Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“Terapi Perilaku pada Pasien dengan ODGJ”


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa II
(Komunitas)
Dosen Pengampu: Aan Somana, S.Kep., M.Pd, M.N.S

OLEH:

Diana Tri Maulidia


Erniyanti
Henri Suhartono
Linda Nur Halisyah
Lintang Izzah I
Rika Frisdiyanti
Septi Permatasari

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BUDI LUHUR CIMAHI
2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setiap orang didunia ini menginginkan hidup dengan baik dan sehat, baik fisik
maupun mental. Namun, pada kenyataannya, tak sedikit orang yang mengalami
masalah dalam menghadapi hampatan dalam hidupnya, baik secara fisik maupun
mental, yang biasa disebut dengan orang dengan masalah kejiwaan, atau ODMK.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa, orang dengan masalah kejiwaan atau ODMK orang yang mempunyai
masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/ atau kualitas hidup
sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (Republik Indonesia, 2014).
Sesuai dengan uraian di atas, ODMK memiliki resiko mengalami gangguan jiwa.
Hal ini disebabkan jika ODMK tidak mampu mengatasi masalah-masalah
kejiawaannya dengan baik, atau terlambat mendapat pertolongan ketika masalah yang
dihadapinya semakin buruk. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ adalah
orarng yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/ atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan
fungsi orang sebagai manusia (Republik Indonesia, 2014).
Gangguan jiwa dengan jumlah paling banyak yang dialami oleh penduduk di
dunia adalah Skizofrenia. Menurut WHO, pada tahun 2017, secara global,
diperkirakan terdapat sekitar 450 juta jiwa di dunia mengalami gangguan jiwa, dan
penyumbang terbesar adalah skizofrenia. Bahkan, gangguan mental menyumbang
lebih besar pada kematian atau kecacatan sebesar 14,4% di dunia. Di Indonsia
sendiri, pada tahun 2017, terdapat 13,4% mengamai gangguan jiwa, di antaranya,
gangguan depresi, cemas, skizofrenia, bipolar, gangguan perilaku, autis, gangguan
perilaku makan, cacat intelektual, hingga ADHD (Kemenkes, RI 2019).
Orang dengan gangguan jiwa tak hanya mengalami gangguan pada perlaku dan
emosi, namun juga mengalami gangguan kognitif. ODGJ mengalami kekacauan
pikiran sehingga mengganggu persepsi atau cara pandangnya terhadap dirinya dan
dunia sekitarnya. ODGJ sering mengalami kesulitan dalam menilai realita yang ada,
sehingga kesulitan dalam membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.
Selain itu, ODGJ kesulitan dalam membentuk ide baru, serta memiliki pikiran yang
tidak terarah. Sehingga ODGJ akan mengulang-ulang aktivitas yang sama tanpa
tujuan yang jelas. Mereka juga megalami penurunan daya ingat yang membuat
mereka mudah melupakan apa yang baru saja dia lakukan, bahkan melupakan
jatidirinya sendiri (Yosep, 2007).
Tak hanya gangguan kognisi dan perilaku, terkadang ODGJ mengalami waham
dan halusinasi yang menodorong mereka melakukan tindakan kekerasan yang dapat
melukai diri mereka sendiri dan orang lain. Karenanya, selain dilakukan terapi secara
medis atau farmakoterapi, ODGJ memerlukan psikoterapi untuk membantu mereka
pulih. Salah satu psikoterapi yang dapat digunakan adalah terapi perilaku. Terapi
perilaku dipilih karena orang dengan gangguan jiwa mengalami kekacauan berfikir,
yang menyebabkan disorganisasi dalam membuat dan menyalurkan ide, serta
menangkat pengertian yang diberikan kepadanya.
Terapi perilaku adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh teori
belajar yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi, seperti depresi,phobia,
gagap, perilaku kompulsif dan anxiety disorderdengan memakai teknik yang didesain
menguatkan Kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak
diinginkan (Alang, 2020).
Menurut Kalodner, terapi perilaku mengasumsikan gejala-gejala yang tampak
nyata menjadi masalah. Individu dapat menyadari mengapa mereka depresi dan tetap
saja tidak mengubah keadaan depresi, menurut terapi perilaku. Terapi perilaku
berjuang untuk menghilangkan gejala-gejala depresi atau perilakunya dan mencoba
membuat individu memperoleh pemahaman atau mengapa mereka depresi (Alang,
2020). Terapi-terapi perilaku awalnya mendasarkan diri hanya pada prinsip belajar
pengonisian klasik dan pengondisian operan. Tetapi terapi-terapi perilaku menjadi
lebih beragam pada tahun-tahun belakangan. Seiring engan berkembangnya
popularitasterhadap teori kognitif sosial, terapi perilaku semakin banyak menggunakan
pembelajaran observasional, faktorfaktor kognitif dan instruksi oleh diri dalam
usahanya membantu orang-orang dengan masalah mereka (Watson & Tharp, dalam
Alang, 2020).
Terapi perilaku yang diberikan kepada ODGJ diharapkan dapat mengurangi
perilaku-perilaku negative yang dilakukan oleh ODGJ yang dapat merugikan dirinya
sendiri dan orang lain di sekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Paul, Keliat, dan
Daulima (2014), menunjukan adanya pencapaian kemampuan klien dalam terapi
perilaku sebesar 1.625 poin. Pemberian latihan identifikasi perilaku maladaptif yang
ditimbulkan akibat pengalaman halusinasinya, membantu klien mengenali perilaku
yang tidak tepat. Hal ini membantu klien untuk membuat kesepakatan merubah
perilaku yang akan dirubah.
Berdasarkan uaraian di atas, tim penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut
terapi perilaku yang diberikan kepada orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uarain di atas, maslah yang dapat dirumuskan adalah “bagaimana
gambaran terapi okupasi yang diberikan kepada orang dengan gangguan jiwa atau
ODGJ?”

