Kasus
1. Tingkat keberhasilan perawatan sangat tergantung dengan keberhasilan terapi kepada orang
tua.
2. Cedera fisik maupun mental pada anak perlu diberikan perawatan dan pendampingan
psikiater guna memastikan anak dapat mengalami fase pertumbuhkembangan dengan baik.

Komplikasi
Timbulnya rasa gelisah, infeksi, cedera jaringan yang membekas akibat sindrom ini dapat
berlangsung selamanya bila tidak mendapatkan penanganan yang maksimal.

Maternal Deprivation Syndrome


Maternal deprivation syndrome adalah bentuk pengabaian atau ketidakpedulian yang bisa
disengaja atau tidak disengaja yang mengakibatkan gagal tumbuh pada anak. Oleh karena itu, ini
juga dikenal sebagai kegagalan nonorganik untuk berkembang.

Etiologi
1. Pengabaian atau ketidakpedulian menjadi penyebab utama kegagalan tumbuh kembang pada
bayi dan anak di bawah 2 tahun.
2. Pengabaian atau ketidakpedulian ini dapat terjadi akibat interaksi yang buruk antara anak
dengan pengasuhnya, kemiskinan, kekerasan pada anak dan ketidaktahuan orang tua dalam
mengasuh anak dengan baik.

Faktor Penyebab
1. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua
2. Kehamilan yang tidak direncanakan atau bahkan tidak diinginkan orang tua
3. Kondisi sosial ekonomi yang tidak baik pada orang tua
4. Orang tua yang masih belum cukup matang secara usia (muda)
5. Sakit jiwa, termasuk didalamnya depresi postpartum
6. Ketidakadaan ayah
7. Tidak adanya dukungan dari lingkungan, teman serta keluarga besar
Gejala
1. Pertumbuhkembangan anak sngat buruk, cenderung semakin menurun
2. Kebersihan diri yang buruk pada anak
3. Adanya interaksi yang salah antara ibu dan anak
4. Berat badan susut dan tidak berkembang

Diagnosa
1. Dokter dapat melakukan evaluasi secara mendalam terkait kondisi tumbuh kembang anak.
Pemeriksaan laboratotium dan penunjang lain dapat dilakukan guna mengetahui perawatan
apa yang dibutuhkan oleh anak. Dokter juga perlu untuk mengecek tabel
pertumbuhkembangan anak secara reguler.
2. Dokter harus mampu mengedukasi lingkungan agar mendukung ibu guna merawat anak
dengan baik. Asupan 150 kalori / kg / hari harus diberikan reguler kepada anak.
3. Rawat inap dapat dilakukan bila dibutuhkan

Managemen Kasus
1. Perawatan multidisiplin dari dokter, ahli gizi, perawat, psikiater dan aktivitis sosial
kemasyarakatan.
2. Program pelatihan dan pembimbingan bagi orang tua
3. Melibatkan keluarga besar agar membantu perawatan anak

Prognosis
1. Untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan kesungguhan dalam perawatan dan
rehabilitasi fisik maupun mental.
2. Bila pengabaian menjadi semakin parah maka tingkat keberhasilan perawatan akan
memburuk.
Komplikasi
1. Penelantaran anak
2. Pertumbuhkembangan anak terhambat
3. Kekerasan terhadap anak
Shaken Baby Syndrome
Definisi
Shaken baby syndrome juga dikenal sebagai trauma kepala merupakan cedera tengkorak
akibat rotasi yang ekstrem, adalah bentuk kekerasan anak yang parah yang disebabkan oleh
guncangan hebat yang cepat pada bayi atau anak.

Etiologi
Mayoritas diakibatkan oleh orang tua yang depresi, stres mapun tidak siap akan kehadiran
anak sehingga menganggap keberadaan anak adalah bencana baginya.

Gejala
1. Muntah
2. Masalah kolik atau makan
3. Anak yang lesu dan mudah tersinggung
4. Anak shock / pingsan
5. Kejang dengan atau tanpa kesadaran yang berubah
6. Refleks menurun
7. Tanda-tanda perdarahan retinal / ablasi retinal
8. Kesulitan dalam bernafas
9. Memar di dada dalam beberapa kasus
10. Fraktur tulang rusuk
11. Pembesaran kepala akibat hematoma subdural kronis

Pemeriksaan Penunjang
1. CT / MRI otak
2. Rontgen dada
3. Radiografi tengkorak
4. Pengukuran lingkar kepala
5. Meneliti catatan medis sebelumnya
6. Pemeriksaan cairan serebrospinal
7. Survei kerangka tangan, kaki, tulang panjang, tengkorak, dan tulang rusuk.

