Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperaktif adalah suatu pola perilaku yang menetap pada seorang anak
yang ditandai dengan sikap tidak mau diam, tidak bisa berkonsentrasi dan
bertindak sekehendak hatinya atau impulsif. Gangguan hiperaktivitas
diistilahkan sebagai gangguan kekurangan perhatian yang menandakan
gangguan-gangguan sentral yang terdapat pada anak-anak yang sampai saat
ini dicap sebagai menderita hiperkinesis, kerusakan otak minimal atau
disfungsi serebral minimal, biasa disebut dengan istilah ADHD (Attention
Deficit Hyperaktivity Disorder) (dikutip dari Munifah dkk, 2017).
Attention Deficit Hyperaktivity Disorder (ADHD) dicirikan dengan
tingkat gangguan perhatian, impulsivitas dan hiperaktivitas yang tidak sesuai
dengan tahap perkembangan dan gangguan ini dapat terjadi disekolah
maupun di rumah (Isaac, 2005) (dikutip dari Munifah dkk, 2017).
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 5% dari populasi usia
sekolah sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh ADHD, yaitu sekitar 1 %
sangat hiperaktif. Sekitar 30-40% dari semua anak-anak yang diacu untuk
mendapatkan bantuan professional karena masalah perilaku, datang dengan
keluhan yang berkaitan dengan ADHD (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006). Di
beberapa negara lain, penderita ADHD jumlahnya lebih tinggi dibandingkan
dengan di Indonesia. Literatur mencatat, jumlah anak hiperaktif di beberapa
negara 1:1 juta. Sedangkan di Amerika Serikat jumlah anak hiperaktif 1:50.
Jumlah ini cukup fantastis karena bila dihitung dari 300 anak yang ada, 15 di
antaranya menderita hiperaktif. "Untuk Indonesia sendiri belum diketahui
jumlah pastinya. Namun, anak hiperaktif cenderung meningkat (Pikiran
rakyat, 2009) (dikutip dari Munifah dkk, 2017). Dengan terus meningkatnya
jumlah anak dengan ADHD, kami tertarik untuk membahas tentang anak
dengan ADHD. Disini kami akan membahas lebih dalam ADHD dan asuhan
keperawatannya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi ADHD?
2. Apa etiologi ADHD?
3. Bagaimana patofisiologi ADHD?
4. Apa saja manifestasi klinis ADHD?
5. Apa komplikasi yang dapat disebabkan ADHD?
6. Apa pemeriksaan penunjang pada ADHD?
7. Bagaimana penatalaksanaan ADHD?
8. Bagaimana pencegahan ADHD?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi ADHD
2. Mengetahui etiologi ADHD
3. Mengetahui patofisiologi ADHD
4. Mengetahui manifestasi klinis ADHD
5. Mengetahui komplikasi yang dapat disebabkan ADHD
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada ADHD
7. Mengetahui penatalaksanaan ADHD
8. Mengetahui pencegahan ADHD

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
ADHD adalah istilah popular, kependekan dari attention deficit
hyperactivity disorder, (Attention = perhatian, Deficit = berkurang,
hyperactivity = hiperaktif, dan disorder = gangguan). Atau dalam bahasa
Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif.
ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas
motorik anak-anak hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim
dan cenderung berlebihan. Ditandai dengan berbagai keluhan perasaan
gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu
meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang berdiri.
Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah, suka meletupletup,
aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan (Klikdokter, 2008).
ADHD ialah anak yang memiliki kesulitan memusatkan perhatian dan
mempertahankan fokus pada tugas yang sedang dikerjakan. Mereka
cenderung bergerak terus secara konstan dan tidak bisa tenang. Akibatnya
mereka sering kesulitan belajar di sekolah, mendengar dan mengikuti
instruksi OT, dan bersosialisasi dengan teman sebaya.
ADHD adalah istilah yang diberikan bagi individu yang kurang
mampu memperhatikan, mudah dikacaukan, dengan over aktif, dan juga
impulsive.
ADHD (attention deficit hyperactive disorder) berawal dari hasil
penelitian Prof. George F. Still (dikutip dari Luk Luil, 2011), seorang dokter
Inggris pada tahun 1902. Penelitian terhadap sekelompok anak yang
menunjukkan suatu ketidakmampuan abnormal untuk memusatkan perhatian
yang disertai dengan rasa gelisah dan resah. Anak-anak itu mengalami
kekurangan yang serius dalam hal kemauan yang berasal dari bawaan
biologis. Gangguan tersebut diakibatkan oleh sesuatu di dalam diri si anak

3
dan bukan karena faktor-faktor lingkungan.(Baihaqi & Sugiarman, 2006: 4)
(dikutip dari Luk Luil, 2011).
B. Etiologi
Menurut Adam (2008) penyebab pasti belum diketahui. Namun papar
Hardiono ada bukti bahwa faktor biologis dan genetis berperan dalam
ADHD. Faktor biologis berpengaruh pada dua neurotransmitter di otak, yaitu
dopamine dan norepinefrin. Dopamin merupakan zat yang bertanggung jawab
pada tingkah laku dan hubungan social, serta mengontrol aktifitas fisik.
Norepinefrin berkaitan dengan konsentrasi, memusatkan perhatian,
dan perasaan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah lingkungan. Karakter
dalam keluarga juga dapat berperan menimbulkan gejala ADHD. Bahkan dari
penelitian di beberapa rumah tahanan, sebagian besar penghuninya ternyata
pernah ADHD pada masa kecilnya. Demikian juga terjadi pada pengguna
narkoba. Belum diketahui apa penyebab pasti anak-anak menjadi hiperaktif.
Namun menurut dunia kedokteran, itu terkait dengan faktor biologis dan
genetik, serta lingkungan.
Menurut, Dr. Dwidjo Saputro, SpKJ(K) tahun 2009, etiologi dari
ADHD sebagai berikut :
Gangguan perilaku pada anak adalah akibat dari interaksi antara factor
alami (nature), yaitu factor bawaan dan lingkungan (nurture). Factor alami
meliputi faktor genetik, gangguan biologik yang telah diperoleh sejak saat
anak dalam kandungan dan pada waktu lahir. Factor lingkungan adalah
pengalaman psikoedukatif dan psikososial yang diperoleh setalh anak lahir,
yang meliputi pola asuh, pendidikan, nutrisi,kondisi lingkungan, teman
sebaya, nilai sosial dan budaya.
Sejak awal sampai saat ini, perkembangan konsep diagnosis yang
dibuat untuk gangguan ini menunjukkan perkembangan hipotesis penyebab
ganguan ini. Berbagai penelitian menunjukkan penyebab terjadinya gangguan
ini meliputi berbagai factor yang berpengaruh terhadap fungsi otak.

4
1. Faktor genetik
Hier (1980) telah menunjukkan adanya hubungan antara faktor gentik
dan penyebeb gangguan ini, yaitu pada anak laki-laki dengan kelebihan
Y kromosom (XYY) menujukkan peningakatan kejadian hiperaktivitas
yang menyertai kemampuan verbal dan performance rendah. Pada fragile
X syndrome, yaitu nama anak untuk kondisi di mana terdapat X
kromosom pada lokasi Q27 rapuh, juga dihubungkan dengan kejadian
gejala ADHD, meskipun sebagian besar penderita gangguan ini
mengalami retardasi mental. Masalah kesulitan memusatkan perhatian
dan kesulitan belajar juga diakibatkan adanya cacat genetic. Pada anak
perempuan dengan kromosom 45, XO juga menunjukkan kesulitan
memusatkan perhatian dan kesulitan menulis dan menggambar ulang.
Sampai saat ini belum dapat dibuktikan bahwa penyebab gangguan ini
adalah adanya kromosom abnormal (Barkley, 1998).
Orang tua dan saudara dari anak yang menderita ADHD lebih banyak
yang menderita gangguan ini dari pada saudara dari anak yang tidak
mengalami gangguan ini. Resiko besar mengalami gangguan ini pada
saudara anak ADHD menunjukkan adanya pembagian gen yang sama di
antara mereka. Saudara pada tingkat pertama, seperti orangtua, saudara
kandung, dan anak membagikan 50% gen dengan penyandang gangguan
ini. Mereka memiliki resiko lebih besar mengalami gangguan ini dari
pada saudara tingkat kedua yang hanya membagikan gen 25% dengan
penyandang gangguan ini. Hasil penelitian oleh Cantwell (1975) dan
Morrison dan Stewart (1973) melaporkan bahwa pada orangtua biologis
anak ADHD lebih banyak mengalami hiperaktivitas dibandingkan
dengan orangtua adopsi anak ADHD. Hal ini menunjukkan bahwa peran
herediter sangat besar sebagai salah satu factor penyebab gangguan ini.
Pada penelitian terhadap saudara kembar satu telur dan dua telur
menunjukkan bahwa gangguan ini secara nyata dipengaruhi oleh
komonen genetika, dengan heritabilitas 0,75-0,90 (Levy et al., 1997).

