Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gangguan Jiwa


1. Definisi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis atau perilaku
yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan
adanya distress (misalnya, gejala nyeri) atau disabilitas (yaitu kerusakan pada
satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disertai peningkatan risiko
kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan
(American Psychiatric Association, 1994 dalam Susanti, 2014). Gangguan jiwa
adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk akal,
berlebihan, berlangsung lama, dan menyebabkan kendala terhadap individu
tersebut atau orang lain (Suliswati, 2005). Dalam buku Keliat, 2012
menyebutkan gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang
menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan
penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.

Menurut PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan


Jiwa) gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment)
di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi
psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam
hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maslim, 2002;
Maramis, 2010). Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab. Banyak yang belum diketahui dengan pasti dan perjalanan penyakit
tidak selalu bersifat kronis. Pada umumnya ditandai adanya penyimpangan yang
fundamental, karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta adanya afek yang tidak
wajar atau tumpul (Maslim, 2002 dalam Ah. Yusuf, 2015).

2. Faktor Yang Menyebabkan Gangguan Jiwa

Gejala utama atau gejala yang paling menonjol pada gangguan jiwa
terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin dibadan
(somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik), ataupun psikis (psikogenik),
7
(Maramis, 2010). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi
atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun
gangguan jiwa.

Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab gangguan jiwa dapat dibedakan
atas:

a. Faktor biologis/jasmaniah

1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin
terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan
jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan
kejiwaan yang tidak sehat.

2) Jasmaniah
Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang

berhubungan dengan ganggua jiwa tertentu. Misalnya yang bertubuh

gemuk/endoform cenderung menderita psikosa manik depresif, sedang

yang kurus/ectoform cenderung menjadi skizofrenia.

3) Temperamen

Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah


kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami
gangguan jiwa.
4) Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker,
dan sebagainya mungkin dapat menyebabkan merasa murung dan sedih.
Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa
rendah diri.

b. Ansietas dan ketakutan


Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan perasaan yang
tidak menentu akan sesuatu hal menyebabkan individu merasa terancam,
ketakutan hingga terkadang mempersepsikan dirinya terancam.

8
c. Faktor psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang
dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya. Pemberian kasih
sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh, kaku dan keras akan
menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta memiliki kepribadian yang
bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.

d. Faktor sosio-kultural
Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012) yaitu:
1) Penyebab primer (primary cause)
Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya
gangguan jiwa, atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan
jiwa tidak akan muncul.

2) Penyebab yang pencetus (precipatating cause)


Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang
langsung dapat menyebabkan gangguan jiwa atau mencetuskan
gangguan jiwa.

3) Penyebab menguatkan (reinforcing cause)


Kondisi yang cenderung mempertahankan atau mempengaruhi
tingkah laku maladaptif yang terjadi.
4) Multiple cause
Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling
mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu gangguan jiwa jarang
disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan sebagai hubungan sebab
akibat, melainkan saling mempengaruhi antara satu faktor penyebab
dengan penyebab lainnya.

e. Faktor Presipitasi
Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan seseorang.
Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu mempersepsikan dirinya
melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan untuk koping. Masalah khusus
tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi dimana individu tidak
mampu menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri dan
komponennya. Lingkungan dan stressor yang dapat mempengaruhi
gambaran diri dan hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses

9
patologipenyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh
kembang, dan prosedur tindakan serta pengobatan (Stuart&Sundeen, 2008).

3. Ciri-Ciri Gangguan Jiwa

Ciri-ciri gangguan jiwa (Suliswati, 2005) meliputi:

a. Perubahan yang berulang dalam pikiaran, daya ingat, persepsi dan daya
tilikan yang bermanifestasi sebagai kelainan bicara dan perilaku.

b. Perubahan ini menyebabkan tekanan batin dan penderitaan pada individu


dan orang lain di lingkungannya.

c. Perubahan perilaku, akibat dari penderita ini menyebabkan gangguan dalam


kegiatan sehari-hari, efisien kerja, dan hubungan dengan orang lain
(hendaknya dalam bidang sosial dan pekerjaan).

Dalam buku Keliat, 2012, menyebutkan ciri-ciri lain dari gangguan


jiwa, yaitu: sedih berkepanjangan, tidak semangat dan cenderung malas,
marah tanpa sebab, mengurung diri, tidak mengenali orang, bicara kacau,
bicara sendiri, tidak mampu merawat diri.

4. Jenis Gangguan Jiwa

Dalam buku Keliat, 2012 menyebutkan berdasarkan survei masalah yang


dilakukan di beberapa rumah sakit jiwa, ditemukan 7 diagnosa keperawatan
utama tentang gangguan jiwa, yaitu :

a. Harga diri rendah


Harga diri rendah dalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri sendiri. Tanda dan gejala dari harga diri rendah
adalah: mengkritik diri sendiri; perasaan tidak mampu; pandangan hidup
yang pesimis; penurunan produktivitas; penolakan terhadap kemampuan diri
(Keliat, 2012).

b. Isolasi sosial
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berintekasi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Tanda
10
dan gejala dari isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara
adalah: pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain;
pasien merasa tidak aman dengan orang lain; pasien merasa bosan dan
lambat menghabiskan waktu; pasien tidak dapat berkosentrasi dan membuat
keputusan; pasien merasa tidak berguna; pasien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup (Keliat, 2012)

c. Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasa sensasi berupa suara,
penglihatan, pengcapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata.
Suatu penghayatan yang dialami seperti melalui panca indra tanpa stimulus
ekternal: persepsi palsu (Keliat, 2012).

Jenis-jenis halusinasi dalam buku Kusumawati (2010) yaitu:

1) Halusinasi Pendengaran: Mendengar suara atau kebisingan yang kurang


jelas ataupn yang jelas, dimana terkadang suara-suara tersebut seperti
mengajak berbicara klien dan kadang memerintahkan klien untuk
melakukan sesuatu.

2) Halusinasi Penglihatan: Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya,


gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks.
Bayangan bisa yang menyenangkan atau menakutkan.

3) Halusinasi Penciuman: Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah,


urin, dan feses, parfum atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada
seseorang pasca serangan stroke, kejang atau demensia.

4) Halusinasi Pengecapan: Merasa mengecap rasa seperti rasa seperti


darah, urin, feses atau yang lainnya.

5) Halusinasi Perabaan: Merasa mengalami nyeri atau ketidak nyamanan


tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah,
benda mati atau orang lain.

6) Halusinasi Cenesthetik: Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di


vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine.

11
7) Halusinasi Kinestetika: Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa
bergerak.
d. Waham
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara
kuat/terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. Berbagai
kehilangan dapat terjadi pada pasca bencana, baik kehilangan harta benda,
keluarga maupun orang yang bermakna. Kehilangan menyebabkan stress
bagi yang mengalami. Jika stress ini berkepanjangan dapat memicu masalah
gangguan jiwa dan waham.

