Anda di halaman 1dari 40

KONSEP SEHAT SAKIT

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Kesehatan Mental Lansia
yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri M. PH dan
dr. Tisnalia Mahendra S. KM

Oleh:
Ayu Nindhi Kistianita

(130612607859)

Heri Setiawan

(130612607838)

Tahani Ratna Adiba

(130612607854)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
Januari 2015

Daftar Isi
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1 Latar belakang.....................................................................................................
1.2 Rumusan masalah.................................................................................................
1.3 Tujuan...................................................................................................................
BAB 2. PEMBAHASAN..........................................................................................
2.1 Pengertian sehat dan sakit.................................................................................
2.1.1 Pengertian sehat................................................................................................
2.1.2 Pengertian sakit.................................................................................................
2.2 Perilaku sehat.....................................................................................................
2.2.1 Bentuk perilaku.................................................................................................
2.2.2 Batasan perilaku sehat.......................................................................................
2.5 ..............................................................................................................................
2.6 ..............................................................................................................................
BAB 3. PENUTUP ...................................................................................................
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................
Daftar Pustaka............................................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia mempunyai sebuah kesehatan dimana
seseorang merasa baik dengan fisik dan mentalnya lebih tepatnya sehat yaitu suatu
kondisi yang bebas dari berbagai jenis penyakit baik secara fisik, mental, maupun
sosial. Konsep Sehat adalah keadaan normal yang sesuai dengan standar yang
diterima berdasarkan kriteria tertentu, sesuai jenis kelamin dan komunitas
masyarakat sekitarnya.
Pandangan sebagian besar individu dalam masyarakat mengenai kesehatan
dan pelayanan kesehatan masih rendah. Hal ini tentunya akan mempengaruhi
setiap perilaku sehat-sakit yang dimiliki oleh individu tersebut. Sebagian besar
masyarakat belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat dari tenaga medis
karena pelayanan kesehatan medis yang tidak merata. Hal ini banyak ditemukan
pada daerah-daerah terpencil yang belum dapat dijangkau oleh tenaga kesehatan.
Selain itu masalah biaya juga menjadi alasan bagi masyarakat untuk tidak mencari
pelayanan kesehatan medis. Namun di lain pihak, bagi beberapa individu,
kesehatan merupakan hal yang sangat penting.
Untuk itu, beberapa orang rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
untuk

memperoleh

kesehatan

dalam

diri

mereka.

Perilaku sehat-sakit dari setiap individu tentunya akan berbeda. Dapat dilihat dari
bagaimana individu dalam sebuah kelompok sosial menjalankan pola hidupnya.
Pola hidup dari setiap kelompok sosial tentunya akan berbeda sesuai dengan
kebiasaan yang dianut oleh setiap individu tersebut. Pola hidup yang sudah
menjadi kebiasaan dalam sebuah kelompok sosial akan berkembang menjadi
sebuah budaya. Pengaturan pola hidup yang baik dari setiap individu harus berasal
dari kesadaran dalam diri individu sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
menahan diri untuk tidak melakukan pola hidup yang dapat berakibat buruk bagi
kesehatan.

2.1 Rumusan Masalah


2.1.1 Apakah yang dimaksud sehat dan sakit ?
2.2.2 Bagaimanakah perilaku sehat ?
2.2.3 Apa hubungan antara kesehatan fisik dengan kesehatan mental ?
2.2.4 Apa yang dimaksud dengan gangguan mental emosional pada lansia dan
deviasi/penyimpangan ?
3.1 Tujuan
3.1.1 Untuk mengetahui pengertian dari sehat dan sakit.
3.1.2 Untuk mengetahui perilaku sehat.
3.1.3 Untuk mengetahui hubungan antara kesehatan fisik dengan kesehatan
mental.
3.1.4 Untuk mengetahui pengertian gangguan mental emosional pada lansia
dan deviasi/penyimpangan.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sehat dan Sakit
2.1.1 Pengertian Sehat
Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit
akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek
fisik, emosi, sosial dan spiritual. Berikut ini beberapa definisi sehat menurut para
ahli:
1. Sehat menurut WHO (1947)
Sehat adalah keadaan utuh secara fisik, jasmani, mental, dan sosial dan
bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit cacat dan kelemahan.
Mengandung 3 karakteristik : merefleksikan perhatian pada individu sebagai
manusia, memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal,
sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif.
2. Sehat menurut UU No.23/1992 Tantang Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani)
dan

sosial

yang

memungkinkan

hidup

produktif

secara

sosial

dan

ekonomis.Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai salah satu
yang utuh yang terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan didalam
kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.
3. Sehat menurut Pepkins
Sehat adalah suatu keadaan keseimbangan dinamis antara bentuk dan
fungsi tubuh yang dapat mengadakan penyesuaian sehingga tubuh dapat
mengatasi gangguan dari luar.
4. Sehat menurut Zaidin Ali (1999)
Sehat adalah suatu kondisi keseimbangan antara status kesehatan biologis
(jasmani), psikologis (mental), sosial, dan spiritual yang memungkinkan orang
tersebut hidup secara mandiri dan produktif.
5. Sehat menurut Pender (1982)

Sehat adalah aktualisasi (perwujudan yang diperoleh individu melalui


kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain, perilaku yang sesuai dengan
tujuan, perawatan diri yang kompeten sedangkan penyesuaian diperlukan untuk
mempertahankan stabilitas dan integritas struktural.
6. Konsep Sehat (Travis dan Ryan, 1998)
a. Sehat merupakan pilihan, suatu pilihan dalam menentukan kesehatan.
b. Sehat merupakan gaya hidup, desain gaya hidup menuju pencapaian
potensial tertinggi untuk sehat.
c. Sehat merupakan proses, perkembangan tingkat kesadaran yang tidak
pernah putus, kesehatan dan kebahagiaan dapat terjadi di setiap momen,
here and now.
d. Sehat efisien dalam mengolah energi, energi yang diperoleh dari
lingkungan,

ditransfer

melalui

manusia,

dan

disalurkan

untuk

mempengaruhi lingkungan sekitar.


e. Sehat integrasi dari tubuh, pikiran dan jiwa, apresiasi yang manusia
lakukan, pikirkan, rasakan dan percaya akan mempengaruhi status
kesehatan.
f. Sehat adalah penerimaan terhadap diri.
1) Ciri-ciri sehat :
a. Secara fisik : Kulit segar, mata jernih, tidak terlalu gemuk, nafas segar,
nafsu makan yang baik, tidur nyenyak, buang air besar atau kecil secara
teratur, semua organ tubuh berfungsi dengan baik.
b. Secara mental : dibagi menjadi 3 yaitu pikiran, emosional, dan spiritual.
Pikiran yang sehat terlihat dari cara berpikir dan jalan pikirannya.
Emosional

sehat

tercermin

dari

kemempuan

seseorang

untuk

mengekspresikan emosinya. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang


mengekspresikan rasa syukur, kepercayaan yang diyakini seseorang
tersebut terhadap Tuhan. Dan yang terpenting adanya hubungan yang baik
antara orang satu dengan yang lainnya yang ada disekitar, dapat
mencerminkan kesehatan sosial seseorang tersebut.

