Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL

PENGARUH STIGMA MASYARAKAT TERHADAP


PENANGANAN ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DI
SODANGAN, DESA BUMAL, KECAMATAN BUMAL,
KABUPATEN MAMASA.

OLEH:

WILDA WINARSI

NIM: 201802037

PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN

INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS

ST. FATIMAH MAMUJU

T.A. 2020/2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah manifestasi dari bentuk penyimpangan


perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan
ketidakwajaran dalam hal bertingkah laku. Hal ini terjadi karena
menurunnya semua fungsi kejiwaan (Akemat, Helena, Keliat,
Nurhaeni, 2011). Sedangkan ODGJ adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan
dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Gangguan jiwa yang dialami oleh manusia bermacam-macam


penyebabnya, salah satunya adalah psikosis, yaitu jenis penyakit yang
mengganggu fungsi otak. Macam-macam psikosis antara lain :
psikosis yang relatif singkat, psikosis akibat ganja, psikosis organik,
psikosis delusi, psikosis skizofreniform, skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan bipolar afektif, psikotik kemurungan dan
psikosis post-partum (Majid, 2004).

Hasil survey data World Health Organization tahun 2012


(WHO), sekitar 450 juta penduduk di dunia mengalami gangguan
kesehatan jiwa dan sebanyak 8 dari 10 penderita gengguan jiwa tidak
mendapatkan perawatan secara intensif. Maka dari data tersebut
dapat dianggap menjadi masalah yang serius (Hendry,2012).
Stigma masih menyelimuti isu kejiwaan di Indonesia karena
sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempercayai gangguan
3

kesehatan jiwa disebabkan oleh hal-hal yang tidak rasional maupun


supranatural, misalnya menginap skizofrenia disebabkan karena sihir,
kemasukan roh jahat, melanggar larangan, dan lain-lain.
Akibat dari stigma tersebut ODGJ menganggung konskuensi
kesehatan dan sosio-kultural, seperti; penenganan yang tidak
maksimal, drop-out penggunaann obat, pemasungan, dan
penanganan yang berbeda terhadap gangguan jiwa (Lestari &
Wardani, 2014).
Stigma tidak saja dialami oleh ODGJ saja, namun juga dialami
oleh anggota keluarganya (Lestari & Wardani, 2014). Stigma yang
dialami oleh anggota keluarga berdampak negatif terhadap
kesembuhan ODGJ karena menyebabkan sedih, kasihan, malu, kaget,
jengkel, merasa terpukul, dan tidak tenang, saling menyalahkan
(Subandi & Utami, 1996) yang pada akhirnya berakibat pada
penangan yang kurang tepat pada pasien atau orang dengan
gangguan jiwa.
Penelitian yang lakukan oleh Yohanes Kartika Heriyanto dkk,
menjelaskan tentang penyebab munculnya stigma salah satunya
adalah kepercayaan, pengetahuan, informasi yang keliru, dan
minimnya pengalaman, dapat memicuh munculnya stigma.
Stigma masyarakat terjadi di berbagai belahan dunia dengan
penyebab yang sama. Namun, sangat menarik untuk meneliti
pengaruh stigma terhadap penanganan orang dengan gangguan jiwa
yang terjadi di wilayah Sodangan, desa Bumal, Kecamatan Bumal,
Kabupaten Mamasa, karena stigma yang muncul selain disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan juga di sebabkan oleh budaya dan
kepercayaan masyarakat setempat.
Sodangan yang merupakan bagian becil dari wilayah
kecamatan Bumal, di Kabupaten Mamasa, memiliki kebudayaan

3
4

tersendiri yang jarang di ketahui orang luar. Kepercayaan yang


mengakibatkan munculnya Stigma terhadap ODGJ, salah satunya
adalah menganggap orang dengan gangguan jiwa sebagai kutukan
dalam keluarga, karena adanya perbuatan dosa di masa lalu yang
dilakukan oleh orang tua yang berdampak pada anaknya atau oleh
perbuatan masa lalu penderita atau ODGJ itu sendiri. Selain itu
kepercayaan terhadap kekuatan sihir yang masih kental di dalam
lingkungan tersebut, semakin memperkuat munculnya stigma dalam
masyarakat.
Hal ini akan memberi tantangan tersendiri dalam upaya
melakukan kajian secara menyeluruh untuk dapat mengubah pola pikir
masyarakat lewat promosi-proosi kesehatan terkait Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ), sehingga penanganan yang tepat dapat
diberikan, mempercepat proses penyembuhan pasien, serta
mencegah terjadinya peningkatan kasus ODGJ, terkhusus di wilayah
Sodangan, desa Bumal, kecamatan Bumal, Kabupaten Mamasa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka peneliti merumuskan
permasalahan di atas: Bagaimana pengaruh stigma masyarakat
terhadap penanganan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di
Sodangan, desa Bumal, kecamatan Bumal, kabupaten Mamasa.?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh stigma masyarakat terhadap
penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa di Sodangan, desa
Bumal, kecamatan Bumal, Kabupaten Mamasa.

4
5

2. Tujuan khusus
a. Mengetahui konsep ganguan jiwa dan konsep stigma
b. Mengetahui dampak yang di timbulkan stigma terhadap
penanganan dan proses penyembuhan orang dengan
gangguan jiwa di Sodangan, desa Bumal, kecamatan Bumal,
kabupaten Mamasa.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis,
diantaranya: 
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai pengaruh stigma masyarakat terhadap
penanganan orang dengan gangguan jiwa disertai upaya – upaya
penanggualangannya, dan juga diharapkan sebagai sarana
pengembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di
bangku perkuliahan. 
2. Manfaat praktik
a. Bagi penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana yang
bermanfaat dalam mengimplementasikan pengetahuan penulis
tentang auditing, dan laporan penelitian
b. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam pengembangan teori mengenai pengaruh
stigma terhadap penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ), bagi yang ingin melanjutkan penelitian ini. 
c. Bagi lahan penelitian dan masyarakat

5
6

Hasil peneitian di harapkan dapat menambah pengetahuan


masyarakat terkait orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) Dan
dapat memberikan masukan kepada masyarakat dari pihak
puskesmas agar lebih paham tentang gannguan jiwa dan
menanggapinya dimasa akan datang.
3. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi, khususnya
mengenai pengaruh stigma masyarakat terhadap orang dengan
gangguan jiwa (ODGJ) di Sodangan, desa Bumal, kecamatan
Bumal, kabupaten Mamasa, sebagai acuan dalam
mengembangkan ilmu kesehatan jiwa bagi peserta didik khususnya
Prodi Ilmu Keperawatan, Institut Kesehatan dan Bisnis St. Fatimah
Mamuju. Data dan hasil dari proses dapat menjadi dasar atau data
yang mendukung untuk penelitian selanjutnya.

6
7

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gangguan Jiwa dan Stigma


1. Konsep Gangguan Jiwa
1.1. Definisi Gangguan Jiwa
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah seseorang
dengan gejala klinis yang bermakna, berupa sindrom atau pola
perilaku dan psikologik yang dapat menimbulkan penderitaan
(distress).Penderitaan yang ditimbulkan dapat berupa rasa tidak
nyaman, rasa nyeri, tidak tentram, dan disfungsi organ
tubuhyang terganggu. Gejala tersebut dapat menimbulkan
disabilitas (disability) dalam menjalani kehidupan sehari-hari
seperti perawatan diri dan kelangsungan hidup seperti mandi,
makan, kebersihan, berpakaian (PPDGJ-III & DSM-5, 2013).
Orang dengan gangguan jiwa adalah orang yang mengalami
gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku
yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan bagi orang tersebut sehingga tidak dapat produktif
secara ekonomi maupun sosial (Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2014).
Menurut American Psychiatric Association, 2011 (dalam
Sudaryano, 2019) gangguan mental adalah pola dari tingkah
laku psikologi yang tampak secara klinis, yang terjadi pada
seseorang serta berhubungan dengan keadaan distress atau
ketidakmampuan yang dapat meningkatkan resiko terhadap
kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan

8
9

yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat di terima


pada kondisi tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa orang dengan gangguan jiwa
merupakan orang dengan gangguan kognitif, perasaan, dan
perilaku akibat dari menurunya fungsi kejiwaan dalam
seseorang yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi
seseorang sebagai individu, terganggunya fungsi sosial, dan
fungsi ekonomi.

1.2. Etiologi Gangguan Jiwa


Ada beberapa faktor penyebab gangguan jiwa menurut
Yusuf (2015) yaitu faktor somatik, faktor psikologik, dan faktor
sosial budaya.
1) Faktor somatik (Somatogenik)
Faktor somatik merupakan faktor akibat dari gangguan
neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk
tingkat kematangan dan perkembangan organik, serta faktor
prenatal dan perinatal.
2) Faktor psikologik (Psikogenik)
Faktor ini merupakan faktor yang berkaitan dengan ibu dan
anak, peranan ayah, saudara kandung, hubungan dalam
keluarga, pekerjaan, dan hubungan masyarakat.
3) Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya meliputi faktor kestabilan keluarga,
pola asuh anak, ekonomi, perumahan, dan masalah
kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas
kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta
pengaruh rasial dan keagamaan.
10

Selain itu, menurut Santrok (2013 dalam Sudaryono,


2019) penyebab gangguan jiwa disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu:

1) Sebab-sebab jasmaniah/ biologis yaitu keturunan,


jasmaniah, temperamen, penyakit dan cidera tubuh.
2) Sebab-sebab psikologik yaitu masa bayi, masa ana
prasekolah (antara 2 sampai 7 tahun), masa anak
sekolah, masa remaja, masa dewasa muda, masa
dewasa tua, dan masa tua.
3) Sebab sosio cultural, yaitu cara membesarkan anak
sistem nilai, kepincangan antara keinginan dengan
kenyataan yang ada, ketegangan akibat faktor ekonomi
dan kemajuan teknologi, perpindahan kesatuan keluarga,
dan masalah golongan minoritas.

1.3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Nasir & Muhith
(2011 dalam Sudaryono 2019) ada beberapa yaotu gangguan
kognitif, gangguan perhatian, gangguan ingatan,gangguan
asosiasi, gangguan pertimbangan, gangguan pikiran, gangguan
kesadaran, gangguan kemauan, gangguan emosi dan afek, dan
gangguan psikomotor. Tanda dan gejala tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut :
a. Gangguan Kognitif
Gangguan kognitif merupakan suatu gangguan proses
mental seseorang dimana individu tersebut tidak dapat
menyadari dan mempertahankan hubungan dengan
lingkungannya, baik lingkungan dalam maupun lingkungan
11

luar (fungsi mengenal). Kognitif merupakan potensi


intelektual yang meliputi sensasi dan persepsi, perhatian,
ingatan, asosiasi, pertimbangan, pikiran, serta kesadaran.
b. Gangguan Perhatian
Gangguan perhatian merupakan gangguan dari
pemusatan dan konsentrasi energi, dengan menilai dalam
suatu proses kognitif yang timbul dari luar akibat suatu
rangsangan.
c. Gangguan Ingatan
Gangguan ingatan (memori) merupakan gangguan dari
sebuah fungsi kognisi yang melibatkan otak dalam
penganbilan informasi seperti kemampuan untuk
menyimpan, mencatat, memproduksi isi, dan tanda-tanda
kesadaran.
d. Gangguan Asosiasi
Gangguan asosiasi adalah gangguan proses mental
perasaan, kesan, atau gambaran ingatan respon/konsep
lain, yang sebelumnya berkaitan dengannya.
e. Gangguan Pertimbangan
Gangguan pertimbangan (penilaian) adalah gangguan
suatu proses mental dalam membandingkan/menilai
beberapa pilihan dalam suatu kerangka kerja dengan
memberikan nilai-nilai untuk memutuskan maksud dan
tujuan.
f. Gangguan Pikiran
Gangguan pikiran adalah gangguan dari gagasan dan
proses mental seseorang dalam merepresentasikan
sesuatu.
g. Gangguan Kesadaran
12

Gangguan kesadaran merupakan gannguan dari


kemampuan seseorang untuk mengadakan hubungan
dengan lingkungan, serta dirinya melalui panca indera dan
mengadakan pembatasan terhadap lingkungan serta dirinya
sendiri.
h. Gangguan Kemauan
Gangguan kemauan adalah gangguan proses
pertimbangan keinginankeinginan yang kemudian
diputuskan untuk dilaksanakan sampai mencapai tujuan.
i. Gangguan Emosi dan Afek
Gangguan emosi adalah gangguan dari reaksi
seseorang terhadap suatu peristiwa atau
kejadian.Gangguan afek adalah gangguan perubahan
perasaan seseorang karena tanggapan dalam kesadaran
seseorang.
j. Gangguan Psikomotor
Gangguan psikomotor adalah gangguan dari gerakan
tubuh yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa

1.4. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Menurut DSM III dan DSM IV yang dibuat oleh American
Psychiatric Association (APA), klasifikasi gangguan jiwa terdiri
atas 5 dimensi, yaitu:
a. Axis I : simtom klinis
b. Axis II : gangguan kepribadian
c. Axis III : dasar-dasar organic
d. Axis IV: keparahan stressor
e. Axis V : penyesuaian diri (Ardani, Rahayu& Sholichatum
2007).
13

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder (2013 dalam Sudaryono, 2019) ada beberapa kategori
gangguan mental yaitu:

a. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan kumpulan dari gejala-gejala atau
sindrom yang dapat menyebabkan masalah dalam kejiwaan
sehingga terjadi penurunan fungsi kognitif, fungsi sosial,
kemampuan kerja, harga diri, dan harapan hidup.Skizofrenia
dapat berhubungan dengan pengalaman individu terhadap
stressor kehidupan, sumber dukungan (support sytem), dan
kemampuan koping seseorang (Wardani, 2018).
b. Depresi
Depresi merupakan gangguan emosional atau suasana
hati (mood) yang buruk. Depresi sering ditandai dengan
adanya kesedihan yang berkepanjangan, kehilangan
harapan, sering menyalahkan diri senidri, dan merasa tidak
berarti. Gangguan emosinal tersebut mempengaruhi
seseorang untuk beraktivitas sehari-hari, dan mengganggu
interaksinya dengan orang lain (Dirgayunita, 2016).
c. Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian merupakan suatu bentuk perilaku
yang berbeda dari orang lain. Gangguan yang sulit menjalin
hubungan interpersonal. Gangguan ini biasanya disebabkan
oleh faktor keturunan, kemampuan interpersonal yang
kurang baik, masa kanak-kanak yang pahit, sering
menggunakan koping yang berpusat pada emosi, dan gagal
dalam menjalin hubungan (Christin Wibowo, 2016).
d. Gangguan Mental Organik
14

Gangguan mental organik merupakan gangguan mental


yang disebabkan oleh gangguan fungsi otak. Gangguan ini
dapat berupa gangguan psikotik atau non psikotik (Maramis,
2010).
e. Gangguan Psikosomatik
Gangguan psikomatik merupakan gangguan pada
komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi
badaniah. Seperti anoreksia nervosa (Maramis,
f. Gangguan Intelektual
Gangguan intelektual merupakan suatu keadaan dimana
terjadinya gangguan fungsi kognitif pada seseorang.
Gangguan intelegensi ini dapat berupa abnormal atau
kurang dibawah rata-rata intelegensi seseorang. Keadaan
ini dapat terjadi sejak lahir atau pada masa perkembangan.
g. Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja
Gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang tidak
sesuai dengan kebiasaan atau norma-norma yang ada di
masyarakat.

2. Konsep Stigma
2.1. Defenisi Stigma
Kata stigma berasal dari bahasa Inggris yang artinya noda
atau cacat. Menurut Ariananda (2015) stigma adalah ciri atau
tanda yang menandakan bahwa pemiliknya membawa suatu
yang buruk dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan orang
lain atau orang normal (Heatherton, Kleck, Hebl, dan Hull,
2003). Stigma adalah bentuk prasangka (prejudice) yang
menolak seseorang ataupun kelompok karena dianggap
berbeda dengan yang lain (Ardhiyanti, 2015).
15

Stigma adalah pemberian label negatif dari masyarakat yang


berpandangan bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah
penyakit yang sangat memalukan dan membawa aib bagi
keluarganya. Pandangan lain masyarakat adalah bahwa
perilaku orang dengan gangguan jiwa merupakan ancaman
bagi masyarakat yang dapat membahayakan orang-orang yang
disekitarnya. Hal ini membuat orang dengan gangguan jiwa dan
juga keluarga sering dikucilkan, mengalami isolasi sosial dan
diskriminasi dari masyarakat sekitarnya (Ariananda, 2015).
Adanya stigma terhadap penderita gangguan jiwa
menimbulkan beban, berupa beban subyektif maupun beban
obyektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi penderita, hal
tersebut menjadikan halangan baginya untuk mendapat
perlakuan yang layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan,
kesulitan dalam bersosialisasi, dan sebagainya.

2.2. Aspek-aspek Stigma


Menurut Heatherton Kleck et al. (2003 dalam Ariananda,
2015) ada beberapa aspek stigma:
a. Perspektif
Perspektif merupakan pandangan seseorang akan
sesuatu ataupun pandangan seseorang dalam menilai
orang lain. Seseorang yang memberikan stigma
melibatkan persepsi dalam menilai orang lain. Proses
perilaku ini dapat memperburuk keadaan seseorang
yang dikenai stigma.
b. Identitas
Identitas terdiri dari identitas pribadi dan identitas
kelompok. Seseorang dapat terkena stigma karena dia
16

berbeda dengan yang lain, misalnya perbedaan warna


kulit, cacat fisik, atau penyakit yang dianggap aib. Selain
itu, seseorang juga dapat terkena stigma apabila dia
masuk dalam kelompok tertentu yang berbeda dengan
yang lain.
c. Reaksi
Aspek reaksi terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan
behavior. Aspek kognitif meliputi pengetahuan seseorang
dalam menilai tanda-tanda orang yang dikenai stigma.
Aspek afektif merupakan perasaan tidak suka atau
terancam sehingga menunjukkan perilaku menghindar.
Aspek behavior merupakan paduan dari aspek kognitif
dan aspek afektif, yakni pikiran dan perasaan terancam
pada orang yang dikenai stigma sehingga menunjukkan
perilaku menghindar.

2.3. Komponen Stigma


Menurut Link dan Phelan (dalam Yusuf, 2012) ada 4
komponen dalam stigma yaitu labeling, stereotype, separation,
dan diskriminasi.
1) Labeling
Labeling merupakan pembedaan ataupun
pemberian nama berdasarkan karakteristik yang
menonjol dalam seseorang. Penamaan yang diberikan
kepada seseorang menunjukkan adanya perbedaan.
2) Stereotype
Stereotype merupakan kerangka pemikiran
seseorang yang menbentuk keyakinan seseorang
terhadap orang lain. Menurut Yusuf (2012), keyakinan
17

masyarakat tentang gangguan jiwa dapat berupa


kepercayaan bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak
dapat sembuh, tidak dapat menjaga diri, dan dapat
membahayakan orang lain.
3) Separation
Separation merupakan pemisah. Pemisah ini
terjadi ketika masyarakat beranggapan bahwa orang
dengan gangguan jiwa berbeda dengan yang lain.
Sehingga masyarakat berusaha untuk menjaga jarak
dengan orang dengan gangguan jiwa.
4) Diskriminasi
Diskriminasi merupakan perilaku negatif yang
dilakukan terhadap orang dengan gangguan jiwa.
Perilaku yang terjadi dapat berupa merendahkan orang
tersebut.

2.4. Jenis-jenis Stigma


Larson dan Corrigan (dalam Yusuf, 2012) menjelaskan
tentang 3 jenisjenis stigma:
1) Stigma Struktural
Stigma struktural mengacu pada ketidak
seimbangan yang terjadi dalam lembaga sosial.
Misalnya, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang
terjadi di salah satu rumah sakit dapat menjadi stigma
bagi individu.
2) Stigma Masyarakat
Stigma masyarakat merupakat kondisi dimana
masyarakat menilai negative tentang orang dengan
gangguan jiwa.
18

3) Stigma oleh Asosiasi


Stigma oleh asosiasi dapat terjadi ketika
seseorang memiliki hubungan dengan orang yang
dikenai stigma.

2.5. Bentuk Stigma yang diperoleh Orang dengan Gangguan Jiwa


Menurut penelitian yang dilakukan oleh Herdiyanto, Tobing
dan Vembriati (2017) menyatakan bahwa bentuk-bentuk stigma
yang diperoleh oleh Orang dengan Gangguan Jiwa di Bali
berdasarkan sumber stigma terdiri dari:
a. Masyarakat
Bentuk stigma yang diperoleh orang dengan
gangguan jiwa dari masyarakat dapat berupa pernyataan
ataupun panggilan gila, dinilai berbahaya, pantas untuk
dijauhi, anggapan bahwa gangguan jiwa merupakan
faktor keturunan, dan anggapan bahwa gangguan jiwa
tidak dapat sembuh.
b. Keluarga
Keluarga seharusna menjadi orang terdekat yang
mampu mendorong orang dengan gangguan jiwa untuk
sembuh. Namun stigma juga dapat berasal dari keluarga
sendiri yang dapat berupa anggapa bahwa gangguan
jiwa tidak dapat disembuhkan, dan gangguan jiwa juga
dinilai berbahaya bagi orangorang disekitarnya.
c. Self-Stigma
Self-stigma merupakan stigma yang berasal dari
orang dengan gangguan jiwa sendiri. Mereka menilai
dirinya sendiri rendah karena tidak dapat bekerja dan
sulit mendapatkan pekerjaan, mengalami kesulitan
19

dalam hubungan sosial, serta takut akan bergantung


pada obat.

2.6. Determinan Stigma


Menurut Ariananda (2015) ada beberapa determinan stigma,
yaitu:
a. Ketersembunyian
Perilaku yang diduga disembunyikan dari
masyarakat, akan menimbulkan prasangka buruk bagi
masyarakat. Sehingaa masyarakat membuat
kesimpulannya sendiri dengan ciri-ciri negatif
berdasarkan prasangka buruk mereka. Perilaku ini akan
memunculkan stigma yang mengakibatkan masyarakat
tersebut menghindar dan menolak berinteraksi dengan
orang yang dikenai stigma.
b. Ciri yang Mencolok
Ciri yang mencolok dari seseorang akan memicu
terjadinya stigma. Ciri seseorang yang aneh, mencolok,
janggal, dan berbeda dengan yang lain akan
menimbulkan stigma bagi orang tersebut.
c. Karakteristik yang Mengganggu
Karakteristik seseorang yang mengganggu orang
lain dapat menimbulkan stigma. Orang lain akan
berusaha menghindar dan menolak interaksi dengan
orang yang dinilai mengganggu dalam hidupnya.
d. Alasan Estetika
Sebagian orang menganggap orang lain tidak
menarik, aneh, atau janggal. Ini membuat mereka tidak
ingin berinteraksi dengan orang yang dianggap
20

tidak menarik.
e. Asal Karakteristik Orang yang dikenai Stigma
Orang yang dikenai stigma dapat berkaitan
dengan asal karakteristiknya. Misalnya anak dari seorang
pembunuh. Mereka cenderung dijauhi oleh orang
disekitarnya.
f. Bahaya atau Resiko
Persepsi seseorang bahwa orang yang dikenai
stigma dapat berisiko menimbulkan bahaya sehingga
mereka memilih untuk menghindar danncenderung
menolak untuk berinteraksi dengan orang tersebut.

B. Dampak yang Ditimbulkan Stigma Terhadap Penanganan dan


Proses Penyembuhan Orang dengan Gangguan Jiwa
1. Sikap Masyarakat
1.1. Pengertian Sikap Masyarakat
Dalam buku sikap manusia karya Saifuddin Azwar,
menurut Merkowits sikap adalah bentuk evlauasi atau reaksi
perasaan, sikap seseorang terhadap suatu objek adalah
perasaan pendukung atau memihak ataupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Selain itu
pendapat dari Lapieree dalam buku yang sama mengatakan
sikap adalah respon terhadap stimulasi sosial yang telah
terkondisikan. Masyarakat ialah pergaulan hidup manusia,
kumpulan orang yang hidup bersama yang terikaat oleh suatu
system adat istiadat tertentu. Jadi sikap masyarakat adalah
respon atau reaksi perasaan individu atau masyarakat baik
21

reaksi menerima maupun reaksi menolak terhadap suatu


objek.
Penerimaan adalah sikap penyambutan, pengakuan atau
penghargaan terhadap nilai – nilai individu. Individu dinilai
positif oleh individu lain apabila mau berpartisipasi aktif dalam
kegiatan sosial dan memiliki sikap persahabatan dalam
berhubungan dengan orang lain (Syamsu Yusuf, 2014).
Begitupun sebaliknya, penolakan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia berasal dari kata tolak yang berarti dorong,
atau menolak sama dengan menampik atau tidak menerima.
Dari penolakan diatas dapat disimpulkan penolakan ialah sikap
tidak menerima, menampik atau tidak mengakui nilai – nilai
yang dimiliki individu lain (Hoetomo, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005).

1.2. Faktor yang Mempengaruhi Sikap


Faktor yang mempengaruhi sikap penerimaan ataupun
penolakan terhadap individu sangat tergantung pada proses
keberadaan individu di dalam lingkungan sosial yang muncul
secara dialektis. Maksudnya ialah bagaimana individu tersebut
dapat membangun negoisasi dengan masyarakat untuk
menjadi bagian dari lingkungan sosial tersebut. Selain itu
masyarakat dapat menerima kehadiran individu dapat
ditentukan oleh kemampuan individu tersebut baik secara
aindividual maupun kolektif dalam mempersentasikan
perlikunya sehari – hari (Koeswinarno, 2004).
Faktor – faktor yang mempengaruhi dalam penerimaan
atau penolakan bisa juga karena hubungan – hubungan sosial
22

antar manusia dengan anggota lain dalam masyarakat dikuasai


oleh factor psikis yaitu hasrat manusia ingin berteman,
kerelaan untuk menolong orang lain menaruh rasa simpati (A.
Lysen, 1995). Selain itu ada dua aspek penting yang
mempengaruhi sikap masyarakat, yaitu aspek penting tidaknya
dan keragu-raguan atas informasi yang sedang beredar.
Semakin penting sebuah topic atau rumor akan makin banyak
dibicarakan orang, begitu juga jika orang semakin ragu
terhadap suatu informasi (rumor) desakan untuk
menyebarluaskan informasi tersebut justru semakin besar
(Jamiluddin Ritonga, 2004).

2. Efek Stigma Terhadap Penanganan ODGJ


Stigma yang terus tumbuh di masyarakat dapat merugikan dan
memperburuk bagi yang terkena label sosial ini. Girma dkk (2013)
mengatakan individu yang terkena stigma di masyarakat sulit untuk
berinteraksi sosial bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan
individu melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu penolakan untuk
mencari pengobatan, penurunan kualitas hidup, kesempatan kerja
yang lebih sedikit, penurunan peluang untuk mendapatkan
pemukiman, penurunan kualitas dalam perawatan kesehatan, dan
penurunan harga diri (Covarrubias & Han, 2011). Selain itu penelitian
yang dilakukan oleh Mestdagh (2013) stigma tidak hanya berdampak
pada klien gangguan jiwa, pada masyarakat yang ada sekitar pun ikut
terkena, mereka merasa ketakutan kalau ada klien gangguan jiwa di
lingkungan masyarakatnya karena mereka berpikir klien gangguan
jiwa suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu
merupakan konsekuensi dari stigma gangguan jiwa.
23

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) masih saja mengalami


stigma (labeling, stereotipe, pengucilan, diskriminasi) sehingga
mempersulit proses kesembuhannya dan kesejahteraan hidupnya.
Stigma yang diberikan oleh masyarakat adalah menganggap ODGJ
berbeda, dan mengucilkan (Setiawati, 2012). Stereotipe yang sering
muncul terhadap ODGJ adalah pembunuh/maniak, birahi, pemurung,
tertawa tanpa sebab, tak jujur (saat bertemu dokter) (Byrne, 2000).
Akibat dari stigma tersebut, ODGJ menanggung konsekuensi
kesehatan dan sosio-kultural, seperti: penanganan yang tidak
maksimal, drop-out pengguanan obat, pemasungan, dan pemahaman
yang berbeda terhadap gangguan jiwa (Lestari & Wardani, 2014).
Stigma tidak saja dialami oleh ODGJ saja, namun juga dialami
oleh anggota keluarganya (Lestari & Wardani, 2014). Stigma yang
dialami oleh anggota keluarga berdampak negatif terhadap
kesembuhan ODGJ karena menyebabkan sedih, kasihan, malu,
kaget, jengkel, merasa terpukul, dan tidak tenang, saling
menyalahkan (Subandi & Utami, 1996) yang pada akhirnya akan
memengaruhi kualitas pengobatan yang diberikan kepada ODGJ.
Padahal, keluarga adalah dukungan sosial yang paling penting
bagi ODGJ karena ODGJ tak mampu untuk melakukan koping
terhadap gangguannya, sehingga penanganan terhadap
gangguannya, praktis dilakukan seluruhnya oleh anggota keluarga
(Subandi & Utami, 1996). Stigma terhadap keluarga tentu saja
membuat keluarga semakin berkurang daya dukungnya terhadap
penanganan ODGJ dan mengakibatkan berkurangnya kesejahteraan
hidup dari ODGJ.
Munculnya stigma terhadap penderita gangguan kesehatan
mental di Indonesia bisa memperburuk kondisi pasien tersebut.
24

Beberapa efek negatif yang dialami pasien gangguan jiwa dari stigma
ini antara lain:
 Merasa malu dan akhirnya tidak mau mencari bantuan atau
perawatan medis yang layak
 Merasa tidak dimengerti oleh teman, rekan kerja, hingga
keluarganya sendiri
 Berkurangnya peluang untuk mendapatkan pekerjaan,
pendidikan, maupun aktivitas sosial seperti orang lain pada
umumnya
 Mengalami perundungan hingga kekerasan verbal maupun
fisik

Stigma ini kurang lebih mengurangi kesempatan penderita


gangguan mental untuk berpartisipasi dalam segala bentuk
kegiatan masyarakat. Sebab, stigma membuat pasien dianggap
tidak mampu mencapai target atau bahkan melakukan tugas yang
spesfisik.

3. Upaya Penanggulangan Stigma terhadap ODGJ


3.1. Undang-Undang No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
Komitmen dalam pemberdayaan ODGJ diperkuat
dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 18 tahun 2014
tentang Kesehatan Jiwa yang baru saja disahkan pada 8
Agustus 2014 lalu. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014
tentang Kesehatan Jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang
agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta
memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi,
25

komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif,


preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Secara garis besar, Undang – undang tersebut
mengamanatkan tentang:
1) Perlunya peran serta masyarakat dalam melindungi dan
memberdayakan ODGJ dalam bentuk bantuan berupa:
tenaga, dana, fasilitas, pengobatan bagi ODGJ;
2) Perlindungan terhadap tindakan kekerasan, menciptakan
lingkungan yang kondusif, memberikan pelatihan
keterampilan; dan
3) Mengawasi penyelenggaran pelayanan di fasilitas yang
melayani ODGJ.

3.2. Jenis-jenis Strategi Intervensi dalam mengurangi Stigma


Terdapat beberapa pihak yang dapat menjadi target
intervensi (Thornicroft G. et al, 2015) diantaranya adalah
masyarakat umum, orang dengan penyakit mental, siswa, dan
staf layanan kesehatan, dan anggota keluarga ODS dengan
menggunakan jenis intervensi yang sesuai.

1) Narrative Enhancement Cognitive Therapy (NECT)


Merupakan intervensi mandiri berbasis kelompok untuk
mengurangi stigma diri, harga diri, identitas diri,
berpedoman pada manual terstruktur, yang terdiri dari
psikoedukasi, restrukturisasi kognitif, terapi naratif, memiliki
total 20 sesi, masing-masing 60 menit. Dalam kelompok
dengan dua fasilitator, dan anggota kelompok terdiri dari 6-
8 peserta. Hasil studi menunjukkan pengurangan signifikan
26

pada stigma diri, peningkatan harga diri, harapan, dan


kualitas hidup (Roe et al., 2014).

2) Intervensi Komprehensif Berbasis Komunitas


Suatu studi uji coba intervensi komprehensif berbasis
komunitas selama sembilan bulan (Jie Li et al., 2018)
dengan topik terdiri dari Strategic Against Stigma and
Discrimination (SASD), psikoedukasi, Social Skill Training
(SST), dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Intervensi
komprehensif ini mungkin efektif untuk ODS, terutama
untuk mengurangi diskriminasi, gejala klinis dan perbaikan
fungsi sosial (Jie Li et al., 2018).

3) Coming Out Proud (Pengungkapan)


Intervensi ini menggunakan pedoman manual, berbasis
kelompok, yang pertama kali diperkenalkan oleh Corrigan
et al (2013), mengguankan pengungkapan diri sebagai
metode utama, hidup secara terbuka, melatih ketrampilan
komunikasi, dan asertif (Rüsch et al., 2014), terdiri dari tiga
sesi, masing-masing 2 jam, seminggu sekali, dengan
anggota kelompok 6-10 orang, dan dua fasilitator peers.
Studi menunjukkan bahwa COP pertama menunjukkan
pengurangan dalam stress akibat stigma, kerahasiaan, dan
peningkatan manfaat yang dirasakan dalam pengungkapan
yang berlanjut hingga follow up (Rüsch et al., 2014).

4) Ending Self-Stigma (ESS)


Intervensi kelompok untuk mengurangi stigma diri (self
stigma), secara professional dalam bentuk program serta
pelayanan kesehatan (Alicia L, et al, 2011), terdiri dari 9
sesi mingguan, 75-90 menit tiap sesi, 5-8 anggota dalam
27

kelompok tertutup dan dipimpin oleh satu atau dua


fasilitator. Prinsip yang digunakan dalam intervensi ini
adalah menggabungkan teknik kognitif-perilaku, pendidikan
yang relevan, latihan memperkuat kesadaran dan
menggunakan kekuatan diri sendiri, serta mengubah
perspektif seseorang tentang stigma.

5) Anti-Stigma Photovoice Intervention


Intervensi berbasis fotografi, mengambil gambar dengan
kamera lalu menyertakan pernyataan pada gambar dengan
kata-kata yang mengkomunikasikan pengalaman mereka
dalam bentuk narasi, dilaksanakan dalam 10 sesi per
minggu dalam kelompok, tiap sesi 90 menit, oleh instruktur
atau fasilitator terlatih. Latihan photovoice disertai
komponen psikoedukasi dan mengajarkan strategi
"proaktif”. Tujuan photovoice secara tidak langsung adalah
mencoba berbicara dengan orang lain agar lebih
memahami, dan menjadi alat agar orang lain dapat
mengerti.

6) Intervensi Media Massa


Intervensi singkat berupa laporan di TV memiliki efek
jangka panjang, pengurangan jarak sosial dan pembatasan
pasien, dapat dipertahankan sampai 1 dan 3 bulan, dengan
dampak yang berkelanjutan dalam mengurangi stig- ma
dan diskriminasi (Nathaly et al, 2017). Suatu studi
menunjukkan bahwa laporan berita dan posting media
sosial yang positif cenderung mengurangi sikap
stigmatisasi, dan sebaliknya (Anna M. Ross et al, 2018).
Hal ini juga terjadi pada komentar di media online atau
28

media sosial. Penggambaran media secara positif oleh


orang-orang terkemuka akan berdampak penurunan aspek
stigma.

7) Intervensi Berbasis Kontak


Program pendidikan berbasis kontak dinilai efektif
mengurangi stigma, namun sejauh mana kontaknya tidak
menentukan sejauh mana perubahan sikap peserta.
Efektivitasnya bervariasi berdasarkan persepsi individu
terhadap kualitas kontak. Kunci untuk efektivitas intervensi
adalah kontak langsung, partisipasi dari kelompok sasaran,
interaksi dengan orang yang memiliki pengalaman pribadi,
dan diskusi terbuka dengan para peserta (Corrigan et al,
2014). Kontak dengan ODS diperlukan agar intervensi
menjadi efektif (Thornicroft et al. 2016).

Anda mungkin juga menyukai