5
Transmisi genetik dalam keluarga terjadi secara oligogenik dan
multifaktorial, yaitu pewarisan kompleks (inheritance complex).
Awal penelitian genetika molekuler ditunjukan pada gen dopamine tipe 2
yang dianggap memiliki hubungan kuat dengan terjadinya alcoholism,
sindrom Tourrete dan ADHD (Cummings et al., 1991;Blum et al., 1996),
tetapi hasil yang sama tidak didapatkan pada replikasi penelitian tersebut.
Dari hasil penelitian berikutnya didapatkan varian gen untuk transporter
dopamine (DAT 1) yang menimbulkan inaktivasi dopamin di celah
prasinaptik (Cook et al., 1995 ; Gill et al., 1997), tetapi hasil yang sama
tidak diperoleh pada replikasi penelitian tersebut (Swanson et al., 1997).
Didapatkan juga gen untuk reseptor dopamine D4 (DRD4) pada salah
satu reseptor celah pasca sinaptik yang menimbulkan aktivasi dopamin.
Hasil yang sama didapatkan pada empat penelitian berikutnya yang tidak
hanaya meneliti anak ADHD tetapi meneliti remaja dan orang dewasa
yang menderita gangguan ini. Pada 29% sampel penderita ADHD
didapatkan memiliki 7 – repeat allele, yang merupakan subkelompok
fenotip yang homogeny pada populasi pederita ADHD (Sunohara et al.,
1997 ; Swanson et al., 1997).
2. Faktor neurologik dan proses dalam otak
Factor neurologik pada ADHD yang diterima pertama kali secara luas
adalah penemuan dari Laufer, Denhoff, dan Solomons (1957), yaitu
didapatkan spike wave pada stimulasi fotik pada pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) anak ADHD. Kondisi ini disebut sebagai over
arousal yang disebabkan oleh disfungsi diensefalon. Anak ADHD
dipandang memiliki kesulitan menyaring informasi secara selektif dan
sensitive terhadap pemerimaan stimulasi dari lingkungan. Knobel,
Wolman dan Manson (1959) berpendapat bahwa kondisi ini adalah
kompensasi yang berlebiihan dari korteks otak terhadap disfungsi
subkortikal. Jadi, hyperarousal korteks otak merupakan sumber
terjadinya tingkah laku hiperaktif yang ditunjukkan oleh penderita
gangguan ini.

6
Douglas (1972, 1979) dan kinsbourne (1984) menolalk teori overarousal,
penelitian mereka menunjukkan bahwa gangguan ini terjadi disebabkan
oelh deficit sustain attention. Kondisi ini yang menyebabkan anak
dengan gangguan ini menunjukkan penampilan lebih buruk dibandingkan
dengan anak normal pada waktu menyelesaikan tugas yang memerlukan
perhatian terus-menerus.
Satterfield dan kawan-kawan mengajukan teori underarousal sebagai
dasar terjadinya hiperaktivitas. Mereka berpendapat bahwa peningkatan
aktivitas motorik pada ADHD adalah akibat dari bangkitan eksitasi yang
rendah pada reticular activating system, dan usaha untuk meningkatkan
masukan proprioseptif dan exteroseptif (Satterfield et al., 1972, 1974;
Satterfield dan Dawson, 1971).
Berbagai penelitian psikopatofisiologi pada anak ADHD dibandingkan
dengan anak normal didapatkan hasil yang konsisten yaitu penurunan
bangkitan respon saraf pada anak ADHD. Temuan yang konsisten juga
didapatkan dari hasil pemeriksaan EKG kuantitatif atau QEEG dan
evoked respone potential (ERP). (Barkley, 1998). Pemeriksaan ERP
mengukur aktivitas otak pada saat dipengaruhi oleh rangsangan tugas
(task stimuli), sebelum menghasilkan keluaran (out put) yang nyata, yaitu
respon menjadi teramati. Beberapa gelombang ERP positif dan negatif
telah diketahui memliki hubungan erat dengan berbagai aspek proses
informasi dalam otak (Naatanen, 1992). Anak ADHD dibandingkan
dengan anak normal, menunjukkan amplitude yang lebih kecil pada p3b,
sebagai respon terhadap rangsang target, bersamaan dengan penampilan
lebih buruk pada penyelesaian tugas tersebut (Klorman Iet al., 1991).
Rutter berpendapat bahwa ADHD adalah gangguan fungsi otak, oleh
karena didapatkan deficit aktivasi yang disebabkan oleh adanya patologi
di area prefrontal dan/atau sagital frontal pada otak dengan predominansi
pada korteks otak. Adanaya kerusakan otak merupakan resiko tinggi
tingginya gangguan psikiatrik termasuk ADHD (Rutter, 1989).
Kerusakan otak pada janin dan neonatal paling sering disebabkan oleh

7
kondisi hipoksia. Keadaan hipoksia memiliki kecenderungan
menyebabkan terjadinya patologi yang merata pada korteks otak yang
menimbulkan gangguan fungsi integrasi koordinasi dan pengendalian
kortikal. Korteks frontal dianggap memiliki peran penting dalam aktivasi
dan integrasi lebih lanjut dari bagian otak lain. Oleh karena itu, patologi
yang merata pada korteks otak dianggap sebagai penyebab terjadinya
gejala lobus frontalis. Kondisi ini didukung oleh penemuan dari
pemeriksaan computerized tomography scanning (CT scan)
menunjukkan pelebaran yang merata dari ventrikel lateral kiri. Di pihak
lain, kondisi hipoksia menimbulkan terjadinya edema otak yang
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Tekanan yang meningkat
secara hipotetis akan menimbulkan tekanan yang lebih tinggi pada daerah
yang sempit, yaitu permukaan medial sagital korteks otak, kondisi ini
dapat menimbulkan kerusakan lebih berat pada bagian sagital dari pada
daerah lateral. Terjadinya ADHD adalah akibat dari mekanisme
patofisiologi tersebut, salah satu atau keduanya, atau kombinasi dengan
factor genetik dan/atau kerusakan otak bagian lain (Borchgrevink, 1989).
Berbagai penelitian pencitraan otak secara konsisten menunjukkan
penurunan aliran darah otak pada anak dengan gangguan ini, yaitu di
daerah frontal dan jarak yang menghubungkan daerah ini ke system
limbic, melalui striatum, secara spesifik pada daerah anterior, yaitu
nucleus caudatum (Lou et al., 1984. 1990). Pada penelitian dengan PET
untuk menilai metabolisme glukosa pada otak, didapatkan penurunan
metabolisme pada penderita ADHD dewasa (Zametkin et al., 1990) dan
remaja perempuan (Ernst et al., 1994), tetapi hasil yang sama tidak
didapatkan pada remaja laki-laki (Zametkin et al., 1993). Pada kelompok
remaja ADHD didapatkan korelasi antara penurunan aktivitas
metabolisme pada otak di daerah frontal anterior kiridan derajat
keparahan gejala penyakit (Zametkin et al., 1993).
Pada kelompok anak ADHD dan kesulitan belajar didapatkan hemisfer
otak daerah temporal kanan lebih kecil dibandingkan dengan anak

8
normal (Hynd, Semrud-Clikeman, et al., 1990), juga didapatkan ukuran
corpus callosum lebih kecil, terutama di daerah genu, splenium dan
anterior splenium (Hynd, Semrud- Clikeman, et al., 1991).
Berbagai penelitian pencitraan otak pada anak ADHD yang dilakukan
selama dua dekade terakhir tidak ada yang menunjukkan kerusakan
struktur otak. Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yaitu
kerusakan struktur otak secara nyata hanya didaptkan pada 5% anak
dengan hiperaktivitas (Rutter, 1977, 1983). Kerusakan struktur otak
tersebut adalah akibat dari perkembangan otak yang abnormal pada derah
tersebut. Penyebab dari kondisi ini kemungkinan besar adalah pengaruh
kondisi genetika (Barkley, 1998).
3. Faktor neurotransmitter
Sampai saat ini dari hasil berbagai penelitian belum dapat dipastikan
bahwa ADHD secara primer disebabkan oleh gangguan pada
neurokimiawi dalam otak, atau perubahan neurotransmitter dan
interaksinya timbul sebagai akibat perubahan tingkah laku. Namun, dari
hasil beberapa penelitian genetika molekuler terakhir didaptkan genuntuk
reseptor dopamine D4 (DRD 4) pada resptor di celah pascasinaptik yang
menimbulkan aktivasi dopamin.
Berbagai penelitian farmakologi tiga dekade yang lalu memperoleh
sejumlah stimulator dopamine pada reseptor pascasinaptik (piribidel,
amantadine, L-Dopa) yang memberi pengaruh secara menyeluruh pada
seluruh system dopamine, tetapi ketika diberikan kepada anak ADHD
tidak memberikan hasil perbaikan klinis secara bermakna. Shaywitz et
al., menunjukkan pengaruh pemberian metilfenidat terhadap kadar serum
prolaktin dan growth hormone, melalui pengaruh metilfenidat terhadap
jaras dopaminergik hipotalamik bagian bawah. Shaywitz juga mendapat
penurunan homovalinic acid (HVA) cairan serebrospinal pada penderita
ADHD yang memberi respon terhadap pemberian metilfenidat (Shaywitz
et al., 1977, 1982).

