TINJAUAN PUSTAKA
Gejala utama atau gejala yang paling menonjol pada gangguan jiwa
terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin dibadan
(somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik), ataupun psikis (psikogenik),
7
(Maramis, 2010). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi
atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun
gangguan jiwa.
Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab gangguan jiwa dapat dibedakan
atas:
a. Faktor biologis/jasmaniah
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin
terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan
jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan
kejiwaan yang tidak sehat.
2) Jasmaniah
Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang
3) Temperamen
8
c. Faktor psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang
dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya. Pemberian kasih
sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh, kaku dan keras akan
menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta memiliki kepribadian yang
bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.
d. Faktor sosio-kultural
Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012) yaitu:
1) Penyebab primer (primary cause)
Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya
gangguan jiwa, atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan
jiwa tidak akan muncul.
e. Faktor Presipitasi
Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan seseorang.
Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu mempersepsikan dirinya
melawan tantangan, ancaman, atau tuntutan untuk koping. Masalah khusus
tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi dimana individu tidak
mampu menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri dan
komponennya. Lingkungan dan stressor yang dapat mempengaruhi
gambaran diri dan hilangnya bagian badan, tindakan operasi, proses
9
patologipenyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses tumbuh
kembang, dan prosedur tindakan serta pengobatan (Stuart&Sundeen, 2008).
a. Perubahan yang berulang dalam pikiaran, daya ingat, persepsi dan daya
tilikan yang bermanifestasi sebagai kelainan bicara dan perilaku.
b. Isolasi sosial
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berintekasi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Tanda
10
dan gejala dari isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara
adalah: pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain;
pasien merasa tidak aman dengan orang lain; pasien merasa bosan dan
lambat menghabiskan waktu; pasien tidak dapat berkosentrasi dan membuat
keputusan; pasien merasa tidak berguna; pasien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup (Keliat, 2012)
c. Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasa sensasi berupa suara,
penglihatan, pengcapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus nyata.
Suatu penghayatan yang dialami seperti melalui panca indra tanpa stimulus
ekternal: persepsi palsu (Keliat, 2012).
11
7) Halusinasi Kinestetika: Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa
bergerak.
d. Waham
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara
kuat/terus menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan. Berbagai
kehilangan dapat terjadi pada pasca bencana, baik kehilangan harta benda,
keluarga maupun orang yang bermakna. Kehilangan menyebabkan stress
bagi yang mengalami. Jika stress ini berkepanjangan dapat memicu masalah
gangguan jiwa dan waham.
12
saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku
kekerasan.
Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah: muka merah dan
tegang; pandangan tajam; mengatupkan rahang dengan kuat; mengepalkan
tangan; jalan mondar-mandir; bicara kasar; suara tinggi, menjerit atau
berteriak; mengancam secara verbal atau fisik; merusa barang atau benda
(Keliat, 2012).
13
3) Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan
makan tidak pada tempatnya.
Menurut Wahyu, (2012) dari anggota yang menderita gangguan jiwa bagi
keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:
a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita
gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan
meyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota
keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka cintai. Pada
proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan
menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat
diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan
dalam keluarga, dan isolasi dan kehilangan hubungan yang bermakna
dengan keluarga yang tidak mendukung orang yang sakit. Tanpa informasi
untuk membantu keluarga belajar untuk mengatasi penyakit mental,
keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting
bahwa keluarga menemukan sumber informasi yang membantu mereka
untuk memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut.
Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi
keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan normal.
b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua
dalam anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita
tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan
beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang penderita dalam
kegiatan tertentu. stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-hari,
tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif
berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.
14
c. Frustasi, tidak berdaya, dan kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan
tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan,
dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan
kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga memahami
kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi marah-marah,
cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas
yang sebelumnya penderita lakukan.
e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-
hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat menerima
kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan.
Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan
melihat penderita memiliki potensi berkurang secara substansial bukan
sebagai yang memiliki potensi berubah.
15
diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental, dan
spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang
luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak
boleh diabaikan (Kurniawan, 2016).
B. Konsep Keluarga
1. Definisi Keluarga
Tipe dan bentuk keluarga menurut Friedman, 1986 (dalam Ali, 2010) terdiri atas:
a. Keluarga inti (Nuclear Family). Terdiri dari orang tua dan anak yang masih
menjadi tanggungannya dan tinggal dalam satu rumah, terpisah dari sanak
keluarga yang lainnya.
b. Keluarga besar (Exstended Family). Satu keluarga yang terdiri dari satu atau
dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah dan saling menunjang satu
sama lain.
c. Single parent family. Satu keluarga yang dikepalai oleh satu kepala keluarga
dan hidup bersama dengan anak-anak yang masih bergantung padanya.
d. Nuclear dyed. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri tanpa anak,
tinggal dalam satu rumah yang sama.
f. Three generation family. Keluarga yang terdiri dari tiga generasi, yaitu
kakek, nenek, bapak, ibu dan anak dalam satu rumah.
g. Single adult living alone. Bentuk keluarga yang hanya terdiri dari satu orang
dewasa yang hidup dalam rumahnya.
h. Middle age atau elderly couple. Keluarga yang terdiri dari sepasang suami
istri paruh baya.
3. Peran Keluarga
a. Peran ayah: sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai
pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala
keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota
masyarakat dari lingkunganya.
b. Peran ibu: sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peran
untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-
anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya
serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu ibu
juga berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
c. Pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien semur hidup tetapi fasilitas
yang hanya membantu klien dan keluarga sementara.
4. Fungsi Keluarga
a. Fungsi Afektif
Berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, sebagai basis
kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk memenuhi kebutuhan
18
psikososial terutama bagi klien gangguan jiwa. Keberhasilan melaksanakan
fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh
anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang
positif. Hal tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan melalui interaksi
dan hubungan dalam keluarga. Dengan demikian, keluarga yang ebrhasil
melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga dapat
mengembangkan konsep diri positif.
b. Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui
setiap anggota keluarganya, yang mengahasilkan interaksi sosial. Pada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, keluarga berperan untuk
membimbing anggota keluarga tersebut untuk mau bersosialisasi dengan
anggota keluarga yang lain dan lingkungan sekitarnya. Keberhasilan
perkembangan yang dicapai oleh anggota keluarga melalui interaksi atau
hubungan antara anggota keluarga yang diwujudkan dalam sosialisasi.
c. Fungsi Ekonomi
19
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi
kebutuhan seluruh anggota keluarga terutama anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa seperti memberikan dana untuk pengobatan dan
perawatan selama dirawat dirumah sakit jiwa maupun dirawat dirumah.
Keluarga menyediakan semua perlengkapan yang dibutuhkan anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
20
c. Memberikan perawatan
Memberikan perawatan diri kepada anggota keluarga yang sakit
terutama anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa atau yang tidak
dapat membantu dirinya sendiri karena gangguan prose pikir, cacat atau
usianya yang terlalu muda/ tua. Perawatan ini dapat dilakukan dirumah
apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk
pertolongan pertama atau pergi kepelayanan kesehatan untuk memperoleh
tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.
d. Memodifikasi lingkungan
Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian keluarga.
a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan
jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan meyakini
memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota keluarga
akan khawatir dengan apa yang terjadi padamereka cintai. Pada proses awal,
keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan menyalahkan
dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat diterima dan
kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan yang bermakna
dengan keluarga yang tidak mendukung orang sakit. Tanpa informasi untuk
membantu keluarga belajar untuk mengatasi penyakit mental, keluarga
dapat menjadi sangat pesimis tentang masa depan. Sangat penting bahwa
keluarga menemukan sumber informasi yang membantu mereka untuk
memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut. Mereka
perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi keduanya,
mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan normal.
21
b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam
anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak
dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan
beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang penderita dalam
kegiatan tertentu. stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-hari,
tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif
berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.
e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-
hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat menerima
22
kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan.
Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan
melihat penderita memiliki potensi berkurang secara substansial bukan
sebagai yang memiliki potensi berubah.
a. Pemberian kekuasaan
Keluarga perlu belajar menghadapi situasi sulit dengan memberikan kepada
mereka perasaan mampu mengontrol kehidupanya.
b. Pendidikan keluarga
Pendidikan keluarga menjadi intervensi keperawatan primer dalam setting
keperawatan jiwa. Walsh merekomendasikan cara-cara dalam pendidikan
keluarga sebagai berikut:
23
memperlebar wilayah gangguan jiwa bagi anggota keluarga yang
lainya.
5) Hindari nasihat dan opini dari orang yang tidak mempunyai pengalaman
gangguan jiwa. Sangat mungkin bahwa keluarga akan mendapat
komentar minimal dari orang atau keluarga lain ketika mengetahui
adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Komentar
yang tidak produktif atau dapat diprediksi demikian, merupakan
langkah untuk menghindari jika akan mendapat stressortersendiri bagi
keluarga, karena komentar yang berupa nasihat atau opini dari orang
lain adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan selalu berhasil ketika
24
terus menerus menghindari coping. Hal ini merupakan sebuah sikap
semacam lari dari kenyataan.
6) Ingat bahwa kebahagiaan dapat terjadi.
Sengsara atau bahagia sesungguhnya adalah sebuah kemestian.
Kemestian adalah sebuah keputusan pilihan. Untuk itulah keluarga yang
ingin dan memahami dengan baik, serta memiliki kemampuan untuk
berubah, kebahagiaan hidup dalam keluarga adalah sesuatu yang dapat
terjadi, disinilah keluarga sekiranya memilikioptimisme dan kekuatan
untuk melakukan perubahan.
C. Konsep Pengetahuan
1. Defenisi Pengetahuan
25
anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya
(Notosoedirdjo & Latipun, 2005).
2. Tingkat Pengetahuan
26
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada
tingkat analisi adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau
memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap
pengetahuan atas objek tersebut.
a. Pendidikan
Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa,
lebih baik dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat.
Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap
perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidkan itu mempertinggi
taraf intelegensi keluarga dalam merawat pasien skizofrenia agar pasien
skizofrenia mampu kembali ke keluarga dan beradaptasi dengan
lingkungan.
b. Persepsi
Persepsi, mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil. Persepsi keluarga tentang skizofrenia merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan pasien skizofrenia tersebut.
Keluarga menganggap skizofrenia merupakan penyakit yang memalukan
dan membawa aib bagi keluarga maka hal ini juga akan mempengaruhi
kesembuhan pasien skizofrenia.
c. Motivasi
27
Motivasi merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak
yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan
mengesampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat. Dalam
mencapai tujuan dan munculnya motivasi dan memerlukan rangsangan dari
dalam individu maupun dari luar. Motivasi murni adalahmotivasi yang
betul-betul disadari akan pentingnya suatu perilaku akan dirasakan suatu
kebutuhan. Motivasi keluarga dalam mencari informasi tentang skizofrenia
mempengaruhi cara keluarga melakukan perawatan padapasien skizofrenia.
Tingginya motivasi keluarga untuk mendapatkan informasi menunjang
tingginya pengetahuan dan informasi yang diperoleh keluarga mengenai
skizofrenia
d. Pengalaman
Pengalaman adalah sesuatu yang dirasakan (diketahui, dikerjakan)
juga merupakan kesadaran akan suatu hal yang tertangkap oleh indera
manusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan antara lain
meliputi: lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan informasi.
Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan
perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk
memiliki hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemanfaatan.
Kecenderungan perawatan berulang pada pasie skizofrenia merupakan
pengalaman keluarga dalam merawat pasien skizofrenia. Pengalaman
tersebu merupakan pembelajaran kepada keluarga tentang bagaimana cara
yang tepat merawat pasien skizofrenia.
28
Cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo, 2013 adalah sebagai
berikut:
D. Konsep Sikap
1. Defenisi Sikap
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya).
Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni: “An individual’s
attitude is syndrome of response consistency with regard to object”, dikatakan
bahwa sikap itu suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus
29
atau objek. Sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan
gejala kejiwaan yang lain.
