Anda di halaman 1dari 4

BENTUK BENTUK DISTORSI KOGNITIF

Distorsi kognitif memiliki banyak bentuk. Distorsi kognitif diartikan


sebagai kesalahan berpikir. Kemunculannya terkadang tidak disadari oleh individu
sehingga menjadi sebuah pikiran otomatis, kemudian pikiran otomatis yang irasional
ini dianggap sebagai sebuah distorsi atau kesalahan dalam berpikir.

Beberapa jenis distorsi kognitif yang dikemukakan oleh Burns, antara lain1 :

1. Pemikiran segalanya atau tidak sama sekali


Distorsi ini timbul akibat sikap perfeksionis berlebihan sehingga individu
yang menderita gangguan ini tidak bisa memberikan toleransi terhadap
kesalahan apapun. Ia beranggapan bahwa sesuatu yang dikerjakan harus berjalan
dengan sempurna. Lebih baik tidak dikerjakan sama sekali daripada hasilnya
tidak sempurna.
Contohnya saat seseoran hendak membantu temannya mengerjakan pekerjaan
ataupun tugas, kemudian setelah dilihatnya, ia tidak paham beberapa bagian
dalam tugas tersebut sehingga ia berpikir untuk tidak membantu sama sekali
karena ia tidak bisa membantu temannya seratus persen.

2. Overgeneralisasi
Distorsi ini erat kaitannya dengan pengalaman buruk atau trauma masa lalu
sehingga individu cenderung memikirkan sisi negative dari hal atau peristiwa
serupa dan men-generalisasi hal tersebut dengan negative secara berlebihan.
Contohnya seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tida
harmonis atau broken home, ia menganggap bahwa setiap pernikahan akan
berujung perceraian dan kehidupan berkeluarga adalah hal yang sia-sia karena
pada akhirnya setiap pasanagan akan berpisah sehingga ia memutuskan untuk
tidak menikah.

1
Ahmad Rusdi, Agama,Spiritualitas, dan Psikoterapi Tinjauan Berbagai Paradigma, eJurnal, (Jakarta:
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2012), hlm.122
3. Filter mental
Pemikiran ini menunjukkan kecenderungan individu untuk mengambil
suatu hal negatif dalam situasi tertentu, terus memikirkannya sanpai akhirnya
mempersepsikan seluruh situasi tersebut sebagai hal yang negatif pula. Sehingga
individu akan cenderung menghindari segala bentuk situasi serta hal-hal yang
berhubungan dengan itu.
Contohnya ketika seseorang pernah mengalami kecelakaan ketika mengendarai
sepeda motor, kemudian ia terus menerus memikirkan peristiwa kecelakaan
tersebut sehingga ia mengalami ketakutan untuk mengendarai motor lagi, dan ia
berpresepsi bahwa mengendarai sepeda motor adalah hal yang berbahaya.

4. Diskualifikasi yang positif


Yaitu menolak pengalaman-pengalaman positif dengan bersikeras bahwa
semua itu “bukan apa-apa”. Dengan cara ini, individu mempertahankan suatu
keyakinan negatif yang bertentangan dengan pengalaman-pengalaman diri
sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pemikiran negative ini individu
akan menganggap pujian, hadiah ataupun sanjungan dari sisi negative nya
Contohnya saat seseorang diberi hadiah atas keberhasilan setelah promosi
jabatan, ia akan berpikiran dan menganggap orang yang memberi hadiah ini
hanya sekedar ingin memanfaatkan atau mengambil muka saja.

