DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
MAY SYAFITRI 11221047
RENSI HENDERINA PICANUSSA 11221064
TIO FRISKA 11221076
ULUL AZMI S. M. 11221077
Masalah kesehatan jiwa masyarakat dewasa saat ini semakin meningkat, yaitu
dengan semakin meningkatnya tindak kekerasan, tingginya kenakalan remaja,
meningkatnya penyalahgunaan NΑΡΖΑ, meningkatnya tawuran, pengangguran dan
perselingkuhan juga merupakan faktor penyebab gangguan jiwa di masyarakat. Untuk
penanganan masalah ini, masyarakat perlu mendapatkan informasi yang luas tentang
kesehatan jiwa baik dalam permasalahan maupun pencegahan dan penangananya.
Menurut WHO (World Health Organization), masalah gangguan jiwa di dunia ini
sudah menjadi masalah yang semakin serius. Paling tidak, ada satu dari empat orang di
dunia ini mengalami gangguan jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di
dunia ini ditemukan mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data statistik, angka pasien
gangguan jiwa memang sangat mengkhawatirkan.
Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966, Kesehatan Jiwa adalah suatu
keadaan yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal
dari seseorang dan perkembangan ini selaras dengan dengan orang lain.
Di era globalisasi ini seringkali kita jumpai masalah-masalah yang kita hadapi,
masalah tersebut bisa berasal dari faktor-faktor internal dan eksternal. Tidak semua
individu memiliki koping yang efektif, setiap invidu biasanya mempunyai cara sendiri
untuk menyelesaikan masalahnya, tapi jika ada sebagaian individu yang tidak dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri akan dapat mengakibatkan gangguan jiwa salah
satunya adalah halusinasi.
UU Kesehatan Jiwa 18 Tahun 2014 : adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spritual dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Coba anda
diskusikan dengan teman anda, carilah devinisi lain mengenai sehat jiwa menurut ahli
yang lain.
2.2 Sejarah Perubahan Kesehatan Jiwa Abad 18, Abad 19, dan Abad 20
Masa Abad 18 dan 19
Pada tahun 1836, William Ellis mempublikasikan Treatise on Insanity yaitu
pentingnya pendamping terlatih bagi pasien gangguan jiwa, karena pendamping
terlatih terbukti efektif didalam memberikan ketenangan dan harapan yang lebih
baik bagi kesembuhan pasien. William Elim, seorang praktisi Kesehatan
mengusulkan perlunya pendamping yang terlatih dalam merawat pasien dengan
gangguan jiwa. Selanjutnya Benjamin Rush bapak Psikiatri Amerika tahun 1783,
menulis tentang pentingnya kerja sama dengan Rumah Sakit Jiwa dalam
memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pasien gangguan jiwa. Pada tahun
1843, Thomas Kirkbridge mengadakan pelatihan bagi dokter di rumah sakit
Pennsylvania mengenai cara merawat pasien gangguan jiwa. Tahun 1872
didirikannya pertama kali sekolah perawat di New England Hospital.
Women’s Hospital Philadelphia, tetapi tidak untuk pelayan psikiatri. Tahun
1882 didirikannya pendidikan keperawatan jiwa pertama McLean Hospital di
Belmont, Massachusetts dan pada tahun 1890, diterimanya lulusan sekolah perawat
bekerja sebagai staff keperawatan di rumah sakit jiwa. Pada akhir abad 19 terjadi
perubahan peran perawat jiwa yang sangat besar, dimana peran tersebut antara lain
menjadi contoh dalam pengobatan pskiatrik, seperti menjadi bagian dari tim
kesehatan, mengelola pemberian obat penenang dan memberikan hidroterapi (terapi
air).