Sikap itu bersifat sosial dalam arti kita menyesuaikan dengan orang lain dan
kelihatannya sikap itu menuntun perilaku kita sehingga kita bertindak sesuai
dengan sikap yang kita ekspresikan (Abraham, 1997). Sikap yang terdapat pada
diri individu akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan
individu yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu,
dapat diperkirakan respons ataupun perilaku yang akan diambil oleh individu
yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).
2. Ciri-ciri Sikap
a. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari (learnability) dan dibentuk
berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu dalam
hubungan dengan objek.
b. Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu
sehingga dapat dipelajari.
d. Sikap dapat tertuju pada satu objek ataupun dapat tertuju pada sekumpulan/
banyak objek.
30
3. Tingkat Sikap
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek).
2) Menanggapi (responding)
Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3) Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai
yang positif terhadap objek atau stimulus.
4. Fungsi Sikap
a. Fungsi instrumental
Fungsi sikap ini dikaitkan dengan alasan praktis atau manfaat, dan
menggambarkan keadaan keinginan. Sebagaimana kita maklumi bahwa untuk
mencapai tujuan, diperlukan saran yang disebut sikap. Apabila objek sikap
dapat membantu individu mencapai tujuan, individu akan bersikap positif
terhadap objek sikap tersebut atau sebaliknya.
31
c. Fungsi nilai ekspresi
Sikap ini mengekspresikan nilai yang ada dalam diri individu. Sistem nilai
apa yang ada pada diri individu, dapat dilihat dari sikap yang diambil oleh
individu yang bersangkutan terhadap nilai tertentu.
d. Fungsi pengetahuan
Sikap ini membantu individu untuk memahami dunia , yang membawa
keteraturan terhadap bermacam-macam informasi yang perlu diasimilasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu memiliki motif ingin tahu, ingin
mengerti dan ingin banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan.
5. Pengukuran Sikap
a. Secara langsung
Dengan cara ini, subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana
sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya.
Jenis-jenis pengukuran sikap secara lansung, yaitu:
1) Langsung berstruktur
Cara ini menggunakan sikap dengan menggunakan pertanyaan-
pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang
telah ditentukan dan langsung diberikan kepada subjek yang diteliti.
Contoh:
32
sebagai warga negara,dan tidak bersedia menerima dalam
negaranya. Jawabannya “ya” atau “tidak”
a. Faktor internal
Faktor ini berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini individu
menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar,
serta menentukan apa yang akan diterima dan mana yang tidak. Oleh karena
itu , faktor individu merupakan faktor penentu pembentukan sikap. Faktor
intern ini menyangkut motif dan sikap yang bekerja dalam diri individu
33
pada saat itu, serta yang mengarahkan minat dan perhatian (faktor
psikologis), juga perasaan sakit, lapar dan haus (faktor fisiologis).
b. Faktor eksternal
asal dari luar diri individu, berupa stimulus untuk membentuk dan
mengubah sikap. Stimulus tersebut dapat bersifat langsung, misalnya
individu dengan individu , individu dengan kelompok. Dapat bersifat tidak
langsung, yaitu melalui perantara, seperti: alat komunikasi dan media masa
baik elektronik maupun non elektronik.
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2000) dalam buku Sunaryo (2004), ada
beberapa cara untuk membentuk atau mengubah sikap individu, yaitu:
a. Adopsi
Adopsi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui
kejadian yang terjadi berulang dan terus-menerus sehingga lama-kelamaan
secara bertahap hal tersebut akan diserap oleh individu dan akan
mempengaruhi pembentukan dan perubahan terhadap sikap individu.
b. Diferensiasi
Diferensiasi adalahsuatu cara pembentukan dan perubahan sikap
karena sudah dimilikinya pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan
bertambahnya umur. Oleh karena itu , hal-hal yang tadinya dianggap
sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan dilepas dari jenisnya sehingga
membentuk sikap tersendiri.
c. Integrasi
Integrasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap yang
terjadi secara bertahap demi tahap, diawali dari macam-macam pengetahuan
dan pengalaman yang berhubungan dengan objek sikap tertentu sehingga
pada akhirnya akan terbentuksikap terhadap objek tersebut.