9
Berbagai penelitian terhadap pengguanaan antagonis dopaminseperti
haloperidol, tioridasin dengan dosis rendah, tidak memberikan perbaikan
pada kemampuan memusatkan perhatian dan fungsi kognitifyang lain,
meskipun memberikan perbaikan pada skala penilaian tingkah laku.
pemberian obat trisiklik terhadap anak ADHD memberikan perbaikan
tingkah laku tetapi tidak memberikan perbaikan fungsi kognitif. Dari
hasil berbagai penelitian tersebut didapatkan gambaran bahwa gejala
aktivitas motorik yang berlebihan pada ADHD secara patofisiologi
disebabkan oleh fungsi norepinefrin abnormal, sedangakan gejala lain,
yaitu tidak mampu memusatkan perhatian dan penurunan vigilance
disebabkan oleh fungsi dopaminerjik abnormal.
Terdapat tiga penelitian yang menunjukkan peranan norepinefrin
terhadap terjadinya gangguan ini, yaitu pemberian dekstroamfetamin
pada anak ADHD menurunkan metabolit norepinefrin, yaitu 3-methoxy-
hydroxy-phenylglycol (MHPG) dalam ekskresi air seni (Brown et al.,
1981;Shekim et al., 1977; Zhametkin et al., 1984). Hasil dari tiga
penelitian ini menunjukkan bahwa obat psikostimulan berpengaruh
terhadap metabolisme norepinefrin. Shekim et al., yang memeriksa
penderita ADHD yang responsive terhadap amfetamin, menunjukkan
bahwa setelah pengobatan terjadi penurunan metobolik tersebut (Shekim
et al., 1979) beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa pada kelompok
anak ADHD menunjukkan kadar MHPG dalam air seni 20% lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok normal dan pada anak ADHD yang
responif terhadap metilfenidat kadar metabolik tersebut berkurang 20%
lebih rendah lagi (Shen and Wang, 1984).
Rappoport et al., menunjukkan bahwa setelah pemberian monoamine
oksidaxe inhibitor (MAOI), Clogyline atau tranylcypromine pada
penderita ADHD terjadi perbaikan tingkah laku. Kedua zat tersebut
menghambat metabolism norepinefrin (Rappoport et al., 1985).
Hasil berbagai penelitian farmakologi tersebut menunjukkan bahwa
gangguan pada system norepinefrin berperan pada terjadinya gejala

10
ADHD, tetapi tidak menjadi penyebab tunggal. Terjadinya ADHD
disebabkan oleh beberapa system yang berbeda tetapi memiliki hubungan
yang erat. System tersebut memiliki peran yang berbeda terhadap
metabolism dopamin atau norepinefrin. Meskipun berbagai obat anti
ADHD memiliki komposisi kimiawi berbeda, mekanisme kerja obat
tersebut berbagi sama baik dopaminergik ataupun norepinefrinergik.
Norepinefrin dan dopamine atalah poten agonis pada reseptor D4 dicelah
paskasinaptik, gen reseptor dopamin D4 (DRD 4) sampai saat ini telah
dianggap sebagai penyebab gangguan ini (Landau et al., 1997;
Biederman, 200).
Berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu
gambaran patofisiologi tertentu pada ADHD, tetapi semua penelitian
tersebut menunjukkan adanya disfungsi pada jarak fronto-subkortikal
yang berperan dalam penegendalian pemusatan perhatian dan perilaku
motorik. Berbagai penelitian pencitraan otak menunjukkan adanya
disfungsi pada area frontal tersebut dimana neuron dopaminergic masuk
ke lobus frontalis central menuju ke korteks prefrontal dari area
subkortikal. Disfungsi pada area tersebut menyebabkan terjadinya defisit
kendali implus (Fungsi frontal), kesulitan memusatkan perhatian (fungsi
batak otak) dan kesulitan belajar (fungsi higher kortikal (Desch,
1989;Biederman, 2000).
4. Faktor psikososial
Willis dan Lovaas berpendapat bahwa perilaku hiperaktivitas disebabkan
oleh buruknya rangsang pengendalian oleh perintah dari ibu, dan
pengaturan perilaku yang buruk pada anak timbul dari manajemen
pengasuhan orang tua yang buruk (Willis dan Lovaas, 1977). Berbagai
penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh factor lingkungan
terhadap terjadinya gangguan ini seperti stimulasi berlebihan oleh orang
tua pada waktu mengasuh anak dan masalah psikologis yang terjadi pada
orang tua (Carlson, Jackobfitz & Sroufe, 1995; Barkle, 1998).

11
Berbagai penelitian lain menunjukkan bahwa perintah, petunjuk dan
sikap negative orangtua terhadap anak ADHD menjadi berkurang setelah
anak tersebut memberikan respon terhadap pengobatan (Barkley, 1998).
Pada berbagai penelitian terhadap anak kembar juga menunjukkan bahwa
pengaruh dari sikap orang tua terhadap terjadinya perilaku hiperaktif
sangat kecil, pengaruh tersebut hanya terdapat pada kurang dari 10%
varians gejala tersebut di populasi umum (Goodman & Stevenson, 1989).
Jadi, factor yang timbul dari sikap orangtua tidak merupakan kontributor
yang bermakna terhadap terjadinya ADHD.
5. Faktor lingkungan
Berbagai toksin endogen pernah dianggap sebagai penyebab ADHD,
seperti : keracunan timbal, aditif makanan, reaksi alergi (Feingold, 1973,
1976 ; David, 1974 ; Taylor, 1986 ; Wender, 1986 : Hazel & Schumaker,
1988). Tetapi berbagai penelitian terhadap factor tersebut tidak ada yang
memberikan bukti adanaya hubungan yang bermakna antara factor
tersebut dan terjadinya ADHD (Zametkin & Rapoport, 1986 ;Matson,
1993).
Berdasarkan temuan hasil penelitian sampai saat sekarang belum dapat
diidentifikasi penyebab utama ADHD. Namun, berbagai factor berperan
terhadap pathogenesis gangguan ini. Di antara berbagai factor tersebut
factor biomedik memegang peranan utama, khususnya factor genetik
yang berpengaruh pada patofisiologi ADHD, dimulai daripatogenesis
pada jenjang molekuler sampai pada defisit proses aktivasi, inhibisi,
regulasi, ataupun fungsi eksekutif dari fungsi kognitif otak. Factor
psikososial berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dan prognosis atau
hasil dari gangguan ini. Kondisi psikososial yang buruk berpengaruh kuat
terhadap interaksi anak dan orangtua, hal ini mengakibatkan hasil dan
prognosis gangguan ini menjadi buruk sehingga masalah psikososial
yang timbul akibat gangguan ini makin kompleks. Kondisi psikososial di
Indonesia berbeda dari kondisi psikososial di berbagai negara barat, yaitu
Amerika dan Eropa, tempat penelitian longitudinal untuk mengamati

