KEPERAWATAN KOMUNITAS
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT, pencipta alam semesta, tidak
lupa sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammmad saw. Karena
atas rahmat dan karunianya tugas kami dengan mata kuliah Keperawatan Komunitas
dengan judul “ DZIKIR SEBAGAI TERAPI PENYEMBUHAN GANGGUAN JIWA”
ini dapat saya selesaikan. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Demikianlah makalah ini saya susun. Dengan harapan dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, semua kritik dan saran senantiasa kami harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini agar menjadi lebih baik.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam hal pengobatan penyakit jiwa Kh.S.S. Djam’an mengatakan sebagai berikut:
“Bahan pengobatan dalam Psikosomatik atau penyakit jiwa yang ditimbulkan oleh
ketegangan jiwa, hanya dapat diobati oleh agama (agama Islam)”. Dalam keyakinan umat
Islam terhadap Al-Qur’an yaitu sebagai kitab suci juga sebagai pedoman dasar untuk segala
aspek termasuk salah satu diantaranya mengenai kesehatan dan pengobatan.
Orang selalu berdzikir (mengingat Allah) dapat mengontrol anggota badannya untuk
tetap disiplin, ucapannya sesuai dengan perbuatannya, lahiriyah sesuai dengan batinnya,
karena Allah Swt selalu dekat dan ingat kepada-Nya. Dengan selalu ingat kepada Allah Swt
dan melaksanakan ajaran agama dengan khusyu’ dan ikhlas, maka didalam diri manusia tidak
akan terjadi konflik batin, kesedihan yang berlarut-larut, rasa putus asa dan sifat-sifat lain
yang merugikan bagi diri sendiri.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dan
mengkajinya lebih mendalam. maka peneliti tertarik untuk melakuakan penelitian dengan
judul “Dzikir Sebagai Terapi Penyembuhan Gangguan Jiwa”, yaitu untuk mengetahui dan
menjelaskan dzikir.
1. Bagaimana Makna, hakikat dan manfaat dzikir pada pasien gangguan jiwa?
1.3. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui Makna dan Hakikat Dzikir serta manfaat dzikir menjadi terapi
gangguan jiwa
2. Tujuam Khusus :
Mampu menjelaskan makna, hakikat, dan hubungan dzikir menjadi terapi gangguan
jiwa
BAB II
PEMBAHASAN
Gangguan jiwa menurut Aula (2019) merupakan suatu keadaan dimana individu
mengalami kesulitan dengan persepsinya terhadap kehidupan, kesulitan dalam menjalin
hubungan dengan orang lain, serta kesulitan dalam menentukan sikap bagi dirinya
sendiri. Menurut UU Nomor 18 (2014) orang dengan gangguan jiwa atau sering disingkat
dengan ODGJ adalah individu yang mengalami gangguan dengan pikiran, perasaan dan
perilakunya yang dimanifestasikan dengan bentuk gejala dan atau perubahan perilaku
yang bermakna, serta dapat menyebabkan penderitaan serta hambatan dalam menjalankan
fungsi sebagai manusia.
Kognisi adalah keadaan mental individu yang mana individu tersebut dapat menyadari
dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya. Gangguan kognisi terdiri dari
beberapa macam yaitu :
b. Gangguan asosiasi
c. Gangguan perhatian
Gangguan perhatian yaitu gangguan pada proses kognitif yang meliputi pemusatan
pikiran atau konsentrasi.
d. Gangguan ingatan
e. Gangguan psikomotor
Gangguan psikomotor adalah gangguan pada aspek motoric individu, dimana biasanya
berupa peningkatan aktifitas, penurunan aktifitas, aktifitas yang dilakukan tidak sesuai,
aktivitas yang diulang-ulang, sikap agresif dan lain sebagainya.
f. Gangguan kemauan
Gangguan kemauan adalah keadaan dimana individu tidak dapat mempertimbangkan dan
memutuskan keinginan-keinginan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
C. Penyebab
Gangguan jiwa dapat disebabkan karena ketidak mampuan indivdu melaksanakan
tugas dalam proses perkembangannya. Dalam proses perkembangan individu akan
menemukan berbagai macam permasalahan dan perubahan yang harus dihadapi, dan
apabila individu tidak dapat mengatasi permasalahan dan perubahan yang terjadi serta
tidak dapat beradaptasi dalam proses perkembangannya maka dapat memicu terjadinya
gangguan jiwa (Nyumirah, 2012).
Selain hal diatas menurut Rinawati & Alimansur (2016) gangguan jiwa juga
diakibatkan karena beberapa factor yaitu sebagai berikut:
a. Usia
Gangguan jiwa dapat dialami oleh individu dengan berbagai usia. Usia Dewasa
merupakan masa-masa produktif individu dimana individu harus dapat
menyesuaikan diri dan menjadi mandiri. Semakin dewasa seseorang maka semakin
bertambah pula tanggung jawab yang dipikul oleh individu. Individu dengan usia
dewasa akan membentuk sebuah keluarga yang mana akan ada pertambahan
tanggung jawab dan masalah yang dihadapi individu akan semakin kompleks, karena
masalah-masalah yang terjadi juga dapat berasal dari keluarga individu. Oleh karena
itu usia dewasa merupakan usia yang lebih beresiko untuk mengalami gangguan
jiwa.
b. Pekerjaan
Orang yang tidak bekerja memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami
gangguan jiwa dibandingkan orang yang bekerja. Individu yang tidak bekerja akan
cenderung tidak memiliki penghasilan serta tanggung jawab beban serta tuntutan
yang ditanggung semakin hari akan semakin besar. Individu yang tidak bekerja juga
tidak dapat melakukan aktualisasi diri pada kesehariannya. Individu yang tidak
bekerja lebih berisiko mengalami gangguan pada harga dirinya serta dapat memicu
terjadinya gangguan jiwa.
c. Factor predisposisi biologis
Individu yang sudah pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya memiliki resiko
yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan jiwa di masa depan. Individu yang
pernah mengalami gangguan jiwa walaupun sudah sembuh akan tetapi masih akan
banyak stigma-stigma negatif di masyarakat tentang individu tersebut, sehingga
masyarakat akan melakukan penolakan kepada individu. Penolakan dari masyarakat
inilah yang dapat memicu terjadinya atau kambuhnya gangguan jiwa yang dialami
oleh individu, oleh sebab itu orang yang pernah mengalami gangguan jiwa
sebelumnya lebih rentan untuk mengalami gangguan jiwa di masa depan
dibandingkan individu yang tidak pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya.
d. Kepribadian yang tertutup.
Individu yang memiliki kepribadian tertutup cenderung menghadapi dan menyimpan
permasalahannya sendiri tanpa ingin diketahui oleh orang lain. Sehingga lama
kelamaan masalah yang disimpan sendiri akan menumpuk, ketika permasalahan
menumpuk sedangkan individu tidak mendapatkan solusi untuk masalah tersebut
individu akan mengalami kebingungan dan dapat mengakibatkan depresi, oleh
karena itu kepribadian tertutup merupakan salah satu factor pencetus gangguan jiwa.
e. Putus obat
Sebagian besar orang dengan gangguan jiwa haruslah mengkonsumsi obat seumur
hidupnya, jika individu tidak mengkonsumsi obatnya ataupun putus mengkonsumsi
obat akan memicu terjadinya kekambuhan pada gangguan jiwa.
2.2 Dzikir
A. Pengertian
Secara etimologi dzikir berasal dari kata dzakara artinya mengingat,
memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti dan
mengingat (Afif Anshori, Dzikir dan Kedamaian Jiwa 2003, h.166). Dzikir berasal dari
berasal kata dzakara yang berati mengingat, mengisi atau menuangi, artinya, bagi orang
yang berdzikir berarti mencoba mengisi dan menuangi pikiran dan hatinya dengan kata-
kata suci.
Dalam kamus tasawuf yang ditulis oleh Solihin dan Rosihin Anwar menjelaskan
dzikir merupakan kata yang digunakan untuk menunjuk setiap bentuk pemusatan pikiran
kepada tuhan, dzikir pun merupakan prinsip awal untuk seseorang yang berjalan menuju
tuhan (suluk).
Secara terminologi dzikir adalah usaha manusia untuk mendekatkan diri pada
Allah dengan cara mengingat Allah dengan cara mengingat keagungan-Nya. Adapun
realisasi untuk mengingat Allah dengan cara memuji-Nya, membaca firman-Nya,
menuntut ilmu-Nya dan memohon kepada-Nya (Al-Islam, Muamalah dan Akhlak,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h.187).
Dzikir menurut tuntunan syariat Islam dan Al-Qur’an adalah menyebut nama, dan
mengingat Allah dalam setiap keadaan. Tujuan nya adalah untuk menjalin ikantan batin
(kejiwaan) antara hamba dengan Sang Pencipta (Khalik) sehingga timbul rasa cinta
hormat dan jiwa muroqobah (merasa dekat dan diawasi oleh Allah). Maka dengan zikir
iman seseorang jadi hidup, terjalin rasa kedekatan dengan Allah . Adapun menyebut dan
mengucapkan nama Allah atau ungkapan “laa ilaha illa„llah” adalah untuk meneguhkan
ingatan hamba pada Allah. Dzikir bisa diucapkan keras ataupun diam-diam (dalam hati);
akan tetapi yang terlebih baik menurut kebanyakan pendapat mereka lisan dan hati
seharusnya dipadukan
B. Macam – Macam Dzikir
a) Dzikir lisany (dzikir lidah): menyebut nama Allah dengan lidah,bunyinya berupa
kalimat Subhanallah, Alhamdulillah Shalawat dan Istigfar, Asma’ul Husna, dzikir ini
poin pahalanya paling rendah dibandingkan dengan macam dzikir yang lainnya. Dan
dzikir ini ada yang menyebutnya zikir Syari’at.
b) Dzikir Qalbi (dzikir hati): menyebut nama Allah dengan hati kalimat tasbih
(Subhanallah), tahlil (Lailahaillallah), takbir (Allah Akbar), tahmid (Alhamdulillah),
taqdis, hauqolah, tarji’, Istigfar. Dzikir ini pahalanya bisa mencapai 70 kali lipat atau
lebih dibandingkan dengan dzikir lisan, karena zikir qalbi tidak diketahui orang lain
sehingga keikhlasan dapat lebih terjaga.
c) Dzikir Aqli (pikiran): memikirkan makna, arti, maksud yang terkandung dalam
kalimat-kalimat dzikir. Dzikir ini disebut juga tafakkur (memikirkan) dan tadabur
(merenungkan) yaitu merenungkan keesaan Allah dan kekuasaan Allah sebagaimana
mungkin yang tersurat dalam kalimat dzikir yang diucapkan.
d) Dzikir Ruhy (zikir roh): kembalinya fitrah atau asal kejadiannya saat berada dalam
arwah, menyaksikan dan membuktikan wujud makrifah, dan ini tingkatan dzikir
tertinggi.6 firman Allah dalam Al-Qur’an (QS Al-Baqarah [2]: 152) yang dapat
dijadikan sebagai dalil disyari’atkannya dzikir, yang artinya “Karena itu, ingatkah
kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 152).
Sedangkan pembagian dzikir secara garis besar meliputi :
1) Dzikir lisan dan hati, yakni dengan mengucapkan kalimat-kalimat dzikir, dan
merenungkan serta mengingat Allah dengan hati.
2) Dzikir perbuatan, yakni dengan berbuat kebaikan dan beramal sholeh dengan
mengingat kebesaran Allah. Beberapa ahli memberikan penjelasan tentang bentuk-
bentuk dzikir yang diterapkan dalam kehidupan tashawuf, para ahli tersebut
diantaranya, Sukamto dalam Afif Anshori membagi dzikir kedalam empat jenis
yaitu sebagai berikut :
a) Dzikir membangkitkan daya ingat,
b) Dzikir kepada hukum Ilahi,
c) Dzikir-dzikir mengambil pelajaran atau peringatan
d) Dzikir meneliti proses alam.
C. Tujuan Dzikir
Dzikir merupakan kunci latihan untuk selalu mengenal diri kepada Allah sehingga
bila seseorang semakin mengenal Allah (ma’rifat) maka akan semakin kuat keimanan dan
kecintaannya kepada Allah. Tujuan dzikir antara lain yaitu akan membuahkan
ketenangan batin, kemantapan jiwa, dan dapat memberi semangat untuk selalu berkarya
(amal Shaleh), menimbulkan ketenangan, kemantapan dan semangat. Tujuan tersebut
terdapat dalam Al-Qur’an QS. Ar-Ra’d [13]: 28, yang memiliki arti :“(yaitu) orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat nama Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).
Sedangkan menurut M. Zain Abdullah, dzikir bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, agar selalu mengingatNya dan untuk memperoleh keridloanNya.
D. Manfaat Dzikir :
Seseorang yang berdzikir akan merasakan beberapa manfaat, selain merasakan
ketenagan batin, juga terdapat manfaat-manfaat yang lain yaitu :
a. Dzikir merupakan ketetapan dan syarat kewalian. Artinya siapa yang senangtiasa
berdzikir kepada Allah maka akan bisa mencapai derajat kekasih Tuhan.
c. Dzkir akan membuat hijat dan menciptakan keikhlasan hati yang sempurna.
f. Meluangkan hati.
Dzikir juga bermanfaat sebagai pembersih hati. Dzikir merupakan lawan kelalaian
(nisyan), jika manusia mengingat Allah dalam keadaan apapun dan menyadari dirinya
ada dihadapan dzat suci, tentu akan menahan diri dari masalah – masalah yang tidak
sesuai dengan keridhaan-Nya, dan mengendalikan diri agar tidak bersikap durhaka.
Semua malapetaka dan penderitaan yang timbulkan oleh hawa nafsu dan setan,
disebabkan oleh kelupaan akan Allah. Ingat Allah dapat mebersihkan hati dan
mensucikan jiwa.
Menurut Zuhri, dzikir dapat menjernihkan dan menghidupkan kalbu. Kalbu dapat
menjadikan kotoran disebabkan dosa dan lalai, maka dengan dzikir dan istigfar akan
menjernihkan sekaligus menghidupkan kalbu, kalbu yang lupa bagaikan kalbu yang mati.
Membahas tentang dzikir pada tinjauan kesehatan mental atau Psikologi berasal
dari dua bahan pertimbangan. Pertama, dzikir adalah mempunyai dua makna yang dalam
bagi pembangunan pribadi. Dengan kata lain pembangunan pribadi menyumbang
kemantapan psikologis yang besar dalam kesehatan psikologis. Kedua, dzikir untuk
berbagai tujuan tertentu, seperti : mencapai puncak kesadaran, pembangunan konsentrasi,
kejelasan dari pengamatan, kebebasan dari dogma, yaitu kejelasan dari pikiran, tidur
tenang, kebebasan dari kekacauan yang disebabkan Dari sekitar kita, menaklukan dari
syahwat, dan kontrol dari sakit. Dzikir tidak terbatas di dalamnya, sebagai peran satu
praktik religius, tetapi dapat kita pahami lebih spesifik pada tujuan dari pembangunan
pribadi, memimpin pada status “sesuatu yang pintas akan menjadi pantas”.
Orang awam yang tidak terlatih atau tidak memahami makna dari berdzikir, ketika
disentuh oleh pedihnya kehidupan akan mudah menangis, mendapat sesuatu yang
menyakitkan hati akan meratap. Berbeda dengan meraka yang terlatih dari suatu laku
dzikir, ketika disentuh oleh pedihnya kehidupan tidak ada yang ditangisi, atau sesuatu
yang menyakitkan hati ia tidak mudah meratap, karena mereka para pelaku dzikir
mengalami dua macam perasaan yakni adanya sesuatu yang hidup dan suatu kehidupan.
Orang yang istiqomah melakukan dzikir ketika disentuh dengan kehidupan yang
pedih dia tidak akan pernah menangis karena ia merasakan hanya satu macam rasa pada
metalnya yang telah menyatu dengan kesadaran tertinggi. Kini para ahli terapi atau
konsultan psikologis/ psikiater mulai menganjurkan, sedang berusaha mencapai pada
usaha peningkatan manajemen psikologis dari pasiennya. Antara lain, mengutip laporan
sebenarnya penggunaan kesadaran sebagai psikoterapi untuk pasien yang dianggap kronis
( Kabat Zin, Lipworth, dan Burney, 1985).
Dasar pemikiran ini memberikan sumbangan pada ilmu pengetahuan di mana tentang
berdzikir ini bila dihubungkan pada kenyataan yang telah tersirat dari kebenaran manfaat
dzikir, yang juga dijelaskan bahwa berdzikir dapat diperbolehkan untuk penyembuhan
atau terapi mental yang berguna untuk memfokuskan pada kekacauan mental yang
timbul.
Maksud dari “Dzikir Mengurangi Kebencian” adalah suatu nilai usaha untuk
memusatkan pada rasa tidak nyaman. Atau perasaan yang menimbulkan benci atau tidak
enak dari berbagai stimuli sehingga kita dapat menyesuaikan diri (empati) dari suatu
keadaan.
Prinsip dari mengurangi kebencian adalah memunculkan bentuk pengenalan yang
kuat. Syahwat dan keserakahan tidak dipimpin oleh psikologis kita dan dapat mengatasi
segala kesulitan hidup. Beberapa contoh menunjukan bahwa pada bentuk badan manusia
menjadi bagian sebagai upaya untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada tubuh, yaitu
meliputi syahwat. Satu contoh disini dapat digambarkan pada orang yang sering berdzikir
melakukan kontrol pada makan nya. Misalnya, satu kali makan dalam satu harinya dan
cara mengunyah yang lembut, hal ini bukan untuk melatih sesuatu untuk dimanjakan,
melainkan suatu metode membuka jalan pada suatu keadaan yang seimbang, sikap sehat
dalam makan, dan kegiatan ini sangatlah jelas seperti halnya berpuasa, dan banyak
literatur kesehatan menjalani tentang berpuasa itu sehat. Manfaat ini digambarkan pula
saat kita berdzikir, yang dalam prakteknya berpengaruh pula pada kesehatan dan dapat
menjadi suatu usaha dan proses terapi dan perlindungan dari penyakit dari diri.
Salah satu aspek kesehatan psikologis pembangunan suatu sikap yang positip ke arah
lain. Misalnya, mental dengki akan berkurang akan menghapus marah dan kebencian.
Penanaman mental positip adalah satu fitur utama pada praktek meditasi.
Usaha dalam pembentukan mental positip pada diri ini merupakan suatu sistem
pendekatan yang tersusun dan diperlukan suatu usaha kesadaran diri untuk meraihnya
dengan ikhtiar. Pada spesifik yang dimaksud, dzikir yang mengarahkan pada penggunaan
suatu yang dianjurkan adalah dengan niat yang baik hati dan pikiran yang bersih, serta
diarahkan dengan segala aspek yang disenangi orang dan dikagumi. Lebih efektif nya
kita juga harus manjalani perintah agama dan menjauhi larangan agama. Dzikir
merupakan suatu pengembangan berpikir untuk menciptakan mental yang positip dan
perilaku yang baik pada semua makhluk hidup.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sesuai dengan rumusan masalah mengenai “Dzikir Sebagai Terapi Penyembuhan Gangguan
Jiwa”, ada beberapa hal yang dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Orang yang mengenal Allah adalah orang yang senantiasa tekun berdzikir dan memalingkan
hatinya dari kesenangan-kesenangan dunia yang fana, sehingga Allah menjaga dan
melindunginya dalam semua urusannya. Hal ini tidak mengherankan. Sebab, barang siapa
bersabar, dia pasti akan berhasil. dan barangsiapa terus mengetuk pintu, maka pintu itu akan
dibukakan baginya.
3.2. Saran :
Kehidupan modern menuntut manusia untuk dapat secara maksimal mengembangkan
kemampuan dan potensi yang dimilikinya, untuk berpartisipasi aktif dalam kemajuan yang
berorientasi penuh pada teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Berikut ini
beberapa saran yang dapat peneliti kemukakan, yaitu:
Kh.S.S.Djam’an, Islam dan Psikosomatik (Penyakit Jiwa) (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 7
Aulia, Agama Dan Kesehatan Badan/Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 12.
Abdul Qayyum. Surat-Surat Al-Ghazali Terj. Haidar Bakir. Bandung: Mizan, 1989
Terapi Relaksasi Dzikir untuk Mengurangi Depresi. Indonesian Journal of Islamic Couseling
Prodi BKI IAIN Parepare Volume 3 Nomor 1, (2021) 1-9
Rizki Joko Sukmono, Psikologi zikir, ( Jakarta: Sriguntig 2008), h. 133
Afif Anshori. Dzikir Demi Kedamaian Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Al-Khomeini. Syarh Arbain Haditsan Terjemah Zaenal Abidin. Hadits Telaah atas Hadits Mistik
dan Akhlak. Bandung: Mizan Pustaka, 2004.
Kartini Kartono dan Jenny Andri. Hygine Mental Dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung:
Mandar Maju, 1989.
Heath C, Sommerfield A, von Ungern-Sternberg BS. Resilience strategies to manage
psychological distress among healthcare workers during the COVID-19 pandemic: a narrative
review. Anaesthesia. 2020; 75(10):1364–71. https://doi.org/10.1111/anae.15180 PMID:
32534465
Sulistyawati RA, Probosuseno, Setiyarini S. Dhikr Therapy for Reducing Anxiety in Cancer
Patients. Asia Pac J Oncol Nurs 2019;6:411-6
Thong, Liberzon I. Stress and anxiety disorder. In: Hormone, brain, and Behavior. Vol. 5. USA:
Elsevier Science; 2011.