Tanda dan gejala waham berdasarkan jenis waham meliputi:

1) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran


atau kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan.

2) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok


yang berusaha merugikan/ menciderai dirinya dan diucapkan berulang
kali, tapi tidak sesuai kenyataan.

3) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama


secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan.

4) Waham somatik: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya


terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan.

5) Waham nihilistik: indiviu meyakini bahwa dirinya suda tidak ada di


dunia/ meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan .

e. Resiko Perilaku Kekerasan.


Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang seseorang secara fisik maupun psikologis. Perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasa dapat terjadi dalam 2 bentuk yaitu

12
saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku
kekerasan.

Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah: muka merah dan
tegang; pandangan tajam; mengatupkan rahang dengan kuat; mengepalkan
tangan; jalan mondar-mandir; bicara kasar; suara tinggi, menjerit atau
berteriak; mengancam secara verbal atau fisik; merusa barang atau benda
(Keliat, 2012).

f. Resiko Bunuh Diri


Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
pasien untuk mengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan
pasien melakukan bunuh diri, ada tiga macam perilaku bunuh diri, yaitu
isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan percobaan bunuh diri. Isyarat
bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya”.

Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk


mengakhiri hidupnya, namun tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh
diri (Keliat, 2012).

g. Defisit Perawatan Diri


Defisit perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Defisit perawatan diri tampak dari ketidak
mampuan merawat kebersihan diri, makan, berhias diri, dan eliminasi
(buang air besar dan buang air kecil) secara mandiri.
Tanda dan gejala dari defisit perawatan diri yaitu:
1) Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor,
kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.

2) Ketidakmampuan berhias/berdandan, ditandai dengan rambut acak-


acakan, pakaian tidak kotor dan tidak rapi, pada pasien laki-laki tidak
bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan.

13
3) Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan
makan tidak pada tempatnya.

4) Ketidakmampuan berkemih/defekasi secara mandiri, ditandai dengan


berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik
setelah berkemih (Keliat, 2012).

5. Dampak Gangguan Jiwa bagi Keluarga

Menurut Wahyu, (2012) dari anggota yang menderita gangguan jiwa bagi
keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:

a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita
gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan
meyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota
keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka cintai. Pada
proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan
menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat
diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan
dalam keluarga, dan isolasi dan kehilangan hubungan yang bermakna
dengan keluarga yang tidak mendukung orang yang sakit. Tanpa informasi
untuk membantu keluarga belajar untuk mengatasi penyakit mental,
keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting
bahwa keluarga menemukan sumber informasi yang membantu mereka
untuk memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut.
Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi
keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan normal.

b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua
dalam anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita
tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan
beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang penderita dalam
kegiatan tertentu. stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-hari,
tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif
berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.
14
c. Frustasi, tidak berdaya, dan kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan
tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan,
dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan
kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga memahami
kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi marah-marah,
cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas
yang sebelumnya penderita lakukan.

d. Kelelahan dan Burn-out


Sering kali keluarga menjadi putus-asa berhadapan dengan orang
yang dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai
merasa tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang
harus terus-menerus dirawat. Namun sering kali, mereka merasa terjebak
dan lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada
satu anggota keluarga mungkin merasa benar-benar diluar kendali. Hal ini
bisa terjadi karena orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan
di tingkah lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa
dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih, karena dukungan
keluarga tidak boleh berhenti untuk selalu men-support penderita.

e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-
hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat menerima
kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan.
Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan
melihat penderita memiliki potensi berkurang secara substansial bukan
sebagai yang memiliki potensi berubah.

f. Kebutuhan pribadi dan mengembangkan sumber daya pribadi


Jika anggota keluarga memburuk akibat stress dan banyak
pekerjaan, dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki
sistem pendukung yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus

15
diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental, dan
spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang
luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak
boleh diabaikan (Kurniawan, 2016).

B. Konsep Keluarga

1. Definisi Keluarga

Keluarga terdiri atas individu yang bergabung bersama oleh ikatan


pernikahan, darah atau adopsi dan tinggal dalam suatu rumah tangga yang sama
(Friedman, 2016). Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah
kelompok kecil yang terdiri atas beberapa individu yang mempunyai hubungan
erat satu sama lain dan saling bergantung, serta diorganisasi dalam satu unit
tunggal dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Ah. Yusuf, 2015).

Menurut Duval (1972) keluarga adalah sekumpulan orang yang


dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan kelahiran yang bertujuan
menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan
perkembangan fisik, mental dan emosional serta sosial individu yang ada
didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya
ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum. Ballon dan Maglay
(1989) menyatakan keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung
karena hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang
berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam peran dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya (Ali, 2010).

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya


dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu
membentuk homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para
anggota keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para
anggota kelurganya dari gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan
emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan
seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan
mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif
bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental
(Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
16
2. Bentuk Keluarga

Tipe dan bentuk keluarga menurut Friedman, 1986 (dalam Ali, 2010) terdiri atas:

a. Keluarga inti (Nuclear Family). Terdiri dari orang tua dan anak yang masih
menjadi tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah, terpisah dari sanak
keluarga yang lainnya.

b. Keluarga besar (Exstended Family). Satu keluarga yang terdiri dari satu atau
dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling menunjang satu
sama lain.

c. Single parent family. Satu keluarga yang dikepalai oleh satu kepala keluarga
dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung padanya.

d. Nuclear dyed. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri tanpa anak,
tinggal dalam satu rumah yang sama.

e. Blended family. Suatu keluarga yang terbentuk dari perkawinan pasangan,


yang masing-masing pernah menikah dan membawa anak hasil perkawinan
terdahulu.

f. Three generation family. Keluarga yang terdiri dari tiga generasi, yaitu
kakek, nenek, bapak, ibu dan anak dalam satu rumah.

g. Single adult living alone. Bentuk keluarga yang hanya terdiri dari satu orang
dewasa yang hidup dalam rumahnya.

h. Middle age atau elderly couple. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami
istri paruh baya.

3. Peran Keluarga

Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat,


kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.
Peran individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari
keluarga, kelompok dan masyarakat.
17
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga (Effendy, 1998) adalah
sebagai berikut:

a. Peran ayah: sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai
pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala
keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota
masyarakat dari lingkunganya.

b. Peran ibu: sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peran
untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-
anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya
serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu ibu
juga berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

c. Peran anak: anak-anak melaksanakan peran psiko-sosial sesuai dengan


tingkatan perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

Keliat (2011), mengemukakan pentingnya peran serta keluarga


dalam perawatan klien gangguan jiwa yang dapa dipandang dari berbagai
segi:

a. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan


interpersonal dengan lingkungannya.

b. Keluarga merupakan suatu sistem yang saling bergantung dengan anggota


keluarga yang lain.

c. Pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien semur hidup tetapi fasilitas
yang hanya membantu klien dan keluarga sementara.

d. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab


gangguan jiwa adalah keluarga yang pengetahuannya kurang.

4. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) adalah :

a. Fungsi Afektif
Berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, sebagai basis
kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk memenuhi kebutuhan

18
psikososial terutama bagi klien gangguan jiwa. Keberhasilan melaksanakan
fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh
anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang
positif. Hal tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi
dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga yang ebrhasil
melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat
mengembangkan konsep diri positif.

Komponen yang perlu dipenuhi oleh keluarga dalam melaksanakan


fungsi afektif adalah :

1) Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima, saling


mendukung antara keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, sehinggatercipta hubungan yang hangat dan saling
medukung.

2) Saling menghargai, keluarga harus menghargai, mengakui keberadaan


dan hak anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa serta selalu
mempertahankan iklim positif.

3) Ikatan kekeluargaan yang kuat dikembangkan melalui proses


identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan anggota
keluarga terutama pada anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa yang sangat membutuhkan perhatian dan dukungan dari
keluarganya. Keluarga harus mengembangkan proses identifikasi yang
positif sehingga anggota keluarga dapat meniru tingkah laku yang
positif tersebut.

b. Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui
setiap anggota keluarganya, yang mengahasilkan interaksi sosial. Pada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, keluarga berperan untuk
membimbing anggota keluarga tersebut untuk mau bersosialisasi dengan
anggota keluarga yang lain dan lingkungan sekitarnya. Keberhasilan
perkembangan yang dicapai oleh anggota keluarga melalui interaksi atau
hubungan antara anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi.

c. Fungsi Ekonomi
19
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi
kebutuhan seluruh anggota keluarga terutama anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa seperti memberikan dana untuk pengobatan dan
perawatan selama dirawat dirumah sakit jiwa maupun dirawat dirumah.
Keluarga menyediakan semua perlengkapan yang dibutuhkan anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.

d. Fungsi Perawatan Kesehatan


Keluarga juga berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan
dan merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan
mempengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga
melaksankana pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan
keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas
kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.

5. Tugas Kesehatan Keluarga

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas


dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. (Friedman dalam Setiadi
2008) membagi tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan,
yaitu:

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya


Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak
langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila
menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya,
perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya.

b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga


Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat dan sesuai dengan keluarga, dengan pertimbangan
siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk
menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat
agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga
mempunyai keterbatasan sebaiknya meminta bantuan orang lain
dilingkungan sekitar keluarga.

20
c. Memberikan perawatan
Memberikan perawatan diri kepada anggota keluarga yang sakit
terutama anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa atau yang tidak
dapat membantu dirinya sendiri karena gangguan prose pikir, cacat atau
usianya yang terlalu muda/ tua. Perawatan ini dapat dilakukan dirumah
apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk
pertolongan pertama atau pergi kepelayanan kesehatan untuk memperoleh
tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.

d. Memodifikasi lingkungan
Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian keluarga.

e. Memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada


Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga
kesehatan.

6. Dampak Gangguan Jiwa bagi Keluarga

Menurut Wahyu (2012) dari anggota keluarga yang menderita gangguan


jiwa bagi keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:

a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan
jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan meyakini
memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota keluarga
akan khawatir dengan apa yang terjadi padamereka cintai. Pada proses awal,
keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan menyalahkan
dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat diterima dan
kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan yang bermakna
dengan keluarga yang tidak mendukung orang sakit. Tanpa informasi untuk
membantu keluarga belajar untuk mengatasi penyakit mental, keluarga
dapat menjadi sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting bahwa
keluarga menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk
memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut. Mereka
perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi keduanya,
mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan normal.

21
b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam
anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak
dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan
beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang penderita dalam
kegiatan tertentu. stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-hari,
tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif
berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.

c. Frustasi, tidak berdaya dan kecemasan


Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan
tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan,
dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan
kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga memahami
kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi marah-marah,
cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas
yang sebelumnya penderita lakukan.

d. Kelelahan dan burn-out


Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang
dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa
tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang harus
terus-menerus dirawat. Namun seringkali, mereka merasa terjebak dan lelah
oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada satu
anggota keluarga mungkin merasa benar-benar diluar kendali. Hal ini bisa
terjadi karena orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di
tingkah lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa
dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih, karena dukungan
keluarga tidak boleh berhenti untuk selalu men-support penderita.

e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-
hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat menerima

22
kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan.
Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan
melihat penderita memiliki potensi berkurang secara substansial bukan
sebagai yang memiliki potensi berubah.

f. Kebutuhan pribadi dan mengembangkan sumber daya pribadi


Jika anggota keluarga memburuk akibat stress dan banyak pekerjaan,
dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem
pendukung yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus
diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental, dan
spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang
luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak
boleh diabaikan (Kurniawan, 2016).

7. Program Untuk Keluarga Gangguan Jiwa.

Keluarga sering mengalami stress dan shock ketika terdapat anggota


keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keadaan demikian tentu seperti snow
ball bagi penderita sendiri. Padahal dirinya sendiri (penderita) membutuhkan
keadaan yang mendukung untuk proses kesembuhannya dari orang-orang
terdekat. Pfeff dan Mostek (Sriati, 2000: 67) mengidentifikasi kategori program
untuk keluarga yaitu:

a. Pemberian kekuasaan
Keluarga perlu belajar menghadapi situasi sulit dengan memberikan kepada
mereka perasaan mampu mengontrol kehidupanya.

b. Pendidikan keluarga
Pendidikan keluarga menjadi intervensi keperawatan primer dalam setting
keperawatan jiwa. Walsh merekomendasikan cara-cara dalam pendidikan
keluarga sebagai berikut:

1) Terima kenyataan apa adanya pada anggota keluarga yang mengalami


gangguan jiwa. Tidak ada pilihan lain yang menguntungkan bagi
keluarga kecuali menerima kenyataan. Keputusan memilih diluar hal
tersebut justru semakin memperparah keadaan penderita, dan akan

23
memperlebar wilayah gangguan jiwa bagi anggota keluarga yang
lainya.

2) Rencanakan program perawatan diri.

Keluarga harus mengatur, bagaimana pemenuhan kebutuhan sehari-


hari, agar tercukupi secara memadai bagi anggota keluarganya yang
mengalami gangguan jiwa. Siapa yang bertanggung jawab urusan
tertentu, dan siapa untuk urusan lainnya, termasuk perlibatan penderita
itu sendiri sesuai dengan kemampuannya harus benar-benar dibicarakan
bersama. Disinilah penderita akan mendapatkan “Rasa nyaman” sebagai
jaminan bagi dirinya.

3) Mengerjakan aktivitas personal dan hobby.


Keluarga dalam hal ini, adalah juga sebagai manusia yang juga
membutuhkan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan secara wajar bagi
keseimbangan fisik dan mentalnya. Dalam hal ini, bukan berarti
keluarga dengan anggota keluarga gangguan jiwa, berperilaku tidak
wajar dan memiliki pemenuhan kebutuhan yang tidak sama, justu jika
ingin kembali harmonis dan utuh, maka mereka sebagai keluarga tetap
harus mengerjakan aktivitas personal dan hobby tertentu secara wajar
pula.

4) Terlibat dalam organisasi sosial yang mendukung.


Disinilah urgensi keluarga. Apalagi dengan anggota keluarga
mengalami gangguan jiwa, yang sebenarnya senantiasa akan
membutuhkan support dari lingkungannya. Sarana yang paling
memungkinkan untuk hal tersebut adalah keterlibatan keluarga dalam
aktivitas atau organisasi sosial masyarakat yang mendukung.

5) Hindari nasihat dan opini dari orang yang tidak mempunyai pengalaman
gangguan jiwa. Sangat mungkin bahwa keluarga akan mendapat
komentar minimal dari orang atau keluarga lain ketika mengetahui
adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Komentar
yang tidak produktif atau dapat diprediksi demikian, merupakan
langkah untuk menghindari jika akan mendapat stressortersendiri bagi
keluarga, karena komentar yang berupa nasihat atau opini dari orang
lain adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan selalu berhasil ketika
24
terus menerus menghindari coping. Hal ini merupakan sebuah sikap
semacam lari dari kenyataan.
6) Ingat bahwa kebahagiaan dapat terjadi.
Sengsara atau bahagia sesungguhnya adalah sebuah kemestian.
Kemestian adalah sebuah keputusan pilihan. Untuk itulah keluarga yang
ingin dan memahami dengan baik, serta memiliki kemampuan untuk
berubah, kebahagiaan hidup dalam keluarga adalah sesuatu yang dapat
terjadi, disinilah keluarga sekiranya memilikioptimisme dan kekuatan
untuk melakukan perubahan.

7) Berhenti menyalahkan diri sendiri


Pada satu sisi, begitu kuatnya memori yang ada mengatakan pada
keluarga bahwa gangguan jiwa adalah penyakit yang sangat sulit
disembuhkan. Hal demikian semakin memperkuat dan memperpanjang
perasaan menyalahkan diri sendiri keluarga, yang pasti bahwa pikiran
dan perasaan tersebut bagi keluarga justru semakin tidak
menguntungkan. Pemaknaan tersebut harus disadari oleh keluarga
sebagai langkah awal untuk perbaikan dan pemulihan, sehingga ketika
perasaan itu muncul tidak ada pilihan lain kecuali harus
menghentikannya (Susana, 2007).

C. Konsep Pengetahuan

1. Defenisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang


terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui oleh
indra pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata). Pengetahuan
seseorang tehadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda
(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental
merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota
keluraganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi

25
anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya
(Notosoedirdjo & Latipun, 2005).

Penelitian ini diperkuat berdasarkan penelitian dari badan National


Mental Health Association/NMHA (2001), diperoleh bahwa banyak
ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa,
keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak
akan pernah sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa
orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali
melakukan aktivitasnya (Foster, 2001). Tanpa adanya pemahaman yang jernih
mengenai masalah gangguan jiwa yang dihadapi keluarga akan dapat
menimbulkan kecemasan dan hal ini didukung oleh adanya penelitian yang
dilakukan oleh Brown & Bradley (2002) pada keluarga yang memiliki anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa dan didapatkan bahwa kecemasan
keluarga akan semakin meningkat tanpa pengetahuan yang baik mengenai
masalah gangguan jiwa yang dihadapi keluarga (Simanjuntak, 2006).

2. Tingkat Pengetahuan

Dalam buku Notoatmodjo, 2010, pengetahuan di bagi dalam 6 tingkat yakni:

a. Tahu (know), diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang


telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau
mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-
pertanyaan, dengan menggunakan kalimat tanya 5W+1H.

b. Memahami (comprehension), memahami suatu objek bukan sekedar tahu


terhadap objek tersebut, tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut
harus dapat mengintreprestasikan secara benar tentang objek yang diketahui
tersebut.

c. Aplikasi (application), diartikan apabila orang yang telah memahami objek


yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis), adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan


atau memisahkan kemudian, kemudian mencari hubungan antara
komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang

26
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada
tingkat analisi adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau
memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap
pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis), menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk


merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya dapat membuat
atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang
telah dibaca atau didengar dan dapat membuat kesimpulan tentang artikel
yang telah dibaca.

f. Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk


melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek terentu.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoadmojo (2003) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor :

a. Pendidikan
Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa,
lebih baik dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat.
Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap
perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidkan itu mempertinggi
taraf intelegensi keluarga dalam merawat pasien skizofrenia agar pasien
skizofrenia mampu kembali ke keluarga dan beradaptasi dengan
lingkungan.

b. Persepsi
Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil. Persepsi keluarga tentang skizofrenia merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan pasien skizofrenia tersebut.
Keluarga menganggap skizofrenia merupakan penyakit yang memalukan
dan membawa aib bagi keluarga maka hal ini juga akan mempengaruhi
kesembuhan pasien skizofrenia.

c. Motivasi

27
Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak
yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan
mengesampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam
mencapai tujuan dan munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari
dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni adalahmotivasi yang
betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan dirasakan suatu
kebutuhan. Motivasi keluarga dalam mencari informasi tentang skizofrenia
mempengaruhi cara keluarga melakukan perawatan padapasien skizofrenia.
Tingginya motivasi keluarga untuk mendapatkan informasi menunjang
tingginya pengetahuan dan informasi yang diperoleh keluarga mengenai
skizofrenia

d. Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan)
juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera
manusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain
meliputi: lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi.
Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan
perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk
memiliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemanfaatan.
Kecenderungan perawatan berulang pada pasie skizofrenia merupakan
pengalaman keluarga dalam merawat pasien skizofrenia. Pengalaman
tersebu merupakan pembelajaran kepada keluarga tentang bagaimana cara
yang tepat merawat pasien skizofrenia.

e. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh


pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang pernah
diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu.

4. Cara Memperoleh Pengetahuan

28
Cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo, 2013 adalah sebagai
berikut:

a. Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan


1) Cara coba salah
Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan
mungkin mungkin sebelum adanya peradapan. Cara coba salah ini
dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan
masalah dan apabila kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba
kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.

2) Cara kekuasaan atau otoritas

Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pemimpin


masyarakat baik formal atau informal , ahli agama, pemegang
pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang mempunyai yang
dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa memuji
terlebih dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta
empiris maupun penalaran sendiri.

b. Cara modren untuk memperoleh pengetahuan


Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih populer disebut
metode penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacom
(1561-1626) kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya
lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal
dengan penelitian ilmiah.

D. Konsep Sikap

1. Defenisi Sikap

Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya).
Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni: “An individual’s
attitude is syndrome of response consistency with regard to object”, dikatakan
bahwa sikap itu suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus

29
atau objek. Sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan
gejala kejiwaan yang lain.

Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap


adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum
merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup (Notoatmodjo, 2010).

Sikap itu bersifat sosial dalam arti kita menyesuaikan dengan orang lain dan
kelihatannya sikap itu menuntun perilaku kita sehingga kita bertindak sesuai
dengan sikap yang kita ekspresikan (Abraham, 1997). Sikap yang terdapat pada
diri individu akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan
individu yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu,
dapat diperkirakan respons ataupun perilaku yang akan diambil oleh individu
yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).

2. Ciri-ciri Sikap

Dalam buku Sunaryo, 2004, ciri-ciri sikap sebagaimana di kemukakan oleh


para ahli, seperti Gerungan (1996), Abu Ahmadi (1999), Sarlito Wirawan
Sarwono (2000), Bimo Walgono (2001), pada intinya sama , yaitu:

a. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari (learnability) dan dibentuk
berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu dalam
hubungan dengan objek.

b. Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu
sehingga dapat dipelajari.

c. Sikap tidak berdiri sendiri, selalu berhubungan dengan objek sikap.

d. Sikap dapat tertuju pada satu objek ataupun dapat tertuju pada sekumpulan/
banyak objek.

e. Sikap mengandung faktor perasaan atau motivasi sehingga membedakan


dengan pengetahuan.

30
3. Tingkat Sikap

a. Menurut Soekidjo Notoatmodjo, 2010, sikap mempunyai tingkat-tingkat


berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:

1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek).

2) Menanggapi (responding)
Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

3) Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai
yang positif terhadap objek atau stimulus.

4) Bertanggung jawab (responsible)


Sikap yang paling tinggi tingkatnya adalah bertanggung jawab
terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil
sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil
resiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya resiko
lainnya.

4. Fungsi Sikap

Menurut Attkinson, R.L, dkk, dalam bukunya Pengantar Psikologi jilid 2


edisi 11 (Sunaryo, 2004), sikap memiliki 5 fungsi berikut:

a. Fungsi instrumental
Fungsi sikap ini dikaitkan dengan alasan praktis atau manfaat, dan
menggambarkan keadaan keinginan. Sebagaimana kita maklumi bahwa untuk
mencapai tujuan, diperlukan saran yang disebut sikap. Apabila objek sikap
dapat membantu individu mencapai tujuan, individu akan bersikap positif
terhadap objek sikap tersebut atau sebaliknya.

b. Fungsi pertahanan ego


Sikap ini diambil individu dalam rangka melindungan diri dari kecemasan
atau ancaman harga dirinya.

31
c. Fungsi nilai ekspresi
Sikap ini mengekspresikan nilai yang ada dalam diri individu. Sistem nilai
apa yang ada pada diri individu, dapat dilihat dari sikap yang diambil oleh
individu yang bersangkutan terhadap nilai tertentu.

d. Fungsi pengetahuan
Sikap ini membantu individu untuk memahami dunia , yang membawa
keteraturan terhadap bermacam-macam informasi yang perlu diasimilasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu memiliki motif ingin tahu, ingin
mengerti dan ingin banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan.

e. Fungsi penyesuaian sosial


Sikap ini membantu individu merasa menjadi bagian dari masyarakat. Dalam
hal ini, sikap yang diambil tersebut individu tersebut akan dapat
menyesuaikan dengan lingkungannya.

5. Pengukuran Sikap

Dalam buku Sunaryo, 2004, membagi pengukuran sikap, sebagai berikut:

a. Secara langsung
Dengan cara ini, subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana
sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya.
Jenis-jenis pengukuran sikap secara lansung, yaitu:

1) Langsung berstruktur
Cara ini menggunakan sikap dengan menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang
telah ditentukan dan langsung diberikan kepada subjek yang diteliti.
Contoh:

a. Pengukuran sikap dengan skala Bogardus - Menyusun pernyataan


berdasarkan jarak social
Seseorang dari sesuatu golongan dihadapakan pada seuatu
golongan tertentu, bagaimana sikapnya terhadap golongan tersebut.
Misalnya, kesediaan untuk menikah, menjadi teman dekat,
menerima sebagai tetangga, menerima sebagai teman sejabatan,

32
sebagai warga negara,dan tidak bersedia menerima dalam
negaranya. Jawabannya “ya” atau “tidak”

b. Pengukuran sikap dengan skala thurston - Mengukur sikap juga


menggunakan metode “Equal-Appearing Intervals” Skala yang
telah disusun sedemikian rupa sehingga merupakan range dari
yang menyenangkan (favorable) sampai tidak menyenangkan
(unfavorable). Nilai skala bergerak dari 0,0 merupakan ekstrem
bawah sampai dengan 11,0 sebagai ekstrem atas.

c. Pengukuran sikap dengan skala likert - Dikenal dengan teknik


“Summated Rattings”. Responden diberikan pernyataan-
pernyataan dengan kategori jawaban yang telah dituliskan dan
pada umumnya 1 sampai dengan 5 kategori jawaban.

2) Langsung tak berstruktur


Cara ini merupakan pengukuran sikap yang sederhana dan tidak
diperlukan persiapan yang cukup mendalam, misalnya mengukur sikap
dengan wawancara bebas atau free interview, pengamatan langsung
atau survei.

3) Secara tidak langsung


Cara pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Umumnya di
gunakan skala semantik-diferensial yang terstandar. Cara pengukuran
sikap yang terbanyak digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh
Charles E. Osgood.

6. Pembentukan dan Pengubahan Sikap

Menurut Sunaryo, 2004, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan


dan perubahan sikap, yaitu:

a. Faktor internal
Faktor ini berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini individu
menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar,
serta menentukan apa yang akan diterima dan mana yang tidak. Oleh karena
itu , faktor individu merupakan faktor penentu pembentukan sikap. Faktor
intern ini menyangkut motif dan sikap yang bekerja dalam diri individu
33
pada saat itu, serta yang mengarahkan minat dan perhatian (faktor
psikologis), juga perasaan sakit, lapar dan haus (faktor fisiologis).

b. Faktor eksternal
asal dari luar diri individu, berupa stimulus untuk membentuk dan
mengubah sikap. Stimulus tersebut dapat bersifat langsung, misalnya
individu dengan individu , individu dengan kelompok. Dapat bersifat tidak
langsung, yaitu melalui perantara, seperti: alat komunikasi dan media masa
baik elektronik maupun non elektronik.

7. Pembentukan dan Perubahan Sikap

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2000) dalam buku Sunaryo (2004), ada
beberapa cara untuk membentuk atau mengubah sikap individu, yaitu:

a. Adopsi
Adopsi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui
kejadian yang terjadi berulang dan terus-menerus sehingga lama-kelamaan
secara bertahap hal tersebut akan diserap oleh individu dan akan
mempengaruhi pembentukan dan perubahan terhadap sikap individu.

b. Diferensiasi
Diferensiasi adalahsuatu cara pembentukan dan perubahan sikap
karena sudah dimilikinya pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan
bertambahnya umur. Oleh karena itu , hal-hal yang tadinya dianggap
sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan dilepas dari jenisnya sehingga
membentuk sikap tersendiri.

c. Integrasi
Integrasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap yang
terjadi secara bertahap demi tahap, diawali dari macam-macam pengetahuan
dan pengalaman yang berhubungan dengan objek sikap tertentu sehingga
pada akhirnya akan terbentuksikap terhadap objek tersebut.

d. Trauma
Trauma adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui
suatu kejadian secara tiba-tiba dengan mengejutkan sehingga meninggalkan

34
kesan mendalam dalam diri individu tersebut. Kejadian tersebut akan
membentuk atau mengubah sikap individu terhadap kejadian sejenis.

e. Generalisasi
Generalisasi dalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap
karena pengalaman traumatik pada diri individu terhadap hal tersebut, dapat
menimbulkan sikap negatif terhadap semua hal yang sejenis atau
sebaliknya.

8. Sikap keluarga terhadap anggota yang mengalami gangguan jiwa

Ketika gangguan jiwa dipandangan sebagai suatu beban sendiri bagi


keluarga, maka hal itu dapat dibedakan menjadi bersifat obyektif dan subyektif.
Dikatakan obyektif, maksudnya berupa tingkah laku pasien, peran pasien,
bantuan untuk memenuhi kebutuhan pasien, masalah keuangan dan lain-lain.
Sedangkan beban keluarga dikatakan bersifat subyektif, maksudnya berupa
perasaan pasien karena menjadi beban bagi keluarga. Kategori respon keluarga
terhadap anggota keluarga dengan gangguan jiwa menurut Susana (2007):

a. Berduka (grief)
Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi sehubungan
dengan adanya proses kehilangan seseorang yang awalnya dikenal sebelum
sakit, untuk kemudian hilangnya harapan pada pasien, hanya masalahnya,
seberapa dalam dan lamanya respon berduka ini dialami oleh keluarga,
seawal mungkin perawat mampu mengidentifikasinya, sehingga keluarga
maupun pasien sendiri dapat pulih dengan segera.

b. Marah (anger)
Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka akan
berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon tersebut merupakan
hal yang wajar namun jangan sampai perilaku tersebut membawa keluarga
kedalam penderitaan yang justru semakin parah lagi.

c. Merasa tidak berdaya dan takut


Keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
merupakan suatu beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati atau
menyembuhkan pasien skizofrenia. Pada kenyataanya patologis gangguan
jiwa itu sendiri semakin lama diderita justru semakin sulit kesembuhannya,
35
inilah yang menyebabkan keluarga merasa tidak berdaya dan takut. Perasaan
keluarga demikian, di negara kita juga didukung oleh rata-rata keadaan
ekonomi yang pas-pasan bahkan kekurangan, sehingga sangat wajar, apabila
tidak sedikit mereka yang terganggu jiwanya menjadi gelandangan atau
keluyuran dimana-mana atau tersangkut oleh razia dinas sosial (Permatasari,
2014).

E. Konsep Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Menurut Kaplan, Sadock dan Grebb (1994), kecemasan adalah respon


terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal
terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum
pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan dan kehati-hatian
atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyengkan (Davison & Neale,
2001) (Fausiah, 2006).

Dalam buku Suliswati, 2005, menyebutkan kecemasan merupakan respon


individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh
semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan
pengaruh subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasikan secara lansung
serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik. Kecemasan
pada individu dapat memberikan motivasi untuk mencapai sesuatu dan
meupakan sumber penting dalam usaha memelihara keseimbangan hidup. Ahli
lain, Atkinson, dkk (1996) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi
yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti kekhawatiran dan
perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan organisme
menimbulkan kecemasan, konflik merupakan salah satu sumber munculnya rasa
cemas. Adanya ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan
tertekan untuk melakukan sesuatu diluar kemampuan juga menimbulkan
kecemasan (Safaria, 2012).

36
2. Proses Terjadinya Kecemasan

Burn (1998) mengemukakan, emosi atau rasa cemas yang kita rasakan
disebabkan karena adanya dialog internal dalam pikiran individu yang
mengalami kecemasan ataupun perasaan cemas.

Perantara
Stimulus Respon
(skemata )
(situasi yang (Pengalaman
menimbulkan kecemasan
kecemasan) subjektif, kesiagaan
Proses otomatis, hambatan
kognitif dalam bertindak)

Hasil
Kognitif
(Penilaian
Primer dan
Sekunder

Skema 2.1
Proses terjadinya kecemasan
(adaptasi Blackburn dan Davidson, 1994)

Menurut Blackburn dan Davidson (1994), secara teoritis terjadinya


kecemasan diawali oleh individu dengan stimulus yang berupa situasi yang
berpengaruh dalam membentuk kecemasan (situasi mengancam), yang secara
langsung/ tidak langsung hasil pengamatan/ pengalaman tersebut diolah melalui
proses kognitif dengan menggunakan skemata (pengetahuan yang telah dimiliki
individu terhadap situasi tersebut yang sebenarnya mengancam/ tidak mengancam
dan pengetahuan tentang kemampuan dirinya untuk mengendalikan dirinya dan
situasi tersebut). Setiap pengetahuan tersebut dapat terbentuk dari keyakinan
pendapat orang lain, maupun pendapat individu sendiri maupun dunia luar.

Pengetahuan (skemata) tersebut, tentunya akan memengaruhi individu untuk


dapat membuat penilaian (hasil kognitif), sehingga respon yang akan ditimbulkan
tergantung seberapa baik penilaian individu untuk mengenal situasi tersebut dan
tergantung seberapa baik individu tersebut dapat mengendalikan dirinya. Apabila
37
pengetahuan (skemata) subyek terhadap situasi yang mengancam tersebut tidak
memadai, tentunya individu tersebut akan mengalami kecemasan.

3. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Kecemasan

Setelah membahas proses terjadinya kecemasan dikutip oleh Safaria


(2012) menurut Blackburn dan Davidson (1994), dapat disimpulkan bahwa
aspek-aspek yang mempengaruhi kecemasan dapat berupa pengetahuan yang
telah dimiliki subjek tentang situasi yang sedang dirasakan, apakah sebenarnya
mengancam/ tidak mengancam, serta pengetahuan tentang kemampuan dirinya
untuk mengendalikan dirinya(termasuk keadaan emosi maupun fokus
kepermasalahannya) dalam menghadapi situaasi tersebut. Kesimpulan ini sesuai
dengan pendapat Lazarus (Mayne dan Bonano, 2003), beliau menyatakan
apabila kita mampu mengenali situasi yang mengancam dan kita mampu
mengendalikan emosi dan permasalahannya adalah hal-hal yang dapat
memengaruhi emosi negatif, seperti rasa bosan, marah, takut, maupun
kecemasan.

Selain pendapat tersebut, Bandura (Blackburn dan Davidson, 1994)


menjelaskan hal-hal yang berpengaruh dalam meredakan kecemasan antara lain
sebagai berikut:

a. Self efficacy adalah salah satu perkiraaan individu terhadap kemampuannya


sendiri dalam mengatasi situasi.

b. Outcome expectancy memiliki pengertian sebagai perkiraan individu


terhadap kemungkinan terjadinya akibat-akibat tertentu yang mungkin
berpengaruh dalam menekan kecemasan.

4. Teori Kecemasan

Dalam bukunya Sunaryo, 2004, membagi teori kecemasan sebagai berikut:

a. Teori psikoanalitik
Kecemasan dapat timbul secara otomatis akibat dari stimulus internal
dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus (internal dan eksternal) yang
berlebihan sehingga melampaui kemampuan individu untuk menanganinya.
Ada 2 tipe kecemasan yaitu kecemasan primer dan kecemasan subsekuen.

38
1. Kecemasan primer

Kejadian traumatik yang diawali saat bayi akibat adanya stimulus tiba-
tiba dan trauma pada saat persalinan, kemudian berlanjut dengan
kemungkinan tidak tercapainya rasa puas akibat kelaparan atau kehausan.
Penyebab kecemasan primer adalah keadaan ketegangan atau dorongan yang
diakibatkan oleh faktor eksternal.

2. Kecemasan sub-sekuen
Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, Freud melihat ada jenis
kecemasan lain akibat konflik emosi diantara dua elemen kepribadian yaitu id
dan superego. Freud menjelaskan bila terjadi kecemasan maka posisi ego
sebagai pengembang id dan superego berada pada kondisi bahaya.

b. Teori interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat
ketidakmampuan untuk berhubungan interpersonal dan sebagai akibat
penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan
lingkungan. Harga diri seseorang merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan kecemasan.

c. Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi
akibat berbagai hal yang memengaruhi individu dalam mencapai tujuan yang
diinginkan misalnya memperoleh pekerjaan, keluarga, kesuksesan dalam
sekolah. Perilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah
dialami. Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antara dua pilihan
yang saling berlawanan dan individu harus memilih salah satu.

d. Teori keluarga
Studi pada keluarga dan epidemologi memperlihatkan bahwa
kecemasan selalu ada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan sifatnya
heterogen.

e. Teori biologis
Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin, reseptor
tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut
berhubungan dengan aktivitas neurotransmiter gamma amino butyric acid
39
(GABA) yang mengontrol aktivitas neuron dibagian otak yang bertanggung
jawab menghasilkan kecemasan

5. Reaksi yang Ditimbulkan oleh Kecemasan

Menurut Priest (1991) bahwa individu yang mengalami kecemasan akan


menunjukkan reaksi fisik berupa tana-tanda jantung berpacu lebih cepat, tangan
dan lutut gemetar, ketegangan pada syaraf di belakang leher, gelisah atau sulit
tidur, banyak berkeringat, gatal-gatal pada kulit, serta selalu ingin buang air
kecil.

Calhoun dan Acocella (1995) mengemukakan aspek-aspek kecemasan


yang dikemukakan dalam tiga reaksi, yaitu sebagai berikut:

a. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan dengan


persepsi individu terhadap pengaruh psikologis dari kecemasan, seperti
perasaan keprihatinan, ketegangan, sedih, mencela diri sendiri atau orang lain.

b. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan dan kekhawatiran yang berpengaruh terhadap


kemampuan berpikir jernih sehingga menganggu dalam memecahkan
masalah dan mengatasi tuntuntan lingkungan sekitar.

c. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh terhadap sumber
ketakutan dan kekhawatiran. Reaksi ini berkaitan dengan sistem syaraf yang
mengendalikan berbagai otot dan kelenjer tubuh sehingga timbul reaksi dalam
bentuk jantung berdebar lebih keras, nafas bergerak lebih cepat, tekanan
darah meningkat (Safaria, 2012).

6. Tingkat Kecemasan

Menurut Pelapina Heriana, 2014, membagi tingkat kecemasan sebagai berikut:

a. Antisipasi
Pada tingkat ini seseorang akan dapat merencanakan kegiatan dengan baik.

b. Kecemasan ringan
Pada tingkat ini dikatakan kecemasan normal. Pada tingkat ini individu
mampu belajar dan memecahkan masalah secara efektif motivasi untuk

40
melakukan sesuatu sangat besar (dalam kehidupan sehari-hari), dapat
memotivasi diri maupun orang lain untuk bertindak.

1. Respon fisik: ketegangan otot ringan, sadar akan lingkungan, rileks atau
sedikit gelisah, penuh perhatian, rajin.

2. Respon kognitif: lapang persepsi luas, terlihat tenang, percaya diri,


perasaan gagal sedikit, waspada dan memperhatikan banyak hal,
mempertimbangkan informasi, tingkat pembelajaran optimal.

3. Respon emosional: perilaku otomatis, sedikit tidak sabar, aktivitas


menyendiri, terstimulus, tenang (Videbeck, 2008).

c. Kecemasan sedang
Pada kecemasan sedang ini pasien atau individu mempunyai persepsi
terhadap permasalahan yang ada menyempit sehingga perlu pengarahan orang
lain untuk memecahkan permasalahnya.

1. Respon fisik: ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat. Pupil


dilatasi, mulai berkeringat, sering mondar mandir, memukulkan tangan,
suara berubah (bergetar dan nada suara tinggi), kewaspadaan dan
ketegangan meningkat, sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah,
nyeri punggung.

2. Respon kognitif: lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara selektif,


fokustehadap stimulus meningkat, rentang perhatian menurun,
penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi dengan
memfokuskan.

3. Respon emosional: tidak nyaman, mudah tersinggung, kepercayaan diri


goyah, tidak sabar, gembira (Videbeck, 2008).

d. Kecemasan berat

Kecemasan berat ini menjadi pusat perhatian pasien atau individupada


detail yang kecil atau perhatiannya terpecah, muncul perasaan tidak percaya
pada orang lain. Tak mampu membuat kaitan yang masuk akal, tidak sadar
bahwa dirinya cemas dan tidak sabar, tidak nyaman.

41
1. Respon fisik: ketegangan otot berat, hiperventilasi, kontak mata buruk,
pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat, nada suara tinggi, tindakan
tanpa tujuan dan serampangan, rahang menegang, menggertakkan gigi,
kebutuhan ruang gerak meningkat, mondar mandir, berteriak, meremas
tangan, gemetar.

2. Respon kognitif: lapang persepsi terbatas, proses berpikir terpecah-pecah,


sulit berpikir, penyelesaian masalah buruk, tidak mampu
mempertimbangkan informasi, hanya memperhatikan ancaman, preokupasi
dengan pikiran sendiri, egosentris.