12
hasil dan prognosis ADHD banyak dilakukan. Hal itu terjadi karena
perbedaan norma dan budaya yang berpengaruh pada sikap orangtua dan
guru terhadap anak yang menderita ADHD di Indonesia. Terdapat
kecenderungan orangtua dan guru di Indonesia lebih menitikberatkan
pada akibat atau kegagalan yang ditimbulkan oleh tingkah laku anak
yang menderita ADHD, khususnya kegagalan mencapai prestasi
akademik. Di Indonesia akses dan kesempatan untuk melakukan tindakan
agresif, kriminal lebih sedikit dibandingkan dengan di Negara barat.
Berdasarkan hal tersebut terdapat kemungkinan bahwa perjalanan
penyakit, prognosis atau hasil dari gangguan ini, baik di masa remaja
ataupun dewasa, kualitasnya berbeda dari hasil yang teramati pada
berbagai penelitian di negara barat.
C. Patofisiologi
Sebagian besar profesional sekarang percaya bahwa ADHD terdiri dari tiga
masalah pokok: kesulitan dalam perhatian berkelanjutan, pengendalian atau
penghambatan impuls, kegiatan berlebihan. Beberapa periset, seperti Barkley,
menambahkan masalah-masalah lain seperti kesulitan metauhi peraturan dan
instruksi, adanya vairiabilitas berlebih dalam berespons situasi, khusunya
pekerjaan sekolah. Singkatnya ADHD merupakan suatu gangguan
perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku,
khususnya untuk mengantisipasi tindakan dan keputusan masa depan. Anak
yang mengidap ADHD relative tidak mampu menahan diri untuk merespons
situasi pada saat tertentu. Mereka benar-benar tidak bisa menunggu.
Penyebabnya diperkirakian karena mereka memiliki sumber biologis yang
kuat yang ditemukan pada anak-anak dengan predisposisi keturunan (Martin,
1998). Beberapa penelitian belum dapat menyimpulkan penyebab pasti dari
ADHD. Seperti halnya dengan gangguan perkembangan lainnya (autisme),
beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya ADHD adalah faktor genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal,
Tingkat kecerdasan (IQ), terjadi disfungsi metabolism, hormonal, lingkungan
fisik dan sosial sekitar, asupan gizi, dan orang-orang dilingkungan sekitar

13
termasuk keluarga. Beberapa teori yang sering dikemukakan adalah hubungan
antara neurotransmitter dopamine dan epinephrine. Teori faktor genetik,
beberapa penelitian dilakukan bahwa pada keluarga penderita, selalu disertai
dengan penyakit yang sama setidaknya satu orang dalam keluarga dekat.
Orang tua dan saudara penderita ADHD memiliki resiko hingga 2- 8 x
terdapat gangguan ADHD (Klik dokter, 2008).
Teori lain menyebutkan adanya gangguan disfungsi sirkuit neuron di otak
yang dipengaruhi oleh berbagai gangguan neurotransmitter sebagai pengatur
gerakan dan control aktifitas diri. Beberapa faktor resiko yang meningkatkan
terjadinya ADHD : kurangnya deteksi dini, gangguan pada masa kehamilan
(infeksi, genetic, keracuanan obat dan alkohol, rokok dan stress psikogenik),
gangguan pada masa persalinan (premature, postmatur, hambatan persalinan,
induksi, kelainan persalinan) (Klikdokter, 2008). Akibat dari ADHD ini anak
dapat mengalami gangguan pola tidur dan risiko cidera karena sikap
hiperaktifnya. Koping yang tidak efektif, isolasi sosial serte risiko
keterlabatan perkembangan juga dapat terjadi pada anak dengan ADHD.
D. Manifestasi Klinis
Menurut DSM IV (dalam Baihaqi dan Sugiarman, 2006: 8) (dikutip
dari Luk Luil, 2011) gejala-gejala ADHD yaitu:
1. Kurang perhatian
a. Sering gagal untuk memberi perhatian pada detail atau membuat
kekeliruan yang tidak hati-hati dalam pekerjaan sekolah, pekerjaan
atau aktivitas lain.
b. Sering mengalami kesulitan mempertahankan perhatian pada
aktivitas tugas atau permainan.
c. Sering terlihat tidak mendengarkan ketika diajak berbicara langsung.
d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas
sekolah, tugas atau kewajiban di tempat kerja (tidak disebabkan
perilaku menentang atau tidak mengerti instruksi).
e. Sering mengalami kesulitan mengatur tugas dan aktivitas.

14
f. Sering menghindari, tidak menyukai, atau enggan terlibat tugas yang
membutuhkan upaya mental yang terus menerus (seperti pekerjaan
sekolah atau pekerjaan rumah).
g. Sering kehilangan barang-barang yang dibutuhkan untuk tugas atau
aktivitas (misalnya mainan, tugas sekolah, pensil, buku, atau
peralatan).
h. Sering dengan mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulus ekternal.
i. Sering lupa pada aktivitas sehari-hari.
2. Hiperaktivitas
a. Sering gelisah dengan tangan atau kaki atau menggeliat di tempat
duduk.
b. Sering meninggalkan tempat duduk di ruang kelas atau pada situasi
lain di mana diharapkan untuk tetap duduk.
c. Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan pada situasi yang
tidak tepat (pada remaja atau orang dewasa, dapat terbatas pada
perasaan gelisah subyektif).
d. Sering mengalami kesulitan bermain atau meikmati aktivitas di
waktu luang dengan tenang.
e. Sering “sibuk” atau sering bertindak seakan-akan “dikendalikan oleh
sebuah mesin”.
f. Sering bicara secara berlebihan.
3. Impulsivitas
a. Sering menjawab tanpa berpikir sebelum pertanyaan selesai.
b. Sering kesulitan menunggu giliran.
c. Sering menyela atau menggangu orang lain (misalnya, memotong
pembicaraan atau permainan).
Menurut Townsend (1998) ada beberapa tanda dan gejala yang dapat dapat
ditemukan pada anak dengan ADHD antara lain :
a. Sering kali tangan atau kaki tidak dapat diam atau duduknya mengeliat-
geliat.
b. Mengalami kesulitan untuk tetap duduk apabila diperlukan

15
c. Mudah bingung oleh dorongan-dorongan asing
d. Mempunyai kesulitan untuk menunggu giliran dalam suatau permainan
atau keadaan di dalam suatu kelompok
e. Seringkali menjawab dengan kata-kata yang tidak dipikirkan terhadap
f. pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai disampaikan
g. Mengalami kesulitan untuk mengikuti instruksi-instruksi dari orang lain
h. Mengalami kesulitan untuk tetap bertahan memperhatikan tugas-tugas
atau aktivitas-aktivitas bermain
i. Sering berpindah-pindah dari satu kegiatan yang belum selesai ke
kegiatan lainnya
j. Mengalami kesulitan untuk bermain dengan tenang
k. Sering berbicara secara berlebihan.
l. Sering menyela atau mengganggu orang lain
m. Sering tampaknya tidak mendengarkan terhadap apa yang sedang
dikatakan kepadanya
n. Sering kehilangan barang-barang yang diperlukan untuk tugas-tugas atau
kegiatan-kegiatan yang berbahaya secara fisik tanpa mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan akibatnya (misalnya berlari-lari di jalan raya
tanpa melihat-lihat).
E. Komplikasi
1. Diagnosis sekunder-gangguan konduksi, depresi, dan penyakit ansietas .
2. Pencapaian akademik kurang, gagal disekolah, sulit membaca dan
mengerjakan aritmatika ( sering kali akibat abnormalitas konsentrasi ).
3. Hubungan dengan teman sebaya buruk ( sering kali perilaku agresif dan
kata-kata yang diungkapkan ).
4. IQ rendah / kesulitan belajar ( anak tidak duduk tenang dan belajar ).
5. Resiko kecelakaan ( karena impulsivitas ).
6. Percaya diri rendah dan penolakan teman-teman sebaya ( perilakunya
membuat anak-anak lainnya marah ).

16
F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang akan menegakkan
diagnosis gangguan kekurangan perhatian. Anak yang mengalami
hiperaktivitas dilaporkan memperlihatkan jumlah gelombang-gelombang
lambat yang bertambah banyak pada elektorensefalogram mereka, tanpa
disertai dengan adanya bukti tentang penyakit neurologik atau epilepsi yang
progresif, tetapi penemuan ini mempunyai makna yang tidak pasti
Menurut Doenges, 2007 pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada
anak dengan ADHD antara lain :
1. Tes neurologist (misalnya EEG, CT scan) menentukan adanya gangguan
otak organic.
2. Tes psikologis sesuai indikasi : menyingkirkan adanya gangguan
ansietas, mengidentifikasi bawaan, retardasi borderline atau anak tidak
mampu belajar dan mengkaji responsivitas social dan perkembangan
bahasa.
3. Pemeriksaan diagnostic individual bergantung pada adanya gejala fisik
(misalnya ruam, penyakit saluran pernapasan atas, atau gejala alergi lain,
infeksi SSP).
4. Pemeriksaan darah : Ditemukan toksin dalam darah penderita ADHD.
Selain itu juga ada pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosa ADHD yaitu dengan Skrining DDTK pada anak pra sekolah dengan
ADHD. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara dini anak adanya
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) pada anak umur
36 bulan ke atas.
Jadwal deteksi dini GPPH pada anak prasekolah dilakukan atas
indikasi atau bila ada keluhan dari orang tua/pengasuh anak atau ada
kecurigaan tenaga kesehatan, kader kesehatan, BKB, petugas PADU,
pengelola TPA, dan guru TK.Keluhan tersebutdapat berupa salah satu atau
lebih keadaan di bawah ini :
1. Anak tidak bisa duduk tenang
2. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah

17
3. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive
Alat yang digunakan adalah formulir deteksi dini Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Ratting
Scale) yaitu formulir yang terdiri dari 10 pertanyaan yang ditanyakan kepada
orangtua / pengasuh anak / guru TK dan pertanyaan yang perlu pengamatan
dari pemeriksa.
1. Cara menggunakan formulir deteksi dini GPPH :
a. Ajukan pertanyaan dengan lambat, jelas dan nyaring, satu persatu
perilaku yang tertulis pada formulir deteksi dini GPPH. Jelaskan
kepada orangtua / pengasuh anak untuk tidak ragu-ragu atau takut
menjawab.
b. Lakukan pengamatan kemampuan anak sesuai dengan pertanyaan
pada formulir deteksi dini GPPH.
c. Keadaan yang ditanyakan/diamati ada pada anak dimanapun anak
berada,missal ketika di rumah, sekolah, pasar, toko, dll. Setiap saat
dan ketika anak dengan siapa saja.
d. Catat jawaban dan hasil pengamatan perilaku anak selama dilakukan
pemeriksaan. Teliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab
2. Format formulir deteksi dini Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas/GPPH (Abbreviated Conners Ratting Scale)

No Kegiatan yang Diamati 0 1 2 3


1 Tidak kenal lelah, atau aktivitas yang berlebihan
2 Mudah gembira, implsive
3 Mengganggu anak-anak lain
4 Gagal menyelesaikan kegiatan yang telah
dimulai, rentang perhatian pendek
5 Mengerak-gerakkan anggota badan atau kepala
secara terus-menerus
6 Kurang perhatian, mudah teralihkan
7 Permintaannya harus segera dipenuhi, mudah
menjadi frustasi
8 Sering dan mudah menangis
9 Suasanana hatinya mudah berubah dengan cepat

18
dan drastic
10 Ledakkan kekesalan, tingkah laku eksplosif dan
tak terduga
Jumlah
Nilai total :
3. Interpretasi :
a. Nilai 0 : jika keadaan tersebut tidak ditemukan pada anak
b. Nilai 1 : jika keadaan tersebut kadang-kadang ditemukan pada anak
c. Nilai 2 : jika keadaan tersebut sering ditemukan pada anak
d. Nilai 3 : jiak keadaan tersebut selalu ada pada anak.
Bila nilai total 13 atau lebih anak kemungkinan dengan GPPH.
4. Intervensi
a. Anak dengan kemungkinan GPPH perlu dirujuk ke Rumah Sakit
yangmemiliki: fasilitas kesehatan jiwa/tumbuh kembang anak untuk
konsultasi lebih lanjut.
b. Bila nilai total kurang dari 13 tetapi anda ragu-ragu, jadwalkan
pemeriksaan ulang 1 bulan kemudian. Ajukan pertanyaan kepada
orang-orang terdekat dengan anak (orang tua, pengasuh, nenek,
guru,dsb).
G. Penatalaksanaan
1. Perawatan
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006) perawatan yang dapat dilakukan
orang tua terhadap anak yang menderita ADHD antara lain :
a. Pelatihan manajemen orang tua : Mengendalikan perilaku anak yang
merusak di rumah, mengurangi konflik antara orangtua dan anak
serta meningkatkan pro-sosial dan perilaku regulasi diri
b. Intervensi pendidikan : Mengendalikan perilaku yang merusak di
kelas, meningkatkan kemampuan akademik serta mengajarkan
perilaku pro sosial dan regulasi diri
c. Merencanakan program-program bulanan : Melakukan penyesuaian
di rumah dan keberhasilan ke depan di sekolah dengan

19
mengombinasikan perlakukan tambahan dan pokok dalam program
terapi
d. Melakukan konseling keluarga : Coping terhadap stres keluarga dan
individu yang berkaitan dengan ADHD, termasuk kekacauan hati
dan permasalahan suami istri
e. Mencari kelompok pendukung : Menghubungkan anak dewasa
dengan orang tua anak ADHD lainnya, berbagi informasi dan
pengalaman mengenai permasalahan umum dan memberi dukungan
moral
f. Melakukan konseling individu : Memberi dukungan di mana anak
dapat membahas permasalahan dan curahan hati pribadinya

Menurut Videbeck (2008) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan


pada anak dengan Attention Deficyt Hyperactivity Disorder (ADHD)
antara lain :

a. Memastikan keamanan anak dan keamanan orang lain dengan :


1) Hentikan perilaku yang tidak aman.
2) Berikan petunjuk yang jelas tentang perilaku yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima.
3) Berikan pengawasan yang ketat.
b. Meningkatkan performa peran dengan cara :
1) Berikan umpan balik positif saat memenuhi harapan.
2) Manajemen lingkungan (misalnya tempat yang tenang dan bebas
dari distraksi untuk menyelesaikan tugas).
c. Menyederhanakan instruksi/perintah untuk :
1) Dapatkan perhatian penuh anak.
2) Bagi tugas yang kompleks menjadi tugas-tugas kecil.
3) Izinkan beristirahat.
d. Mengatur rutinitas sehari-hari
1) Tetapkan jadual sehari-hari.
2) Minimalkan perubahan.

20
e. Penyuluhan dan dukungan kepada klien atau keluarga dengan
mendengarkan perasaan dan frustasi orang tua.
f. Berikan nutrisi yang adekuat pada anak yang mengalami ADHD.

Selain itu juga dapat digunakan terapi bermain dan back in control dalam
perawatan anak dengan ADHD

2. Pengobatan
Pengobatan terhadap anak dengan ADHD umumnya dilakukan dengan
berbagai pendekatan termasuk program pendidikan khusus, modifikasi
perilaku, pengobatan melalui obat-obatan dan konseling. Disamping
pendekatan yang kontroversial antara lain melakukan diet khusus dan
penggunaan obat-obatan serta vitamin-vitamin tertentu (Delphie, 2006).
Menurut Videbeck (2008) obat stimulan yang sering digunakan untuk
mengobati ADHD antara lain :
a. Metilfenidat (Ritalin)
Dosis 10-60 dalam 2 – 4 dosis yang terbagi. Intervensi keperawatan
pantau supresi nafsu makan yang turun, atau kelambatan
pertumbuhan, berikan setelah makan, efek obat lengkap dalam 2
hari.
b. Dekstroamfetamin (Dexedrine) amfetamin (Adderall)
Dosis 3-40 dalam 2 atau 3 dosis yang terbagi. Intervensi
keperawatan, pantau adanya insomnia, berikan setelah makan untuk
mengurangi efek supresi nafsu makan, efek obat lengkap dalam 2
hari
c. Pemolin (Cylert)
Dosis 37,5-112,5 dalam satu dosis harian. Intervensi keperawatan
pantay peningkatan tes fungsi hati dan supresi nafsu makan, dapat
berlangsung 2 minggu untuk mencapai efek obat yang lengkap
Kebanyakan obat yang digunakan dalam menangani ADHD aman jika
mengikuti perintah dokter. Obat-obatan ini mempunyai toleransi tinggi
dan sedikit efek samping. Bagi beberapa anak, pengobatan akan

21
menaikkan nafsu makan. Jika obat diminum setelah si anak makan, akan
banyak mengurangi efek sampingnya. Beberapa anak yang menggunakan
obat untuk ADHD menunjukkan pertumbuhan badan yang diluar batas
normal. Hubungi dokter anda jika pertumbuhan si anak terlambat.
Sebagian orang tua merasa khawatir bahwa obat yang diminum akan
memgakibatkan si anak menjadi lebih agresif atau nantinya akan
membuat dia ketagihan obat atau minuman beralkohol. Kekhawatiran ini
tidak dapat dibenarkan. Pada kenyataannya, anak dengan ADHD yang
tidak mendapatkan penanganan yang baik cenderung lebih agresif atau
menjadi ketagihan obat-obatan dan minuman beralkohol.
H. Pencegahan
1. Skrining DDTK pada ADHD.
2. Perawatan saat hamil ( hindari obat – obatan dan alkoholic ) untuk orang
tua.
3. Asupan nutrisi yang seimbang.
4. Berikan rutinitas yang terstruktur ( membantu anak untuk mematuhi
jadwal yang teratur).
5. Manajemen perilaku (dapat mendorong anak untuk fokus pada apa yang
mereka lakukan).

