Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Gangguan Jiwa

a. Definisi Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah suatu sindroma atau pola psikologis atau

perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan

dikaitkan dengan adanya distress (misalnya, gejala nyeri) atau

disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang

penting) atau disertai peningkatan risiko kematian yang menyakitkan,

nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan (Susanti, 2014).

b. Faktor Yang Menyebabkan Gangguan Jiwa

Menurut (Maramis, 2014), penyebab gangguan jiwa dapat

dibedakan atas :

1) Faktor Biologis /Jasmaniah

a) Keturunan

Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin

terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami

gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor

lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.

b) Jasmaniah

Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang

berhubungan dengan ganggua jiwa tertentu. Misalnya yang

10
8

bertubuh gemuk/endoform cenderung menderita psikosa

manik depresif, sedang yang kurus/ectoform cenderung

menjadi skizofrenia.

c) Temperamen

Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai

masalah kejiwaan dan ketegangan yang memiliki

kecenderungan mengalami gangguan jiwa.

d) Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung,

kanker, dan sebagainya mungkin dapat menyebabkan merasa

murung dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu

dapat menyebabkan rasa rendah diri.

2) Ansietas dan Ketakutan

Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan perasaan

yang tidak menentu akan sesuatu hal menyebabkan individu

merasa terancam, ketakutan hingga terkadang mempersepsikan

dirinya terancam.

3) Faktor Psikologis

Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan

yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya.

Pemberian kasih sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh,

kaku dan keras akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta

memiliki kepribadian yang bersifat menolak dan menentang


9

terhadap lingkungan.

4) Faktor Sosio-Kultural

Menurut Wahyu (2012), beberapa penyebab gangguan jiwa

yaitu :

a) Penyebab primer (primary cause)

Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya

gangguan jiwa, atau kondisi yang tanpa kehadirannya suatu

gangguan jiwa tidak akan muncul.

b) Penyebab yang pencetus (precipatating cause)

Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian

traumatik yang langsung dapat menyebabkan gangguan jiwa

atau mencetuskan gangguan jiwa.

c) Penyebab menguatkan (reinforcing cause)

Kondisi yang cenderung mempertahankan atau

mempengaruhi tingkah laku maladaptif yang terjadi.

d) Multiple cause

Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling

mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu gangguan jiwa

jarang disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan sebagai

hubungan sebab akibat, melainkan saling mempengaruhi

antara satu faktor penyebab dengan penyebab lainnya.


10

c. Ciri-Ciri Gangguan Jiwa

Menurut Keliat (2012), menyebutkan ciri-ciri gangguan jiwa

antara lain :

1) Sedih berkepanjangan

2) Tidak semangat dan cenderung malas

3) Marah tanpa sebab

4) Mengurung diri

5) Tidak mengenali orang

6) Bicara kacau

7) Bicara sendiri

8) Tidak mampu merawat diri.

d. Jenis Gangguan Jiwa

Menurut Keliat, (2012), jenis-jenis gangguan jiwa terdiri dari :

1) Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan

menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia

juga merupakan suatubentuk psikosa yang sering dijumpai

dimanamana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan

kita tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang.

Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas,

sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan

penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi

sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan


11

sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir

dengan personalitas yang rusak “cacat”. Skizofrenia mempunyai

macam-macam jenisnya

Menurut Maramis (2004) jenis-jenis skizofrenia meliputi:

a) Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan

gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya

gejalagejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa

kali serangan skizofrenia.

b) Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa

pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan

kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya

sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.

Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin

penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri

dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan

atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan

bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan

menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat”

c) Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut

Maramis (2004) permulaannya perlahan-lahan dan sering

timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang

menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan

dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti


12

perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini.

Waham dan halusinasi banyak sekali.

d) Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya

pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta

sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh

gelisah katatonik atau stupor katatonik.

e) Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala

skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga

gejalagejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini

cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin

juga timbul lagi serangan.

2) Depresi

Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang

berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala

penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu

makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak

berdaya, serta gagasan bunuh diri. Depresi juga dapat diartikan

sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan

yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah

hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya.

Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan

dengan penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada

diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam. Depresi adalah


13

gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik

berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa

seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak

berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan

takut pada bahaya yang akandatang.

Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan

normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya

kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan

akan kehilangan seseorang akan menolak kehilangan dan

menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi. Individu yang

menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan

kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang

menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas.

Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan

dan abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa

penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian

besar orang mulai pulih.

3) Kecemasan

Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang

pernah dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu

untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya. Suatu

keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk

reaksi dari ancaman yang tidak spesifik. Penyebabnya maupun


14

sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali.Intensitas

kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai

tingkat berat. Menurut Stuart & Sundeen (2008) mengidentifikasi

rentang respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi

kecemasan ringan, sedang, berat, dan kecemasan panik.

4) Gangguan Kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan

kepribadian (psikopatia) dan gejala-gejala nerosa berbentuk

hampir sama pada orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun

rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian, nerosa

dan gangguan intelegensi sebagian besar tidak tergantung pada

satu dan yang lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan

kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau

siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian

anankastik atau obsesif-konpulsif, kepribadian histerik,

kepribadian astenik, kepribadian antisosial, kepribadian pasif

agresif, kepribadian inadequate.

5) Gangguan mental organic

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik

yang disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak. Gangguan

fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah

yang terutama mengeni otak atau yang terutama diluar otak. Bila

bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar


15

mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit

yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi

tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan

gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya.

Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan

kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu dari pada

pembagian akut dan menahun.

6) Gangguan kepsikomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan

fungsi badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang

memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena

gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf

vegetative. Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa

yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya

fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan

psikofisiologik.

7) Retardasi mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa

yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh

terjadinya hilangnya keterampilan selama masa perkembangan,

sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh,

misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.


16

8) Gangguan perilaku masa anak dan remaja

Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku

yang tidak sesuai dengan permintaan, kebiasaan atau norma-

norma masyarakat. Anak dengan gangguan perilaku dapat

menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan

perilaku mungkin berasal dari anak atau mungkin dari

lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling

memengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh

serta sifat kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua

kepada anaknya.Pada gangguan otak seperti trauma kepala,

ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan perubahan

kepribadian. Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku

anak, dan sering lebih menentukan oleh karena lingkungan itu

dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu dapat

dipengaruhi atau dicegah.

2. Konsep Halusinasi

a. Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek

rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh

pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa

yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan

sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau

penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.


17

Pasien gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal orientasi

realitas (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015).

b. Tahap dan Karakteristik Halusinasi

Tabel 2.1 Tahap-tahap Halusinasi (Rasmun 2011)

Tahap Karakteristik Perilaku Klien


Tahap I
- Memberi rasa - Mengalami - Tersenyum
nyaman tingkat ansietas, kesepian, tertawa sendiri
ansietas sedang rasa bersalah dan - Menggerakkan
secara umum ketakutan bibit tanpa suara
halusinasi - Mencoba berfokus - Pergerakan mata
merupakan pada pikiran yang yang cepat
sesuatu dapat - Respon verbal
kesenangan menghilangkan yang lambat
ansietas. - Diam dan
- Pikiran dan berkonsentrasi
pengalaman
sensori masih ada
dalam control
kesadaran NON
PSIKOTIK
Tahap II
- Menyalahkan - Pengalaman - Terjadi
- Tingkat sensori peningkatan
kecemasan berat menakutkan denyut jantung,
secara umum - Merasa pernafasan dan
halusinasi dilecehkan oleh tekanan darah
menyebabkan pengalaman - Perhatian dengan
rasa antipasti sensori tersebut lingkungan
- Mulai merasa berkurang
kehilangan control - Konsentrasi
- Menarik diri dari terhadap
orang lain NON pengalaman
PSIKOTIK sensorinya.
- Kehilangan
kemampuan
membedakan
halusinasi dengan
realitas
Tahap III
- Mengontrol - Klien menyerah - Perintah
- Tingkat dan menerima halusinasi ditaati
18

kecemasan berat pengalaman - Sulit berhubungan


- Pengalaman sensorinya dengan orang lain.
halusinasi tidak (halusinasi) - Perhatian terhadap
dapat ditolak lagi - Isi halusinasi lingkungan,
menjadi atraktif berkurang hanya
- Kesepian bila beberapa detik.
pengalaman - Tidak mampu
sensori berakhir mengikuti
PSIKOTIK perintah dari
perawat, tampak
tremor dan
berkeringat
Tahap IV
- Klien sudah - Perilaku panik
dikuasai oleh - Resiko tinggi
halusinasi mencederai
- Klien panik - Agitasi atau
katalon
- Tidak mampu
berespon terhadap
lingkungan

c. Tahapan Halusinasi

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 tahap dan setiap fase

memiliki karakteristik yang berbeda (Dalami, 2009) yaitu :

1) Tahap 1

Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,

rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran

yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Disini pasien

tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah

tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.

2) Tahap 2

Pengalaman sensori menakutkan. Pasien mulai kehilangan kontrol

dan menarik diri dari orang lain. disini terjadi peningkatan tanda-
19

tanda vital (denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah),

konsentrasi dengan pengalaman sensori dan kehilangan

kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

3) Tahap 3

Pasien menyerah dan menerima pengalaman halusinasinya

(sensori) tersebut. disini pasien sukar berhubungan dengan orang

lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama

jika akan berhubungan dengan orang lain.

4) Tahap 4

Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien tidak

mengikuti perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku panik, tidak

mampu berespon terhadap lingkungan, potensi untuk bunuh diri

dan tindakan kekerasan.

d. Tanda dan Gejala Halusinasi

Tanda dan gejala yang ditimbulkan pada pasien halusinasi

adalah bicara sendiri, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan,

mendengar suara, merusak diri sendiri / orang lain / lingkungan, tidak

dapat membedakan hal yang nyata dan hal yang tidak nyata, tidak

dapat memusatkan konsentrasi / perhatian, pembicaraan kacau kadang

tidak masuk akal, sikap curiga dan bermusuhan, menarik diri,

menghindari dari orang lain, sulit membuat keputusan, ketakutan,

mudah tersinggung, jengkel, mudah marah, menyalahkan diri sendiri /

orang lain, tidak mampu melaksanakan asuhan mandiri : mandi,


20

berpakaian, muka merah kadang pucat, ekspresi wajah tegang,

tekanan darah meningkat, nadi cepat, banyak keringat (Dalami, 2009).

e. Rentang Respon Halusinasi

Menurut Stuart (2017), rentang respon halusinasi terdiri dari :

1) Respon Adaptif

Respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial

budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam

batas normal jika menghadapi suatu masalah dan akan dapat

memecahkan masalah tersebut.

2) Respon Psikososial

Adapun respon psikososial yakni:

a) Pikiran terkadang menyimpang berupa kegagalan dalam

mengabstrakan dan mengambil kesimpulan.

b) Ilusi merupakan pemikiran atau penilaian yang salah tentang

penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena

rangsangan panca indera.

c) Emosi berlebihan dengan kurang pengalaman berupa reaksi

emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.

d) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang

melebihi batas kewajaran.

e) Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindar interaksi

dengan orang lain, baik dalam berkomunikasi maupun

berhubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya.


21

3) Respon Maladaptif

Respon maladaptif merupakan respon individu dalam

menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma

sosial budaya dan lingkungan.

Adapun respon maladaptif yakni:

a) Kelainan pikiran (waham) merupakan keyakinan yang secara

kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain

dan bertentangan dengan keyakinan sosial.

b) Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi

yang salah terhadap rangsangan.

c) Kerusakan proses emosi merupakan ketidakmampuan

mengontrol emosi seperti menurunnya kemampuan untuk

mengalami kesenangan, kebahagiaan, dan kedekatan.

d) Perilaku tidak terorganisir merupakan ketidakteraturan

perilaku berupa ketidakselarasan antara perilaku dan

gerakannya.

e) Isolasi sosial merupakan kondisi dimana seseorang merasa

kesepian tidak mau berinteraksi dengan orang lain.

f. Etiologi Halusinasi

1) Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi menurut Yosep ( 2016 ) :

a) Faktor pengembangan

Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya


22

mengontrol emosi dan keharmonisan keluarga menyebabkan

klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi hilang

percaya diri.

b) Faktor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak terima dilingkungan sejak

bayi akan membekas diingatannya sampai dewasa dan ia akan

merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada

lingkungannya.

c) Faktor biokimia

Adanya stres yang berlebihan yang dialami oleh seseorang

maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat

bersifat halusinogenik neurokimia dan metytranferase

sehingga terjadi ketidaksembangan asetil kolin dan dopamin.

d) Faktor psikologis

Tipe kepribadian yang lemah tidak bertanggung jawab

akan mudah terjerumus pada penyelah gunaan zat adaptif.

Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata

menuju alam khayal.

e) Faktor genetik dan pola asuh

Hasil studi menujukkan bahwa faktor keluarga

menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit

ini.
23

2) Faktor Presipitasi

Penyebab halusiansi dapat dilihat dari lima dimensi menurut

(Yosep, 2016).

a) Dimensi fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik

seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,

demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan

untuk tidur dalam waktu yang lama.

b) Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang

tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.

Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan

manakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah

tersebut sehingga dengan kondisi tersebut klien berbuat

sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

c) Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini merangsang bahwa

individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya

penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan

usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan,

namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan

yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang


24

akan mengobrol semua perilaku klien.

d) Dimensi sosial

Klien mengganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam

nyata sangat membahayakan, klien asik dengan halusinasinya,

seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan

akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak di

dapatkan dalam dunia nyata.

e) Dimensi spiritual

Klien mulai dengan kemampuan hidup, rutinitas tidak

bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupanya

secara spiritual untuk menyucikan diri. Ia sering memaki

takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki,

memyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan

takdirnya memburuk.

g. Klasifikasi Halusinasi

Klasifikasi halusinasi terbagi menjadi 5 menurut Yusuf (2015).

1) Halusinasi Pendengaran

Data objektif antara lain: bicara atau tertawa sendiri, marah

tanpa sebab, mengarahkan telinga kearah tertentu,klien menutup

telinga.

Data subjektif antara lain: mendengarkan suara-suara atau

kegaduhan, mendengarkan suara yang ngajak bercakap-cakap,

mendengarkan suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang


25

berbahaya.

2) Halusinasi Penglihatan

Data objektif antara lain: menunjuk kearah tertentu,

ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas. Data subjektif anatar

lain: melihat bayangan, sinar, bentuk kartun, melihat hantu atau

monster.

3) Halusinasi Penciuman

Data objektif antara lain: mencium seperti membaui bau-

bauan tertentu dan menutup hidung. Data subjektif antara lain:

mencium baubau seperti bau darah, feses, dan kadang-kadang bau

itu menyenangkan.

4) Halusinasi Pengecapan

Data objektif antara lain: sering meludah, muntah. Data

subjektif antara lain: merasakan seperti darah, feses, muntah.

5) Halusinasi Perabaan

Data objektif antara lain: menggaruk-garuk permukaan

kulit. Data subjektif antara lain: mengatakkan ada serangga

dipermukaan kulit, merasa seperti tersengat listrik

h. Mekanisme Koping Halusinasi

Mekanisme koping merupakan perilaku yang mewakili upaya

untuk melindungi diri sendiri, mekanisme koping halusinasi menurut

Yosep (2016), diantaranya:


26

1) Regresi

Proses untuk menghindari stress, kecemasan dan

menampilkan perilaku kembali pada perilaku perkembangan anak

atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya

untuk menanggulangi ansietas.

2) Proyeksi

Keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan emosi

pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri

(sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan identitas).

3) Menarik diri

Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun

psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar

sumber stressor, sedangkan reaksi psikologis yaitu menunjukkan

perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai

rasa takut dan bermusuhan.

i. Penatalaksanaan Halusinasi

1) Penatalaksanaan Medis

a) Psikofarmakoterapi

Terapi dengan menggunakan obat bertujuan untuk

mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Klien

dengan halusinasi perlu mendapatkan perawatan dan

pengobatan yang tepat. Adapun obatobatannya seperti :


27

(1) Golongan butirefenon : haloperidol (HLP), serenace,

ludomer.

Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk

injeksi 3 x 5 mg (IM), pemberian injeksi biasanya cukup 3

x 24 jam. Setelahnya klien biasanya diberikan obat per oral

3 x 1,5 mg. Atau sesuai dengan advis dokter (Yosep, 2016).

(2) Golongan fenotiazine : chlorpromazine (CPZ), largactile,

promactile.

Pada kondisi akut biasanya diberikan per oral 3 x 100

mg, apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi

menjadi 1 x 100 mg pada malam hari saja, atau sesuai

dengan advis dokter (Yosep, 2016).

b) Terapi Somatis

Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien

dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang

maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan

tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik pasien walaupun

yang diberi perlakuan adalah fisik klien, tetapi target terapi

adalah perilaku pasien. Jenis terapi somatis adalah meliputi

pengikatan, ECT, isolasi dan fototerapi (Kusumawati &

Hartono, 2011).

(1) Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau

manual untuk membatasi mobilitas fisik klien yang


28

bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada klien sendiri

atau orang lain.

(2) Terapi kejang listrik adalah bentuk terapi kepada pasien

dengan menimbulkan kejang (grandmal) dengan

mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2-3 joule)

melalui elektrode yang ditempelkan beberapa detik pada

pelipis kiri/kanan (lobus frontalis) klien.

(3) Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien

sendiri diruangan tersendiri untuk mengendalikan

perilakunya dan melindungi klien, orang lain, dan

lingkungan dari bahaya potensial yang mungkin terjadi.

akan tetapi tidak dianjurkan pada klien dengan risiko

bunuh diri, klien agitasi yang disertai dengan gangguan

pengaturan suhu tubuh akibat obat, serta perilaku yang

menyimpang.

(4) Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada

klien dengan mengurangi jumlah jam tidur klien sebanyak

3,5 jam. cocok diberikan pada klien dengan depresi.

2) Penatalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan terapi keperawatan pada klien skizofrenia

dengan halusinasi bertujuan membantu klien mengontrol

halusinasinya sehingga diperlukan beberapa tindakan keperawatan

yang dapat dilakukan perawat dalam upaya meningkatkan


29

kemampuan untuk mengontrol halusinasinya yaitu dengan

tindakan keperawatan generalis dan spesialis (Kanine, 2012).

a) Tindakan Keperawatan Generalis : Individu dan Terapi

Aktifitas Kelompok

Tindakan keperawatan generalis individu berdasarkan

standar asuhan keperawatan jiwa pada klien skizofrenia dengan

halusinasi), maka tindakan keperawatan generalis dapat

dilakukan pada klien bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan kognitif atau pengetahuan dan psikomotor yang

harus dimiliki oleh klien skizofrenia dengan halusinasi

meliputi:

(1) Cara mengontrol halusinasi dengan menghardik dan

mengatakan stop atau pergi hingga halusinasi dirasakan

pergi,

(2) Cara menyampaikan pada orang lain tentang kondisi yang

dialaminya untuk meningkatkan interaksi sosialnya dengan

cara bercakapcakap dengan orang lain sebelum halusinasi

muncul

(3) Melakukan aktititas untuk membantu mengontrol halusinasi

dan melawan kekhawatiran akibat halusinasi seperti

mendengarkan musik, membaca, menonton TV, rekreasi,

bernyanyi, teknik relaksasi atau nafas dalam. Kegiatan ini

dilakukan untuk meningkatkan stimulus klien mengontrol


30

halusinasi.

(4) Patuh minum obat.

Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) yang dilakukan

pada klien skizofrenia dengan halusinasi adalah Terapi

Aktifitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi yang terdiri

dari 5 sesi yaitu :

(a) Sesi pertama mengenal halusinasi

(b) Sesi kedua mengontrol halusinasi dengan memghardik

(c) Sesi ketiga dengan melakukan aktifitas

(d) Sesi keempat mencegah halusinasi dengan bercakap

(e) Sesi kelima dengan patuh minum obat.

b) Tindakan Keperawatan Spesialis : Individu dan Keluarga

Terapi spesialis akan diberikan pada klien skizofrenia

dengan halusinasi setelah klien menuntaskan terapi generalis

baik individu dan kelompok. Adapun terapi spesialis meliputi

terapi spesialis individu, keluarga dan kelompok yang

diberikan juga melalui paket terapi Cognitive Behavior

Therapy (CBT).

3. Konsep Kecemasan

a. Definisi Kecemasan

Menurut Anisa & ifdil (2016), kecemasan berasal dari kata Latin

anxius, yang berarti penyempitan atau pencekikan. Kecemasan mirip

dengan rasa takut tapi dengan fokus kurang spesifik, sedangkan


31

ketakutan biasanya respon terhadap beberapa ancaman langsung,

sedangkan kecemasan ditandai oleh kekhawatiran tentang bahaya

tidak terduga yang terletak dimasa depan.

b. Etiologi Kecemasan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan (Donsu,

2017) adalah sebagai berikut :

1) Faktor Predisposisi

a) Biologi

Suatu model biologis yang menerangkan bahwa ekspresi

emosi yang melibatkan struktur anatomi dalam otak dan aspek

biologis ini yang menerangkan adanya pengaruh

neutransmiter yang dapat menyebabkan kecemasan.

b) Psikologis

Menurut Donsu (2017), mengatakan bahwa faktor

psikologis yang mempengaruhi kecemasan adalah konflik

emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu

ide dan superego.

c) Sosial Budaya

Adanya riwayat gangguan ansietas dalam keluarga yang

mempengaruhi respon individu dalam bereaksi terhadap

konflik dan bagaimana cara mengatasi kecemasan.

2) Faktor Pencetus

Menurut Donsu (2017), bahwa stresor pencetus sebagai


32

stimulan yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,

ancaman, atau tuntutan yang memerlukan tenaga ekstra untuk

mempertahankan diri. Faktor pencetus ini bisa dari internal

maupun eksternal yaitu :

a) Biologis (Fisik)

Gangguan kesehatan pada tubuh merupakan suatu

keadaan yang terganggu secara fisik oleh penyakit maupun

secara fungsional berupa aktifitas sehari-hari yang menurun.

b) Psikologis

Suatu ancaman eksternal yang berhubungan dengan

kondisi psikologis dan dapat menyebabkan suatu keadaan

kecemasan seperti kematian, perceraian, dilema etik, pindah

kerja sedangkan ancaman internal yang terkait dengan

kondisi psikologis yang dapat menyebabkan kecemasan

seseorang seperti gangguan hubungan interpersonal dalam

rumah tangga, menerima peran yang baru dalam berkeluarga

sebagai istri, suami atau sebagai ibu baru.

c) Sosial Budaya

Status sosial ekonomi seseorang dapat juga

mempengaruhi timbulnya stres yang akan berakibat terjadinya

kecemasan. Seseorang dengan status ekonomi yang kuat akan

susah mengalami stress dibandingkan dengan orang yang

mempunyai status ekonomi yang rendah.


33

c. Tanda dan Gejala Kecemasan

Kecemasan dapat menampilkan diri dalam berbagai tanda

dan gejala psikologik dan fisik. Tanda fisik kecemasan yang sering

timbul yaitu gelisah, sering kaget, insomnia, konstipasi, keringat

dingin, tegang, gemetar, berkunang - kunang, pucat, nyeri, suara tidak

stabil, prasangka buruk, sulit menelan, waspadaan yang berlebihan

serta pikiran mala petaka yang besar, ekspresi ketakutan, hipertensi,

dan penarikan diri dari masyarakat, ketakutan yang terjadi akibat

ancaman yang nyata atau dirasakan (Stockslager, 2012).

d. Alat Ukur Kecemasan

Dalam penelitian ini untuk menetukan tingkat kecemasan pasien

menggunakan skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale)

merupakan salah satu alat ukur untuk menilai tingkat kecemasan, yang

didasarkan pada munculnya syimtops pada individu yang mengalami

kecemasan.

Menurut skala HARS Nursalam (2013), penilaian kecemasan

terdiri atas 14 item, yaitu:

1) Perasaan cemas: firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

2) Ketegangan: merasa tegang, lesu, mudah terkejut, tidak bisa

istirahat dengan tenang, mudah menangis, gemetar, gelisah.

3) Ketakutan: pada gelap, ditinggal sendiri, pada orang asing, pada


34

inatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan banyak

orang.

4) Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun malam hari, tidak

pulas, mimpi buruk, mimpi menakutkan.

5) Gangguan kecerdasan: daya ingat buruk, sulit konsentrasi, sering

bingung.

6) Perasaan depresi: kehilangnya minat, sedih, bangun dini hari

berkurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah-ubah

sepanjang hari.

7) Gejala somatic (otot-otot): nyeri otot, kaku, kedutan otot, gigi

gemeretak, suara tak stabil.

8) Gejala sensorik: telinga berdengung, penglihatan kabur, muka

merah dan pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.

9) Gejala kardiovaskuler: denyut nadi cepat, berdebar-debar, nyeri

dada, denyut nadi mengeras, rasa lemah seperti mau pingsan,

detak jantung hilang sekejap.

10) Gejala pernapasan: rasa tertekan didada, perasaan tercekik, merasa

nafas pendek/sesak, sering menarik napas panjang.

11) Gejala gastrointestinal: sulit menelan, mual muntah, berat badan

menurun, konstipasi/sulit buang air besar, perut melilit, gangguan

pencernaan, nyeri lambung sebelum/sesudah makan, rasa panas

diperut, perut terasa penuh/kembung.

12) Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,


35

amenor/menstruasi yang tidak teratur.

13) Gejala vegetatif/autonom: mulut kering, muka kering, mudah

berkeringat, pusing/sakit kepala, bulu roma berdiri.

14) Apakah Ibu/Bapak merasakan: gelisah, tidak tenang, mengerutkan

dahi muka tegang, tonus/ketegangan otot meningkat, napas pendek

dan cepat, muka merah.

Adapun cara penilaiannya adalah setiap item yang diobservasi

diberi 5 tingkat skor, yaitu antar 0 (nol) sampai dengan 4, dengan

kategori sebagai berikut:

0 = Tidak ada gejala sama sekali

1 = Ringan satu dari gejala yang ada

2 = Sedang separuh dari gejala yang ada

3 = Berat lebih dari separuh yang ada

4 = Sangat berat semua gejala yang ada

Penentu derajat kecemasan ditentukan dengan cara

menjumlahkan nilai skor dari 14 item diatas dengan hasil sebagai

berikut (Nursalam, 2013) :

1) < 14 : tidak ada kecemasan

2) 4 - 20 : kecemasan ringan

3) 21 - 27 : kecemasan sedang

4) 28 - 41 : kecemasan berat

5) 42 - 56 : kecemasan sangat berat


36

e. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kecemasan

Menurut Rahayu (2017), faktor-faktor yang mempengaruhi

kecemasan keluarga adalah:

1) Faktor internal

a) Tahap perkembangan

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia

dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan

demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki

pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang

berbeda-beda.

b) Tingkat pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan

terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri dari

pengetahuan, latar belakang pendidikan dan pengalaman masa

lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir

seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-

faktor yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan

pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan

dirinya.

c) Faktor emosi

Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan

terhadap adanya dukungan dan cara melakukannya. Seseorang


37

yang mengalami respon stress dalam setiap perubahan

hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai tanda sakit,

mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa

penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya.

d) Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang

menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan yang

dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan

kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

2) Faktor Eksternal

a) Dukungan keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan

biasanya mempengaruhi penderita dalam melaksanakan

kesehatannya.

b) Faktor sosio-ekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko

terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang

mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Variabel

psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan

lingkungan kerja. Seseorang biasanya akan mencari dukungan

dan persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan

mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya.

Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan


38

lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang dirasakan.

Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa

ada gangguan pada kesehatannya.

c) Latar belakang budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai

dan kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan

termasuk cara pelaksanaan kesehatan pribadi.


39

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk oleh

generalisasi dari hal-hal yang khusus. Sedangkan kerangka konsep penelitian

pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin di

amati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmojo, 2012)

Variabel Independent Variabel Dependent

Status Ganggguan
Tingkat Kecemasan
Jiwa Halusinasi

Faktor yang
mempengaruhi
kecemasan :
Faktor internal
Perkembangan
Pengetahuan
Faktor emosi
Spiriual
Fakteor Eksternal
Dukungan keluarga
Budaya

Keterangan : __________ : Variabel Yang Diteliti


--------------- : Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian


Sumber : (Modifikasi Susanti, 2014 dan Lestari, 2013)
40

B. Hipotesis

Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang diharapkan

antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris (Notoatmodjo,

2018).

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. Ha : Ada pengaruh pengaruh status gangguan jiwa halusinasi terhadap

tingkat kecemasan pasien di Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2021.

2. Ho : Tidak ada pengaruh status gangguan jiwa halusinasi terhadap

tingkat kecemasan pasien di Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2021.

Anda mungkin juga menyukai