d. Trauma
Trauma adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui
suatu kejadian secara tiba-tiba dengan mengejutkan sehingga meninggalkan
34
kesan mendalam dalam diri individu tersebut. Kejadian tersebut akan
membentuk atau mengubah sikap individu terhadap kejadian sejenis.
e. Generalisasi
Generalisasi dalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap
karena pengalaman traumatik pada diri individu terhadap hal tersebut, dapat
menimbulkan sikap negatif terhadap semua hal yang sejenis atau
sebaliknya.
a. Berduka (grief)
Berduka adalah respon wajar yang paling umum terjadi sehubungan
dengan adanya proses kehilangan seseorang yang awalnya dikenal sebelum
sakit, untuk kemudian hilangnya harapan pada pasien, hanya masalahnya,
seberapa dalam dan lamanya respon berduka ini dialami oleh keluarga,
seawal mungkin perawat mampu mengidentifikasinya, sehingga keluarga
maupun pasien sendiri dapat pulih dengan segera.
b. Marah (anger)
Respon berikutnya ketika berduka dialami keluarga, maka akan
berhadapan dengan respon kedua yaitu marah. Respon tersebut merupakan
hal yang wajar namun jangan sampai perilaku tersebut membawa keluarga
kedalam penderitaan yang justru semakin parah lagi.
E. Konsep Kecemasan
1. Definisi Kecemasan
36
2. Proses Terjadinya Kecemasan
Burn (1998) mengemukakan, emosi atau rasa cemas yang kita rasakan
disebabkan karena adanya dialog internal dalam pikiran individu yang
mengalami kecemasan ataupun perasaan cemas.
Perantara
Stimulus Respon
(skemata )
(situasi yang (Pengalaman
menimbulkan kecemasan
kecemasan) subjektif, kesiagaan
Proses otomatis, hambatan
kognitif dalam bertindak)
Hasil
Kognitif
(Penilaian
Primer dan
Sekunder
Skema 2.1
Proses terjadinya kecemasan
(adaptasi Blackburn dan Davidson, 1994)
4. Teori Kecemasan
a. Teori psikoanalitik
Kecemasan dapat timbul secara otomatis akibat dari stimulus internal
dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus (internal dan eksternal) yang
berlebihan sehingga melampaui kemampuan individu untuk menanganinya.
Ada 2 tipe kecemasan yaitu kecemasan primer dan kecemasan subsekuen.
38
1. Kecemasan primer
Kejadian traumatik yang diawali saat bayi akibat adanya stimulus tiba-
tiba dan trauma pada saat persalinan, kemudian berlanjut dengan
kemungkinan tidak tercapainya rasa puas akibat kelaparan atau kehausan.
Penyebab kecemasan primer adalah keadaan ketegangan atau dorongan yang
diakibatkan oleh faktor eksternal.
2. Kecemasan sub-sekuen
Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, Freud melihat ada jenis
kecemasan lain akibat konflik emosi diantara dua elemen kepribadian yaitu id
dan superego. Freud menjelaskan bila terjadi kecemasan maka posisi ego
sebagai pengembang id dan superego berada pada kondisi bahaya.
b. Teori interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa kecemasan timbul akibat
ketidakmampuan untuk berhubungan interpersonal dan sebagai akibat
penolakan. Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan
lingkungan. Harga diri seseorang merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan kecemasan.
c. Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil frustasi
akibat berbagai hal yang memengaruhi individu dalam mencapai tujuan yang
diinginkan misalnya memperoleh pekerjaan, keluarga, kesuksesan dalam
sekolah. Perilaku merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah
dialami. Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antara dua pilihan
yang saling berlawanan dan individu harus memilih salah satu.
d. Teori keluarga
Studi pada keluarga dan epidemologi memperlihatkan bahwa
kecemasan selalu ada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan sifatnya
heterogen.
e. Teori biologis
Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin, reseptor
tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi tersebut
berhubungan dengan aktivitas neurotransmiter gamma amino butyric acid
39
(GABA) yang mengontrol aktivitas neuron dibagian otak yang bertanggung
jawab menghasilkan kecemasan
c. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh terhadap sumber
ketakutan dan kekhawatiran. Reaksi ini berkaitan dengan sistem syaraf yang
mengendalikan berbagai otot dan kelenjer tubuh sehingga timbul reaksi dalam
bentuk jantung berdebar lebih keras, nafas bergerak lebih cepat, tekanan
darah meningkat (Safaria, 2012).
6. Tingkat Kecemasan
a. Antisipasi
Pada tingkat ini seseorang akan dapat merencanakan kegiatan dengan baik.
b. Kecemasan ringan
Pada tingkat ini dikatakan kecemasan normal. Pada tingkat ini individu
mampu belajar dan memecahkan masalah secara efektif motivasi untuk
40
melakukan sesuatu sangat besar (dalam kehidupan sehari-hari), dapat
memotivasi diri maupun orang lain untuk bertindak.
1. Respon fisik: ketegangan otot ringan, sadar akan lingkungan, rileks atau
sedikit gelisah, penuh perhatian, rajin.
c. Kecemasan sedang
Pada kecemasan sedang ini pasien atau individu mempunyai persepsi
terhadap permasalahan yang ada menyempit sehingga perlu pengarahan orang
lain untuk memecahkan permasalahnya.
d. Kecemasan berat
41
1. Respon fisik: ketegangan otot berat, hiperventilasi, kontak mata buruk,
pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat, nada suara tinggi, tindakan
tanpa tujuan dan serampangan, rahang menegang, menggertakkan gigi,
kebutuhan ruang gerak meningkat, mondar mandir, berteriak, meremas
tangan, gemetar.
e. Panik
Panik adalah tingkat kecemasan yang paling berat, disini individu kacau
sehingga berbahaya untuk dirinya maupun orang lain, tidak mampu untuk
melakukan tindakan untuk pemecahan masalahnya (sehingga seolah-olah
lumpuh), hiperaktif dan gelisah (agitasi).
42
Respon
Respon Adaptif Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Skema 2.2
Rentang Respon Kecemasan
Menurut Ramaiah (2003) dalam buku Safaria, 2012 ada beberapa cara
untuk mengatasi kecemasan, yaitu sebagai berikut:
d. Tidur, yakni tidur yang cukup dengan tidur 6-8 jam pada malam hari dapat
mengembalikan kesegaran dan kebugaran.
43
d. Skala Kecemasan Hamilton Anxiety Rating scale (HARS)
2. Ketegangan: merasa tegang, lesu, mudah terkejut, tidak bisa istirahat dengan
tenang, mudah menangis, gemetar, gelisah.
3. Ketakutan: pada gelap, ditinggal sendiri, pada orang asing, pada binatang
besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan banyak orang.
4. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun malam hari, tidak pulas,
mimpi buruk, mimpi menakutkan.
7. Gejala somatic (otot-otot): nyeri otot, kaku, kedutan otot, gigi gemeretak,
suara tak stabil.
10. Gejala pernapasan: rasa tertekan didada, perasaan tercekik, merasa nafas
pendek/sesak, sering menarik napas panjang.
44
11. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, mual muntah, berat badan menurun,
konstipasi/sulit buang air besar, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri
lambung sebelum/sesudah makan, rasa panas diperut, perut terasa
penuh/kembung.
14 - 20 : kecemasan ringan
21 - 27 : kecemasan sedang
28 - 41 : kecemasan berat
45
3 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang
satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo 2012).
Berdasarkan latar belakang dan teori pada bab sebelumnya, peneliti menetapkan
pemikiran sebagai berikut: hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecemasan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa. Maka dapat dirumuskan kerangka konsep sebagai berikut:
Pengetahuan
Tingkat Kecemasan
Sikap
Lingkungan
4 Hipotesis
Dalam penelitian ini hipotesa yang akan dirancang oleh peneliti adalah:
46
Ha :Ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan dalam
merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di wilayah
kerja Puskesmas Ranggo, Kabupaten Dompu tahun 2021.
47