22
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
ADHD terjadi pada anak usia 3 tahun, anak laki – laki cenderung
memiliki kemungkinan4x lebih besar dari perempuan untuk menderita
ADHD.
2. Keluhan utama
Keluarga mengatakan anaknya tidak bisa diam, kaki atau tangannya
bergerak terus
3. Riwayat penyakit sekarang
Orang tua atau pengasuh melihat tanda – tanda awal dari ADHD :
a. Anak tidak bisa duduk tenang
b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah
c. Perubahan suasan hati yang yang mendadak/impulsive
4. Riwayat penyakit sebelumnya
Tanyakan kepada keluarga apakah anak sebelumnya pernah mengalami
cedera otak.
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada faktor genetik yang diduga
sebagai penyebab dari gangguan hiperaktivitas pada anak.
6. Riwayat psiko,sosio, dan spiritual
Anak mengalami hambatan dalam bermain dengan teman dan membina
hubungan dengan teman sebaya nya karena hiperaktivitas dan
impulsivitas
7. Riwayat tumbuh kembang
a. Prenatal : Ditanyakan apakah ibu ada masalah asupan alcohol atau
obat-obatan selama kehamilan
b. Natal : Ditanyakan kepada ibu apakah ada penyulit selama
persalinan. lahir premature, berat badan lahir rendah (BBLR)

23
c. Postnatal : Ditanyakan apakah setelah lahir langsung diberikan
imunisasi apatidak.
8. Riwayat imunisasi
Tanyakan pada keluarga apakah anak mendapat imunisasi lengkap.
a. Usia <7 hari anak mendapat imunisasi hepatitis B
b. Usia 1 bulan anak mendapat imunisasi BCG dan Polio I
c. Usia 2 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB I dan Polio 2
d. Usia 3 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB II dan Polio 3
e. Usia 4 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB III dan Polio 4
f. Usia 9 bulan anak mendapat imunisasi campak
9. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang biasanya ditemukan pada anak dengan gangguan


hiperaktif mencakup :

a. Rambut yang halus


b. Telinga yang salah bentuk
c. Lipatan-lipatan epikantus
d. Langit-langit mulut yang melengkung tinggi
e. Kerutan-kerutan telapak tangan yang hanya tunggal saja
f. Terdapat gangguan keseimbangan, astereognosis, disdiadokhokinesis
serta permasalahan-permasalahan di dalam koordinasi motorik yang
halus.
10. Activity daily living ( ADL )
a. Nutrisi

Anak nafsu makan nya berkurang (anarexia).

b. Aktivitas

Anak sulit untuk diam dan terus bergerak tanpa tujuan

c. Eliminasi

Anak tidak mengelami ganguan dalam eliminasi

24
d. Istirahat tidur

Anak mengalami gangguan tidur

e. Personal Higiane

Anak kurang memperhatikan kebersihan diri nya sendiri dan sulit di


atur.

11. Penampilan umum dan perilaku motorik


a. Anak tidak dapat duduk tenang di kursi dan mengeliat dan
bergoyang-goyang saat mencoba melakukannya.
b. Anak mungkin lari mengelilingi ruang dari satu benda ke benda lain
dengan sedikit tujuan atau tanpa tujuan yang jelas.
c. Kemampuan anak untuk berbicara terganggu, tetapi ia tidak dapat
melakukan suatu percakapan, ia menyela, menjawab pertanyaan
sebelum pertanyaan berakhir dan gagal memberikan perhatian pada
apa yang telah dikatakan.
d. Percakapan anak melompat-lompat secara tiba-tiba dari satu topik ke
topik yang lain. Anak dapat tampak imatur atau terlambat tingkat
perkembangannya
12. Mood dan afek
a. Mood anak mungkin labil, bahkan sampai marah-marah atau
tempertantrum.
b. Ansietas, frustasi dan agitasi adalah hal biasa.
c. Anak tampak terdorng untuk terus bergerak atau berbicara dan
tampak memiliki sedikit kontrol terhadap perilaku tersebut.
d. Usaha untuk memfokuskan perhatian anak dapat menimbulkan
perlawanan dan kemarahan.
13. Proses dan isi pikir

Secara umum tidak ada gangguan pada area ini meskipun sulit untuk
mempelajari anak berdasarkan tingkat aktivitas anak dan usia atau tingkat
perkembangan.

25
14. Sensorium dan proses intelektual
a. Anak waspada dan terorientasi, dan tidak ada perubahan sensori atau
persepsi seperti halusinasi.
b. Kemampuan anak untuk memberikan perhatian atau berkonsentrasi
tergangguan secara nyata.
c. Rentang perhatian anak adalah 2 atau 3 detik pada ADHD yang berat
2 atau 3 menit pada bentuk gangguan yang lebih ringan.
d. Mungkin sulit untik mengkaji memori anak, ia sering kali menjawab,
saya tidak tahu, karena ia tidak dapat memberi perhatian pada
pertanyaan atau tidak dapat berhenti memikirkan sesuati.
e. Anak yang mengalami ADHD sangat mudah terdistraksi dan jarang
yang mampu menyelesaikan tugas.
15. Penilaian dan daya tilik diri
a. Anak yang mengalami ADHD biasanya menunjukkan penilaian yang
buruk dan sering kali tidak berpikir sebelum bertindak
b. Mereka mungkin gagal merasakan bahaya dan melakukan tindakan
impulsif, seperti berlari ke jalan atau melompat dari tempat yang
tinggi.
c. Meskipun sulit untuk mempelajari penilaian dan daya tilik pada anak
kecil.
d. Anak yang mengalami ADHD menunjukkan kurang mampu menilai
jika dibandingkan dengan anak seusianya.
e. Sebagian besar anak kecil yang mengalami ADHD tidak menyadari
sama sekali bahwa perilaku mereka berbeda dari perilaku orang lain.
f. Anak yang lebih besar mungkin mengatakan, "tidak ada yang
menyukaiku di sekolah", tetapi mereka tidak dapat menghubungkan
kurang teman dengan perilaku mereka sendiri.
16. Konsep diri

Hal ini mungkin sulit dikaji pada anak yang masih kecil, tetapi secara
umum harga diri anak yang mengalami ADHD adalah rendah. Karena
mereka tidak berhasil di sekolah, tidak dapat memiliki banyak teman, dan

26
mengalami masalah dalam mengerjakan tugas di rumah, mereka biasanya
merasa terkucil sana merasa diri mereka buruk. Reaksi negatif orang lain
yangmuncul karena perilaku mereka sendiri sebagai orang yang buruk
dan bodoh

17. Peran dan hubungan


a. Anak biasanya tidak berhasil disekolah, baik secara akademis
maupun sosial.
b. Anak sering kali mengganggu dan mengacau di rumah, yang
menyebabkan perselisihan dengan saudara kandung dan orang tua.
c. Orang tua sering meyakini bahwa anaknya sengaja dan keras kepala
dan berperilaku buruk dengan maksud tertentu sampai anak yang
didiagnosis dan diterapi.
d. Secara umum tindakan untuk mendisiplinkan anak memiliki
keberhasilan yang terbatas pada beberapa kasus, anak menjadi tidak
terkontrol secara fisik, bahkan memukul orang tua atau merusak
barang-barang miliki keluarga.
e. Orang tua merasa letih yang kronis baik secara mental maupun
secara fisik.
f. Guru serungkali merasa frustasi yang sama seperti orang tua dan
pengasuh atau babysister mungkin menolak untuk mengasuh anak
yang mengalami ADHD yang meningkatkan penolakan anak.
18. Pertimbangan fisiologis dan perawatan diri

Anak yang mengalami ADHD mungkin kurus jika mereka tidak


meluangkan waktu untuk makan secara tepat atau mereka tidak dapat
duduk selama makan. Masalah penenangan untuk tidur dan kesulitan
tidur juga merupakan masalah yang terjadi. Jika anak melakukan perilaku
ceroboh atau berisiko, mungkin juga ada riwayat cedera fisik.