C. TUJUAN
Makalah ini di susun dengan tujuan untuk mengetahui gambaran terapi perilaku yang
diberikan kepada orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ.

D. MANFAAT
Makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dan pengembangan ilmu di bidang
keperawatan jiwa komunitas dan psikologi klinis.
BAB II

PEMBAHASAN
A. ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)
1. Pengertian
Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola perilaku yang ditunjukkan
pada individu yang menyebabkan distress, menurunkan kualitas kehidupan dan
disfungsi. Hal tersebut mencerminkan disfungsi psikologis, bukan sebagai akibat
dari penyimpangan sosial maupun konflik dengan masyarakat (Stuart, 2013).
Menurut American Psychiatric Association atau APA mendefinisikan
gangguan jiwa pola perilaku/ sindrom, psikologis secara klinik terjadi pada
individu berkaitan dengan distres yang dialami, misalnya gejala menyakitkan,
ketunadayaan dalam hambatan arah fungsi lebih penting dengan peningkatan resiko
kematian, penderitaan, nyeri, kehilangan kebebasan yang penting dan
ketunadayaan (O’Brien, 2013).
Orang Dengan Ganguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah
orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan
fungsi orang sebagai manusia (UU nomor 18, 2014)

2. Penyebab Gangguan Jiwa


Menurut Yusuf, (2015) penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang saling mempengaruhi yaitu sebagai berikut:
a. Faktor somatic organobiologis atau somatogenik.
1) Nerofisiologis.
2) Neroanatomi.
3) Nerokimia.
4) Faktor pre dan peri-natal.
5) Tingkat kematangan dan perkembangan organik.
b. Faktor psikologik (Psikogenik).
1) Peran ayah.
2) Interaksi ibu dan anak.
Normal rasa aman dan rasa percaya abnormal berdasarkan keadaan yang
terputus (perasaan tak percaya dan kebimbangan), kekurangan.
3) Inteligensi.
4) Saudara kandung yang mengalami persaingan.
5) Hubungan pekerjaan, permainan, masyarakat dan keluarga.
6) Depresi, kecemasan, rasa malu atau rasa salah mengakibatkan kehilangan.
7) Keterampilan, kreativitas dan bakat.
8) Perkembangan dan pola adaptasi sebagai reaksi terhadap bahaya.
c. Faktor sosio-budaya (Sosiogenik) :
1) Pola dalam mengasuh anak.
2) Kestabilan keluarga.
3) Perumahan kota lawan pedesaan.
4) Tingkat ekonomi.
5) Pengaruh keagamaan dan pengaruh sosial.
6) Masalah kelompok minoritas, meliputi fasilitas kesehatan dan prasangka,
kesejahteraan yang tidak memadai dan pendidikan.
7) Nilai-nilai.
Dari faktor-faktor ketiga diatas, terdapat beberapa penyebab lain dari penyebab
gangguan jiwa diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Genetika.
Individu atau angota keluarga yang memiliki atau yang mengalami gangguan
jiwa akan kecenderungan memiliki keluarga yang mengalami gangguan jiwa,
akan cenderung lebih tinggi dengan orang yang tidak memiliki faktor genetik
(Yosep, 2013).
2) Sebab biologik.
a) Keturunan. Peran penyebab belum jelas yang mengalami gangguan jiwa,
tetapi tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang
tidak sehat.
b) Temperamen. Seseorang terlalu peka atau sensitif biasanya mempunyai
masalah pada ketegangan dan kejiwaan yang memiliki kecenderungan akan
mengalami gangguan jiwa.
c) Jasmaniah. Pendapat beberapa penyidik, bentuk tubuh seorang bisa
berhubungan dengan gangguan jiwa, seperti bertubuh gemuk cenderung
menderita psikosa manik defresif, sedangkan yang kurus cenderung menjadi
skizofrenia.
d) Penyakit atau cedera pada tubuh. Penyakit jantung, kanker dan sebagainya
bisa menyebabkan murung dan sedih. Serta, cedera atau cacat tubuh tertentu
dapat menyebabkan rasa rendah diri (Yosep, 2013).
3) Sebab psikologik.
Dari pengalaman frustasi, keberhasilan dan kegagalan yang dialami akan
mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya di kemudian hari (Yosep, 2013).
4) Stress.
Stress perkembangan, psikososial terjadi secara terus menerus akan mendukung
timbulnya gejala manifestasi kemiskinan, pegangguran perasaan kehilangan,
kebodohan dan isolasi sosial (Yosep, 2013).
5) Sebab sosio kultural.
a) Cara membesarkan anak yang kaku, hubungan orang tua anak menjadi kaku
dan tidak hangat. Anak setelah dewasaakan sangat bersifat agresif, pendiam
dan tidak akan suka bergaul atau bahkan akan menjadi anak yang penurut.
b) Sistem nilai, perbedaan etika kebudayaan dan perbedaan sistem nilai moral
antara masa lalu dan sekarang akan sering menimbulkan masalah kejiwaan.
c) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi, dalam
masyarakat kebutuhan akan semakin meningkat dan persaingan semakin
meningkat. Memacu orang bekerja lebih keras agar memilikinya, jumlah
orang yang ingin bekerja lebih besar sehingga pegangguran meningkat
(Yosep, 2013).
6) Perkembangan psikologik yang salah. Ketidak matangan individu gagal dalam
berkembang lebih lanjut. Tempat yang lemah dan disorsi ialah bila individu
mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai, gagal dalam mencapai
integrasi kepribadian yang normal (Yosep, 2013).

3. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa


a. Ketegangan (Tension) merupakan murung atau rasa putus asa, cemas, gelisah,
rasa lemah, histeris, perbuatan yang terpaksa (Convulsive), takut dan tidak
mampu mencapai tujuan pikiranpikiran buruk (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014).
b. Gangguan kognisi merupakan proses mental dimana seorang menyadari,
mempertahankan hubungan lingkungan baik, lingkungan dalam maupun
lingkungan luarnya (Fungsi mengenal) (Kusumawati, Farida & Hartono, 2010).
Proses kognisi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Gangguan persepsi. Persepsi merupakan kesadaran dalam suatu rangsangan
yang dimengerti. Sensasi yang didapat dari proses asosiasi dan interaksi
macam-macam rangsangan yang masuk. Yang termasuk pada persepsi
adalah
a) Halusinasi merupakan seseorang memersepsikan sesuatu dan kenyataan
tersebut tidak ada atau tidak berwujud. Halusinasi terbagi dalam
halusinasi penglihatan, halusinasi pendengaran, halusinasi raba,
halusinasi penciuman, halusinasi sinestetik, halusinasi kinetic.
b) Ilusi adalah persepsi salah atau palsu (interprestasi) yang salah dengan
suatu benda.
c) Derealisi yaitu perasaan yang aneh tentang lingkungan yang tidak sesuai
kenyataan.
d) Depersonalisasi merupakan perasaan yang aneh pada diri sendiri,
kepribadiannya terasa sudah tidak seperti biasanya dan tidak sesuai
kenyataan (Kusumawati, Farida & Hartono, 2010).
2) Gangguan sensasi. Seorang mengalami gangguan kesadaran akan
rangsangan yaitu rasa raba, rasa kecap, rasa penglihatan, rasa cium, rasa
pendengaran dan kesehatan (Kusumawati, Farida & Hartono, 2010).
c. Gangguan kepribadian.
Kepribadian merupakan pola pikiran keseluruhan, perilaku dan perasaan yang
sering digunakan oleh seseorang sebagai usaha adaptasi terus menerus dalam
hidupnya. Gangguan kepribadian misalnya gangguan kepribadian paranoid,
disosial, emosional takstabil. Gangguan kepribadian masuk dalam klasifikasi
diagnose gangguan jiwa (Maramis, 2009).
d. Gangguan pola hidup
Mencakup gangguan dalam hubungan manusia dan sifat dalam keluarga,
rekreasi, pekerjaan dan masyarakat. Gangguan jiwa tersebut bisa masuk dalam
klasifikasi gangguan jiwa kode V, dalam hubungan sosial lain misalnya merasa
dirinya dirugikan atau dialang-alangi secara terus menerus. Misalnya dalam
pekerjaan
harapan yang tidak realistik dalam pekerjaan untuk rencana masa depan, pasien
tidak mempunyai rencana apapun (Maramis, 2009).
e. Gangguan perhatian.
Perhatian ialah konsentrasi energi dan pemusatan, menilai suatu proses kognitif
yang timbul pada suatu rangsangan dari luar (Direja, 2011).
f. Gangguan kemauan.
Kemauan merupakan dimana proses keinginan dipertimbangkan lalu
diputuskan sampai dilaksanakan mencapai tujuan. Bentuk gangguan kemauan
sebagai berikut:
1) Kemauan yang lemah (abulia) adalah keadaan ini aktivitas akibat ketidak
sangupan membuat keputusan memulai satu tingkah laku.
2) Kekuatan adalah ketidak mampuan keleluasaan dalam memutuskan dalam
mengubah tingkah laku.
3) Negativisme adalah ketidak sangupan bertindak dalam sugesti dan jarang
terjadi melaksanakan sugesti yang bertentangan.
