PENDAHULUAN
Adiksi berasal dari bahasa inggris addiction yang berarti ketagihan atau kecanduan.
Adiksi membuat seseorang, baik secara fisik maupun psikologis mengurangi kapasitasnya
sebagai manusia untuk berfungsi sebagimana mestinya, sehingga membuatnya mengalami
perubahan perilaku menjadi obsesif kompulsif dalam menggunakan zat, sehingga menggangu
hubungannya dengan orang lain. Istilah adiksi sering dikaitkan dengan penyalahgunaan NAPZA.
Sehubungan dengan beragamnya golongan NAPZA, maka sesuai sebutannya dikenal: adiksi
tembakau, heroin, sabu, ekstasi, steroid dan lain-lain. Perilaku adiksi tidak hanya terkait dengan
penggunaan NAPZA, namun dikenal pula bentuk adiksi lain seperti adiksi seksual, adiksi judi,
makanan, internet dan lain-lain. 1
Menurut PPDGJ III, gangguan penggunaan NAPZA terdiri atas dua bentuk yaitu
penyalahgunaan dan adiksi atau ketergantungan. Penyalahgunaan, yaitu yang memiliki harm full
effect terhadap kehidupan orang, menimbulkan masaah kerja, mengganggu hubungan dengan
orang lain (relationship) serta mempunyai aspek legal, sedangkan adiksi atau ketergantungan
yaitu yang mengalami toleransi, putus zat, tidak mampu menghentikan kebiasaan menggunakan,
menggunakan dosis NAPZA lebih dari yang diinginkan. 1,2
Ketergantungan dan penyalahgunaan zat bukan merupakan masalah baru di Indonesia.
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna zat psikoaktif. 1 Di
Amerika Serikat, 8 sampai 10% dari orang berusia 12 tahun atau lebih tua, atau 20 hingga 22 juta
orang, kecanduan alkohol atau obat-obatan lain. Penyalahgunaan tembakau, alkohol, dan obat-
obatan terlarang di Amerika Serikat menuntut lebih dari $ 700 miliar per tahun dalam biaya yang
berkaitan dengan kejahatan, produktivitas kerja yang hilang, dan perawatan kesehatan. Setelah
berabad-abad dari upaya untuk mengurangi kecanduan dan biaya yang terkait dengan
menghukum perilaku adiktif tidak memberikan hasil yang memuaskan, penelitian dasar dan
klinis terbaru telah memberikan bukti yang jelas bahwa kecanduan mungkin lebih baik dianggap
dan diperlakukan sebagai penyakit yang diperoleh dari otak.3
Memahami mekanisme biologi adiksi dapat membantu yang lainnya mengenali dan
mengobati masalah dengan lebih empati, mengurangi stigmatisasi, dan hasilnya akan lebih
efektif.4
BAB II
NEUROKIMIA PENGGUNAAN O
2.1 Definisi Adiksi
Adiksi atau ketergantungan merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu
tahap kronis dari substance-use disorder, di mana ada kehilangan kontrol diri, seperti yang
ditunjukkan oleh menggunakan obat kompulsif meskipun berkeinginan untuk berhenti minum
obat. Dalam DSM-5, istilah adiksi ini identik dengan klasifikasi gangguan penggunaan zat
berat.1,5
Saat ini adiksi didefinisikan sebagai penyakit otak, dimana proses terjadinya diawali
dengan mekanisme volunter atau disadari, karena melibatkan peran korteks prefrontal. Dalam
konsep kedokteran ketergantungan merupakan gangguan yang menunjukkan adanya perubahan
dalam proses kimiawi otak sehingga memberikan efek ketergantungan (craving, withdrawal,
1
tolerance). Pada kondisi adiksi, terdapat beberapa substrat neurokimiawi dan neuroanatomi
yang umum pada semua adiksi, apakah mereka adiksi obat atau adiksi lain ( sebagai contoh,
berjudi, mencuri, dan makan). Berbagai adiksi memiliki efek yang mirip pada reward area
spesifik di otak, seperti ventral tegmental area, lokus seruleus dan nucleus acumbens dan korteks
prefrontal1,5
Tidak mudah untuk mendapatkan angka kejadian semua adiksi. namun, beberapa jenis
adiksi ada di beberapa negara. DIkatakan hampir 40% populasi di Amerika Serikat (AS) selama
hidupnya minimal pernah menggunakan satu atau lebih macam zat/Napza. diperkirakan 51% dari
semua orang dewasa di AS adalah pengguna alkohol, 30-45% dari orang dewasa tersebut
minimal pernah sekali mengalami masalah dengan penggunaan alkohol.
