KEPERAWATAN ANAK
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak
Oleh
Kelompok 1/E :
Maya Indah Mulyani 162310101266
Emha Ayu Leganing 162310101267
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. Tinjuan Pustaka
1.1 Definisi
ADHD merupkan singktan dari attention deficit hyperactivity disorder,
(Attention = perhatian, Deficit = berkurang, Hyperactivity = hiperaktif, dan
Disorder = gangguan). Dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti gangguan
pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Sebelumnya, pernah ada istilah ADD,
singkatan dari attention deficit disorder yang berarti gangguan pemusatan
perhatian. Pada saat ditambahkan 'hiper-activity/hiper-aktif’ penulisan
istilahnya menjadi beragam. Ada yang ditulis ADHD, AD-HD, ada pula yang
menulis ADD/H. Tetapi, sebenarnya dari tiga jenis penulisan istilah itu,
maksudnya sama.
Istilah ini merupakan istilah yang sering muncul pada dunia medis yang
belakangan ini gencar pula diperbincangkan dalam dunia pendidikan dan
psikologi. lstilah ini memberikan gambaran tentang suatu kondisi medis yang
disahkan secara internasional mencakup disfungsi otak, di mana individu
mengalami kesulitan dalam mengendalikan impuls, menghambat perilaku,
dan tidak mendukung rentang perhatian atau rentang perhatian mudah
teralihkan. Jika hal ini terjadi pada seorang anak dapat menyebabkan berbagai
kesulitan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan sosial, dan kesulitan-
kesulitan lain.
Jadi, jika didefinisikan, secara umum ADHD menjelaskan kondisi anak-
anak yang memperlihatkan simtom-simtom (ciri atau gejala) kurang
konsentrasi, hiperaktif,dan impulsif yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan sebagian besar aktivitas hidup mereka.
Kenyataannya, ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan
hiperaktif. Oleh karena itu, makna istilah ADHD di Indonesia, lazimnya
diterjemahkan menjadi Gangguan Pemusatan Perhatian dengan/tanpa
Hiperaktif (GPP/H). Anak yang mengalami ADHD atau GPP/H kerap kali
tumpang tindih dengan kondisi-kondisi lainnya, seperti disleksia (dyslexia),
dispraksia (dyspraxsia), gangguan menentang dan melawan (oppositional
defiant disorderlODD).
ADHD merupakan suatu kelainan perkembangan yang terjadi pada masa
anak dan dapat berlangsung sampai masa remaja. Gangguan perkembangan
tersebut berbentuk suatu spectrum, sehingga tingkat kesulitannya akan
berbeda dari satu anak dengan anak yang lainnya. Dalam kaitannya dengan
pengertian ADHD ini, sekilas dapat dilihat dari perjalanan ditemukannya
gangguan ini.
1.2 Epidemiologi
Anak-anak ADHD didapatkan pada semua golongan sosio ekonomi dan
lebih sering didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan (dengan
perbandingan 3-6 kali lebih banyak). Onset timbulnya gejala ADHD sebelum
usia 7 tahun. Prevalensi anak ADHD berkisar antara 3-10% pada anak-anak
usia sekolah, dan 35- 50% kasus ADHD dapat berlanjut ke masa remaja atau
dewasa. Dari 34 juta kasus ADHD di USA, Eropa dan Jepang, diperkirakan
31% menjadi kasus ADHD dewasa (usia > 19 tahun) dan 69% kasus ADHD
pada usia 3-19 tahun. Penelitian longitudinal telah membuktikan bahwa
sebanyak 2/3 dari anak- anak ADHD memiliki gejala ADHD yang
mengganggu ketika mereka menjadi dewasa. Penelitian pada orang-orang
dewasa yang ditemukan secara klinis dengan serangan ADHD masa kanak-
kanak yang didefinisikan secara retrospektif menunjukkan bahwa mereka
memiliki sebuah pola ketidakmampuan psikososial, komorbiditas kejiwaan,
disfungsi neuropsikologis, penyakit familial, dan gagal sekolah yang
menyerupai ciri-ciri anak-anak ADHD.
1.3 Etiologi
ADHD memiliki tiga masalah pokok yaitu kesulitan dalam perhatian
berkelanjutan, pengendalian atau penghambatan impuls, kegiatan berlebihan.
Beberapa peneliti menambahkan masalah-masalah lain seperti kesulitan
mematuhi peraturan dan instruksi, adanya variabilitas berlebih dalam
berespon situasi, khususnya pekerjaan sekolah. Singkatnya ADHD
merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan
ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi
tindakan dan keputusan masa depan. Anak yang mengidap ADHD relative
tidak mampu menahan diri untuk merespon situasi pada saat tertentu. Mereka
biasanya tidak bisa untuk menunggu. Penyebabnya diperkirakan karena
mereka memiliki sumber biologis yang kuat yang ditemukan pada anak-anak
dengan predisposisi keturunan.
Beberapa penelitian belum dapat menyimpulkan penyebab pasti ADHD.
Seperti halnya dengan gangguan perkembangan lainnya (autisme), beberapa
faktor yang berperan dalam timbulnya ADHD adalah faktor genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat
kecerdasan (IQ), terjadi disfungsi metabolisme, hormonal, lingkungan fisik
dan sosial sekitar, asupan gizi, dan orang-orang dilingkungan sekitar
termasuk keluarga. beberapa teori yang sering dikemukakan adalah hubungan
antara neurotransmitter dopamin dan epinepharine. Teori faktor genetik,
beberapa penelitian dilakukan bahwa pada keluarga penderita, selalu disertai
dengan penyakit yang sama setidaknya satu orang dalam keluarga dekat.
Orang tua dan saudara penderita ADHD memiliki resiko hingga 2-8 kali
terdapat gangguan ADHD. Teori lain menyebutkan adanya gangguan
disfungsi sirkuit neuron di otak yang dipengaruhi oleh berbagai gangguan
neurotransmitter sebagai pengatur gerakan dan kontrol aktifitas diri.
Barkley (1998) menyatakan bahwa faktor psikososial dapat menyebabkan dan
memperburuk gejala ADHD. Beberapa faktor yang diduga berhubungan atau
sebagai penyebab ADHD antara lain :
a. Faktor Genetik
Studi-studi pada keluarga secara konsisten mendukung pernyataan bahwa
ADHD diwariskan dalam keluarga. Studi-studi ini menemukan bahwa
orang tua dengan anak- anak ADHD memiliki peningkatan dua hingga
delapan kali lipat untuk resiko ADHD. Sehingga, mereka menegaskan
adanya faktor genetik pada ADHD dan sekaligus menyediakan bukti-
bukti untuk validitas diagnosisnya pada orang dewasa.
Untuk kelainan-kelainan baik dalam jumlah maupun struktur kromosom
biasanya mengarah kepada gangguan dengan manifestasi klinis yang lebih
buruk (misalnya perlambatan mental dan cacat fisik). Sekalipun belum
banyak studi-studi sistematik dari kelainan kromosomal pada ADHD,
namun ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa kelainan kromosom
tersebut juga berasosiasi dengan timbulnya hiperaktivitas dan/ atau defisit
perhatian, yang diantaranya meliputi sindrom fragile X, duplikasi
kromosom Y pada anak laki-laki, dan hilangnya sebuah kromosom X
pada perempuan.
b. Faktor Neurologis
Hasil penelitian 10-15 tahun akhir- akhir ini mendukung adanya pengaruh
gangguan perkembangan neurologis yang mempengaruhi timbulnya
gejala ADHD. Penelitian dengan CT Scan dan MRI telah membuktikan
bahwa ada beberapa tempat di otak yang berfungsi abnormal pada
individu dengan ADHD yakni meliputi regio cortex prefrontalis, cortex
frontalis, cerebellum, corpus callosum dan dua daerah ganglia basalis
yakni globus pallidus dan nucleus caudatus.
Demikian juga dari hasil pemeriksaan PET Scan (Positron
EmissionTomography) pada anak-anak ADHD didapatkan penurunan
metabolisme glukose di korteks prefrontal dan frontal terutama sebelah
kanan. Penelitian dari National Institute of Mental Health di USA telah
menunjukkan bahwa area globus pallidus dan nucleus caudatus secara
bermakna lebih kecil pada anak ADHD daripada anak normal. Nucleus
caudatus dan globus pallidus berfungsi melakukan koordinasi lalu lintas
transmisi rangsang saraf pada berbagai area di korteks. Ternyata
didapatkan juga volume area korteks prefrontal lebih kecil pada anak
ADHD daripada anak normal. Beberapa anak menunjukkan kelambatan
perkembangan otak (maturational delay) pada anak ADHD yang biasanya
tampak gejalanya pada usia 5 tahun. Perkembangan otak yang normal,
biasanya menunjukkan pertumbuhan secara cepat terjadi pada usia 3-10
bulan, 2-4 tahun, 6-8 tahun, 10- 12 tahun dan 14-16 tahun.
c. Faktor Psikososial
Palfrey et al 1985, Barkley 1998 menunjukkan hasil penelitiannya bahwa
pendidikan ibu yang rendah, kelas sosio- ekonomi yang rendah, dan
orangtua tunggal (single parenthood) adalah faktor yang penting sebagai
penyebab timbulnya gejala ADHD. Hasil penelitiannya menyatakan
bahwa ibu-ibu dari anak-anak dengan ADHD menunjukkan pola
komunikasi yang lebih buruk dengan anak, lebih sering marah, dan lebih
sering terjadi konflik dengan anak dibanding ibu-ibu dari anak yang
normal. Biederman et al, 1995 menyatakan bahwa konflik yang khronis,
keakraban keluarga yang menurun, adanya kelainan psikopatologis
orangtua terutama ibunya, lebih sering terjadi pada keluarga anak ADHD
dibanding keluarga anak yang normal.
Meskipun banyak studi menyediakan bukti yang kuat akan pentingnya
ketidakcocokan psikososial terhadap ADHD, faktor-faktor ini cenderung
untuk muncul sebagai prediktor universal dari kesehatan emosional dan
pemfungsian adaptif anak-anak, bukan prediktor-presdiktor yang spesifik
pada ADHD. Sehingga, faktor-faktor tersebut dapat dikonseptualkan
sebagai pemicu non spesifik yang mempengaruhi jalur/ perjalanan
penyakit ini.
1.4 Identifikasi
Seperti telah di kemukakan sebelumnya bahwa tidak mudah untuk
membedakan penyandang ADHD terutama yang tergolong ringan dengan
anak normal yang sedikit lebih aktif dibanding anak yang lainnya. Tidak ada
tes untuk mendiagnosa secara pasti jenis gangguan ini, mengingat gejalanya
bervariasi tergantung pada usia, situasi, dan lingkungan. Hal ini menunjukan
ADHD merupakan suatu gangguan yang kompleks berkaitan dengan
pengendalian diri dalam berbagai variasi gangguan tingkah laku. Variasi
gangguan ini seperti dikatakan oleh Lauer (1992) bahwa secara umum
gangguan pemusatan perhatian berkaitan dengan gangguan tingkah laku dan
aktivitas kognitif, seperti misalnya berpikir, mengingat, menggambar,
merangkum, mengorganisasikan dan lain-lain.
Berikut ciri ADHD, dimana ciri-ciri ini muncul pada masa kanak-kanak
awal, bersifat menahun, dan tidak diakibatkan oleh kelainan fisik yang lain,
mental, maupun emosional. Ciri utama individu dengan gangguan pemusatan
perhatian meliputi: gangguan pemusatan perhatian (inattention), gangguan
pengendalian diri (impulsifitas), dan gangguan dengan aktivitas yang
berlebihan (hiperaktivitas). Dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.5 Klasifikasi
Ciri-ciri ADHD muncul pada masa kanak-kanak awal, bersifat menahun,
dan tidak diakibatkan oleh kelainan fisik yang lain,mental, maupun
emosional. Ciri utama individu dengangangguan pemusatan perhatian
meliputi: gangguan pemusatan perhatian (inattention), gangguan
pengendalian diri impulsivity), dan gangguan dengan aktivitas yang
berlebihan (hiperactivity). Kebanyakan anak dengan ADHD mempunyai tipe
kombinasi terdapat 3 subtipe ADHD, yaitu :
1. Predominan hiperaktif-impulsif (ADHD/HI): Simtom terbanyak (>6) ialah
kategori hiperaktif-impulsif; <6 simtom inatensi.
2. Predominan inatensi: Simtom terbanyak (>6) ialah kategori inatensi dan
<6 simptom dari hiperaktif-impulsif. Anak dengan subtipe ini kurang
berperan atau mempunyai kesulitan bersama dengan anak lain. Mereka
duduk tenang, tetapi tidak memberikan perhatian kepada apa yang
dilakukan. Orang tua mungkin tidak memperhatikan simtom ADHD.
3. Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatensi: >6 simtom inatensi dan >
simtom hiperaktif-impulsif.
1.6 Patofisiologi
Penyebab pasti dari ADHD belum diketahui. Namun dikatakan bahwa
area kortek frontal, seperti frontrosubcortical pathways dan bagian frontal
kortek itu sendiri, merupakan area utama yang secara teori bertanggung jawab
terhadap patofisiologi ADHD. Mekanisme inhibitor di kortek, sistem limbik,
serta sistem aktivasi retikular juga dipengaruhi. ADHD dapat mempengaruhi
sebagian atau seluruh area ini sehingga muncul tipe dan profil yang berbeda
dari ADHD. Sebagaimana yang diketahui bahwa lobus frontal berfungsi untuk
mengatur agar pusat perhatian pada perintah, konsentrasi yang berfokus,
membuat keputusan yang baik, membuat suatu rencana, belajar dan mengingat
apa yang telah kita pelajari, serta dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang
tepat. Mekanisme inhibisi di kortek berfungsi untuk mencegah agar kita tidak
hiperaktif, berbicara sesutau yang tidak terkontrol, serta marah pada keadaan
yang tidak tepat.
Pada saat mekanisme inhibitor dari otak tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya maka hasilnya adalah apa yang disebut dengan “dis-
inhibitor disorder” seperti perilaku impulsif, quick temper, membentuk
keputusan yang buruk, hiperaktif, dan lain-lain. Sedangkan sistem limbik
mengatur emosi dan kewaspadaan seseorang. Bila sistem limbik teraktivasi
secara berlebihan, maka seseorang memiliki mood yang labil, temperamen
yang meledak-ledak, menjadi mudah terkejut, selalu menyentuh apapun yang
ada disekitarnya, memiliki kewaspadaan berlebihan. Sistem limbik yang
normal mengatur perubahan emosional yang normal, level energi normal,
rutinitas tidur nirmal, dan level stres yang normal. Disfungsi dari sistemlimbik
mengakibatkan terjadinya masalah pada hal tersebut.
Beberapa data mendukung hal ini yaitu pemeriksaan MRI pada kortek
prefrontal mesial kanan penderita ADHD menunjukkan penurunan aktivasi.
Selama pemeriksaan juga terlihat hambatan respon motorik yang berasal dari
isyarat sensorik. MRI pada penderita ADHD juga menunjukkan aktivitas yang
melemah pasa korteks prefrontal inferior kanan dan kaudatum kiri.
Neurotransmiter utama yang terindentifikasi lewat fungsi lobus frontal adalah
katekolamin. Neurotranmisi dopaminergik dan noradrenergik terlihat sebagai
fokus utama aktifitas pengobatan yang digunakan untuk penanganan ADHD.
Domapamin merupakan zat yang bertanggung jawa pada tingkah laku dan
hubungan sosial, serta mengontrol aktivitas fisik. Norepinefrin berkaitan
dengan konsentrasi, memusatkan perhatian, dan perasaan. Dukungan terhadap
peranan norepinefrin dalam menimbulkan ADHD juga ditunjukkan dari hasil
penelitian yang menyatakan adanya peningkatan kada norepinefrundengan
penggunaan stimulan dan obat lain seperti desipramine efektif dalam
memperbaiki gejala dari ADHD. Pengurangan gejala juga terlihat setelah
penggunaan monoamine, oxidase inhibitor, yang mengurangi pemecahan
terhadap norepinefrin sehingga kadar norepinefrin tetap tinggi dan
menyebabkan gejala ADHD berkurang.
1.7 Pathway
Kontrol
Dis-inhibitor disorder emosi labil
Mood labil,
temperamen buruk,
Perilaku implusif, mudah terkejut,
hiperaktif cemas berlebih
ansietas
Tidur terganggu,
stres meningkat
Risiko keletihan
cedera
Stres Ketidak
berlebihan efektifan
Gangguan koping
pola tidur
1.8 Pemeriksaan
a. Anamnesis
Riwayat penyakit sekarang sesuai dengan kriteria ADHD berdasarkan
DSM IV.
Riwayat penyakit dahulu:
Temukan adanya riwayat pemakaian obat-obatan yang memiliki interaksi
negatif dengan ADHD atau pengobatannya seperti: antikonvulsan,
antihipertensi, obat yang mengandung kafein, pseudoefedrin, monoamin
oxidase inhibitors (MAOIs). Temukan pula adanya penyakit yang
memiliki interaksi negatif dengan ADHD atau pengobatannya seperti:
penyakit arterial (mayor), glaukoma sudut sempit, trauma kepala, penyakit
jantung, palpitasi, penyakit hati, hipertensi, kehamilan, dan penyakit ginjal.
Temukan pula adanya kelainan psikiatrik karena 30-50% penderita ADHD
disertai dengan kelainan psikiatrik. Adapun kelainan psikiatrik yang
dimaksud antara lain: gangguan cemas, gangguan bipolar, gangguan
perilaku, depresi, gangguan disosiasi, gangguan makan, gangguan cemas
menyeluruh, gangguan mood, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
panik atau tanpa agorafobia, gangguan perkembangan
perfasif,Posttraumatic stress disorder (PTSD), psikotik, fobia sosial,
gangguan tidur, penyalahgunaan zat, sindrom Tourette’s atau gangguan
Tic, dan komorbiditas somatik (tidak ada komorbiditas somatik yang
berhubungan dengan ADHD).
Riwayat keluarga
Temukan adanya anggota keluarga lain yang menderita ADHD atau
mengalami gejala seperti yang tercantum dalam kriteria DSM IV.
Riwayat sosial
Meliputi: interaksi antar anggota keluarga, masalah dengan hukum,
keadaan di sekolah, dan disfungsi keluarga.
b. Pemeriksaan fisik :
Perlu observasi yang baik terhadap perilaku penderita ADHD karena pada
penderita ADHD menunjukkan gejala yang sedikit pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi : tanda vital, tinggi badan, berat
badan, tekanan darah dan nadi. Pemeriksaan fisik umum termasuk
penglihatan, pendengaran dan neurologis. Tidak ada pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang spesifik untuk ADHD. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan secara seksama, mungkin dapat membantu dalam menegakkan
diagnosa, dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
c. Pemeriksaan psikologis (mental)
Terdiri dari pemeriksaan terhadap kesan umum berupa refleksi menghisap,
kontrol impuls, dan state of arousal. Pemeriksaan mental seperti: tes
intelegensia, tes visuomotorik, tes kemampuan bahasa, dan lain-lain.
d. Pemeriksaan Laboratorium: Liver Function Test, Complete blood cell
counts, EEG (kasus yang dicurigai kejang petit mal atau status
epileptikus).
e. Pemeriksaan Imaging: CT scan MRI juga PET (Positron Emision
Tomography)
1.9 Penatalaksanaan
Berdasarkan National Institute of Mental Health, serta organisasi profesi
lainnya di dunia seperti American Academy of Child and Adolescent
Psychiatry (AACP). Penanganan anak dengan ADHD dilakukan dengan
pendekatan komprehensif berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin
dan multimodal (Susanto dan Sengkey, 2016). Penanganan anak ADHD yang
terbaik adalah: terapi perilaku, medikamentosa (pharmacotherapy), kombinasi
pengobatan medikamentosa dengan terapi perilaku, edukasi pasien dan
keluarga anak ADHD.
Pengobatan (medikamentosis) yang dianjurkan utama adalah pemakaian
psikostimulan pada anak ADHD (first line treatment). Psikostimulan yang
dianjurkan digunakan adalah Methylphenidate (gold standard), Amphetamine
(d amphetamine, d,l amphetamine), serta Pemolin. Efek samping
psikostimulan yang tersering adalah insomnia, berkurangnya nafsu makan
sampai berat badan menurun, kadang-kadang sakit kepala. Bila sebelum dan
saat pengobatan anak ADHD menunjukkan gejala sukar makan, maka perlu
diberikan vitamin untuk nafsu makan misalnya curcuma plus, atau
cyproheptidine tablet serta pemberian obat stimulansia bersama dengan
makan. Bila timbul gejala efek samping sukar tidur, sebaiknya pemberian
malam hari tidak dilakukan, dilakukan membaca lebih dahulu sebelum tidur
(bedtime reading), dapat diberikan obat tidur bila sangat diperlukan
(adjunctive agent).