5. Loncatan kesimpulan
Yaitu membuat sebuah penafsiran negatif walaupun tidak ada fakta yang
jelas mendukung kesimpulan penafsiran tersebut. Definisi ini mencakup dua
distorsi kognitif yaitu membaca pikiran dan kesalahan peramal.
Contohnya ketika seseorang yang biasanya bersikap ramah tiba-tiba menjadi
jutek atau bersikap tak acuh saat bertemu, orang yang mengalami distorsi
kognitif loncatan kesimpulan ini akan langsung berpikir dan menyimpulkan
bahwa “dia berbuat demikian karena saya pernah menyakiti perasaanya” padahal
mungkin saja orang tersebut bersikap acuh karena tengah sibuk dan tidak
menyadari kehadiran orang lain ataupun sedang menghadapi masalah yang
mengganggu pemikirannya.
6. Pembesaran atau pengecilan
Yaitu melebihkan pentingnya suatu hal. Distorsi ini terjadi karena
individu menganggap besar suatu hal yang kecil maupun sebaliknya,
menganggap kecil suatu hal yang besar. Menganggap rendah segala kelebihan
dan menganggap besar setiap kesalahan yang dilakukan.
Contohnya ketika seorang anak membuat kesalahan, ia lalu menghakimi dirinya
sendiri sebagai seseorang yang pengecut dan tidak berguna sehingga ia akan
terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.

7. Penalaran emosional
Yaitu menganggap bahwa emosi-emosi diri sendiri yang negatif
mencerminkan bagaimana realita yang sebenarnya. Penderita gangguan ini
sangat mengandalkan sisi emosional saat memandang ataupun memutuskan
sesuatu sehingga banyak pemikiran dan tindakan yang dilakukannya tergolong
tidak masuk akal.
Contohnya seorang istri merasa suaminya berubah, sering pulang larut, terus
menerus sibuk dengan ponsel, beralasan sibuk dengan pekerjaan. Kemudian ia
beranggapan suaminya berselingkuh padahal sang suami berkata jujur dan tidak
berselingkuh. Anggapan ini tumbuh karena si istri hanya mengandalkan emosi,
tanpa mau berpikir rasional ataupun mencari tahu fakta sebenarnya.

8. Pernyataan “harus”
Yaitu mencoba menggerakkan diri sendiri dengan kata “harus” serta
“seharusnya”, seolah-olah diri sendiri dan orang lain harus dicambuk dan
dihukum sebelum dapat diharapkan melakukan apapun. Pernyataan harus yang
tidak realistis ini akan menyebabkan penderitanya mengalami frustasi dan
tekanan.
Contohnya seorang siswa menanamkan pemikiran “saya harus jadi juara kelas”
sehingga dengan pemikiran itu ia akan berusaha sangat keras bahkan melakukan
segala cara agar tujuannya tercapai. Ia bahkan rela menyontek, membenci
temannya yang ia anggap sebagai saingan di kelas.
9. Memberikan cap atau salah memberikan cap
Yaitu suatu bentuk ekstrem dari overgeneraisasi pribadi. Yang dilakukan
bukan hanya menguraikan diri sendiri, tetapi malah memberikan sebuah cap
yang negatif pada diri sendiri dan orang lain. Padahal setiap individu memiliki
banyak sisi positif dan negative sehingga tidak mungkin satu cap atau label dapat
mewakili dan mendeskripsikan keseluruhan kepribadian orang itu.
Contohnya seorang siswa gagal dalam mata pelajaran matematika, lalu ia men-
cap dirinya sebagai seorang yang bodoh sehingga ia tidak mau lagi belajar
dengan pemikiran “percuma usaha keras buat belajar, kan aku bego di mtk”.

10. Personalisasi
Yaitu memandang diri sendiri sebagai penyebab suatu peristiwa eksternal
yang negatif, yang dalam kenyataanya sebenarnya bukanlah diri sendiri yang
harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Penderita gangguan ini
cenderung menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau peristiwa maupun
kegagalan dan merasa bertanggung jawab atas kegagalan tersebut secara pribadi.
Contohnya ketika seseorang mengalami kecelakaan ketika menyetir. Sebelum
mengendara, ia terlibat cekcok dan pertengkara dengan temannya, kemudian
temannya itu menyalahkan diri sendiri atas kejadian kecelakaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai