Anda di halaman 1dari 15

1

SINDROM NEFROTIK

A. Pengertian
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan
protein karena kerusakan glomerulus yang difus.
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi
dan penurunan fungsi ginjal.
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan klinik udema, proteinuria, hipoalbunemia,
hiperkolesteromia dan berhubungan dengan kelainan glomerulus akibat penyakit-penyakit
tertentu yang tidak diketahui.

Kejadian penyakit sindrom nefrotik terbanyak pada anak berumur antara 3-4 tahun
dengan perbandingan wanita: pria = 1:2.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

1. BENTUK DAN KEDUDUKAN GINJAL

Ginjal berbentuk seperti biji kacang, jumlah ada dua buah di sebelah kiri dan
kanan.
Ginjal terletak di daerah abdomen,retroperitoneal antara vertebra lumbal I dan IV ,
pada orang dewasa ginjal panjangnya 12 – 13 cm, berat 120 gram – 150 gram.

2. STRUKTUR GINJAL

Ginjal terdiri dari kortek dan medulla. Tiap ginjal terdiri atas 8 – 12 lobus yang
berbentuk piramid.Dasar piramid terletak pada korteks dan puncaknya disebut papila
bermuara di kaliks minor.Pada daerah kortek terdapat glomerulus, tubulus kontortus
proksimal dan distal.Sedangkan daerah medula penuh dengan percabangan pembuluh darah
arteri dan vena renalis, ansa henle dan duktus koligens.

Satuan terkecil dari ginjal disebut nefron.Tiap Ginjal mempunyai kira – kira 1 juta
nefron.Nefron terdiri atas gloimerulus, kapsuila bowman, tubulus kontortus proksimal,
ansa henle dan tubulus kontortus distal.Ujung dari nefron yaitu tubulus kontortus distal
bermuara di duktus koligens.Nefron yang terletak di daerah korteks disebut nefron kortikal,
sedangkan yang terletak diperbatasan dengan medula disebut nefron juksta medular
mempunyai ansa henle yang lebih panjang yang berguna terutama pada ekresi air dan
2

garam. Sebagian besar dari tubulus distal akan bersinggungan dengan arteriol aferen dan
eferen pada tempat masuknya kapsula bowman.Pada tempat ini sel tubulus distal menjadi
lebih rapat dari intinya lebih tegas disebut makula densa. Dinding arteriol aferen yang
bersinggungan mengalami perubahan dan mengandung granula yang disebut renin.

Daerah segitiga dengan batas-batas pembuluh aferen, eferen dan makula densa ini
disebut aparat juksta glomerular.

3. FISIOLOGI GINJAL

Fungsi ginjal terutama untuk membersihkan plasma darah dari zat – zat yang
tidak diperlukan tubuh terutama hasil – hasil metabolisme protein:
 Filtrasi plasma di glomerulus
 Reabsorbsi terhadap zat – zat yang masih diperlukan tubuh di tubulus.
 Sekresi zat – zat tertentu di tubulus.
Fungsi ginjal secara keseluruhan dapat dibagi dalaM 2 golongan :

1. Fungsi Eksresi
 Eksresi sisa metabolismedn protein.
 Regulasi volume cairan tubuh.
 Menjaga keseimbangan asam basa.
2. Funsi Endokrin
 Memproduksi renin (pengaturan tekanan darah) erytropoetin(merangsang sumsum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah.).
 Metabolisme vitamin D
Degradasi sistem perkemihan biasa ditemui insulin pada sel – sel tubular.

C. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten
terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah
pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan
biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
3

2. Sindrom nefrotik sekunder


Disebabkan oleh:
a. Malaria kuartana atau parasit lain.
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
c. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan
lebah, racun oak, air raksa.
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4
golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis
proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah :
1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Berat badan meningkat
3. Pembengkakan pada wajah, terutama disekitar mata
4. Pembengkakan pada labia / skrotum
5. Asites
6. Diare, nafsu makan menurun, absorbsi usus menurun  edema pada mukosa usus
7. Volume urine menurun, kadang – kadang berwarna pekat dan berbusa
8. Kulit pucat
9. Anak menjadi iritabel, mudah lelah / letargi
10. Celulitis, pneumonia, peritonitis atau adanya sepsis
11. Azotemia
12. TD biasanya normal / naik sedikit
E. Klasifikasi
Whaley dan Wong membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
4

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah.
Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila
dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis,
bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindrom Nefrotik Kongenital
Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi
yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah
edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian
dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

F. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

 Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerolus akan berakibat pada


kehilangan protein plasma dan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia sehingga tekanan onkotik plasma menurun maka cairan intravaskuler
berpindah keinterstisial dan perpindahan cairan tersebut juga mengakibatkan cairan
intravaskuler berkurang, sehingga aliran kerenal berkurang karena hipovolemi.
 Menurunnya aliran darah ke renal, maka ginjal melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi rennin-angiotensin dan peningkatan sekresi antidiuretik hormone
(ADH) dan sekresi aldosteron yang engakibatkan retensi natrium. Dengan retensi natrium
maka akan terjadi edema.
 Terjadi juga peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan
stimulasi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau penurunan onkotik plasma.
 Adanya hiperlipidemi juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati
sebagai kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam urine
( lipideuria )

 Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, yang disebabkan oleh karena
terjadinya hipoalbuminemia, hiperlipidemia atau defisiensi seng.

G. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
5

disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang


sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein
dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran
albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu
banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin.
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama
terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema
muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum
diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan
onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang
intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang
intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan.
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan
konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor
volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang
reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic
yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan
peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air
yang direabsorbsi akan memperberat edema.
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan
mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid,
dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak
yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat
menyebabkan arteriosclerosis.

A. EVALUASI DIAGNOSTIK

1. Diagnosis ditegakan berdasarkan riwayat penyakit dan manifestasi klinis


2. Konsentrasi total serum protein menurun : albumin menurun ( 2 g/dl) plasma lipid
meningkat
3. Serum kolesterol naik 450 –1500 mg / dl
6

4. Hb dan Ht biasanya normal atau meningkat


5. Jumlah platelet meninggi (500.000 – 1.000.000)  hemokonsentrasi
6. Konsentrasi serum sodium menurun  130 – 135 Meq / L
7. Biopsi Renal :
Memberikan informasi tentang status glomerulus dan type dari NS, serta respon dari obat.

H. Pemeriksaan Penunjang
1.      Laboratorium
a.       Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor,
sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin,
porfirin.

b.      Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium
biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan
dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran
jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat.
Albumin < 2,5 g / dl, kolesterol dan trigliserid meningkst.
2.      Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.

I. MANAGEMENT TERAPEUTIK

1. Mengurangi eksresi protein dalam urine dan mempertahankan urine terbatas dari protein
2. Mencegah infeksi akut
3. Mengontrol udem
4. Meningkatkan nutrisi
5. Mengembalikan penyesuaian dari gangguan proses metabolic
J. Penatalaksanan
1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak
berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan
tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari
dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan
edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein
yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang
7

persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus
mengandung 2-3 gram    protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami
anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus
dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut,
menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus
dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak
menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:
 Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai
efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan
sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan
cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau
diperpanjang, efek  samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan,
osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
 Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik
( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid. 
6. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan
mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma
intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
7. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami
infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang
menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
8. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan
harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
9. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan
penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit
ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi
8

dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua
sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan
frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan
di rumahn sakit.
K. Protokol Pengobatan
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
1. Sindrom nefrotik serangan pertama
a. Perbaiki keadaan umum penderita :
1) Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.
2) Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
3) Berantas infeksi.
4) Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
5) Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika
ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
b. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu  14 hari.

2. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


a. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
b. Perbaiki keadaan umum penderita.
1) Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
9

Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4
kali dalam masa 12 bulan.
 Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
 Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m 2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, prednison dihentikan.

2) Sindrom nefrotik kambuh sering


adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4
kali dalam masa 12 bulan.
 Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
 Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m 2/48 jam diberikan
selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,
kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48 jam
selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid
dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien
tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat
indikasi kontra steroid,  atau untuk biopsi ginjal.

L. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
10

3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.

 
11

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
 Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya  edema.
 Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan
berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
 Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema,
bengkak pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi ,
berkurang di siang hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi
pleura ),  pucat pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum,
urin berbusa ).
 Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah
merah, analisa darah untuk serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol )
jumlah darah, serum sodium.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L,
2004 : 550)
2. Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
4. Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
5. Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
6. Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
7. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
8. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.

C. Perencanaan Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L,
2004 : 550)
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan
intake dan output.
12

KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan,
tidak terjadi edema.
Intervensi:
1.      Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan
2.      Observasi perubahan edema
3.      Batasi intake garam
4.      Ukur lingkar perut
5.      timbang berat badan setiap hari
6.      kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya

2. Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)


Tujuan: Pola nafas adekuat
KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
1.      auskultasi bidang paru
2.      pantau adanya gangguan bunyi nafas
3.      berikan posisi semi fowler
4.      observasi tanda-tanda vital
5.      kolaborasi pemberian obat diuretik

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat,
mempertahankan berat badan
Intervensi:
1.      tanyakan makanan kesukaan pasien
2.      anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
3.      pantau adanya mual dan muntah
4.      bantu pasien untuk makan
5.      berikan makanan sedikit tapi sering
6.      berikan informasi pada keluarga tentang diet klien

4. Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).


Tujuan: tidak terjadi infeksi
13

KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit
dalam batas normal.
Intervensi:
1.      cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
2.      pantau adanya tanda-tanda infeksi
3.      lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif
4.      anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
5.      kolaborasi pemberian antibiotik

5. Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)


Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan,
mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
1.      pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
2.      rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
3.      anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
4.      berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien

6. Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)


Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
1.      inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
2.      berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
3.      ubah posisi tidur setiap 4 jam
4.      gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.

7. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).


Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa
harga diri negatif
Intervensi:
1.      gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
14

2.      dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi


3.      berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak
8. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan: tidak terjadi diare
KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
1.      observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
2.      identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
3.      berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
15

Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines
for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih
bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.

Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta: EGC.

Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process


(Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter
Anugrah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai