Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

SELF HARM PADA REMAJA

Pembimbing:
dr. Erita, Sp.KJ

Penyusun:
Noviara Ghita T 030.14.145
Franky Christian W 030.12.112
Anugerah Syahbana 030.13.024
Farah Nurul F 030.13.070
Fenny Lestari 030.14.069
Fredy Eka Sanjaya 030.14.073
Kiki Rizky Mariani 030.14.109
Syifa Nabila Putri 030.14.187
Noferly G J Go 030.14.142
Stella Verinda 030.14.181

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. SOEROJO MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 25 MARET – 27 APRIL 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

“Self Harm Pada Remaja”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang
Periode 25 Maret – 27 April 2019

Disusun oleh:
Noviara Ghita T 030.14.145
Franky Christian W 030.12.112
Anugerah Syahbana 030.13.024
Farah Nurul F 030.13.070
Fenny Lestari 030.14.069
Fredy Eka Sanjaya 030.14.073
Kiki Rizky Mariani 030.14.109
Syifa Nabila Putri 030.14.187
Noferly G J Go 030.14.142
Stella Verinda 030.14.181

Jakarta, Maret 2019

Mengetahui,
Korpanit Ilmu Kesehatan Jiwa

dr. Erita, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Self
Harm Pada Remaja” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo
Magelang. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada:
1. dr. Erita, Sp.KJ selaku pembimbing dalam penyusunan referat.
2. Seluruh staff SMF Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
3. Rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Jiwa.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut
tidak lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena
itu bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah
diharapkan.

Jakarta, Maret 2019

Tim penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER ------------------------------------------------------------------------------------- i
LEMBAR PENGESAHAN ------------------------------------------------------------- ii
KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------- iii
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------ iv
BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------------ 4
2.1 Definisi Self Harm ------------------------------------------------------------- 4
2.2 Prevalensi Self Harm --------------------------------------------------------- 5
2.3 Jenis-Jenis Self Harm --------------------------------------------------------- 5
2.4 Bentuk-bentuk Self Harm ---------------------------------------------------- 6
2.5 Karakteristik Self Harm ------------------------------------------------------ 7
2.6 Faktor Penyebab Self Harm ------------------------------------------------- 9
2.7 Latar Belakang Keluarga Pelaku Self Harm ------------------------------ 10
2.8 Self Harm dalam DSM-V ---------------------------------------------------- 11
2.9 Tatalaksana Self Harm -------------------------------------------------------- 11
BAB III PENUTUP --------------------------------------------------------------------- 18
3.1 Kesimpulan -------------------------------------------------------------------- 18
3.2 Saran ---------------------------------------------------------------------------- 19
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------- 20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap individu memiliki masalah yang berbeda-beda begitu pula cara
penyelesaiannya. Sebagian individu mampu menyelesaikan masalahnya dengan
baik sementara beberapa dari individu tersebut terkadang tidak mampu untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Ketidakmampuan menyelesaikan masalah
menyebabkan timbulnya distres. Distres dapat menimbulkan emosi negatif atau
afek negatif. Misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi,
marah, dendam dan emosi negatif lainnya. Banyak cara untuk seseorang
menyalurkan emosinya. Penyaluran emosi bisa dilakukan dengan cara positif bisa
juga dengan cara negatif. Contoh penyaluran emosi dengan cara positif misalnya
melakukan aktivitas yang disukai seperti olah raga, nonton film, membaca buku
atau kegiatan positif lainnya. Berbeda dengan sebagian individu memilih untuk
menyalurkan dengan cara negatif misalnya mengkonsumsi narkoba, minum-
minuman beralkohol atau dengan cara menyakiti dirinya (self harm).1
Perilaku menyakiti diri (self harm) merupakan fenomena yang cukup penting
di bidang kesehatan mental. Perilaku ini dapat dialami siapa saja baik orang normal
maupun orang-orang dengan gangguan mental. Self harm didefinisikan sebagai
perilaku seseorang yang mengkonsumsi racun, atau melukai diri sendiri, tidak
memandang tujuan dari tindakannya tersebut, meliputi Suicidal Self Injurious (SSI)
dan Nonsuicidal Self-Injurious Behavior (NSSI), dan suicide attempt/percobaan
bunuh diri yang mengacu pada perilaku self harm tanpa keinginan untuk mati.
WHO dan National Institute of Health and Care Excellence (NICE) memasukkan
semua perilaku, termasuk semua metode yang digunakan dan ada atau tidaknya niat
untuk mati dalam definisi self harm. Self harm bukan merupakan gangguan jiwa
namun merupakan perilaku yang menunjukkan kurangnya kemampuan koping.
Beberapa gangguan yang berhubungan dengan self harm misalnya borderline
personality disorder, depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia.1

1
Fenomena self harm merupakan fenomena gunung es. Pelaku dapat
mengulangi self harm dan luka yang ditimbulkan semakin parah. Risiko infeksi
akibat luka terbuka, juga angka morbiditas yang ditimbulkan berdampak
meningkatkan beban biaya layanan kesehatan. Apabila luka yang ditimbulkan
serius atau pikiran bunuh diri muncul secara intensif, maka self harm dapat
berakibat pada kematian. Data dari WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2010
terdapat 880.000 kematian yang diakibatkan perilaku menyakiti diri. Sekitar 10%
dari pasien yang masuk dan dirawat ke rumah sakit di Inggris adalah sebagai akibat
dari self harm yang mayoritas diakibatkan overdosis narkoba. Tidak semua orang
dengan riwayat perilaku self harm pasti akan berlanjut menjadi bunuh diri. Akan
tetapi, orang dengan riwayat self harm berisiko 1,68 kali lipat untuk melakukan
bunuh diri.2

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang di maksud dengan self harm?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya self harm pada kalangan
remaja?
3. Bagaimana penatalaksanaan medis terhadap pasien self harm?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apakah yang di maksud dengan self harm
2. Megetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya self harm pada
kalangan remaja
3. Mengetahui bagaimana persepsi masyarakat tentang self harm
4. Mengetahui bagaiman cara mencegah perilaku self harm
5. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis terhadap pasien self harm

2
1.4 Manfaat
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan ini yaitu dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman terhadap self harm pada kalangan remaja dan untuk
perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari makalah ini adalah dapat menjelaskan tentang
gambaran self injury. Selain itu, penulisan ini dapat memberi pengetahuan
dan informasi terkait self injury bagi remaja dan orang tua.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Self Harm


Self harm adalah perilaku melukai dirinya sendiri yang dilakukan dengan
sengaja tanpa ada maksud untuk bunuh diri. Perilaku ini meliputi menyayat bagian
kulit tubuh dengan pisau atau silet, memukul diri sendiri, membakar bagian tubuh
tertentu, menarik rambut dengan keras, bahkan memotong bagian tubuh tertentu.
Hal ini dilakukan tanpa adanya maksud untuk bunuh diri.3 Self harm adalah perilaku
dimana seseorang sengaja melukai tubuhnya sendiri bukan bertujuan untuk bunuh
diri melainkan hanya untuk melampiaskan emosi-emosi yang menyakitkan. Banyak
yang melakukannya karena mekanisme ini bekerja dan bahkan dapat menyebabkan
kecanduan, self harm hanya menyebabkan pembebasan yang bersifat sementara dan
tidak mengatasi akar permasalahan sehingga seseorang yang pernah melakukannya
akan memiliki kecenderungan untuk mengulanginya dengan peningkatan
frekuensi.4
Pelaku menyakiti diri mereka sendiri (self harm) dalam upaya mengurangi
masalah emosionalnya karena bagi para pelaku lebih baik sakit fisik dari pada sakit
psikis atau sakit secara emosionalnya. Pelaku self harm melakukan tindakan
menyakiti diri sendiri secara sengaja karena maksud untuk mengurangi ketegangan
dan merasa lebih tenang yang ia rasakan dari perasaan yang tidak nyaman yang
diperoleh dari rasa penolakan yang ia rasakan. Perasaan tenang tersebut hanya
bersifat sementara karena pada dasarnya tindakan ini tidak menyelesaikan
permasalahan yang sebenarnya terjadi pada dirinya. self harm merupakan
mekanisme coping yang digunakan seseorang secara individu untuk mengatasi rasa
sakitnya secara emosional atau menghilangkan rasa kekosongan secara kronis
dalam diri dengan memberikan sensasi pada diri sendiri, self harm sendiri
merupakan mekanisme coping yang tidak baik namun banyak orang yang
melakukan karena memang mekanisme tersebut menjadi cara yang efektif bekerja
dan bahkan bisa menyebabkan kecanduan.4

4
2.2 Prevalensi Self Harm
Pada umumnya, perilaku self harm lebih sering terjadi pada usia remaja.
Pada tahun 2001, WHO melaporkan bahwa perilaku melukai diri sendiri yang
kemudian menjurus ke bunuh diri menyebabkan paling tidak 814.000 kematian di
tahun 2000. Pelaku perilaku ini juga biasanya didominasi oleh remaja. Pada tahun
2010, 20% dari populasi di Australia berusia 18-24 tahun mengaku pernah melukai
dirinya sendiri paling tidak sekali dalam kehidupan mereka. Berdasarkan data yang
dilansir oleh BBC Inggris (2010) diinformasikan bahwa dalam 5 tahun terakhir
jumlah orang muda di Inggris yang masuk ke rumah sakit setelah mencederai diri
mereka sendiri (self harm) dengan sengaja, naik lebih dari 50%. Pada tahun 2008-
2009 ada 2.727 orang yang berusia di bawah 25 tahun yang dibawa ke rumah sakit
di Inggris karena mencederai diri sendiri (self harm) dengan benda-benda tajam,
dibandingkan pada tahun 2004-2005 yaitu sebanyak 1758 orang. Data ini
mengindikasikan bahwa fenomena perilaku self harm menjadi kian meningkat dan
pelakunya sebagian besar adalah mereka yang berada pada rentang usia remaja
akhir hingga dewasa awal.3

