Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

“SEJARAH,TREND & ISSUE KEPERAWATAN JIWA GLOBAL”


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
Dosen : Fajriyah Nur Afriyanti

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

MUTIARA RAHMA SAFITRI 11221052


NITA 11221055
PINGKAN SETIAWAN 11221058
PUTRI UTAMI KARMILA S 11221059

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN REG 15B


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PERTAMEDIKA
Jl. Bintaro Raya No.10, RT.4/RW.10, Tanah Kusir, Kec. Kby. Lama, Kota Jakarta Selatan,
DKI Jakarta 12240 (021) 7232122
TA 2023/2024
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan
mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem
pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas.
American Nurses Association mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu
bidang spesialisasi bidang keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai
ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya (Stuart,2013).

Masalah kesehatan jiwa masyarakat dewasa saat ini semakin meningkat, yaitu
dengan semakin meningkatnya tindak kekerasan, tingginya kenakalan remaja,
meningkatnya penyalahgunaan NΑΡΖΑ, meningkatnya tawuran, pengangguran dan
perselingkuhan juga merupakan faktor penyebab gangguan jiwa di masyarakat. Untuk
penanganan masalah ini, masyarakat perlu mendapatkan informasi yang luas tentang
kesehatan jiwa baik dalam permasalahan maupun pencegahan dan penangananya.

Untuk menangani masalah kesehatan jiwa tersebut di perlukan peran tenaga


kesehatan khususnya perawat kesehatan jiwa, dengan cara melibatkan peran serta
masyarakat untuk menangani masalah tersebut dengan membentuk kader kesehatan jiwa
yang bertugas untuk mendata masalah kesehatan jiwa dimasyarakat mulai dari deteksi
dini masyarakat yang sehat jiwa, yang beresiko mengalami masalah gangguan jiwa,
sampai yang mengalami gangguan jiwa berat, sehingga seluruh masalah kesehatan jiwa di
masyarakat dapat diatasi.

Menurut WHO (World Health Organization), masalah gangguan jiwa di dunia ini
sudah menjadi masalah yang semakin serius. Paling tidak, ada satu dari empat orang di
dunia ini mengalami gangguan jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di
dunia ini ditemukan mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data statistik, angka pasien
gangguan jiwa memang sangat mengkhawatirkan.
Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966, Kesehatan Jiwa adalah suatu
keadaan yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal
dari seseorang dan perkembangan ini selaras dengan dengan orang lain.

Di era globalisasi ini seringkali kita jumpai masalah-masalah yang kita hadapi,
masalah tersebut bisa berasal dari faktor-faktor internal dan eksternal. Tidak semua
individu memiliki koping yang efektif, setiap invidu biasanya mempunyai cara sendiri
untuk menyelesaikan masalahnya, tapi jika ada sebagaian individu yang tidak dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri akan dapat mengakibatkan gangguan jiwa salah
satunya adalah halusinasi.

Halusinasi adalah penyerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan


dari luar yang dapat meliputi semua panca indera dan terjadi disaat individu sadar penuh
(Depkes dalam Dermawan & Rusdi, 2013)

Halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang tidak


berhubungan dengan stimulasi nyata yang orang lain tidak mendengarnya (Dermawan &
Rusdi, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengetahui Konsep Dasar Keperawatan Jiwa
2. Mengetahui Sejarah Perubahan Kesehatan Jiwa Abad 18, Abad 19, dan Abad 20
3. Mengetahui Perkembangan Kesehatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
4. Mengetahui Perkembangan Keperawatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
5. Mengetahui Peran Perawat Jiwa
6. Mengetahui Perkembangan Masalah Kesehatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
7. Tren dan Issue Kesehatan Jiwa Terkini
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Keperawatan Jiwa
2. Untuk Mengetahui Sejarah Perubahan Kesehatan Jiwa Abad 18, Abad 19, dan Abad
20
3. Untuk Mengetahui Perkembangan Kesehatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
4. Untuk Mengetahui Perkembangan Keperawatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
5. Untuk Mengetahui Peran Perawat Jiwa
6. Untuk Mengetahui Perkembangan Masalah Kesehatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
7. Untuk Tren dan Issue Kesehatan Jiwa Terkini
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Keperawatan Jiwa


Untuk menjadi individu yang produktif dan mampu berinteraksi dengan
lingkungan sekitar kita harus memiliki jiwa yang sehat. Individu dikatakan sehat jiwa
apabila berada dalam kondisi fisik, mental, dan sosial yang terbatas dari gangguan
(penyakit), tidak dalam kondisi tertekan sehingga dapat mengendalikan stres ang timbul.
Kondisi ini akan memungkinkan individu untuk hidup produktif, dan mampu melakukan
hubungan sosial yang memuaskan. Dalam melakukan peran dan fungsinya seorang
perawat dalam memberikan asuhan keperawatn harus memandang manusia sebagai
mahluk biopsikososiospiritual sehingga pemilihan model keperawatan dalam
menerapkan asuhan keperawtan sesuai dengan paradigma keperawatan jiwa. Manusia
sebagai mahluk biopsikososiospiritual mengandung pengertian bahwa manusia
merupakan mahluk yang utuh dimana didalamnya terdapat unsur biologis, psikologis,
sosial dan spiritual.Sebagai mahluk biologis, manusia tersusun dari berjuta-juta sel-sel
hidup yang akan membentuk satu jaringan, selanjutnya jaringan akan bersatu dan
membentuk organ serta sistem organ. Sebagai mahluk psikologi, setiap manusia
memiliki kepribadian yang unik serta 9 memiliki struktur kepribadian yang terdiri dari
id, ego dan super ego dilengkapi dengan daya pikir dan kecerdasan, agar menjadi pribadi
yang selalu berkembang. Setiap manusia juga memiliki kebutaha psikologis seperti
terhindar dari ketegangan psikologis, kebutaha akan kemesraan dan cinta, kepuasan
altruistik (kepuasan untuk menolong orang lain tanpa imbalan), kehormatan serta
kepuasan ego. Sedangkan sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri,
manusia selalu ingin hidup dengan orang lain dan membutuhkan orang lain.selain itu
manusia harus juga menjalin kerja sama dengan manusia lain untuk memenuhi
kebutuhan dan tuntutan hidup. Manusia juga dituntut untuk mampu bertingkah laku
sesuai dengan harapan norma yang berlaku dilingkungan sosialnya. Sebagai mahluk
spritual, manusia mempunyai keyakinan dan mengakui adanya Tuhan yang Maha Esa,
memiliki pandangan hidup, dorongan hidup yang sejalan, dengan sifat religius yang
dianutnya.
1. Definisi Sehat Jiwa
WHO : suatu kondisi sejahtera secara fisik, sosial dan mental yang lengkap dan tidak
hanya terbebas dari penyakit arau kecacatan. Atau dapat dikatakan bahwa individu
dikatakan sehat jiwa apabila berada dalam kondisi fisik, mental dan sosial yang
terbebas dari gangguan (penyakit) atau tidak dalam kondisi tertekan sehingga dapat
mengendalikan stress yang timbul. Sehingga memungkinkan individu untuk hidup
produktif,dan mampu melakukan hubungan sosial yang memuaskan.