3. Respon emosional: sangat cemas, agitasi, takut, bingung, merasa tidak


adekuat, menarik diri, penyangkalan, ingin bebas (Videbeck, 2008).

e. Panik
Panik adalah tingkat kecemasan yang paling berat, disini individu kacau
sehingga berbahaya untuk dirinya maupun orang lain, tidak mampu untuk
melakukan tindakan untuk pemecahan masalahnya (sehingga seolah-olah
lumpuh), hiperaktif dan gelisah (agitasi).

1. Respon fisik: ketegangan otot-otot sangat berat, agitasi motorik kasar,


pupil dilatasi, tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun, tidak dapat
tidur, hormon stress dan neurotransmiter berkurang, wajah menyeringai,
mulut ternganga.

2. Respon kognitif: perepsi sangat sempit, pikiran tidak logis, terganggu


kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah, fokus pada pikiran
sendiri, tidak rasional, sulit memahami stimulus eksternal, halusinasi,
waham, ilusi mungkin terjadi.

3. Respon emosional: merasa terbebani, merasa tidak mampu, tidak berdaya,


lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah, sangat takut, mengharapkan hasil
yang buruk, kaget, takut, lelah (Videbeck, 2008).

42
Respon
Respon Adaptif Maladaptif

   
   
         
                 
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Skema 2.2
Rentang Respon Kecemasan

7. Cara untuk Mengatasi Kecemasan

Menurut Ramaiah (2003) dalam buku Safaria, 2012 ada beberapa cara
untuk mengatasi kecemasan, yaitu sebagai berikut:

a. Pengendalian diri yakni segala sesuatu usaha untuk mengendalikan berbagai


keinginan pribadi yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisinya.

b. Dukungan, yakni dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat


memberikan kesembuhan terhadap kecemasan.

c. Tindakan fisik, yakni melakukan kegiatan-kegiatan fisik, seperti olahraga


akan sangat baikuntuk menghilangkan kecemasan.

d. Tidur, yakni tidur yang cukup dengan tidur 6-8 jam pada malam hari dapat
mengembalikan kesegaran dan kebugaran.

e. Mendengarkan musik, yakni mendengarkan musik lembut akan dapat


membantu menenangkan pikiran dan perasaan.

f. Konsumsi makanan, yakni keeimbangan dalam mengonsumsi makanan yang


mengandung gizi dan vitamin sangat baik untuk menjaga kesehatan.

43
d. Skala Kecemasan Hamilton Anxiety Rating scale (HARS)

Dalam penelitian ini untuk menetukan tingkat kecemasan pasien


menggunakan skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) merupakan salah
satu alat ukur untuk menilai tingkat kecemasan, yang didasarkan pada
munculnya symtoms pada individu yang mengalami kecemasan.

Menurut skala HARS yang dikutip dari Nursalam (2013), penilaian


kecemasan terdiri atas 14 item, yaitu:

1. Perasaan cemas: firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah


tersinggung.

2. Ketegangan: merasa tegang, lesu, mudah terkejut, tidak bisa istirahat dengan
tenang, mudah menangis, gemetar, gelisah.

3. Ketakutan: pada gelap, ditinggal sendiri, pada orang asing, pada binatang
besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan banyak orang.

4. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun malam hari, tidak pulas,
mimpi buruk, mimpi menakutkan.

5. Gangguan kecerdasan: daya ingat buruk, sulit konsentrasi, sering bingung.

6. Perasaan depresi: kehilangnya minat, sedih, bangun dini hari, berkurangnya


kesenangan pada hobi, perasaan berubah-ubah sepanjang hari.

7. Gejala somatic (otot-otot): nyeri otot, kaku, kedutan otot, gigi gemeretak,
suara tak stabil.

8. Gejala sensorik: telinga berdengung, penglihatan kabur, muka merah dan


pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.

9. Gejala kardiovaskuler: denyut nadi cepat, berdebar-debar, nyeri dada,


denyut nadi mengeras, rasa lemah seperti mau pingsan, detak jantung hilang
sekejap.

10. Gejala pernapasan: rasa tertekan didada, perasaan tercekik, merasa nafas
pendek/sesak, sering menarik napas panjang.

44
11. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, mual muntah, berat badan menurun,
konstipasi/sulit buang air besar, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri
lambung sebelum/sesudah makan, rasa panas diperut, perut terasa
penuh/kembung.

12. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,


amenor/menstruasi yang tidak teratur.

13. Gejala vegetatif/autonom: mulut kering, muka kering, mudah berkeringat,


pusing/sakit kepala, bulu roma berdiri.

14. Apakah Ibu/Bapak merasakan: gelisah, tidak tenang, mengerutkan dahi


muka tegang, tonus/ketegangan otot meningkat, napas pendek dan cepat,
muka merah.

Adapun cara penilaiannya adalah setiap item yang diobservasidiberi


5 tingkat skor, yaitu antar 0 (nol) sampai dengan 4, dengan kategori sebagai
berikut:

0 = Tidak ada gejala sama sekali

1 = Ringan satu dari gejala yang ada

2 = Sedang separuh dari gejala yang ada

3 = Berat lebih dari separuh yang ada

4 = Sangat berat semua gejala yang ada

Penentu derajat kecemasan ditentukan dengan cara menjumlahkan


nilai skor dari 14 item diatas dengan hasil sebagai berikut (Nursalam, 2013):
< 14 : tidak ada kecemasan

14 - 20 : kecemasan ringan

21 - 27 : kecemasan sedang

28 - 41 : kecemasan berat

42 - 56 : kecemasan sangat berat

45
3 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang
satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo 2012).

Berdasarkan latar belakang dan teori pada bab sebelumnya, peneliti menetapkan
pemikiran sebagai berikut: hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa. Maka dapat dirumuskan kerangka konsep sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan
Tingkat Kecemasan
Sikap

Lingkungan

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

“Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan tingkat kecemasan dalam


merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranggo kabupaten Dompu tahun 2021”

4 Hipotesis

Hipotesis dalam suatu penelitian adalah jawaban sementara penelitian,


patokan dugaan atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian tersebut (Notoadmodjo, 2012). Terdapat dua macam hipotesa yaitu
hipotesa nol (Ho) dan hipotesa alternative (Ha). Secara umum hipotesa nol (Ho)
diungkapkan sebagai tidak terdapatnya hubungan (signifikan) antara dua
variabel. Hipotesa alternative (Ha) menyatakaan ada hubungan antara dua
variabel atau lebih.

Dalam penelitian ini hipotesa yang akan dirancang oleh peneliti adalah:

46
Ha :Ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di wilayah
kerja Puskesmas Ranggo, Kabupaten Dompu tahun 2021.

Ho : tidak ada hubungan antara kepercayaan keluarga tentang penyebab penyakit


dalam merawat anggota keluarga yang emanglami gangguan jiwa di wilayah
kerja puskesmas Ranggo tahun 2021

47

Anda mungkin juga menyukai