2) Lansia Sehat
Lansia adalah seseorang yang secara alami telah menurun fungsi tubunhya
seiring dengan bertambahnya usia, penurunan ini bermacam-macam tingkatnya
walaupun demikian lansia yang sudah turun fungsi sistemnya masih dikatakan
sehat bila tidak disertai keadaan patologi (WHO, 1998 dalam Suyoko, 2012).
Lansia sehat sangat dipengaruhi pada lingkaran kehidupan keluarganya,
terdapat 2 lingkaran kehidupan yang mempengaruhi kesehatan lansia yaitu
lingkaran negatif dan lingkaran positif. Pada lingkaran kehidupan negatif
keluarga/masyarkat dicap sebagai orang yang tak mampu atau sudah tidak efisien
sehingga lansia tersebutmenjadi sakit dan akhirny mengakui dirinya sakit dan
cacat. Sedangkan teori lingkaran positif, lansia tersebut ada pada keberadaan yan
gnyman, ia menjalakan pemeriksaan medik dan mendapatkan diagnosa dan
pengobatan yang tepat ia juga mendapatkan masukan sosial medik seperti
dukungan, makanan, perumahan dan pengangkutan dengan itu semua lansia
tersebut memiliki kemampuan emosi dan dukungan emosional, dirinyamengikuti
peran lanjut usia untuk mempertahankan sosialnya misanya sebagai relawan.
2.1.2 Pengertian Sakit
a. Menurut Pemons (1972)
Sakit merupakan gangguan dalm fungsi normal individu termasuk keadaan
organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya.
b. Menurut Perkins (1937)
Sakit adalah kedaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang
sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik aktivitas jasmani,
rohani dan sosial.
c. Menurut WHO (1974)
Sakit adalah suatu keadaan yang tidak seimbang/sempurna seseorang dari
aspek medis, fisik, mental, sosial, psikologis dan bukan hanya mengalami
kesakitan tetapi juga kecacatan.
Ciri-ciri sakit :

a. Individu percaya bahwa terdapat kelainan pada tubuhnya. Merasa dirinya


tidak sehat atau merasa timbulnya berbagai gejala merasa adanya bahaya.
Mempunyai 3 aspek : secara fisik (nyeri, panas yang tinggi ), secara
kognitif (intrepretasi adanya gejala), respon emosi terhadap ketakutan atau
kecemasan.
b. Asumsi terhadap peran sakit dan penerimaan rasa sakit.
2.2 Perilaku Kesehatan
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan
manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku(manusia) adalah
semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar ( Notoatmodjo, 2003).
Seorang ahli psikologis, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus/rangsangan dari luar (Skinner, 1938
dalam Notoatmodjo,2003).
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua:

a. Perilaku Tertutup (Covert behavior)


Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert), Misalnya: Seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan,
seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks,
dan sebagainya.
b. Perilaku Terbuka (Overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka, misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa
anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang atau organisme terhadap


stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan. (Dinas Kesehatan Polewali
Mandar, 2008).
2.2.1 Bentuk Perilaku
Di lihat dari bentuknya perilaku dibedakan menjadi 2 macam yaitu:
a. Bentuk Pasif
Adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara
langsung bisa dilihat orang lain, misalnya berpikir, tanggapan, sikap atau
pengetahuan.
b. Bentuk Aktif
Adalah apabila perilaku ini jelas bisa dilihat.
2.2.2 Batasan Perilaku Kesehatan
Batasan perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
yaitu:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh
sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek:
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan
sehat.Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif,
maka dari itu orang orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai
tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan
penyakit.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,


atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Health Seeking Behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini di mulai dari
mengobati sendiri (selftreatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3. Perilaku Kesehatan Lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya.Klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan antara
lain:
a.Perilaku hidup sehat
Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku ini
mencakup antara lain : Menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak
minum-minuman keras dan narkoba, istirahat yang cukup, mengendalikan stress,
perilaku

atau

gaya

hidup

lain

yang

positif

bagi

kesehatan.

b. Perilaku Sakit (illness behavior)


Mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit. Persepsinya
terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan
penyakit dan sebagainya.
c.Perilaku peran sakit ( the sick role behavior)
1.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan
2.Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau
penyembuhan penyakit yang layak.
3.Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan,pelayanan
kesehatan dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya
kepada orang lain terutama kepada dokter atau petugas kesehatan,tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya.
2.3 Hubungan Kesehatan Fisik dengan Kesehatan Mental

Fisik dan mental adalah dua komponen yang berbeda. Dari segi bahasa fisik
sering disebut dengan raga / tubuh sedangkan mental sering disebut dengan
psikis /jiwa. Kedua komponen tersebut dalam tubuh makhluk hidup sangatlah
berhubungan. Seperti kata pepatah Yunani Kuno " Di dalam tubuh yang sehat
terdapat jiwa yang sehat pula".
Istilah kesehatan mental digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan
baik emosi maupun kognitif atau ketiadaan dari penyakit mental. Dalam Undangundang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa sehat adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap oragan
hidup produktif secara sosial ekonomi.
Kesehatan mental adalah keadaan yan gmemungkinkan perkembangan fisik,
menal, dan intelektual yang optimal dari seseorang serta oerkembangan tersebut
berjalan selaras dengan oran glain sebagaimana adany dan mempunyai sikap
positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Direktoral Kesehatan Jiwa, 2001
dalam Suyoko, 2012).
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikarenakan kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan
kesehatan fisik. Individu yang mengalami masalah kesehatan fisik (terkena
penyakit) juga mengalami masalah kesehatan mental yakni depresi dan
kecemasan. Depresi dan kecemasan akan penyakit yang diderita. Adanya masalah
kesehatan mental yang ditimbulkan tersebut mempengaruhi kesehatan fisik
individu tersebut. Sebaliknya individu yang mengalami masalah kesehatan mental
dapat mengembangkan gejala-gejala fisik dan penyakit seperti penurunan berat
badan dan ketidakseimbangan biokimia darah yang terkait dengan gangguan
makan.
Keterkaitan

antara

kesehatan

fisik

dan

kesehatan

mental

inilah

mengakibatkan apabila salah satu dari komponen tersebut sakit, komponen yang
lain juga mengalami dampak yang ditimbulkan / disfungsi.
2.4 Gangguan Mental pada Lansia dan Deviasi (Penyimpangan)
2.4.1 Gangguan Jiwa
a. Pengertian

Gangguan jiwa dapat terjasi kapan saja, terhadap siapa saja mulai dari yang
paling ringan sampai yang paling parah. Menurut dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ
bahwatidak ada seorangpun yang mengatakan dirinya tidak pernah mengalami
gangguan kejiwaan (Kompas, 5 November 2007 dalam Suyoko, 2012).
Dari berbagai penelitian dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan
dari keadaan-keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik
maupun mental, keabnormalan tersebut dibagi menjadi dua golongan yakni
gangguan jiwa (neurosis) dan sakit jiwa (psikosis). Keabnormalan dapat dilihat
dalam berbagai gejala yang terpenting diantaranya adalah ketegangan (tension),
rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa
(consulsive), histeria, rasa lemah, tidak mampu mancapai tujuan, takut, pikiranpikiran yang buruk dan sebagainya (Yosep, 2008 dalam Suyoko, 2012).
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
Depkes, gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang
bermakna dan dapat ditemukan secara klinis dan disetai dengan penseritaan
(distress) pada kebanyakan kasus dan dan berkaitan dengan terganggunya fungsi
pada seseorang. Pada dasarnya ganggguan jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri, karenan manifestasi dari gangguan jiwa berupa perilaku, pikiran, dan
perasaan, erat sekali kaitannya dengan kondisi tubuh/jasamani.
b. Jenis Gangguan Jiwa
Klasifikasi gangguan jiwa terbagi menjadi 2 golongan besar yaitu (Maramis,
2009 dalam Suyoko, 2012):
1. Psikosis (gangguan jiwa berat/penyakit mental)
Psikosa adalah gangguan jiwa serius yang timbul karena organik atau
emosional dan menunjukan gangguan berfikir, bereaksi secara emosional,
mengingat, berkomunikasi, menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai denga
kenyataan tersebut, sehingga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sangat terganggu.
2. Neurosis (gangguan jiwa ringan/gangguan mental)
Neurosis ialah suatu kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena
tidak dapat diselesaikannya suatu konflik tak sadar.