Ketergantungan alkohol di inggris pada tahun 2001 mencapai 2,8 juta orang. Sementara
4% dari penduduk AS pernah menggunakan psikostimulan, dengan kelompok umur paling
banyak adalah 18-25 tahun. Disusul 12-17 tahun. Seorang dewasa di AS diperkirakan
mengkonsumsi rata-rata 200 mg kafein perhari, 20-30% nya lebih dari 500 mg per hari. Pada
tahun 1996, 23.1% dari murid keas 8 dan 39,8% dari murip kelas 10 pernah menggunakan ganja.
sepuluh persen dari populasi pernah menggunakan kokain, dan 2% diantaranya pernah
mengalami ketergantungan. sepuluh persen populasi pernah menggunakan halusinogen, paling
banyak pada kelompok umur 15-35 tahun. Yang pernah menggunakan inhalan mencapai 6% dari
populasi, dan 1% masih aktif menggunakannya. WHO (World Health Organization)
memperkirakan lebih dari satu juta orang merokok di seluruh dunia menghabiskan lebih dari satu
triliun rokok per tahun.
Sementara adiksi seks, sulit didapatkan data karena hal ini merupakan masalah yang
sangat rahasia dan merupakan stigma bagi yang mengalaminya. Demikian juga dengan adiksi
yang lain, seperti adiksi shopping, video game, internet, judi dan lain-lain.
2.3 Etiologi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya adiksi, baik sebagai penyebab maupun
pencetus, antara lain teori psikososial dan psikodinamika, teori neurokimia, dan teori genetika.
Korteks prefrontal sedikit terlibat dalam stimulus baik positif maupun negatif,
namun meregulasi dan menentukan intensitas respon yang berupa prilaku. Suatu bagian
spesifik dari sirkuit limbik yang dikenal dengan sistem dopaminergik mesolimbik
dihipotesiskan mempunyai peran penting dalam menerjemahkan motivasi prikau motorik
dan khususnya kepada belajar yang berdasarkan reward. secara khas dinyatakan bahwa
VTA (vetral tegmental area), nukleus accumbens dan berkas dopamin, berisi serabut saraf
yang menghubungkan mereka. sistem ini biasanya berakibat keinginan untuk mencari
dan menggunakan zat atau melakukan sesuatu, karena stimulus reward, seperti makan
makanan manis, interaksi seksual, shopping dan main video game.
Proyeksi dari ventral tegmental area melepaskan dopamin dalam sirkuit untuk
merespon suatu kejadian yang relevan. Pelepasan dopamin ini mengawali respon prilaku
adaptif, dan hal ini menyebabkan perubahan selular untuk belajar dari kejadian terbsebut
Dengan cara ini organisme dapat lebih efektif berespon bila kejadian yang sama berulang.
Namun sebaliknya, pemberian zat yang berulang sebagai suatu kejadian yang termotivasi
menjadi biasa. Lokus cereleus, kelompok neuron adrenergik terbesar mungkin
menjembatani efek opiat dan opioida. Kelompok jalur-jalur ini secara kolektif disebut
brain-reward circuitry (sirkuit reward otak)
3. Teori genetika . Ada bukti kuat bahwa faktor genetik sebagai etiologi terjadinya adiksi,
hal ini dapat dilihat pada anak kembar dan sesama saudara yang dibesarkan secara
terpisah, ternyata mereka mempunyai kecenderungan untuk mengalami adiksi terhadap
zat yang sama.