Managenen Kegawatdaruratan
1. Curigai cederanya
2. Berikan Basic Life Support
3. Beri dukungan pernapasan
4. Periksa cedera / perdarahan retina
5. Konfirmasikan diagnosis dengan CT / MRI
6. Beri tahu otoritas terkait

Langkah-langkah yang harus diambil jika Anak Muntah


1. Jika menurut Anda tidak ada cedera tulang belakang, putar kepala anak ke satu sisi untuk
mencegah bayi tersedak dan menghirup muntahan ke paru-paru.
2. Jika menurut Anda ada cedera tulang belakang, hati-hati, putar seluruh tubuh anak ke satu
sisi, jaga agar anak tidak aspirasi dan tersedak.

Larangan
1. Membangunkannya dengan cara mengguncangkannya
2. Memberika apapun secara oral

MANIFESTASI KLINIS KEKERASAN PADA ANAK

Dapat tinjau menjadi tiga bagian yaitu


1. Manifestasi cutaneous
2. Manifestasi skeletal
3. Manifestasi orofasial

MANIFESTASI CUTANEOUS
1. Memar
Luka memar sangat sering terjadi pada kekerasan anak. Namun luka jenis ini juga sering terjadi
pada kecelakaan yang tidak disengaja. Perlu pemeriksaan secara detail guna membedakan
keduanya.

Gambar 29.2. Perbedaan prevalensi cedera memar akbiat kekerasan anak dan kecelakaan.
2. Bitemark
 Adanya bekas gigitan harus meningkatkan kecurigaan adanya kekerasan pada anak dan
harus diikuti dengan pemeriksaan seluruh tubuh. Jika tanda gigitan yang ada di tubuh anak-
anak adalah tanda gigitan orang dewasa, sebagian besar dapat disimpulkan bahwa ini
merupakan kasus kekerasan fisik anak.
 Bekas gigitan melingkar atau lonjong dengan gigi taring meninggalkan bekas paling dalam
dan karena merupakan gigi yang paling menonjol. Jarak normal antara gigi taring rahang
atas pada orang dewasa adalah 2,5–4,0 cm. Oleh karena itu, gigitan dengan jarak antar
kaninus lebih dari 3,0 cm kemungkinan besar dilakukan oleh orang dewasa. Jika jaraknya
kurang dari 3 cm, kemungkinan gigitan itu disebabkan oleh anak kecil.
 Dengan bantuan ahli odontologi forensik, jumlah dan pola gigi seseorang dapat di bedakan
diakibatkan oleh gigitan orang dewasa atau gigitan anak-anak. Model impresi gigi pelaku
dapat diambil dari pelaku yang bersangkutan dan dengan demikian membantu dalam
mengidentifikasi pelaku. Tes DNA dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk
mengambil sampel air liur tersangka. Semua bekas gigitan harus diseka dengan kapas steril
yang dibasahi dengan larutan garam steril, yang kemudian dikeringkan, ditempatkan dalam
amplop, dan dikirim ke laboratorium forensik untuk dianalisis setelah itu pembersihan dapat
dilakukan. Usap kedua yang digunakan sebagai kontrol harus diperoleh dari area kulit anak
yang tidak terluka.
3. Luka bakar
Luka bakar terjadi sekitar 5–22% dari jumlah datakekerasan fisik. Penganiayaan dengan luka bakar
tampaknya lebih sering terjadi pada anak di bawah usia 3 tahun. Hal ini termasuk luka bakar, luka
bakar akibat karena kontak dengan berbagai peralatan rumah tangga, luka bakar api, luka bakar
rokok, dan luka bakar listrik / kimia.

MANIFESTASI SKELETAL
1. Fraktur tulang rusuk posterior
2. Fraktur sudut metafisis
3. Fraktur tanpa kecelakaan serius
4. Fraktur multipel tanpa kecelakaan serius
5. Fraktur penyembuhan yang tidak diobati
6. Fraktur berulang
7. Fraktur lama
8. Fraktur konsisten tanpa patologi yang mendasarinya
MANIFESTASI OROFASIAL
1. Memar, lecet, dan luka bakar yang terjadi juga dapat ditemukan di rongga mulut. Trauma
pada bibir kadang-kadang menghasilkan hematoma besar.
2. Eritema atau petekie langit-langit yang tidak dapat dijelaskan, terutama di persimpangan
palatum durum dan palatum molle, bisa jadi merupakan bukti dari seks oral paksa.
3. Robekan pada frenulum labial atau lingual bisa menjadi tanda adanya pukulan ke mulut,
makan dengan cara dipaksa, atau seks oral paksa.
4. Frenulum yang robek dapat dicurigai sebagai diagnosis pelecehan pada anak, tetapi kadang-
kadang dapat terlihat ketika seorang anak jatuh pada wajahnya
5. Temuan pelecehan oral lainnya termasuk luka bakar atau laserasi di rongga mulut dan di
sekitar mulut (disebabkan oleh makanan atau peralatan panas) gigi retak atau lepas, dan
tanda-tanda kerusakan gigi lain

Anda mungkin juga menyukai