Anda di halaman 1dari 22

SATUAN ACARA PENYULUHAN

STIGMA DAN PERAN SERTA KELUARGA TERHADAP ODGJ DI desa Wonorejo


RT 05 – MALANG

OLEH

PASKALIA OLINDA

2007.14901.312

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2021
BAB I

Pokok Bahasan : Stigma Terhadap Gangguan Jiwa


Sasaran : Warga Bandung Rejo
Tempat : Perkumpulan Tahlilan
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Maret 2021
Waktu : 30 menit
Penyuluh : Machmud Jamaluddin

A. Latar Belakang
Asuhan keperawatan jiwa merupakan asuhan keperawatan spesialistik, namun
tetap dilakukan secara holistik. Berbagai terapi keperawatan telah dikembangkan dan
difokuskan kepada klien secara individu, kelompok, keluarga, maupun komunitas.
Masyarakat menjadi salah satu jawaban untuk mencegah timbulnya kejadian
gangguan jiwa. Masyarakat diharapkan mampu merawat anggota keluarga yang sudah
sakit (menderita gangguan jiwa), dan mampu mencegah terjadinya gangguan jiwa
baru dari masyarakat yang beresiko terjadi gangguan jiwa. Penanganan yang tepat
terhadap konsumen jiwa sehat dan masyarakat yang beresiko akan dapat menekan
terjadinya kejadian gangguan jiwa (CMHN, 2005).

Stigma didefinisikan sebagai penolakan lingkungan terhadap seseorang atau


kelompok (Jones & Corrigan, 2012). Gangguan jiwa yang memiliki kecenderungan
lebih besar untuk mendapatkan stigma yaitu jenis gangguan yang menunjukkan
abnormalitas atau penyimpangan (deviasi) pada pola perilakunya. Stigma masyarakat
terhadap kelompok konsumen jiwa sehat juga terjadi di desa Bandung Rejo RT 40.
Oleh karena itu diperlukan stigma masyarakat pada kelompok konsumsi jiwa sehat
supaya tidak terjadi perburukan kondisi pada konsumen jiwa sehat yang ada di desa
Bandung Rejo 40.

Mengingat pentingnya peranan masyarakat sebagai ujung tombak pelayanan


kesehatan jiwa yang bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan jiwa di
masyarakat, maka diperlukan suatu penyuluhan tentang stigma terhadap klien yang
mengalami gangguan jiwa. Penyuluhan ini merupakan kegiatan pemberian pendidikan
bagi masyarkat dalam menjaga kesehatan jiwa di lingkungan sekitar.
B. Tujuan instruksional
1. Tujuan umum
Setelah mengikuti penyuluhan tentang Stigma masyarakat selama 30 menit
diharapkan warga desa Bandung Rejo RT 40 mengerti tentang Stigma
masyarakat.

2. Tujuan khusus
Setelah mendapat penyuluhan tentang Stigma masyarakat, diharapkan warga
desa Bandung Rejo 40 mampu :

1) Mengetahui pengertian Stigma masyarakat


2) Mengetahui Faktor Penyebab Stigma masyarakat
3) Mengetahui dampak Stigma masyarakat
4) Mengetahui Strategi untuk Mengubah Stigma masyarakat

C. Materi Penyuluhan
1. Menjelaskan pengertian Stigma Gangguan Jiwa
2. Menjelaskan Faktor Penyebab Stigma Gangguan Jiwa
3. Menjelaskan Dampak Stigma Gangguan Jiwa
4. Menjelaskan Manajemen Stigma Gangguan Jiwa
5. Menjelaskan Strategi untuk Mengubah Stigma
BAB II
MATERI PENULUHAN

2.1 Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah kelainan perilaku yang disebabkan oleh rusaknya


fungsi jiwa (ingatan, pikiran, penilaian/persepsi, komunikasi, aktivitas, motivasi,
belajar) sehingga menyebabkan adanya hambatan dalam melakukan fungsi sosial
(interaksi/bergaul). Penyebab gangguan jiwa adalah ketidakmampuan seseorang
beradaptasi dengan masalah. Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja dan
dimana saja. Perilaku yang menunjukkan seseorang mengalami gangguan jiwa
adalah sangat beragam (lihat tabel 2).