2.3 Jenis-jenis Self Harm


Self harm terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:5
1. Major self-mutilation
Melakukan kerusakan permanen pada organ utama, seperti memotong kaki
atau mencukil mata. Self harm jenis ini biasanya dilakukan oleh individu
yang mengalami tahap psikosis. Stereotipik melukai diri kurang parah tapi
jauh lebih berulang.
2. Stereotipik self harm
Stereotypic self harm tidak begitu parah tapi jauh lebih berulang. Jenis self
harm ini biasanya melibatkan perilaku berulang seperti membenturkan
kepala ke lantai secara berulang kali. Individu yang terlibat dalam jenis self
harm ini sering menderita gangguan saraf seperti Autisme atau Sindrom
Tourette.

5
3. Superficial self-mutilation
Superficial self-mutilation dijelaskan oleh sebagai jenis yang paling umum
dari self harm. Contoh perilaku superficial self-mutilation adalah menarik
rambut sendiri dengan sangat kuat, menyayat kulit dengan benda tajam,
membakar bagian tubuh, membanting tubuhnya sendiri, dan membenturkan
kepala.
Ada tiga sub-tipe dari jenis self harm. Ketiga sub tipe episodik, repetitif dan
kompulsif. Kompulsif self harm serupa dengan gangguan psikologis seperti
Obsesif-Compulsive Disorder. Sub tipe ini lebih dalam bawah sadar dibandingkan
dengan dua sub tipe lainnya dan tidak dilakukan sebagai suatu keharusan. Episodik
dan repetitive self harm bervariasi dalam cara melakukannya. Keduanya terjadi di
episode mana self harm akan mewujudkan dirinya lebih baik pada saat waktu
tertentu, namun perbedaannya adalah bahwa individu-individu yang digambarkan
sebagai berpartisipasi dalam repetitive superficial self-mutilation melihat fakta
bahwa mereka melukai diri sendiri sebagai bagian penting dari identitas mereka dan
bahkan mengembangkan siapa mereka sebagai pelaku self harm.

2.4 Bentuk-bentuk Self Harm


Bentuk paling umum dari self harm adalah membuat irisan dangkal pada lengan
atau tungkai. Menurut Whitlock, dkk bentuk-bentuk self harm antara lain:5
a. Menggores, menggaruk atau mencubit yang dapat menimbulkan tanda pada
kulit dan menyebabkan kulit berdarah
b. Membanting atau memukulkan objek kediri sendiri sehingga menimbulkan
luka memar atau berdarah
c. Mencabik-cabik kulit
d. Mengukir kata-kata atau bentuk-bentuk tertentu di permukaan kulit
e. Menyuluti atau membakar kulit dengan rokok, api ataupun air panas
f. Menarik rambut secara paksa dengan jumlah yang banyak.

6
Bentuk-bentuk self harm yang bisa dilakukan yaitu:5
a. Menggores bagian tubuh tertentu
b. Membakar bagian tubuh tertentu dengan rokok
c. Memukul diri sendiri, memukul tembok atau benda keras yang lain
d. Membuat tubuh menjadi luka memar atau patah tulang
e. Membenturkan kepala
f. Menarik rambut
g. Menghantamkan tubuh terhadap suatu objek
h. Mencubit

2.5 Karakteristik Self Harm


Menurut Eliana para pelaku self harm memiliki karakteristik sebagai
berikut:6
a. Berdasarkan kepribadian pelaku:
1 Kesulitan mengendalikan impuls di berbagai area, yang terlihat
dalam masalah gangguan makan atau adiksi terhadap zat adiktif.
2 Para pelaku self harm cenderung memiliki self esteem yang rendah
dan kebutuhan atau dorongan yang kuat untuk mendapatkan cinta
dan penerimaan orang lain.
3 Pola pemikiran yang kaku, cara berpikir yang harus mencapai suatu
tujuan atau tidak sama sekali.
b. Berdasarkan lingkungan keluarga pelaku:
1 Masa kecil penuh trauma atau kurangnya sosok salah satu atau
kedua orangtua, menimbulkan kesulitan-kesulitan
menginternalisasikan perhatian positif.
2 Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengurus diri sendiri
dengan baik.

