Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder)

Disusun oleh :

1. Ismawati Eka W.D (1041611081/6B)


2. Maria Ulfa (1041611097/6B)
3. Mega Kharisma (1041611100/6B)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


“YAYASAN PHARMASI” SEMARANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah
gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anakanak
sehingga menyebabkan aktivitas anakanak yang tidak lazim dan cenderung
berlebihan. Anak ADHD menunjukkan berbagai keluhan yaitu: perasaan
gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang dan selalu
meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk atau sedang
berdiri. Beberapa gejala lain yang sering terlihat adalah suka meletup-
letup, aktivitas berlebihan dan suka membuat keributan. Tiga gejala pokok
yang sering terlihat pada anak ADHD adalah kesulitan memusatkan
perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas (Davison, et al., 2010).
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah di seluruh dunia
dilaporkan sekitar 3-7% dan di Amerika prevalensi ADHD dilaporkan
sekitar 2-26%. Kejadian ADHD di negara-negara lain bervariasi antara 2-
20% misalnya di Ukraina prevalensi ADHD pada anak sekolah dilaporkan
sebesar 20%. Prevalensi ADHD di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Penelitian yang secara terbatas dilakukan di Jakarta dilaporkan prevalensi
ADHD sebesar 4,2%, paling banyak ditemukan pada anak usia sekolah
dan pada anak laki-laki (Paternotte dan Agra, 2010).
Penyebab pasti dari ADHD sampai saat ini belum ditemukan.
Faktor risiko yang diduga meningkatkan kejadian ADHD adalah genetik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila orang tua mengalami
ADHD, sebagian anak mereka dijumpai mengalami gangguan tersebut.
Faktor risiko lain adalah berbagai zat yang dikonsumsi oleh ibu saat hamil
yaitu tembakau dan alkohol. Riwayat BBLR juga diduga dapat
meningkatkan risiko kejadian ADHD pada anak, meskipun belum
diketahui apakah gejala ADHD akan ada sampai anak menjadi dewasa
(Biederman, et al., 2008).
Faktor riwayat lahir prematur juga diduga meningkatkan kejadian
ADHD dan hal ini diperkuat beberapa penelitian lain yang melaporkan
bahwa 30% anak yang lahir pada usia kehamilan 36 minggu mengalami
ADHD pada usia sekolah. Bayi prematur juga lebih rentan terhadap
masalah perkembangan termasuk ADHD. Faktor risiko lain yang juga
diduga dapat meningkatkan kejadian ADHD tetapi belum banyak
dilakukan penelitian adalah riwayat persalinan dengan ekstrasi forceps.
Faktor riwayat kejang demam juga diduga meningkatkan kejadian ADHD
selain faktor riwayat trauma kepala pada anak. Hasil penelitian lain yang
cukup menarik adalah adanya dugaan bahwa konsumsi makanan manis
dapat meningkatkan kejadian ADHD (Lathi, et al., 2008).
Disease burden ADHD cenderung meningkat karena adanya
kecenderungan peningkatan jumlah kasus. Selain itu beban ADHD pada
orang tua dan keluarga dirasakan cukup berat, baik dari sisi medis,
psikologis, sosial dan finansial. Upaya komprehensif diperlukan untuk
mencegah terjadinya ADHD dan untuk itu diperlukan lebih banyak
penelitian untuk mengetahui faktor risiko yang memicu terjadinya ADHD
(Lathi, et al., 2008).

Para ahli percaya bahwa setidaknya tiga dari seratus anak usia 4-14
tahun menderita ADHD. Orang dewasa juga terpengaruh oleh ADHD,
tetapi kerusakan yang ditimbulkan terhadap kehidupan anak sering kali
jauh lebih besar karena efeknya terhadap keluarga, teman sekelas dan
guru. ADHD dapat menyebabkan anak-anak tidak punya teman, sering
membuat kekacauan di rumah dan di sekolah dan tidak mampu
menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.

Pada kira-kira sepertiga kasus, gejala-gejala menetap sampai


dengan masa dewasa (Townsend, 1998). Hiperaktivitas pada anak
penderita ADHD seringkali mulai menjadi perhatian ketika anak-anak
mulai berjalan. Satu dari tiga anak digambarkan hiperaktif oleh
orangtuanya. Para guru menilai satu dari lima murid mereka hiperaktif.
Bahwa anak dinilai hiperaktif tidak selalu berarti mereka menderita
ADHD. Untuk dapat disebut menderita ADHD, anak hiperaktif perlu
memiliki karakteristik yang lebih banyak.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa terapi yang diberikan terhadap pasien di dalam kasus?
2. Apakah terdapat drug related problem (DRP) dalam pengobatan
ADHD pada kasus?
3. Bagaimana plan kedepannya, jika ada drug related problem (DRP)
dalam pengobatan ADHD pada kasus?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui terapi yang diberikan pasien di dalam kasus dan
plan kedepannya pengobatan ADHD yang akan dijalani pasien.

1.4 Manfaat
Agar pasien mendapatkan terapi untuk ADHD yang tepat dapat
berupa farmakologi dan farmakologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian ADHD


Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah kondisi
neurobiologikal yang dicirikan dengan gejala dari kurangnya perhatian,
hiperaktivitas, dan tindakan yang impulsif. Hal ini biasanya dapat
dideteksi sebelum umur 7 tahun. Penderita ADHD berbicara terlalu
banyak, bahkan sering terlihat tidak mendengarkan saat diajak bicara, dan
cenderung sering mengganggu orang yang sedang beraktivitas (Daley,
2010).
Istilah ini merupakan istilah yang sering muncul pada dunia medis
yang belakanh ini gencar pula diperbincangkan dalam dunia pendidikan
dan psikologi. Istilah ini memberikan gambaran tentang suatu kondisi
medis yang disahkan secara internasional mencakup disfungsi otak,
dimana individu mengalami kesulitan dalam mengendalikan impuls,
meghambat perilaku dan tidak mendukung rentan perhatian mereka. Jika
hal ini terjadi pada seseorang akan dapat menyebabkan kesulitan belajar,
kesulitan berperilaku, kesulitan sosial, dan kesulitan-kesulitan yang
berkaitan.

2.2 Gambaran klinis

ADHD mungkin memiliki onset pada masa bayi. Bayi dengan


ADHD peka terhadap stimuli dan mudah dimarahkan oleh suara, cahaya,
temperatur, dan perubahan lingkungan lain. Kadang-kadang terjadi
kebalikannya, anak-anak tenang dan lemah, banyak tidur, dan tampaknya
berkembang lambat pada bulan-bulan pertama kehidupan. Tetapi, lebih
sering untuk bayi dengan ADHD untuk bersikap aktif di tempat tidurnya,
sedikit tidur, dan banyak menangis.
Anak ADHD jauh lebih jarang dibandingkan anak normal untuk
menurunkan aktivitas lokomotoriknya saat lingkungan mereka terstruktur
oleh batas-batas sosial. Di sekolah, anak ADHD dapat dengan cepat
menyambar ujian tetapi hanya menjawab satu atau dua pekerjaan pertama.
Mereka tidak mampu menunggu giliran dipanggil di sekolah dan
menjawab giliran orang lain. Di rumah, mereka tidak dapat didiamkan
walaupun hanya semenit.

Anak-anak dengan ADHD sering sekali mudah marah secara


meledak. Iritabilitas mereka mungkin ditimbulkan oleh stimuli yang relatif
kecil, yang mungkin membingungkan dan mencemaskan anak. Mereka
seringkali labil secara emosional. Mudah dibuat tertawa atau menangis,
mood dan kinerja mereka cenderung bervariasi dan tidak dapat
diramalkan. Impulsivitas dan ketidakmampuan menunda kegembiraan
adalah karakteristik. Mereka sering kali rentan terhadap kecelakaan
(Kaplan dan Sadock, 1998). Karakteristik anak-anak dengan ADHD yang
tersering dinyatakan dalam urutan frekuensi:

1) Hiperaktivitas

2) Gangguan motorik perseptual

3) Labilitas emosional

4) Defisit koordinasi menyeluruh

5) Gangguan atensi (rentang atensi yang pendek, distraktibilitas, keras hati,


gagal menyelesaikan hal, inatensi, konsentrasi yang buruk)

6) Impulsivitas (bertindak sebelum berpikir, mengubah perilaku denga tiba-


tiba, tidak memiliki organisasi, meloncat-loncat di sekolah)

7) Gangguan daya ingat dan pikiran

8) Ketidakmampuan belajar spesifik


9) Gangguan bicara dan pendengaran

10) Tanda neurologis dan iregularitas EEG yang samar-samar.

Kira-kira 75 persen anak-anak dengan ADHD hampir konsisten


menunjukkan perilaku agresi dan menantang. Tetapi, bilamana menantang
dan agresi berkaitan dengan hubungan dalam keluarga yang merugikan,
hiperaktivitas lebih erat berhubungan dengan gangguan kinerja pada tes
kognitif yang memerlukan konsentrasi. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa beberapa sanak saudara dari anak-anak hiperaktivitas menunjukkan
ciri-ciri gangguan kepribadian antisosial.

2.3 Epidemiologi ADHD


ADHD adalah salah satu alasan dan masalah kanak-kanak yang
paling umum mengapa anak-anak dibawa untuk diperiksa oleh para
professional kesehatan mental. Konsensus professional menyatakan bahwa
kira-kira 30,5% atau sekitar 2 juta anak-anak usia sekolah mengidap
ADHD (Martin, 1998). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 5%
dari populasi usia sekolah sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh
ADHD, yaitu sekitar 1 % sangat hiperaktif. Sekitar 30-40% dari semua
anak-anak yang diacu untuk mendapatkan bantuan professional karena
masalah perilaku, datang dengan keluhan yang berkaitan dengan ADHD
(Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).
Di beberapa negara lain, penderita ADHD jumlahnya lebih tinggi
dibandingkan dengan di Indonesia. Literatur mencatat, jumlah anak
hiperaktif di beberapa negara 1:1 juta. Sedangkan laporan tentang insiden
ADHD di Amerika Serikat adalah bervariasi dari 2 sampai 20 persen anak-
anak sekolah dasar. Jika dihitung keseluruhan, jumlah anak hiperaktif di
Amerika Serikat adalah 1:50. Jumlah ini cukup fantastis karena bila
dihitung dari 300 anak yang ada 15 di antaranya menderita hiperaktif. Di
Inggris, insidensi dilaporkan lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat,
kurang dari 1 persen. Untuk Indonesia sendiri belum diketahui jumlah
pastinya. Namun, anak hiperaktif cenderung meningkat.
Anak laki-laki memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan
anak perempuan, dengan rasio 3 berbanding 1 sampai 5 berbanding 1.
Gangguan paling sering ditemukan pada anak laki-laki yang pertama.
Orangtua dari anak-anak dengan ADHD menunjukkan peningkatan
insidensi hiperkinesis, sosiopati, gangguan penggunaan alkohol, dan
gangguan konversi. Walaupun onset biasanya tidak dibuat sampai anak
dalam sekolah dasar dan situasi belajar yang terstruktur mengharuskan
pola perilaku yang terstruktur, termasuk rentang perhatian dan konsentrasi
yang sesuai dengan perkembangannya (Baihaqi dan Sugiarmin, 2006).

2.4 Diagnosis ADHD


Tanda utama hiperaktivitas harus menyadarkan klinisi tentang
kemungkinan ADHD. Riwayat pranatal yang terinci tentang pola
perkembangan anak dan pengamatan langsung biasanya menemukan
aktivitas motorik yang berlebihan. Hiperaktivitas tidak merupakan
manifestasi perilaku yang tersendiri, singkat, dan transien di bawah stres
tetapi ditemukan selama waktu yang lama.
Dalam mendiagnosis ADHD, kita mengenal yang namanya
Diagnostic and Statustical Manual of Mental Disorders (DSM). Terdapat
perkembangan pemahaman mengenai ADHD dari tahun ke tahun, hingga
sampai ke DSM-IV yang sekarang umum digunakan. DSMIV membagi
ADHD kedalam 3 tipe, yaitu lalai (inattentive), hiperaktif-impulsif, dan
gabungan keduanya. Kriteria dari tiap tipe DSM-IV membutuhkan 6 - 9
gejala di setiap kategorinya. Tipe gabungan adalah yang paling sering
yaitu sekitar 50%-70% dari seluruh jumlah penderita ADHD, diikuti tipe
lalai 20%-30%, dan tipe hiperaktif-impulsif <15%. Gejala dari ADHD tipe
lalai yang paling sering adalah individu mudah diganggu, sulit untuk
mempertahankan perhatian, dan kesulitan dalam usaha mental yang
berkelanjutan. Sedangkan, gejala ADHD tipe hiperatif-impulsif adalah
individu sering berkata tanpa berfikir terlebih dahulu, suka menyela dan
mengganggu, serta gelisah. Anak-anak, remaja, dan orang dewasa dengan
ADHD tipe lalai lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan pria dan
memiliki lebih sedikit masalah emosional dan perilaku dibandingkan
dengan tipe lainnya. Namun, remaja dengan ADHD tipe lalai memiliki
penurunan akademik yang lebih besar dibandingkan dengan remaja
dengan ADHD tipe hiperatif-impulsif (Spencer, et al., 2007).

2.5 Klasifikasi ADHD

Karena simtom-simtom ADHD bervariasi, DSM-IV-TR


mencantumkan tiga subkategori, yaitu:

1. Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah utamanya adalah


rendahnya konsentrasi.

2. Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang masalah utamanya


diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif.

3. Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah


diatas.

Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki


tingkat aktivitas yang sesuai dengan tahap perkembangannya, tampak sulit
memfokuskan perhatian atau lebih lambat dalam memproses informasi,
mungkin berhubungan dengan masalah pada daerah frontal atau striatal
otak. Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak
mengerjakan tugas disekolah, kelemahan kognitif, rendahnya prestasi, dan
prognosis jangka panjangnya lebih baik. Berbeda dengan anak yang
mengalami gangguan tingkah laku, mereka bertingkah disekolah dan
dimana pun, dan kemungkinan jauh lebih agresif, serta mungkin
memilikiorang tua yang antisosial (Tannock,1998).
2.6 Etiologi ADHD

Etiologi dari ADHD masih belum jelas sampai sekarang. Menurut


dugaan, terdapat hubungan antara genetik dan faktor neurologikal yang
memainkan peran penting dalam terjadinya ADHD. Faktor etiologi lain
yang dikatakan memiliki kontribusi dalam menyebabkan ADHD adalah
sebagai berikut :
1. Faktor Biologi
Diet, kontaminasi rokok dan alkohol, merokok saat hamil, dan
berat bayi lahir rendah (BBLR) dipercaya dapat mengarahkan kepada
gejala ADHD. Namun, bukan termasuk penyebab utama dari ADHD.
Kehamilan dan komplikasi saat melahirkan merupakan predisposisi
terhadap ADHD.
2. Faktor Psikologis
Konflik kronis dalam keluarga, kohesi keluarga yang menurun, dan
paparan terhadap psikopatologi orang tua (terutama ibu) banyak
ditemukan pada keluarga ADHD dibandingkan pada keluarga normal. Saat
ini masih belum jelas apakah paparan kekerasan saat masa kecil
merupakan faktor resiko dari ADHD.
3. Faktor genetik
Genetik sangat dipercaya memainkan peran penting terhadap
terjadinya ADHD. Berdasarkan dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan, rata-rata faktor genetik mempengaruhi terjadinya ADHD
adalah sebesar 77% (Spencer, et al., 2007).

2.7 Penatalaksanaan terapi ADHD

2.7.1. Farmakoterapi
Agen farmakologis untuk ADHD adalah stimulan sistem saraf pusat,
terutama dextroamphetamine (Dexedrine), methylphenidate, dan Pemoline
(Cylert). Food ang Drug Administration (FDA) mengizinkan
dextroamphetamine pada anak berusia 3 tahun dan lebih dan methylphenidate
pada anak berusia 6 tahun dan lebih; keduanya adalah obat yang paling sering
digunakan.

Mekanisme kerja yang tepat dari stimulan tetap tidak diketahui.


Pendapat respos paradoksikal oleh anak tidak lagi diterima. Methylphenidate
telah terbukti sangat efektif pada hampir tigaperempat anak dengan ADHD
dan memiliki efek samping yang relatif kecil. Methylphenidate edalah
medikasi kerja singkat yang biasanya digunakan secara efektif selama jam-jam
sekolah, sehingga anak dengan gangguan defisit-atensi/ hiperaktivitas dapat
memerhatikan tugasnya dan tetap di dalam ruang kelas. Obat telah
ditunjukkan memperbaiki skor anak hiperaktif pada tugas yang membutuhkan
kegigihan, seperti tugas kinerja kontinu dan asosiasi berpasangan. Efek
samping obat yang paling sering adalah nyeri kepala, nyeri lambung, mual,
dan insomnia. Beberapa anak mengalami efek “rebound”, di mana mereka
menjadi agak mudah marah dan tampak agak hiperaktif selama waktu yang
singkat saat medikasi dihentikan.

Obat golongan anti depresan juga dikatakan memiliki efek untuk anak
ADHD. Golongan SSRI (Serotonin Spesific Reuptake Inhibitor), misalnya
fluoxettine yang diberikan dengan dosis 0,6 mg/kg BB memberikan respon
sekitar 58% pada anak usia 7-15 tahun. Golongan MAOI (Monoamin
Oksidase Inhibitor) seperti moclobemide dengan dosis 3-5 mg/kg BB/hari
dibagi dua dosis pemberian. Obat baru yang secara struktural berbeda dengan
psikostimulan dan antidepresan trisiklik adalah atomoxetine. Mekanisme kerja
obat ini adalah memblokir transporter nonadrenergik dengan sangat selektif.
Pemakaian dosis 1,8 mg/kg terbukti efektif dalam mengurangi gejala inatensi
dan hiperaktif/impulsif pada anak dan remaja dalam pemakaian 1 minggu.
Efek samping atomoxetine seperti napsu makan menurun dan peningkatan
tekanan darah relatif lebih ringan (Wiguna T, 2010).
Obat golongan antipsikotik atipikal seperti risperidone dapat
digunakan untuk menurunkan perilaku hiperaktif dan agresivitas. Penelitian
untuk obat ini masih belum banyak dilakukan. Pemberian obat antikonvulsan
juga sering dilakukan untuk mengurangi gejala ADHD. Karbamazepin
dianggap sebagai pengobatan yang efektif untuk agresi pada anak-anak,
sedangkan sodium divalproat terbutki efektif dalam mengobati gangguan
mood (Kay dan Tasman, 2006).

2.7.2. Psikoterapi
Pada psikoterapi individual, modifikasi perilaku, konseling orang tua, dan
terapi tiap gangguan beajar yang meneyertai mungkin diperlukan. Jika
menggunakan medikasi, anak dengan ADHD harus diberikan kesempatan
untuk menggali arti medikasi bagi mereka. Dengan melakukan hal itu akan
menghilangkan kekeliruan pengertian (seperti, “saya gila”) tentang pemakaian
medikasi dan menjelaskan bahwa medikasi hanya sebagai tambahan. Anak-
anak harus mengerti bahwa mereka tidak perlu selalu sempurna.

Jika anak-anak dengan ADHD dibantu untuk menyusun lingkungannya,


kecemasan mereka menghilang. Dengan demikian, orang tua dan guru mereka
harus membangun struktur hadiah atau hukuman yang dapat diperkirakan,
dengan menggunakan model terapi perilaku dan menerapkannya pada
lingkungan fisik, temporal, dan interpersonal. Persyaratan yang hampir
universal untuk terapi adalah membantu orang tua untuk menyadari bahwa
sikap serba mengizinkan adalah tidak membantu bagi anak-anak mereka.
Orang tua harus juga dibantu untuk menyadari bahwa, walaupun ada
kekurangan pada anak-anak mereka dalam beberapa bidang, mereka
menhadapi tugas maturasi yang normal, termasuk perlu mengambil tanggung
jawab atas tindakan mereka. Dengan demikian, anak-anak dengan ADHD
tidak mendapatkan manfaat dari dibebaskan dari persyaratan, harapan, dan
perencanaan yang berlaku untuk anak lain.
2.7.3. Terapi Bermain

Terapi bermain sering digunakan untuk menangani anak-anak dengan


ADHD. Melalui proses bermain anak-anak akan belajar banyak hal,
diantaranya :

1. Belajar mengenal aturan

2. Belajar mengendalikan emosi

3. Belajar menunggu giliran

4. Belajar membuat perencanaan

5. Belajar beberapa cara untuk mencapai tujuan melalui proses bermain

2.7.4. Terapi Back in Control

Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa cara terbaik untuk


menangani anak dengan ADHD adalah dengan mengkombinasikan beberapa
pendekatan dan metode penanganan. Program terapi “Back in Control”
dikembangkan oleh Gregory Bodenhamer. Program ini berbasis pada sistem
yang berdasar pada aturan, jadi tidak tergantung pada keinginan anak untuk
patuh. Program ini lebih cenderung ke sistem training bagi orang tua yang
diharapkan dapat menciptakan sistem aturan yang berlaku di rumah sehingga
dapat mengubah perilaku anak.

Demi efektivitas program, sebaiknya orang tua bekerja sama dengan pihak
sekolah untuk melakukan proses yang sama bagi anaknya ketika dia di
sekolah. Orang tua harus selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara
berkelanjutan dan konsisten atas program yang dijalankan. Begitu juga ketika
program ini dilaksanakan bersama-sama dengan pihak sekolah maka orang
tua sangat memerlukan keterlibatan guru dan petugas di sekolah untuk
melakukan proses monitoring dan evaluasi. Dalam program ini, yang harus
dilakuan orangtua adalah :

1. Definisikanlah aturan secara jelas dan tepat. Buat aturan sejelas mungkin
sehingga pengasuh pun dapat mendukung pelaksanaan tanpa banyak
penyimpangan.

2. Jalankan aturan tersebut dengan ketat

3. Jangan memberi imbalan atau hukuman atas tanggapan terhadap aturan


itu. Jalankan saja sesuai yang sudah ditetapkan

4. Jangan pernah berdebat dengan anak tentang sebuah aturan. Gunakan kata-
kata kunci yang tidak akan diperdebatkan.
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Identitas pasien
Nama Tn. X
Usia 23 tahun
Jenis kelamin Laki-laki
Pekerjaan Supir
IQ Diatas rata-rata

3.2 Keluhan pasien

Pada saat pasien ke dokter, pasien mengeluhkan beberapa keluhan, antara


lain:

a) Kurangnya perhatian
b) Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
c) Suasana hati yang jelek
d) Nafsu makan berkurang
e) Pasien melaporkan bahwa tidak mampu melakukan hal-hal yang
diinginkan dan sulit dalam mengambil keputusan, sulit memulai dan
menyelesaikan masalah dan sering melanggar peraturan lalu lintas.
f) Mudah lelah
g) Penurunan minat dalam kegiatan yang menyenangkan

3.3 Riwayat pasien


3.3.1 Riwayat masa kecil
a) Mengalami permasalahan akademik dan perilaku.
b) Memiliki riwayat lalai dan enam gelaja hiperaktif impuls ADHD
selama SD
c) Mengalami kesulitan untuk berdiri lama
d) Memiliki gejala DSM IV yang mengungkap lalai dan hiperaktif
3.3.2 Riwayat keluarga
Ada riwayat keluarga yang positif untuk penyakit kejiwaan dan ADHD.

3.4 Riwayat terapi pasien


Pasien diberikan obat stimulan SSP yaitu methylphenidate dengan
meningkatkan dosisnya sekali sehari yang dimulai pada dosis 10 mg,
kemudian dosis ditingkatkan menjadi 20 mg pada hari ketiga.

3.5 Drug related problem pasien


Secara farmakologi :
1. Pemberian terapi stimulan yaitu methylphenidate sudah tepat,
karena merupakan first line untuk ADHD.
2. Awal pemberian methylphenidate 1 x sehari 10 mg, seharusnya
diberikan 3 x sehari 5 mg untuk obat tablet lepas segera.
Mekanisme kerja : Merangsang secara ringan ssp dengan menghambat
ambilan dopamin dan noreprinefrin, yang efeknya lebih terlihat pada
aktivitas mental daripada aktivitas motorik.

3.6 Plan terapi untuk pasien


3.6.1 Plan terapi farmakologi / psikofarmaka
Menaikkan dosis methylphenidate yang mempertimbangkan gelaja
dan efek sampingnya selama 4-6 minggu serta respon pasien, dengan dosis
maksimal 100 mg (NICE Guideline, 2016).

3.6.2 Plan terapi non farmakologi


1. Dengan psiko-edukasi khusus untuk pasien ADHD dan keluarga (Geffen
dan Forster, 2018).
2. ADHD-tailored CBT (biasanya ini membangun keterampilan dan rutinitas
yang berfokus pada organisasi, prioritas dan manajemen waktu (Geffen
dan Forster, 2018).
3. Terapi perilaku klinis (training dalam pemecahan masalah dan
keterampilan sosial) (Wahidah, E. Y., 2018).
4. Pengobatan kognitif-perilaku (misalnya self-monitoring, verbal diri
instruksi, pengembangan strategi pemecahan masalah, self-reinforcement)
(Wahidah, E. Y., 2018).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada kasus, obat pilihan pada ADHD dewasa adalah
methylphenidate. Pada jurnal, pasien menunjukkan peningkatan yang
signifikan dalam gejala ADHD, suasana hatinya dan fungsi sosial-
pekerjaannya. Selain dengan terapi psikofarmaka, kedepannya pasien
diharapkan mengikuti terapi psikolog.
DAFTAR PUSTAKA

Davison, Gerald C dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada.

Kaplan, M.D., Halord I, Sadock, M.D., Benjamin J., Grebb, M.D., Jack A. 2010.
Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Terjemahan Dr. Widjaja Kusuma. Tangerang: Binarupa
Aksara.

Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak. Jakarta : Indeks

Spencer TJ, Biederman J, Mick E. 2007. Attentiondeficit/ hyperactivity disorder:


diagnosis, lifespan, comorbidities, and neurobiology. Ambulatory Pediatrics
Association.;7(1).

Dupaul GJ, Weyandt LL, Dell SMO, Varejao M. 2009. Current status and future
directions. J Atten Disord. 13(3).
Daley D. 2010. ADHD and academic performance: why does ADHD impact on
academic performance and what can be done to support ADHD children in the
classroom? Blackwell Publ Ltd. 36(4).
Weyandt LL, Dupaul GJ. 2008. ADHD in college students: developmental
findings. Developmental Disabilities.14.
Kay dan Tasman. 2006. Childhood disorders: Attention deficit and Disruptive
Behavior Disorders. John Wiley & Sons: Essentials of Psychiatry
Wiguna T. 2010. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif. Jakarta : FKUI
National Institute for Health and Care Excellence [NICE] guidelines for the
treatment of adult ADHD; 2008. Available from:
https://www.nice.org.uk/guidance/cg72. Akses Maret, 2019.
Wahidah, E. Y., 2018. Identifikasi dan Psikoterapi terhadap ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder) Perspektif Psikologi Pendidikan Islam
Kontemporer. Yogyakarta : Jurnal Studi Agama. Vol 17(2).
Geffen dan Forster, 2018. Treatment of adult ADHD: a clinical perspective.
Therapeutic Advances in Psychopharmacolog. Vol 8(1).

Anda mungkin juga menyukai