Masa abad 20
Keperawatan jiwa pada abad ini ditandai dengan terintegrasinya materi
keperawatan psikiatrik dengan mata kuliah lain. Pembelajaran dilaksanakan melalui
pembelajaran teori, praktek di laboratorium, praktek klinik di rumah sakit, dan
masyarakat. Tingkat Pendidikan yang ada pada abad ini adalah D.III, Sarjana, Pasca
Sarjana, dan Doktoral. Fokus memberikan asuhan keperawatan jiwa pada abad 20
adalah mengembangkan asuhan keperawatan berbasis komunitas dengan menekankan
upaya preventif melalui pengembangan pusat kesehatan mental, praktek mandiri,
pelayanan di rumah sakit, pelayanan day care (perawatan harian) yaitu pasien tidak
dirawat inap, hanya rawat jalan, kunjungan rumah, dan hospice care (ruang rawat
khusus untuk pasien gangguan jiwa yang memungkinkan pasien berlatih untuk
meningkatkan kemampuan diri sebelum kembali ke masyarakat). Selain itu dilakukan
identifikasi dan pemberian asuhan keperawatan pada kelompok beresiko tinggi berupa
penyuluhan mengenai perubahan gaya hidup yang dapat mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan jiwa. Selain itu dikembangkan pada sistem managemen pasien
care dimana peran seorang manager adalah mengkoordinasikan pelayanan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan multidislipiner
Perkembangan keperawatan jiwa dimulai dari perkembangan di dunia,
perkembangan di Indonesia dan juga diikuti dengan perkembangan rumah sakit jiwa
di seluruh Indonesia. Perkembangan keperawatan jiwa di dunia dimulai pada massa
peradaban, kemudian disusul pada massa pertengahan, selanjutnya pada abad 18
sampai 19 serta perkembangan abad 20 yang ditandai dengan terintegrasinya
keperawatan dengan mata kuliah lain. Selanjutnya lahir beberapa organisasi kesehatan
mental di dunia antara lain seperti : American Psychiatric Association (APA).
Selanjutnya berkembang pada perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia dimulai
sejak zaman penjajahan Belanda, kemudian berlanjut pada zaman penjajahan Jepang
serta zaman kemerdekaan sejak pemerintahan penjajahan Belanda rumah sakit jiwa
sudah berdiri pertama kali yaitu RSJ. Dr. H Marzoeki Mahdi. Selanjutnya di Jawa
Timur didirikan RSJ. Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang pada tahun 1902 dan RSJ
Magelang yaitu di tahun 1916
2.3 Perkembangan Kesehatan Jiwa di Dunia dan di Indonesia
2.3.1 Sejarah Perkembangan Kesehatan Jiwa di Dunia
Awal Mula:
Zaman Kuno: Gangguan jiwa dianggap sebagai akibat dari roh jahat atau kutukan.
Pengobatannya melibatkan ritual magis atau pengusiran setan.
Abad Pertengahan: Orang dengan gangguan jiwa dikurung di rumah sakit jiwa
atau dipenjara. Perawatannya sering kali brutal dan tidak manusiawi.
Abad ke-18: Reformasi dimulai dengan gerakan moral yang menekankan pada
perawatan yang lebih manusiawi dan lingkungan yang terapeutik. Tokoh penting:
Philippe Pinel (Prancis) dan William Tuke (Inggris).
Abad ke-19: Klasifikasi penyakit mental mulai dikembangkan. Tokoh penting:
Emil Kraepelin dan Eugen Bleuler.
Abad ke-20: Perkembangan psikoanalisis (Sigmund Freud), penemuan obat-
obatan psikotropika, gerakan anti-stigma, dan fokus pada pendekatan psikososial.
Peran perawat jiwa dapat bervariasi tergantung pada setting tempat kerjanya,
Contohnya:
1. Perawat jiwa di rumah sakit jiwa: Memberikan perawatan langsung kepada pasien
yang dirawat inap.
2. Perawat jiwa di puskesmas: Memberikan layanan kesehatan jiwa di tingkat
komunitas, seperti skrining, promosi kesehatan, dan pencegahan gangguan jiwa.
3. Perawat jiwa di klinik kesehatan mental: Memberikan terapi individu, kelompok,
dan keluarga.
Perawat jiwa harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas dalam
bidang kesehatan jiwa, termasuk:
Psikiatri
Psikologi
Terapi perilaku kognitif
Psikoterapi
Farmakologi
Komunikasi
Keterampilan interpersonal
Perawat jiwa memainkan peran penting dalam membantu orang dengan gangguan
jiwa untuk mencapai pemulihan dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Tantangan yang dihadapi perawat jiwa:
Beban kerja yang berat
Kurangnya dukungan
Stigma dan diskriminasi
Keterbatasan sumber daya
Meskipun ada banyak tantangan, peran perawat jiwa sangatlah penting dan mulia.
Perawat jiwa membantu orang dengan gangguan jiwa untuk mendapatkan kembali
harapan dan menjalani hidup yang lebih baik.
6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“
(Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health
Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi.
Standar pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah
angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah
bukan masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe
Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara
internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak
menentu menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan
kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa
dalam kehidupan manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi
kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi
berupa rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari.
Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang
terjadi), pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana
alam, (gempa dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha
untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang
disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta
Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia menyatakan,
gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia
yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir penderita ini
akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada diantara mereka yang
berkali-kali telah mengalami pengalaman katastropik yaitu saat daerah tersebut ada
dalam kondisi berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa
sesudahnya. Kondisi itu memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga
kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip,
terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga
menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang.
Akibatnya, tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh,
namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan
berada dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa
seakan-akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami
bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma
muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi
tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami
Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan
kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan menjadi
saksi berbagai macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di daerah
ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus
proses kejiwaan yang bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar
dari lingkaran ingatan traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang
mengalami bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri
pernah mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan,
karena direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam
periode yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan
mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan
tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk
ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi
dari orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada
orang lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa
psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat ia secara tak sadar
melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang
terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat
psikoanalis, atau siapapun juga yang melakukan wawancara dengan korban.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan jiwa di dunia dimulai pada zaman mesir kuno, dimana gangguan jiwa
dianggap disebabkan karena adanya roh jahat yang bersarang diotak. Perkembangan
keperawatan jiwa didunia terus berkembang dengan menggali dari beberbagai teori dasar
yang telah dibuat oleh ilmuan dibidang psikologi dan lebih menerapkan pelayanan
prefentif. Dimasa ini juga ditemukan kencenderungan seorang anak yang terlahir dari
orang tua mengalami gangguan jiwa cenderung akan untuk mengalami gangguan jiwa pula
dimasa mendatang. Perkembangan keperwatan jiwa di Indonesia tidak diketahui secara
pasti diperlakukan seperti apa
Namun, pada masa jaman kolonial Belanda, para penderita ganguan jiwa ditampung
di rumah sakit-rumah sakit sipil atau militer. Semakin tahun penderita gangguan jiwa terus
bertambah sehingga mengharuskan untuk pemerintah membangun rumah sakit jiwa yang
pertama di Bogor pada tanggal 1 Juli 1882 (sekarang RSJ Marzoeki Mahdi). Selanjutnya
di Lawang (23 Juni 1902), RSJ Magelang (1923), RSJ Sabang (1927). Namun sangat
disayangkan, setelah Jepang menduduki Indonesia perkembangan kesehatan jiwa sempat
mengalami kemunduran. Pemerintah Indonesia terus memperbaiki pelayanan penderita
gangguan jiwa terbukti dengan adanya UU Kesehatan Mental dan memberi dukungan
dengan memberikan pendidikan bagi tenaga kesehatan jiwa.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini penyusun berharap agar pembaca khususnya tenaga
kesehatan lebih memahami Sejarah Keperawatan Jiwa baik di dunia maupun di Indonesia
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, B. A., (2011) Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN –Basic Course)
Jakarta EGC
JIWA, A. S. G. (2021). BAB I SEJARAH KEPERAWATAN JIWA DAN
KEPERAWATAN JIWA GLOBAL. KEPERAWATAN JIWA MENGENAL
KESEHATAN MENTAL, 1.
Maulana, I., Suryani, S., Sriati, A., Sutini, T., Widianti, E., Rafiah, I., ... & Senjaya, S.
(2019). Penyuluhan Kesehatan Jiwa untuk Meningkatkan Pengetahuan Masyarakat
tentang Masalah Kesehatan Jiwa di Lingkungan Sekitarnya. Media Karya Kesehatan,
2(2).
http://repository.unika.ac.id/13294/5/12.60.0248%20Christina%20Thiveny%20Putrianti
%20BAB%20IV.pdf
Perkembangan Psikiatri dan Kesehatan Jiwa:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3181932/
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/05/kesehatan-mental-masalah-kesehatan-
yang-paling-dikhawatirkan-warga-dunia-2023