A. Pengkajian
1. Identitas Klien:
ADHD lebih banyak terjadi pada anak usia 3 tahun dan laki-laki 4 kali
lebih sering mengalami ADHD daripada perempuan
2. Keluhan utama:
Biasanya keluarga mengatakan bahwa anak tidak bisa diam, tangan
atau kakinya bergerak terus
3. Riwayat penyakit sekarang:
Orang tua atau pengasuh melihat tanda-tanda awal dari ADHD:
a. Anak tidak bisa duduk tenang
b. Anak selalu bergerak tanpa tujuan dan tidak mengenal lelah
c. Perubahan suasana hati yang mendadak/implusive
4. Riwayat penyakit sebelumnya:
Tanyakan kepada keluarga apakah anak dulu pernah mengalami
cedera otak
5. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada keluarga apakah ada faktor genetic yang diduga
sebagai penyebab dari gangguan hiperaktivitas pada anak.
6. Riwayat psiko, sosio, dan spiritual :
Anak mengalami hambatan dalam bermain dengan
t e m a n d a n m e m b i n a hubungan dengan teman sebaya nya karena
hiperaktivitas dan impulsivitas
7. Riwayat tumbuh kembang :
a. Prenatal : Ditanyakan apakah ibu ada masalah asupan alcohol atau
obat-obatan selama kehamilan
b. natal : Ditanyakan kepada ibu apakah ada penyulit selama
persalinan. lahir premature, berat badan lahir rendah (BBLR)
c. Postnatal : Ditanyakan apakah setelah lahir langsung diberikan
imunisasi apa tidak.
8. Riwayat imunisasi:
Tanyakan pada keluarga apakah anak mendapat imunisasi lengkap.
Usia <7 hari anak mendapat imunisasi hepatitis B
Usia 1 bulan anak mendapat imunisasi BCG dan polio 1
Usia anak 2 anak mendapat imunisasi DPT/HB 1 dan polio 2
Usia 3 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB 2 dan polio 3
Usia 4 bulan anak mendapat imunisasi DPT/HB 3 dan polio 4
Usia 9 bulan anak mendapat imunisasi campak
9. Pemeriksaan fisik
Perlu observasi yang baik terhadap perilaku penderita ADHD karena
pada penderita ADHD menunjukkan gejala yang sedikit pada
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi : tanda
vital, tinggi badan, berat badan, tekanan darah dan nadi. Pemeriksaan
fisik umum termasuk penglihatan, pendengaran dan neurologis. Tidak
ada pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik untuk ADHD.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara seksama, mungkin dapat
membantu dalam menegakkan diagnosa, dan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain.
10. Activity daily living (ADL):
a. Nutrisi: anak nafsu makan berkurang (anoreksia)
b. Aktivitas: anak sulit untuk diam dan terus bergerak tanpa tujuan
c. Eliminasi: anak tidak mengalami gangguan dalam eliminasi
d. Istirahat tidur: anak mengalami gangguan pola tidur
e. Personal higiane: anak kurang memperhatikan kebersihan dirinya
dan sulit diatur
B. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Risiko cedera berhubungan dengan hiperaktivitas dan perilaku
implusive
2. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kelainan fungsi dari
system keluarga dan perkembangan ego yang terhambat, serta
penganiayaan dan pengabaian anak
3. Ansietas berhubungan dengan cemas berlebihan, ancaman konsep diri,
rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan
hubunganantara orang tua dan anak yang tidak memuaskan.
4. Stres berlebihan berhubungan dengan stres berlebihan
5. Kontrol emosi labil berhubungan dengan emosi tidak sesuai dengan
faktor pencetus, gangguan emosi, gangguan mood
6. Keletihan berhubungan dengan gangguan konsentrasi, tidak mampu
mempertahankan aktivitas fisik pada tingkat yang biasanya,
peningkatan kelelahan fisik.