27
B. Diagnosa
1. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan koping individu tidak
efektif
2. Isolasi sosial menarik diri berhubungan harga diri rendah gangguan
interaksi sosial
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hiperaktif
4. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan dukungan sosial
yang tidak adekuat.
5. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktifitas dan perilaku impulsive
6. Risiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan penurunan
fungsi lobus frontal
C. Intervensi
1. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan koping individu tidak
efektif
a. Tujuan :
Anak memperlihatkan perasaan-perasaan nilai diri yang meningkat.
b. Kriteria hasil
1) Ekspresi verbal dari aspek-aspek positif tentang diri, pencapaian
masalalu dan prospek-prospek masa depan
2) Mampu mengungkapkan persepsi yang positif tentang diri
3) Anak berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas baru tanpa
memperlihatkan rasa takut yang ektrim terhadap kegagalan.
c. Intervensi
1) Pastikan bahwa sasaran-sasaran yang akan dicapai adalah
realistis.
2) Sampaikan perhatian tanpa persyaratan untuk pasien.
3) Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada satu ke satu basis
dan pada aktivitas-aktivitas kelompok.
4) Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif dari
diri anak.

28
5) Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai
suatu mekanisme bersikap membela.
6) Memberikan dorongan dan dukungan kepada pasien dalam
mengalami rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti
aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru dan
berikan pengakuan tentang kerja keras yang berhasil dengan
penguatan positif untuk usaha-usaha yang dilakukan.
7) Beri umpan balik positif kepada klien jika melakukan perilaku
yang mendekati pencapaian tugas.

Rasional :

1) Hal ini penting untuk pasien untuk mencapai sesuatu, maka


rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk
sukse adalah mungkin dan kesuksesan ini dapat meningkatkan
harga diri anak.
2) Komunikasi dari pada penerimaan Anda terhadap anak sebagai
makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga diri.
3) Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa Anda merasa
bahwa dia berharga untuk waktu Anda.
4) Aspek positif yang dimiliki anak dapat mengembangkan
rencana-rencana untuk merubah karakteristik yang dilihatnya
sebagai hal yang negatif.
5) Memberikan bantuan yang positif untuk identifikasi amsalah
dan pengembangan dari perilaku-perilaku koping yang lebih
adaptif. Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri
dan meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat
diterima oleh pasien.
6) Pengakuan dan pengyatan positif meningkatkan harga diri.
7) Pendekatan ini yang disebut shaping adalah prosedur perilaku
ketika pendekatan yang beturut-turut akan perilaku yang
diinginkan, dikuatkan secara positid. Hal ini memungkinkan

29
untuk memberikan penghargaan kepada klien saat ia
menunjukkan harapan yang sebenarnya secara bertahap.
2. Isolasi sosial menarik diri berhubungan harga diri rendah sekunder
terhadap prestasi yang buruk
a. Tujuan :

Anak dapat mengembangkan hubungan dengan orang lain atau anak


lain

b. Kriteria hasil :
1) Berhasil menyelesaikan kewajiban atau tugas dengan bantuan
2) Menunjukkan keterampilan sosial yang dapat diterima ketika
berinteraksi dengan staf atau anggota keluarga
3) Berhasil berpartisipasi dalam lingkungan pendidikan
4) Menunjukkan kemampuan menyelesaikan satu tugas secara
mandiri
5) Menunjukkan kemampuan menyelesaikan tugas dengan
diingatkan
6) Mengungkapkan pernyataan positif tentang dirinya
7) Menunjukkan keberhasilan interaksi dengan anggota keluarga
c. Intervensi
1) Identifikasi faktor yang memperburuk dan mengurangi perilaku
klien.
Rasional : Stimulus eksternal yang memperburuk masalah klien
dapat diidentifikasi dan diminimalkan. Demikian juga stimulus
yang mempengaruhi klien secara positif dapat digunakan dengan
efektif
2) Berikan lingkungan yang sedapat mungkin bebas dari distraksi.
Lakukan intervensi satu pasien-satu perawat dan secara bertahap
tingkatkan jumlah stimulus lingkungan
Rasional : Kemampuan klien untuk menghadapi stimulus
eksternal terganggu

30
3) Tarik perhatian klien sebelum memberikan instruksi (yaitu
panggil nama klien dan lakukan kontak mata)
Rasional : Klien harus mendengarkan instruksi sebagai langkah
awal untuk patuh]
4) Berikan instruksi secara secara berlahan dengan menggunakan
bahasa yangs ederhana dan petunjukk yang kongkret
Rasional : Kemampuan klien dalam memahami instruksi
terganggu (terutama jika instruksi tersebut kompleks dan
abstraks)
5) Minta klien untuk mengulangi instruksi sebelum memulai tugas
Rasional : Pengulangan menunjukkan bahwa klien menerima
informasi yang akurat
6) Bagi tugas yang kompleks menjadi rugas-tugas kecil
Rasional : Kemungkinan untuk berhasil akan meningkat dengan
kurangnya komponen tugas yang rumit
7) Berikan umpan balik positif untuk pencapaian setiap tahap
Rasional : Kesempatan klien untuk mendapatkan keberhasilan
dapat meningkat dengan memperlakukan setiap tahap sebagai
kesempatan untuk berhasil
8) Izinkan berisitirahat klien dapat berjalan-jalan
Rasional : Energi kegelisahan klien dapat disalurkan melalui
cara yang tepat/dapat diterima sehingga ia dapat menyelesaikan
tugas yang akan datang dengan lebih efektif
9) Jelaskan harapan untuk penyelesaian tugas dengan jelas

Rasional : Klien harus mengerti harapan yang diminta sebelum


ia dapat mengusahakan penyelesaian tugas

10) Bantu klien menyelesaikan tugas pada awalnya

Rasional : Jika klien tidak mampu menyelesaikan


menyelesaikan tugas secara mandiri, memberi bantuan akan

31
memungkinkan klien untuk berhasil dan menunjukkan cara
menyelesaikan tugas.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hiperaktif


a. Tujuan :
Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai
7 jamn setiap malam
b. Kriteria hasil:
1) Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada
waktu tidur
2) Tidak ada gangguan-gangguan yang diamati oleh perawat
3) Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur selama
6 sampai 7 jam tanpa terbangun.
c. Intervensi
1) Amati pola tidur anak, catat keadaan-keadaan yang menganggu
tidur
Rasional : Masalah harus diidentifikasi sebelum bantuan dapat
diberikan
2) Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung
berhubungan dengan rasa takut dan ansietas-ansietas tertentu
Rasional : Ansietas yang dirasakan oleh anak dapat mengganggu
pola tidur anak sehingga perlu diidentifikasi penyebabnya
3) Duduk dengan anak sampai dia tertidur
Rasional : kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa
aman
4) Pastikan bahwa makanan dan minuman yang mengandung
kafein dihilangkan dari diet anak
Rasional : Kafein adalah stimulan SSP yang dapat mengganggu
tidur
5) Berikan sarana perawatan yang membantu tidur (misalnya :
gosok punggung, latihan gerak relaksasi dengan musik lembut,
susu hangat dan mandi air hangat)

32
Rasional : Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan bisa
membuat tidur
6) Buat jam-jam tidur yang rutin, hindari terjadinya deviasi dari
jadwal ini
Rasional : Tubuh memberikan reaksi menyesuaikan kepada
suatu siklus rutin dari istirahat dan aktivitas
7) Beri jaminan ketersediaan kepada anak jika dia terbangun pada
malam hari dan dalam keadaan ketakutan
Rasional : Kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan
rasa aman
4. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan dukungan sosial
yang tidak adekuat.
a. Tujuan:
Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping yang
sesuai dengan umur dan dapat diterima sosial
b. Kriteria hasil:
1) Anak mampu menunda pemuasan terhadap keinginannya, tanpa
terpaksa untuk menipulasi orang lain.
2) Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang
dapat diterima secara sosial
3) Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping
alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya
hidup dari yang ia rencanakan untuk menggunakannya sebagai
respons terhadap rasa frustasi
c. Intervensi
1) Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis.
Rasional : Hal ini penting untuk pasien untuk mencapai sesuatu,
maka rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan
untuk sukses adalah mungkin dan kesuksesan ini dapat
meningkatkan harga diri anak.

33
2) Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak.
Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan Anda terhadap
anak sebagai makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan
harga diri.
3) Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu basis
dan pada aktivitas-aktivitas kelompok.
Rasional : Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda
merasa bahwa dia berharga untuk waktu anda.
4) Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif dari
dan dalam mengembangkan rencana-rencana untuk merubah
karakteristik yang melihatnya sebagai negatif.
Rasional : Aspek positif yang dimiliki anak dapat
mengembangkan rencana-rencana untuk merubah karakteristik
yang dilihatnya sebagai hal yang negatif.
5) Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai
suatu mekanisme bersikap membela. Memberikan bantuan yang
positif untukidentifikasi masalah dan pengembangan dari
perilaku-perilaku koping yang lebih adaptif.

Rasional : Memberikan bantuan yang positif untuk identifikasi


amsalah dan pengembangan dari perilaku-perilaku koping yang
lebih adaptif. Penguatan positif membantu meningkatkan harga
diri dan meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat
diterima oleh pasien.

6) Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam


menghadapi rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti
aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru.
Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan penguatan
positif untuk usaha-usaha yang dilakukan

Rasional : Pengakuan dan pengyatan positif meningkatkan harga


diri

34
7) Beri umpan balik positif kepada klien jika melakukan perilaku
yang mendekati pencapaian tugas.

Rasional : Pendekatan ini yang disebut shaping adalah prosedur


perilaku ketika pendekatan yang beturut-turut akan perilaku
yang diinginkan, dikuatkan secara positid. Hal ini
memungkinkan untuk memberikan penghargaan kepada klien
saat ia menunjukkan harapan yang sebenarnya secara bertahap.

5. Resiko cedera berhubungan dengan psikologis (orientasi tidak efektif)


a. Tujuan :

Anak tidak akan melukai diri sendiri atau orang lain

b. Kriteria Hasil :
1) Anak mencari orang lain untuk mendiskusikan perasaan
perasaan yang sebenarnya.
2) Anak mengetahui, mengungkapkan dan menerima kemungkinan
konsekuensi dari perilaku maladaptif diri sendiri.
c. Intervensi
1) Observasi perilaku anak secara sering. Lakukan hal ini melalui
aktivitas sehari - hari dan interaksi untuk menghindari timbulnya
rasa waspada dan kecugiaan.

Rasional :Anak-anak pada resiko tinggi untuk melakukan


pelanggaran memerlukan pengamatan yang seksama untuk
mencegah tindakan yang membahayakan bagi diri sendiri atau
orang lain.

2) Observasi perilaku - perilaku yang mengarah pada tindakan


bunuh diri.

Rasional : Pernyataan- pernyataan verbal seperti “Saya akan


bunuh diri,” atau “Tak lama ibu saya tidak perlu lagi
menyusahkan diri karena saya” atau perilaku - perilaku non
verbal seperti membagi - bagikan barang - barang yang

35
disenangi, alam perasaan berubah.Kebanyakan anak yang
mencoba untuk bunuh diri telah menyampikan maksudnya baik
secara verbal atau nonverbal.

3) Tentukan maksud dan alat - alat yang memungkinkan untuk


bunuh diri. Tanyakan “apakah anda memiliki rencana untuk
bunuh diri?” dan “bagaimana rencana anda untuk
melakukannya?”

Rasional : Pertanyaan-pertanyaan yang langsung menyeluruh


dan mendekati adalah cocok untuk hal seperti ini. Anak yang
memiliki rencana yang dapat digunakan adalah beresiko lebih
tinggi dari pada yang tidak.

4) Dapatkan kontrak verbal atau tertulis dari anak yang


menyatakan persetujuannya untuk tidak mencelakakan diri
sendiri dan menyetujui untuk menemukan orang lain pada
kondisi dimana pemikiran kearah tersebut muncul.

Rasional : Diskusi tentang perasaan-perasaan untuk mencelakai


diri sendiri dengan seseorang yang dipercaya memberikan suatu
derajat perasaan lega pada anak. Suatu perjanjian membuat
permasalahan menjadi terbuka dan menempatkan beberpa
tanggung jawab untuk keamanan dengan anal. Suatu sikap
menerima anak sebagai seseorang yang patut diperhatikan telah
disampaikan

5) Bantu anak mengenali kapan kemarahan terjadi dan untuk


menerima perasaan- perasaan tersebut sebagai miliknya sendiri.
Apakah anak telah menyimpan suatu buku catatan kemarahan
dimana catatan yang dialami dalam 24 jam disimpan.

Rasional : Informasi tentang sumber tambahan dari marahan,


respon perilaku dan persepsia anak terhadapa situasi ini harus
dicatat. Diskusikan apapun data dengan anak anjurkan juga

36
respon - respon perilaku alternatif yang diidentifikasi sebagai
maladaptif

6) Bertindak sebagai model peran untuk ekspresi yang sesuai dari


percobaan.

Rasional : Hal ini vital bahwa anak mengekspresikan perasaan -


perasaan marah, karena mencelakai diri dan perilaku merusak
diri sendiri lainnya seringkali terlihat sebagai suatu akibat dari
kemarahan diarahkan pada diri sendiri

7) Singkirkan semua benda- benda yang berbahaya dari lingkungan


anak.

Rasional : Keamana fisik anak adalah prioritas dari


keperawatan, dan juga untuk menhindari anak melakukannya
pada orang lain.

8) Usahakan untuk bisa tetap bersama anak jika tingkat


kegelisahan dan tegangan mulai meningkat.

Rasional : Hadirnya seseorang yang dapat dipercaya


memberikan rasa aman.

6. Risiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan gangguan


perilaku.
a. Tujuan:

Anak tidak mengalami keterlambatan perkembangan.

b. Kriteria Hasil:

Anak akan mencapai tahapan dalam perkembangan yaitu tidak


mengalami keterlambatan 25 % atau lebih area sosial/perilaku
pengaturan diri atau kognitif , bahasa, keterampilan motorik halus
dan motorik kasar.

c. Intervensi

37
1) Lakukan pengkajian kesehatan yang seksama (misalnya, riwayat
anak, temperamen, budaya, lingkungan keluarga, skrining
perkembangan) untuk menentukan tingkat fungsional.

Rasional : Hal ini penting untuk anak dalam mencapai sesuatu,


maka rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan
untuk sukses adalah mungkin dan kesuksesan ini dapat
meningkatkan perkembangan anak.

2) Berikan aktivitas bermain yang sesuai, dukung beraktivitas


dengan anak lain.

Rasional : Kenyamanan anak akan membantunya untuk dapat


lebih mengontrol diri.

3) Berkomunikasi dengan pasien sesuai dengan tingkat kognitif


pada perkembangannya.

Rasional : Komunikasi yang efektif akan memudahkan dalam


melaksanakan asuhan keperawatan.

4) Berikan penguatan yang positif/umpan balik terhadap usaha-


usaha mengekspresikan diri.

Rasional : penghargaan terhadap prestasi anak akan


meningkatkan kepercayaan diri anak

5) Ajarkan kepada orang tua tentang hal-hal penting dalam


perkembangan anak.

Rasional : Pengetahuan dari orang terdekat akan membantu anak


dalam mencapai tahapan perkembangan yang sesuai dengan
umurnya.

D. Implementasi
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Jenis tindakan pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling

38
ketergantungan / kolaborasi, dan tindakan rujukan / ketergantungan.
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan.
E. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak
dengan hiperaktif antara lain:
1. Harga diri meningkat
2. Anak dapat mengembangkan hubungan dengan orang lain atau anak lain
3. Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai 7
jam setiap malam
4. Anak mampu mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping
yang sesuai dengan umur dan dapat diterima sosial
5. Anak tidak akan melukai diri sendiri atau orang lain.
6. Anak tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan.

39
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
ADHD adalah istilah popular, kependekan dari attention deficit
hyperactivity disorder, (Attention = perhatian, Deficit = berkurang,
hyperactivity = hiperaktif, dan disorder = gangguan). Atau dalam bahasa
Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif.
ADHD adalah istilah yang diberikan bagi individu yang kurang
mampu memperhatikan, mudah dikacaukan, dengan over aktif, dan juga
impulsive.
ADHD disebabkan oleh faktor genetik, faktor neurologik dan proses
dalam otak, faktor neurotransmitter, faktor psikososial dan faktor lingkungan.
Anak dengan ADHD menunjukkan gejala kurang perhatian, hiperaktivitas
dan impulsivitas.
Masalah keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan ADHD
adalah harga diri rendah situasional, isolasi sosial, gangguan pola tidur,
koping tidak efektif, risiko cedera serta risiko gangguan tumbuh kembang.
B. Saran
Setelah mengetahui banyak hal mengenai ADHD yang telah
dipaparkan dia tas, sudah sepantasnya sebagai mahasiswa calon tenaga
kesehatan mengaplikasikan ilmu tersebut untuk melakukan asuhan
keperawatan pada anak berkebutuhan khusus seperti anak ADHD. Bukanlah
hal yang mudah untuk melakukan asuhan keperawatan pada anak ADHD
mengingat mereka kurang konsentrasi dan memiliki perilaku maladaptif.
Maka dari itu diperlukan pengetahuan yang lebih luas dan ketrampilan yang
mendukung agar dapat melakukan asuhan keperawatan dengan baik.

40
DAFTAR PUSTAKA

41

Anda mungkin juga menyukai