Bagi penderita gangguan mental/psyconeurosis masi menghayati realitas,


masih hidup dalam alam pada umumnya. Ia masih mengetahui dan merasakan
kesukaran-kesukaran. Sebenarnya ia tidak dapat atau kurang dapat menyesuaikan
dirinya dengan lingkungannya serta belum kuat atau tidak kuat hatinya. Itulah
sebabnya ia mencari jalan keluar untuk melarikan diri dari kekecewaan atau
penderitaan menjadi neurosis/psiconeurosis (Sundari, 2005 dalam Suyoko, 2012)
Menurut gejalanya neurosis dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Neurosis Cemas
Pada neurosis kecemasan tidak terikat pada suatu benda atau keadaan, tetapi
mengambang bebas, bila kecemasan sudah mencapai panik, orang itu akan
menjadi berbahasya. Dengan sikap yan gagresif dan mengancam.
Gejala somatik berupa sesak nafas, dada tertekan, kepala enteng, lini-linu,
episgatrium nyeri, lekas lelah, palpitasi, keringat dingin, gejala lain seperti
keluhan sistem pencernaan, pernafasan, sistem kardiovaskuler, genitourinaria.
Gejala psikologik berupa timbul rasa was-was, kuatir akan terjadi sesuaty yang
tidak diinginkan.
2. Neurosa Histerik
Gejala-gejala sering timbul dan hilang secara tiba-tiba, terutama bila
penderita menghadapi keadaan yang menimbulkan emosi yang hebat dan yang
mempunyai arti simbolik mengenai konflik. Gejala-gejala yang sering
dimodifikasi hanya dengan sugesti.
3. Neurosa Fobik
Ditandai dengan rasa takut yang hebat sekali terhadap benda atau oleh
individu yang sebenarnya disadari bukan ancaman dan dapat mengakibatkan
perasaan seperti akan pingsan, merasa lelah, palpitasi, berkeringat, mual, tremor,
dan panik. Neurosis ini menimbulkan kompulsi atau obsesi.
4. Neurosa Obsesif Kompulsif
Obsesi suatu ide yang mendesak kedalam pikiran, sedangkan kompulsi
menunjukkan dorongan atau impuls yan gtidak dapat ditahan utnuk melakukan
sesuatu.
5. Neurosa Depresif

Neurosa depresif ialah ganggauan persaan dengan ciri-ciri semangat


berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahan diri sendiri, gangguan tidur dan
makan. Gejala psikologik berupa pendiam , rasa sedih, pesimistik, putus asa,
nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan, lekas lupa,
timbul pikiran-pikiran bunuh diri.
Gejala badaniah berupa penderita merasa tidak senang, cepat lelah tak
bersemangat atau apatis, terhadap anorexia, insomnia, dan konstipasi.
6. Neurosa Nerasrtenik
Ditandai dengan keluhan yang menahun, mudah lelah dan kadang-kadang
kehabisan tenaga,. Kepribadian premorbid dengan nurosa ini adalah terusmenerus tidak puas dan merasa ditolak atau tidak diterima.
7. Neurosa Depresionalisasi
Merupakan keadaan yang didominasi oleh rasa ketidakwajaran (unreality)
dan keasingan (estrangement) terhadap dirinya, tubuhnya atau lingkungannya.
Penderita neurosa ini terjadi kesadaran yang tidak menyenangkan terhadap dunia
luar. Diri sendiri dirasakan lain, asing seperti dalam mimpi atau mungkin berada
diluar tubuhnya dan melihat tubuhnya dari atas.
Kriteria untuk diagnosa depresionalisasi
a. Kenyataan berubah
b. Perubahan yang tidak menyenangkan
c. Perubahan persepsi suatu pemahaman
d. Tidak adanya respon emosional
e. Neurosa Hipokondrik
Keadaan ini ditandai dengan pikiran yang terpaku (preoccupied) pada
kesehatan fisik dan mentalnya. Penderita takutakan adanya penyakit pada
berbagai bagian tubuh.
Gangguan neurosis ini dialami sekitar 10-20% kelompok usia lanjut
(lansia). Sering sukar untuk mengenali gannguan ini pada lanjut usia (lansia)
karena disangka sebagai gejala ketuaan. Hampir separuhnya merupakan gangguan
yang ada sejak masa mudanya, sedangkan separuhnya lagi adalah gangguan yang
didapatkan pada masa memasuki lanjut usia (lansia). Gangguan neurosis pada

lanjut usia (lansia) berhubungan fengan masalah psikososial dalam memasuki


tahap lanjut usia (lansia).
Gejala gangguan mental/neurosis pada taraf awal sulit dibedakan dengan
gejala psikosis, semakin berat penderitaan semakin nampak perbedaan itu
(Sundari, 2005 dalam Suyoko, 2012).
2.4.2 Gangguan Mental Emosional
Gangguan mental emosional menuurut Dictionary reference dari Universitas
Priceton adalah bagian dari gangguan jiwa yang bukan disebabkan oleh kelainan
organik otak dan lebih didominasi oleh gangguan emosi (disturbance of
emotions). Penelitian yang dilakukan oleh Harison menunjukkan bhwa klien yang
berkunjung ke rumah sakit umum ada yang mengalamu gejala somatisasi, yaitu
berobat dengan gejala keluhan fisik namun tidak ada penyebab organik.
a. Pengertian
Pengertian ini mengandung arti bahwa gangguan mental emosional lebih
mengarah ke aspek psikologis dari pada aspek biologis. Gangguan mental
emosiona merupakan perubahan mood dan efek yang ditimbulkan kepada pikiranpikiran spesifik atau kondisi fisik yang sesuai dengan yang sering dengan mood
dan efek (Kaplan, 2005 dalam Suyoko, 2012). Gangguan mental emosional
merupakan perubahan atau gangguan mood dan efek yang berpengaruh juga
terhadap fisik seseorang karena aspek biologis (fisik), psikis (salah satunya emosi)
dan sosial. Sehingga aspek fisik dan mental saling mempengaruhi terhadap
gangguan mental emosianal seseorang.
Setiap orang pernah mengalami perubahan dalam hidupnya dimana
perubahan tesebut menuntut seseorang untuk beradaptasi dalam mengatasinya.
Perubahan tersebut bisa menjadi kondisi yang mengancam individu (Siswoyo,
2011 dalam Suyoko, 2012). Apabila individu tidak mampu menemukan
penyelesaian terhadap situasi yang mengancamnya maka individu tersebut
mengalami gangguan mental emosional (Kaplan, 2005 dalam Suyoko, 2012)
Gangguan

mental

emosional

merupakan

suatu

keadaan

yang

mengidentifikasikan individu mengalami perubahan emosional yang dapat

berkembang menjadi keadaaan patologis apabila berlanjut (Idaini, 2009 dalam


Suyoko, 2012).
Gejala gangguan mental emosional dapt berupa gejala depresi, gangguan
psikosomatik, dan ansietas. Tanda-tanda gejala depresi, psikosomatik, dan ansietas
meliputi :
Menurut ICD-10 tanda-tanda gejala depredi terdiri dari :
1. Perasaan depresif
2. Hilangnya minat dan semangat
3. Mudah lelah dan tenaga hilang
4. Konsentrasi menurun
5. Harga diri menurun
6. Perasaan bersalah
7. Pesimistis terhadap masa depan
8. Gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri
9. Gangguan tidur
10.Menurunnnya libido
Gangguan psikomatis adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
keluhan gejala fisik yang berulang, yang disertai dengan permintaan pemeriksaan
medis tetapi hasilnya negatif dan sudah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak
ditemukan kelainan fisik yang menjadi dasar keluhannya. Pasien biasanya
menolak adanya penyebab biologis. Gejala fisik dapat berupa keluhan berupa
keluhan nyeri lambung, alergi kulit, gangguan haid, diare, sesak nafas dan lainlain (Siswoyo, 2011 dalam Suyoko, 2012).
Ansietas merupakan respon emosi tanpa obyek yang jelas tetapi penderita
merasakan perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan terjadi yang
biasanya disertai gejala otonomik yang berlangsung beberapa bulan bahkan
tahunan. Manifestasi secara psikis adalah: khawatir secara berlebihan, gelisah
tidak menentu, takut berlebihan, dan tidak tentram. Manifestasi secara fisik dapat
berupa nafas pendek, nyeri perut, tangan bergetas, diare/konstipasi, penglihatan
kabur, otot terasa tegang (Sumiati, 2009 dalam Suyoko, 2012).
b. Pengukuran Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental emosional diukur dengan menggunakan Self Reporting


Quistionnaire (SRQ) yang digunakan oleh WHO. SRQ pada awalanya terdiri dari
25 pertanyaan yang terdiri dari 20 pertanyaan yang berhubungan dengan gejala
neurosis, 4 partanyaan berhubungan dengan psikosis dan 1 pertanyaan yang
berhubungan dengan epilepsi (WHO, 1994 dalam Suyoko, 2012).
SRQ adalah kuisioner yang biasa digunakan untuk skrining masalah
kesehatan jiwa dimasyarakat yang memiliki jawaban"ya atau tidak" dengan
maksud mempermudah masyarakat untuk menjawabnya.
Pengukuran gangguan mental emosional sendiri mengggunakan SRQ-20
terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang mengenai gejala yang lebih mengarah
kepada gangguan nerosis. Gejala depresi terdapat pada butir nomor 6, 9, 10, 14,
15, 16, 17: gejala cemas pada butir nomor 3,4,5: gejala somatik pada butir nomor
1,2,7,19: gejala kognitif pada butir 8, 12,13: gejala penurunan energi pada butir
8,11,12,13,18,20.
Uji validasi terhadap SRQ yaitu pada tahun 1995 yang dilakukan oleh
Hartono. Beliau melakuan uji validasi terhadap penggunaan SRQ dengan cutt off
point/nilai batas pisah 6 yang kemudian digunaikan pada Riskesdes 2007.
Penggunaan SRQ pada Riskesdes 2007 bertujuaan untuk mendapatkan gambaran
status kesehatan mental/gangguan mental emosional yang ada di masyarakat.
Pertanyaan SRQ diberikan kepada anggota rumah tangga (ART) yang berusia
15 tahun. Ke 20 pertanyaan tersebut mempunyai 3 jawaban "ya" dari pertanyaan
yang diajukan maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan
mental emosional. SRQ memiliki keterbatasaan karena hanya mengungkap status
emosioanal sesaat ( 2 minggu) dan tidak dirancang untuk diagnostik gangguan
jiwa yang spesifik.
Daftar pertanyaan SRQ yang ditanyakan ke responden yaitu :
1) Apakah anda sering menderita sakit kepala ?
2) Apakah anda tidak nafsu makan ?
3) Apakah anda sulit tidur ?
4) Apakah anda mudah takut ?
5) Apakah anda merasa tegang, cemas, dan kuatir ?
6) Apakah tangan anda gemetar ?

7) Apakah pencernaan anda terganggu/buruk ?


8) Apakah anda sulit untuk berpikir jernih ?
9) Apakah anda merasa tidak bahagia ?
10) Akah anda lebih sering menangis ?
11) Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari ?
12) Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan ?
13) Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu ?
14) Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam
hidup ?
15) Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal ?
16) Apakah anda merasa tidak berharga ?
17) Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakiri hidup ?
18) Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu ?
19) Apakah anda mengalami rasa tidak enak di perut ?
20) Apakah anda mudah lelah ?
2.4.3 Faktor Risiko yang Berhungan dengan Gangguan Mental Emoasional
pada Lansia
a.

Faktor sosial demografi


1. Umur
Resiko gangguan mental emosional pada pasien sesudah berusia 50 tahun

lebih disebabkan faktor bilogis yan gmungkin disebabkan perubahan pada sistem
syarat pusat. Hal ini yang memungkinkan menyebabkan terjadinya depresi
(Koenig dan Blazer, 2003 dalam Suyoko, 2012 ). Menurut penelitian umur lansia
yang berusia diatas 70 tahun lebih beresiko mengalami gangguan mental
emosional (Marini, 2008 dalam Suyoko, 2012).
2. Jenis kelamin
Diagnostik gangguan mental adalah sama untuk semua jenis kelamin,
namun pada wanita lebih rentan terkena gangguan mnetal emosional karena
disebabkan perubahan hormonal dan perbedaan karakteristik antara laki-laki dan
perempuan, selain perubahan hormonal, karakteristik wanita yang lebih
mengedepankan emosional daripada rasional juga berperan. Ketika menghadapi

suatu masalah wanita cenderung menggunakan perasaan (Marini, 2008 dalam


Suyoko, 2012).
3. Status perkawinan
Gangguan mental emosional lebih banyak terjadi pada lanjut usia yang
hidup sendiri baik karena bercerai atau memang tidak menikah. Riset yang
dilakukan Andrianne Frech, (2002) ahli sesiologi dari Universitas Ohio, AS.
Orang yang bercerai, pisah, janda/duda atau belum kawin cenderung beresiko
tinggi melakukan bunuh diri dibanding yang sudah kawin (Suyoko, 2012).
4. Tingkat pendidikan
Pendidikan yang

semakin tinggi dapat menghasilkan keadaan sosial

ekonomi yang makin baik dan kemandirian yang semakin mantap. Dari penelitian
Boedhi Darmojo tahun 1992 di Semarang didapatkan bahwa tingkat pendidikan
seorang lanjut usia berbanding positif langsung dengan tingkat kesehatan
(Darmojo, 2004 dalam Suyoko, 2012)
Pendidikan rendah dihubungkan dengan meningkatnya risiko untuk
terjadinya demensia adan terjadinya depresi pada penelitian-penelitian sebelumya
didapatkan bahwa depresi lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia dengan
pendidikan rendah yakni < 9tahun sekolah.
5. Status pekerjaan
Pada umumnya setelah memasuki lansia, ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotor
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak, seperti gerakan,
tindakan, dan koordinasi, yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto,
2009 dalam Suyoko, 2012).
Pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara
orang0orang tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan sisanya
sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher, 2009 dalam Suyoko, 2012).
Pensiun setelah bertahun-tahun bekerja dapat membahagiakan dan
memenuhi harapan atau hal ini malah menjadi penyebab masalah kesehatan fisik
dan mental. Setelah pensiun beberapa orang tidak pernah dapat menyesuaikan diri

dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami hari yang panjang.
Bbebrapa lansia tidak termotivasi untuk mempertahankan penampilan mereka
ketika mereka tidak atau hanya sedikit melakukan kontak dengan orang lain
dirumahnya (Stanley, 2006 dalam Suyoko, 2012).
Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi orang yang
telah pensiun. Identitas biasanya berasal dari peran kerja, sehingga individu harus
membangun identitas baru pada saat pensiun. Mereka juga kehilangan struktur
pada kehidupan harian saat mereka tidak lagi memiliki jadwal kerja. Interaksi
sosial dan interpersonal yan gterjadi pada lingkungan kerja juga telah hilang.
Sebagai penyesuaian, lansia harus menyusun jadwal yang bermakna dxan jaringan
sosial pendukung (Potter, 2009 dalam Suyoko, 2012).
6. Status sosial ekonomi
Ketika seseorang sakit maka tidak akan berdampak buruk pada seseorang
yang berpenghasilan tetapi bagi yan gtidak berpenghasilan dapat menimbulkan
goncangan ekonomi sehingga menimbulkan stress atau gangguan mental (Depkes,
2004 dalam Suyoko, 2012)
Menurut beberapa penelitian tingkat sosial ekonomi juga berperan dalam
menentukan gangguan emosional, semakin tinggi tingkat sumber ekonomi
keluarga semakin tinggi stabilitas dan kebahagiaan keluarga. Apabila status
ekonomi pada tahap yang rendah dan kebutuhan dasar saja tidak dapat terpenuhi
maka hal ini akan menimbulkan konflik didalam keluarga yang menyebabkan
gangguan mental emosional (Murti, 2004 dalam Suyoko, 2012).
b.