7
c. Berdasarkan lingkungan sosial pelaku:
1 Kurangnya kemampuan untuk membentuk dan menjaga hubungan
yang stabil.
2 Takut akan perubahan, baik perubahan dalam kegiatan sehari-hari
maupun pengalaman baru dalam bentuk apapun (orang-orang,
tempat peristiwa), dapat juga perubahan perilaku mereka, atau
perubahan yang mungkin diperlukan untuk pulih.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu
yang melakukan self harm adalah individu memiliki self esteem yang rendah,
memiliki pola pemikiran yang kaku, takut akan perubahan, serta kurang dalam
membentuk atau menjaga hubungan yang stabil.
Sedangkan Menurut Knigge (1999) karakteristik umum pelaku self harm
adalah sebagai berikut: (7)
• Sangat tidak menyukai diri mereka sendiri
• Sangat peka terhadap penolakan
• Terus-menerus marah pada diri mereka sendiri
• Cenderung untuk menekan kemarahan
• Memiliki tingkat agresif yang tinggi, yang mereka setuju sangat kuat dan
sering menekan atau mengarahkan pada diri
• Kurangnya impuls kontrol
• Cenderung bertindak sesuai dengan suasana hati mereka saat itu
• Cenderung tidak merencanakan masa depan
• Mengalami depresi dan self destructive
• Tidak henti-hentinya menderita kecemasan
• Cenderung ke arah cepat marah
• Tidak merasa diri mereka mampu mengatasi masalah, tidak memiliki
kemampuan untuk mengatasi masalah.

8
Berdasarkan karakteristik pelaku self harm di atas, dapat disimpulkan
bahwa pelaku self harm mempunyai karakteristik umum yaitu: sangat tidak
menyukai diri mereka sendiri, sangat peka terhadap penolakan, terus-menerus
marah pada diri mereka sendiri, cenderung untuk menekan kemarahan, memiliki
tingkat agresif yang tinggi, umumnya depresi atau stress berat, mengidap
kecemasan kronis.

2.6 Faktor Penyebab Self Harm


Ada banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan self harm,
dalam sebuah penelitiannya yang berjudul physiological arousal, distress
tolerance, and social problem-solving deficits among adolescent self harm,
mengemukakan ada 4 (empat) alasan utama seseorang melakukan self harm
yaitu:8
1. Meredakan ketegangan atau menghentikan perasaan buruk;
2. Merasakan sesuatu, bahkan rasa sakit;
3. Untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menunjukkan bahwa mereka
menderita;
4. Membuat orang lain berhenti mengganggu mereka.
faktor penyebab self harm adalah karena faktor-faktor psikologis yaitu
merasa tidak kuat menahan emosi dan merasa terjebak, stress, self esteem yang
rendah, tidak sanggup mengekspresikan ataupun mengungkapkan perasaan,
merasa hampa atau kosong, adanya perasaan tertekan didalam batin yang tidak
dapat ditolerir setelah kehilangan orang yang disayangi, ingin mendapat
perhatian lagi dari orang yang disayangi, merasa putus asa, tidak sanggup
menghadapi realita, tidak berguna, hidup terasa sulit, frustrasi dan depresi. 9
Pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan dengan orang terdekat,
misalnya keluarga, khususnya interaksi yang buruk dengan ibu sangat
berhubungan dengan kemunculan self harm.10
Pengabaian, penganiaan, penolakan, kritikan berlebih, kurangnya dukungan
emosional, menyebabkan seseorang mengembangkan gaya berpikir kritis
“berlebihan” terhadap diri. Gaya berpikir kritis berlebihan kepada diri dikatakan

9
memiliki kontribusi yang sangat besar dalam self harm. Selain menimbulkan
kemarahan dan kebencian yang mendalam terhadap diri, kritik berlebihan juga
menyebabkan individu selalu meragukan kemampuannya, tidak ada
penghargaan atas diri, dan sangat mudah merasakan perasaan bersalah atas apa
saja yang dilakukannya. Individu yang melakukan self harm juga diketahui
sering mengalami ketergugahan akan emosi dan pikiran-pikiran negatif, mereka
lebih banyak merasakan hal-hal negatif di sekelilingnya. Ditambah dengan
kurangnya keterampilan emosi, meliputi; toleransi rendah terhadap kejadian
buruk yang menimpa, sulit mengekspresikan apa yang dirasakan, dan memiliki
kemampuan buruk dalam penyelesaian masalah.11

2.7 Latar Belakang Keluarga Pelaku Self Harm


Perilaku self harm ini tidak terjadi secara spontan begitu saja, perilaku
berawal dari latar belakang keluarga, self harm dari segi pola asuh atau
kebiasaan yang diterapkan sehari hari ataupun yang diamati oleh pelaku self
harm, Latar belakang keluarga dari pelaku self harm antara lain sebagai
berikut:12
a. Adanya kehilangan yang mengakibatkan traumatis, sakit keras,
ketidakstabilan dalam hidup berkeluarga (keluarga Nomaden, orang tua
Divorce).
b. Adanya pengabaian dan penganiayaan, baik secar fisik, seksual maupun
emosional.
c. Kehidupan keluarga dipenuhi keyakinan agama yang kaku nilai-nilai yang
dogmatis , yang diterapkan dengan cara yang munafik dan tidak konsisten.
d. Peran yang terbalik dalam keluarga: misalnya si anak mengambil alih
tanggung jawab orang dewasa di usia dini
Perilaku self harm berasal dari latar belakang keluarga dan lingkungan
berpengaruh dalam pembentukan kepribadian yang berhubungan dengan
perilaku self harm yaitu kepribadian introvert, diri yang rendah, pola pemikiran
yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan perasaan.

10
2.8 Self Harm dalam DSM-V
DSM-V akhirnya self harm diakui sebagai gangguan yang terpisah dari
gangguan mental lainnya. Hal ini disebut non-suicidal self injury (NSSI).
Kriteria utama dari self harm antara lain adalah :

1. Seseorang telah terlibat self harm, selama dua belas bulan terakhir,
setidaknya dilakukan pada lima hari yang berbeda.
2. Self injury bukan merupakan hal yang sepele (misalnya menggigit kuku),
dan tidak merupakan bagian dari sebuah praktek yang diterima secara
sosial (misalnya menusuk atau tato).

Self harm ditunjukkan oleh pelakunya bahwa mereka dapat sadar bahwa hal
tersebut tidak mematikan. Lebih lanjut, melukai diri harus disertai dengan
setidaknya dua dari berikut : perasaan atau negatif, seperti depresi, kecemasan,
ketegangan, kemarahan, kesedihan umum, atau kritik – diri, terjadi pada periode
segera sebelum tindakan self harm.

2.9 Tatalaksana Self Harm13


a. Pencegahan Self Harm dan Suicide
Pendekatan untuk mencegah self harm dan suicide dapat dibagi
menjadi langkah-langkah berbasis populasi, yang ditujukan untuk semua
remaja (misalnya, inisiatif pendidikan), dan langkah-langkah yang
ditujukan untuk kelompok berisiko tinggi misalnya, individu dengan
riwayat pelecehan, mereka yang melukai diri sendiri.
Kegiatan untuk mencegah suicide dan self harm harus
mempertimbangkan karakteristik khusus suicide remaja dan self harm.
Sebagai contoh, mereka harus menargetkan isu-isu seputar transmisi
sosial self harm dan suicide, mengatasi kekhawatiran tentang orientasi
seksual dan intimidasi pada remaja, mempromosikan perilaku mencari
bantuan, dan menumbuhkan kepercayaan diri dan ketahanan. Strategi
pencegahan bunuh diri berbasis sekolah sedang berkembang dan

11
mencakup penyaringan remaja yang berisiko, pelatihan keterampilan,
dan program-program seluruh sekolah. Meskipun ada beberapa bukti
bahwa program skrining dapat mengidentifikasi remaja yang berisiko
yang tidak dikenali oleh sekolah. dan meningkatkan penggunaan
layanan kesehatan mental pada remaja berisiko yang tidak diobati,
mereka memiliki beberapa keterbatasan. Program skrining menempatkan
beban besar pada sekolah dan penyedia layanan kesehatan mental karena
skrining sekolah menghasilkan banyak hal yang salah. karena risiko
bunuh diri berfluktuasi seiring dengan waktu, satu layar akan cenderung
menghasilkan negatif palsu. Studi-studi di bidang ini telah menunjukkan
bahwa bertanya pada remaja tentang ide bunuh diri tidak meningkatkan
risiko berkembangnya bunuh diri, tetapi justru sebaliknya. Pelatihan
mensyaratkan pelatihan teman sebaya dan orang dewasa untuk lebih
mengenali tanda-tanda peringatan untuk bunuh diri. Beberapa bukti ada
bahwa pelatihan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap
tentang bunuh diri, meningkatkan perilaku mencari bantuan, dan
mengurangi self harm dalam jangka pendek (upaya bunuh diri yang
berkurang terlihat dalam satu intervensi yang juga memiliki komponen
skrining). Ada bukti dari Skotlandia (meskipun tidak eksklusif untuk
remaja) bahwa memastikan bahwa pelatihan seperti itu menjadi rutin
dikaitkan dengan pengetahuan yang lebih baik tentang suicide,
peningkatan kapasitas masyarakat. Pelatihan keterampilan psikologis
untuk siswa sekolah telah menghasilkan temuan yang menjanjikan dalam
mengurangi ide bunuh diri, tetapi beberapa efek negatif juga telah
dilaporkan (misalnya, meningkatnya kemarahan dan berkurangnya
keterkaitan sekolah). Pendekatan whole-school, yang secara positif
mengubah etos dan budaya sekolah terkait dengan kesejahteraan
psikologis, cenderung meningkatkan pencarian bantuan, tetapi tidak ada
bukti yang jelas tentang program langsung yang berdampak pada
pengurangan suicide. Diperlukan lebih banyak pendekatan berbasis
sekolah yang menargetkan remaja merugikan diri sendiri.

12
Pembatasan akses ke sarana untuk bunuh diri adalah strategi
pencegahan bunuh diri kunci pada remaja, terutama karena sifat perilaku
yang sering impulsif. Salah satu contoh penting adalah membatasi
ketersediaan dan penyimpanan yang lebih aman dari senjata dalam
rumah tangga di negara-negara dengan prevalensi bunuh diri yang tinggi
dengan menembak, dengan indikasi kuat bahwa kehadiran senjata dalam
rumah tangga meningkatkan risiko bunuh diri remaja dan beberapa bukti
bahwa pembatasan ketersediaan mereka mengurangi risiko ini. Yang
lainnya adalah penyimpanan pestisida yang lebih aman di daerah
pedesaan di negara-negara berkembang, di mana ketersediaan yang siap
berarti bahwa bunuh diri dengan konsumsi pestisida adalah umum.
Contoh selanjutnya adalah membatasi ukuran paket obat yang biasanya
digunakan untuk keracunan diri pada orang muda, seperti parasetamol.
Yang krusial, pembatasan akses ke metode berbahaya umum biasanya
tidak berakibat individu segera beralih ke metode lain.

b. Intervensi psikososial
Dalam pandangan fakta bahwa krisis yang terkait dengan self harm
pada remaja seringkali dapat diselesaikan dengan sangat cepat, dokter,
terutama dokter keluarga, pada awalnya mungkin memberikan
perawatan psikososial yang mendukung. Akan tetapi, interventilasi
khusus akan diindikasikan dalam banyak kasus, terutama ketika masalah
parah atau berlangsung lama dan di mana melukai diri sendiri dikaitkan
dengan penggunaan metode yang lebih berbahaya atau niat bunuh diri
yang jelas. Mempertimbangkan sejauh mana melukai diri sendiri pada
remaja, ada beberapa percobaan mengejutkan dari intervensi psikososial
pada mereka yang telah melukai diri sendiri. Dibandingkan dengan
pengobatan kontrol, kebanyakan pengobatan seperti biasa, tidak ada
perbedaan dalam pengulangan menyakiti diri yang terlihat untuk terapi
pemecahan masalah keluarga berbasis rumah (meskipun keluarga lebih
suka ini daripada pengobatan kontrol). memberikan kartu darurat kepada

13
remaja akan memungkinkan mereka untuk mengakui kembali dirinya ke
unit rawat inap psikiatri pediatrik jika mereka dalam krisis. wawancara
motivasi untuk meningkatkan keterlibatan dalam terapi, dan terapi
psikologis singkat. Namun, sebagian besar uji coba, agak kecil, tanpa
kekuatan untuk secara memadai menguji efek pengobatan eksperimental
pada pengulangan. Hasil uji coba awal terapi kelompok untuk remaja
yang berulang kali melukai diri sendiri tampak menjanjikan dalam hal
pengurangan pengulangan menyakiti diri, tetapi dua uji coba berikutnya
tidak mengkonfirmasi ini dalam kaitannya dengan pengulangan atau
hasil lainnya. Peningkatan dalam perawatan kesehatan mental anak dan
remaja bisa mengakibatkan perawatan seperti biasa menjadi lebih efektif
daripada sebelumnya. Selain itu, ada kekurangan informasi yang menjadi
dasar rekomendasi pengobatan untuk remaja yang melukai diri sendiri.
Ada banyak minat dalam penggunaan terapi perilaku dialektis yang
dimodifikasi yang telah memberikan hasil yang menjanjikan pada orang
dewasa dengan gangguan kepribadian ambang untuk mengobati remaja
dengan gangguan diri yang berulang dan sifat garis perbatasan. Hasil uji
coba acak ditunggu. Mendorong hasil-hasil yang berkaitan dengan
perilaku merugikan diri sendiri terlihat untuk terapi berbasis keluarga
multisistemik dibandingkan dengan rawat inap psikiatris untuk individu
yang bunuh diri berusia 10-17 tahun. Kebanyakan anak muda yang
melukai diri sendiri tidak mencari pertolongan sebelumnya.
Kekhawatiran tentang kerahasiaan dan stigma dilaporkan oleh remaja
sebagai hambatan dalam mencari bantuan untuk Pemikiran bunuh diri.
Dalam sebuah studi kuesioner terhadap sampel besar individu berusia 15-
16 tahun, responden menyarankan bahwa teman sebaya mungkin takut
untuk meminta bantuan karena kekhawatiran bahwa orang lain mungkin
menemukan dan rumor akan mulai beredar di sekitar sekolah mereka.
Kekhawatiran ini lebih menonjol pada anak perempuan daripada anak
laki-laki. Banyak remaja melaporkan kekhawatiran tentang stigma
mencari bantuan untuk melukai diri sendiri dan didiagnosis dengan

14
penyakit mental. Beberapa menyarankan bahwa pencarian bantuan harus
dibuat lebih normal dan harus disertai dengan penerimaan yang lebih luas
bahwa setiap orang memiliki masalah. Konteks budaya adalah penting
ketika mempertimbangkan perilaku pencarian bantuan, dan akan
mempengaruhi tidak hanya pengakuan dan pengelolaan bunuh diri.
perilaku, tetapi juga pengembangan intervensi spesifik budaya.

c. Farmakoterapi.
Kekhawatiran tentang penggunaan antidepresan pada anak-anak dan
remaja pertama kali dibesarkan di Inggris pada tahun 2003 dan AS pada
tahun 2004, dan diikuti oleh peringatan yang dikeluarkan oleh badan
pengawas bahwa mungkin ada peningkatan risiko bunuh diri dengan
antidepresan yang lebih baru. Sebagian besar perhatian difokuskan pada
resep untuk kelompok usia yang lebih muda. Namun, manfaat resep
antidepresan mungkin lebih besar daripada risiko perilaku bunuh diri
yang muncul. Meskipun risiko telah dinilai tertinggi pada fase awal
pengobatan, risiko kematian pada anak-anak dan orang dewasa terbukti
tidak meningkat pada bulan pertama pengobatan dibandingkan dengan
bulan-bulan berikutnya, dan risiko percobaan bunuh diri paling tinggi
pada bulan sebelum memulai pengobatan antidepresan. Peringatan
keselamatan memiliki efek yang jelas pada kebiasaan pemberian resep,
yang pada awalnya dilaporkan dikaitkan dengan peningkatan bunuh diri
pada anak-anak di Amerika Serikat dan Belanda tetapi temuan ini tidak
direplikasi selama periode studi yang lebih lama di Inggris. Tidak ada uji
coba farmakoterapi yang dilakukan untuk remaja-remaja yang melukai
diri sendiri. Percobaan pengobatan untuk depresi yang membandingkan
pengobatan antidepresan dengan pengobatan psikologis, bagaimanapun,
telah memberikan beberapa informasi. Dalam Multicentre Treatment of
Adolescent Depression Study, terapi perilaku kognitif, baik sendiri atau
dikombinasikan dengan fluoxetine, dikaitkan dengan pengurangan yang
lebih besar dalam ide bunuh diri atau tindakan (gabungan) daripada

15
fluoxetine saja. Dalam dua percobaan lain, Namun, tidak ada Perbedaan
terlihat antara terapi perilaku kognitif dan pengobatan antidepresan SSRI
pada hasil ini. Kesimpulan Kerusakan diri dan bunuh diri adalah masalah
kesehatan masyarakat utama pada orang muda di seluruh dunia dan ada
banyak tantangan untuk manajemen dan pencegahan mereka. Banyak
yang sekarang diketahui tentang epidemiologi dan penyebabnya tetapi
upaya penelitian harus fokus pada identifikasi lebih lanjut subtipe dari
mereka yang melukai diri sendiri atau berisiko bunuh diri. Memang, akan
sangat membantu untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang
faktor-faktor yang terkait dengan tingkat melukai diri yang berbeda
(misalnya, para ideator vs upaya mematikan yang tinggi). Mengingat
beragam motif yang mendasari melukai diri sendiri, pemahaman yang
lebih baik tentang makna tindakan dan bagaimana ini berhubungan
dengan manajemen klinis akan bermanfaat. Akan lebih informatif untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang terkait dengan remaja yang
berhenti menyakiti diri sendiri. Pemahaman tentang bagaimana dan
kapan terpapar bahaya dan bunuh diri meningkatkan risiko
pengelompokan dan penularan sosial memiliki implikasi klinis yang
penting. Hanya kemajuan kecil telah dibuat dalam pencegahan dan ada
kekurangan bukti untuk intervensi pengobatan yang efektif.
Pengembangan dan penilaian intervensi psikososial dan farmakologis
baru untuk mengurangi kerusakan diri dan bunuh diri harus menjadi
prioritas utama, dan harus mencakup intervensi berbasis internet.
Peningkatan perawatan kesehatan mental pada remaja dalam hal akses ke
dan kualitas layanan sangat penting, terutama di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Manajemen yang lebih baik dari
jalur perawatan orang muda yang rentan ketika mereka pindah dari
layanan anak dan remaja ke layanan orang dewasa untuk memastikan
kesinambungan perawatan harus mengurangi risiko bunuh diri.
Kebijakan untuk mendorong pembatasan akses ke sarana bunuh diri,
termasuk akses ke senjata api dan penyimpanan pestisida yang lebih

