MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Kesehatan Mental Lansia
yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri M. PH dan
dr. Tisnalia Mahendra S. KM
Oleh:
Ayu Nindhi Kistianita
(130612607859)
Heri Setiawan
(130612607838)
(130612607854)
Daftar Isi
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1 Latar belakang.....................................................................................................
1.2 Rumusan masalah.................................................................................................
1.3 Tujuan...................................................................................................................
BAB 2. PEMBAHASAN..........................................................................................
2.1 Pengertian sehat dan sakit.................................................................................
2.1.1 Pengertian sehat................................................................................................
2.1.2 Pengertian sakit.................................................................................................
2.2 Perilaku sehat.....................................................................................................
2.2.1 Bentuk perilaku.................................................................................................
2.2.2 Batasan perilaku sehat.......................................................................................
2.5 ..............................................................................................................................
2.6 ..............................................................................................................................
BAB 3. PENUTUP ...................................................................................................
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................
Daftar Pustaka............................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia mempunyai sebuah kesehatan dimana
seseorang merasa baik dengan fisik dan mentalnya lebih tepatnya sehat yaitu suatu
kondisi yang bebas dari berbagai jenis penyakit baik secara fisik, mental, maupun
sosial. Konsep Sehat adalah keadaan normal yang sesuai dengan standar yang
diterima berdasarkan kriteria tertentu, sesuai jenis kelamin dan komunitas
masyarakat sekitarnya.
Pandangan sebagian besar individu dalam masyarakat mengenai kesehatan
dan pelayanan kesehatan masih rendah. Hal ini tentunya akan mempengaruhi
setiap perilaku sehat-sakit yang dimiliki oleh individu tersebut. Sebagian besar
masyarakat belum mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat dari tenaga medis
karena pelayanan kesehatan medis yang tidak merata. Hal ini banyak ditemukan
pada daerah-daerah terpencil yang belum dapat dijangkau oleh tenaga kesehatan.
Selain itu masalah biaya juga menjadi alasan bagi masyarakat untuk tidak mencari
pelayanan kesehatan medis. Namun di lain pihak, bagi beberapa individu,
kesehatan merupakan hal yang sangat penting.
Untuk itu, beberapa orang rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
untuk
memperoleh
kesehatan
dalam
diri
mereka.
Perilaku sehat-sakit dari setiap individu tentunya akan berbeda. Dapat dilihat dari
bagaimana individu dalam sebuah kelompok sosial menjalankan pola hidupnya.
Pola hidup dari setiap kelompok sosial tentunya akan berbeda sesuai dengan
kebiasaan yang dianut oleh setiap individu tersebut. Pola hidup yang sudah
menjadi kebiasaan dalam sebuah kelompok sosial akan berkembang menjadi
sebuah budaya. Pengaturan pola hidup yang baik dari setiap individu harus berasal
dari kesadaran dalam diri individu sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
menahan diri untuk tidak melakukan pola hidup yang dapat berakibat buruk bagi
kesehatan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sehat dan Sakit
2.1.1 Pengertian Sehat
Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit
akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek
fisik, emosi, sosial dan spiritual. Berikut ini beberapa definisi sehat menurut para
ahli:
1. Sehat menurut WHO (1947)
Sehat adalah keadaan utuh secara fisik, jasmani, mental, dan sosial dan
bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit cacat dan kelemahan.
Mengandung 3 karakteristik : merefleksikan perhatian pada individu sebagai
manusia, memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal,
sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif.
2. Sehat menurut UU No.23/1992 Tantang Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani)
dan
sosial
yang
memungkinkan
hidup
produktif
secara
sosial
dan
ekonomis.Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai salah satu
yang utuh yang terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan didalam
kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.
3. Sehat menurut Pepkins
Sehat adalah suatu keadaan keseimbangan dinamis antara bentuk dan
fungsi tubuh yang dapat mengadakan penyesuaian sehingga tubuh dapat
mengatasi gangguan dari luar.
4. Sehat menurut Zaidin Ali (1999)
Sehat adalah suatu kondisi keseimbangan antara status kesehatan biologis
(jasmani), psikologis (mental), sosial, dan spiritual yang memungkinkan orang
tersebut hidup secara mandiri dan produktif.
5. Sehat menurut Pender (1982)
ditransfer
melalui
manusia,
dan
disalurkan
untuk
sehat
tercermin
dari
kemempuan
seseorang
untuk
2) Lansia Sehat
Lansia adalah seseorang yang secara alami telah menurun fungsi tubunhya
seiring dengan bertambahnya usia, penurunan ini bermacam-macam tingkatnya
walaupun demikian lansia yang sudah turun fungsi sistemnya masih dikatakan
sehat bila tidak disertai keadaan patologi (WHO, 1998 dalam Suyoko, 2012).
Lansia sehat sangat dipengaruhi pada lingkaran kehidupan keluarganya,
terdapat 2 lingkaran kehidupan yang mempengaruhi kesehatan lansia yaitu
lingkaran negatif dan lingkaran positif. Pada lingkaran kehidupan negatif
keluarga/masyarkat dicap sebagai orang yang tak mampu atau sudah tidak efisien
sehingga lansia tersebutmenjadi sakit dan akhirny mengakui dirinya sakit dan
cacat. Sedangkan teori lingkaran positif, lansia tersebut ada pada keberadaan yan
gnyman, ia menjalakan pemeriksaan medik dan mendapatkan diagnosa dan
pengobatan yang tepat ia juga mendapatkan masukan sosial medik seperti
dukungan, makanan, perumahan dan pengangkutan dengan itu semua lansia
tersebut memiliki kemampuan emosi dan dukungan emosional, dirinyamengikuti
peran lanjut usia untuk mempertahankan sosialnya misanya sebagai relawan.
2.1.2 Pengertian Sakit
a. Menurut Pemons (1972)
Sakit merupakan gangguan dalm fungsi normal individu termasuk keadaan
organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya.
b. Menurut Perkins (1937)
Sakit adalah kedaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang
sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik aktivitas jasmani,
rohani dan sosial.
c. Menurut WHO (1974)
Sakit adalah suatu keadaan yang tidak seimbang/sempurna seseorang dari
aspek medis, fisik, mental, sosial, psikologis dan bukan hanya mengalami
kesakitan tetapi juga kecacatan.
Ciri-ciri sakit :
atau
gaya
hidup
lain
yang
positif
bagi
kesehatan.
Fisik dan mental adalah dua komponen yang berbeda. Dari segi bahasa fisik
sering disebut dengan raga / tubuh sedangkan mental sering disebut dengan
psikis /jiwa. Kedua komponen tersebut dalam tubuh makhluk hidup sangatlah
berhubungan. Seperti kata pepatah Yunani Kuno " Di dalam tubuh yang sehat
terdapat jiwa yang sehat pula".
Istilah kesehatan mental digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan
baik emosi maupun kognitif atau ketiadaan dari penyakit mental. Dalam Undangundang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa sehat adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap oragan
hidup produktif secara sosial ekonomi.
Kesehatan mental adalah keadaan yan gmemungkinkan perkembangan fisik,
menal, dan intelektual yang optimal dari seseorang serta oerkembangan tersebut
berjalan selaras dengan oran glain sebagaimana adany dan mempunyai sikap
positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Direktoral Kesehatan Jiwa, 2001
dalam Suyoko, 2012).
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikarenakan kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan
kesehatan fisik. Individu yang mengalami masalah kesehatan fisik (terkena
penyakit) juga mengalami masalah kesehatan mental yakni depresi dan
kecemasan. Depresi dan kecemasan akan penyakit yang diderita. Adanya masalah
kesehatan mental yang ditimbulkan tersebut mempengaruhi kesehatan fisik
individu tersebut. Sebaliknya individu yang mengalami masalah kesehatan mental
dapat mengembangkan gejala-gejala fisik dan penyakit seperti penurunan berat
badan dan ketidakseimbangan biokimia darah yang terkait dengan gangguan
makan.
Keterkaitan
antara
kesehatan
fisik
dan
kesehatan
mental
inilah
mengakibatkan apabila salah satu dari komponen tersebut sakit, komponen yang
lain juga mengalami dampak yang ditimbulkan / disfungsi.
2.4 Gangguan Mental pada Lansia dan Deviasi (Penyimpangan)
2.4.1 Gangguan Jiwa
a. Pengertian
Gangguan jiwa dapat terjasi kapan saja, terhadap siapa saja mulai dari yang
paling ringan sampai yang paling parah. Menurut dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ
bahwatidak ada seorangpun yang mengatakan dirinya tidak pernah mengalami
gangguan kejiwaan (Kompas, 5 November 2007 dalam Suyoko, 2012).
Dari berbagai penelitian dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan
dari keadaan-keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik
maupun mental, keabnormalan tersebut dibagi menjadi dua golongan yakni
gangguan jiwa (neurosis) dan sakit jiwa (psikosis). Keabnormalan dapat dilihat
dalam berbagai gejala yang terpenting diantaranya adalah ketegangan (tension),
rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa
(consulsive), histeria, rasa lemah, tidak mampu mancapai tujuan, takut, pikiranpikiran yang buruk dan sebagainya (Yosep, 2008 dalam Suyoko, 2012).
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
Depkes, gangguan jiwa adalah suatu kelompok gejala atau perilaku yang
bermakna dan dapat ditemukan secara klinis dan disetai dengan penseritaan
(distress) pada kebanyakan kasus dan dan berkaitan dengan terganggunya fungsi
pada seseorang. Pada dasarnya ganggguan jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri, karenan manifestasi dari gangguan jiwa berupa perilaku, pikiran, dan
perasaan, erat sekali kaitannya dengan kondisi tubuh/jasamani.
b. Jenis Gangguan Jiwa
Klasifikasi gangguan jiwa terbagi menjadi 2 golongan besar yaitu (Maramis,
2009 dalam Suyoko, 2012):
1. Psikosis (gangguan jiwa berat/penyakit mental)
Psikosa adalah gangguan jiwa serius yang timbul karena organik atau
emosional dan menunjukan gangguan berfikir, bereaksi secara emosional,
mengingat, berkomunikasi, menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai denga
kenyataan tersebut, sehingga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari sangat terganggu.
2. Neurosis (gangguan jiwa ringan/gangguan mental)
Neurosis ialah suatu kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena
tidak dapat diselesaikannya suatu konflik tak sadar.
mental
emosional
merupakan
suatu
keadaan
yang
lebih disebabkan faktor bilogis yan gmungkin disebabkan perubahan pada sistem
syarat pusat. Hal ini yang memungkinkan menyebabkan terjadinya depresi
(Koenig dan Blazer, 2003 dalam Suyoko, 2012 ). Menurut penelitian umur lansia
yang berusia diatas 70 tahun lebih beresiko mengalami gangguan mental
emosional (Marini, 2008 dalam Suyoko, 2012).
2. Jenis kelamin
Diagnostik gangguan mental adalah sama untuk semua jenis kelamin,
namun pada wanita lebih rentan terkena gangguan mnetal emosional karena
disebabkan perubahan hormonal dan perbedaan karakteristik antara laki-laki dan
perempuan, selain perubahan hormonal, karakteristik wanita yang lebih
mengedepankan emosional daripada rasional juga berperan. Ketika menghadapi
ekonomi yang makin baik dan kemandirian yang semakin mantap. Dari penelitian
Boedhi Darmojo tahun 1992 di Semarang didapatkan bahwa tingkat pendidikan
seorang lanjut usia berbanding positif langsung dengan tingkat kesehatan
(Darmojo, 2004 dalam Suyoko, 2012)
Pendidikan rendah dihubungkan dengan meningkatnya risiko untuk
terjadinya demensia adan terjadinya depresi pada penelitian-penelitian sebelumya
didapatkan bahwa depresi lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia dengan
pendidikan rendah yakni < 9tahun sekolah.
5. Status pekerjaan
Pada umumnya setelah memasuki lansia, ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotor
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak, seperti gerakan,
tindakan, dan koordinasi, yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto,
2009 dalam Suyoko, 2012).
Pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara
orang0orang tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan sisanya
sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher, 2009 dalam Suyoko, 2012).
Pensiun setelah bertahun-tahun bekerja dapat membahagiakan dan
memenuhi harapan atau hal ini malah menjadi penyebab masalah kesehatan fisik
dan mental. Setelah pensiun beberapa orang tidak pernah dapat menyesuaikan diri
dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami hari yang panjang.
Bbebrapa lansia tidak termotivasi untuk mempertahankan penampilan mereka
ketika mereka tidak atau hanya sedikit melakukan kontak dengan orang lain
dirumahnya (Stanley, 2006 dalam Suyoko, 2012).
Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi orang yang
telah pensiun. Identitas biasanya berasal dari peran kerja, sehingga individu harus
membangun identitas baru pada saat pensiun. Mereka juga kehilangan struktur
pada kehidupan harian saat mereka tidak lagi memiliki jadwal kerja. Interaksi
sosial dan interpersonal yan gterjadi pada lingkungan kerja juga telah hilang.
Sebagai penyesuaian, lansia harus menyusun jadwal yang bermakna dxan jaringan
sosial pendukung (Potter, 2009 dalam Suyoko, 2012).
6. Status sosial ekonomi
Ketika seseorang sakit maka tidak akan berdampak buruk pada seseorang
yang berpenghasilan tetapi bagi yan gtidak berpenghasilan dapat menimbulkan
goncangan ekonomi sehingga menimbulkan stress atau gangguan mental (Depkes,
2004 dalam Suyoko, 2012)
Menurut beberapa penelitian tingkat sosial ekonomi juga berperan dalam
menentukan gangguan emosional, semakin tinggi tingkat sumber ekonomi
keluarga semakin tinggi stabilitas dan kebahagiaan keluarga. Apabila status
ekonomi pada tahap yang rendah dan kebutuhan dasar saja tidak dapat terpenuhi
maka hal ini akan menimbulkan konflik didalam keluarga yang menyebabkan
gangguan mental emosional (Murti, 2004 dalam Suyoko, 2012).
b.
mental emosional melalui cara yang tidak langsung yaitu karena adanya
keterbatasan mobilitas, ketergantungan orang lain , dan nyeri yang terus menerus
atau ketidaknyamanan. Pengalaman klinis menyebutkan bahwa bukan keparahan
penyakit atau ancaman kematian yang mengganggu kesehatan mental usia lanjut
tetapi adanya berbagai kehilangan akibat penykit tersebut yang mempunyai
hubungan erat dengan gangguan mental emosional (Soedjono, 2000 dalam
Suyoko, 2012).
Satu faktor risiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit (kronis), hal
ini juga sesuai model medis menurut Meyeret.all yang dijelaskan bahwa
perubahan perilaku dalam gangguan mental emosional disebabkan oleh penyakit
biologis perilaku yang menyimpang berhubungan denga toleransi responden
terhadap stress (Struat, 2000 dalam Suyoko, 2012)
Penykit kronik adalah penyakit tidak menular dan menular yang diderita
berlangsung lama, beberapa penykit tisak menular beresiko menyebabkan
gangguan mental adalah hipertensi, gangguan sendi dan diabetes mellitus (DM).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur
paling tidak pada tiga kesempatan ya berbeda. Tekanan darah normal bervariasi
sesuai usia. Namun secara umum seseorang dianggap mengalami hipertensi
apabila tekanan darahnya lebih tinggi daripada untuk sistolik 140 mmHg dan
diastolik 90 mmHg. Hipertensi pada usia lanjut mempunyi komplikasi yang lebih
besar daripada hipertensi pada kelompok lain. Penurunan fungsi kognitif dan
demensia serta stroke banyak dijumpa pada hipertensi kronik (Parsudi, 2009
dalam Suyoko, 2012).
Diabetes melitus termasuk gangguan metabolik (metabolik syndrome) dari
distribusi gula oleh tubuh. Penderita DM tidak mampu memproduksi hormon
insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakannya secara
efektif sehingga terjadi kelebihan gula di dalam tubuh (Anies, 2006 dalam
Suyoko, 2012).
Menurut American Diabetes Association/WHO DM diklasifikasikan 4 macam :
a) DM Tipe I
Disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas akibat reaksi auto imun.
Pada tipe ini hormon insulin tidak diproduksi. Kerusakan sel beta tersebut
terjadi sejak anak-anak maupun dewasa. Penderita harus mendapat
suntikan insulin setiap hari selama hidupnya sehingga dikenal dengan
istilah Insulin Dependen Diabetees Melitus (IDDM). DM Tipe I cenderung
diderita orang yang berusia kurang dari 20 tahun.
b) DM Tipe II
Disebabkan oleh resistensi hormon insulin karena jumlah reseptor insulin
pada permukaan sel kurang, meskipun jumlah insulin tidak berkurang. Hal
Kemandirian fisik
Kemandirian pada lanjut usia dinilai dari kemampuannya untuk melakukan
Religi
Tingkat spiritualitas/religiusitas terbukti besar berpengaruh terhadap
2) Lanjut usia yang non religius kurang tabah dan kurang mampu mengatasi
stress dibandingkan usia yan greligius sehingga lebih sering mengalami
gangguan jiwa.
f.
Dukungan Sosial
Adanya dukungan sosial yang tinggi dilaporkan dapat melindungi diri dari
kejadian depresi pada lajut usi. Dukungan pekerjaan kurang penting dibandingkan
persamaan (usia, hobi), tingkat kepercayaan diri, mempunyai pasangan hidup dan
tingkat keakraban, kejadian kehidupan yang menyedihkan mungkin mempercepat
depresi/gangguan mental (Goldberg, 2007 dalam Suyoko, 2012).
g.
Status Gizi
Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan memepengaruhi
konsumsi dan penyerapan zat gizi pada lansia. Beberapa penelitian yan
gdilaksanakan menunjukkan bahwa masalah gizi berlebih dan kegemukan yan
gmemicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung
koroner, hipertensi, DM, batu empedu, rematik, ginjal dan kanker (Maryam, 2008
dalam Suyoko, 2012).
Status gizi adalah keadaan dimana yang dapat memberikan petunjuk apakah
seseorang menderita kurang gizi, baik atau lebih. Status gizi seseorang dapat
diketahui salah satunya dengan cara antropometri. Ukuran antropometri untuk
usia dewasa digunaakan indeks massa tubuh (IMT) atau Body Mass Index
(Depkes, 1990 dalam Suyoko, 2012).
Klasifikasi IMT menurut WHO (2004):
1) Kurus : <18,5
2) Normal : 18,5-24,9
3) Gemuk : 25-29,9
4) Sangat gemuk : 30
Kajian epidemiologi psikiatrik yang membuktikan bahwa memang ada
hubungan antara pertumbuhan berat badan dengan gangguan mental menurut Dr.
Susan Mc Elroy, seorang profesor psikiatri di Universitas of Cincinnati telah
melaksanakan studi ini didasarkan survei nasional pasa sekitar 9.125 oran
gdewasa yan gmenjalani interview kesehatan mental yang dilengkapi catatan
ukuran berat dan tinggi badan partisipan. Sekitar seperempat dari seluruh
responden masuk dalam kategori obesitas, sekitar 22% dari mereka mengalami
gangguan mood (seperti depresi dan rasa cemas berlebihan) dibandingkan 18%
responden yang tidak mengalami obesitas.
h.
gangguan
mental
emosional
lansia
berdasarkan
Jumlah (Orang)
174
50
6
230
Presentase (%)
75,7
21,7
2,6
100
tingkat
2012).
6) Status dalam keluarga
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status dalam
keluarga dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Status dalam keluarga
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Anggota keluarga
101
43,9
Kepala keluarga
129
56,1
Total
230
100
Tabel 1.6 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia
Berdasarkan status dalam keluarga Data Riskades Tahun 2007 di DKI
Jakarta
Berdasarkan tabel 1.6 responden gangguan mental emosional yang
baerstatus anggota keluarga sebanyak 101 responden (43,9%) dan yang baerstatus
kepala keluarga sebanyak 129 responden (56,1%) (Suyoko, 2012).
7) Status perkawinan
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status perkawinan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Status perkawinan
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Cerai
109
47,4
Tidak Kawin
0
Kawin
121
52,6
Total
230
100
Tabel 1.7 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia
Berdasarkan Status perkawinan Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.7 responden gangguan mental emosional yang
mempunyai status cerai sebanyak 109 responden (47,4%), mempunyai status
kawin sebanyak 121 responden (52,6%) dan yang tidak kawin tidak ada yan
gmenderita gangguan mental (Suyoko, 2012).
Jumlah (Orang)
Presentase (%)
Ya
103
44,8
Tidak
127
55,2
Total
230
100
Tabel 1.11 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
menderita Gangguan Sendi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.11 responden gangguan mental emosional yang
menderita Gangguan Sendi sebanyak 103 responden (44,8%) dan yang tidak
menderita sebanyak 127 responden (55,2%) (Suyoko, 2012).
d. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan status gizi
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan status gizi dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Status Gizi
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Gemuk
68
12,6
Kurus
40
17,4
Normal
122
44,8
Total
230
100
Tabel 1.12 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
status gizi data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
Berdasarkan tabel 1.12 responden gangguan mental emosionial yang
mempunyai status gizi gemuk sebanyak 68 responden (12,6%) yang berstatus gizi
kurus sebanyak 40 responden (17,4%) dan yang berstatus gizi normal sebanyak
122 responden (44,8%) (Suyoko, 2012).
e. Distribusi frekuensi gangguan mental pada lansia berdasarkan kemandirian fisik
Distribusi gangguan mental emosional lansia berdasarkan kemandirian fisik
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Kemandirian fisik
Jumlah (Orang) Presentase (%)
Tidak mandiri
67
29,1
mandiri
163
70,9
Total
230
100
Tabel 1.13 Distribusi Gangguan Mental Emosional pada Lansia Berdasarkan
kemampuan fisik data Riskades Tahun 2007 di DKI Jakarta
kehidupan
dalam
masyarakat.
Suatu
perilaku
dianggap
menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah
segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity)
terhadap kehendak masyarakat (Ika, 2011).
Definisi-definisi penyimpangan sosial:
a. James W. Van Der Zanden:
Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang
dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.
b. Robert M. Z. Lawang:
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma
yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang
berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
c. Lemert (1951):
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
1). Penyimpangan Primer (Primary Deviation)
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat
diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,
tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya: Menunggak iuran listrik dan telepon, melanggar rambu-rambu lalu
lintas dan ngebut di jalanan.
2). Penyimpangan Sekunder (secondary deviation)
Tindakan yang bertentangan dengan norma hukum, sosial dan agama. Yang
termasuk ke dalam tindak kriminal antara lain: pencurian, penipuan,
penganiayaan, pembunuhan, perampokan dan pemerkosaan.
6) Gaya hidup
Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup yang lain dari perilaku umum atau
biasanya. Penyimpangan ini antara lain:
a) Sikap arogansi
Kesombongan terhadap sesuatu yang dimilikinya seperti kepandaian,
kekuasaan, kekayaan dsb.
b) Sikap eksentrik
Perbuatan yang menyimpang dari biasanya, sehingga dianggap aneh,
misalnya laki-laki beranting di telinga, rambut gondrong dsb.
b. Penyimpangan Kolektif (Group Deviation)
Penyimpangan kolektif yaitu: penyimpangan yang dilakukan secara
bersama- sama atau secara berkelompok. Penyimpangan ini dilakukan oleh
sekelompok orang yang beraksi secara bersama-sama (kolektif). Mereka patuh
pada norma kelompoknya yang kuat dan biasanya bertentangan dengan norma
masyarakat yang berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya
sebagai akibat pengaruh pergaulan/teman. Kesatuan dan persatuan dalam
kelompok dapat memaksa seseorang ikut dalam kejahatan kelompok, supaya
jangan disingkirkan dari kelompoknya.
Penyimpangan yang dilakukan secara kelompok/kolektif antara lain:
1. Kenakalan remaja
Remaja memiliki keinginan membuktikan keberanian dalam melakukan halhal yang dianggap bergengsi, sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan
menyerempet bahaya, misalnya kebut-kebutan dan membentuk geng-geng
yang membuat onar.
2. Tawuran/perkelahian pelajar
Perkelahian antar pelajar termasuk jenis kenakalan remaja yang pada
umumnya terjadi di kota-kota besar sebagai akibat kompleknya kehidupan di
kota besar. Demikian juga tawuran yang terjadi antar kelompok/etnis/warga
yang akhir-akhir ini sering muncul. Tujuan perkelahian bukan untuk mencapai
nilai yang positif, melainkan sekedar untuk balas dendam atau pamer
kekuatan/unjuk kemampuan.
3. Penyimpangan kebudayaan
Ketidakmampuan menyerap norma-norma kebudayaan kedalam kepribadian
masing-masing individu dalam kelompok maka dapat terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma budayanya. Contoh: tradisi yang mewajibkan mas
kawin yang tinggi dalam masyarakat tradisional banyak ditentang karena tidak
lagi sesuai dengan tuntutan zaman.
d. Dampak Deviasi
a) Dampak Penyimpangan Sosial Terhadap Diri Sendiri/ Individu
Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan
dicap sebagai penyimpang (devian). Sebagai tolok ukur menyimpang atau
tidaknya suatu perilaku ditentukan oleh norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat akan dianggap sebagai penyimpangan dan harus ditolak. Akibat
tidak diterimanya/ditolak perilaku individu yang bertentangan dengan nilai dan
norma masyarakat, maka berdampaklah bagi si individu tersebut hal-hal sebagai
berikut (Ika, 2011):
1) Terkucil
Umumnya dialami oleh pelaku penyimpangan individual, antara lain pelaku
penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, tindak kejahatan/kriminal.
Pengucilan kepada pelaku penyimpangan dilakukan oleh masyarakat dengan
tujuan supaya pelaku penyimpangan menyadari kesalahannya dan tindak
penyimpangannya tidak menulari anggota masyarakat yang lain. Pengucilan
dalam berbagai bidang, antara lain: hukum, adat/budaya dan agama. Pengucilan
secara hukum, melalui penjara, kurungan, dsb. Pengucilan melalui agama, pada
agama tertentu (contohnya: Katolik) ada hak-hak tertentu yang tidak boleh
diterima oleh si pelaku penyimpangan, misalnya tidak boleh menerima sakramen
tertentu bilamana seseorang melakukan tindakan penyimpangan (berdosa).
2) Terganggunya perkembangan jiwa
Secara umum pelaku penyimpangan sosial akan tertekan secara psikologis
karena
ditolak
oleh
masyarakat.
Baik
penyimpangan
ringan
maupun
Apa yang dimaksud dengan konsisten? Konsisten adalah: satu dan lainnya saling
berhubungan dan tidak bertentangan atau apa yang disebut dengan ajeg.
3) Berkepribadian Kuat dan Teguh
Menurut Theodore M. Newcomb kepribadian adalah kebiasaan, sikap-sikap
dan lain-lain, sifat yang khas yang dimiliki seseorang yang berkembang apabila
orang tadi berhubungan dengan orang lain. Seseorang disebut berkepribadian,
apabila seseorang tersebut siap memberi jawaban dan tanggapan (positif) atas
suatu keadaan. Apabila seseorang berkepribadian teguh ia akan mempunyai sikap
yang melatarbelakangi semua tindakannya. Dengan demikian ia akan mempunyai
pola pikir, pola perilaku, pola interaksi yang sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku di masyarakatnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1
3.1.2
3.1.3 Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini dikarenakan kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan
kesehatan fisik. Keterkaitan antara kesehatan fisik dan kesehatan mental inilah
mengakibatkan apabila salah satu dari komponen tersebut sakit, komponen yang
lain juga mengalami dampak yang ditimbulkan / disfungsi.
3.1.4 Gangguan mental emosional merupakan perubahan atau gangguan mood
dan efek yang berpengaruh juga terhadap fisik seseorang karena aspek biologis
(fisik), psikis (salah satunya emosi) dan sosial. Sedangkan Deviasi atau
penyimpangan adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil
menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.
Daftar pustaka:
Husain, Fida.2011.Konsep Sehat-Sakit (Laporan Diskusi) (Online)
(http://Konsep-sehatsakit-fidahusain-undip.html), diakses pada 10 Januari 2015.
Ika, 2011. Perilaku Menyimpang. (Online)
(http://ikaribajuwanita.files.wordpress.com/2011/05/perilaku-menyimpang.pdf ),
diakses tanggal 11 Januari 2015.
Notoatmodjo,
Soekidjo.2003.Pendidikan
dan
Perilaku
Kesehatan.Jakarta.Rineka Cipta
Rahim Ali, Arsyad.2008.Staff Dinas Kesehatan Polewali Mandar (online)
(http://www.Arali.wordpress.html), diakses pada 10 Januari 2015.
Suyoko. 2012. Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan
Mental
Emosional
pada
Lansia
di
DKI
Jakarta.
(Online
),
(http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB0QFjAA&url=
http%3A%2F%2Flib.ui.ac.id), diakses tanggal 11 Januari 2015.