Menderita penyakit kronis


Pengaruh penyakit kronik pada usia lanjut dapat menimbulkan gangguan

mental emosional melalui cara yang tidak langsung yaitu karena adanya
keterbatasan mobilitas, ketergantungan orang lain , dan nyeri yang terus menerus
atau ketidaknyamanan. Pengalaman klinis menyebutkan bahwa bukan keparahan
penyakit atau ancaman kematian yang mengganggu kesehatan mental usia lanjut
tetapi adanya berbagai kehilangan akibat penykit tersebut yang mempunyai
hubungan erat dengan gangguan mental emosional (Soedjono, 2000 dalam
Suyoko, 2012).

Satu faktor risiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit (kronis), hal
ini juga sesuai model medis menurut Meyeret.all yang dijelaskan bahwa
perubahan perilaku dalam gangguan mental emosional disebabkan oleh penyakit
biologis perilaku yang menyimpang berhubungan denga toleransi responden
terhadap stress (Struat, 2000 dalam Suyoko, 2012)
Penykit kronik adalah penyakit tidak menular dan menular yang diderita
berlangsung lama, beberapa penykit tisak menular beresiko menyebabkan
gangguan mental adalah hipertensi, gangguan sendi dan diabetes mellitus (DM).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur
paling tidak pada tiga kesempatan ya berbeda. Tekanan darah normal bervariasi
sesuai usia. Namun secara umum seseorang dianggap mengalami hipertensi
apabila tekanan darahnya lebih tinggi daripada untuk sistolik 140 mmHg dan
diastolik 90 mmHg. Hipertensi pada usia lanjut mempunyi komplikasi yang lebih
besar daripada hipertensi pada kelompok lain. Penurunan fungsi kognitif dan
demensia serta stroke banyak dijumpa pada hipertensi kronik (Parsudi, 2009
dalam Suyoko, 2012).
Diabetes melitus termasuk gangguan metabolik (metabolik syndrome) dari
distribusi gula oleh tubuh. Penderita DM tidak mampu memproduksi hormon
insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakannya secara
efektif sehingga terjadi kelebihan gula di dalam tubuh (Anies, 2006 dalam
Suyoko, 2012).
Menurut American Diabetes Association/WHO DM diklasifikasikan 4 macam :
a) DM Tipe I
Disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas akibat reaksi auto imun.
Pada tipe ini hormon insulin tidak diproduksi. Kerusakan sel beta tersebut
terjadi sejak anak-anak maupun dewasa. Penderita harus mendapat
suntikan insulin setiap hari selama hidupnya sehingga dikenal dengan
istilah Insulin Dependen Diabetees Melitus (IDDM). DM Tipe I cenderung
diderita orang yang berusia kurang dari 20 tahun.
b) DM Tipe II
Disebabkan oleh resistensi hormon insulin karena jumlah reseptor insulin
pada permukaan sel kurang, meskipun jumlah insulin tidak berkurang. Hal

ini menyebabkan glukosa tidak dapat masuk kedalam sel insulin,


walaupun telah tersedia. Kondisi ini disebakan oleh obesitas, diet tinggi
lemak dan rendah karbohidrat, kurang olahraga, faktor keturunan. DM
Tipe II ini biasanya terjadi pada mereka yang telah berusia 40 tahun
meskipun saat ini prevalensinya pada remaja dan anak-anak semakin
tinggi.
c) DM Tipe III
Disebabkan kelainan genetik spesifik, penyakit pankreas, gangguan
endokrin lain, efek obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus dan lain-lain.
d) DM Kehamilan
DM yang terjadi pada saat hamil
Patofifiologid Diabetes Melitus pada lansia sampai saat ini belum jelas
atau dapat dikatakan belum seluruhnya diketahui. Selain faktor intrinsik,
ekstrinsik seperti menurunnya ukuran massa tubuh dan naiknya
lemaktubuh mengakibatkan kecenderungan timbulnya penurunan aksi
insulin pada jaringna sasaran sehingga akan berdampak juga pada sistem
kesehatan hormonal (Rochmah, 2006).
Berdasarkan penelitian Roserhermianti (2008) penderita penyakit kronis
DM 2, 295 kali lebih banyak mengalami gangguan mental emosional
dibandingkan tidak mengalami penyakit kronis DM.
Wanita dengan DM akan lebih mengalami depresi dbandingkan dengan lakilaki. Keika seseorang didiagnosis DM orang tersebut akan shock sehingga
perasaan seperti penyangkalan, rasa bersalah, kesedihan dan kecemasan bahkan
untuk beberapa orang yang tidak bisa menerima akan timbul depresi atau
gangguan kecemasan.
Gangguan sendi adalah penyakit radang kronis yang menyerang persendian
dan mengganggu fungsi persendian. Diagnosa sakit persendian ditegakkan
berdasarkan kumpulan gejala-gejala sebagai berikut:
1) Sakit nyeri, kaku-kaku/pembengkakan yang timbul disekitar persendian
lengan, tangan, tungkai dan kaki serta berlangsung selama sebulan atau
lebih.
2) Kaku-kaku dipersendian ketika bangun tidur atau setelah duduk lama

3) Kaku-kaku berlangsung lebih dari 30 menit


4) Kaku-kaku tidak hilang jika sendi tidak dihilangkan
Gangguan sendi pada lanjut usia menurut Susenas 2004 prevalen sakit
persendian pada perempuanlebih tinggi daripada laki-laki.
Dua pertiga orang dengan gangguan sendi arthritis mengatakan bahwa
kondisi mempengaruhi secara emosional. Bnayak orang dengan radang sendi
takut oleh dampak arthritis pada kehidupan mereka sehari-hari dan kehidupan
masa depan. Orang dengan nyeri persisten lebih mungkin akan mengalami depresi
atau kecemasan 2x dari pada yang hidup tanpa rasa nyeri.
Memiliki arthritis dapa tberakibat pada bilangnya kemerdakan harga diri,
kemampuan untuk bekerja dan melanjutkan kegiatan sosial atau rekreasi.
c.

Penggunaan obat/pengguna obat dan alkohol


Berdasarkan penelitian Hawari (1990) menunjukkan bahwa responden

dengan penyalahgunaan obat memiliki risiko gangguan mental (kecemasan)


sebesar 13,8 kali dan depresi sebesar 18,8 kali. Etiologi yang berhubungan dengan
penggunaan alkohol adalah genetika dan psikososial yang meliputi : status sosial
ekonomi dan riwayat kesulitan sekolah (Suyoko, 2012).
d.

Kemandirian fisik
Kemandirian pada lanjut usia dinilai dari kemampuannya untuk melakukan

aktivitas sehari-hari (Activities of Daily Life=ADL). Apakah mereka tanpa


bantuan dapat bangun, mandi , dan lain sebagainya. Sehingga jika terdapat faktor
kehilangan fisik yang mengakibatkan hilangnya kemandirian akhirnya akan
meningkatkan keretanan terhadap depresi (Soejono, 2006 dalam Suyoko, 2012).
e.

Religi
Tingkat spiritualitas/religiusitas terbukti besar berpengaruh terhadap

kesehatan jiwa. Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap lanjut usia


menyimpulkan antara lain (Larson, 2000 dalam Suyoko, 2012) :
1) Lanjut usia yang non religius angka kematiannya dua kali lebih besar
dibandingkan lanjut usia yang religius

2) Lanjut usia yang non religius kurang tabah dan kurang mampu mengatasi
stress dibandingkan usia yan greligius sehingga lebih sering mengalami
gangguan jiwa.
f.

Dukungan Sosial
Adanya dukungan sosial yang tinggi dilaporkan dapat melindungi diri dari

kejadian depresi pada lajut usi. Dukungan pekerjaan kurang penting dibandingkan
persamaan (usia, hobi), tingkat kepercayaan diri, mempunyai pasangan hidup dan
tingkat keakraban, kejadian kehidupan yang menyedihkan mungkin mempercepat
depresi/gangguan mental (Goldberg, 2007 dalam Suyoko, 2012).
g.

