Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN MENCEDERAI DIRI SENDIRI /SELF


HARM
“Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Keperawatan Jiwa”

Disusun Oleh :
1. Amelia Putri
2. Ela Saela
3. Ferina Damayanti
4. Naza Restiandi Putri
5. Neneng Rimawati N
6. Regita Puspa LS
7. Triska Indiyani P
8. Tria Rusmiatiningsih

PROGRAM S1 KEPERAWATAN
KAMPUS 2 SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KUNINGAN
(STIKKU)
RS CIREMAI CIREBON
JL.Pangeran Drajat No. 4A, Cirebon 451337
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapakan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN
MENCEDERAI DIRI SENDIRI / SELF HARM” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak
lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini penulis buat untuk melengkapi tugas pelajaran KEPERAWATAN JIWA . Saya
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini . Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Dosen pengampu Ns. Khusnul Aeni
S.Kep.,M.Kep., sebagai Dosan bidang studi yang telah banyak memberi petunjuk dan semua
pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini , sehingga penyususan
makalah dapat dibuat dengan sebaik- baiknya.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga saya
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Saya mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti
milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Cirebon, 17 April 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................
1.1 Latar Belakang................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................
1.3 Tujuan Makalah..............................................................................................................
1.4 Manfaat Makalah............................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................
2.1 Defenisi Self Harm.........................................................................................................
2. 2 Prevalensi Self Harm....................................................................................................
2.3 Jenis-jenis Self Harm....................................................................................................
2.4 Bentuk-bentuk Self Harm............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap individu memiliki masalah yang berbeda-beda begitu pula cara penyelesaiannya.
Sebagian individu mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik sementara beberapa dari
individu tersebut terkadang tidak mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ketidakmampuan menyelesaikan masalah menyebabkan timbulnya distres. Distres dapat
menimbulkan emosi negatif atau afek negatif. Misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi,
tidak berdaya, frustasi, marah, dendam dan emosi negatif lainnya. Banyak cara untuk
seseorang menyalurkan emosinya. Penyaluran emosi bisa dilakukan dengan cara positif bisa
juga dengan cara negatif. Contoh penyaluran emosi dengan cara positif misalnya melakukan
aktivitas yang disukai seperti olah raga, nonton film, membaca buku atau kegiatan positif
lainnya. Berbeda dengan sebagian individu memilih untuk menyalurkan dengan cara negatif
misalnya mengkonsumsi narkoba, minum-minuman beralkohol atau dengan cara menyakiti
dirinya (self harm).Perilaku menyakiti diri (self harm) merupakan fenomena yang cukup
penting di bidang kesehatan mental. Perilaku ini dapat dialami siapa saja baik orang normal
maupun orang-orang dengan gangguan mental. Self harm didefinisikan sebagai perilaku
seseorang yang mengkonsumsi racun, atau melukai diri sendiri, tidak memandang tujuan dari
tindakannya tersebut, meliputi Suicidal Self Injurious (SSI) dan Nonsuicidal Self-Injurious
Behavior (NSSI), dan suicide attempt/percobaan bunuh diri yang mengacu pada perilaku self
harm tanpa keinginan untuk mati. WHO dan National Institute of Health and Care Excellence
(NICE) memasukkan semua perilaku, termasuk semua metode yang digunakan dan ada atau
tidaknya niat untuk mati dalam definisi self harm. Self harm bukan merupakan gangguan jiwa
namun merupakan perilaku yang menunjukkan kurangnya kemampuan koping. Beberapa
gangguan yang berhubungan dengan self harm misalnya borderline personality disorder,
depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Fenomena self harm merupakan fenomena
gunung es. Pelaku dapat mengulangi self harm dan luka yang ditimbulkan semakin parah.
Risiko infeksi akibat luka terbuka, juga angka morbiditas yang ditimbulkan berdampak
meningkatkan beban biaya layanan kesehatan. Apabila luka yang ditimbulkan serius atau
pikiran bunuh diri muncul secara intensif, maka self harm dapat berakibat pada kematian.
Data dari WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat 880.000 kematian yang
diakibatkan perilaku menyakiti diri. Sekitar 10% dari pasien yang masuk dan dirawat ke
rumah sakit di Inggris adalah sebagai akibat dari self harm yang mayoritas diakibatkan
overdosis narkoba. Tidak semua orang dengan riwayat perilaku self harm pasti akan berlanjut
menjadi bunuh diri. Akan tetapi, orang dengan riwayat self harm berisiko 1,68 kali lipat
untuk melakukan bunuh diri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan self harm?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya self harm pada kalangan remaja?
3. Bagaimana penatalaksanaan medis terhadap pasien self harm?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apakah yang di maksud dengan self harm
2. Megetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya self harm pada kalangan
remaja
3. Mengetahui bagaimana persepsi masyarakat tentang self harm
4. Mengetahui bagaiman cara mencegah perilaku self harm
5. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis terhadap pasien self harm

1.4 Manfaat
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan ini yaitu dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman terhadap self harm pada kalangan remaja dan untuk perkembangan ilmu
pengetahuan.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari makalah ini adalah dapat menjelaskan tentang gambaran self
harm. Selain itu, penulisan ini dapat memberi pengetahuan dan informasi terkait self
harm bagi remaja dan orang tua.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Self Harm


Self harm adalah perilaku melukai dirinya sendiri yang dilakukan dengan sengaja tanpa ada
maksud untuk bunuh diri. Perilaku ini meliputi menyayat bagian kulit tubuh dengan pisau
atau silet,memukul diri sendiri, membakar bagian tubuh tertentu, menarik rambut dengan
keras, bahkan memotong bagian tubuh tertentu. Hal ini dilakukan tanpa adanya maksud untuk
bunuh diri. Self harm adalah perilaku dimana seseorang sengaja melukai tubuhnya sendiri
bukan bertujuan untuk bunuh diri melainkan hanya untuk melampiaskan emosi-emosi yang
menyakitkan. Banyak yang melakukannya karena mekanisme ini bekerja dan bahkan dapat
menyebabkan kecanduan, self harm hanya menyebabkan pembebasan yang bersifat
sementara dan tidak mengatasi akar permasalahan sehingga seseorang yang pernah
melakukannya akan memiliki kecenderungan untuk mengulanginya dengan peningkatan
frekuensi. Pelaku menyakiti diri mereka sendiri (self harm) dalam upaya mengurangi masalah
emosionalnya karena bagi para pelaku lebih baik sakit fisik dari pada sakit psikis atau sakit
secara emosionalnya. Pelaku self harm melakukan tindakan menyakiti diri sendiri secara
sengaja karena maksud untuk mengurangi ketegangan dan merasa lebih tenang yang ia
rasakan dari perasaan yang tidak nyaman yang diperoleh dari rasa penolakan yang ia rasakan.
Perasaan tenang tersebut hanya bersifat sementara karena pada dasarnya tindakan ini tidak
menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya terjadi pada dirinya. self harm merupakan
mekanisme coping yang digunakan seseorang secara individu untuk mengatasi rasa sakitnya
secara emosional atau menghilangkan rasa kekosongan secara kronis dalam diri dengan
memberikan sensasi pada diri sendiri, self harm sendiri merupakan mekanisme coping yang
tidak baik namun banyak orang yang melakukan karena memang mekanisme tersebut
menjadi cara yang efektif bekerja dan bahkan bisa menyebabkan kecanduan.

2.2 Prevalensi Self Harm


Pada umumnya, perilaku self harm lebih sering terjadi pada usia remaja.Pada tahun 2001,
WHO melaporkan bahwa perilaku melukai diri sendiri yang kemudian menjurus ke bunuh
diri menyebabkan paling tidak 814.000 kematian ditahun 2000. Pelaku perilaku ini juga
biasanya didominasi oleh remaja. Pada tahun 2010, 20% dari populasi di Australia berusia
18-24 tahun mengaku pernah melukai dirinya sendiri paling tidak sekali dalam kehidupan
mereka. Berdasarkan data yang dilansir oleh BBC Inggris (2010) diinformasikan bahwa
dalam 5 tahun terakhir jumlah orang muda di Inggris yang masuk ke rumah sakit setelah
mencederai diri mereka sendiri (self harm) dengan sengaja, naik lebih dari 50%. Pada tahun
2008-2009 ada 2.727 orang yang berusia di bawah 25 tahun yang dibawa ke rumah sakit di
Inggris karena mencederai diri sendiri (self harm) dengan benda-benda tajam, dibandingkan
pada tahun 2004-2005 yaitu sebanyak 1758 orang. Data ini mengindikasikan bahwa
fenomena perilaku self harm menjadi kian meningkat dan pelakunya sebagian besar adalah
mereka yang berada pada rentang usia remaja akhir hingga dewasa awal.
2.3 Jenis-jenis Self Harm
Self harm terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:
1. Major self-mutilation
Melakukan kerusakan permanen pada organ utama, seperti memotong kaki atau mencukil
mata. Self harm jenis ini biasanya dilakukan oleh individuyang mengalami tahap psikosis.
Stereotipik melukai diri kurang parah tapi jauh lebih berulang.
2. Stereotipik self harm
Stereotypic self harm tidak begitu parah tapi jauh lebih berulang. Jenis self harm ini biasanya
melibatkan perilaku berulang seperti membenturkan kepala ke lantai secara berulang kali.
Individu yang terlibat dalam jenis self harm ini sering menderita gangguan saraf seperti
Autisme atau Sindrom Tourette.
3. Superficial self-mutilation
Superficial self-mutilation dijelaskan oleh sebagai jenis yang paling umum dari self harm.
Contoh perilaku superficial self-mutilation adalah menarik rambut sendiri dengan sangat
kuat, menyayat kulit dengan benda tajam, membakar bagian tubuh, membanting tubuhnya
sendiri, dan membenturkan kepala.
Ada tiga sub-tipe dari jenis self harm. Ketiga sub tipe episodik, repetitif dan kompulsif.
Kompulsif self harm serupa dengan gangguan psikologis seperti Obsesif-Compulsive
Disorder. Sub tipe ini lebih dalam bawah sadar dibandingkan dengan dua sub tipe lainnya dan
tidak dilakukan sebagai suatu keharusan. Episodik dan repetitive self harm bervariasi dalam
cara melakukannya. Keduanya terjadi di episode mana self harm akan mewujudkan dirinya
lebih baik pada saat waktu tertentu, namun perbedaannya adalah bahwa individu-individu
yang digambarkan sebagai berpartisipasi dalam repetitive superficial self-mutilation melihat
fakta bahwa mereka melukai diri sendiri sebagai bagian penting dari identitas mereka dan
bahkan mengembangkan siapa mereka sebagai pelaku self harm.

2.4 Bentuk-bentuk Self Harm


Bentuk paling umum dari self harm adalah membuat irisan dangkal pada lengan atau tungkai.
Menurut Whitlock, dkk bentuk-bentuk self harm antara lain:
a. Menggores, menggaruk atau mencubit yang dapat menimbulkan tanda pada kulit dan
menyebabkan kulit berdarah.
b. Membanting atau memukulkan objek kediri sendiri sehingga menimbulkan luka
memar atau berdarah.
c. Mencabik-cabik kulit.
d. Mengukir kata-kata atau bentuk-bentuk tertentu di permukaan kulit.
e. Menyuluti atau membakar kulit dengan rokok, api ataupun air panas.
f. Menarik rambut secara paksa dengan jumlah yang banyak.
Bentuk-bentuk self harm yang bisa dilakukan yaitu:
a. Menggores bagian tubuh tertentu
b. Membakar bagian tubuh tertentu dengan rokok
c. Memukul diri sendiri, memukul tembok atau benda keras yang lain
d. Membuat tubuh menjadi luka memar atau patah tulang
e. Membenturkan kepala
f. Menarik rambut
g. Menghantamkan tubuh terhadap suatu objek
h. Mencubit

2.5 Karakteristik Self Harm


Menurut Eliana para pelaku self harm memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Berdasarkan kepribadian pelaku:
1. Kesulitan mengendalikan impuls di berbagai area, yang terlihat dalam masalah gangguan
makan atau adiksi terhadap zat adiktif.
2. Para pelaku self harm cenderung memiliki self esteem yang rendah dan kebutuhan atau
dorongan yang kuat untuk mendapatkan cinta dan penerimaan orang lain.
3. Pola pemikiran yang kaku, cara berpikir yang harus mencapai suatu tujuan atau tidak sama
sekali.
b. Berdasarkan lingkungan keluarga pelaku
1. Masa kecil penuh trauma atau kurangnya sosok salah satu atau kedua orangtua,
menimbulkan kesulitan-kesulitan menginternalisasikan perhatian positif
2. Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengurus diri sendiri dengan baik.
c. Berdasarkan lingkungan sosial pelaku:
1. Kurangnya kemampuan untuk membentuk dan menjaga hubungan yang stabil.
2. Takut akan perubahan, baik perubahan dalam kegiatan sehari-hari maupun pengalaman
baru dalam bentuk apapun (orang-orang, tempat peristiwa), dapat juga perubahan perilaku
mereka, atau perubahan yang mungkin diperlukan untuk pulih.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu yang melakukan
self harm adalah individu memiliki self esteem yang rendah, memiliki pola pemikiran yang
kaku, takut akan perubahan, serta kurang dalam membentuk atau menjaga hubungan yang
stabil.
Sedangkan Menurut Knigge (1999) karakteristik umum pelaku self harm
adalah sebagai berikut:
• Sangat tidak menyukai diri mereka sendiri
• Sangat peka terhadap penolakan
• Terus-menerus marah pada diri mereka sendiri
• Cenderung untuk menekan kemarahan
• Memiliki tingkat agresif yang tinggi, yang mereka setuju sangat kuat dan
sering menekan atau mengarahkan pada diri
• Kurangnya impuls kontrol
• Cenderung bertindak sesuai dengan suasana hati mereka saat itu
• Cenderung tidak merencanakan masa depan
• Mengalami depresi dan self destructive
• Tidak henti-hentinya menderita kecemasan
• Cenderung ke arah cepat marah
• Tidak merasa diri mereka mampu mengatasi masalah, tidak memiliki
kemampuan untuk mengatasi masalah.
Berdasarkan karakteristik pelaku self harm di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaku self
harm mempunyai karakteristik umum yaitu: sangat tidak menyukai diri mereka sendiri,
sangat peka terhadap penolakan, terus-menerus marah pada diri mereka sendiri, cenderung
untuk menekan kemarahan, memiliki tingkat agresif yang tinggi, umumnya depresi atau
stress berat, mengidap kecemasan kronis.

2.6 Faktor Penyebab Self Harm


Ada banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan self harm, dalam sebuah
penelitiannya yang berjudul physiological arousal, distress tolerance, and social problem-
solving deficits among adolescent self harm, mengemukakan ada 4 (empat) alasan utama
seseorang melakukan self harm yaitu:
1. Meredakan ketegangan atau menghentikan perasaan buruk;
2. Merasakan sesuatu, bahkan rasa sakit;
3. Untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menunjukkan bahwa mereka menderita;
4. Membuat orang lain berhenti mengganggu mereka.
faktor penyebab self harm adalah karena faktor-faktor psikologis yaitu merasa tidak kuat
menahan emosi dan merasa terjebak, stress, self esteem yang rendah, tidak sanggup
mengekspresikan ataupun mengungkapkan perasaan, merasa hampa atau kosong, adanya
perasaan tertekan didalam batin yang tidak dapat ditolerir setelah kehilangan orang yang
disayangi, ingin mendapat perhatian lagi dari orang yang disayangi, merasa putus asa, tidak
sanggup menghadapi realita, tidak berguna, hidup terasa sulit, frustrasi dan depresi.
Pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan dengan orang terdekat, misalnya keluarga,
khususnya interaksi yang buruk dengan ibu sangat berhubungan dengan kemunculan self
harm. Pengabaian, penganiaan, penolakan, kritikan berlebih, kurangnya dukungan emosional,
menyebabkan seseorang mengembangkan gaya berpikir kritis “berlebihan” terhadap diri.
Gaya berpikir kritis berlebihan kepada diri dikatakan memiliki kontribusi yang sangat besar
dalam self harm. Selain menimbulkan kemarahan dan kebencian yang mendalam terhadap
diri, kritik berlebihan juga menyebabkan individu selalu meragukan kemampuannya, tidak
ada penghargaan atas diri, dan sangat mudah merasakan perasaan bersalah atas apa saja yang
dilakukannya. Individu yang melakukan self harm juga diketahui sering mengalami
ketergugahan akan emosi dan pikiran-pikiran negatif, mereka lebih banyak merasakan hal-hal
negatif di sekelilingnya. Ditambah dengan kurangnya keterampilan emosi, meliputi; toleransi
rendah terhadap kejadia buruk yang menimpa, sulit mengekspresikan apa yang dirasakan,
dan memiliki kemampuan buruk dalam penyelesaian masalah.