16
aman, harus dilaksanakan. Pengembangan dan penilaian media baru dan
sumber dukungan telepon sangat penting karena penggunaan media
elektronik meningkat. Pengurangan stigma yang terkait dengan masalah
kesehatan mental dan pencarian bantuan juga merupakan tantangan
besar. Penekanan pada pencegahan menyakiti diri dan bunuh diri pada
orang muda dalam pedoman nasional adalah langkah maju yang
disambut baik.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Self harm adalah perilaku yang dengan sengaja melukai tubuh
sendiri sebagai cara mengatasi masalah emosi dan stres. Seorang pelaku
self harm mempunyai perasaan emosi negatif yaitu cemas, marah dan
sedih yang cenderung ditekan oleh pelakunya. Orang-orang yang
melukai diri tidak untuk menciptakan rasa sakit fisik, tapi untuk
menenangkan rasa sakit emosional yang mendalam. Biasanya dilakukan
secara berulang-ulang dalam periode yang tidak bisa ditentukan. Self
harm dilakukan apabila pelaku merasa sangat terbebani dengan
masalahnya, seperti masalah keluarga, masalah akademik dan sosial,
maupun masalah asmara. Pola asuh orangtua yang keras dan otoriter juga
dapat memicu self harm. Kasus evidensi self harm di negara-negara maju
dan negara berkembang semakin meningkat. Identifikasi dini simptom-
simptom dan intervensi tepat waktu merupakan salah satu langkah
preventif yang paling baik untuk self harm dan perilaku suisidal.
Banyak strategi terapetik yang digunakan untuk self harm adalah
psikoterapi yang semula digunakan untuk gangguan-gangguan mental
spesifik dan kondisi-kondisi komorbid yang berkaitan dengan self harm,
misalnya depresi, anxietas dan borderline personality disorder.
Pendekatan terapeutik yang dinilai efektif berdasarkan fakta empirik
yaitu pendekatan kognitif, psikodinamik dan kelompok

18
3.2 Saran
1. Bagi pelaku self harm
Pengembangan kepribadian hendaknya dilakukan oleh pelaku self harm.
Hal yang bisa dilakukan pelaku untuk menghindari terjadinya self harm
yaitu menghindari situasi sendiri dan membangun relasi dengan lingkungan.
Hendaknya pelaku self harm segera meminta bantuan minimal pada orang
terdekat untuk mengatasi perilaku abnormal tersebut agar tidak berkembang
kearah percobaan bunuh diri.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan
mempunyai wawasan yang luas sehingga mahasiswa dinilai mampu
mengatasi semua permasalahan dan mampu menyikapinya dengan bijak.
Perilaku coping mahasiswa hendaknya tidak dilakukan dengan cara yang
negatif yaitu self harm sebagai coping maladaptif yang merupakan perilaku
yang abnormal.
3. Bagi Penulis
Saat ini terdapat kecenderungan semakin meningkatnya jumlah remaja dan
dewasa muda yang melakukan self harm sehingga topik ini harus dipahami
dengan lebih baik. Sehingga perlu dilaksanakan penelitian selanjutnya
tentang perilaku self harm karena di Indonesia masih sangat jarang
dilakukan penelitian tentang hal ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Lund, G., Wangby-Lund, M., & Bjarehed, J. Deliberate self-harm and


psychological problems in young adolescents: Evidence of a bidirectional
relationship in girls. Scandinavian Journal of Psychology.2011;52; 476-
483.
2. Taliaferro, L.A., Muehlenkamp, J.J., Borowsky, I.W., McMorris, B.J., &
Kugler, K.C.Factors distinguishing youth who report self-inurious
behavior: A population-based sample. Academic Pediatrics.2012;12; 205-
213.
3. Estefan G, Wijaya YD. Gambaran Proses Regulasi Emosi pada Pelaku Self
Injury. Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul. Jurnal Psikologi.
2014;12(1):26-33.
4. Kurniawaty R. Dinamika Psikologis Pelaku Self-Injury. Psikologi Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Penelitian dan
Pengukuran Psikologi. 2012;1(1):13-22
5. Klonsky, E. David, and Jennifer J. Muehlenkamp. 2007. Self-Injury: A
Research Review for the Practitioner. Journal of Clinical Psychology Vol.
63 (11), 1045–1056. Wiley Periodicals, Inc: Stony Brook University
6. Estefan G, Wijaya YD. Gambaran Proses Regulasi Emosi Pada Pelaku Self
Injury. Jurnal Psikologu. 12;1:2014.26-33.
7. Knigge, Jennifer. 1999. Self Injury for Teacers. Article of self injury.
Kettlewell
8. Nock, Matthew K and Mendes. Physiological Arousal, Distress Tolerance,
and Social Problem–Solving Deficits Among Adolescent Self-Injurers. Vol.
76. No. 1(28-38). Journal of Consulting and Clinical Psychology. 2008
9. Sutton J. Healing the Hurt Within 3rd Edition: Understand self-injury and
self-harm, and heal the emotional wounds. Hachette UK; 2007 Nov 12.
10. Di Pierro R, Sarno I, Perego S, Gallucci M, Madeddu F. Adolescent
nonsuicidal self-injury: the effects of personality traits, family relationships

20
and maltreatment on the presence and severity of behaviours. European
child & adolescent psychiatry. 2012 Sep 1.
11. Permatasari T, Andayani B. Empathic Love Therapy untuk Menurunkan
Pikiran dan Perilaku Self Injury. Gadjah Mada Journal of Professional
Psychology (GamaJPP).;2(3):173-85.
12. Ferret A, Hughes N, et al. The Impact of Self Harm by Young People on
Parents and Families: A Qualitative Study. BMJ Open Journal. 2015.
13. Hawton K, Saunders KEA, O’Connor RC. Self-halm and suicide in
adolescents.juni 2012.

21

Anda mungkin juga menyukai