4) Kompulasi merupakan dimana keadaan terasa terdorong agar melakukan
suatu tindakan yang tidak rasional (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014).
g. Gangguan perasaan atau emosi (Afek dan mood)
Perasaan dan emosi merupakan spontan reaksi manusia yang bila tidak diikuti
perilaku maka tidak menetap mewarnai persepsi seorang terhadap
disekelilingnya atau dunianya. Perasaan berupa perasaan emosi normal
(adekuat) berupa perasaan positif (gembira, bangga, cinta, kagum dan senang).
Perasaan emosi negatif berupa cemas, marah, curiga, sedih, takut, depresi,
kecewa, kehilangan rasa senang dan tidak dapat merasakan kesenangan
(Maramis, 2009).
Bentuk gangguan afek dan emosi menurut Yosep, (2007) dapat berupa:
1) Euforia yaitu emosi yang menyenangkan bahagia yang berlebihan dan tidak
sesuai keadaan, senang gembira hal tersebut dapat menunjukkan gangguan
jiwa. Biasanya orang yang euforia percaya diri, tegas dalam sikapnya dan
optimis.
2) Elasi ialah efosi yang disertai motorik sering menjadi berubah mudah
tersinggung.
3) Kegairahan atau eklasi adalah gairah berlebihan disertai rasa damai, aman
dan tenang dengan perasaan keagamaan yang kuat.
4) Eksaltasi yaitu berlebihan dan biasanya disertai dengan sikap kebesaran atau
waham kebesaran.
5) Depresi dan cemas ialah gejala dari ekpresi muka dan tingkah laku yang
sedih.
6) Emosi yang tumpul dan datar ialah pengurangan atau tidak ada sama sekali
tanda-tanda ekspresi afektif.
h. Gangguan pikiran atau proses pikiran (berfikir).
Pikiran merupakan hubungan antara berbagai bagian dari pengetahuan
seseorang. Berfikir ialah proses menghubungkan ide, membentuk ide baru, dan
membentuk pengertian untuk menarik kesimpulan. Proses pikir normal ialah
mengandung ide, simbol dan tujuan asosiasi terarah atau koheren (Kusumawati,
Farida & Hartono, 2010)
i. Gangguan psikomotor
Gangguan merupakan gerakan badan dipengaruhi oleh keadaan jiwa sehinggga
afek bersamaan yang megenai badan dan jiwa, juga meliputi perilaku motorik
yang meliputi kondisi atau aspek motorik dari suatu perilaku. Gangguan
psikomotor berupa, aktivitas yang menurun, aktivitas yang meningkat,
kemudian yang tidak dikuasai, berulang-ulang dalam aktivitas. Gerakan salah
satu badan berupa gerakan salah satu badan berulang-ulang atau tidak bertujuan
dan melawan atau menentang terhadap apa yang disuruh (Yosep, H. Iyus &
Sutini, 2014).
j. Gangguan ingatan.
Ingatan merupakan kesangupan dalam menyimpan, mencatat atau
memproduksi isi dan tanda-tanda kesadaran. Proses ini terdiri dari pencatatan,
pemangilan data dan penyimpanan data (Kusumawati, Farida & Hartono,
2010).
k. Gangguan asosiasi.
Asosiasi merupakan proses mental dalam perasaan, kesan atau gambaran
ingatan cenderung menimbulkan kesan atau ingatan respon atau konsep lain
yang memang sebelumnya berkaitan dengannya. Kejadian yang terjadi,
keadaan lingkungan pada saat itu, pelangaran atau pengalaman sebelumnya dan
kebutuhan riwayat emosionalnya (Yosep, 2007).
l. Gangguan pertimbangan.
Gangguan pertimbangan merupakan proses mental dalam membandingkan dan
menilai beberapa pilihan dalam suatu kerangka kerja memberikan nilai dalam
memutuskan aktivitas (Yosep, 2007).

4. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal.
Keabnormalan tersebut dapat dibedakan menjadi :
a. Neurosis atau gangguan jiwa.
Neurosis atau gangguan jiwa merupakan gangguan jiwa ditandai dengan
kecemasan, biasanya gejala tidak tenang dan menekan lainnya. Sementara
pemeriksaan realitasnya tetap utuh (O’Brien, 2013). Orang yang terkena
neurosis masih merasakan kesukaran,mengetahui serta kepribadiannya tidak
jauh dari realitas dan masih hidup dalam kenyataan pada umumnya (Yosep, H.
Iyus & Sutini, 2014).
Neurosis memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) uji realitas lengkap.
2) Gejala kelompok yang menganggu dan dikenal sebagai sesuatu yang asing
dan tidak dapat diterima oleh individu.
3) Gangguan cukup lama atau kambuh kembali jika tanpa pengobatan, bukan
merupakan reaksi terhadap stressor, perilaku tidak menganggu normal
sosial dan tidak terlihat adanya penyebab dan faktor organik (Stuart, 2013).
b. Psikosis atau sakit jiwa.
Psikosis atau sakit jiwa merupakan gangguan jiwa yang dapat memnyebabkan
individu mengalami gangguan nyata pada disintegrasi kepribadian berat,
pemeriksaan realitas dan hambatanuntuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari (O’Brien, 2013).