Tabel 2.1 Perilaku yang menunjukkan tanda gangguan jiwa

CIRI PERILAKU

 Sedih berkepanjangan dalam waktu lama


 Kemampuan melakukan kegiatan sehari – hari
(kebersihan, makan, minum, aktivitas) berkurang
 Motivasi untuk melakukan kegiatan menurun (malas)
 Marah – marah tanpa sebab
 Bicara atau tertawa sendiri
 Mengamuk
 Menyendiri
 Tidak mau bergaul
 Tidak memperhatikan penampilan/kebersihan diri
 Mengatakan atau mencoba bunuh diri

2.2 Stigma Gangguan Jiwa

2.2.1 Definisi Stigma Gangguan Jiwa

Seringkali penderita gangguan jiwa justru dihindari atau dikucilkan oleh


masyarakat. Istilah penghindaran pada dasarnya berbeda dengan stigma.
Label penghindaran mengacu pada keadaan dimana individu memilih tidak
menggunakan fasilitas kesehatan untuk menyelesaikan masalah kejiwaan
yang dialami untuk menghindari label negatif padanya (Corrigan, et al., 2011).
Sedangkan stigma didefinisikan sebagai penolakan lingkungan terhadap
seseorang atau kelompok (Jones & Corrigan, 2012).

Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai (judge)


orang lain. Bedasarkan penilaian tersebut, kategorisasi atau stereotip
dilakukan tidak berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang masyarakat anggap
sebagai tidak pantas, luar biasa, memalukan, atau tidak dapat diterima.
Stigmatisai terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat
dikenai stigma karena penyakit yang diderita, cacat fisik, pekerjaan dan status
ekonomi, atau gangguan jiwa yang dialami. Gangguan jiwa mengacu pada
ketidakmampuan yang bersifat serius dalam menyesuaikan diri dengan
tuntutan atau kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan
tertentu. Sumber dari gangguan jiwa ini dapat bersifat psikogenis atau
organis, mencakup kasus-kasus psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang
gawat (Syaharia, 2008).

Gangguan jiwa yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk


mendapatkan stigma yaitu jenis gangguan yang menunjukkan abnormalitas
atau penyimpangan (deviasi) pada pola perilakunya. Stigma yang lebih
memberatkan yaitu gangguan jiwa yang mempengaruhi penampilan
(performance) fisik seseoran daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh
pada penampilan fisik seseorang (Syaharia, 2008).

2.2.2 Faktor Penyebab Stigma Gangguan Jiwa

Stigma sosial yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa


muncul karena beberapa penyebab. Selama ini, seseorang dengan masalah
kesehatan jiwa selalu diperlakukan berbeda, dikucilkan, bahkan diperlakukan
dengan buruk. Perlakuan ini mungkin berasal dari pemikiran masyarakat yang
menganggap bahwa penderita gangguan jiwa dapat bersikap kasar atau jahat
atau tidak terduga dibandingkan dengan seseorang yang sehat secara jiwa.
Selain itu, kepercayaan terhadap kekuatan jahat atau hal-hal yang gaib
sebagai penyebab gangguan jiwa merupakan salah satu alasan munculnya
ketakutan dan diskriminasi pada penderita gangguan jiwa (Davey, 2013).

Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadi atau munculnya stigma


gangguan jiwa antara lain sebagai berikut:
a. Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa yang disebabkan
kurangnya pemahaman tentang gangguan jiwa sehingga muncul
anggapan bahwa gangguan jiwa identik dengan istilah “gila”
b. Adanya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap hal-hal gaib
sehingga ada asumsi bahwa gangguan jiwa disebabkan hal-hal yang
bersifat supranatural, seperti makhluk halus, setan, roh jahat, atau akibat
terkena pengaruh sihir.
c. Adanya kecenderungan keluarga memiliki rasa malu bila tetangganya
tahu anggota keluarganya menderita gangguan jiwa sehingga memilih
untuk mengurungya
2.2.3 Dampak Stigma Gangguan Jiwa

Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat


berdampak pada penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Menurut
Corrigan dan Watson (2002), dampak stigma dapat dibagi menjadi dua, yaitu
dampak stigma publik dan dampak stigma diri (self-stigma). Stigma publik
dapat diartikan sebagai reaksi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.
Sedangkan self-stigma merupakan penilaian penderita gangguan jiwa
terhadap dirinya sendiri. Baik stigma public dan self-stigma dapat
digambarkan dalam tiga komponen, yaitu stereotip, anggapan (prejudice),
dan diskriminasi. Perbedaan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Stigma Publik

Stereotipe keyakinan negative tentang kelompok (seperti berbahaya,


ketidakmampuan, kelemahan karakter)

kesepakatan antara keyakinan dan/atau reaksi emosi


Prejudice
negative (respon marah, ketakutan)

respon terhadap prejudice (menghindari, mengucilkan


Diskriminas penderita gangguan jiwa)
i

Self-stigma

Stereotipe keyakinan negative tentang diri sendiri (kelemahan


karakter, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu
kesepakatan antara keyakinan dan/atau reaksi emosi
negative (harga diri rendah)
Prejudice
respon terhadap prejudice (gagal dalam pekerjaan)

Diskriminas
i

Jika dilihat dari stigma yang dialami oleh penderita gangguan jiwa,
maka dampak yang muncul dapat dibedakan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama penanganan pada klien dengan stigma bahwa orang yang
menderita gangguan jiwa karena kesurupan sedangkan stigma yang kedua
adalah bahwa penderita gangguan jiwa merupakan aib keluarga.

Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma


bahwa mereka mengalami penyakit yang berhubungan dengan kekuatan
supranatural yaitu mereka akan segera diberi pengobatan dengan memanggil
dukun atau kyai yang dapat mengusir roh jahat dari tubuh penderita. Waktu
penyembuhan tersebut bisa memakan waktu sebentar ataupun lama.
Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan jiwa yang terjadi pada
penderita tersebut akan semakin berat tanpa pertolongan dengan segera.

Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa


adalah aib yaitu dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa
tersebut dari masyarakat. Mereka tidak segera membawa orang yang
mengalami gangguan jiwa tersebut ke profesional tetapi cenderung
menyembunyikan atau merahasiakan keadaan tersebut dari orang lain
ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang terlambat
dapat memeperparah keadaan gangguan jiwanya.

Dengan adanya stigma di masyarakat, penderita gangguan jiwa lebih


memilih tidak memberitahukan kondisinya pada masyarakat, sehingga
cenderung menarik diri dan hal ini akan memperparah keadaannya.
Disamping itu, terjadi pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
pasien gangguan jiwa baik yang baru ataupun yang sudah sembuh dari
gangguan. Hal ini dapat berakibat pada gangguan yang lebih parah yang
dapat berdampak pada kekambuhan yang lebih cepat.
Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan
jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat di sekitar
penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat
terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa.
Sehingga tidak jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak
tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol
yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan.

2.2.4 Manajemen Stigma Gangguan Jiwa

Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak


mudah. Namun tetap diperlukan usaha untuk menurunkan stigma tersebut
dengan harapan di masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya.
Penanganan stigma memerlukan pendidikan dan keinginan yang keras dari
individu-individu di masyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk
ikut serta dalam penanganan tersebut.

Beberapa kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk


mengurangi stigma gangguan jiwa antara lain:

1. Melakukan kampanye pendidikan kesehatan tentang kesehatan jiwa.


Kampanye tersebut dapat dilakukan di masyarakat melalui program desa
siaga ataupun dengan media massa. Kita berikan akses seluas-luasnya
bagi masyarakat ataupun wartawan secara akurat dan terbaru tentang
kesehatan jiwa.
2. Menanamkan pendidikan kesehatan tentang kesehatan jiwa sejak dini
melalui sekolah-sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau
dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah atau melalui kegiatan
kurikuler. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan sekolah untuk
menurunkan stigma yaitu:
a. Memberikan kesempatan pengembangan profesional bagi para
karyawan, mengenai keragaman, masalah kesehatan mental dan
memupuk lingkungan sekolah inklusif.
b. Pantangan untuk menggunakan istilah yang digunakan dalam merujuk
kepada orang-orang dengan penyakit mental, atau terkait dengan
istilah kata-kata yang digunakan sebagai cemoohan, seperti psikopat,
gila, atau menderita skizofrenia.
c. Membuat suatu modul guna lebih meningkatkan pemahaman
terhadap penyakit mental.
d. Menyertakan penyakit mental dalam diskusi-diskusi yang membahas
tentang keanekaragaman masyarakat.
e. Mengajak profesional kesehatan atau orang yang menderita
gangguan mental untuk berbicara dengan para siswa
3. Melibatkan keluarga ataupun masyarakat dalam pelaksanaan tindakan
terhadap pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan
masyarakat tentang cara pandang mereka pada pasien gangguan jiwa
dapat berubah dan dapat membantu menanganinya.
4. Pemerintah ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan
pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orang-
orang yang mengalami gangguan jiwa ataupun orang-orang yang telah
sembuh dari gangguan jiwa.
5. Tenaga kesehatan maupun tokoh masyarakat harus mampu
menunjukkan atau memberi contoh bahwa tidak melakukan stigma
tersebut. Kita harus menentang kesalahpahaman tentang gangguan jiwa
dan menunjukkan fakta-fakta bahwa penyakit mental sangatlah umum
dan dapat disembuhkan dengan manajemen tindakan yang tep

2.2.5 Strategi untuk Mengubah Stigma

Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2014 menganjurkan agar


seluruh Pelayanan Kesehatan dengan dukungan masyarakat agar segera
menerapkan Empat Seruan Nasional Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap
ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa), yaitu:

1) Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi kepada siapapun juga


dalam pelayanan kesehatan

2) Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengganan untuk


memberikan pelayanan kesehatan kepada ODGJ

3) Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan,


baik akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke
masyarakat pasca perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial
4) Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah
terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya
gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan jiwa,
serta mencegah timbulnya dampak psikososial.

Terdapat lima prinsip dalam strategi untuk mengubah stigma gangguan jiwa
dalam masyarakat, yaitu:

1) Kontak atau hubungan merupakan hal yang mendasar dalam strategi


mengubah stigma publik
Kontak atau hubungan dengan penderita gangguan jiwa harus
dibedakan dengan pendidikan kesehatan (edukasi) tentang gangguan
jiwa. Edukasi merupakan bentuk antistigma paling umum dan
membedakan antara mitos gangguan jiwa dengan fakta yang ada. Kontak
meliputi interaksi yang terencana antara penderita gangguan jiwa dengan
kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat. Berdasarkan penelitian,
diketahui bahwa interaksi langsung dengan penderita gangguan jiwa
dapat memberikan efek yang lebih besar daripada pemberian edukasi
dalam mengurangi stigma gangguan jiwa dalam masyarakat
2) Kontak harus memiliki target
Daripada berfokus pada populasi secara umum, kontak lebih efektif
jika ditujukan pada target tertentu, seperti kelompok kunci atau yang
berpengaruh dalam masyarakat, seperti seseorang yang memiliki jabatan
dalam masyarakat, tenaga kesehatan, atau kader kesehatan.
3) Kontak lokal merupakan cara yang lebih efektif
Minat dari kelompok yang menjadi target dipengaruhi oleh
kebutuhan yang mendesak secara lokal. Lokal memiliki beberapa
pengertian, namun dapat meliputi faktor geopolitik dan perbedaan.
4) Kontak harus jelas dan pasti
5) Kontak dilakukan secara berkelanjutan
6) Tidak mengucilkan penderita gangguan jiwa
7) Tidak menggunakan istilah-istilah khusus untuk menyebut penderita
gangguan jiwa
8) Melakukan promosi kesehatan gangguan jiwa
9) Mengubah persepsi bahwa gangguan jiwa bukan kutukan
10) Melibatkan keluarga atau masyarakat dalam pelaksanaan tindakan
terhadat pasien gangguan jiwa

BAB III

Pokok Bahasan : Stigma Terhadap Gangguan Jiwa


Sasaran : Warga desa Bandung Rejo
Tempat : Perkumpulan Tahlilan
Hari/Tanggal :Rabu, 24 Maret 2021
Waktu : 30 menit
Penyuluh : Machmud Jamaluddin
3. Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah kelainan perilaku yang disebabkan oleh rusaknya


fungsi jiwa (ingatan, pikiran, penilaian/persepsi, komunikasi, aktivitas, motivasi,
belajar) sehingga menyebabkan adanya hambatan dalam melakukan fungsi sosial
(interaksi/bergaul). Penyebab gangguan jiwa adalah ketidakmampuan seseorang
beradaptasi dengan masalah. Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja dan
dimana saja. Perilaku yang menunjukkan seseorang mengalami gangguan jiwa
adalah sangat beragam (lihat tabel 2).

Tabel 3.1 Perilaku yang menunjukkan tanda gangguan jiwa

CIRI PERILAKU

 Sedih berkepanjangan dalam waktu lama


 Kemampuan melakukan kegiatan sehari – hari
(kebersihan, makan, minum, aktivitas) berkurang
 Motivasi untuk melakukan kegiatan menurun (malas)
 Marah – marah tanpa sebab
 Bicara atau tertawa sendiri
 Mengamuk
 Menyendiri
 Tidak mau bergaul
 Tidak memperhatikan penampilan/kebersihan diri
 Mengatakan atau mencoba bunuh diri

3.1 Stigma Gangguan Jiwa

3.2.1 Definisi Stigma Gangguan Jiwa

Seringkali penderita gangguan jiwa justru dihindari atau dikucilkan oleh


masyarakat. Istilah penghindaran pada dasarnya berbeda dengan stigma.
Label penghindaran mengacu pada keadaan dimana individu memilih tidak
menggunakan fasilitas kesehatan untuk menyelesaikan masalah kejiwaan
yang dialami untuk menghindari label negatif padanya (Corrigan, et al., 2011).
Sedangkan stigma didefinisikan sebagai penolakan lingkungan terhadap
seseorang atau kelompok (Jones & Corrigan, 2012).

Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk menilai (judge)


orang lain. Bedasarkan penilaian tersebut, kategorisasi atau stereotip
dilakukan tidak berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang masyarakat anggap
sebagai tidak pantas, luar biasa, memalukan, atau tidak dapat diterima.
Stigmatisai terjadi pada semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat
dikenai stigma karena penyakit yang diderita, cacat fisik, pekerjaan dan status
ekonomi, atau gangguan jiwa yang dialami. Gangguan jiwa mengacu pada
ketidakmampuan yang bersifat serius dalam menyesuaikan diri dengan
tuntutan atau kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan
tertentu. Sumber dari gangguan jiwa ini dapat bersifat psikogenis atau
organis, mencakup kasus-kasus psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang
gawat (Syaharia, 2008).

Gangguan jiwa yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk


mendapatkan stigma yaitu jenis gangguan yang menunjukkan abnormalitas
atau penyimpangan (deviasi) pada pola perilakunya. Stigma yang lebih
memberatkan yaitu gangguan jiwa yang mempengaruhi penampilan
(performance) fisik seseoran daripada gangguan jiwa yang tidak berpengaruh
pada penampilan fisik seseorang (Syaharia, 2008).

3.2.2 Faktor Penyebab Stigma Gangguan Jiwa


Stigma sosial yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa
muncul karena beberapa penyebab. Selama ini, seseorang dengan masalah
kesehatan jiwa selalu diperlakukan berbeda, dikucilkan, bahkan diperlakukan
dengan buruk. Perlakuan ini mungkin berasal dari pemikiran masyarakat yang
menganggap bahwa penderita gangguan jiwa dapat bersikap kasar atau jahat
atau tidak terduga dibandingkan dengan seseorang yang sehat secara jiwa.
Selain itu, kepercayaan terhadap kekuatan jahat atau hal-hal yang gaib
sebagai penyebab gangguan jiwa merupakan salah satu alasan munculnya
ketakutan dan diskriminasi pada penderita gangguan jiwa (Davey, 2013).

Beberapa faktor yang menjadi sebab terjadi atau munculnya stigma


gangguan jiwa antara lain sebagai berikut:

d. Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa yang disebabkan


kurangnya pemahaman tentang gangguan jiwa sehingga muncul
anggapan bahwa gangguan jiwa identik dengan istilah “gila”
e. Adanya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap hal-hal gaib
sehingga ada asumsi bahwa gangguan jiwa disebabkan hal-hal yang
bersifat supranatural, seperti makhluk halus, setan, roh jahat, atau akibat
terkena pengaruh sihir.
f. Adanya kecenderungan keluarga memiliki rasa malu bila tetangganya
tahu anggota keluarganya menderita gangguan jiwa sehingga memilih
untuk mengurungya
1. Sasaran
Sasaran penyuluhan adalah warga desa Bandung Rejo RT 40
2. Metode
Metode yang digunakan adalah ceramah dan tanya jawab
3. Media
Media yang digunakan adalah leaflet
4. Kegiatan Penyuluhan

Tahap Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan peserta Metode Media


Pembukaan 5 menit • Membuka dengan salam • Mendengarkan Ceramah -
• Memperkenalkan diri • Memperhatikan
• Menjelaskan maksud dan • Menjawab
tujuan penyuluhan pertanyaan
• Kontrak waktu
• Menggali pengetahuan
peserta sebelum
dilakukan penyuluhan
Penyajian 15 menit • Menjelaskan pengertian • Mendengarkan Ceramah, Leaflet
Stigma Gangguan Jiwa • Memberikan Tanya
• Menjelaskan Faktor tanggapan dan jawab
Penyebab Stigma pertanyaan
Gangguan Jiwa mengenai hal
• Menjelaskan Dampak yang kurang
Stigma Gangguan Jiwa dimengerti
• Menjelaskan
Manajemen Stigma
Gangguan Jiwa
• Menjelaskan Strategi
untuk Mengubah Stigma
• Memberi kesempatan
untuk bertanya/diskusi
tentang materi
penyuluhan
Penutup 10 menit • Menggali pengetahuan • Menjawab Ceramah, Leaflet
peserta setelah dilakukan pertanyaan Tanya
penyuluhan • Memberikan jawab
• Menyimpulkan hasil tanggapan balik
kegiatan penyuluhan
• Menutup dengan salam

5. Evaluasi
1. Struktur :
 Adanya koordinasi dengan kepala sekolah untuk menentukan waktu dan
tempat penyuluhan
 Adanya persiapan yang baik terkait materi dan sarana yang akan
digunakan
 Adanya informasi yang disampaikan pada murid-murid sebelum
pendidikan kesehatan
2. Proses :
a. Jumlah peserta penyuluhan minimal 10 peserta
b. Media yang digunakan adalah leaflet
c. Waktu penyuluhan adalah 30 menit
d. Persiapan penyuluhan dilakukan beberapa hari sebelum kegiatan
penyuluhan
e. Pembicara diharapkan menguasai materi dengan baik
f. Tidak ada peserta yang meninggalkan ruangan saat kegiatan penyuluhan
berlangsung
g. Peserta aktif dan antusias dalam mengikuti kegiatan penyuluhan
3. Hasil :
Pelaksanaan pre dan post test dapat terlaksana dengan baik dikarenakan
dilakukan di tempat dalam ruangan yang kondusif, sehingga dapat
meningkatkan konsentrasi saat menjawab pertanyaan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Buckles, dkk. (2011). Beyond Stigma and Discrimination : Challenges for Social Work
Practice in Psychiatric Rehabilitation and Recovery, Journal of Social Work in
Disability & Rehabilitation, vol. 7, no. 3, hal. 232-283
Dadang Hawari. 2010. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Gaya
Baru. Jakarta
Sibitz, dkk. (2009). Stigma Resistance in Patients with Schizophrenia. Schizophrenia
Bulletion, vol. 10, no. 1093, hal.
PRE & POST TEST

1. Apa yang dimaksud dengan STIGMA gangguan jiwa?


a. Penolakan lingkungan
b. Penerimaan masyarakat
c. Penganiayaan fisik
2. Yang merupakan faktor penyebab STIGMA gangguan jiwa adalah...
a. Kepercayaan terhadap hukum
b. Kepercayaan terhadap hal-hal ghaib
c. Kepercayaan terhadap pemerintah
3. Yang merupakan dampak dari STIGMA gangguan jiwa adalah...
a. Penghormatan terhadap penderita gangguan jiwa
b. Dukungan terhadap penderita gangguan jiwa
c. Diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa
4. Di bawah ini yang merupakan kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk
mengurangi stigma gangguan jiwa antara lain...
a. Bersih desa
b. Kampanye sehat jiwa
c. Kampanye partai politik
5. Berikut ini yang merupakan salah satu dari lima prinsip dalam strategi mengubah
stigma gangguan jiwa dalam masyarakat adalah...
a. Perpisahan
b. Perjanjian
c. Kontak / hubungan
DOKUMENTASI KEPERAWATAN
Daftar Hadir

Anda mungkin juga menyukai