UU Kesehtan Jiwa 18 Tahun 2014 : adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spritual dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Coba anda
diskusikan dengan teman anda, carilah devinisi lain mengenai sehat jiwa menurut ahli
yang lain.

2. Ciri-ciri Sehat Jiwa (Mental)


Berikut ini akan dijelaskan ciri sehat jiwa menurut beberapa ahli, diantaranya:
a. Yahoda
Yahoda mencirikan sehat jiwa sebagai berikut:
1) Memiliki sifat positif terhadap diri sendiri
2) Tumbuh, berkembang dan beraktualisasi
3) Menyadari adanya integrasi dan hubungan anatar masa lalu dan sekarang.
4) Memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan dan tidak bergantung pada
siapapun
5) Memiliki persepsi sesuai dengan kenyataan
6) Mampu menguasai lingkungan dan beradaptasi
b. WHO (World Health Organisation/Organisasi Kesehatan Dunia )
Pada tahun 1959 dalam sidang di Geneva, WHO memiliki kriteria sehar sebagai
berikut:
1) Individu mampu menyelesaikan diri secara konstruktur pada kenyataan,
meskipun kenyataan itu buruk baginya.
2) Memperoleh kepuasan dari hasil jerih paya usahanya.
3) Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4) Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress), cemas dan depresi.
5) Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolongmenolong dan saling
memuaskan.
6) Mampu menerima kekecewaan sebagai pelajaran yang akan datang 7)
Mempunyai rasa kasih sayang.
c. MASLOW:
Maslow mengatakan individu yang sehat jiwa memiliki ciri sebagai berikut:
1) Persepsi Realitas yang akurat.
2) Menerima diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3) Spontan.
4) Sederhana dan wajar.

2.2 Sejarah Perubahan Kesehatan Jiwa Abad 18, Abad 19, dan Abad 20
(blom beres)
2.3 Perkembangan Kesehatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
2.3.1 Sejarah Perkembangan Kesehatan Jiwa di Dunia
Awal Mula:
 Zaman Kuno: Gangguan jiwa dianggap sebagai akibat dari roh jahat atau kutukan.
Pengobatannya melibatkan ritual magis atau pengusiran setan.
 Abad Pertengahan: Orang dengan gangguan jiwa dikurung di rumah sakit jiwa
atau dipenjara. Perawatannya sering kali brutal dan tidak manusiawi.
 Abad ke-18: Reformasi dimulai dengan gerakan moral yang menekankan pada
perawatan yang lebih manusiawi dan lingkungan yang terapeutik. Tokoh penting:
Philippe Pinel (Prancis) dan William Tuke (Inggris).
 Abad ke-19: Klasifikasi penyakit mental mulai dikembangkan. Tokoh penting:
Emil Kraepelin dan Eugen Bleuler.
 Abad ke-20: Perkembangan psikoanalisis (Sigmund Freud), penemuan obat-
obatan psikotropika, gerakan anti-stigma, dan fokus pada pendekatan psikososial.

2.3.2 Sejarah Perkembangan Kesehatan Jiwa di Indonesia


Awal Mula:
 Zaman Prasejarah: Gangguan jiwa dikaitkan dengan roh halus. Pengobatannya
melibatkan ritual adat dan pengobatan tradisional.
 Zaman Kolonial Belanda: Didirikannya rumah sakit jiwa pertama di Bogor
(1826) dengan fokus pada penahanan dan keamanan.
 Awal Kemerdekaan: Kurangnya perhatian dan sumber daya untuk kesehatan
jiwa. Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa masih tinggi.
 Orde Baru: Peningkatan fokus pada kesehatan jiwa dengan pembangunan rumah
sakit jiwa di berbagai daerah.
 Reformasi: Lahirnya Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 2014 yang
menekankan pada hak-hak orang dengan gangguan jiwa dan pendekatan yang lebih
komprehensif.
Sejarah perkembangan kesehatan jiwa di dunia dan Indonesia menunjukkan
kemajuan yang signifikan. Dari masa yang penuh stigma dan diskriminasi, kini
kesehatan jiwa menjadi isu yang semakin penting dengan fokus pada perawatan
yang lebih manusiawi dan komprehensif. Masih banyak tantangan yang harus
dihadapi, namun dengan upaya yang berkelanjutan, diharapkan kualitas hidup
orang dengan gangguan jiwa dapat terus meningkat.
 Beberapa organisasi yang berperan dalam pengembangan kesehatan jiwa di
Indonesia:
 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
 Ikatan Psikiater Indonesia (IPI)
 Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI)
 Yayasan Pulih
 Organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya yang fokus pada kesehatan jiwa

2.4 Perkembangan Keperawatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia


2.4.1 Sejarah Perkembangan Keperawatan Jiwa di Dunia
1. Zaman Mesir Kuno
Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya roh
jahat yang bersarang diotak. Oleh karena itu, cara menyembuhkannya dengan
membuat lubang pada tengkorak kepala untuk mengeluarkan roh jahat yang
bersarang diotak tersebut. Hal ini terbukti dengan ditemukannya lubang dikepala
pada orang yang pernah mengalami gangguan jiwa. Selain itu, ditemukan pada
tulisan Mesir Kuno tentang siapa saja yang pernah kena roh jahat dan sudah
dilubangi kepalanya. Tahun-tahun berikutnya, pasien yang mengalami gangguan
jiwa diobati dengan dibakar, dipukuli, atau dimasukkan dalam air dingin dengan
cara diajak jalan melewati sebuah jembatan lalu diceburkan dalam air dingin
dengan maksud agar terkejut, yakni semacam syok terapi dengan harapan agar
gangguannya menghilang. Hasil pengamatan berikutnya diketahui ternyata orang
yang menderita skizofrenia tidak ada yang mengalami epilepsi (kejang atau
hyperplasia). Padahal penderita epilepsi setelah kejangnya hilang dapat pulih
kembali. Oleh karenanya, pada orang skizofrenia dicoba buat hyperplasia dengan
membuat terapi kejang listrik (elektro convulsive theraphy).
2. Zaman Yunani (Hypocrates)
Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu penyakit. Upaya
pengobatannya dilakukan oleh dokter dan orang yang berdoa untuk
mengeluarkan roh jahat. Pada waktu itu, orang sakit jiwa yang miskin
dikumpulkan dan dimasukkan dalam rumah sakit jiwa. Jadi, rumah sakit jiwa
lebih banyak digunakan sebagai tempat penampungan orang gangguan jiwa yang
miskin, sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok.Sementara orang kaya yang
mengalami gangguan jiwa dirawat dirumah sendiri. Pada tahun 1841, Dorothea
Line Dick melihat keadaan perawatan gangguan jiwa. la tersentuh hatinya,
sehingga berusaha memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa. Bersamaan dengan
itu, Herophillus dan Erasitratus memikirkan apa yang ada dalam otak, sehingga
ia mempelajari anatomi otak pada bintang. Khale kurang puas hanya
mempelajari otak, sehingga ia berusaha mempelajari seluruh system utuh hewan.
3. Zaman Vasalius
Vasalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi hewan saja,
sehingga la ingin mempelajari otak dan system tubuh manusia. Namun,
membelah kepala manusia untuk dipelajari merupakan hal yang mustahil, apalagi
mempelajari system tubuh manusia. Akhirnya, la berusaha mencuri mayat
manusia untuk dipelajari. Sayangnya kegiatannya tersebut diketahui masyarakat,
sehingga la ditangkap, diadili, dan diancam hukuman mati (pancung). Namun, ia
bisa membuktikan bahwa kegiatannya itu untuk kepentingan keilmuan, maka
akhirnya ia dibebaskan, Varsalius bahkan dapat penghargaan karena bisa
menunjukan adanya perbedaan antara manusia dan binatang. Sejak saat itu dapat
diterima bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit. Namun kenyataannya,
pelayanan dirumah sakit jiwa tidak pernah berubah. Orang yang mengalami
gangguan jiwa dirantai, karena petugasnya khawatir dengan keadaan pasien.
4. Revolusi Prancis I
Philipe Pinel, seorang direktur RS Bicetri Prancis, berusaha memanfaatkan
revolusi perancis untuk membebaskan belenggu pada pasien jiwa. Revolusi
Prancis ini dikenal dengan revolusi humanism dengan semboyan utamanya
"Liberty, Equality, Fraternity", la meminta kepada walikota agar melepaskan
belenggu untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya, walikota menolak. Namun,
pinel menggunakan alasan revolusi, yaitu "jika tidak, kita harus siap diterkam
binatang buas yang berwajah. manusia". Perjuangan ini diteruskan oleh murid-
murid pinel sampai Revolusi ke 2.
5. Revolusi Kesehatan Jiwa II
Dengan diterimanya gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka terjadilah
perubahan orientasi pada argono biologis. Pada saat ini, Qubius menuntut agar
gangguan jiwa masuk dalam bidang kedokteran. Oleh karena itu, gangguan jiwa
dituntut mengikuti paradigma natural sciences, yaitu adalah taksonomi
(penggolongan penyakit) dan nosologi (ada tanda atau gejala penyakit).
Akhirnya, Emil Craepelee mampu membuat penggolongan dari tanda-tanda
gangguan jiwa. Sejak saat itu, kesehatan jiwa terus berkembang dengan berbagai
tokoh dan spesfikasinya. masingmasing.
6. Revolusi Kesehatan Jiwa III
Pola perkembangan pada Revolusi Kesehatan Jiwa II masih. berorientasi
pada berbasis rumah sakit (hospital base), maka pada perkembangan berikutnya
dikembangkanlah basis komunitas (community base) dengan adanya upaya pusat
kesehatan mental komunitas (community mental health centre) yang dipelopori
oleh J.F. Kennedy pada saat inilah disebut revolusi kesehatan jiwa.

Perkembangan keperawatan jiwa di dunia dan Indonesia menunjukkan


kemajuan yang signifikan. Saat ini, perawat jiwa memainkan peran penting dalam
memberikan perawatan yang holistik dan berpusat pada pasien bagi orang dengan
gangguan jiwa.
2.4.2 Sejarah Perkembangan Keperawatan Jiwa di Indonesia
Di Indonesia sejak dulu sudah dikenal adanya gangguan jiwa, misalnya
dalam cerita Mahabrata dan Ramayana dikenal adanya "Srikandi Edan", 'Gantot
Gaca Gandrung". Bila beberapa tindakan terhadap penderita gangguan Jiwa
sekarang dianggap sebagai warisan dari nenek moyang kita, maka kita dapat
membayangkan sedikit bagaimanakah kiranya paling sedikit sebagalan dari jumlah
penderita gangguan jiwa itu ditangani pada jaman dulu. Adapun tindakan yang
dimaksud adalah dipasung, dibiarkan berkeliaran di desa, sambil mencari makanan
dan menjadi totonan masyarakat malahan ada kalanya diperlukan sebagai orang
sakti, mbah wali atau medium (perantara antara roh dan manusia).
1. Zaman Kolonial
Sebelum ada Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, para gangguan jiwa
ditampung di RS sipil atau RS militer di Jakarta, Semarang, Surabaya. Yang
ditampung pada umumnya penderita gangguan jiwa berat. Ternyata tempat RS
yang disediakan tidak cukup. Tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda
mengadakan sensus terhadap penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura,
hasilnya ada kira-kira 600 orang penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan
Madura, 200 orang lagi didaerah-daerah lain. Keadaan demikian untuk penguasa
pada waktu itu sudah ada cukup alasan untuk membangun RS jiwa. Maka pada
tanggal 1 Juli 1882, dibangun Rumah Sakit Jiwa pertama dibogor, kemudian
berturut-turut RSJ Lawang (23 Juni 1902), RSJ Magelang (1923) dan RSJ Sabang
(1927). RSJ ini tergolong RS besar dan menampung pederita gangguan jiwa
menahun yang memerlukan perawatan lama. Pemerintah Hindia Belanda
mengenal 4 macam tempat perawatan. penderita psikiatrik yaitu:
a. RS Jiwa (kranzinnigengestichten) Di Bogor, Magelang, Lawang, dan
Sabang, RSJ terus penuh, sehingga terjadi penumpukan pasien di RS
sementara, tempat tahanan sementara kepolisian dan penjara- penjara. Maka
dibangunlah "aanexinrichtingen" pada RS Jiwa yang sudah ada seperti di
Semplak (Bogor) tahun 1931 dan Pasuruan (dekat Lawang) tahun 1932.
b. RS Sementara (Doorgangshuizen) Tempat penampungan sementara bagi
pasien psikotik yang akut, dipulangkan setelah sembuh, yang perlu perawatan
lebih lama dikirim ke RS Jiwa yang didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya,
Ujung Pandang, Palembag, Bali, Padang, Banjarmasin, Manado, dan Medan.
c. Rumah Perawatan (Veerplegtehuiizen) Berfungsi sebagai RS jiwa tetapi
dikepalai seorang perawat berijazah dibawah pengawasan dokter umum.
d. Koloni Tempat penampungan pasien psikiatrik yang sudah tenang pasien
dapat berkerja dalam bidang pertanian serta tinggal di rumah penduduk, tuan
rumah diberi uang kos, dan masih berada dibawah pengawasan.
b. Zaman Setelah Kemerdekaan
Membawa babak baru bagi perkembangan usaha kesehatan jiwa, Oktober
1947 Pemerintah RI membentuk jawatan Urusan Penyakit Jiwa, karena masih
terjadi revolusi fisik maka belum dapat bekerja dengan baik. Pada tahun 1950
pemerintahan RI menugaskan untuk melaksanakan halhal yang dianggap penting
bagi penyelenggaraan dan pembinaan kesehatan jiwa di Indonesia, Jawatan ini
bernaung dibawah Departemen Kesehatan; tahun 1958 diubah menjadi Urusan
Penyakit Jiwa; 1960 menjadi Bagian Kesehatan Jiwa; pada tahun 1966 menjadi
Direktorat Kesehatan Jiwa yang sampal sekarang dipimpin oleh Direktur
Kesehatan Jiwa atau Kepala Direktorat Kesehatan Jiwa. Direktorat Kesehatan
Jiwa menyempurnakan struktur organisasinya menjadi Dinas, yang diubah
menjadi Subdirektorat Peningkatan (promosi), Subdirektorat pelayanan dan
pemulihan, Subdirektorat Rehabilitasi serta Subdirektorat pengembanga Program.
Dengan ditetapkannya UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 oleh pemerintah,
maka lebih terbuka untuk menghimpun semua potensi guna secara bertahap
melaksanakan modernisasi semua sistem rumah sakit serta fasilitas kesehatan
jiwa di Indonesia. Direktorat Kesehatan Jiwa mengadakan kerjasama dengan
berbagai instansi pemerintah dan dengan fakultas kedokteran, badan kedokteran,
badan internasional, seminar nasional dan regional asia serta rapat kerja nasional
serta daerah. Adanya. pembinaan sistem pelaporan, tersusunnya PPDGJ I tahun
1973 dan diterbitkan tahun 1975 serta integrasi dalam pelayanan kesehatan
dipuskesmas. Pihak swastapun lebih memikirkan masalah kesehatan jiwa,
terutama dikota-kota besar.
Di Jakarta, kemudian di Jogjakarta dan Surabaya serta beberapa kota lainnya
didirikan sanatorium kesehatan jiwa. RSU Pemerintah dan RS ABRI
menyediakan tempat tidur untuk pasien gangguan jiwa dan mendirikan bagian
pskiatri, demikian pula RS Swasta seperti RS St. Carolus di Jakata RS Gunung
Maria (minahasa). Di Jakarta dan Surabaya telah didirikan pusat kesehatan jiwa
masyarakat. Metode pengobatan penderita gangguan jiwa telah banyak
mengalami kemajuan dari jaman ke jaman. Evolusi ini merupakan cerminan dari
perubahan dasar-dasar filosofi dan teori tentang pengobatan.
a. Awal Sejarah Gangguan Jiwa masih dianggap sebagai penyakit yang tidak
dapat disembuhkan dan berkaitan dengan dosa atau kejahatan, sehingga
terkadang pengobatan yang dilakukan bersifat brutal dan tidak manusiawi.
b. Abad Pertengahan Orang yang mengalami gangguan Jiwa biasanya
dipenjara/dikurung oleh keluarganya. Bahkan mereka dibuang dan dibiarkan
hidup dijalanan dengan mengemis. Namun setelah ada beberapa kelompok
agama yang memberikan sumbangan, para penderita mulai disalurkan
kerumah sakitrumah sakit.
c. Abad ke 15-17 Kondisinya masih memprihatikan penderita laki-laki dan
perempuan disatukan. Mereka mendapat pakaian dan makanan yang tidak
layak, bahkan sering dirantai, dikurung, dan dijauhkan dari sinar matahari,
d. Abad ke 18 Terjadi revolusi Perancis dan Amerika yang memberikan inspirasi
pada masyarakat luas akan kebebasan serta perlakuan yang adil untuk semua.
e. Abad ke 19 Didirikan Rumah Sakit Jiwa pertama, McLean Asylum di
Massachusetts yang memberikan pengobatan secara manusiawi pada penderita
Gangguan Jiwa.
f. Abad ke 20 Disebut Era psikiatri, karena para medis mulai menggali basis
Gangguan Jiwa secara ilmu dan klinik, seperti:
 Adolphmeyer (1866-1950) dengan teori psikobiologi
 Cliffordbeers (1876-1943) yang menulis artikel mengenai intensif
 Emill Krapelin (1856-1926) dengan kisifikasi Gangguan Jiwanya
 Eugene Bleuler (1857-1939) yang menemukan istilah Skizofrenia
 Sigmund Freud (1856-1939) yang mengembangkan teori Psikoanalisis,
Psikoseksual, dan Neurolosis
 Carll Gustav (1857-1961)
 Karen Horny (1885-1952)
Kesehatan Jiwa berkembang pesat pada perang dunia II karena. menggunakan
pendekatan metode pelayanan publik Health service. Konsekuensinya, peran
perawat Jiwa juga berubah dari peran pembantu menjadi peran aktif dalam tim
kesehatan untuk mengobati penderita Gangguan Jiwa lebih difokuskan pada basis
komunitas. Pada masa kini, perawatan penderita Gangguan Jiwa Ini sesuai
dengan hasil konferensi Nasional I Keperawatan Jiwa (Oktober 2004) bahwa
pengobatan akan lebih difokuskan dalam hal tindakan prefentif. Beberapa jurnal
menunjukkan bahwa tindakan prefentif sangat penting.
Awal Mula:
 Awal Abad ke-20: Keperawatan jiwa di Indonesia dimulai dengan peran
perawat dalam merawat pasien di rumah sakit jiwa, seperti Rumah Sakit Jiwa
Bogor.
 Tahun 1950-an: Didirikannya Akademi Keperawatan Jiwa di beberapa kota
besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
 Tahun 1980-an: Lahirnya organisasi profesi keperawatan jiwa, yaitu Ikatan
Perawat Jiwa Indonesia (IPJI).
 Saat Ini: Keperawatan jiwa di Indonesia terus berkembang dengan fokus pada
peningkatan kualitas pendidikan, penelitian, dan praktik keperawatan jiwa.

2.5 Peran Perawat Jiwa


Peran perawat jiwa sangatlah penting dalam memberikan asuhan keperawatan yang
holistik dan berpusat pada pasien bagi orang dengan gangguan jiwa. Berikut adalah
beberapa peran perawat jiwa:
1. Pemberi Asuhan Keperawatan:
 Melakukan pengkajian kesehatan jiwa yang komprehensif untuk memahami
kebutuhan pasien.
 Menyusun rencana asuhan keperawatan yang individual dan sesuai dengan
kebutuhan pasien.
 Melaksanakan tindakan keperawatan, seperti pemberian obat, terapi perilaku
kognitif, dan edukasi kesehatan jiwa.
 Memantau kondisi pasien dan melakukan evaluasi secara berkala.
2. Advokat dan Pendukung:
 Membela hak-hak pasien dan memastikan mereka mendapatkan perawatan yang
sesuai dengan standar.
 Memberikan dukungan emosional dan membantu pasien dalam menghadapi
stigma dan diskriminasi.
 Membantu pasien dalam mengembangkan keterampilan hidup dan meningkatkan
kualitas hidup mereka.
3. Pendidik dan Pemberi Informasi:
 Memberikan edukasi kesehatan jiwa kepada pasien, keluarga, dan masyarakat.
 Meningkatkan kesadaran tentang kesehatan jiwa dan membantu menghilangkan
stigma.
 Memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan lain tentang perawatan kesehatan
jiwa.
4. Kolaborator:
 Bekerja sama dengan tim kesehatan mental lainnya, seperti psikiater, psikolog, dan
pekerja sosial, untuk memberikan perawatan yang komprehensif.
 Berkolaborasi dengan keluarga dan komunitas untuk mendukung pemulihan
pasien.
5. Peneliti:
 Berperan dalam penelitian keperawatan jiwa untuk meningkatkan kualitas praktik
dan pelayanan.
 Menerapkan hasil penelitian terbaru dalam praktik keperawatan.

 Peran perawat jiwa dapat bervariasi tergantung pada setting tempat kerjanya,
Contohnya:
1. Perawat jiwa di rumah sakit jiwa: Memberikan perawatan langsung kepada pasien
yang dirawat inap.
2. Perawat jiwa di puskesmas: Memberikan layanan kesehatan jiwa di tingkat
komunitas, seperti skrining, promosi kesehatan, dan pencegahan gangguan jiwa.
3. Perawat jiwa di klinik kesehatan mental: Memberikan terapi individu, kelompok,
dan keluarga.
 Perawat jiwa harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas dalam
bidang kesehatan jiwa, termasuk:
 Psikiatri
 Psikologi
 Terapi perilaku kognitif
 Psikoterapi
 Farmakologi
 Komunikasi
 Keterampilan interpersonal
 Perawat jiwa memainkan peran penting dalam membantu orang dengan gangguan
jiwa untuk mencapai pemulihan dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
 Tantangan yang dihadapi perawat jiwa:
 Beban kerja yang berat
 Kurangnya dukungan
 Stigma dan diskriminasi
 Keterbatasan sumber daya
Meskipun ada banyak tantangan, peran perawat jiwa sangatlah penting dan mulia.
Perawat jiwa membantu orang dengan gangguan jiwa untuk mendapatkan kembali
harapan dan menjalani hidup yang lebih baik.

2.6 Perkembangan Masalah Kesahatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia


2.6.1 Perkembangan Masalah Kesehatan Jiwa di Dunia
kesehatan mental menjadi satu dari sederet masalah kesehatan yang paling
disoroti oleh banyak orang di belahan dunia. Ini mrupakan temuan dalam survei
Ipsos Global yang bertajuk Health Service Monitor 2023.
Riset itu menunjukkan, sebanyak 44% responden dari 31 negara di dunia menilai
bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan.
Disusul kanker di posisi kedua sebagai masalah kesehatan terbesar bagi 40%
responden. Berkelidan dengan masalah mental, stres mengekor di urutan ketiga
sebagai masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan oleh 30% responden.
Ada pula yang lebih mengkhawatirkan masalah kesehatan terkait gaya hidup, seperti
obesitas, penyalahgunaan minuman narkoba, diabetes, hingga penyalahgunaan
minuman keras. Sementara, responden yang menyoriti masalah kesehatan berupa
penyakit jantung, covid-19, efek merokok, demensia, penyakit menular seksual
(PMS), serta hospital superbugs atau bakteri di rumah sakit memiliki proporsi yang
lebih rendah.
 Berikut rincian 14 masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan menurut
responden global (Juli-Agustus 2023):
1. Kesehatan mental: 44%
2. Kanker: 40%
3. Stres: 30%
4. Obesitas: 25%
5. Penyalahgunaan narkoba: 22%
6. Diabetes: 18%
7. Penyalahgunaan minuman keras: 17%
8. Penyakit jantung: 15%
9. Covid-19: 15%
10. Merokok: 12%
11. Demensia: 8%
12. Penyakit Menular Seksual (PMS): 4%
13. Bakteri di rumah sakit: 3%
14. Masalah kesehatan lainnya: 2%

2.6.2 Perkembangan Masalah Kesehatan Jiwa di Indonesia


Pada masa jaman kolonial Belanda, para penderita ganguan jiwa ditampung
di rumah sakit sipil atau militer. Semakin banyak jumlah penderita gangguan jiwa,
mendorong pemerintah pada saat itu untuk mendirikan Rumah Sakit Jiwa pertama di
Bogor pada tanggal 1 Juli 1882 (sekarang RSJ Marzoeki Mahdi). Selanjutnya di
Lawang (23 Juni 1902), RSJ Magelang (1923), RSJ Sabang (1927). Namun sangat
disayangkan, setelah Jepang menduduki Indonesia perkembangan kesehatan jiwa
sempat mengalami kemunduran, bahkan RSJ yang berada di Sabang hancur. Selama
tahun 1940 sampai dengan 1990 terjadi berbagai gerakan perubahan kesehatan
mental, diantaranya :
1. Tahun 1946: peluncuran Undang-Undang Kesehatan Mental.
Perubahan yang terjadi: Terbentuknya farmasi institut nasional kesehatan mental
yang mendukung penelitian tentang intervensi, diagnosa psikiatri, dan
pencegahan serta pengobatan gangguan jiwa.
2. Tahun 1961: Komisi Presiden kesehatan dan gangguan jiwa.
Perubahan yang terjadi: Dukungan legislatif untuk pendidikan bagi tenaga
profesi kesehatan jiwa termasuk perawat, pekerja sosial, psikiatri, dah psikolog.
3. Tahun 1963: Peluncuran Undang-Undang tentang pusat kesehatan jiwa
masyarakat.Perubahan yang terjadi: Deinstitusionalisasi klien gangguan jiwa
kronik. Pindah dari institusi (RSJ) ke pusat rehabilitasi masyarakat.
4. Tahun 1970-1980: munculnya minat pada aspek biologi dan neurobiologi daari
gangguan jiwa dan pengobataannya. Perubahan yang terjadi: Munculnya
generasi ketiga obat psikotropika popularitas terapi biologi meningkat.
5. Tahun 1990-an: dekade otak.
Perubahan yang terjadi:
 Semakin berkembangnya neurobiologi dan teknologi.
 Identifikasi penelitian-penelitian diagnostik yang inovatif khususnya untuk
skizoprenia dan gangguan mood.
6. Tahun 1990-awal abad ke-20: terjadinya perubahan pada ekonomi dan sosial
reformasi pelayanan kesehatan.
Perubahan yang terjadi:
 Meningkatnya jumlah tunawisma.
 Kurangnya dukungan dana legislatif untuk pencegahan primer, sekunder dan
tersier.
 Epidemik global AIDS.
 Perlunya pemberian pelayanan kesehatan yang sistematis.
 Berkembangnya resiko tinggi gangguan jiwa pada wanita hamil.
 Kekerasan pada wanita anak-anak, orang tua, dan pengguna obat-obat
terlarang.

2.7 Trend dan Issue dalam Keperawatan Jiwa Terkini


Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang
hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap ancaman
atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional
maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya
adalah sebagai berikut :

1. Kesehatan Jiwa Dimulai Sejak Masa Konsepsi


Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat
onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak
gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat
fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa
berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus
dimulai dari masa pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan
masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang
akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental
seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada
pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk
menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa
lingkungan luar yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat
meningkatkan risiko menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang
menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan
neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti
berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara
rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering
dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan
dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat
dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang
mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah
berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi,
kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.

2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa


Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah
penderita sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus
meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan pejabat
dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan psikotik dan
depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter
di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun
usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta
bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga
menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan
yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan,
gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis
menyebabkan merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja,
rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan
penyakit jiwa pada anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan
nonfisik. Trauma nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau
masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang
menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang
kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan
dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.

3. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa


Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan
salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan
kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO),
masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah
yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di
dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di
dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan
jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang
mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena
bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya
bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal.
Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri)
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan
penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic.
Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit
infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-
lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah
dalam pola pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara
anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan
sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan,
problem orangtua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di
lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor
keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
4. Kecenderungan situasi di era globalisasi
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut
mampu memberikan askep yang profesional dan dapat mempertanggung jawabkan
secara ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di
bidang keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global
harus membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan
pemanfaatan teknologi komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.

5. Perubahan Orientasi Sehat


Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
keperawatan adalahtersedianya alternatif pelayanan danpersaingan penyelenggaraan
pelayanan.(persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat “jiwa”) harusmempunyai
standar global dalam memberikanpelayanan kesehatan, jika tidak inginketinggalan.
Fenomena masalah kesehatan jiwa, indicatorkesehatan jiwa di masa mendatang bukan
lagi masalahklinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkanberorientasi pada
konteks kehidupan sosial. Fokuskesehatan jiwa bukan hanya menangani orang
sakit,melainkan pada peningkatan kualitas hidup. Jadikonsep kesehatan jiwa buka lagi
sehat atau sakit, tetapikondisi optimal yang ideal dalam perilaku dankemampuan
fungsi socialParadigma sehat Depkes, lebih menekankan upayaproaktif untuk
pencegahan daripada menunggu diRS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada
pencegahan(preventif) dan promotif. Penangan kesehatan jiwabergeser dari hospital
base menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg diperalat oleh
orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang diperalat/ memperalat diri
sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari semua aktivitas ekonomi maupun
politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang
perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk
mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan,
narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa batas.
d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi
yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggung jawab
dalam kehidupan masyarakat. Untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat,
kuncinya : Setiap orang harus meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin
terciptanya kondisi sehat yang sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada
orang lain merupakan orientasi paradigma kesehatan jiwa.

6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“
(Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health
Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi.
Standar pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah
angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah
bukan masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe
Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara
internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak
menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan
kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa
dalam kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi
kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi
berupa rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari.
Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang
terjadi), pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana
alam, (gempa dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha
untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang
disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta
Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia menyatakan,
gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia
yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir penderita ini
akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada diantara mereka yang
berkali-kali telah mengalami pengalaman katastropik yaitu saat daerah tersebut ada
dalam kondisi berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa
sesudahnya. Kondisi itu memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga
kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip,
terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga
menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang.
Akibatnya, tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh,
namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan
berada dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa
seakan-akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami
bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma
muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi
tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami
Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan
kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan menjadi
saksi berbagai macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di daerah
ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus
proses kejiwaan yang bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar
dari lingkaran ingatan traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang
mengalami bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri
pernah mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan,
karena direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam
periode yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan
mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan
tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk
ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi
dari orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada
orang lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa
psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat ia secara tak sadar
melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang
terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat
psikoanalis, atau siapapun juga yang melakukan wawancara dengan korban.

7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder


Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma
yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan stress
berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian. Mereka
menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi
tidak produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual,
trauma muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.

8. Meningkatnya Masalah Psikososial


Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling
berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu Kedokteran Jiwa (psychitri),
secara garis besar masalah kesehatan jiwa digolongkan menjadi :
a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas, hidup
yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan nilai-nilai kehidupan
manusia, misalnya:
1) Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan manusia,
mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita, anak, remaja,
dewasa, usia lanjut.
2) Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan disabilitas.
3) Pemukiman yang sehat.
4) Pemindahan tempat tinggal.
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai aikbat
terjadinya perubahan sosial, misalnya :
1) Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu
ketertiban/keamanan lingkungan).
2) Pemasungan penderita gangguan jiwa.
3) Masalah anak jalanan.
4) Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
5) Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).
1) Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi nafkah, korban
kekerasaan pada anak dan lain-lain).
2) Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali merasakan
kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam, ledakan, kekerasaan,
penyerangan/penganiyaan secara fisik atau seksual, termasuk pemerkosaan,
terorisme dan lain-lain).
3) Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat
terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress pascatrauma,
dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik,
gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan, perubahan
minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya ingat, dll).
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga kerja,
penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).

9. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja


Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam
Sejak tahun 1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang diantaranya meninggal
akibat bunuh diri. Sedangkan untuk negara Austria, Denmark, dan Inggris, rata-rata
25 orang. Urutan pertama diduduki Jerman dengan angka 37 orang per 100.000
penduduk. Di Amerika tiap 24 menit seorang meninggal akibat bunuh diri. Jumlah
usaha bunuh diri yang sebenarnya 10 kali lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat
tertolong. Kini yang mengkhawatirkan trend bunuh diri mulai tampak meningkat
terjadi pada anak-anak dan remaja.
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering diberitakan
bahwa warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri (menikam atau merobek
perut sendiri) sering dilakukan bawahan untuk melindungi nama baik atasannya.
Sebagai contoh, sekretaris pribadi mantan Perdana Menteri Takeshita melakukan
bunuh diri, ketika skandal suap perusahaan Recruits Cosmos terbongkar pada tahun
1984 atau yang paling terkenal kasus bunuh dirinya sopir pribadi mantan Perdana
menteri Tanaka, ketika skandal suap Lockheed terbongkar. Sang sopir menusuk
perutnya, demi menjaga kehormatan pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan
bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau terjadi dalam seiap 40
detiknya. Bunuh diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia
15-34 tahun, selain faktor kecelakaan.

10. Masalah Napza dan HIV/AIDS


Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak
dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal
terpenting yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat
hukum yang lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi
backing, ditambah dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan
pemakai, sehingga dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih
bertindak tegas terhadap pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin
menigkat untuk masa yang akan datang khususnya dalam era globalisasi. Dalam era
globalisasi tersebut terdapat gerakan yang sangat besar yang disebut dengan istilah
“Gerakan Kafirisasi“.
Bila beberapa dekade yang lalu kita mengenal istilah zionisme, maka dengan
ini sejalan dengan globalisasi kita berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang
disebut dengan Neozionisme, sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan dunia
global yang sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang mereka anggap
sebagai kepalsuan, racun, dan dogmatis fundamentalis.
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya wajah kaum
beragama, utamanya umat muslim, mereka menuduh umat islam sebagai
fundamentalis, ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah
mengatakan : “Musuh Barat terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam“. Salah satu
program mereka adalah menghancurkan islam melalui penghancuran generasi
mudanya dengan cara menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya
(NAPZA).Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi
yang tersimpan dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang berusia 15-25
tahun melalui NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah membunuh 30
orang perbulannya. Masalah lainnya muncul seiring dengan merebaknya pemakaian
NAPZA. Menjelang tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4
orang permenit. Ini merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya
peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil menyelamatkan
generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika, Alkohol, psikotropika,
dan Zat Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen terbesar dari seluruh tim
kesehatan, maka upaya-upaya pengcegahan dan penatalaksanaan keperawatan
menjadi hal yang sangat penting karena perawat senantiasa berada di sisi klien dalam
rentang waktu yang lama di banding tim kesehatan lainnya. Melalui forum presentasi
orientasi keperawatan jiwa kami berusaha memaparkan suatu topik dengan tema
Asuhan Keperawatan pada Pengguna NAPZA

11. Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa


Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini pola asuh
keluarga menjadi sorotan. Pola asuh yang baik adalah pola asuh dimana orang tua
menerapkan kehangatan tinggi yang disertai dengan kontrol yang tinggi. Kehangatan
adalah bagaimana orang tua menjadi teman curhat, teman bermain, teman yang
menyenangkan bagi anak terutama saat rekreasi, belajar, dan berkomunikasi.
Adakalanya kehangatan diwujudkan dengan mendekap, mencium, menggendong atau
mengajak anak menjalajahi alam sambil belajar. Kehangatan adalah upaya-upaya
yang dilakukan orang tua agar anak dekat dan berani bicara pada orang tuanya pada
saat anak mendapatkan masalah. Orang tua menjadi teman dalam express feeling anak
sehingga anak menjadi sehat jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan mengenal
disiplin di rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat penting dalam
kesehatan jiwa. Anak mandiri terbiasa menyelesaikan masalahnya, ia akan memiliki
self confidence yang cukup. Contoh kontrol yang diterapkan orang tua adalah kapan
anak harus bangun pagi, kapan belajar, kapan anak berlatih memakai kaos kaki
sendiri, makan sendiri dan berpakaian secara mandiri. Orang tua juga melatih anak
bertanggung jawab mengerjakan tugas-tugas di rumah seperi mencuci, menyiram
bunga, dan sebagainya.
Tipe pola asuh :
a. Autoriatif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol yang tinggi dan
kehangatan tinggi.
b. Otoriter : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol tinggi dan
kehangatan rendah.
c. Permisif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah dan
kehangatan tinggi.
d. Neglected : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah dan
kehangatan rendah

12. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan


Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat Indonesia
semakin terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah, lingkungan buruk, kurang
gizi, mudah terigitasi, kekebalan menurun dan infrastruktur yang masih rendah
menyebabkan banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Masalah
ekonomi merupakan masalah yang paling dominant menjadi pencetus gangguan jiwa
di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa saat terjadi kenaikan BBM selalu disertai
dengan peningkatan dua kali lipat angka gangguan jiwa. Hal ini diperparah dengan
biaya sekolah yang mahal, biaya pengobatan tak terjangkau dan penggusuran yang
kerap terjadi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keperawatan jiwa di dunia dimulai pada zaman mesir kuno, dimana gangguan jiwa
dianggap disebabkan karena adanya roh jahat yang bersarang diotak. Perkembangan
keperawatan jiwa didunia terus berkembang dengan menggali dari beberbagai teori dasar
yang telah dibuat oleh ilmuan dibidang psikologi dan lebih menerapkan pelayanan
prefentif. Dimasa ini juga ditemukan kencenderungan seorang anak yang terlahir dari
orang tua mengalami gangguan jiwa cenderung akan untuk mengalami gangguan jiwa pula
dimasa mendatang. Perkembangan keperwatan jiwa di Indonesia tidak diketahui secara
pasti diperlakukan seperti apa
Namun, pada masa jaman kolonial Belanda, para penderita ganguan jiwa ditampung
di rumah sakit-rumah sakit sipil atau militer. Semakin tahun penderita gangguan jiwa terus
bertambah sehingga mengharuskan untuk pemerintah membangun rumah sakit jiwa yang
pertama di Bogor pada tanggal 1 Juli 1882 (sekarang RSJ Marzoeki Mahdi). Selanjutnya
di Lawang (23 Juni 1902), RSJ Magelang (1923), RSJ Sabang (1927). Namun sangat
disayangkan, setelah Jepang menduduki Indonesia perkembangan kesehatan jiwa sempat
mengalami kemunduran. Pemerintah Indonesia terus memperbaiki pelayanan penderita
gangguan jiwa terbukti dengan adanya UU Kesehatan Mental dan memberi dukungan
dengan memberikan pendidikan bagi tenaga kesehatan jiwa.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini penyusun berharap agar pembaca khususnya tenaga
kesehatan lebih memahami Sejarah Keperawatan Jiwa baik di dunia maupun di Indonesia
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B. A., (2011) Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN –Basic Course)
Jakarta EGC
JIWA, A. S. G. (2021). BAB I SEJARAH KEPERAWATAN JIWA DAN
KEPERAWATAN JIWA GLOBAL. KEPERAWATAN JIWA MENGENAL
KESEHATAN MENTAL, 1.
Maulana, I., Suryani, S., Sriati, A., Sutini, T., Widianti, E., Rafiah, I., ... & Senjaya, S.
(2019). Penyuluhan Kesehatan Jiwa untuk Meningkatkan Pengetahuan Masyarakat
tentang Masalah Kesehatan Jiwa di Lingkungan Sekitarnya. Media Karya Kesehatan,
2(2).

Keperawatan Jiwa: Teori dan Praktik (Stuart & Laraia, 2016)


Pengantar Keperawatan Jiwa (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2018)
Jurnal Keperawatan Jiwa Indonesia
Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing

http://repository.unika.ac.id/13294/5/12.60.0248%20Christina%20Thiveny%20Putrianti
%20BAB%20IV.pdf

Perkembangan Psikiatri dan Kesehatan Jiwa:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3181932/

Ikatan Perawat Jiwa Indonesia: http://repository.unika.ac.id/13294/5/12.60.0248%20Christina


%20Thiveny%20Putrianti%20BAB%20IV.pdf

World Health Organization: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-


disorders

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/05/kesehatan-mental-masalah-kesehatan-
yang-paling-dikhawatirkan-warga-dunia-2023

Anda mungkin juga menyukai