2.7 Latar Belakang Keluarga Pelaku Self Harm


Perilaku self harm ini tidak terjadi secara spontan begitu saja, perilaku berawal dari latar
belakang keluarga, self harm dari segi pola asuh atau kebiasaan yang diterapkan sehari hari
ataupun yang diamati oleh pelaku self harm, Latar belakang keluarga dari pelaku self harm
antara lain sebagai berikut:
a. Adanya kehilangan yang mengakibatkan traumatis, sakit keras, ketidakstabilan dalam
hidup berkeluarga (keluarga Nomaden, orang tua Divorce).
b. Adanya pengabaian dan penganiayaan, baik secar fisik, seksual maupun emosional.
c. Kehidupan keluarga dipenuhi keyakinan agama yang kaku nilai-nilai yang dogmatis ,
yang diterapkan dengan cara yang munafik dan tidak konsisten.
d. Peran yang terbalik dalam keluarga: misalnya si anak mengambil alih tanggung jawab
orang dewasa di usia dini

Perilaku self harm berasal dari latar belakang keluarga dan lingkungan berpengaruh dalam
pembentukan kepribadian yang berhubungan dengan perilaku self harm yaitu kepribadian
introvert, diri yang rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan
perasaan.

2.8 Self Harm dalam DSM-V


DSM-V akhirnya self harm diakui sebagai gangguan yang terpisah dari gangguan mental
lainnya. Hal ini disebut non-suicidal self injury (NSSI). Kriteria utama dari self harm antara
lain adalah :
1. Seseorang telah terlibat self harm, selama dua belas bulan terakhir,setidaknya
dilakukan pada lima hari yang berbeda.
2. Self injury bukan merupakan hal yang sepele (misalnya menggigit kuku),dan tidak
merupakan bagian dari sebuah praktek yang diterima secara sosial (misalnya menusuk
atau tato).

Self harm ditunjukkan oleh pelakunya bahwa mereka dapat sadar bahwa hal tersebut tidak
mematikan. Lebih lanjut, melukai diri harus disertai dengan setidaknya dua dari berikut :
perasaan atau negatif, seperti depresi, kecemasan, ketegangan, kemarahan, kesedihan umum,
atau kritik – diri, terjadi pada periode segera sebelum tindakan self harm.

2.9 Tatalaksana Self Harm


a. Pencegahan Self Harm dan Suicide
Pendekatan untuk mencegah self harm dan suicide dapat dibagi menjadi langkah-langkah
berbasis populasi, yang ditujukan untuk semua remaja (misalnya, inisiatif pendidikan), dan
langkah-langkah yang ditujukan untuk kelompok berisiko tinggi misalnya, individu dengan
riwayat pelecehan, mereka yang melukai diri sendiri. Kegiatan untuk mencegah suicide
dan self harm harus mempertimbangkan karakteristik khusus suicide remaja dan self
harm. Sebagai contoh, mereka harus menargetkan isu-isu seputar transmisi sosial self harm
dan suicide, mengatasi kekhawatiran tentang orientasi seksual dan intimidasi pada remaja,
mempromosikan perilaku mencari bantuan, dan menumbuhkan kepercayaan diri dan
ketahanan. Strategi pencegahan bunuh diri berbasis sekolah sedang berkembang dan
mencakup penyaringan remaja yang berisiko, pelatihan keterampilan, dan program-program
seluruh sekolah. Meskipun ada beberapa bukti bahwa program skrining dapat
mengidentifikasi remaja yang berisiko yang tidak dikenali oleh sekolah.dan meningkatkan
penggunaan layanan kesehatan mental pada remaja berisiko yang tidak diobati, mereka
memiliki beberapa keterbatasan. Program skrining menempatkan beban besar pada sekolah
dan penyedia layanan kesehatan mental karena skrining sekolah menghasilkan banyak hal
yang salah. karena risiko bunuh diri berfluktuasi seiring dengan waktu, satu layar akan
cenderung menghasilkan negatif palsu. Studi-studi di bidang ini telah menunjukkan bahwa
bertanya pada remaja tentang ide bunuh diri tidak meningkatkan risiko berkembangnya
bunuh diri, tetapi justru sebaliknya. Pelatihan mensyaratkan pelatihan teman sebaya dan
orang dewasa untuk lebih mengenali tanda-tanda peringatan untuk bunuh diri. Beberapa bukti
ada bahwa pelatihan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang bunuh diri,
meningkatkan perilaku mencari bantuan, dan mengurangi self harm dalam jangka pendek
(upaya bunuh diri yang berkurang terlihat dalam satu intervensi yang juga memiliki
komponen skrining). Ada bukti dari Skotlandia (meskipun tidak eksklusif untuk remaja)
bahwa memastikan bahwa pelatihan seperti itu menjadi rutin dikaitkan dengan pengetahuan
yang lebih baik tentang suicide, peningkatan kapasitas masyarakat. Pelatihan keterampilan
psikologis untuk siswa sekolah telah menghasilkan temuan yang menjanjikan dalam
mengurangi ide bunuh diri, tetapi beberapa efek negatif juga telah dilaporkan (misalnya,
meningkatnya kemarahan dan berkurangnya keterkaitan sekolah). Pendekatan whole-school,
yang secara positif mengubah etos dan budaya sekolah terkait dengan kesejahteraan
psikologis, cenderung meningkatkan pencarian bantuan, tetapi tidak ada bukti yang jelas
tentang program langsung yang berdampak pada pengurangan suicide. Diperlukan lebih
banyak pendekatan berbasis sekolah yang menargetkan remaja merugikan diri sendiri.
Pembatasan akses ke sarana untuk bunuh diri adalah strategi pencegahan bunuh diri kunci
pada remaja, terutama karena sifat perilaku yang sering impulsif. Salah satu contoh penting
adalah membatasi ketersediaan dan penyimpanan yang lebih aman dari senjata dalam rumah
tangga di negara-negara dengan prevalensi bunuh diri yang tinggi dengan menembak, dengan
indikasi kuat bahwa kehadiran senjata dalam rumah tangga meningkatkan risiko bunuh diri
remaja dan beberapa bukti bahwa pembatasan ketersediaan mereka mengurangi risiko ini.
Yang lainnya adalah penyimpanan pestisida yang lebih aman di daerah pedesaan di negara-
negara berkembang, di mana ketersediaan yang siap berarti bahwa bunuh diri dengan
konsumsi pestisida adalah umum. Contoh selanjutnya adalah membatasi ukuran paket obat
yang biasanya digunakan untuk keracunan diri pada orang muda, seperti parasetamol. Yang
krusial, pembatasan akses ke metode berbahaya umum biasanya tidak berakibat individu
segera beralih ke metode lain.
b. Intervensi psikososial
Dalam pandangan fakta bahwa krisis yang terkait dengan self harm pada remaja
seringkali dapat diselesaikan dengan sangat cepat, dokter terutama dokter keluarga, pada
awalnya mungkin memberikan perawatan psikososial yang mendukung. Akan tetapi,
interventilasi khusus akan diindikasikan dalam banyak kasus, terutama ketika masalah parah
atau berlangsung lama dan di mana melukai diri sendiri dikaitkan dengan penggunaan metode
yang lebih berbahaya atau niat bunuh diri yang jelas. Mempertimbangkan sejauh mana
melukai diri sendiri pada remaja, ada beberapa percobaan mengejutkan dari intervensi
psikososial pada mereka yang telah melukai diri sendiri. Dibandingkan dengan pengobatan
kontrol, kebanyakan pengobatan seperti biasa, tidak ada perbedaan dalam pengulangan
menyakiti diri yang terlihat untuk terapi pemecahan masalah keluarga berbasis rumah
(meskipun keluarga lebih suka ini daripada pengobatan kontrol). memberikan kartu darurat
kepada remaja akan memungkinkan mereka untuk mengakui kembali dirinya keunit rawat
inap psikiatri pediatrik jika mereka dalam krisis. Wawancara motivasi untuk meningkatkan
keterlibatan dalam terapi, dan terapi psikologis singkat. Namun, sebagian besar uji coba, agak
kecil, tanpa kekuatan untuk secara memadai menguji efek pengobatan eksperimental pada
pengulangan. Hasil uji coba awal terapi kelompok untuk remaja yang berulang kali melukai
diri sendiri tampak menjanjikan dalam hal pengurangan pengulangan menyakiti diri, tetapi
dua uji coba berikutnya tidak mengkonfirmasi ini dalam kaitannya dengan pengulangan atau
hasil lainnya. Peningkatan dalam perawatan kesehatan mental anak dan remaja bisa
mengakibatkan perawatan seperti biasa menjadi lebih efektif daripada sebelumnya. Selain itu,
ada kekurangan informasi yang menjadi dasar rekomendasi pengobatan untuk remaja yang
melukai diri sendiri. Ada banyak minat dalam penggunaan terapi perilaku dialektis yang
dimodifikasi yang telah memberikan hasil yang menjanjikan pada orang dewasa dengan
gangguan kepribadian ambang untuk mengobati remaja dengan gangguan diri yang berulang
dan sifat garis perbatasan. Hasil uji coba acak ditunggu. Mendorong hasil-hasil yang
berkaitan dengan perilaku merugikan diri sendiri terlihat untuk terapi berbasis keluarga
multisistemik dibandingkan dengan rawat inap psikiatris untuk individu yang bunuh diri
berusia 10-17 tahun. Kebanyakan anak muda yang melukai diri sendiri tidak mencari
pertolongan sebelumnya. Kekhawatiran tentang kerahasiaan dan stigma dilaporkan oleh
remaja sebagai hambatan dalam mencari bantuan untuk Pemikiran bunuh diri. Dalam sebuah
studi kuesioner terhadap sampel besar individu berusia 15- 16 tahun, responden menyarankan
bahwa teman sebaya mungkin takut untuk meminta bantuan karena kekhawatiran bahwa
orang lain mungkin menemukan dan rumor akan mulai beredar di sekitar sekolah mereka.
Kekhawatiran ini lebih menonjol pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Banyak
remaja melaporkan kekhawatiran tentang stigma mencari bantuan untuk melukai diri sendiri
dan didiagnosis dengan penyakit mental. Beberapa menyarankan bahwa pencarian bantuan
harus dibuat lebih normal dan harus disertai dengan penerimaan yang lebih luas bahwa setiap
orang memiliki masalah. Konteks budaya adalah penting ketika mempertimbangkan perilaku
pencarian bantuan, dan akan mempengaruhi tidak hanya pengakuan dan pengelolaan bunuh
diri. perilaku, tetapi juga pengembangan intervensi spesifik budaya.