Status Gizi
Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan memepengaruhi

konsumsi dan penyerapan zat gizi pada lansia. Beberapa penelitian yan
gdilaksanakan menunjukkan bahwa masalah gizi berlebih dan kegemukan yan
gmemicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung
koroner, hipertensi, DM, batu empedu, rematik, ginjal dan kanker (Maryam, 2008
dalam Suyoko, 2012).
Status gizi adalah keadaan dimana yang dapat memberikan petunjuk apakah
seseorang menderita kurang gizi, baik atau lebih. Status gizi seseorang dapat
diketahui salah satunya dengan cara antropometri. Ukuran antropometri untuk
usia dewasa digunaakan indeks massa tubuh (IMT) atau Body Mass Index
(Depkes, 1990 dalam Suyoko, 2012).
Klasifikasi IMT menurut WHO (2004):
1) Kurus : <18,5
2) Normal : 18,5-24,9
3) Gemuk : 25-29,9
4) Sangat gemuk : 30
Kajian epidemiologi psikiatrik yang membuktikan bahwa memang ada
hubungan antara pertumbuhan berat badan dengan gangguan mental menurut Dr.
Susan Mc Elroy, seorang profesor psikiatri di Universitas of Cincinnati telah
melaksanakan studi ini didasarkan survei nasional pasa sekitar 9.125 oran
gdewasa yan gmenjalani interview kesehatan mental yang dilengkapi catatan
ukuran berat dan tinggi badan partisipan. Sekitar seperempat dari seluruh

responden masuk dalam kategori obesitas, sekitar 22% dari mereka mengalami
gangguan mood (seperti depresi dan rasa cemas berlebihan) dibandingkan 18%
responden yang tidak mengalami obesitas.
h.

Riwayat Gangguan Jiwa (skozoprenia)


Faktor keturunan yang mempengaruhi kesehatan seseorang dimana kasusu

tertentu seperti retardasi mental. Berdasarkan teori neurologi keseluruhan ataupun


yang diperolehnya kemudian disebutkan dapat berperan dalam kemungkinan
terjadinya gangguan depresi (Maramis, 2009 dalam Suyoko, 2012).
2.4.4 Contoh Kasus Gangguan Mental Emosional pada Lansia
a. Distribusi Lansia yang mengalami gangguan mentala emosional di DKI Jakarta
Gangguan mental emosional pada lansia disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain faktor sosial demografi, status gizi, adanya penyakit kronis,
kemandirian fisik. Dari hasil penelitian Riskesdas tahun 2007 di provinsi DKI
Jakarta didapatkan responden lansia sebanyak 1080 orang. Distribusi lansia yang
mengalami gangguan mental emosional dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Gangguan Mental Emosional
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Tidak
858
78,9
Ya
230
21,1
Total
1088
100
Tabel 1.1 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Data
Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan data Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa dari 1088 reponden yang
diteliti, yang mengalami gangguan mental emosional sebanyak 230 responden
(21,1%) dan yang tidak mengalami gangguan mental emosional sebanyak 858
responden (78,9%) (Suyoko, 2012).
b. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan faktor sosial
demografi
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan faktor sosial
demografi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
1) Umur

Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan umur dapt


dilihat pada tabel dibawah ini :
Umur (Tahun)
Jumlah (Orang) Presentase (%)
60-69
119
51,7
70
111
48,3
Total
230
100
Tabel 1.2 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Umur
Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.2 responden gangguan mental emosional yang berumur
60-69 tahun sebanyak 119 responden (51,7%) dan yang berumur 70 tahun
sebanyak 111 responden (48,3%) (Suyoko, 2012).
2) Jenis Kelamin
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Jenis Kelamin
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Perempuan
146
63,5
Laki-laki
84
36,5
Total
230
100
Tabel 1.3 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan Jenis
Kelamin Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan Tabel 1.3 responden gangguan mental emosional yang berjenis
kelamin perempuan sebanyak 146 responden (63,5%) dan yang berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 84 responden (36,5%) (Suyoko, 2012).
3) Tingkat pendidikan
Distribusi

gangguan

mental

emosional

lansia

berdasarkan

pendidikan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


Tingkat pendidikan
Rendah
Sedang
Tinggi
Total

Jumlah (Orang)
174
50
6
230

Presentase (%)
75,7
21,7
2,6
100

tingkat

Tabel 1.4 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia


Berdasarkan Tingkat Pendidikan Data Riskades Tahun 2007 di DKI
Jakarta
Berdasarkan tabel 1.4 responden gangguan mental emosional yang
berpendidikan rendah sebanyak 174 responden (75,7%), yang berpendiikan
sedang sebanyak 50 responden (21,7%) dan yang bependidikan tinggi sebanyak 6
responden (2,6%) (Suyoko, 2012).
4) Pekerjaan
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan pekerjaan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Pekerjaan
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Tidak bekerja
161
70
Bekerja
69
30
Total
230
100
Tabel 1.4 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia
Berdasarkan Pekerjaan Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.4 responden gangguan mental emosional yang tidak
bekerja sebanyak 161 responden (70%) dan yang bekerja sebanyak 69 responden
(30%) (Suyoko, 2012).
5) Status Ekonomi
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status ekonomi
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Status Ekonomi
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Rendah
140
60,9
Tinggi
90
31,1
Total
230
100
Tabel 1.5 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia
Berdasarkan Status Ekonomi Data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan Tabel 1.5 responden gangguan mental emosional yang
mmepunyai status ekonomi rendah sebanyak 140 responden (60,9%) dan yang

mempunyai status ekonomi tinggi

sebanyak 90 responden (39,1%) (Suyoko,

2012).
6) Status dalam keluarga
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status dalam
keluarga dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Status dalam keluarga
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Anggota keluarga
101
43,9
Kepala keluarga
129
56,1
Total
230
100
Tabel 1.6 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia
Berdasarkan status dalam keluarga Data Riskades Tahun 2007 di DKI
Jakarta
Berdasarkan tabel 1.6 responden gangguan mental emosional yang
baerstatus anggota keluarga sebanyak 101 responden (43,9%) dan yang baerstatus
kepala keluarga sebanyak 129 responden (56,1%) (Suyoko, 2012).
7) Status perkawinan
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status perkawinan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Status perkawinan
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Cerai
109
47,4
Tidak Kawin
0
Kawin
121
52,6
Total
230
100
Tabel 1.7 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia
Berdasarkan Status perkawinan Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.7 responden gangguan mental emosional yang
mempunyai status cerai sebanyak 109 responden (47,4%), mempunyai status
kawin sebanyak 121 responden (52,6%) dan yang tidak kawin tidak ada yan
gmenderita gangguan mental (Suyoko, 2012).

c. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan faktor menderita


penyakit kronis
1) Diabetes Mellitus (DM)
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan menderita DM
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Menderita DM
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Ya
31
13,5
Tidak
199
86,5
Total
230
100
Tabel 1.9 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
menderita DM data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.9 responden gangguan mental emosional yang
menderita DM

sebanyak 31 responden (13,5%) dan yang tidak menderita

sebanyak 199 responden (86,5%) (Suyoko, 2012).


2) Hipertensi
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan menderita DM
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Menderita Hipertensi
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Ya
97
42,2
Tidak
133
56,8
Total
230
100
Tabel 1.10 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
menderita Hipertensi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.10 responden gangguan mental emosional yang
menderita Hipertensi sebanyak 97 responden (42,2%) dan yang tidak menderita
sebanyak 133 responden (56,8%) (Suyoko, 2012).
3) Gangguan sendi
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan menderita DM
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Menderita Gangguan Sendi

Jumlah (Orang)

Presentase (%)

Ya
103
44,8
Tidak
127
55,2
Total
230
100
Tabel 1.11 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
menderita Gangguan Sendi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.11 responden gangguan mental emosional yang
menderita Gangguan Sendi sebanyak 103 responden (44,8%) dan yang tidak
menderita sebanyak 127 responden (55,2%) (Suyoko, 2012).
d. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan status gizi
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status gizi dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Status Gizi
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Gemuk
68
12,6
Kurus
40
17,4
Normal
122
44,8
Total
230
100
Tabel 1.12 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
status gizi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.12 responden gangguan mental emosionial yang
mempunyai status gizi gemuk sebanyak 68 responden (12,6%) yang berstatus gizi
kurus sebanyak 40 responden (17,4%) dan yang berstatus gizi normal sebanyak
122 responden (44,8%) (Suyoko, 2012).
e. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan kemandirian fisik
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan kemandirian fisik
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Kemandirian fisik
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Tidak mandiri
67
29,1
mandiri
163
70,9
Total
230
100
Tabel 1.13 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
kemampuan fisik data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 1.13 responden gangguan mental emosional yang tidak


mandiri sebanyak 67 responden (29,1%) dan yang mandiri sebanyak 163
responden (70,9%) (Suyoko, 2012).
2.4.2 Deviasi
a. Pengertian
Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak sadar
pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun
dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau
kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya
keseimbangan

kehidupan

dalam

masyarakat.

Suatu

perilaku

dianggap

menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah
segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity)
terhadap kehendak masyarakat (Ika, 2011).
Definisi-definisi penyimpangan sosial:
a. James W. Van Der Zanden:
Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang
dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.
b. Robert M. Z. Lawang:
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma
yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang
berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
c. Lemert (1951):
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
1). Penyimpangan Primer (Primary Deviation)
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat
diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,
tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya: Menunggak iuran listrik dan telepon, melanggar rambu-rambu lalu
lintas dan ngebut di jalanan.
2). Penyimpangan Sekunder (secondary deviation)

Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang


secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh
tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari
penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh
masyarakat.
Contohnya: Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa, pelacuran,
pembunuh, perampok dan penjudi.
Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang
secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh
tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari
penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh
masyarakat. Contohnya: Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang, pemerkosa,
pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.
c. Jenis Deviasi
1. Penyimpangan Individual (Individual Deviation)
Penyimpangan individual merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh
seseorang yang berupa pelanggaran terhadap norma-norma suatu kebudayaan
yang telah mapan. Penyimpangan ini disebabkan oleh kelainan jiwa seseorang
atau karena perilaku yang jahat/tindak kriminalitas. Penyimpangan yang bersifat
individual sesuai dengan kadar penyimpangannyadapat dibagi menjadi beberapa
hal, antara lain (Ika, 2011):
1) Tidak patuh nasihat orang tua agar mengubah pendirian yang kurang baik,
penyimpangannya disebut pembandel.
2) Tidak taat kepada peringatan orang-orang yang berwenang di lingkungannya,
penyimpangannya disebut pembangkang.
3) Melanggar norma-norma umum yang berlaku, penyimpangannya disebut
pelanggar.
4) Mengabaikan norma-norma umum, menimbulkan rasa tidak aman/tertib,
kerugian harta benda atau jiwa di lingkungannya, penyimpangannya disebut
perusuh atau penjahat.

Kategori Penyimpangan Individual


Kategori tindak penyimpangan individual antara lain sebagai berikut :
1) Penyalahgunaan narkoba
Merupakan bentuk penyelewengan terhadap nilai, norma sosial dan agama.
Contoh pemakaian obat terlarang/narkoba antara lain:
a) Narkotika (candu, ganja, putau)
b) Psikotropika (ectassy, magadon, amphetamin)
c) Alkoholisme.
2) Proses sosialisasi yang tidak sempurna.
Apabila seseorang dalam kehidupannya mengalami sosialisasi yang tidak
sempurna, maka akan muncul penyimpangan pada perilakunya. Contohnya:
seseorang menjadi pencuri karena terbentuk oleh lingkungannya yang banyak
melakukan tidak ketidakjujuran, pelanggaran, pencurian dan sebagainya.
3) Pelacuran
Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan menyerahkan diri kepada
umum untuk dapat melakukan perbuatan seksual dengan mendapatkan upah.
Pelacuran lebih disebabkan oleh tidak masaknya jiwa seseorang atau pola
kepribadiannya yang tidak seimbang. Contoh: seseorang menjadi pelacur karena
mengalami masalah (ekonomi, dan keluarga.)
4) Penyimpangan seksual
Adalah perilaku seksual yang tidak lazim dilakukan seseorang. Beberapa
jenis penyimpangan seksual:
a) Lesbianisme dan Homosexual
b) Sodomi
c) Transvestitisme
d) Sadisme
e) Pedophilia
f) Perzinahan
g) Kumpul kebo
5) Tindak kejahatan/kriminal

Tindakan yang bertentangan dengan norma hukum, sosial dan agama. Yang
termasuk ke dalam tindak kriminal antara lain: pencurian, penipuan,
penganiayaan, pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan.
6) Gaya hidup
Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup yang lain dari perilaku umum atau
biasanya. Penyimpangan ini antara lain:
a) Sikap arogansi
Kesombongan terhadap sesuatu yang dimilikinya seperti kepandaian,
kekuasaan, kekayaan dsb.
b) Sikap eksentrik
Perbuatan yang menyimpang dari biasanya, sehingga dianggap aneh,
misalnya laki-laki beranting di telinga, rambut gondrong dsb.
b. Penyimpangan Kolektif (Group Deviation)
Penyimpangan kolektif yaitu: penyimpangan yang dilakukan secara
bersama- sama atau secara berkelompok. Penyimpangan ini dilakukan oleh
sekelompok orang yang beraksi secara bersama-sama (kolektif). Mereka patuh
pada norma kelompoknya yang kuat dan biasanya bertentangan dengan norma
masyarakat yang berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya
sebagai akibat pengaruh pergaulan/teman. Kesatuan dan persatuan dalam
kelompok dapat memaksa seseorang ikut dalam kejahatan kelompok, supaya
jangan disingkirkan dari kelompoknya.
Penyimpangan yang dilakukan secara kelompok/kolektif antara lain:
1. Kenakalan remaja
Remaja memiliki keinginan membuktikan keberanian dalam melakukan halhal yang dianggap bergengsi, sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan
menyerempet bahaya, misalnya kebut-kebutan dan membentuk geng-geng
yang membuat onar.
2. Tawuran/perkelahian pelajar
Perkelahian antar pelajar termasuk jenis kenakalan remaja yang pada
umumnya terjadi di kota-kota besar sebagai akibat kompleknya kehidupan di
kota besar. Demikian juga tawuran yang terjadi antar kelompok/etnis/warga
yang akhir-akhir ini sering muncul. Tujuan perkelahian bukan untuk mencapai

nilai yang positif, melainkan sekedar untuk balas dendam atau pamer
kekuatan/unjuk kemampuan.
3. Penyimpangan kebudayaan
Ketidakmampuan menyerap norma-norma kebudayaan kedalam kepribadian
masing-masing individu dalam kelompok maka dapat terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma budayanya. Contoh: tradisi yang mewajibkan mas
kawin yang tinggi dalam masyarakat tradisional banyak ditentang karena tidak
lagi sesuai dengan tuntutan zaman.
d. Dampak Deviasi
a) Dampak Penyimpangan Sosial Terhadap Diri Sendiri/ Individu
Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan
dicap sebagai penyimpang (devian). Sebagai tolok ukur menyimpang atau
tidaknya suatu perilaku ditentukan oleh norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat akan dianggap sebagai penyimpangan dan harus ditolak. Akibat
tidak diterimanya/ditolak perilaku individu yang bertentangan dengan nilai dan
norma masyarakat, maka berdampaklah bagi si individu tersebut hal-hal sebagai
berikut (Ika, 2011):
1) Terkucil
Umumnya dialami oleh pelaku penyimpangan individual, antara lain pelaku
penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, tindak kejahatan/kriminal.
Pengucilan kepada pelaku penyimpangan dilakukan oleh masyarakat dengan
tujuan supaya pelaku penyimpangan menyadari kesalahannya dan tindak
penyimpangannya tidak menulari anggota masyarakat yang lain. Pengucilan
dalam berbagai bidang, antara lain: hukum, adat/budaya dan agama. Pengucilan
secara hukum, melalui penjara, kurungan, dsb. Pengucilan melalui agama, pada
agama tertentu (contohnya: Katolik) ada hak-hak tertentu yang tidak boleh
diterima oleh si pelaku penyimpangan, misalnya tidak boleh menerima sakramen
tertentu bilamana seseorang melakukan tindakan penyimpangan (berdosa).
2) Terganggunya perkembangan jiwa
Secara umum pelaku penyimpangan sosial akan tertekan secara psikologis
karena

ditolak

oleh

masyarakat.

Baik

penyimpangan

ringan

maupun

penyimpangan berat akan berdampak pada terganggunya perkembangan mental


atau jiwanya, terlebih-lebih pada penyimpangan yang memang diakibatkan dan
yang mempunyai sasaran pada jaringan otaknya, misalnya pada pelaku
penyalahgunaan narkoba dan kelainan seksual.
3) Rasa bersalah
Sebagai manusia yang merupakan mahluk yang berakal budi, mustahil
seorang pelaku tindak penyimpangan tidak pernah merasa malu, merasa bersalah
bahkan merasa menyesal telah melanggar nilai-nilai dan norma masyarakatnya.
Sekecil apapun rasa bersalah itu pasti akan muncul karena tindak penyimpangan
tersebut telah merugikan orang lain, hilangnya harta benda bahkan nyawa.
b) Dampak Penyimpangan Sosial Terhadap Masyarakat/kelompok
Seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang
sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan supaya mendapatkan teman. Lamakelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan menjadi
penyimpangan kelompok, akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma
masyarakat. Dampak yang ditimbulkan selain terhadap individu juga terhadap
kelompok/masyarakat (Ika, 2011).
1) Kriminalitas
Tindak kejahatan, tindak kekerasan seorang kadangkala hasil penularan
seorang individu lain, sehingga tindak kejahatan akan muncul berkelompok dalam
masyarakat. Contoh: seorang residivis dalam penjara akan mendapatkan kawan
sesama penjahat, sehingga sekeluarnya dari penjara akan membentuk kelompok
penjahat, sehingga dalam masyarakat muncullah kriminalitas-kriminalitas baru.
2) Terganggunya keseimbangan sosial
Robert K. Merton mengemukakan teori yang menjelaskan bahwa perilaku
menyimpang itu merupakan penyimpangan melalui struktur sosial. Karena
masyarakat merupakan struktur sosial, maka tindak penyimpangan pasti akan
berdampak terhadap masyarakat yang akan mengganggu keseimbangan sosialnya.
Contoh: pemberontakan, pecandu obat bius, gelandangan, dan pemabuk.
3) Pudarnya nilai dan norma
Pelaku penyimpangan jika tidak mendapatkan sangsi yang tegas dan jelas,
maka muncullah sikap apatis pada pelaksanaan nilai-nilai dan norma dalam

masyarakat. Sehingga nilai dan norma menjadi pudar kewibawaannya untuk


mengatur tata tertib dalam masyarakat. Juga karena pengaruh globalisasi di bidang
informasi dan hiburan memudahkan masuknya pengaruh asing yang tidak sesuai
dengan budaya Indonesia mampu memudarkan nilai dan norma, karena tindak
penyimpangan sebagai aksesnya. Contoh; pengaruh film-film luar yang
mempertontonkan tindak penyimpangan yang dianggap hal yang wajar di sana,
akan mampu menimbulkan orang yang tidak percaya lagi pada nilai dan norma di
Indonesia.
e. Upaya-upaya Mengantisipasi Deviasi/Penyimpangan
Antisipasi adalah usaha sadar yang berupa sikap, perilaku atau tindakan
yang dilakukan seseorang melaui langkah-langkah tertentu untuk menghadapi
peristiwa yang kemungkinan terjadi. Jadi sebelum tindak penyimpangan terjadi
atau akan terjadi seseorang telah siap dengan berbagai perisai untuk
menghadapinya (Ika, 2011).
Upaya mengantisipasi tersebut melalui:
1) Penanaman nilai dan norma yang kuat
Penanaman nilai dan norma pada seseorang individu melalui proses
sosialisasi. Adapun tujuan proses sosialisasi antara lain sebagai berikut:
a) Pembentukan konsep diri
b) Pengembangan keterampilan
c) Pengendalian diri
d) Pelatihan komunikasi
e) Pembiasaan aturan.
Melihat tujuan sosialisasi tersebut jelas ada penanaman nilai dan norma.
Apabila tujuan sosialisasi tersebut terpenuhi pada seseorang individu dengan
ideal, niscaya tindak penyimpangan tidak akan dilakukan oleh si individu tersebut.
2) Pelaksanaan Peraturan Yang Konsisten
Segala bentuk peraturan yang dikeluarkan pada hakekatnya adalah usaha
mencegah adanya tindak penyimpangan, sekaligus juga sebagai sarana/alat
penindak laku penyimpangan. Namun apabila peraturan-peraturan yang
dikeluarkan tidak konsisten justru akan dapat menimbulkan tindak penyimpangan.

Apa yang dimaksud dengan konsisten? Konsisten adalah: satu dan lainnya saling
berhubungan dan tidak bertentangan atau apa yang disebut dengan ajeg.
3) Berkepribadian Kuat dan Teguh
Menurut Theodore M. Newcomb kepribadian adalah kebiasaan, sikap-sikap
dan lain-lain, sifat yang khas yang dimiliki seseorang yang berkembang apabila
orang tadi berhubungan dengan orang lain. Seseorang disebut berkepribadian,
apabila seseorang tersebut siap memberi jawaban dan tanggapan (positif) atas
suatu keadaan. Apabila seseorang berkepribadian teguh ia akan mempunyai sikap
yang melatarbelakangi semua tindakannya. Dengan demikian ia akan mempunyai
pola pikir, pola perilaku, pola interaksi yang sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku di masyarakatnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1
3.1.2
3.1.3 Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikarenakan kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan
kesehatan fisik. Keterkaitan antara kesehatan fisik dan kesehatan mental inilah
mengakibatkan apabila salah satu dari komponen tersebut sakit, komponen yang
lain juga mengalami dampak yang ditimbulkan / disfungsi.
3.1.4 Gangguan mental emosional merupakan perubahan atau gangguan mood
dan efek yang berpengaruh juga terhadap fisik seseorang karena aspek biologis
(fisik), psikis (salah satunya emosi) dan sosial. Sedangkan Deviasi atau
penyimpangan adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil
menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.

Daftar pustaka:
Husain, Fida.2011.Konsep Sehat-Sakit (Laporan Diskusi) (Online)
(http://Konsep-sehatsakit-fidahusain-undip.html), diakses pada 10 Januari 2015.
Ika, 2011. Perilaku Menyimpang. (Online)
(http://ikaribajuwanita.files.wordpress.com/2011/05/perilaku-menyimpang.pdf ),
diakses tanggal 11 Januari 2015.
Notoatmodjo,

Soekidjo.2003.Pendidikan

dan

Perilaku

Kesehatan.Jakarta.Rineka Cipta
Rahim Ali, Arsyad.2008.Staff Dinas Kesehatan Polewali Mandar (online)
(http://www.Arali.wordpress.html), diakses pada 10 Januari 2015.
Suyoko. 2012. Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan
Mental

Emosional

pada

Lansia

di

DKI

Jakarta.

(Online

),

(http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB0QFjAA&url=
http%3A%2F%2Flib.ui.ac.id), diakses tanggal 11 Januari 2015.

Anda mungkin juga menyukai