Anda di halaman 1dari 26

HUKUM PEMASUNGAN PADA ORANG

DENGAN GANGGUAN JIWA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa merupakan suatu kondisi dimana proses mental seseorang
kurang berfungsi dengan baik sehingga dapat mengganggu kehidupan sehari-
hari. Gangguan jiwa di dalam masyarakat umum sering disebut juga dengan
psikiatri atau gangguan mental serta gangguan yang terjadi pada saraf.
Gangguan jiwa pada seseorang dapat memiliki berbagai macam gejala yang
berbeda-beda, baik gejala yang tampak jelas maupun hanya dalam pikirannya
saja. Mulai dari perilaku menghindar dari lingkungan dan keramaian, tidak mau
berhubungan atau berbicara dengan orang lain, tidak mau makan hingga
mengamuk tanpa alasan yang jelas. Dampak gangguan jiwa pada seseorang
antara lain adalah gangguan pada aktfitas sehari-hari, gangguan hubungan
interpersonal serta gangguan fungsu dan peran sosial. Gangguan jiwa
disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan dan bukan merupakan
suatu keadaan yang mudah untuk ditemtukan penyebabnya. Beberapa faktor
yang dapat menyebabkan gangguan jiwa adalah faktor kejiwaan (kepribadian),
pola pikir dan kemampuan mengatasi masalah, gangguan otak, gangguan
bicara, kondisi pola asuh yang salah, tidak adanya penerimaan di masyarakat,
serta masalah kegagalan dalam kehidupan(1).
Orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan istilah resmi bagi
penyandang gangguan jiwa berdasarkan Undang-Undang kesehatan jiwa nomor
18 tahun 2014. Orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), khususnya
penderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia dan psikosis belum
sepenuhnya mendapatkan perlakuan baik yang memenuhi hak asasi manusia
(HAM). Kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan

1
pelayanan kesehatan jiwa bagi orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) telah
dijelaskan pada Undang-Undang kesehatan jiwa nomor 18 tahun 2014(2).
Berdasarkan data yang di peroleh Word Health Organisation (WHO)
menyatakan bahwa terdapat 41 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan
jiwa. Diantaranya disebabkan oleh karena penyalahgunaan obat (44,0%),
keterbelakangan mental (34,9%), disfungsi mental (16,2%), dan disintegrasi
mental (5,8%). The Indonesian Psychiatric Epidemiologic Network menyatakan
bahwa dari 11 kota di Indonesia ditemukan 18,5% penduduk dewasa menderita
gagguan jiwa. Provinsi Jawa Tengah menepati urutan ke-6 dengan daerah yang
mengalami gangguan jiwa berat, dan diperkirakan terdapat 20.000 hingga
30.000 jiwa diperlakukan dengan tidak berprikemanusiaan, yaitu salah satunya
dengan cara di pasung. Menurut tim pengara pengarah kesehatan jiwa
masyarakan provinsi Jawa Tengah, menyatakan bahwa penderita gangguan jiwa
masih tergolong cukup tinggi, yaitu sebanyak 2,3% dari jumlah penduduk. Dinas
kesehatan provinsi Jawa Tengah mendapatkan temuan sebanyak 1.091 kasus
pemasungan(3).
Beberapa daerah di Indonesia, pasung digunakan sebagai alat untuk
menangani klien gangguan jiwa di rumah. Saat ini, masih banyak klien gangguan
jiwa yang didiskriminasi haknya oleh keluarga maupun masyarakat sekitar
melalui pemasungan. Sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan larangan
“tradisi” memasung klien gangguan jiwa berat yang kerap dilakukan penduduk
yang berdomisili di pedesaan dan pedalaman terus berupaya dilakukan antara
lain dengan memberdayakan petugas kesehatan ditengah-tengah masyarakat
Indonesia. Kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan
terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa yang melakukan
tindak kekerasan yang dianggap berbahaya. Pasung merupakan suatu tindakan
memasang sebuah balok kayu pada tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau
dirantai, diasingkan pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di
hutan. Keluarga dengan klien gangguan jiwa yang dipasung seringkali
merasakan beban yang berkaitan dengan perawatan klien. Alasan keluarga
melakukan pemasungan adalah mencegah perilaku kekerasan, mencegah risiko
bunuh diri, mencegah klien meninggalkan rumah dan ketidak mampuan keluarga
merawat klien gangguan jiwa. Pasung adalah salah satu perlakuan yang
merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat perawatan

2
yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai
manusia(4).
Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan
pelanggaran hak asasi manusia berat, karena dilakukan pada orang dengan
disabilitas yang mengakibatkan tidak mampu mengakses layanan yang dapat
mengurangi tingkat disabilitasnya. Tidak teraksesnya layanan tata laksana pada
penderita gangguan jiwa menyebabkan tingginya angka pemasungan ODGJ di
Indonesia. Gangguan jiwa yang tidak tertatalaksana dengan baik dapat
mengakibatkan gejala semakin sulit untuk diatasi, gangguan menahun, dengan
penurunan fungsi sosial dan okupasional yang semakin berat. Kondisi tersebut
tentunya akan semakin mempertinggi beban keluarga secara ekonomi maupun
waktu dan tenaga akibat perawatan yang harus dilakukan karena
ketergantungan yang terjadi. Ketergantungan tersebut akan semakin meningkat
akibat pemasungan yang dilakukan. Pemasungan lama berdampak pada
timbulnya disabilitas fisik, penyakit fisik kronik akibat infeksi, malnutrisi, dan
dehidrasi yang sering berujung pada kecacatan permanen dan kematian.
Pemasungan juga mengakibatkan ODGJ semakin sulit untuk melakukan
integrasi ke masyarakat akibat disabilitas secara sosial, ekonomi, spiritual, dan
budaya. Kesemua jenis disabilitas ini tentu saja mengakibatkan beban yang
sangat besar bagi individu, keluarga, masyarakat sekitar, dan negara. Stigma
juga semakin besar terjadi bagi ODGJ maupun keluarganya yang berujung pada
perlakuan salah termasuk penelantaran(5).
Menyadari bahwa pemasungan adalah pelanggaran terhadap hak asasi
manusia pada kelompok rentan dengan faktor risiko yang sebenarnya dapat
diturunkan risikonya sehingga tidak perlu mengakibatkan dampak dan beban
yang besar terutama bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan
keluarganya, Kementerian Kesehatan mencanangkan program “Indonesia Bebas
Pasung” tahun 2010 diperkuat dengan pencanangan program “Stop
Pemasungan” oleh Kementerian Sosial pada tahun 2016. Secara garis besar,
kedua program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas semua
pemangku kepentingan yang terlibat, meningkatkan akses ke layanan yang
berkualitas di semua tingkat layanan, menyediakan skema pembiayaan yang
memadai, terselenggaranya kerja sama dan koordinasi lintas sektor untuk
menjamin terlaksananya berbagai bentuk upaya kesehatan jiwa, pengembangan

3
rumah antara, dan terselenggaranya sistem pemantauan dan evaluasi secara
berkelanjutan(6).
Advokasi dan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif
sangat berperan penting dalam proses-proses pengambilan keputusan dan
penerapan kebijakan tentang kesehatan jiwa. Advokasi dan pemberdayaan
kesehatan sangat berperan penting dalam menggubah praktek-praktek
kebiasaan turun temurun atau yang sering dilakukan masyarakat yang memiliki
efek merugikan pada kesehatan, serta juga dapat mengubah kebiasaan buruk
masyarakat secara permanen.

B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang diatas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan jiwa?
2. Apa yang dimaksud dengan pemasungan pada orang dengan gangguan
jiwa?
3. Apa yang dimaksud dengan kesehatan jiwa?
4. Bagaimanakah aspek medis terkait dengan gangguan jiwa?
5. Bagaimanakah aspek etik terkait pemasungan pada orang dengan dengan
gangguan jiwa?
6. Bagaimanakah aspek yuridis terkait pemasungan pada orang dengan
dengan gangguan jiwa?
7. Bagaimanakah contoh kasus pemasungan pada orang dengan gangguan
jiwa beserta analisisnya?

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN
1. Orang dengan Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang berkaitan dengan
suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau lebih fungsi penting dari
manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, gaangguan tersebut
mempengaruhi hubungan antara dirinya sendiri dan juga masyarakat(7). Gangguan
jiwa atau mental illnes adalah keadaan dimana seseorang mengalami kesultan
mengenai persepsinya tentang kehidupan, hubungan dengan orang lain, dan
sikapnya terhadap dirinya sendiri. Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang
sama halnya dengan gangguan jasmaniah lainnya, tetapi gangguan jiwa bersifat
lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas, takut hingga tingkat berat
berupa sakit jiwa(8).
Menurut Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan
gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (2,9).
Sedangkan Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah orang yang
mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau
kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa(2).
Gangguan jiwa menurut American Psychiatric Association (APA) adalah sindrom
atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis, yang terjadi pada
individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress (misalnya, gejala
nyeri, menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian atau
beberapa fungsi penting) atau disertai peningkatan resiko secara bermagna untuk
mati, sakit, ketidakmampuan, atau kehilangan kebebasan(10).

2. Pemasungan pada Orang dengan Gangguan Jiwa


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 54 tahun 2017 tentang
Pemasungan pada Orang dengan Gangguan Jiwa, pemasungan adalah segala
bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga atau masyarakat yang

5
mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya hak atas pelayanan
kesehatan untuk membantu pemulihan(9).
Pemasungan merupakan tindakan yang menghalangi setiap orang dengan
gangguan jiwa memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai warga Negara.
Hak-hak tersebut meliputi hak memperoleh penghasilan, hak memperoleh
pendidikan atau pekerjaan, serta hak memperoleh kehidupan sosial. Pemasungan
dilakukan dengan cara dipasung dan pengisolasian. Pasung merupakan semua
metode manual menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasung atau
ditempelkan pada tubuh orang dengan gangguan jiwa dan membuat tidak dapat
bergerak dengan mudah atau yang membatasi kebebasan dalam menggerakkan
tangan, kaki atau kepala. Pengisolasian merupakan tindakan mengurung orang
dengan gangguan jiwa sendirian tanpa persetujuan atau dilakukan dengan paksa,
dalam suat ruangan atau area tertentu yang secara fisik dapat membatasi untuk
keluar atau meninggalkan ruangan atau area tersebut(11).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Fitriani (2017), pasung adalah
alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang,
dipasangkan pd kaki, tangan, atau leher; sedangkan memasung artinya adalah
membelenggu seseorang dengan pasung. Memasang pasung adalah memasukkan
ke dalam kurungan (penjara), serta membatasi (menghambat) ruang gerak
seseorang. Pemasungan adalah merampas kebebasan seseorang dengan
perlakuan yang tidak manusiawi sehingga melanggar hak asasi manusia(12).

3. Kesehatan Jiwa
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 54 tahun 2017 tentang
Pemasungan pada Orang dengan Gangguan Jiwa, Kesehatan jiwa adalah kondisi
dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan,
dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya(9).
Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika
seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan
hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta mempunyai
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain(13).

4. Etika dan Hukum Kesehatan


Etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti Ethos, yaitu mempunyai arti
kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku manusia, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap

6
dan cara berfikir, sehingga etika dalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan(14).
Etika merupakan suatu norma atau aturan yang dipakai sebagai pedoman dalam
berperilaku di masyarakat bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan buruk. Ada
juga yang menyebutkan pengertian etika adalah suatu ilmu tentang kesusilaan dan
perilaku manusia di dalam pergaulannya dengan sesama yang menyangkut prinsip
dan aturan tentang tingkah laku yang benar. Dengan kata lain, etika adalah
kewaijban dan tanggungjawab moral setiap orang dalam berperilaku di
masyarakat(15).
Etika berhubungan erat dengan norma moral yang kemudian secara sistematis
dan sadar ditentukan apakah norma moral tersebut menghasilkan keputusan
keputusan yang baik atau buruk dalam tingkah laku atau perbuatan yang ada di
masyarakat. Etika akan disebut ilmu tentang baik dan buruk apabila kemungkinan-
kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk)
yang biasanya diterima begitu saja sekelompok orang atau masyarakat akan menjadi
bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis sehingga etika dikenal
dan disamakan dengan filsafat moral. Etika diharapkan dapat menjawab suatu
persoalan moral yang bersifat universal, berlaku bagi semua orang, setiap saat tanpa
dibatasi ruang dan waktu(16).
Hukum kesehatan merupakan semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini
menyangkut hak dan kewajiban, baik dari perorangan dan segenap lapisan
masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana,
pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta
sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan
yang bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum kedokteran/kedokteran
gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum rumah sakit, hukum
kesehatan masyarakat, hukum kesehatan lingkungan(17).

B. ASPEK MEDIS GANGGUAN JIWA


Aspek medis pada orang dengan gangguan jiwa mencakup penyebab gangguan
jiwa, tanda dan gejala gangguan jiwa, klasifikasi gangguan jiwa, serta terapi pada
gangguan jiwa.
1. Penyebab Gangguan Jiwa

7
Penyebab paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan,
biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi terdapat beberapa penyebab
dari beragai unsur yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu
muncul gangguan kejiwaan.
Sumber penyebab gangguan jiwa dapat dibedakan atas :
a. Faktor Somatik (Somatogenik), yaitu akibat gangguan pada neuroanatomi,
neurofisiologi,dan nerokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan
organik, serta faktorpranatal dan perinatal.
b. Faktor Psikologik (Psikogenik), yaitu keterkaitan interaksi ibu dan anak, peranan
ayah, persaingan antara saudara kandung, hubungan dalam keluarga,
pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat
perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga akan mempengaruhi
kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan tersebut kurang baik,
maka dapat menyebabkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah
yang berlebihan.
c. Faktor Sosial Budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh
anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang
meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai,
serta pengaruh mengenai keagamaan(18).

8
2. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan gangguan jiwa menurut
Maramis (2009) diantaranya adalah:
a. Adanya Abnormal
Abnormal berarti menyimpang dari yang normal. Sesuatu dikatakan abnormal
apabila terdapat suat norma, dan seseorang tersebut telah menyimpang dari
batas-batas norma.
b. Gangguan Kesadaran
Kesadaran mrupakan kemampuan individu dalam mengadakan pembatasan
terhadap lingkungannya serta dengan dirinya sendiri (melalui panca
inderanya).apabila kesadaran tersebut baik maka orientasi (waktu, tempat, dan
orang) dan pengertian yang baik serta pemakaian informasi yang masuk secara
efektfif (melalui ingatan dan pertimbangan). Kesadaran menurun adalah suatu
keadaan dengan kemampuan persepsi, perhatian dan pemikiran yang berkurang
secara keseluruhan (secara kwantitatif). Kesadaran yang berubah atau tidak
normal merupakan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan dunia
luar dan dirinya sendiri sudah terganggu dalam taraf tidak sesuai kenyataan.
c. Gangguan Ingatan
Ingatan berdasarkan tiga proses yaitu, pencatatan atau regristasi (mencatat
atau meregristasi sesuatu pengalaman didalam susunan saraf pusat),
penahanan atau retensi (menyimpan atau menahan catatan tersebut) dan
pemanggilan kembali atau “recall” (mengigat atau mengeluarkan kembali catatan
itu). Gangguan ingatan terjadi apabila terdapat gangguan pada salah satu atau
lebih dari ketiga unsur diatas.
d. Gangguan Orientasi
Gangguan orientasi atau Disorientasi timbul sebagai akibat gangguan
kesadaran dan dapat menyangkut waktu, tempat, atau orang. Gangguan Afek
dan Emosi. Afek ialah nada perasaan, menyenangkan atau tidak (seperti
kebanggan, kekecewaan, kasih sayang) yang menyertai suatu pikiran dan
biasanya bermanifestasi afek ke luar dan disertai oleh banyak komponen
fisiologik. Emosi adalah manifestasi afek ke luar dan disertai oleh banyak
komponen fisiologi dan berlansung relatif tidak lama. Seseorang dikatakan telah
mengalami gangguan afek atau emosi yaitu dapat berupa depresi, kecemasan,
eforia, anhedonia, kesepian, kedangkalan, labil, dan ambivalensi.
e. Gangguan Psikomotor
Psikomotor merupakan gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa,
gangguan psikomotor dapat berupa :

9
1) Hipokinesia atau hipoaktivitas: gerakan atau aktivitas berkurang.
2) Stupor Katatonic: reaksi terhadap lingkungan sangat berkurang, gerakan dan
aktivitas menjadi sangat lambat.
3) Katalepsi: mempertahankan posisi tubuh secara kaku posisi badan tertentu.
4) Fleksibilitas serea: memetahankan posisi badan yang dibuat padanya oleh
orang lain.
5) Hiperkinesia: pergerakan atau aktivitas yang berlebihan.
6) Gaduh gelisah katatonik: aktivtas motorik yang kelihatannya tidak bertujuan,
yang berkali-kali dan seakan-akan tidak dipengaruhi oelh rangsangan dari
luar.
7) Berisikap aneh: dengan sengaja mengambil sikap atau posisi badan yang
tidak wajar.
8) Grimas: miik yang aneh dan ebrulang-ulang.
9) Stereotype: gerakan salah satu anggota badan yang berkali-kali dan tidak
bertujuan.
f. Gangguan Proses Berfikir
Proses berfikir meliputi proses pertimbangan, pemahaman, ingatan serta
penalaran.
g. Gangguan Persepsi.
h. Gangguan Intelegensi.
i. Gangguan Kepribadian(7).

3. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Klasifikasi diagnosis gangguan jiwa telah mengalami berbagai penyempurnaan.
Pada tahun 1960-an, World Health Organization (WHO) memulai menyusun
klasifikasi diagnosis seperti tercantum pada International Classification of Disease
(ICD). Klasifikasi ini masih terus disempurnakan, yang saat ini telah sampai pada
edisi ke sepuluh (ICD X). Asosiasi dokter psikiatri Amerika juga telah
mengembangkan sistem klasifikasi berdasarkan diagnosis dan manual statistik dari
gangguan jiwa (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder— DSM). Saat
ini, klasifikasi DSM telah sampai pada edisi DSM-IV-TR yang diterbitkan tahun
2000. Indonesia menggunakan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan
jiwa (PPDGJ), yang saat ini telah sampai pada PPDGJ III. Sistem klasifikasi pada
ICD dan DSM menggunakan sistem kategori. ICD menggunakan sistem aksis
tunggal (uniaksis), yang mencoba menstandarkan diagnosis menggunakan definisi
deskriptif dari berbagai sindroma, serta memberikan pertimbangan untuk diagnosis
banding. Kriteria diagnosis pada DSM menggunakan sistem multiaksis, yang

10
menggambarkan berbagai gejala yang harus ada agar diagnosis dapat ditegakka.
Multiaksis tersebut meliputi hal sebagai berikut:
a. Aksis 1: sindroma klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatian
klinis.
b. Aksis 2: gangguan kepribadian dan retardasi mental.
c. Aksis 3: kondisi medis secara umum.
d. Aksis 4: masalah lingkungan dan psikososial.
e. Aksis 5: penilaian fungsi secara global.
Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia (PPDGJ)
pada awalnya disusun berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada
PPDGJ III ini disusun berdasarkan ICD X. Secara singkat, klasifikasi PPDGJ III
meliputi hal berikut:
a. F00 – F09: gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik).
b. F10 – F19: gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.
c. F20 – F29: skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham.
d. F30 – F39: gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
e. F40 – F48: gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait
stres.
f. F50 – F59: sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik.
g. F60 – F69: gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
h. F70 – F79: retardasi mental.
i. F80 – F89: gangguan perkembangan psikologis.
j. F90 – F98: gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada anak
dan remaja.
Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat/kelompok
psikosa dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional
yang berupa kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk
skizofrenia masuk dalam kelompok gangguan jiwa berat.
Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien gangguan jiwa dapat ditegakkan
berdasarkan kriteria NANDA (North American Nursing Diagnosis Association)
ataupun NIC (Nursing Intervention Classification) NOC (Nursing Outcame Criteria).
Untuk di Indonesia menggunakan hasil penelitian terhadap berbagai masalah
keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa. Pada penelitian tahun
2000, didapatkan tujuh masalah keperawatan utama yang paling sering terjadi di
rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu:

11
a. Perilaku kekerasan.
b. Halusinasi.
c. Menarik diri.
d. Waham.
e. Bunuh diri.
f. Defisit perawatan diri (berpakaian/berhias, kebersihan diri, makan, aktivitas
sehari-hari, buang air).
g. Harga diri rendah(18).

4. Terapi Gangguan Jiwa


Pada pasien dengan gangguan jiwa dibutuhkan beberapa pengobatan untuk
memulihkan kondisi jiwanya dan mencegah terjadinya kekambuhan, beberapa
terapi pengobatan pada pasien gangguan jiwa, diantaranya adalah:
a. Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf
pusat. Efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya
digunakan untuk pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat
psikofarmaka dengan farmakokinetik khusus untuk mengontrol dan
mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa. Golongan dan jenis
psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat mengembangkan upaya
kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan mengantisipasi
terjadinya efek samping, serta memadukan dengan berbagai alternatif terapi
lainnya.
b. Kejang Listrik
Terapi kejang listrik adalah suatu prosedur tindakan pengobatan pada pasien
gangguan jiwa, menggunakan aliran listrik untuk menimbulkan bangkitan kejang
umum, berlangsung sekitar 25–150 detik dengan menggunakan alat khusus
yang dirancang aman untuk pasien. Pada prosedur tradisional, aliran listrik
diberikan pada otak melalui dua elektroda dan ditempatkan pada bagian
temporal kepala (pelipis kiri dan kanan) dengan kekuatan aliran terapeutik untuk
menimbulkan kejang. Kejang yang timbul mirip dengan kejang epileptik tonik-
klonik umum. Namun, sebetulnya yang memegang peran penting bukanlah
kejang yang ditampilkan secara motorik, melainkan respons bangkitan listriknya
di otak yang menyebabkan terjadinya perubahan faali dan biokimia otak.
c. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan mengubah
perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Cara ini cukup

12
efektif karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain,
saling memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma
yang diakui bersama, sehingga terbentuk suatu sistem sosial yang khas yang di
dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan interdependensi. Terapi aktivitas
kelompok (TAK) bertujuan memberikan fungsi terapi bagi anggotanya, yang
setiap anggota berkesempatan untuk menerima dan memberikan umpan balik
terhadap anggota yang lain, mencoba cara baru untuk meningkatkan respons
sosial, serta harga diri. Keuntungan lain yang diperoleh anggota kelompok yaitu
adanya dukungan pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah,
dan meningkatkan hubungan interpersonal.

d. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah terapi jangka pendek dan dilakukan secara teratur,
yang memberikan dasar berpikir pada pasien untuk mengekspresikan perasaan
negatifnya, memahami masalahnya, mampu mengatasi perasaan negatifnya,
serta mampu memecahkan masalah tersebut.
e. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah suatu cara untuk menggali masalah emosi yang
timbul kemudian dibahas atau diselesaikan bersama dengan anggota keluarga,
dalam hal ini setiap anggota keluarga d iberi kesempatan yang sama untuk
berperan serta dalam menyelesaikan masalah. Keluarga sebagai suatu sistem
sosial merupakan sebuah kelompok kecil yang terdiri atas beberapa individu
yang mempunyai hubungan erat satu sama lain dan saling bergantung, serta d
iorganisasi dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
f. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah lingkungan fisik dan sosial yang ditata agar dapat
membantu penyembuhan dan atau pemulihan pasien. Milleu berasal dari
Bahasa Prancis, yang dalam Bahasa Inggris diartikan surronding atau
environment, sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti suasana. Jadi, terapi
lingkungan adalah sama dengan terapi suasana lingkungan yang dirancang
untuk tujuan terapeutik. Konsep lingkungan yang terapeutik berkembang karena
adanya efek negatif perawatan di rumah sakit berupa penurunan kemampuan
berpikir, adopsi nilai-nilai dan kondisi rumah sakit yang tidak baik atau kurang
sesuai, serta pasien akan kehilangan kontak dengan dunia luar.
g. Terapi Perilaku

13
Perilaku akan dianggap sebagai hal yang maladaptif saat perilaku tersebut
dirasa kurang tepat, mengganggu fungsi adaptif, atau suatu perilaku tidak dapat
diterima oleh budaya setempat karena bertentangan dengan norma yang
berlaku. Terapi dengan pendekatan perilaku adalah suatu terapi yang dapat
membuat seseorang berperilaku sesuai dengan proses belajar yang telah
dilaluinya saat dia berinteraksi dengan lingkungan yang mendukung(7).
C. ASPEK ETIK PEMASUNGAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA
Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan pelanggaran
hak asasi manusia berat, karena dilakukan pada orang dengan disabilitas yang
mengakibatkan tidak mampu mengakses layanan yang dapat mengurangi tingkat
disabilitasnya.
Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa masih menjadi masalah
kesehatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan
pelanggaran berat hak asasi manusia. Upaya pemasungan dapat dikatakan sebagai
tindakan yang tidak manusiawi. Dalam sejumlah peraturan perundang-undangan
bahkan dalam konstitusi negara, disebutkan dengan jelas setiap warga negara memiliki
hal yang sama untuk semua sektor kehidupan termasuk pelayanan kesehatan dan juga
hak-hak lainnya sebagai warga negara.
Pertimbangan legal dan etik pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memiliki
hak-hak legal sama dengan pasien atau penderita penyakit lainnya. Pasien dengan
gangguan jiwa memiliki semua hak sipil yang diberikan kepada semua orang, kecuali
hak untuk meninggalkan rumah sakit dan dalam keadaan membahayak diri sendiri dan
orang lain. Pasien memiliki hak untuk menolak terapi, atau menerima dan menolak
pengunjung. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan dengan penuh rasa
hormat dan perhatian.
Setiap profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan memiliki kode etik
yang harus dipatuhi dan dijujung tinggi profesionalitasnya dalam bekerja dibawah
pengawasan pihak yang berwenang tinggi terhadap pekerjaannya, serta memegang
prinsip-prinsip etika profesi yaitu prinsip Nonmaleficence (tidak merugikan),
Beneficience (hanya melakukan sesuatu yang baik), Confidentiality (kerahasiaan),
Justice (keadilan), Prinsip fidelity (dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain) sehingga tidak merugikan pasien dan orang lain
serta lingkungan di dalam lingkup kesehatan.

14
D. ASPEK YURIDIS PEMASUNGAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA
Pemerintah telah membuat aturan yang mengatur tentang kesehatan dan
gangguan jiwa, serta pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa. Adapun
beberapa regulasi terkait aturan tentang gangguan jiwa antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 28G dan
Pasal 28 I.
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 dan
Pasal 42.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab IX tentang
Kesehatan Jiwa.
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The
Rights Of Persons With Disabilties (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas).
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Pasal 86.
7. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia Tahun 2015-2019.
8. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 54 tahun 2017 tentang Pemasungan pada
Orang dengan Gangguan Jiwa.
9. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 333 dan Pasal 491.

15
BAB III
PEMBAHASAN

A. CONTOH KASUS PEMASUNGAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA


1. Banyak Penderita Gangguan Jiwa Dipasung
Sumber: www.tempo.co, 10 Oktober 2014
TEMPO.CO, Malang--Mayoritas penderita gangguan jiwa berat atau orang
dengan skizofrenia (ODS) ditangani dengan tindakan pemasungan. Pemasungan
sebenarnya melanggar hak asasi manusia. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan
masyarakat dalam menangani mereka.
Direktur Rumah Sakit Jiwa dr Radjiman Wediodiningrat (RSJ Lawang) Bambang
Eko Sunaryanto mengatakan, dalam tiga bulan terakhir RSJ Lawang menerima
laporan 12 kasus pemasungan atas diri penderita skizofrenia. Pihak keluarga
kemudian membawa ODS ke RSJ Lawang dan Rumah Sakit Umum Sjaiful Anwar di
Kota Malang serta RSJ Menur dan Rumah Sakit Umum dr Soetomo di Surabaya
untuk ditangani.
"Di Sjaiful Anwar dan RSUD Soetomo ada psikiater yang khusus menangani
penderita gangguan jiwa. Kami yakin jumlah orang yang dipasung lebih banyak dari
laporan yang kami terima," kata Eko kepada Tempo seusai peringatan Hari
Kesehatan Jiwa Sedunia, Jumat, 10 Oktober 2014.
Sebagai pembanding, menurut Eko, di wilayah Kabupaten Malang sempat
muncul 81 kasus pemasungan atas diri orang dengan skizofrenia yang dilakukan
keluarganya. Namun, dengan berbagai pendekatan, akhirnya kini jumlah ODS yang
dipasung berkurang dan tinggal sekitar 30 kasus. Selebihnya dilepas karena mereka
terbukti mengalami gangguan jiwa tanpa risiko.
Dalam banyak kasus, keluarga lebih suka memasung ketimbang membawa
ODS ke rumah sakit lantaran khawatir membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.
Pemasungan dilakukan karena keluarga malu punya ODS yang dianggap oleh
masyarakat sebagai aib.
"Pemahaman yang ditindaklanjuti dengan pemasungan itu sebuah kekeliruan.
Masyarakat memang harus terus diedukasi bahwa tidak semua gangguan jiwa itu
berbahaya. Pemahaman yang paling keliru adalah menyamakan ODS dengan orang
gila dan mengaitkannya dengan hal-hal supranatural," kata Eko.
RSJ Lawang sendiri kini merawat sekitar 609 pasien atau 87 persen dari
kapasitas 700 tempat tidur. Mayoritas pasien berasal dari Malang, Pasuruan,
Probolinggo, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Blitar, Kediri, Tulungagung, dan

16
Trenggalek. Umumnya mereka berprofesi sebagai petani, pekerja serabutan, dan ibu
rumah tangga. Rata-rata penyebab mereka dikirim ke rumah sakit jiwa karena
masalah kemiskinan.
Dokter Yuniar Sunarko, Kepala Bidang Pelayanan Medik merangkap Kepala
Instalasi Psikogeriatri menambahkan, pasien yang ditangani RSJ Lawang dibagi
dalam dua kelompok, yakni orang dengan masalah kejiwaan (OMDK) dan orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Pengelompokan ini berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dari seluruh pasien, memang ODGJ yang
terbanyak.

2. Ratusan Warga Bali Masih Hidup dalam Pasungan  


Sumber: www.tempo.co, 15 Agustus 2014
TEMPO.CO, Denpasar - Ratusan warga Bali yang menderita gangguan jiwa akut
diduga kini hidup dalam pasungan. Tragisnya, kebijakan pemerintah belum bisa
menjangkau dan memberikan pelayanan kepada mereka.
"Pemerintah hanya melayani mereka yang dibawa keluarganya ke fasilitas
kesehatan," kata Dr. dr Cok Bagus Jaya Lesmana, aktivis LSM Suryani Mental
Health Institute (SMHI), Jumat, 15 Agustus 2014. Dari penelitian yang dilakukan
lembaganya pada 2008, setidaknya 7.000 orang Bali mengalami gangguan jiwa dan
300 di antaranya berada dalam pasungan. Saat ini diperkirakan jumlahnya masih
terus meningkat.
Mengacu pada data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Departemen Kesehatan
2013, kondisi di Bali memang masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata
nasional, yakni 4,6 per-seribu jiwa dengan jumlah total satu juta orang dan 18 ribu di
antaranya dalam kondisi terpasung. "Tapi di Bali menjadi sangat ironis karena
bersanding dengan gemerlapnya pariwisata," kata Cok.
Alasan pemasungan umumnya karena sudah putus asa dengan proses
pengobatan yang diakukan. Padahal, kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan
untuk memberikan perawatan komprehensif dan terus-menerus. Keluarga juga tidak
memperoleh pendampingan dari pihak terkait pasca-pengobatan untuk mencegah
pasien kambuh. Pelayanan yang bisa diberikan oleh SMHI masih sangat terbatas.
Untuk membangkitkan kepedulian kepada orang-orang yang terpasung itu, SMHI
akan menggelar pameran foto "Terpasung di Pulau Surga" di Bentara Bali, 19-24
Agustus 2014. "Ini sekaligus untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI dengan melihat
saudara-saudara kita yang belum bebas dari masalahnya," kata Cok.

17
Pameran menampilkan 70 karya fotografi terpilih dari 13 fotografer, yakni
Alexandra Dupeyron (Jerman), Alit Kertaraharja (Indonesia), Brice Richard (Inggris),
Cameron Herweynen (Australia), Christian Werner (Jerman), Cokorda Bagus Jaya
Lesmana (Indonesia), Fanny Tondre (Perancis), Giulio Paletta (Italia), Ingetje
Tandros (Australia), Luciano Checco (Singapura), Nadia Janis (Australia), Rudi
Waisnawa (Indonesia), dan Tjandra Kirana (Indonesia).
"Karya-karya mereka benar-benar menyuarakan kepedulian akan orang-orang
penderita sakit jiwa yang hidup dalam pasungan," kata Yudha Bantono, kurator dari
pameran ini.
Pameran juga akan diisi dengan serangkaian acara, seperti workshop tenaga
medis, workshop tenaga pendidikan, dan meditasi bersama. Ketiga acara tersebut
langsung akan dipandu oleh Prof. DR. Luh Suryani dari Suryani Institute. Sedangkan
perbincangan tentang perspektif fotografi serta pengalaman fotografer akan
dibincangkan melalui diskusi fotografi bersama para fotografer yang terlibat.

3. 57.000 Orang Gangguan Jiwa Dipasung di Indonesia


Sumber: www.antara.co.id, 30 Oktober 2014
Pekanbaru - Seorang penggiat masalah kesehatan jiwa, Prof. Dr Budi Anna
Keliat, mengatakan, sebanyak 57.000 lebih orang Indonesia pernah dipasung
keluarga selama minimal dua hingga 20 tahun.
"Bahkan ada yang mencapai 40 tahun, dan perlakuan pemasungan itu jelas
melanggar HAM karena masyarakat telah merampas hak penderita dari sisi pangan,
sandang dan papan," katanya dalam keteranganya, Rabu (29/10).
Ia mengatakan, sebanyak 57.500 jiwa yang pernah dipasung itu merupakan
bagian dari 400.000 jiwa penderita gangguan kesehatan jiwa di Indonesia.
Menurut Budi Anna, dalam temuan kasus tersebut negara terbukti "tidak hadir"
sebagai pendamping, ketika masyarakatnya stres akibat adanya anggota keluarga
mereka mengalami gangguan kesehatan jiwa (gila).
Oleh karena itu kini, katanya, Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IKPJI)
terus menggiatkan pembahasan tentang legal aspek untuk melindungi penderita gila
agar tidak lagi dipasung dengan harapan pada 2019 Indonesia sudah bebas pasung.
"Harapan ini optimistis tercapai sebab UU Kesehatan Jiwa No 8 tahun 2014,
sudah mengisyaratkan keluarga dan masyarakat dilarang memasung anak, atau
saudaranya yang menderita gila. UU ini sudah sangat lebih baik jika dibandingkan
pada masa 1968 di mana pengaturan soal orang gila disatukan dengan UU No 23
tahun 1990 tentang Kesehatan yang pasalnya tidak spesifik lagi," katanya.

18
Ia memandang bahwa UU Kesehatan Jiwa No 8 tahun 2014 itu, justru lebih
menguntungkan bagaimana memperlakukan orang gila lebih manusiawi lagi supaya
sehat kembali jiwanya serta memberikan perlindungan kepada pasien gangguan
kesehatan jiwa itu.
Sebab, katanya lagi, orang gila juga manusia dan berhak mendapat hak
sandang, papan, dan pangan. Perampasan hak orang gila terjadi selama ini lebih
akibat keterbatasan kemampuan dan wawasan keluarga, apalagi adanya anggapan
kalau orang gila dianggap berprilaku aneh dan bisa mengganggu orang banyak,
dengan sifatnya yang kadang merusak itu.
"Padahal mereka berprilaku gila karena ada sesuatu yang terjadi di dalam syaraf
mereka sehingga sikap masyarakat perlu diubah dan dinas kesehatan dan
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota perlu melakukan pengawasan dan
evaluasi," katanya.
Evaluasi oleh dinas terkait diperlukan, katanya, khususnya peningkatan
kemampaun tenaga perawat, apalagi penderita bisa menuju sehat sudah bisa
berkomunikasi, bisa mandi sendiri, dan sudah bisa pulang hanya dalam kunjungan
6-8 minggu.
Budi Anna bersama timnya yang pernah mendampingi masyarakat antara lain
dalam pascabencana gempa Aceh itu, meyakini 2019 Indonesia bebas pasung juga
jika persepsi semua lintas terkait dibangun yakni pertama dimulai dengan semua
faskes I memiliki program kesehatan jiwa, minimal perawat dan dokternya telah
diberikan pelatihan.

B. ANALISIS KASUS PEMASUNGAN PADA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA


Mengenai perlakuan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa (ODGJ) dengan
cara dikurung atau dipasung dapat dianggap sebagai perbuatan pelanggaran hak asasi
manusia. Pada dasarnya, setiap manusia berhak untuk hidup bebas dari penyiksaan
sebagaimana yang termaktub dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di
bawah ini:
1. Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.”
2. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di

19
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
3. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(“UU HAM”)
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya.
b. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan
batin.
c. Setiap orang berhak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dari bunyi pasal-pasal di atas jelas kiranya diketahui bahwa hak untuk hidup bebas
merupakan hak asasi manusia.
Selain itu, bagi penderita cacat mental, diatur hak-haknya dalam Pasal 42 UU HAM
yang berbunyi:
“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara,
untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat dikatakan cacat mental. Ini karena
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, cacat berarti kekurangan yg
menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yg terdapat pd
badan, benda, batin, atau akhlak), sedangkan mental adalah bersangkutan dengan
batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Kemudian jika kita
melihat arti dari “gila”, yaitu sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya
terganggu atau pikirannya tidak normal). Ini berarti “gila” dapat berarti cacat mental
karena adanya kekurangan pada batin atau jiwanya (yang berhubungan dengan
pikiran).
Dari pasal di atas dapat kita ketahui bahwa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
yang memiliki gangguan mental/kejiwaan pun dilindungi oleh undang-undang untuk
memperoleh perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
Tidak sepantasnya keluarganya memperlakukan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
tersebut dengan cara mengurung atau memasungnya.
Mengenai hak-hak penderita gangguan jiwa juga dirumuskan dalam Pasal 148 ayat
(1) dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU
Kesehatan”) yang berbunyi:
 Pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan:
“Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.”

20
Pasal 149 UU Kesehatan:
“Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau
keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan
kesehatan.”
Pengurungan atau pemasungan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), sekalipun
dilakukan oleh keluarganya dengan tujuan keamanan untuk dirinya sendiri dan orang-
orang sekitar, menurut hemat kami merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai
perampasan hak untuk hidup secara layak, yang berarti melanggar hak asasi manusia.
Di samping itu, mengacu pada pasal di atas, hal yang dapat dilakukan oleh keluarganya
demi tercapainya kehidupan layak bagi orang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
tersebut adalah dengan melakukan upaya kesehatan jiwa, yakni mengupayakan
pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Pasal 86
dinyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran,
kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan,
penelantaran,dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya
yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Selain melanggar hak asasi manusia, keluarga yang melakukan pengurungan atau
pemasungan dapat terjerat Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan
seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan
sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
Merampas kemerdekaan adalah meniadakan atau membatasi kebebasan
seseorang bergerak meninggalkan suatu tempat untuk pergi ke tempat lainnya yang dia
inginkan. Perampasan kemerdekaan itu dapat terjadi dengan mengurung seseorang di
suatu ruangan tertutup, dengan mengikat kaki atau anggota tubuh lainnya dari
seseorang sehingga tidak dapat memindahkan diri, menempatkan seseorang di suatu
tempat di mana ia tidak mungkin pergi dari tempat itu, dan mungkin juga dengan cara

21
psychis (hipotis) sehingga ia kehilangan kemampuan untuk pergi dari suatu tempat dan
lain-lain.
Walaupun tidak boleh dikurung atau dipasung, akan tetapi bukan berarti keluarga
dapat membiarkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tersebut berkeliaran secara
bebas. Karena jika keluarga membiarkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tersebut
berkeliaran secara bebas, keluarga dapat juga dijerat dengan Pasal 491 butir 1 KUHP:
“Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah barang
siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang
lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga.”
Kewajiban moril dan moral dari keluarga yang bersangkutan untuk merawat
keluarganya yang sakit sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, mengingat
keterbatasan kemampuan warga pada umumnya, maka dapat disaksikan adanya orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ) berkeliaran tanpa penjagaan. Tetapi hal ini masih lebih
manusiawi dibandingkan dengan jika mereka dipasung. Karenanya, dalam praktik
sehari-hari pasal ini tidak lebih dari suatu ketentuan yang mati. Oleh karena itu, akan
lebih baik jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tersebut dimasukkan ke rumah
sakit jiwa untuk mendapat perawatan yang semestinya dan agar tidak mengganggu
masyarakat sekitar.
Aspek pelanggaran etika dalam penanganan kesehatan jiwa dan orang dengan
gangguan jiwa (ODGJ) dilakukan karena tidak memperhatikan etika dan hak-hak pasien
gangguan jiwa, serta memegang prinsip-prinsip etika profesi petugas kesehatan yaitu
telah melanggar prinsip Nonmaleficence (tidak merugikan), Beneficience (hanya
melakukan sesuatu yang baik), Confidentiality (kerahasiaan), Justice (keadilan), Prinsip
fidelity (dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang
lain) sehingga merugikan pasien dan orang lain serta lingkungan di dalam lingkup
kesehatan.

22
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Kesehatan jiwa dan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) telah
diatur dalam banyak regulasi yang berkaitan dengan kesehatan jiwa dan hak asasi
manusia.
2. Aspek medis pada orang dengan gangguan jiwa mencakup penyebab gangguan
jiwa, tanda dan gejala gangguan jiwa, klasifikasi gangguan jiwa, serta terapi pada
gangguan jiwa.
3. Aspek etika dalam penanganan kesehatan jiwa dan orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ) harus memperhatikan etika dan hak-hak pasien gangguan jiwa, serta
memegang prinsip-prinsip etika profesi yaitu prinsip Nonmaleficence (tidak
merugikan), Beneficience (hanya melakukan sesuatu yang baik), Confidentiality
(kerahasiaan), Justice (keadilan), Prinsip fidelity (dibutuhkan individu untuk
menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain) sehingga tidak merugikan
pasien dan orang lain serta lingkungan di dalam lingkup kesehatan.
4. Aspek yuridis dalam pemasungan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mencakup
berbagai macam regulasi yang telah dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam
upaya kelayakan dan pemenuhan hak-hak pasien atau orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ).
5. Dalam kasus yang ada, faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelanggalan
terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah dengan melakukan
pemasungan datau kurungan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang
didasari oleh ketidaktahuan masyarakat atau keluarga pasien tentang pemasungan
yang mereka lakukan. Selain itu, anggapan adat istiadat serta kepercayaan
masyarakat akan hal-hal mistis masih menjadi penyebab terjadinya pemasungan
terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
6. Pelanggaran terhadap pemasungan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang
dilakukan oleh masyarakat dapat dikenai berbagai sanksi dan hukuman yang telah
diterapkan dan berlaku.

B. SARAN
Agar kasus-kasus seperti diatas tidak kembali terulang, hendaklah setiap pihak-
pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung, melakukan peningkatan

23
pengawasan dan kerjasama serta advokasi dan pemberdayaan masyarakat yang
berguna untuk mensosialisasikan bahwa tindakan pemasungan terhadap orang dengan
gangguan jiwa (ODGJ) juga memiliki hak untuk dilayani dan mendapatkan rasa aman
dan pelayanan yang baik serta menghapus dan membenarkan anggapan dan persepsi
masyarakat tentang pandangan-pandangan yang buruk dan tidak baik terhadap orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Lestari, P., Choiriyyah, Z., & Mathafi. Kecenderungan atau Sikap Keluarga Penderita
Gangguan Jiwa terhadap Tindakan Pasung. Jurnal Keperawatan Jiwa. 2014. 2(1).
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
3. Lestari, F.S. & Kartinah. Hubungan Persepsi Keluarga Tentang Gangguan Jiwa dengan
Sikap Keluarga kepada Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta. http://publikasiilmiah .ums.ac.id/bitstre. 2012.
4. Suharto, Bekti. Budaya Pasung dan Dampak Yuridis Sosiologis (Studi tentang Upaya
Pelepasan pasung dan Pencehagan Tindakan Pemasungan di Kabupaten Wonogiri).
Indonesian Journal Medical Science (IJMS). 2014. 1(2).
5. Kemenkes RI. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat. 2016.
http://www.depkes.go.id/article/view/16100700005/peran-keluarga-dukung kesehatan-
jiwa-masyarakat.html. Diakses pada tanggal 07 Mei 2019.
6. Suara, Yangki Imade. Sejarah Panjang Praktik Pasung di Indonesia. 2016.
http://sdgcenter.unpad.ac.id/2016/06/sejarah-panjang-praktik-pasung-di-indonesia/.
Diakses pada tanggal 07 Mei 2019.
7. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. 2009. Surabaya: Airlangga.
8. Lestari,Puji & Choiriyyah, Zumrotul. Kecenderungan Atau Sikap Keluarga Penderita
Gangguan Jiwa Terhadap Tindakan Pasung ( Studi Kasus Di RSJ Amino Gondho
Utomo Semarang ). Jurnal Keperawatan Jiwa. 2014. (2)1; 14-23.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 tentang
Penanggulangan Pemasungan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa.
10. American Psychiatric Association. Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder
Edition “DSM-5”. 2013. Washinton DC: American Psychiatric Publishing. Washinton DC.
11. MediaKom. Penuhi Hak Warga Negara dengan Bebas Pasung. 2015.
http://mediakom.sehatnegeriku.com/penuhi-hak-warga-negara-dengan-bebas-pasung/.
Diakses pada 08 Mei 2019.
12. Fitriani, Laily. Pemasungan terhadap Orang dengan Masalah Kejiwaan dan Gangguan
Jiwa Bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Rechts Vinding,
Media Pembinaan Hukum Nasional. 2017.
13. World Health Organization (WHO). Kesehatan Mental dalam Kedaruratan. 2003.
Geneva: WHO.
14. Farelya, Gita & Nurrobikha. Etikolegal dalam Pelayanan Kebidanan. 2018. Yogyakarta:
Deepublish.

25
15. Syamsiyatun, Siti & Wafiroh, Nihayatul. Filsafat, Etika dan Kearifan Lokal untuk
Konstruksi Moral Kebangsaan. 2013. Switzerland: Globethics.net.
16. Ratman, Desriza. Surrogate Mother: dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkan
Sewa Rahim di Indonesia?. 2012. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
17. Sadi, Muhamad. Etika Hukum Kesehatan, Teori dan Aplikasinya di Indonesia. 2017.
Jakarta: Kencana.
18. Yusuf, Fitryasari, R., & Nihayati, H.,K. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. 2015.
Jakarta: Salemba Medika.

26

Anda mungkin juga menyukai