c. Farmakoterapi.
Kekhawatiran tentang penggunaan antidepresan pada anak-anak dan remaja pertama kali
dibesarkan di Inggris pada tahun 2003 dan AS pada tahun 2004, dan diikuti oleh peringatan
yang dikeluarkan oleh badan pengawas bahwa mungkin ada peningkatan risiko bunuh diri
dengan antidepresan yang lebih baru. Sebagian besar perhatian difokuskan pada resep untuk
kelompok usia yang lebih muda. Namun, manfaat resep antidepresan mungkin lebih besar
daripada risiko perilaku bunuh diri yang muncul. Meskipun risiko telah dinilai tertinggi pada
fase awal pengobatan, risiko kematian pada anak-anak dan orang dewasa terbukti tidak
meningkat pada bulan pertama pengobatan dibandingkan dengan bulan-bulan berikutnya, dan
risiko percobaan bunuh diri paling tinggi pada bulan sebelum memulai pengobatan
antidepresan. Peringatan keselamatan memiliki efek yang jelas pada kebiasaan pemberian
resep, yang pada awalnya dilaporkan dikaitkan dengan peningkatan bunuh diri pada anak-
anak di Amerika Serikat dan Belanda tetapi temuan ini tidak direplikasi selama periode studi
yang lebih lama di Inggris. Tidak ada uji coba farmakoterapi yang dilakukan untuk remaja-
remaja yang melukai diri sendiri. Percobaan pengobatan untuk depresi yang membandingkan
pengobatan antidepresan dengan pengobatan psikologis, bagaimanapun,telah memberikan
beberapa informasi. Dalam Multicentre Treatment of Adolescent Depression Study, terapi
perilaku kognitif, baik sendiri atau dikombinasikan dengan fluoxetine, dikaitkan dengan
pengurangan yang lebih besar dalam ide bunuh diri atau tindakan (gabungan) dari pada
fluoxetine saja. Dalam dua percobaan lain, Namun, tidak ada Perbedaan terlihat antara terapi
perilaku kognitif dan pengobatan antidepresan SSR pada hasil ini. Kesimpulan Kerusakan
diri dan bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat utama pada orang muda di seluruh
dunia dan ada banyak tantangan untuk manajemen dan pencegahan mereka. Banyak yang
sekarang diketahui tentang epidemiologi dan penyebabnya tetapi upaya penelitian harus
fokus pada identifikasi lebih lanjut subtipe dari mereka yang melukai diri sendiri atau
berisiko bunuh diri. Memang, akan sangat membantu untuk memiliki pemahaman yang lebih
baik tentang faktor-faktor yang terkait dengan tingkat melukai diri yang berbeda (misalnya,
para ideator vs upaya mematikan yang tinggi). Mengingat beragam motif yang mendasari
melukai diri sendiri, pemahaman yang lebih baik tentang makna tindakan dan bagaimana ini
berhubungan dengan manajemen klinis akan bermanfaat. Akan lebih informatif untug
mengetahui faktor-faktor apa saja yang terkait dengan remaja yang berhenti menyakiti diri
sendiri. Pemahaman tentang bagaimana dan kapan terpapar bahaya dan bunuh diri
meningkatkan risiko pengelompokan dan penularan sosial memiliki implikasi klinis yang
penting. Hanya kemajuan kecil telah dibuat dalam pencegahan dan ada kekurangan bukti
untuk intervensi pengobatan yang efektif. Pengembangan dan penilaian intervensi
psikososial dan farmakologis baru untuk mengurangi kerusakan diri dan bunuh diri harus
menjadi prioritas utama, dan harus mencakup intervensi berbasis internet. Peningkatan
perawatan kesehatan mental pada remaja dalam hal akses dan kualitas layanan sangat
penting, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Manajemen yang
lebih baik dari jalur perawatan orang muda yang rentan ketika mereka pindah dari layanan
anak dan remaja ke layanan orang dewasa untuk memastikan kesinambungan perawatan
harus mengurangi risiko bunuh diri. Kebijakan untuk mendorong pembatasan akses ke sarana
bunuh diri, termasuk akses ke senjata api dan penyimpanan pestisida yang lebih aman, harus
dilaksanakan.

Pengembangan dan penilaian media baru dan sumber dukungan telepon sangat penting
karena penggunaan media elektronik meningkat. Pengurangan stigma yang terkait dengan
masalah kesehatan mental dan pencarian bantuan juga merupakan tantangan besar.
Penekanan pada pencegahan menyakiti diri dan bunuh diri pada orang muda dalam pedoman
nasional adalah langkah maju yang disambut baik.
Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian Primer
1. Air way (Bebasnya Jalan Napas)
a. Cek ada tidaknya sumbatan jalan nafas
- Total/jalan nafas tertutup= pada pasien sadar pasien memegang leher, gelisah, sianosis,
sedangkan pada pasien tidak sadar tidak terdengar suara nafas dan sianosis.
- Parsial/masih ada proses pertukaran gas= tampak kesulitan bernafas, takhipneu, bradipneu,
irregular. Juga terdengar suara nafas gargling, snoring, atau stridor.
b. Periksa ada tidaknya kemungkinan fraktur servikal.
2. Breathing (Adekuat pernapasan)
a. Look : lihat pergerakan dada simetris atau tidak, irama teratur atau tidak, kedalaman
frekuensi cepat atau tidak, kaji ada luka, jejas atau hematom.
b. Listen : dengarkan dengan telinga atau stetoskop adanya suara tambahan.
c. Feel : rasakan adanya aliran udara
3. Circulation (Adekuat jantung dan sirkulasi tubuh)
a. Periksa ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah besar (nadi karotis, nadi femoralis).
b. Mengenal ada tidaknya tanda-tanda syok, serta ada tidaknya perdarahan eksternal yang
aktif.
4. Disability
a.Metode AVPU (alert-verbal-pain-unresponse).
b. Penilaian GCS/Glasgow Coma Scale.
c. Lihat pupil isokor/anisokor.
B. Pengkajian sekunder
1. Fahrenheit (suhu tubuh)
Kaji :
a. Suhu tubuh.
b. Suhu lingkungan.
2. Get Vital Sign/ Tanda-tanda vital secara kontinyu
Kaji :
a. Tekanan darah.
b. Irama dan kekuatan nadi.
c. Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu.
d. Saturasi oksigen.
3. Head to assesment (pengkajian dari kepala sampai kaki)
Pengkajian Head to toe:
a. Riwayat Penyakit
1) Keluhan utama dan alasan klien ke rumah sakit.
2) Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke rumah sakit.
3) Tipe cedera, posisi saat cedera, lokasi cedera.
4) Gambaran mekanisme cedera dan penyakit seperti nyeri pada organ tubuh yang mana,
gunakan : provoked (P), quality (Q), radian (R), severity (S) dan time (T).
5) Kapan makan terakhir.
6) Riwayat penyakit lain yang pernah dialami/operasi pembedahan/kehamilan.
7) Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang, imunisasi tetanus
yang dilakukan dan riwayat alergi klien.
8) Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan klien.

b. Pengkajian kepala, leher dan wajah


1) Periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang wajah dan jaringan lunak,
adakah perdarahan serta benda asing.
2) Periksa mata, telinga, hidung, mulut. Adakah tanda-tanda perdarahan, benda asing,
deformitas, laserasi, perlukaan serta adanya keluaran.
3) Amati bagian kepala, adakah depresi tulang kepala, tulang wajah, kontusio/jejas, hematom,
serta krepitasi tulang.
4) Kaji adanya kaku leher.
5) Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trachea, distensi vena leher, perdarahan,
edema, kesulitan menelan, emfisema subcutan dan krepitas pada tulang.
c. Pengkajian dada
1) Pernafasan : irama, kedalaman dan karakter pernafasan.
2) Pergerakan dinding dada anterior dan posterior.
3) Palpasi krepitas tulang dan emfisema subcutan.
4) Amati penggunaan otot bantu nafas.
5) Perhatikan tanda-tanda injuri atau cedera : petekiae, perdarahan, sianosis, abrasi dan
laserasi.

d. Pengkajian abdomen dan pelvis


Hal-hal yang dikaji pada abdomen dan pelvis :
1) Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen.
2) Tanda-tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi, abrasi, distensi abdomen, jejas.
3) Masa : besarnya, lokasi dan mobilitas.
4) Nadi femoralis.
5) Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRST)
6) Bising usus
7) Distensi abdomen
8) Genitalia dan rectal : perdarahan, cedera, cedera pada meatus, ekimosis, tonus spinkter ani.

e. Ekstremitas
Pengkajian di ekstremitas meliputi :
1) Tanda-tanda injuri eksternal
2) Nyeri
3) Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
4) Sensasi keempat anggota gerak
5) Warna kulit
6) Denyut nadi perifer
f. Tulang belakang
Pengkajian tulang belakang meliputi :
1. Jika tidak didapatkan adanya cedera/fraktur tulang belakang, maka pasien dimiringkan
untuk mengamati :
a) Deformitas tulang belakang
b) Tanda-tanda perdarahan
c) Laserasi
d) Jejas
e) Luka
2. Palpasi deformitas tulang belakang
g. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan meliputi :
1) Radiologi dan scanning
2) Pemeriksaan laboratorium : Analisa gas darah, darah tepi, elektrolit, urine analisa dan lain-
lain.
C. Contoh kasus
Anak S (17 tahun) pernah mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri dengan menyuntikan
racun kedalam tubuhnya, saat itu neneknya melihat, lalu dibawanya ke rumah sakit. Ini
terjadi seminggu setelah kematian ayahnya yang meninggal akibat kecelakaan mobil di lalu
lintas saat akan menjemput anak S di sekolahnya. Sebelumnya ibu anak S juga meninggal
ketika melahirkannya. Sehingga dia merasa bahwa kedua orang tuanya meninggal akibat
kesalahannya. Anak S selalu menangis dikamar, sering menyendiri, mencoba melukai
tubuhnya dan cenderung ingin bunuh diri. Dan untuk kedua kalinya, Anak S mencoba
mencederai dirinya dengan menggores kulitnya di WC sekolah, tapi karena temannya melihat
sikap dan tingkah lakunya yang sedikit aneh jadi temannya melaporkan ke ruang guru dan hal
itu dapat dicegah. Anak S menanggung rasa malu karena teman-temannya banyak
membicarakan tentangnya.Dan saat di rumah dia tidak mau bertemu dengan orang lain dan
sering tiba-tiba menangis, .neneknya menjadi takut. Akhirnya neneknya membawa ke
Psychiatric Ward. Di awal pengkajian An.S mengatakan bahwa mengatakan bahwa dirinya
benar-benar tidak berguna dan merasa apa yang terjadi adalah kesalahannya padahal dulunya
dia termasuk siswa yang periang.
D. Pengkajian Sekunder Berdasarkan Kasus
1. Identitas Klien
Nama : Ank. S
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Informan : Pasien dan nenek ank.S
2. Alasan Masuk RS
untuk mencegah klien melakukan tindakan self injury lagi dan dari keluarga pasien, belum
ada penanganan terhadap tindakan anak S tersebut.
3. Faktor Pencetus
a. Riwayat Keluarga : -
b. Penyebab self injury : Anak S kehilangan ayahnya seminggu yang lalu dan dirinya
merasa bersalah atas kehilangan tersebut, menurut anak S, kematian orang tuanya adalah
akibat kesalahannya.
c. Perilaku Self Injury dimasa lalu : Mencoba menyuntikan racun kedalam tubuhnya dan dua
hari kemudian mencoba menggores kulitnya di WC sekolah.
4. Riwayat Pengobatan: -
5. Penyalahgunaan obat dan alcohol: -
6. Riwayat pendidikan dan pekerjaan: Pelajar SMA
7. Respon fisiologik dan emosional:
a. Respon fisiologik: tampak bekas suntikan ditangan dan goresan dikulit.
b. Respon emosional: merasa putus asa dan klien sering menangis sendiri dengan ekspresi
wajah tampak murung.
8. Faktor risiko self injury dan legalitas perilaku self injury klien
a. Tujuan klien: menghilangkan perasaan bersalahnya
b. Pasien sudah 2x melakukan percobaan untuk melukai dirinya
c. Keadaan jiwa klien: keputusasaan atas hidup yang menimpanya.
9. Sistem pendukung yang ada
Sistem pendukung keluarga: keluarga terutama neneknya tidak mengetahui apa yang
dilakukan untuk mengatasi perilaku klien sehingga keluarga mengantarkan klien ke
Psychiatric Ward.

10. Riwayat psikososial


a. Konsep Diri
1) Gambaran Diri : mengungkapkan keputus asaan dan kesedihan.
2) Identitas: Ketidak pastian memandang diri, merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi.
3) Peran : Berhenti fungsi peran yang disebabkan kehilangan dan berduka.
4) Ideal Diri : Mengungkapkan keputusasaaan akibat kehilangan orang tuanya.
5) Harga Diri: rasa bersalah terhadap diri sendiri sehingga pasien selalu mengancam akan
melakukan tindakan self injury.
b. Hubungan social
1) Orang yang berarti: ayah dan ibu
2) Peran serta kegiatan kelompok atau masyrakat: tidak ada
3) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain: pasien tampak agresif terhadap diri
sendiri untuk menyakiti dirinya, sehingga kurangnya hubungan social dengan orang lain.
c. Hubungan Spiritual
1) Nilai dan keyakinan: agama islam
2) Kegiatan ibadah: tidak ada
11. Status Mental
a. Penampilan
Penggunaan pakaian: tidak rapi
Jelaskan: Klien memakai pakaian yang tidak rapi, bajunya tampak kusut.
b. Pembicaraan: pasien berbicara lambat, dan sedikit membisu, tapi saat membicarakan
keluarganya dia tampak menangis dan berbicara keras.
c. Aktivitas motorik: Gelisah, lesu
Jelaskan : pasien merasa tidak tenang dan mengungkapkan ketidakberdayaan untuk
hidup.
d. Alam perasaan: putus asa
Jelaskan: klien tampak putus asa dan murung.
e. Efek: Datar
Jelaskan : klien menunjukkan ekspresi datar ketika diberi stimulus menyenangkan atau
menyedihkan.
f. Interaksi selama wawancara: bermusuhan, kontak mata (-)
Jelaskan : klien menujukkan sikap tidak ingin diganggu, mengancam akan melakukan
tindakan melukai diri dan kontak mata klien tampak pandangan kosong.
g. Persepsi: normal
Jelaskan : tidak ada
Masalah keperawatan : tidak ada
h. Proses Pikir: pengulangan pembicaraan
Jelaskan: klien selalu mengulang-ulang pembicaraan dengan mengancam ingin
malakukan tindakan melukai diri bahkan bunuh diri.
i. Tingkat kesadaran : komposmentis/kesadaran penuh

E. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Risiko Tinggi Terhadap Mutilasi Diri berhubungan dengan Sejarah perilaku multilatif /
melukai diri sebagai respon terhadap kehilangan.
Definisi: Risiko tinggi terhadap mutilasi Diri adalah suatu keadaan seseorang berada pada
risiko yang tinggi untuk melakukan suatu tindakan yang dapat melukai dirinya, namun bukan
bermaksud bunuh diri, yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan pelepasan tegangan.
Intervensi dengan rasional tertentu
a. Tindakan untuk melindungi klien apabila terjadi perilaku mutilatif diri, seperti memukul-
mukul, membentur-benturkan kepala atau perilaku-perilaku histeris lainnya menjadi nyata.
Perawat bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan pasien.
b. Helm dapat digunakan untuk melindungi terhadap tindakan memukul-mukul kepala,
sarung tangan untuk mencegah menarik-narik rambut, dan pemberian bantalan yang sesuai
untuk melindungi ekstremitas terluka selama terjadinya gerakan-gerakan histeris.
c. Coba untuk menentukan jika perilaku-perilaku mutilitatif diri terjadi sebagai respons
terhadap kehilangan, dan jika terjadi, terhadap apa kehilangan tersebut dapat dihubungkan.
Perilaku-perilaku mutilatif dapat dicegah jika penyebabnya dapat ditentukan.
d. Bekerja pada dasarnya, satu perawat untuk satu klien, untuk membentuk kepercayaan.
e. Tawarkan diri kepada klien selama waktu-waktu meningkatnya histeris, dalam upaya
untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa
aman.
2. Kerusakan Interaksi Sosial berhubungan dengan Gangguan Konsep Diri
Intervensi dengan rasional tertentu :
a. Berfungsi dalam hubungan satu per satu dengan klien Interaksi perawat dengan pasien
yang konsisten meningkatkan pembentukan kepercayaan.
b. Sampaikan sikap yang hangat, dukungan dan kebersediaan ketika pasien berusaha untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini meningkatkan pembentukan dan mempertahankan
hubungan saling percaya.
c. Lakukan dengan perlahan, jangan memaksa melakukan interaksi. Mulai dengan
penguatan yang positif pada kontak mata. Perkenalkan diri secara berangsur-angsur dengan
sentuhan, senyuman, pelukan. Pasien autistic dapat merasa terancam oleh suatu rangsangan
yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa.
d. Dengan kehadiran perawat beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk
membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya. Kehadiran seseorang yang telah
terbentuk hubungan saling percaya, memberikan rasa aman.
Hasil Pasien yang Diharapkan :
a. Pasien mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain
b. Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsif pada wajah dan perilaku-perilaku non
verbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain
c. Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik
3. Risiko Tinggi Terhadap Kekerasan diarahkan pada diri sendiri atau orang lain
berhubungan dengan kemarahan dalam batin sendiri,mengakibatkan keadaan jiwa menjadi
tertekan. Intervensi dengan rasional tertentu:
a. Amati perilaku pasien secara rutin. Lakukan hal ini melalui aktivitas sehari-hari dan
interaksi untuk menghindari timbulnya rasa waspada dan kecurigaan. Pasien-pasien pada
risiko tinggi untuk melakukan pelanggaran memerlukan pengamatan yang seksama untuk
mencegah tindakan yang membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain.
b. Dapatkan kontrak verbal ataupun tertulis dari pasien yang
menyatakan persetujuannya untuk tidak mencelakai diri
sendiri dan menyetujui untuk mencari staf pada keadaan dimana pemikiran kearah
tersebut timbul. Diskusikan tentang perasaan-perasaan untuk mencederai diri sendiri dengan
seseorang yang dipercaya memberikan suatu derajat perasaan lega kepada pasien. Suatu
perjanjian membuat permasalahan menjadi terbuka dan menempatkan beberapa tanggung
jawab bagi keselamatannya dengan pasien. Suatu sikap menerima pasien sebagai seseorang
yang patut diperhatikan telah disampaikan.
c. Bertindak sebagai model peran untuk ekspresi yang sesuai dari perasaan marah, dan
berikan penguatan positif pada pasien untuk mencoba memastikan. Hal ini penting bahwa
pasien mengekspresikan marah, karena perilaku yang dapat merusak diri sendiri seringkali
terlihat sebagai suatu akibat dari kemarahan diarahkan pada diri sendiri.
d. Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan pasien. Keselamatan
fisik pasien adalah prioritas dari keperawatan.
e. Usahakan untuk bisa tetap bersama pasien jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai
meningkat. Hadirnya seseorang yang dapat dipercaya memberikan rasa aman.
f. Petugas harus mempertahankan dan menyampaikan dengan sikap yang tenang terhadap
pasien. Ansietas adalah sesuatu yang mudah menjalar dan dapat ditransmisikan dari
petugas ke pasien dan sebaliknya. Sikap yang tenang menyampaikan suatu rasa kontrol dan
perasaan aman bagi pasien.
g. Berikan obat-obatan penenang sesuai resep dokter. Pantau ketidakefektifan obat-obatan
dan efek-efek samping yang merugikan. Obat-obatan antiansietas (mis. diazepam,
klordiazepoksida, alprazolam) memberikan perasaan terbebas dari efek-efek imobilisasi dari
ansietas dan memudahkan kerjasama pasien dengan terapi.
Hasil yang diharapkan :
a. Pasien mencari petugas untuk mendiskusikan perasaan perasaan yang sebernarnya.
b. Pasien mengetahui, mengungkapkan, dan menerima kemungkinan konsekuensi dari
perilaku maladaptive diri sendiri.
4. Koping Individu tidak Efektif berhubungan dengan Harga Diri Rendah
Intervensi dengan Rasional tertentu:
a. Jika pasien hiperaktif, buat lingkungannya menjadi aman untuk gerakan otot besar yang
terus-menerus. Atur kembali posisi perabotan dan benda-benda lainnya untuk mencegah
terjadinya cedera. Keselamatan fisik pasien adalah prioritas keperawatan.
b. Jangan mendebat, bertengkar mulut, merasionalisasikan, atau melakukan tawar-
menawar dengan pasien. Mengesampingkan usaha-usaha ini mungkin berhasil untuk
mengurangi perilaku-perilaku manipulative.
c. Berikan dorongan semangat untuk mendiskusikan perasaan- perasaan marah. Bantu
pasien untuk mengidentifikasi objek sebenarnya dari sikap permusuhan. Menghadapi
perasaan- perasaan secara jujur dan langsung mencegah pemindahan rasa marah kepada
orang lain.
d. Selidiki bersama pasien cara-cara alternative untuk mengatasi rasa frustasi yang paling
cocok dengan gaya hidupnya. Berikan dukungan dan umpan balik positif kepada pasien
sambil strategi-strategi baru dicoba. Umpan balik positif mendorong semangat untuk
menggunakan perilaku perilaku yang dapat diterima.
Pengkajian Sekunder
1. Identitas Klien
Nama: Ank. S
Umur: 17 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Informan: Pasien dan nenek ank.S
2. Alasan Masuk RS
Untuk mencegah klien melakukan tindakan self injury lagi dan dari keluarga pasien, belum
ada penanganan terhadap tindakan anak S tersebut.
3. Faktor Pencetus
a. Riwayat Keluarga : -
b. Penyebab self injury : Anak S kehilangan ayahnya seminggu yang lalu dan dirinya merasa
bersalah atas kehilangan tersebut, menurut anak S, kematian orang tuanya adalah akibat
kesalahannya.
c. Perilaku Self Injury dimasa lalu : Mencoba menyuntikan racun kedalam tubuhnya dan dua
hari kemudian mencoba menggores kulitnya di WC sekolah.
4. Riwayat Pengobatan: -
5. Penyalahgunaan obat dan alcohol: -
6. Riwayat pendidikan dan pekerjaan: Pelajar SMA
7. Respon fisiologik dan emosional:
a. Respon fisiologik: tampak bekas suntikan ditangan dan goresan dikulit.
b. Respon emosional: merasa putus asa dan klien sering menangis sendiri dengan ekspresi
wajah tampak murung.
8. Faktor risiko self injury dan legalitas perilaku self injury klien
a. Tujuan klien: menghilangkan perasaan bersalahnya.
b. Pasien sudah 2x melakukan percobaan self injury.
c. Keadaan jiwa klien: keputusasaan atas hidup yang menimpanya.
9. Sistem pendukung yang ada
Sistem pendukung keluarga: keluarga terutama neneknya tidak mengetahui apa yang
dilakukan untuk mengatasi perilaku klien sehingga keluarga mengantarkan klien ke
Psychiatric Ward.
10. Riwayat Psikososial
a. Konsep Diri
1) Gambaran Diri : mengungkapkan keputus asaan dan kesedihan.
2) Identitas: Ketidak pastian memandang diri, merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi.
3) Peran : Berhenti fungsi peran yang disebabkan kehilangan dan berduka.
4) Ideal Diri : Mengungkapkan keputusasaaan akibat kehilangan orang tuanya.
5) Harga Diri: rasa bersalah terhadap diri sendiri sehingga pasien selalu mengancam akan
melakukan tindakan self injury.
b. Hubungan social
1) Orang yang berarti: ayah dan ibu
2) Peran serta kegiatan kelompok atau masyrakat: tidak ada
3) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain: pasien tampak agresif terhadap diri
sendiri untuk menyakiti dirinya, sehingga kurangnya hubungan social dengan orang lain.
c. Spiritual
1) Nilai dan keyakinan: agama islam
2) Kegiatan ibadah: tidak ada
11. Status Mental
a. Penampilan
Pengguanaan pakaian: tidak rapiJelaskan: Klien memakai pakaian yang tidak rapi, bajunya
tampak kusut.
b. Pembicaraan: pasien berbicara lambat, dan sedikit membisu, tapi saat membicarakan
keluarganya dia tampak menangis dan berbicara keras.
c. Aktivitas motorik: Gelisah, lesuh
Jelaskan : pasien merasa tidak tenang dan mengungkapkan ketidakberdayaan untuk hidup.
d. Alam perasaan: putus asa
Jelaskan: klien tampak putus asa dan murung.
e. Afek: Datar
Jelaskan : klien menunjukkan ekspresi datar ketika diberi stimulus menyenangkan atau
menyedihkan.
f. Interaksi selama wawancara: bermusuhan, kontak mata (-)
Jelaskan : klien menujukkan sikap tidak ingin diganggu, mengancam akan melakukan
tindakan self injury dan kontak mata klien tampak pandangan kosong.
g. Persepsi: normal
Jelaskan : tidak ada
Masalah keperawatan : tidak ada
h. Proses Pikir: pengulangan pembicaraan
Jelaskan: klien selalu mengulang-ulang pembicaraan dengan mengancam ingin malakukan
tindakan self injury bahkan bunuh diri.
i. Tingkat kesadaran : komposmentis/ kesadaran penuh.
E. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Tinggi Terhadap Mutilasi Diri berhubungan dengan Sejarah perilaku perilaku
multilatif / melukai diri sebagai respon terhadap kehilangan.Definisi: Risiko tinggi terhadap
mutilasi Diri adalah suatu keadaan seseorang berada pada risiko yang tinggi untuk melakukan
suatu tindakan yang dapat melukai dirinya, bukan membunuh, yang mengakibatkan
kerusakan jaringan dan pelepasan tegangan.
Intervensi dengan rasional tertentu
a. Tindakan untuk melindungi klien apabila perilaku-perilaku mutilatif diri, seperti memukul-
mukul, membentur-benturkan kepala atau perilaku-perilaku histeris lainnya menjadi nyata.
Perawat bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan pasien.
b. Helm dapat digunakan untuk melindungi terhadap tindakan memukul-mukul kepala,
sarung tangan untuk mencegah menarik-narik rambut, dan pemberian bantalan yang sesuai
untuk melindungi ekstremitas terluka selama terjadinya gerakan-gerakan histeris.
c. Coba untuk menentukan jika perilaku-perilaku mutilitatif diri terjadi sebagai respons
terhadap kehilangan, dan jika terjadi, terhadap apa kehilangan tersebut dapat dihubungkan.
Perilaku-perilaku mutilatif dapat dicegah jika penyebabnya dapat ditentukan.
d. Bekerja pada dasar satu perawat untuk satu klien, untuk membentuk kepercayaan.
e. Tawarkan diri kepada klien selama waktu-waktu menigkatnya histeris, dalam upaya untuk
menurunkan kebutuhan pada perilaku-perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa aman.
2. Kerusakan Interaksi Sosial berhubungan dengan Gangguan Konsep Diri
Intervenri dengan rasional tertentu:
a. Berfungsi dalam hubungan satu per satu dengan klien. Interaksi perawat dengan pasien
yang konsisten meningkatkan pembentukan kepercayaan.
b. Sampaikan sikap yang hangat, dukungan dan kebersediaan ketika pasien berusaha untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Karakteristik-karakteristik ini meningkatkan
pembentukan dan mempertahankan hubungan saling mempercayai.
c. Lakukan denga perlahan, jangan memaksa melakukan interaksi-interaksi. Mulai dengan
penguatan yang positif pada kontak mata. Perkenalkan secara berangsur-angsur dengan
sentuhan, senyuman, pelukan. Pasien autistic dapat merasa terancam oleh suatu rangsangan
yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa.
d. Dengan kehadiran perawat beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk
membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya. Kehadiran seseorang yang telah
terbentuk hubungan saling percaya, memberikan rasa aman.
Hasil Pasien yang Diharapkan/ Kriterian Pulang:
a. Pasien mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain.
b. Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsif pada wajah dan perilaku-perilaku non
verbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain.
c. Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik.
3. Risiko Tinggi Terhadap Kekerasan diarahkan pada diri sendiri atau orang lain
berhubungan dengan kemarahan dalam batin sendiri, mengakibatkan keadaan jiwa menjadi
tertekan.
Intervensi dengan rasional tertentu:
a. Amati perilaku pasien secara sering. Lakukan hal ini melalui aktivitas sehari-hari dan
interaksi untuk menghindari timbulnya rasa waspada dan kecurigaan. Pasien-pasien pada
risiko tinggi untuk melakukan pelanggaran memerlukan pengamatan yang seksama untuk
mencegah tindakan yang membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain.
b. Dapatkan kontrak verbal ataupun tertulis dari pasien yang menyatakan persetujuannya
untuk tidak mencelakai diri sendiri dan menyetujui untuk mencari staf pada keadaan dimana
pemikiran kearah tersebut timbul. Diskusikan tentang perasaan-perasaan untuk mencederai
diri sendiri dengan seseorang yang dipercaya memberikan suatu derajat perasaan lega kepada
pasien. Suatu perjanjian membuat permasalahan menjadi terbuka dan menempatkan beberapa
tanggung jawab bagi keselamatannya dengan pasien. Suatu sikap menerima pasien sebagai
seseorang yang patut diperhatikan telah disampaikan.
c. Bertindak sebagai model peran untuk ekspresi yang sesuai dari perasaan marah, dan
berikan penguatan positif pada pasien untuk mencoba memastikan. Hal ini vital bahwa
pasien mengekspresikan perasaan-perasaan marah, karena perilaku yang dapat merusak diri-
sendiri seringkali terlihat sebagai suatu akibat dari kemarahan diarahkan pada diri sendiri.
d. Singkirkan semua benda-benda yang berbahaya dari lingkungan pasien. Keselamatan
fisik pasien adalah prioritas dari keperawatan.
e. Usahakan untuk bisa tetap bersama pasien jika tingkat kegelisahan dan tegangan mulai
meningkat. Hadirnya seseorang yang dapat dipercaya memberikan rasa aman.
f. Petugas harus mempertahankan dan menyampaikan dengan sikap yang tenang terhadap
pasien. Ansietas adalah sesuatu yang mudah menjalar dan dapat transmisikan dari petugas ke
pasien dan sebaliknya. Sikap yang tenang menyampaikan suatu rasa control dan perasaan
aman bagi pasien.
g. Berikan obat-obatan penenang sesuai resep dokter. Pantau ketidakefektifan obat-obatan
dan efek-efek samping yang merugikan. Obat-obatan antiansietas (mis.. diazepam,
klordiazepoksida, alprazolam) memberikan perasaan terbebas dari efek-efek imobilisasi
dari ansietas dan memudahkan kerjasama pasien dengan terapi.
Hasil yang diharapkan/ Kriteria pulang:
a. Pasien mencari petugas untuk mendiskusikan perasaan-perasaan yang sebernarnya.
b. Psaien mengetahui, mengungkapkan, dan menerima kemungkinan konsekuensi dari
perilaku maladaptive diri sendiri.
4. Koping Individu tidak Efektif berhubungan dengan Harga Diri Rendah
Intervensi dengan Rasional tertentu:
a. Jika pasien hiperaktif, buat lingkungannya menjadi aman untuk gerakan otot besar yang
terus-menerus. Atur kembali posisi perabotan dan benda-benda lainnya untuk mencegah
terjadinya cedera. Keselamatan fisik pasien adalah prioritas keperawatan.
b. Jangan mendebat, bertengkar mulut, merasionalisasikan, atau melakukan tawar-menawar
dengan pasien. Mengesampingkan usaha-usaha ini mungkin berhasil untuk mengurangi
perilaku-perilaku manipulative.
c. Berikan dorongan semangat untuk mendiskusikan perasaan-perasaan marah. Bantu pasien
untuk mengidentifikasi objek sebenarnya dari sikap permusuhan. Menghadapi perasaan-
perasaan secara jujur dan langsung mencegah pemindahan rasa marah kepada orang lain.
d. Selidiki bersama pasien cara-cara alternative untuk mengatasi rasa frustasi yang paling
cocok dengan gaya hidupnya. Berikan dukungan dan umpan balik positif kepada pasien
sambil strategi-strategi baru dicoba. Umpan balik positif mendorong semangat untuk
menggunakan perilaku-perilaku yang dapat diterima.
5. Gangguan Harga Diri berhubungan dengan Disfungsi Sistem Keluarga
Intervensi dengan Rasional tertentu:
a. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis. Penting bagi Pasien untuk mencapai
sesuatu, maka rencana untuk aktivitas-aktivitas dimana kemungkinan untuk sukses adalah
mungkin. Suskes meningkatkan harga diri.
b. Sampaikan perhatian tanpa syarat bagi pasien. Komunikasi dari pada penerimaan anda
terhadapnya sebagai makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan penghargaaan diri.
c. Sediakan waktu bersama pasien, keduanya satu ke satu basis dan pada aktivitas-aktivitas
kelompok. Hal ini untuk menyampaikan pada pasien bahwa anda merasa dia berharga bagi
waktu anda.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Self harm adalah perilaku yang dengan sengaja melukai tubuh sendiri sebagai cara
mengatasi masalah emosi dan stres. Seorang pelaku self harm mempunyai perasaan emosi
negatif yaitu cemas, marah dan sedih yang cenderung ditekan oleh pelakunya. Orang-orang
yang melukai diri tidak untuk menciptakan rasa sakit fisik, tapi untuk menenangkan rasa sakit
emosional yang mendalam. Biasanya dilakukan secara berulang-ulang dalam periode yang
tidak bisa ditentukan. Self harm dilakukan apabila pelaku merasa sangat terbebani dengan
masalahnya, seperti masalah keluarga, masalah akademik dan sosial, maupun masalah
asmara. Pola asuh orangtua yang keras dan otoriter juga dapat memicu self harm. Kasus
evidensi self harm di negara-negara maju dan negara berkembang semakin meningkat.
Identifikasi dini simptom-simptom dan intervensi tepat waktu merupakan salah satu langkah
preventif yang paling baik untuk self harm dan perilaku suisidal.
Banyak strategi terapetik yang digunakan untuk self harm adalah psikoterapi yang semula
digunakan untuk gangguan-gangguan mental spesifik dan kondisi-kondisi komorbid yang
berkaitan dengan self harm, misalnya depresi, anxietas dan borderline personality disorder.
Pendekatan terapeutik yang dinilai efektif berdasarkan fakta empirik yaitu pendekatan
kognitif, psikodinamik dan kelompok.

3.2 Saran
1. Bagi pelaku self harm
Pengembangan kepribadian hendaknya dilakukan oleh pelaku self harm. Hal yang bisa
dilakukan pelaku untuk menghindari terjadinya self harm yaitu menghindari situasi sendiri
dan membangun relasi dengan lingkungan. Hendaknya pelaku self harm segera meminta
bantuan minimal pada orang terdekat untuk mengatasi perilaku abnormal tersebut agar tidak
berkembang kearah percobaan bunuh diri.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang berpendidikan dan mempunyai
wawasan yang luas sehingga mahasiswa dinilai mampu mengatasi semua permasalahan dan
mampu menyikapinya dengan bijak. Perilaku coping mahasiswa hendaknya tidak dilakukan
dengan cara yang negatif yaitu self harm sebagai coping maladaptif yang merupakan perilaku
yang abnormal.
3. Bagi Penulis
Saat ini terdapat kecenderungan semakin meningkatnya jumlah remaja dan dewasa muda
yang melakukan self harm sehingga topik ini harus dipahami dengan lebih baik. Sehingga
perlu dilaksanakan penelitian selanjutnya tentang perilaku self harm karena di Indonesia
masih sangat jarang dilakukan penelitian tentang hal ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lund, G., Wangby-Lund, M., & Bjarehed, J. Deliberate self-harm and psychological
problems in young adolescents: Evidence of a bidirectional relationship in girls. Scandinavian
Journal of Psychology.2011;52; 476-483.
2. Taliaferro, L.A., Muehlenkamp, J.J., Borowsky, I.W., McMorris, B.J., & Kugler,
K.C.Factors distinguishing youth who report self-inurious behavior: A population-based
sample. Academic Pediatrics.2012;12; 205- 213.
3. Estefan G, Wijaya YD. Gambaran Proses Regulasi Emosi pada Pelaku Self Injury.
Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul. Jurnal Psikologi. 2014;12(1):26-33.
4. Kurniawaty R. Dinamika Psikologis Pelaku Self-Injury. Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi.
2012;1(1):13-22
5. Klonsky, E. David, and Jennifer J. Muehlenkamp. 2007. Self-Injury: A Research Review
for the Practitioner. Journal of Clinical Psychology Vol. 63 (11), 1045–1056. Wiley
Periodicals, Inc: Stony Brook University
6. Estefan G, Wijaya YD. Gambaran Proses Regulasi Emosi Pada Pelaku Self Injury. Jurnal
Psikologu. 12;1:2014.26-33.
7. Knigge, Jennifer. 1999. Self Injury for Teacers. Article of self injury.Kettlewell
8. Nock, Matthew K and Mendes. Physiological Arousal, Distress Tolerance, and Social
Problem–Solving Deficits Among Adolescent Self-Injurers. Vol. 76. No. 1(28-38). Journal of
Consulting and Clinical Psychology. 2008
9. Sutton J. Healing the Hurt Within 3rd Edition: Understand self-injury and self-harm, and
heal the emotional wounds. Hachette UK; 2007 Nov 12.
10. Di Pierro R, Sarno I, Perego S, Gallucci M, Madeddu F. Adolescent nonsuicidal self-
injury: the effects of personality traits, family relationships and maltreatment on the presence
and severity of behaviours. European child & adolescent psychiatry. 2012 Sep 1.
11. Permatasari T, Andayani B. Empathic Love Therapy untuk Menurunkan Pikiran dan
Perilaku Self Injury. Gadjah Mada Journal of Professional Psychology (GamaJPP).;2(3):173-
85.
12. Ferret A, Hughes N, et al. The Impact of Self Harm by Young People on Parents and
Families: A Qualitative Study. BMJ Open Journal. 2015.
13. Hawton K, Saunders KEA, O’Connor RC. Self-halm and suicide in adolescents.juni
2012.
DAFTAR PUSTAKA

Townsend C. Mary. (1998. Eds 3). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada
Keperawatan Psikiatri. Jakarta: EGC
Sinta, Dewi. (2001). Ilmu Jiwa 2. Jakarta:EGC
http://buletinkesehatan.com/penanganan-penderita-gawat-darurat-ppgd/
http://eprints.unika.ac.id/2295/1/04.40.0200_Margaretha_Wahyu_Kartika.p
df
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-retnotyasp-5169-
3-babiir-i.pdf
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/4355/1/M.ILMI
%20RIZQI%20T-FPS.PDF
http://www.amazine.co/2600/tips-serotonin-pengaruh-kadar-serotonin-
pada-mood-kesehatan/
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/8-4-6s.pdf
http://jiwasehat.org/content/jangan-salahkan-aku-karena-depresi
http://health.kompas.com/read/2012/02/22/13354255/Melawan.Kesedihan
.dari.Dalam.Diri
http://himmatunayat.org/read/mengapa-kita-dilarang--tertawa-
berlebihan--terbahakbahak.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikosis
http://indonesiaindonesia.com/f/72532-self-injury/
http://www.indomedia.com.au/innerpage.php?page=Opini&ArticleID=651
http://informasitips.com/peranan-penting-serotonin-dan-kaitannya-
dengan-stress
http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/05/28/mengenal-
perilaku-self-injury-melukai-diri-sendiri-460509.html
http://kibm.or.id/memahami-autism/prilaku-melukai-diri
http://www.pondokpemulihan.com/hobi-melukai-diri-sendiri-self-injury/

Anda mungkin juga menyukai