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kesulitan jatuh tertidur,
kewaspadaan berlebihan
C. Intervensi keperawatan
Paraf dan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi keperawatan
Nama
1. Risiko cedera berhubungan Tujuan: Manajemen Energi (0180)
dengan hiperaktivitas dan Anak tidak akan melukai diri 1. Tentukan jenis dan banyaknya aktivitas yang
perilaku implusive sendiri atau orang lain dibutuhkan untuk menjaga ketahanan
KH: 2. Memonitor sumber kegiatan keluarga dan
1. Anak mengetahui, kelelahan emosional yang dialami pasien
mengungkapkan dan 3. Monitor/catat waktu dan lama istirahat/tidur
menerima kemungkinan pasien
konsekuensi dari perilaku 4. Buat batasan untuk kegiatan hiperaktif klien
maladaptif diri sendiri saat mengganggu yang lain atau dirinya sendiri
2. Anak mau mendiskuskan Manajemen Lingkungan: Keselamatan
perasaan-perasaan yang 1. Identifikasi hal-hal yang membahayakan di
sebenarnya lingkungan
3. Anak memperlihatkan 2. Singkirkan bahan berbahaya dari lingkungan
tingkah laku yang hati-hati jika diperlukan
4. Anak mampu duduk dengan 3. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
tenang dan bisa untuk bahan berbahaya dan berisiko
menunggu giliran
2. Koping individu tidak efektif Tujuan: modifikasi perilaku
berhubungan dengan kelainan anak mengembangkan dan 1. Berikan umpan balik terkait dengan perasan
fungsi dari system keluarga menggunakan keterampilan saat pasien tampak bebas dari gejala-gejala
dan perkembangan ego yang koping yang sesuai dengan umur dan terlihat rileks
terhambat, serta dan dapat diterima sosial 2. Dukungan pasien untuk memeriksa
penganiayaan dan pengabaian KH: perilakunya sendiri
anak 5. Anak mengetahui kelebihan 3. Tetapkan perilaku obyektif dalam bentuk
yang dimilikinya tertulis
6. Anak mampu menunda 4. Tetapkan perilaku awal sebelum memulai
pemuasan terhadap perubahan
keinginannya, tanpa terpaksa 5. Kembangkan program perubahan perilaku
untuk memanipulasi orang 6. Diskusikan proses modifikasi perilaku
lain dengan pasien/orang penting bagi pasien
7. Anak mengetahui kelebihan 7. Fasilitasi keterlibatan keluarga dalam proses
yang dimilikinya modifikasi (perilaku), dengan cara yang tepat.
8. Anak mampu 8. Pilih penguatan yang dapat dikontrol
mengekspresikan kemarahan (misalnya digunakan hanya saat perubahan
dengan cara yang dapat perilaku dilakukan)
diterima secara sosial
3. Ansietas berhubungan dengan Tujuan: pengurangan kecemasan
cemas berlebihan, ancaman Anak mampu mengurangi 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
konsep diri, rasa takut kecemasannya meyakinkan
terhadap kegagalan, disfungsi KH: 2. Berikan objek yang menunjukkan perasaan
system keluarga dan 1. Anak mengetahui penyebab aman
hubunganantara orang tua dan dari cemasnya 3. Ciptakan atmosfer rasa aman untuk
anak yang tidak memuaskan. 2. Anak mampu dalam memberi meningkatkan kepercayaan
respon terhadap stres 4. Berikan aktivitas pengganti yang bertujuan
3. Anak mampu menunjukkan untuk mengurangi tekanan
perilaku yang baik 5. Bantu klien mengidentifikasi situasi yang
4. Anak tampak tenang dan tidak memicu kecemasan
gelisah. bantuan kontrol marah
1. Bantu pasien terkait dengan strategi
perencanaan untuk mencegah ekspresi marah
yang tidak tepat
2. Intruksikan penggunaan cara untuk membuat
pasien lebih tenang
3. Identifikasi bersama pasien terkait dengan
keuntungan deri ekspresi kemarahan dengan
perilaku adaptif dan tanpa kekerasan
4. Berikan model peran yang bisa
mengekspresikan marah dengan cara yang
tepat
5. Dukung pasien untuk mengimplementasikan
strategi mengontrol kemarahan dan dengan
menggunakan ekspresi kemarahan yang tepat.
ANALISIS JURNAL
Alberto, P. A,. & Anne, C. A,. (1986). Applied Behavior Analysis for Teachers.
Ohio: Merrill Publishing Company.
Ingersoll, B. D., & Sam, G. (1993). Attentian Deficit Disorder and Learning
Disabilities. New York: Doubleday.
MIF Baihaqi & M.Sugiarmin (2006). Memahami dan Membantu Anak ADHD.
Bandung: Refika Aditama
Sidhi. (2006). Peranan Parent Support Group dalam Penanganan Anak GPPH.
Jakarta: Konferensi Nasional Neurodevelopmental.
Susanto, B.D., L.S. Senkey. 2016. Diagnosa dan penanganan rehabilitasi medik
pada anak dengan attention deficit hyperactivity disorder. Jurnal biomedik
(jbm). 8(3): 157-166