Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehigga kami dapat sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ The Effect Of Psychiatric Nurse
Ceasing to Wear Uniform ” dengan baik. Kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam
pembentukan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini tentunya masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharap saran dan kritik dari pembaca yang
bersifat membangun. Dan semoga dengan pembuatan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan para pembaca.

Semarang, 6 Maret 2015

Tim Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa adalah suatu masalah atau gangguan yang dapat
mengancam keselamatan dan merugikan diri sendiri serta masyarakat
sekitar. Gangguan jiwa di masyarakat merupakan masalah yang serius dan
patut mendapatkan perhatian. Gangguan jiwa adalah penyakit medis yang
kompleks dimana tidak hanya meliputi fisik dan pola hidup tetapi juga
riwayat perkembangan psikologis atau kejiwaan seseorang (Videbeck,
2008).
Menurut Uton Muchtan Rafei, Direktur WHO Wilayah Asia
Tenggara, hampir satu per tiga dari penduduk di wilayah Asia Tenggara
pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Hal tersebut dibuktikan dari
data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, di Indonesia
diperkirakan sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita
gangguan jiwa di Indonesia (Yosep, 2011).
Dari data Badan Kesehatan Dunia (WHO) hingga Oktober 2007
tercatat penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 26 juta orang dari
sekitar 220 juta orang total jumlah penduduk Indonesia (Arief, 2009).
Meskipun gangguan jiwa bukanlah sebagai gangguan kesehatan yang
dapat menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan
tersebut dalam arti sehingga klien belajar cara penyelesaian masalah.
Selain menggunakan diri sendiri secara terapeutik, perawat juga
menggunakan terapi modalitas dan komunikasi terapeutik.
Perawat jiwa menggunakan pendekatan pada pasien melalui suatu
proses keperawatan yang merupakan metode ilmiah dalam menjalankan
asuhan keperawatan dan penyelesaian masalah secara sistematis yang
digunakan oleh perawat. Dimana penerapan proses keperawatan dapat
meningkatkan otonomi, percaya diri, cara berpikir logis, ilmiah dan
sistematis, memperlihatkan tanggung jawab dan tanggung gugat, serta

2
pengembangan diri perawat. Disamping itu, klien dapat merasakan mutu
pelayanan keperawatan yang lebih baik dan berperan aktif dalam
perawatan diri, serta terhindar dari malpraktik.
Penampilan fisik sering mencerminkan pribadi dan konsep diri
seseorang. Pribadi dan konsep diri seorang perawat berkaitan dengan sifat
dan sikap seorang perawat dalam mengambil tindakan. Sifat dan sikap
tersebut berpengaruh besar terhadap kondisi pasien. Apabila sifat dan
sikap yang diciptakan perawat memberikan kesan positif, ramah tamah,
dan baik, maka akan membuat kondisi pasien stabil dan meningkatkan
kesehatan pasien. Namun sebaliknya, sifat dan sikap perawat yang cuek,
jutek, judes, akan menurunkan kondisi fisik pasien. Karenanya,
penampilan fisik seorang perawat harus mampu menciptakan citra positif
pada pasien. Sebagai seorang profesional, perawat harus terlihat nyaman
dan sejuk, kemurnian dan kesucian (simbol baju putih perawat), anggun,
bersih dan bersahaja, serta menciptakan penampilan yang menarik dalam
melakukan tugasnya.
Penampilan merupakan salah satu hal yang penting bagi perawat.
Perawat perlu memperhatikan penampilannya agar dapat menghasilkan
citra diri yang positif serta menunjukkan sisi keprofesionalannya.
Penampilan perawat adalah penampilan baik fisik maupun nonfisik yang
mampu mencerminkan kepercayaan diri dan kredibilitas dari orang lain.
Setiap hari perawat berkomunikasi dengan orang lain, terutama dengan
pasien. Ketika berkomunikasi, hal pertama yang dilihat oleh seorang
pasien adalah penampilan perawat. Biasanya, penampilan mempengaruhi
kesan pertama terhadap orang tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Laili
Ascosi, 1990 dalam Potter dan Perry, 1993, delapan puluh empat persen
dari kesan terhadap seseorang berdasarkan penampilannya. Penampilan
fisik perawat dapat mempengaruhi persepsi pasien terhadap pelayanan
atau asuhan keperawatan yang diterima, karena setiap pasien mempunyai
citra bagaimana seharusnya penampilan seorang perawat. Penampilan
yaitu bentuk fisik, cara berpakaian dan cara berhias akan menunjukkan

3
kepribadian, status sosial, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri.
Walaupun penampilan perawat terkadang tidak menjamin kemampuannya,
tetapi mungkin perawat akan lebih sulit untuk menimbulkan rasa percaya
pasien jika perawat tidak memenuhi citra perawat yang seharusnya.

B. TUJUAN
Tujuan dari analisis jurnal ini adalah mahasiswa dapat menganalisis
pengaruh perawat jiwa yang tidak menggunakan seragam dalam merawat
pasien dengan gangguan jiwa.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. JURNAL KEPERAWATAN JIWA (terlampir)


B. DASAR TEORI YANG RELEVAN
1. Gangguan Jiwa
a. Pengertian gangguan jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang mengakibatkan adanya gangguan pada fungsi jiwa,
gangguan tersebut dapat menimbulkan penderitaan pada individu
dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial (Depkes RI,
2000). Istilah gangguan jiwa digunakan dalam PPDGJ (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa) yang merujuk pada
DSM-III yaitu suatu sindrom atau pola perilaku seseorang yang
berkaitan dengan gejala penderitaan (distress) dalam satu atau
lebih fungsi yang penting dari manusia (Maslim, 2002).
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir
(cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), dan tindakan
(psychomotor) (Yosep, 2007). Adanya gangguan tersebut dalam
menyebabkan perubahan perilaku tanpa alasan yang masuk akal,
berlebihan, berlangsung lama dan dapat merugikan individu
tersebut maupun orang lain (Suliswati, 2005). Menurut American
Psychiatric Association, gangguan jiwa adalah suatu pola
psikologis pada seseorang yang terjadi akibat adanya distress
(perasaan menyakitkan) atau disabilitas (kerusakan pada satu atau
lebih fungsi penting) dan disertai adanya peningkatan risiko
kematian yang menyakitkan, nyeri, dan kehilangan kebebasan
(Videbeck, 2008).
Berdasarkan beberapa definisi gangguan jiwa diatas,
dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu
perubahan pola perilaku berkaitan dengan adanya gejala

5
penderitaan atau perasaan menyakitkan (distress) atau disabilitas
(kerusakan pada satu atau lebih fungsi penting) sehingga
menimbulkan gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), dan tindakan (psychomotor) secara
berlebihan, berlangsung lama dan dapat merugikan individu
tersebut maupun orang lain. Penderita gangguan jiwa dalam hal
ini tidak dapat mengerjakan aktifitas, peran dan fungsi
sebagaimana mestinya.
b. Penyebab gangguan jiwa
Menurut Videbeck (2008) faktor penyebab terjadinya
gangguan jiwa dibedakan dalam tiga kategori yaitu :
a. Faktor individual meliputi struktur biologis, ansietas,
kekhawatiran dan ketakutan, ketidakharmonisan dalam hidup
dan kehilangan arti hidup. Faktor biologis lainnya yang
memperngaruhi seperti pada kasus kurang gizi (Hipoglikemia
yang dapat menyebabkan seseorang mudah emosi dan pada
seseorang dengan defisiensi vitamin B12 menyebabkan
gejala gangguan cemas) (Baihaqi, 2007).
b. Faktor interpersonal meliputi komunikasi tidak efektif,
ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dari
hubungan, dan kehilangan kontrol emosional.
c. Faktor budaya dan sosial meliputi tidak ada penghasilan,
perilaku kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal,
kemiskinan, ketidakasilan, persaingan yang berat,
deskriminasi (pembedaan ras, agama, usia dan jenis kelamin).
Selain ketiga faktor diatas, Suliswati (2005)
menjelaskan beberapa penyebab gangguan jiwa karena adanya
faktor berikut :
a. Suasana rumah antara lain sering bertengkar, salah
pengertian, kurang bahagia, kurang kepercayaan diantara
anggota keluarga lain. Hal tersebut dapat mencetuskan stress

6
dan ketegangan yang tidak diinginkan, bila seseorang dalam
situasi tersebut dan kurang mampu menghadapi situasi dan
pengendalian emosi, risiko terkena gangguan jiwa akan
semakin besar.
b. Pengalaman masa kanak-kanak. Tidak memadai atau
kurangnya dukungan keluarga, kasih sayang berkurang,
bimbingan dan kedisiplinan yang kurang didapatnya semasa
kecil, dapat menjadikan pengalaman yang kurang
menyenangkan pada masa kanak-kanak.
c. Faktor keturunan. Berdasakan penelitian saudara kembar dan saudara
kandung yang salah satunya menderita Skizofrenia, terdapat pengaruh
hubungan yang signifikan pada kembar monozigot (satu telur) sebesar
86,2% saudara kembarnya akan ikut menderita gangguan skizofrenia.
Sedangkan pada kembar heterozigot (dua telur) hanya sebesar 14,5 %,
saudara kembarnya akan ikut terkena skizofrenia. Hubungan dengan
pasien skizofrenia pada saudara kandung hanya sebesar 14,2 % yang
menderita skizofrenia (J.C. Coleman dalam Yosep, 2007). Namun
pada kasus gangguan jiwa lain, tidak ditemukan seorangpun dalam
keluarganya dengan gangguan yang serupa (Suliswati, 2005).
d. Perubahan dalam otak. Adanya perubahan bikimiawi sel otak,
perubahan struktur atau fungsi otak seperti infeksi, gangguan
peredaran darah, perdarahan, tumor, pemakaian alkohol jangka
panjang, kekurangan vitamin, dan epilepsy yang tidak diobati.
e. Kelainan gen dan penyakit. Sindroma Down (retardasi mental disertai
tanda mata sipit, muka datar, telinga kecil, jari-jari pendek), sindroma
Turner (tubuh pendek, leher melebar, infantilisme seksual), cacat
congenital yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak,
penyakit Parkinson biasanya diikuti gejala apati dan depresi, serta
penyakit Multiple Sclerosis dari timbulnya gejala yang ringan seperti
labilitas emosi, euphoria, depresi sampai manifestasi hysteria (Baihaqi,
2007).

7
f. Faktor psikososial. Hubungan orangtua dengan anak yang patogenik.
Kadang orangtua berbuat terlalu banyak untuk anak dan tidak member
kesempatan anak untuk berkembang, dan sebaliknya terkadang
orangtua berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak
member bimbingan yang dibutuhkannya.
Menurut Stuart (2006), penyebab seseorang menderita
gangguan jiwa dapat dilihat dari dua faktor yaitu faktor predisposisi
(pendukung) dan presipitasi (pencetus). Faktor predisposisi
merupakan faktor risiko yang mendukung dan mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi
stress yang dihadapi. Faktor predisposisi diantaranya meliputi biologi,
psikologis dan sosiokultural. Faktor lainnya yang menyebabkan
gangguan jiwa terjadi adalah adanya stressor presipitasi yaitu stimulus
yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman atau
tuntutan dan yang membutuhkan energi ekstra untuk koping. Koping
merupakan strategi atau upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme
pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri.
c. Tanda dan gejala gangguan jiwa
Menurut Yosep (2007) tanda dan gejala gangguan jiwa
diantaranya sebagai berikut :
a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,
perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah,
tidak mampu mencapai tujuan, takut, dan pikiran-pikiran buruk.
b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar
(mempersepsikan) suatu bisikan yang menyuruh membunuh,
melempar, membakar rumah, padahal orang di sekitarnya tidak
mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul
dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat
dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi.

8
c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah, susah
membuat keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun
pagi, mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan
acak-acakan.
d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan. Klien
merasa sebagai orang penting, sebagai raja (waham kebesaran),
pengusaha, orang kaya, tetapi di lain waktu ia bisa merasa sangat
sedih, menangis, tak berdaya (depresi) sampai ada ide ingin
mengakhiri hidupnya.
e. Gangguan psikomotor: hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan
yang berlebihan, berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan
apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam
lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh.

Gejala-gejala gangguan jiwa adalah hasil interaksi yang


kompleks antara unsure somatik, psikologis dan sosial budaya. Gejala-
gejala tersebut terutama terdapat pada pemikiran, perasaan dan perilaku.
Pada skizofrenia, gejala primer yang muncul berupa ambivalensi, autism
dan afek yang tidak tepat. Gejala sekunder dapat berupa halusinasi dan
waham. Pada penderita depresi, gejala yang sering timbul adalah
kesedihan, nafsu makan menurun, dengan gejala tambahan dapat berupa
neuropati. Terdapat pula gejala positif (pelepasan atau rangsangan) dan
negatif (defisit atau hambatan) yang berupa kegaduhan, waham atau
halusinasi, emosi yang dangkal dan penarikan diri. (Maramis, 2009).
Gejala lain yang ditemukan adalah gaduh, gelisah, tidak dapat diam,
mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.
Tidak ada atau kehilangan kehendak, tidak ada inisiatif, tidak ada upaya
usaha, tidak ada spontanitas, monoton, tidak ingin melakukan apa-apa,
serba malas dan selalu terlihat sedih (Sundari, 2005).

9
Sundari (2005) mengemukakan bahwa secara fisik, orang dengan
gangguan jiwa memperlihatkan tanda perubahan pada anggota tubuh,
diantaranya :
a. Suhu badan
Normal suhu tubuh sekitar 37°C, namun pada orang dengan gangguan
mental meskipun secara fisik nampak baik-baik saja, kadangkala dapat
mengalami perubahan suhu tubuh.
b. Denyut nadi
Ketika menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan, seseorang
dapat mengalami denyut nadi semakin cepat.
c. Nafsu makan menurun
Orang dengan gangguan mental akan berpengaruh juga pada pola
makan dan porsinya yang cenderung berkurang atau menurun.
d. Klasifikasi gangguan jiwa
Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang
tidak normal. Menurut Yosep (2007) keabnormalan tersebut dapat
dibedakan menjadi:
a. Neurosa (gangguan jiwa)
Neurosa merupaka kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan
yang kronis atau berlebihan dimana tidak ada rangsangan yang spesifik
yang menyebabkan kecemasan tersebut. Orang yang terkena neurosa
masih mengetahui dan merasakan kesulitannya, kepribadian tidak jauh
dari realitas dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya.
b. Psikosa
Psikosis merupakan gangguan penilaian yang menyebabkan
ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya.
Psikosis dapat pula diartikan sebagai kumpulan gejala atau sindrom
yang berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut
bukan merupakan gejala spesifik penyakit tersebut.

10
Menurut Maslim (2002) pada buku Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III, terdapat empat klasifikasi besar
bentuk gangguan jiwa diantaranya :
a. Gangguan mental organik
1) Gangguan organik dan somatik
F0, gangguan mental organi, termasuk gangguan mental
simtomatik
2) Gangguan akibat alkohol dan obat atau zat
F1, gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol dan
zat psikoaktif lainnya
b. Gangguan mental psikotik
1) Skizofrenia dan gangguan yang terkait
F2, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham
2) Gangguan afektif
F3, gangguan suasana perasaan/ mood
c. Gangguan neurotik dan gangguan kepribadian
1) Gangguan neurotik
F4, gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan
terkait stress
2) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
F5, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan
fisiologis dan faktor fisik
F6, gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
d. Gangguan masa kanak, remaja dan perkembangan
1) F7, retardasi mental
2) F8, gangguan perkembangan psikologis
3) F9, gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada
masa kanak dan remaja

11
2. Persepsi
1. Pengertian persepsi
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan individu
dimulai dari proses penginderaan, dimana panca indera menangkap
stimulus yang kemudian diteruskan ke otak agar individu tersebut
mengetahui, memperhatikan, menyadari dan mengerti tentang keadaan
lingkungan sekitar maupun tentang hal yang ada dalam diri individu
tersebut (Sunaryo, 2004). Menurut Walgito (2003) menyatakan bahwa
persepsi adalah suatu proses pengorganisasian dan penginterpretasian
terhadap rangsangan yang telah diterima individu sehingga menjadi
sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri
individu tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Rachmat (2005) mendefinisikan
persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesannya.
Persepsi ialah memberikan makna pada stimulasi inderawi atau sensori
stimulasi. Menurut Maramis (2009) mengatakan bahwa persepsi adalah
daya mengenal barang, kualitas dan hubungan, dan perbedaan antara hal
ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah panca
inderanya mendapat rangsangan.
Dengan demikian, dari beberapa definisi persepsi diatas, dapat
disimpulkan bahwa persepsi adalah proses menyimpulkan informasi,
menafsirkan pesan, dan menginterpretasi suatu keadaan atau objek akibat
adanya stimulus atau rangsangan baik dari luar atau dalam individu yang
ditangkap oleh panca indera dan diproses melalui proses proses
mengamati, mengetahui, atau mengartikan. Rangsangan yang diterima
oleh panca indera setiap individu berbeda-beda. Hal ini yang
mempengaruhi informasi atau suatu keadaan yang ditangkap oleh masing-
masing orangpun tak sama sehingga dapat menimbulkan persepsi atau
pandangan yang berbeda pula.

12
2. Macam-macam persepsi
Menurut Sunaryo (2004) ada 2 macam persepsi, diantaranya :
a. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya
rangsang yang datang dari luar diri individu, seperti misalnya stigma
pada penderita gangguan jiwa. Stigma merupakan penilaian
masyarakat terhadap perilaku atau karakter yang tidak wajar, adanya
reaksi emosional terhadap penderita gangguan jiwa dengan
mengucilkan atau merendahkannya.
b. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang
yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi
objek adalah dirinya sendiri. Bagaimana individu menilai dirinya
sendiri, memiliki gambaran atau penilaian pada dirinya sendiri.
Persepsi pada diri sendiri tersebut yang kemudian muncul adanya
konsep diri.
Kedua macam persepsi tersebut sama-sama dapat
menimbulkan stigma. Terdapat dua stigma pada gangguan jiwa yaitu
stigma dari masyarakat (public stigma) yang berarti penilaian
masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa dan stigma pada diri
sendiri (self- stigma) yang berarti penilaian pada diri sendiri akibat
adanya masalah kejiwaan. Stigma cenderung negatif karena persepsi
masyarakat yang ditangkap dari penderita gangguan jiwa sebagai
objek persepsi masih salah, bereaksi dengan emosional dan
berperilaku diskriminasi. Sikap dan perilaku stigma masyarakat
seperti menganggap penderita gangguan jiwa mengancam dan
membahayakan orang lain. Selanjutnya masyarakat bersifat emosional
dengan marah dan penuh ketakutan, serta berperilaku menghindar dari
penderita gangguan jiwa dan tidak memberi kesempatan dalam
kegiatan apapun pada klien. Lain halnya dengan stigma pada diri
sendiri yang juga cenderung negatif pada diri sendiri. Sikap dan
perilaku stigma pada diri sendiri seperti merasa tidak mampu, lemah,
harga diri rendah, menganggap orang yang tidak beruntung, berbeda

13
dari orang lain dan gagal mendapatkan kesempatan kerja (Mubin,
2008).
3. Fungsi persepsi
Secara kognitif, persepsi berfungsi untuk kontak utama di
manusia dan dunia. Secara emosional berfungsi untuk membangkitkan
perasaan dan merangsang tindakan tindakan tertentu (Baihaqi dkk, 2007).
4. Syarat terjadinya persepsi
Menurut Sunaryo (2004) ada 4 syarat agar individu dapat
mengadakan persepsi, yaitu :
a. Adanya objek yang akan dipersepsi, ditangkap sebagai stimulus oleh
alat indera.
b. Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi
c. Adanya alat indera sebagai reseptor penerima stimulus
d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak yang
kemudian dibawa oleh saraf motoris untuk mengadakan respon.
Melihat dari beberapa syarat diatas, individu dapat memiliki
persepsi tentang gangguan jiwa berawal dari adanya objek. Objek yang
dimaksud sebagai contoh adalah penderita gangguan jiwa di lingkungan
sekitar. Objek tersebut diterima oleh indera penglihatan kemudian menjadi
stimulus yang diteruskan ke otak untuk diproses menjadi respon. Respon
individu inilah disebut persepsi yang dapat mempengaruhi perilaku
(motorik) individu.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Menurut Maramis (2009) persepsi dipengaruhi oleh beberapa
faktor berikut ini :
a. Kepercayaan
Kepercayaan dapat memberikan pandangan atau perspektif pada setiap
individu dalam mempersepsikan kenyataan dan sebagai dasar untuk
pengambilan keputusan serta menentukan sikap. Sebagai contoh, bila
masyarakat mempercayai bahwa orang dengan gangguan jiwa itu
menakutkan dan mengancam lingkungan, maka respon dan sikap

14
masyarakat akan cenderung negatif dalam memperlakukan orang
dengan gangguan jiwa seperti dihindari, dikucilkan, tidak ingin
bergaul, dan sebagainya.
b. Pengetahuan
Pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki
seseorang yaitu tentang gangguan jiwa. Masih sedikitnya pengetahuan
masyarakat tentang gangguan jiwa membuat masyarakat memiliki
persepsi yang salah pada penderita gangguan jiwa.
c. Pelayanan kesehatan
Pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa yang masih minim
serta semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat tentang kesehatan
jiwa, membuat masyarakat perlu pelayanan kesehatan jiwa yang tepat
agar persepsi dan sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa
dapat diperbaiki.
d. Lingkungan
Lingkungan menjadi faktor stimulus dari luar yang dapat menciptakan
persepsi seseorang. Lingkungan yang baik, akan menimbulkan
persepsi yang baik pula sehingga seseorang dapat bersikap posistif.
Begitupun sebaliknya, bila lingkungan tidak mendukung, persepsi
yang timbul akan salah dan sikap yang ada cenderung negatif.
e. Budaya
Budaya masyarakat yang ada kebanyakan masih menganggap orang
dengan gangguan jiwa merupakan penyakit kutukan, akibat kerasukan
setan, balasan atas dosa besar yang telah diperbuat, dan sebagainya.
Budaya masyarakat seperti ini yang dapat mencetuskan persepsi yang
salah pada penderita gangguan jiwa.
6. Sifat persepsi
Menurut Baihaqi, dkk (2007) terdapat beberapa sifat persepsi,
yaitu :
a. Persepsi timbul secara spontan (langsung) yaitu saat seseorang
menangkap rangsangan yang ada baik dari luar maupun dari dalam

15
dirinya. Alat indera yang digunakan dalam menangkap rangsangan
kurang lebih 3 milyar per detik, 2 milyar diantaranya diterima oleh
mata.
b. Persepsi merupakan titik tolak perbuatan kesadaran manusia.
c. Persepsi yang timbul pada seseorang kemungkinan tidak keselurahan
dari objek yang ada, yang lainnya mungkin hanya cukup dibayangkan.
d. Persepsi tidak berdiri sendiri, tetap dipengaruhi pada konteks dan
pemahaman. Konteks berarti ciri dan objek yang dipersepsi, sedangkan
pemahaman berarti pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang
dalam kehidupan sebelumnya.
e. Adanya ilusi persepsi dimana persepsi yang salah sehingga
keadaannya tidak sesuai atau berbeda dengan sebenarnya.
f. Persepsi sebagian ada yang dipelajari dan sebagian ada yang bawaan.
Yang sifatnya dipelajari dibuktikan dengan kuatnya pengaruh
pengalaman terhadap persepsi. Sedangkan yang sifatnya bawaan
dibuktikan dengan dimilikinya persepsi ketinggian.
g. Persepsi bersifat, prospektif artinya mengandung harapan.
h. Kesalahan persepsi bagi orang normal, ada cukup waktu untuk
mengoreksi. Hal ini berbeda dengan orang yang terganggu jiwanya.

7. Proses terjadinya persepsi


Menurut Sunaryo (2004), proses terjadinya persepsi yaitu :
a. Proses fisik (kealaman), dimana objek yang ada menimbulkan stimulus
atau rangsangan yang diterima oleh reseptor yaitu alat indera.
b. Proses fisiologis, stimulus yang telah diterima kemudian ditangkap
oleh saraf sensoris dan diteruskan ke otak untuk proses selanjutnya.
c. Proses psikologis, otak kemudian memproses stimulus tersebut
sehingga individu dapat menyadari stimulus yang diterima berupa
persepsi dan respon.
8. Persepsi masyarakat pada penderita gangguan jiwa

16
Timbulnya persepsi masyarakat tentang orang dengan gangguan
jiwa dimulai dari adanya penderita gangguan jiwa (sebagai objek) di
lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Objek tersebut kemudian diterima
oleh indera penglihatan masyarakat, ditangkap sebagai stimulus yang
kemudian dilanjutkan ke otak untuk dipersepsikan sesuai pandangan
mereka (Sunaryo, 2004).
Persepsi yang dibuat oleh masyarakat kemudian akan menjadi
suatu penilaian atau reaksi positif maupun negatif (stigma). Setiap individu
memiliki persepsi yang berbeda dengan individu lain dalam melihat atau
memandang suatu objek atau permasalahan. Pada kelompok masyarakat
tertentu, mereka secara sadar dan sukarela mencari bantuan dari para
tenaga kesehatan untuk menangani kasus gangguan jiwa di lingkungannya
agar tercipta kesehatan mental yang optimal. Mereka justru menganggap
penderita gangguan jiwa harus diberi dukungan agar sembuh. Dukungan
yang diberikan pada penderita gangguan jiwa dapat berupa perilaku positif
seperti mengajak aktivitas sosial dan keagamaan, tidak menghina dan
mengucilkan serta masih banyak lagi respon positif yang diberikan.
Sebaliknya, pada kelompok atau budaya masyarakat lainnya
mereka menilai penderita gangguan jiwa sebagai orang yang harus
dihindari karena mengancam dan membahayakan masyarakat. Tidak
hanya itu, stigma yang buruk di masyarakat juga memiliki dampak yang
cukup jelas bagi penderita gangguan jiwa dan keluarganya. Mereka
seolah-olah dikucilkan, diasingkan, tidak diperbolehkan mengikuti
kegiatan di lingkungannya, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah pada
penderita skizofrenia. Hampir sebagian besar persepsi orang adalah keliru.
Orang awam menganggap penderita skizofrenia sebagai orang dengan
kepribadian terbelah atau ganda. Mereka meyakini bahwa penderita
skizofrenia adalah orang yang menyukai kekerasan. Publikasi media selalu
menyebarkan kejahatan yang kejam dan ganjil pada penderita skizofrenia
sehingga menimbulkan kesan di masyarakat bahwa seluruh penderita

17
skizofrenia termasuk orang yang sadis. Hal tersebut tidak benar, anggapan
seperti itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada (Firdaus, 2005).
Sebagian orang menganggap penderita skizofrenia memiliki
kepribadian lemah dan pasrah pada kondisi kejiwaannya. Sebagian lagi
menganggap skizofrenia disebabkan oleh didikan orangtua yang buruk dan
trauma masa kecil (Firdaus, 2005). Persepsi yang timbul di masyarakat
disebabkan oleh tanda gejala pada penderita gangguan jiwa yang dianggap
aneh dan berbeda dari orang normal. Adanya persepsi ini juga berkaitan
dengan faktor tradisi atau kebudayaan dalam masyarakat. Seperti misalnya
kepercayaan di suku Jawa pada roh-roh. Mereka percaya bahwa roh
tersebut dapat masuk dalam tubuh manusia dan membuat manusia gila.
Maka dari itu, di tempat tertentu, untuk menghormati para roh, mereka
memberikan sesajen (Simanjuntak, 2008).

18
BAB III
TELAAH

A. PAPARAN HASIL PENELITIAN


1. Judul Penelitian
Judul penelitian yang digunakan adalah “The Effects Of Psychiatrics
Nurses Ceasing to Wear Uniform”. Jurnal ini ditulis oleh Walker
Valerie J., Voineskos George, dan Dunleavy D. L. F. Jurnal ini
diterbitkan pada tahun 1971.
2. Latar belakang penelitian
Saat ini perawat psikiatri telah menggunakan seragam biasa. Seragam
biasa di sini ditujukan untuk perawat yang memakai seragam bebas
atau seragam berbahan motif daerah. Jika di Indonesia biasanya
mengangkat batik sebagai seragam di Rumah Sakit. Survey
menunjukkan bahwa perawat pria lebih menyukai seragam yang
berbahan dasar berwarna gelap dan tidak menyukai seragam sesuai
peraturan dari Rumah Sakit. Hal ini dapat menimbulkan pandangan
yang membingungkan terhadap pasien.
3. Metode
Pengukuran pada penelitian ini menggunakan Osgood’s Semantic
Differential. Penilaian fokus pada 12 skala yaitu kuat/lemah, baik/tidak
baik, terpercaya/tidak terpercaya, efisien/tidak efisien, hangat/dingin,
menerima/menolak, aman/bahaya, mudah/susah, mengerti/susah
mengerti, halus/kasar. Penelitian ini dilakukan 3kali pada pasien. 10
hari dan 3 hari sebelum mengganti seragam dan 11 hari setelah
mengganti seragam.
4. Hasil
Perawat yang konsisten dengan seragamnya memperoleh respon
positif dari pasien. Sedangkan perawat yang mengganti seragam
mereka pada waktu tertentu memperoleh respon yang negatif dari
pasien. Hal itu dapat mencerminkan kaburnya konsep perawat

19
pelaksana dan perawat non pelaksana bahwa mengabaikan seragam
membuat konsep pasien tentang ideal keperawatan menjadi kacau.

B. PEMBAHASAN
Jumlah pasien di Ruang Arimbi adalah 14 orang. Rata-rata usia mereka 18
tahun dengan diagnosa yang berbeda-beda. Penulis mengajukan 1
pertanyaan pada 10 pasien yang sudah kooperatif. Pertanyaan tersebut
yaitu:
“apakah kamu bisa membedakan antara perawat, dokter, dan mahasiswa
praktik sementara pakaian mereka bermacam-macam warna dan berganti-
ganti setiap hari?”
Inisial Pasien Diagnosa Jawaban
Keperawatan
Ny. M Halusinasi Pasien kurang bisa
penglihatan membedakan perawat karena
pasien tidak hafal dengan
nama perawat. Terlebih lagi
apabila setiap hari berganti
seragam. Jika dokter, pasien
beranggapan bahwa harus
memakai jas putih, karena
jika memakai seragam biasa
pasien tidak akan
mengetahuinya. Jika
mahasiswa praktik pasien
sudah mengetahuinya dengan
memakai seragam putih-
putih.
Nn. H RPK Pasien bisa membedakan
perawat walaupun tiap hari
berganti seragam karena

20
pasien sudah hafal dengan
nama perawat. Jika dokter,
pasien beranggapan bahwa
harus memakai jas putih,
karena jika memakai seragam
biasa pasien tidak akan
mengetahuinya. Jika
mahasiswa praktik pasien
sudah mengetahuinya dengan
memakai seragam putih-
putih.
Nn. S RBD Pasien kurang bisa
membedakan perawat karena
pasien tidak hafal dengan
nama perawat. Terlebih lagi
apabila setiap hari berganti
seragam. Jika dokter, pasien
juga tidak mengetahui karena
memakai seragam biasa
(batik/PNS). Pasien
beranggapan itu pegawai RS.
Jika mahasiswa praktik
pasien justru menganggap
sebagai perawat sebenarnya
karena memakai seragam
putih-putih serta
menggunakan cap.
Nn. N Halusinasi Pasien kurang bisa
penglihatan membedakan perawat karena
pasien tidak hafal dengan
nama perawat. Terlebih lagi

21
apabila setiap hari berganti
seragam. Jika dokter, pasien
beranggapan bahwa harus
memakai jas putih, karena
jika memakai seragam biasa
pasien tidak akan
mengetahuinya. Jika
mahasiswa praktik pasien
justru menganggap sebagai
perawat sebenarnya karena
memakai seragam putih-putih
serta menggunakan cap.
Nn. A Halusinasi Pasien kurang bisa
penglihatan membedakan perawat karena
pasien tidak hafal dengan
nama perawat. Terlebih lagi
apabila setiap hari berganti
seragam. Jika dokter, pasien
juga tidak menetahui karena
memakai seragam biasa
(batik/PNS). Pasien
beranggapan itu pegawai RS.
Jika mahasiswa praktik
pasien justru menganggap
sebagai perawat sebenarnya
karena memakai seragam
putih-putih serta
menggunakan cap.
Nn. L Halusinasi Pasien kurang bisa
penglihatan membedakan perawat karena
pasien tidak hafal dengan

22
nama perawat. Terlebih lagi
apabila setiap hari berganti
seragam. Jika dokter, pasien
juga tidak mengetahui karena
memakai seragam biasa
(batik/PNS). Pasien
beranggapan itu pegawai RS.
Jika mahasiswa praktik
pasien justru menganggap
sebagai perawat sebenarnya
karena memakai seragam
putih-putih serta
menggunakan cap.
Nn. Ng Isolasi sosial Pasien tidak bisa
membedakan antara perawat,
dokter, dan mahasiswa
praktik. Pasien menganggap
semua yang ada di ruang
adalah perawat.
Nn. Y Halusinasi Pasien tidak bisa
penglihatan membedakan antara perawat,
dokter, dan mahasiswa
praktik. Pasien menganggap
semua yang ada di ruang
adalah perawat.
Nn. Ai HDR Pasien bisa membedakan
perawat walaupun tiap hari
berganti seragam karena
pasien sudah hafal dengan
nama perawat. Jika dokter,
pasien beranggapan bahwa

23
harus memakai jas putih,
karena jika memakai seragam
biasa pasien tidak akan
mengetahuinya. Jika
mahasiswa praktik pasien
sudah mengetahuinya dengan
memakai seragam putih-
putih.
Nn. K Halusinasi Pasien bisa membedakan
penglihatan perawat walaupun tiap hari
berganti seragam karena
pasien sudah hafal dengan
nama perawat. Jika dokter,
pasien beranggapan bahwa
harus memakai jas putih,
karena jika memakai seragam
biasa pasien tidak akan
mengetahuinya. Jika
mahasiswa praktik pasien
sudah mengetahuinya dengan
memakai seragam putih-
putih.

Berdasarkan hasil penelitian di Ruang Arimbi, dari 10 pasien terdapat 4


orang yang bisa membedakan perawat, dokter, dan mahasiswa praktik di
ruang tersebut. Pasien bisa membedakan walaupun berganti-ganti seragam
setiap hari karena rata-rata pasien sudah mengenali perawat, dokter, dan
mahasiswa. Sementara itu, 4 orang pasien kurang bisa membedakan
perawat, dokter, dan mahasiswa karena mereka tidak hafal dengan nama
perawat dan mereka bingung dengan baju seragam yang berganti setiap
hari. Justru pasien menganggap bahwa mahasiswa itu perawat yang

24
sesungguhnya karena selain memakai seragam putih-putih juga
menggunakan cap. Terdapat 2 orang pasien yang tidak bisa membedakan
antara perawat, dokter, dan mahasiswa.

BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN

25
Gangguan jiwa adalah suatu masalah atau gangguan yang dapat
mengancam keselamatan dan merugikan diri sendiri serta masyarakat
sekitar. Gangguan jiwa di masyarakat merupakan masalah yang serius dan
patut mendapatkan perhatian.
Penampilan fisik sering mencerminkan pribadi dan konsep diri
seseorang. Pribadi dan konsep diri seorang perawat berkaitan dengan sifat
dan sikap seorang perawat dalam mengambil tindakan. Sifat dan sikap
tersebut berpengaruh besar terhadap kondisi pasien. Apabila sifat dan
sikap yang diciptakan perawat memberikan kesan positif, ramah tamah,
dan baik, maka akan membuat kondisi pasien stabil dan meningkatkan
kesehatan pasien. Namun sebaliknya, sifat dan sikap perawat yang cuek,
jutek, judes, akan menurunkan kondisi fisik pasien. Karenanya,
penampilan fisik seorang perawat harus mampu menciptakan citra positif
pada pasien. Sebagai seorang profesional, perawat harus terlihat nyaman
dan sejuk, kemurnian dan kesucian (simbol baju putih perawat), anggun,
bersih dan bersahaja, serta menciptakan penampilan yang menarik dalam
melakukan tugasnya. Jumlah pasien di Ruang Arimbi adalah 14 orang.
Rata-rata usia mereka 18 tahun dengan diagnosa yang berbeda-beda.
Penulis mengajukan 1 pertanyaan pada 10 pasien yang sudah kooperatif.
Berdasarkan hasil penelitian di Ruang Arimbi, dari 10 pasien terdapat 4
orang yang bisa membedakan perawat, dokter, dan mahasiswa praktik di
ruang tersebut. Pasien bisa membedakan walaupun berganti-ganti seragam
setiap hari karena rata-rata pasien sudah mengenali perawat, dokter, dan
mahasiswa. Sementara itu, 4 orang pasien kurang bisa membedakan
perawat, dokter, dan mahasiswa karena mereka tidak hafal dengan nama
perawat dan mereka bingung dengan baju seragam yang berganti setiap
hari. Justru pasien menganggap bahwa mahasiswa itu perawat yang
sesungguhnya karena selain memakai seragam putih-putih juga
menggunakan cap. Terdapat 2 orang pasien yang tidak bisa membedakan
antara perawat, dokter, dan mahasiswa.

26
B. SARAN
1. Perawat
Perawat harus mampu dan aktif terlibat dalam memberikan pelayanan
kesehatan mental secara optimal pada pasien, dan membekali diri
dengan ketrampilan yang inovatif yang dapat diaplikasikan pada
pasien dalam pelayanan di rumah sakit jiwa dan memberikan nilai
positif bagi rumah sakit serta dampak kesembuhan yang lebih cepat
bagi pasien. Perawat terlibata aktif dalam mengoptimalkan dalam
mengingat pakaian perawat, sehingga dapat membedakan antara
perawat dan dokter.

C. Rumah Sakit
Rumah sakit perlu peningkatan dalam penggunaan seragam yang tepat
agar pasien jiwa dapat selalu membedakan antara perawat dengan
pegawai lainya seperti dokter, cleaning service, dan administrasi.
Penelitian-penelitian terbaru mampu mendorong terciptanya daya
ingat pasien dalam mengingat perawat.

DAFTAR PUSTAKA

Adilamarta, N. (2011). Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat


dengan Penerimaan Masyarakat terhadap Individu yang Menderita
Gangguan Jiwa di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas

27
Nanggalo Padang. Diunduh melalui:
http://repository.unand.ac.id/view/creators/NOFIA_=3AADILAMARTA=
3A=3A.html pada 1 Agustus 2014

Andri. (2011). Benarkan Penyakit Jiwa Diturunkan. Diakses melalui:


http://female.kompas.com/read/2011/10/28/0901266/Benarkah.Penyakit.Ji
wa.Diturunkan pada 4 Agustus 2014

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta

Azizah, L.(2014). Pandangan yang Keliru pada Masyarakat Kita. Diakses


melalui: http://m.kompasiana.com/post/read/637269/3/pandangan-yang-
keliru-pada-masyarakat-kita.html pada 4 Agustus 2014

Azwar. (2009). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Baihaqi, MIF (et al). (2007). Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan.
Bandung: PT Refika Aditama

Baiturokhim. (2011). Bimbang, Keluarga Gadis yang Dicinta Mengidap


Gangguan Jiwa. Diakses melalui: http://www.psikologi-islam.com/detail-
konsultasi-9-bimbang,-keluarga-gadis-yang-dicinta-mengidap-gangguan-
jiwa.html pada 2 Agustus 2014

Crisp, A.H., M.G. Gelder, S. Rix, H.I. Meltzer, & O.J. Rowlands. (2000).
Stigmatisation of People with Mental Illnesess. Diunduh melalui :
http://bjp.rcpsych.org/content/177/1/4#BIBL pada Selasa, 18 Februari
2014

Depkessos RI. (2001). National Mental Health Policy. Jakarta : Direktorat


Jenderal Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial RI

Kemenkes RI. (2011). Panduan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (The Great Push:
Investing in Mental Health). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

28

Anda mungkin juga menyukai