Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN JIWA SAAT INI

“STIGMA NEGATIF ODGJ DI MASYARAKAT”

Dibimbing Oleh :

Ns. Yafet Pradikatama Prihanto, M.kep

Disusun Oleh :

Ayu Siswaningrum
Cici Andriati
Ema Christiana
Flowersia Siahaan
Galuh Sekar
Iis Widyaningsih
Juwin Yogi
Lutsya Dhea
Reszy Fauzi
Siti Alifah
Titania Shatrughar

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


STIKES PANTI WALUYA MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah
ini kami membahas “Stigma Negatif ODGJ di Masyarakat”

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah Jiwa di Dunia
khususnya di Indonesia yang sangat diperlukan mahasiswa keperawatan yang mengikuti
Mata Kuliah “Keperawatan Jiwa”

Saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada
dosen mata kuliah “Keperawatan Jiwa” . Dalam proses pendalaman materi Jiwa ini, tentunya
kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat,

Malang, Maret 2019


Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna dan berkaitan
dengan stres (distress) dalam fungsi kehidupan . Penyakit ini ternyata diderita oleh 43,8 juta
orang di Amerika atau 1 dari 5 dewasa. Di Indonesia, ada 6% orang di indonesia dengan gejala
depresi dan kecemasan serta 400.000 penderita skizofrenia.

Masyarakat Indonesia masih menganggap gangguan jiwa hanyalah penyakit yang diderita
oleh orang di Rumah Sakit Jiwa. Padahal gangguan jiwa bisa menyerang siapa saja, tidak
terkecuali diri kita dan orang-orang terdekat. Sayangnya, kesadaran dan pengetahuan mengenai
keadaan ini masih rendah, terutama di Indonesia. Jadi, jangan heran bila banyak tidak
menyadari bahwa mereka mengalami gejala dari gangguan jiwa.

Namun masih ada stigma di masyarakat sehingga orang yang mengalami gejala ini enggan
berobat karena tidak ingin dikatakan “gila”. Padahal gangguan jiwa dapat muncul dalam bentuk
yang ringan dan mungkin hanya berupa kecemasan dan rasa sedih. Bila gejala yang muncul
sudah mengganggu fungsi Anda dalam bekerja dan bersosialisasi, misalnya, Anda sudah dapat
dikatakan memiliki gangguan jiwa. Meskipun orang-orang mungkin hanya bilang bahwa Anda
hanya “capek” atau “jenuh”.

Anda mungkin tidak menyadari bahwa yang Anda alami jauh lebih serius dari itu. Stigma
ini juga berkaitan karena anggapan bahwa terdapat perbedaan antara penyakit fisik dan
penyakit kejiwaan. Sehingga, orang enggan berobat karena merasa bahwa gangguan yang
dialaminya tidak akan bisa sembuh dengan berobat. Padahal gangguan jiwa diketahui berkaitan
erat dengan ketidakseimbangan neurotransmitter atau kimiawi otak. Misalnya saja orang
dengan depresi diketahui memiliki serotonin yang rendah.

Untuk itulah, pada kasus tertentu, dokter meresepkan obat untuk membantu kimiawi otak
kembali seimbang. Ini biasanya diberikan bersamaan dengan terapi-terapi lainnya. Stigma ini
menyebabkan gejala gangguan jiwa tidak disadari dan ditangani yang kemudian akan semakin
berat yang bahkan bisa berakhir ke bunuh diri. Karena itu, perlu dimulai adanya kesadaran
mengenai gangguan jiwa agar kita semua bisa menangani dan mencegah sebelum menjadi
berat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.

2.1 Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi jiwa.Gangguan jiwa
adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi,proses berpikir, perilaku, dan
persepsi (penangkapan panca indera).Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan
bagi penderita (dan keluarganya) (Stuart & Sundeen, 1998). Gangguan jiwa dapat mengenai
setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi.Gangguan jiwa
bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan
jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwadisebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang
menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya.
Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap
gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005).

2.2 Penyebab Gangguan Jiwa

Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan,
tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik)
ataupun psikis (psikogenik), (Maramis1994).

2.3 Macam-Macam Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang psikologik dari unsur
psikis (Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa (Rusdi Maslim, 1998): Gangguan jiwa
organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan
suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang
berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku
masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan
emosional dengan onset masa kanak dan remaja.

a. Skizofrenia.
Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi
personalitas yang terbesar.Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk
psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala.

b. Depresi

Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan
bunuh diri (Kaplan, 1998).

c. Kecemasan

Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang
dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya,
Maslim (1991).

d. Gangguan Kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala


- gejala nerosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun
rendah.
BAB III
POKOK BAHASAN

3.1 Dampak Stigma

Dampak stigma terhadap penderita gangguan jiwa tidak saja pada individu, namun juga
bisa berdampak pada keluarga dan masyarakat :

 Dampak pada individu

Pada individu, stigma berdampak pada individu, seperti: harga diri rendah, penilaian
negatif pada diri sendiri (self-stigma), ketakutan, diasingkan, kehilangan kesempatan kerja
karena diskriminasi, menambah depresi, dan meningkatnya kekambuhan (Goffmand, 2004).
Stigma juga menyebabkan seseorang atau grup tersebut merasa terkucilkan, tidak berguna,
terisolasi dari masyarakat luas (Jones et. al, 1984).

 Dampak stigma pada keluarga

Stigmatisasi juga berdampak terhadap keluarga dalam memberikan asuhan pada klien.
Pemberian asuhan dari keluarga umumnya berbentuk dukungan fisik, emosional, finansial dan
bantuan yang paling rendah dalam aktifitas sehari-hari. Dampak stigma dapat berupa beban
finansial, kekerasan dalam rumah tangga, penurunan kesehatan fisik dan mental pada keluarga
pengasuh, aktifitas rutin keluarga terganggu, kekhawatiran menghadapi masa depan, stress, dan
merasa tidak dapat menanggulangi masalah (Carol,et al, 2004). Menurut Mohr & Regan
(2000), keluarga akan mengalami pengalaman yang penuh stress dengan perasaan berduka dan
trauma sehingga membutuhkan perhatian dan dukungan dari tenaga kesehatan yang
profesional.

Dampak lain dari stigma pada anggota keluarga adalah harus menyesuaikan kebiasaan klien
seperti menurunnya motivasi, kesulitan menyelesaikan tugas, menarik diri dari orang lain,
ketidakmampuan mengatur keuangan, defisit perawatan diri, makan dan kebiasaan tidur yang
kesemuanya dapat menguras konsentrasi dari keluarga (Lee, 2003). Dengan demikian stigma
bagi keluarga adalah hal yang menakutkan, merugikan, menurunkan harga diri keluarga,
memalukan, sesuatu yang perlu dirahasiakan, tidak rasional, kemarahan, sesuatu yang kotor,
keputusasaan dan keadaan tidak berdaya (Gullekson, 1992).
 Dampak stigma pada masyarakat

Ketika masyarakat meyakini benar terhadap stigma dan itu berlangsung lama, maka akan
mempengaruhi konsep diri dalam kelompok atau masyarakat. Masyarakat akan menampilkan
perilaku frustasi dan tidak nyaman di masyarakat akibat stigma (Herman& Smith, 1989).

Stigma telah menyebabkan ODGJ merasa malu, menyalahkan diri sendiri, putus asa, dan
enggan mencari atau menerima bantuan. Sekitar 75% orang dengan penyakit mental
melaporkan bahwa mereka telah mengalami stigma. Bukan hanya itu, perlakuan diskriminatif
juga diterima oleh ODGJ.

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Health and Social Behavior, 38
persen orang tidak ingin tinggal di sebelah ODGJ, 33% tidak ingin berteman dengan seseorang
yang hidup dengan masalah kejiwaan. 58% tidak mau bekerja sama dengan mereka, dan 68%
tidak ingin penderita gangguan jiwa menikah dengan keluarga mereka.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna dan
berkaitan dengan stres (distress) dalam fungsi kehidupan . Penyakit ini ternyata diderita oleh
43,8 juta orang di Amerika atau 1 dari 5 dewasa. Di Indonesia, ada 6% orang di indonesia
dengan gejala depresi dan kecemasan serta 400.000 penderita skizofrenia.

Masyarakat Indonesia masih menganggap gangguan jiwa hanyalah penyakit yang diderita
oleh orang di Rumah Sakit Jiwa. Padahal gangguan jiwa bisa menyerang siapa saja, tidak
terkecuali diri kita dan orang-orang terdekat. Sayangnya, kesadaran dan pengetahuan mengenai
keadaan ini masih rendah, terutama di Indonesia. Jadi, jangan heran bila banyak tidak
menyadari bahwa mereka mengalami gejala dari gangguan jiwa.

Namun masih ada stigma di masyarakat sehingga orang yang mengalami gejala ini enggan
berobat karena tidak ingin dikatakan “gila”. Padahal gangguan jiwa dapat muncul dalam bentuk
yang ringan dan mungkin hanya berupa kecemasan dan rasa sedih. Gejala utama atau gejala
yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya
mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis
(psikogenik), (Maramis1994).

4.2 Saran

Sebaikya masyarakat menghilangkan stigma negatif bahwa ODGJ tiddak selalu


mengalami gangguan jiwa yang berat kaena setiap ODGJ mempunyai macam macam
gangguan yang berbeda. Kita sebagai masyarakat harus saling menghargai dan tidak
mengucilkan ODGJ tersebut.

Anda mungkin juga menyukai