5. Jenis Gangguan Jiwa


Berikut ini ialah jenis gangguan jiwa yang sering ditemukan di masyarakat menurut
Nasir, (2011) adalah sebagai berikut:
a. Skizofrenia adalah kelainan jiwa ini menunjukkan gangguan dalam fungsi
kognitif atau pikiran berupa disorganisasi, jadi gangguannya adalah mengenai
pembentukan isi serta arus pikiran.
b. Depresi ialah salah satu gangguan jiwa pada alam perasaan afektif dan mood
ditandai dengan kemurungan, tidak bergairah, kelesuan, putus asa, perasaan
tidak berguna dan sebagainya. Depresi adalah salah satu gangguan jiwa yang
ditentukan banyak pada masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi. Hal
ini erat kaitannya dengan ketidak mampuan, kemiskinan atau ketidaktahuan
masyarakat.
c. Cemas ialah gejala kecemasan baik kronis maupun akut merupakan
komponen utama pada semua gangguan psikiatri. Komponen kecemasan
dapat berupa bentuk gangguan fobia, panik, obsesi komplusi dan sebagainya.
d. Penyalahgunaan narkoba dan HIV/ AIDS. Di Indonesia penyalah gunaan
narkotika sekarang sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan
Negara dan bangsa. Gambaran besarnya masalah pada narkoba diketahui
bahwa kasus penggunaan narkoba di Indonesia pertahunnya meningkat rata-
rata 28,95. Meningkatnya dalam penggunaan narkotika ini jugaberbanding
lurus dengan peningkatan sarana dan dana. Para ahli epidemiologi kasus HIV
atau AIDS di Indonesia sebanyak 80ribu sampai 120ribu orang dari jumlah
tersebut yang terinfeksi melalui jarum suntik adalah 80%.
e. Bunuh diri, dalam keadaan normal angka bunuh diri berkisaran antara 8-50
per100ribu orang. Dengan kesulitan ekonomi angka ini meningkat 2 sampai 3
lebih tinggi. Angka bunuh diri pada masyarakat akan meningkat, berkaitan
penduduk bertambah cepat, kesulitan ekonomi dan pelayanan kesehatan.
Seharusnya bunuh diri sudah harus menjadi masalah kesehatan pada
masyarakat yang besar (Nasir, Abdul & Muhith, 2011)
B. Terapi Perilaku (Behaviour)
1. Pengertian
Terapi perilaku (behaviour) adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur
yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Adapun beberapa pengertian
Terapi Perilaku menurut para ahli, di antaranya:
a. Menurut Martin dan Pear, terapi perilaku merupakan intervensi yang
menerapkan prinsip dan teknik belajar secara sistematis untuk mengubah
perilaku individu dalam upaya meningkatkan fungsi dalam kehidupan sehari-
hari.
b. Menurut marquis, terapi perilaku adalah suatu teknik yang menerapkan
informasiilmiah guna menemukan pemecahan masalah manusia.
Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku
adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan
dengan pengubahan tingkah laku. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada teori
tunggal tentang belajar yang mendominasi praktek tingkah laku. Sejumlah terori
belajar yang beragam memberikan andil kepada pendekatan terapeutik umum yang
satu ini. Ketimbang memandang terapi tingkah laku sebagai pendekatan terapi yang
dipersatukan dan tunggal, lebih tepat menganggapnya sebagai terapi-terapi tingkah.
Jadi kesimpulanya, Terapi Perilaku ialah semua tingkah laku atau
tindakan/kelakuan seseorang yang dilihat dari situasi atau stimulusnya untuk
membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya
baik dilihat, didengar atau dirasakan oleh orang lain atau diri sendiri. Atau juga
dapat disimpulkan bahwa terapi perilaku ialah penerapan prinsip belajar yang
berfokus pada bagaimana orang-orang belajar mengubah perilaku dan
meningkatkan fungsi untuk memecahkan masalah perilaku manusia dan kondisi-
kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.
2. Tujuan Terapi Perilaku
Pada dasarnya, Terapi Behavioral diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh
tingkah laku baru. Penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat
dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Tujuan konseling behaviour
adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan
tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku yang dapat membuat
ketidakpuasan dalam jangka panjang atau mengalami konflik dengan kehidupan
sosial.Tujuan konseling behaviour adalah untuk membantu klien membuang respon-
respon yang lama yang merusak diri dan mempelajarirespon-respon baru yang lebih
sehat.
3. Karakteristik Konseling Behavioral
a. Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
Pendekatan ini tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus, hal utama yang
harus diperhatikan dan dilakukan dalam konseling ini adalah menyaring dan
memisahkan tingkah laku yang bermasalah itu dan membatasi secara khusus
perubahan apa yang dikehendaki.
b. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling.
Dalam hal ini, tugas konselor adalah membantu merinci dan memilih tujuan
umum menjadi tujuan khusus, konkrit, dan dapat diukur.
c. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien.
Teknik-teknik tingkah laku berorientasi pada tindakan, oleh karena itu klien
diharapkan melakukan sesuatu bukan hanya memperhatikan secara pasif dan
terlena dalam instropeksi saja. Klien harus diajar untuk melakukan tindakan
khusus apabila perubahan tingkah laku klien diharapkan.
d. Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
Sasaran tingkah laku yang akan diubah sudah diidentifikasi secara jelas, tujuan
perlakuan telah dirumuskan secara khusus, dan prosedur terapeutikpun telah
dirinci secara sistematik. Keputusan untuk menggunakan suatu teknik
didasarkan atas keberhasilan teknik itu dalam mendatangkan hasil, yaitu
tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.
4. Jenis-jenis Terapi Perilaku
a. Terapi perilaku kogniif, yaitu metode pengobatan yang disasarkan pada pikiran
dan perasaan yang menyebabkan perilaku tertentu dan gangguan jiwa.
b. Analisis perilaku terapan, yaitu metode pengkondisian yang menggunakan cara
positif untuk mengubah perilaku klien.
c. Teori pembelajaran sosial.
5. Ciri-Ciri Terapi Behavior
Terapi tingkah laku, berberda dengan sebagaian besar pendekatan terapi
lainnya, ditandai oleh :
a. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
c. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah.
d. Penafsiran objektif atas hasil-hasil terapi.

Terapi tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang sistematik,


juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik. Sekalipun
memiliki banyak teknik, terapi tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Ia
adalah suatu pendekatan induktif yang berlandaskan eksperimen-eksperimen, dan
menerapkan metode eksperimental pada proses terapeutik.
6. Tahap-Tahap Konseling Behavioral
Tingkah laku yang bermasalah dalam konseling behavioral adalah tingkah laku
yang berlebih (excessive) dan tingkah laku yang kurang (deficit). Tingkah laku yang
berlebihan seperti merokok, terlalu banyak main game dan sering memberi
komentar dikelas. Adapun tingkah laku yang deficit adalah terlambat masuk
sekolah, tidak mengerjakan tugas dan bolos sekolah. Tingkah laku excessive
dirawat dengan menggunakan teknik konseling untuk menghilangkan atau
mengurangi tingkah laku, sedangkan tingkah laku deficit diterapi dengan
menggunakan teknik meningkatkan teknik meningkatkan tingkah laku.
Konseling behavioral memiliki empat tahap yaitu : melakukan asesmen
(assessment), menentukan tujuan (goal setting), mengimplementasikan teknik
(technique implementation) dan evaluasi dan mengakhiri konseling (evalution
termination) menurut Rosjidan yang dikutip oleh Gantina Kumalasari, Eka Wahyuni
dan Karsih yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Melakukan Asesmen ( Assement )
Tahap ini bertujuan untuk menentukan apa yang dilakukan oleh konseli

pada saat ini. Asesmen dilakukan adalah aktivitas nyata, perasaan dan pikiran

konseli. Menurut Kanker dan Saslow yang dikutip oleh Gantina Kumalasari,

Eka Wahyuni dan Karsih mengatakan terdapat tujuh informasi yang digali

dalam asesmen, yaitu:

1) Analisis tingkah laku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini.

Tingkah laku yang dianalisis adalah tingkah laku yang khusus.

2) Analisis situasi yang didalamnya masalah konseli terjadi. Analisis ini

mencoba untuk mengidentifikasi peristiwa yang mengawali tingkah laku dan

mengikutinya (antecedent dan consequence) sehubungan dengan masalah

konseli.
3) Analisis motivasional.

4) Analisis self control, yaitu tingkatan kontrol diri konseli terhadap tingkah

laku bermasalah ditelusuri atas dasar bagaimana kontrol itu dilatih dan atas

dasar kejadian-kejadian yang menentukan kebehrhasilan self-control.

5) Analisis hubungan sosial, yaitu orang lain yang dekat dengan kehidupan

konseli diidentifikasi juga hubungannya orang tersebut dengan konseli.

Metode yang digunakan untuk mempertahankan hubungan ini dianalisis

juga.

6) Analisis lingkungan fisik sosial budaya. Analisis ini atas dasar norma-norma

dan keterbatasan lingkungan menurut Rosjidan yang dikutip oleh Gantina

Kumalasari, Eka Wahyuni dan Karsih.

Dalam kegiatan asesmen ini konselor melakukan analisis ABC

A = Antecedent (pencetus perilaku)

B = Behavior (perilaku yang dipermasalahkan)

C = Consequence (konsekuensi atau akibat perilaku tersebut).

b. Menetapkan Tujuan ( Goal Setting )


Konselor dan konseli menentukan tujuan konseling sesuai dengan

kesepakatan bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan dianalisis.

Menurut Burks dan Engelkes yang dikutip oleh Gantina Kumalasari, Eka

Wahyuni dan Karsih mengemukakan fase goal setting disusun atas tiga langkah

yaitu:

1) Membantu konseli untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-tujuan


yang diinginkan.

2) Mempertahankan tujuan konseli berdasarkan kemungkinan

hambatan- hambatan situasional belajar yang dapat diterima dan dapat

diukur.

3) Memecahkan tujuan kedalam sub-tujuan dan menyusun tujuan menjadi

susunan yang berurutan.

c. Implementasi Teknik
Setelah tujuan konseling dirumuskan, konselor dan konseli menentukan

strategi belajar yang terbaik untuk membantu konseli mencapai perubahan

tigkah laku yang diinginkan. konselor dan konseli mengimplementasikan

teknik-teknik konseling sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseli

(tingkah laku excessive atau deficit). Dalam implementasi teknik konselor

membandingkan perubahan tingkah laku antara baseline dengan data intervensi.

d. Evaluasi dan Pengakhiran


Evaluasi konseling behavioral merupakan proses yang berkesinambungan.

Evaluasi dibuat atas dasar apa yang konseli perbuat. Tingkah laku konseli

digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas konselor dan

efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan. Terminasi dari sekedar

mengakhiri konseling. Terminasi meliputi :

1) Menguji apa yang konseli lakukan terakhir.

2) Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan.

3) Membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke

tingkah laku konseli.


4) Memberi jalan untuk memantau secara terus menerus tingkah laku konseli.

Selanjutnya konselor dan konseli mengevaluasi implementasi teknik yang

telah dilakukan serta menentukan lamanya intervensi dilaksanakan sampai

tingkah laku yang diharapkan menetap.


BAB III
IMPLEMENTASI
3.1 Implementasi.
Terapi kognitif perilaku ini diawali dengan melakukan pengkajian pada sesi 1
yang berisi identifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan yang menjadi penyebab
munculnya pikiran otomatis negatif dan perilaku negatif dan mengidentifikasi cara
melawannya. Identifikasi penyebab dan solusi sudah dilakukan maka selanjutnya
adalah melawan pikiran negatif atau perilaku negatif yang muncul dengan cara yang
sudah diidentifikasi. Evaluasi subyektif dan obyektif akan dilakukan dan klien yang
mampu melakukan dengan baik akan diberi hadiah berupa token yang diberikan sesuai
kontrak kerja yang dilakukan. Klien sudah dibekali dengan kemampuan untuk
melawan pikiran dan perilaku negatif akan beranjak ke sesi 3 untuk mulai
memanfaatkan sistem pendukung yang dimiliki misalnya seperti keluarga yang
merawat klien. Kemampuaan yang dimiliki klien akan di evaluasi di sesi 4 bagaimana
klien merasakan manfaat setelah melakukan latihan terapi kognitif dan perilaku ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alang, Asrul Haq. 2020. “Teknik Pelaksanaan Terapi Perilaku (Behaviour).” Jurnal
Bimbingan Penyuluhan Islam 7(1):32–41.
Kemenkes RI. 2019. “Situasi Kesehatan Jiwa DI Indonesia.” InfoDATIN 12.
Paul, Ricky Denny, Budi Anna Keliat, and Novy Helena C. Daulima. 2014. “Efek Terapi
Perilaku, Terapi Kognitif Perilaku Dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Halusinasi
Menggunakan Pendekatan Teori Berubah Kurt Lewin.” Jurnal Keperawatan Jiwa
2(2):149–65.
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Jiwa. Rapublik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai