Anda di halaman 1dari 124

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 1

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konsep dasar kesehatan dan keperawatan jiwa
Pokok Bahasan:
Konsep dasar sehat jiwa dan sejarah perkembangan keperawatan jiwa
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang pengertian sehat jiwa dan pengertiannya, kriteria sehat
jiwa dan sejarah perkembangan keperawatan jiwa di dunia dan di Indonesia.
Bahan Bacaan Utama:
1. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care.
Edisi 3. Philadelphia: F. A. Davis Company
2. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book
3. Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga
University Press
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian keperawatan jiwa.
2. Jelaskan kriteria sehat jiwa menurut Maslow, WHO, dan Jahoda.
3. Jelaskan sejarah perkembangan perawatan jiwa sejak masa peradaban, masa
pertengahan hingga masa kini di dunia dan di Indonesia
4. Jelaskan ruang lingkup bidang keperawatan jiwa
5. Jelaskan konsep paradigma kesehatan jiwa

KONSEP DASAR KEPERAWATAN JIWA

1. Pengertian

1
Keperawatan jiwa adalah Proses interpersonal yg berupaya meningkatkan dan
mempertahankan perilaku pasien yg berperan pd fungsi yg terintegrasi (Stuart, 2002)
Suatu bidang spesialisasi praktik kep yg menerapkan teori perilaku mns sbg ilmunya dan
penggunaan diri yg bermanfaat sbg kiatnya (ANA).
Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu psikososial, biofisik, teori kepribadian,
dan perilaku manusia unt mendapatkan suatu kerangka berpikir teoritis yg merupakan dasar
bagi praktik keperawatan jiwa. Setting keperawatan jiwa sendiri mencakup asuhan
keperawatan pasien jiwa baik di rumah sakit maupun komunitas (Community Mental Health
Nursing).

2. Konsep Sehat jiwa


Konsep sehat jiwa menurut Maslow, WHO dan Jahoda adalah sebagai beriku :
Maslow (1970) mendeskripsikan aktualisasi diri sebagai sehat secara psikologis, fully human,
fully mature. Menurut Maslow sehat atau aktualisasi diri tercapai jika individu memiliki ciri
sebagai berikut :
1. Persepsi tepat terhadap realita
2. Kemampuan menerima diri sendiri, orang lain dan human nature.
3. Kemampuan untuk menunjukan spontanitas
4. Kapasitas untuk memfokuskan konsentrasi pada penyelesaian masalah
5. Kebutuhan untuk perpisahan dan adanya privasi
6. Kemandirian, otonomi, dan resistensi terhadap enculuturation.
7. Intensitas reaksi emosi
8. Kemampuan untuk mencapai kepuasan hubungan interpersonal
9. Struktur karakter demokratis dan sense terhadap etika yg kuat
10. Kreatif

Sehat jiwa menurut Jahoda adalah sebagai berikut :


1. Penilaian yang positif thd diri sendiri
2. Pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan unt mencapai aktualisasi diri
3. Integrasi. Fokus integrasi disini adl mempertahankan keseimbangan pd berbagai
proses kehidupan
4. Otonomi. Individu memutuskan pilihan menerima tanggungjawab thd hasilnya.
5. Persepsi thd realita.
2
6. Environtment mastery. Individu mencapai kepuasan peran dalam kelompok,
masyarakat, atau lingkungan. Ketika berhadapan dg situasi kehidupan, individu
mampu unt berstrategi, membuat keputusan, berubah dan menyesuaikan diri.

Sehat jiwa menurut WHO adalah sebagai berikut :


1. Menyesuaikan diri pd kenyataan scr konstruktif meskipun pahit.
2. Puas atas usahanya.
3. Lebih puas memberi dari pd menerima
4. Mampu menjalin hub yg baik dg org lain, saling menolong
5. Menerima kekecewaan sbg pelajaran.
6. Mengarahkan permusuhan pd penyelesain yg kreatif & kontruktif.
7. Mempunyai kasih sayang.

APA mendefinisikan mental illness atau mental disorder sebagai perilaku klinis yang
signifikan atau sindrom psikologis atau pola yang terjadi pada seseorang dan hal itu
dihubungkan dengan adanya distress atau ketidakmampuan, atau secara signifikan
meningkatkan resiko mengalami kematian, nyeri, ketidakmampuan, atau kehilangan
kebebasan yang penting.

3. Sejarah perkembangan keperawatan jiwa


Pada awalnya keperawatan jiwa tidak mendapatkan perhatian yang serius dari semua bidang.
Tidak seperti penyakit umum atau penyakit fisik lainnya yang telah mendapat banyak
perhatian dan mengalami kemajuan dalam penanganannya, maka tidak demikian dengan
keperawatan jiwa. Sejak jaman dahulu, individu yang mengalami gangguan jiwa lebih sering
menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Mereka sering dikucilkan, diejek, diusir dan lebih
sering tidak diakui kehadirannya di lingkungan masyarakat kelas apapun. Individu gangguan
jiwa disebut sebagai “orang gila”, “tidak waras”, “sinting” dan lain-lain dengan konotasi yang
sangat negatif. Beberapa perkembangan keperawatan jiwa sejak jaman dahulu hingga
sekarang menunjukkan perubahan yang cukup signifikan, walaupun sampai sekarangpun
semua individu dengan gangguan jiwa masih terus “berjuang” untuk mencapai kemandirinya
maupun melepaskan diri dari stigma masyarakat yang menganggap bahwa individu gangguan
jiwa tidak pantas berada di tengah-tengah masyarakat.
3.1. Perkembangan keperawatan jiwa dimulai sejak tahun 1770 – 1880.
3
Pada masa itu masyarakat percaya bahwa penyebab utama menderita gangguan jiwa
adalah karena melakukan perbuatan dosa, baik yang dilakukan oleh individu yang
bersangkutan maupun oleh keturunan/nenek moyangnya terdahulu, semacam kutukan.
Masyarakat juga mempercayai bahwa gangguan jiwa disebabkan karena adanya
gangguan dari makhluk halus, atau roh leluhur yang merasuki badan/tubuh manusia yang
dipilihnya. Individu yang menderita gangguan jiwa disebut Orang Gila. Para cendekia
dijaman itu khususnya Yunani, Romawi dan Arab menduga bahwa gangguan jiwa
dikarenakan tidak berfungsinya organ otak dengan sebab yang tidak jelas. Hipocrates
(abad 7 SM) menyebutkan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh 4 cairan tubuh
(hormon). Sedangkan menurut Aristoteles selain disebabkan oleh 4 hormon tadi juga
disebabkan oleh kerusakan organ hati. Penyembuhan yang dilakukan yaitu dengan
menggunakan kuil sebagai Rumah Sakit, udara bersih, sinar matahari, air bersih, olah
raga, mendengarkan suara air terjun, ritual adat, ramuan, do’a, mantra, semuanya
dilakukan di kuil. Sehingga persepsi yang berkembang saat itu adalah bahwa gangguan
jiwa tidak dapat disembuhkan, shg diperlakukan tdk manusiawi.
3.2. Masa pertengahan
Pada masa pertengahan, perhatian masyarakat mulai berubah terhadap kasus gangguan
jiwa. Individu yang menderita gangguan jiwa dibuatkan sebuah tempat khusus dan
dirawat. Saat itu di Inggris tempat perawatan bagi individu gangguan jiwa di sebut
Asylum yang menjadi RSJ pertama dengan nama Bethlehem Royal Hospital. Meski
dirawat, namun pasien gangguan jiwa tetap mendapatkan pengasingan, dikucilkan, dan
dikurung. Asylum menjadi tempat pasien kronik, karena tidak bisa diobati. Kebutuhan
Dasar sebagai manusia sangat tidak diperhatikan. Dokter menjelaskan gejala depresi,
paranoia, delusi, histeria, mimpi buruk kepada keluarga pasien. Beberapa tokoh
kedokteran yang mulai melakukan analisa dan observasi adalah dr. Pinel (Perancis) dan
dr. Weyer (Jerman)
3.2 Abad 18-19
Pada masa ini perkembangan perawatan jiwa seperti memulai babak baru dimana mulai
berkembang psikoterapi dan dilakukannya klasifikasi atau pengelompokkan kasus
gangguan jiwa. Buku tentang tindakan kemanusiaan yang menyoroti perlakuan yang
diterima pasien gangguan jiwa ditulis oleh B. Rush dari USA. Kemudian tahun 1783 mulai
ada perhatian tentang tindakan moral pada pasien gangguan jiwa. Tahun 1872 di Inggris
didirikan Sekolah Perawat, tokoh pengajar jiwa Dorothea Lynde Dix. Lalu tahun 1882
4
didirikan sekolah Pendidikan Keperawatan Jiwa yang pertama di Belmont. Kemudian
tahun 1890 ada peran baru bagi perawat di Rumah Sakit Jiwa yaitu membantu dokter,
mengelola obat penenang, dan mengelola hidroterapi. Dari Eropa sampai Amerika
mendirikan Rumah Sakit, memperkerjakan pasien di kebun Rumah Sakit, membentuk
American Psikiatric Association, diterbitkan buku kedokteran jiwa I, bangunan Rumah
Sakit diletakkan diluarkota, adanya moral treatmen, humanistik, dilakukan tindakan
penyadaran masyarakat, deteksi dini gangguan mental, klasisfikasi gangguan jiwa lebih
berkembang. Istilah baru yang muncul saat itu adalah istilah skizophrenia yang dikenalkan
oleh Sigmund Freud. Freud juga mengemukakan teori baru tentang Psikoanalisa,
psikoseksualitas, neurosis, perkembangan kepribadian, dan psikoanalika terapi.
3.3 Abad 20
Abad 20 merupakan Era Psikiatri, dimana masyarakat dan para ahli mulai secara serius
memberikan perhatian pada kasus gangguan jiwa. Di Amerika upaya edukatif terhadap
masyarakat mulai dikelola dengan baik oleh pemerintahnya. Fokus utamanya adalah
meningkatkan sikap masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa, meningkatkan studi
sain dan klinis, studi lingkungan holistik, Psikological dan dinamika pelayanan psikiatrik,
berkembangnya teori interpersonal dan pendekatan multidisiplin. Tahun 1909 National
Society for Mental Hygiene, sekarang National Association for Mental Health,
membangun RSJ di pedesaan. Lalu tahun 1915 ada tokoh perawat Linda Richards yang
merupakan perawat psikiatri pertama Amerika, dan memberikan pelayanan penyakit jiwa
sama dengan penyakit fisik. Di bidang pendidikan tahun 1915 – 1935 berdiri Diploma
Keperawatan Psikiatri oleh National League for Nursing. Kemudian ditetapkan
Standarisasi pelayanan RSJ (tahun 1937). Pada tahun 1939 - 1955 Keperawatan Psikiatri
masuk kurikulum dalam pendidikan tetapi masih belum diakui. Hal ini terus berkembang
dan sekarang kurikulum ini telah diakui.
3.4 Perkembangan di Indonesia
Perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia dimulai sejak tahun 1862, saat itu Belanda
masih menjajah negeri ini. Apa yang terjadi di negara Barat juga direspon dengan
beberapa tindakan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Pemerintah saat itu
melakukan sensus jiwa di pulau Jawa dan Madura. Sensus ini mencatat sekaligus
membawa pasien gangguan jiwa untuk dirawat di Batavia (Jakarta). Pemerintah
membuatkan sebuah tempat khusus untuk mereka yang bernama RS Cina Jakarta. Metode
perawatannya masih sama seperti negara Barat pada waktu itu yaitu pasien ditempatkan di
5
suatu ruangan ber-tralis dan dibuatkan semacam lubang untuk mengintip atau
berkomunikasi dengan pasien. Saat itu pengetahuan dokter Hindia Belanda tentang
psikiatri masih sangat terbatas. Mereka banyak mengikuti perkembangan terbaru yang
terjadi di belahan negara Barat yang dirasa lebih maju dalam penanganan gangguan jiwa.
Pada tanggal 1 Juli 1882 pemerintah Hindia Belanda mendirikan RS Jiwa di Bogor dengan
kapasitas 400 bed. Ini adalah cikal bakal RSJ pertama di Indonesia. RSJ berikutnya yang
dibangun adalah RSJ Lawang (Jawa Timur) pada tanggal 23Juni 1902 dengan kapasitas
500 bed. Lalu tahun 1923 didirikan RSJ Magelang (Jawa Tengah) dengan program kerja
melalui pertanian. Pasien gangguan jiwa yang telah membaik dan dapat berkomunikasi
diperkerjakan di lahan-lahan pertanian. Selanjutnya menjelang kemerdekaan RI tahun
1942-1943 dilakukan pendataan kembali dan diketahui bahwa jumlah pasien meningkat,
lalu tahun 1944 jumlahnya menurun dan kemudian meningkat lagi.
Sesudah kemerdekaan tahun 1945, pemerintah RI yang baru kala itu menganggap bahwa
rumah sakit kurang tepat sebagai tempat perawatan pasien gangguan jiwa dikarenakan
jumlah tenaga/petugas yang kurang, sementara jumlah pasien semakin bertambah.
Selanjutnya dibuatkan prosedur baru tentang penanganan rujukan pasien gangguan jiwa.
Hasilnya asalah bahwa setiap pasien gangguan jiwa harus melewati prosedur perawatan
dengan disertai Surat perintah pengadilan, Surat Pamong Praja dan Surat keteragan dokter
dan keluarga. Lalu tahun 1966 dibuatlah Undang-Undang Kesehatan Jiwa No 3 tahun
1966 yang membolehkan bagi pasien gangguan jiwa untuk bisa langsung datang ke
Rumah Sakit Jiwa.

4. Paradigma keperawatan kesehatan jiwa


Saat ini perkembangan keperawatan jiwa telah memulai era baru yang menfokuskan
pemahaman bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan dimana sehat
jiwa adalah hak azasi manusia. Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang
sehat secara optimal (intelektual & emosional). Paradigma keperawatan adalah suatu cara
pandang yang mendasar atau cara kita melihat, memikirkan, memberi makna, menyikapi dan
memilih tindakan terhadap fenomena yang ada dalam keperawatan (La Ode Jumadi, 1999 :
28). Empat komponen paradigma dalam keperawatan jiwa meliputi : manusia, keperawatan,
konsep sehat-sakit dan lingkungan.
Paradigma pertama adalah manusia.

6
Manusia adalah makhluk bio – psiko – sosial dan spiritual yang utuh, dalam arti merupakan
satu kesatuan utuh dari aspek jasmani dan rohani serta unik karena mempunyai berbagai
macam kebutuhan sesuai tingkat perkembangannya (Konsorsium Ilmu Kesehatan, 1992).
Manusia adalah sistem yang terbuka senantiasa berinteraksi secara tetap dengan lingkungan
eksternalnya serta senantiasa berusaha selalu menyeimbangkan keadaan internalnya
(homeoatatis), (Kozier, 2000). Manusia memiliki akal fikiran, perasaan, kesatuan jiwa dan
raga, mampu beradaptasi dan merupakan kesatuan sistem yang saling berinteraksi, interelasi
dan interdependensi (La Ode Jumadi, 1999 :40). Jadi, konsep manusia menurut paradigma
keperawatan jiwa adalah manusia sebagai sistem terbuka, sistem adaptif, personal dan
interpersonal yang secara umum dapat dikatakan holistik atau utuh. Sebagai sistem terbuka ,
manusia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, baik lingkungan fisik,
biologis, psikologis maupun sosial dan spiritual sehingga perubahan pada manusia akan
selalu terjadi khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Sebagai sistem adaptif
manusia akan merespon terhadap perubahan lingkungannya dan akan menunjukan respon
yang adaptif maupun respon maladaptif. Respon adaptif akan terjadi apabila manusia tersebut
mempunyai mekanisme koping yang baik menghadapi perubahan lingkungannya, tetapi
apabila kemampuannya untuk merespon perubahan lingkungan yang terjadi rendah maka
manusia akan menunjukan prilaku yang maladaptif. Manusia atau klien dapat diartikan
sebagai individu, keluarga ataupun masyarakat yang menerima asuhan keperawatan. Manusia
sebagai individu artinya seseorang yang memiliki karakter total sehingga menjadikannya
berbeda dari orang lain (Karen, 2000). Manusia sebagai individu disebut juga orang yang
memiliki kepribadian meliputi tingkah laku dan emosi meliputi sikap, kebiasaan, keyakinan,
nilai – nilai, motivasi, kemampuan, penampilan dan struktur fisik yang berbeda satu dengan
lainnya. Gabungan semua ini akan mempengaruhi seseorang dalam cara berfikir, merasa dan
bertindak dalam berbagai situasi yang di hadapinya. Individu merupakan gabungan interaksi
genetik dengan pengalaman hidupnya dipengaruhi oleh identitas diri, konsep diri, persepsi,
kebutuhan dasar, mekanisme pertahanan diri dan tumbuh kembang.
Paradigma kedua adalah Keperawatan.
Komponen yang kedua dalam paradigma keperawatan ini adalah konsep keperawatan.
Keperawatan adalah bentuk pelayanan kepada individu dan keluarga, serta masyarakat
dengan ilmu dan seni yang meliputi sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dimilki
seorang perawat untuk membantu manusia baik dalam keadaan sehat atau sakit sesuai dengan
tingkat kebutuhannya Faye Abdellah (Twenty one nursing problems,1960). Keperawatan
7
adalah suatu fungsi yang unik dari perawat untuk menolong klien yang sakit atau sehat dalam
memberikan pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kemampuan, kekuatan, pengetahuan
dan kemandirian pasien secara rasional, sehingga pasien dapat sembuh atau meninggal
dengan tenang.Definisi ini merupakan awal terpisahnya ilmu keperawatan dan medik dasar.
Fungsi yang unik dari perawat adalah memabntu individu sehat ataupun sakit untuk
menggunakan kekuatan, keinginan dan pengetahuan yang dimilikinya sehingga individu
tersebut mampu melaksanakan aktivitas sehari – harinya, sembuh dari penyakit atau
meninggal dengan tenang Virginia Henderson (Fourteen Basic needs, 1960). Madeleine
Leininger (Transcultural Care Theory, 1984). Mempelajari seni humanistic dan ilmu yang
berfokus pada manusia sebagai individu atau kelompok, kepekaan terhadap kebiasaan, fungsi
dan proses yang mengarah pada pencegahan ataupun prilaku memelihara kesehatan atau
penyembuhan dari penyakit. Martha Roger (Unitary Human Beings, an energy field, 1970).
Keperawatan adalah pengetahuan yang ditujukan untuk mengurangi kecemasan terhadap
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan dan rehabilitasi
penderita sakit dan penyandang cacat. Dorothea Orem (Self care theory, 1985). Keperawatan
adalah sebuah pertolongan atas pelayanan yang diberikan untuk menolong orang secara
keseluruhan ketika mereka atau orang yang bertanggung jawab atas perawatan mereka tidak
mampu memberikan perawatan kepada mereka.Keperawatan merupakan salah satu daya atau
usaha manusia untuk membantu manusia lain dengan melakukan atau memberikan pelayanan
yang professional dan tindakan untuk membawa manusia pada situasi yang saling
menyayangi antara manusia dengan bentuk pelayanan yang berfokus kepada manusia
seutuhnya yang tidak terlepas dari lingkungannya. Pelayanan yang bersifat manusiawi yang
berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk merawat diri, kesembuhan dari penyakit
atau cedera dan penanggulangan komplikasinya sehingga dapat meningkat derajat
kesehatannya. Callista Roy (Adaptation Theory, 1976, 1984), Keperawatan adalah sebagai
ilmu pengetahuan melalui proses analisa dan tindakan yang berhubungan untuk merawat
klien yang sakit atau yang kurang sehat.Sebagai ilmu pengetahuan keperawatan Metode yang
digunakan adalah terapeutik, scientik dan knowledge dalam memberikan pelayanan yang
esensial untuk meningkatkan dan mempengaruhi derajat kesehatan. Roy menggambarkan
metode adaptasi dalam keperawatan. Tujuan keperawatan adalah meningkatkan respon
adaptasi dalam menghadapi permasalahan kesehatannya. Respon adaptif mempunyai
pengaruh positif terhadap kesehatannya.
Paradigma ketiga adalah konsep sehat sakit.
8
Sehat menurut WHO (1947), “Sehat adalah keadaan utuh secara fisik, jasmani, mental dan
sosial dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit cacat dan kelemahan”. Sehat
menurut UU no 23/1992 tentang kesehatan “Sehat adalah keadaan sejahtera dari badan
(jasmani), jiwa (rohani) dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara
sosial dan ekonomis”. Sakit menurut Zaidin Ali, 1998, “Sakit adalah suatu keadaan yang
mengganggu keseimbangan status kesehatan biologis (jasmani), psikologis (mental), sosial,
dan spiritual yang mengakibatkan gangguan fungsi tubuh, produktifitas dan kemandirian
individu baik secara keseluruhan atau sebagian”. Kesakitan adalah perasaan tidak nyaman
pada seseorang akibat penyakit sehingga mendorongnya untuk mencari bantuan. (Kozier,
2000).
Paradigma ke-empat adalah lingkungan.
Konsep lingkungan dalam paradigma keperawatan jiwa difokuskan pada lingkungan
masyarakat yaitu lingkungan fisik, psikologis, sosial, budaya dan spiritual.
Menurut Leavell (1965), ada tiga faktor yang saling mempengaruhi kesehatan dalam
lingkungan yaitu agen (penyebab), hospes (manusia) dan lingkungan.
Agen adalah suatu faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit, seperti faktor biologi,
kimiawi, fisik, mekanik atau psikologis misalnya virus, bakteri, jamur atau cacing, senyawa
kimia bahkan stress. Hospes adalah makhluk hidup yaitu manusia atau hewan yang dapat
terinfeksi oleh agen, sedangkan lingkungan adalah faktor eksternal yang mempengaruhi
kesehatan seperti lingkungan yang kumuh, lingkungan kerja yang tidak nyaman, tingkat
sosial ekonomi yang rendah, fasilitas pelayanan kesehatan.
Secara lebih aplikatif dalam keperawatan jiwa memandang bahwa pasien gangguan jiwa
merupakan makhluk yang memerlukan penanganan secara holistic, memiliki hak untuk
terpenuhinya Kebutuhan Dasar Manusia yang sama dengan individu lainnya, pasien butuh
untuk dipenuhi harga diri dan martabatnya, memiliki tujuan hidup mencapai kondisi sehat,
mandiri dan mampu beraktualisasi diri sesuai kemampuanya, memiliki kemampuan untuk
berubah dan mengejar tujuan, memiliki kapasitas koping yang bervariasi, memiliki hak untuk
berpartisipasi dalam mengambil keputusan. Selanjutnya tentang lingkungan, dalam hal ini
pasien dilatih untuk mengembangkan strategi koping yang efektif sehingga mampu
beradaptasi dengan perubahan disekitarnya. Konsep sehat-sakit menjelaskan bahwa pasien
gangguan jiwa memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang sama seperti
pasien unit rawat umum/penyakit fisik lainnya. Dalam konsep Keperawatan maka perawat
memandang klien secara holistik dan menggunakan diri secara teraupetik. Perawat
9
memberikan stimulus yang konstruktif dimana pasien akan belajar problem solving.
Berkembangnya paradigma keperawatan ini menginspirasi dalam penanganan kasus
gangguan jiwa sehingga sekarang terjadi perubahan paradigma dari perawatan “Custodial” ke
masyarakat (Community Based). Jika sebelumnya penanganan kasus gangguan lebih
cenderung diisolasikan, dikucilkan dan dijauhkan dari kehidupan masyarakat maka sekarang
menjadi community base, dimana masyarakat dilibatkan dalam penanganan gangguan jiwa.

5. Ruang lingkup keperawatan jiwa


Ruang lingkup keperawatan jiwa di Indonesia meliputi masalah gangguan jiwa (PPDGJ
III/ICD 10), masalah psikososial (gelandangan psikotik, anak jalanan, penyalahgunaan napza,
tindak kekerasan sosial, dan lain-lain), masalah perkembangan manusia yang harmonis dan
peningkatan kualitas hidup (siklus hidup: menikah, lansia; penyakit menahun; pemukiman
sehat; pindah tempat tinggal). Jadi intinya ruang lingkup keperawatan jiwa mencakup klien
gangguan, klien dengan masalah psikososial dan kelompok klien sehat sejak bayi, kanak-
kanak, remaja, dewasa hingga lansia.

10
MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 2

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan peran dan fungsi perawat jiwa, etik legal asuhan keperawatan
jiwa dan standar keperawatan jiwa.
Pokok Bahasan:
Peran dan fungsi perawat jiwa, etik legal asuhan dan standar asuhan keperawatan jiwa
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang peran dan fungsi perawat jiwa, aspek legalitas asuhan
yang aman bagi klien dan perawat jiwa serta standar mutu asuhan keperawatan jiwa.
Bahan Bacaan Utama:
1. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care.
Edisi 3. Philadelphia: F. A. Davis Company
2. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book
3. Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga
University Press
4. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa III,
Jakarta
5. Fortinash,K.M and Holoday-Worret,P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care
Plans,Mosby Year Book,St.Louis
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan peran dan fungsi perawat jiwa.
2. Jelaskan etik legal asuhan keperawatan jiwa
3. Jelaskan standar mutu dan standar asuhan keperawatan jiwa

PERAN DAN FUNGSI PERAWAT JIWA

11
1. Pengertian
Peran adalah perilaku unik yang mengggambarkan posisi yang merefleksikan domain
personal, sosial atau okupasi dimana pola perilaku tersebut dimanifestasikan dalam
penampilan melaksanakan tugas dan kewajiban. Dimensi Peran Perawat Jiwa
meliputi:
1) Dimensi kompeteni klinis
Peran ini menekankan pada kemampuan atau kompetensi seorang perawat yang
memberikan asuhan keperawatan jiwa. Kemampuan meliputi kompetensi secara
kognitif, afektif dan psikomotor terhadap asuhan keperawatan yang diberikannya
kepada klien gangguan jiwa. Kompetensi ini dicapai setelah melalui proses
pendidikan atau pembelajaran formal dengan menyelesaikan seluruh rangkaian
proses di dalamnya.
2) Advokasi pasien-keluarga
Dimensi peran ini menekankan pada perawat untuk memiliki kemampuan atau
berperan sebagai advokat, yang mampu memberikan perlindungan kepada klien
dan keluarga.
3) Tanggung jawab fiskal
Dimensi ini menekankan bahwa perawat harus mampu memberikan pelayanan
yang efektif dan efisien secara keuangan terhadap asuhan keperawatan yang
menjadi tanggungjawabnya.
4) Kolaborasi antar disiplin
Dimensi ini menekankan bahwa perawat harus bisa bekerja sama dengan disiplin
ilmu lain (profesi kesehatan lain) demi pelayanan yang komprehensif dan
profesional
5) Akuntabilitas sosial
Dimensi ini menekankan bahwa perawat harus mampu
mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya terhadap masyarakat.
6) Parameter legal-etik
Perawat jiwa harus mentaati kode etik dan hukum yang berlaku selama
menjalankan tugasnya.

12
Secara aplikatif peran perawat jiwa meliputi :
1. Care Giver / Pelaksana Askep meliputi :
 Melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif.
 Melaksanakan askep scr profesional, treatment keprwtn, observasi, pend-kes, tind
kolaborasi farmakologi
 Melakukan pkajian data akurat relevan & benar
 Menegakkan dx kep berdasar analisa data dr hasil pengkajian tsb
 Menyusun intervensi kepwrt, problem solving
 Melakukan implementasi kepwrt
 Melakukan evaluasi
2. Nursing Educator meliputi :
 Menjelaskan pd klg hal-hal yg dpt dilakukan jika muncul gejala kekambuhan saat
dirumah
 Menjelaskan tind farmakologi (prinsip 5 benar minum obat, jelaskan jg efek
samping obat)
 Memberikan Health Education kepada keluarga, individu, komunitas/masyarakat
3. Nursing Administrator meliputi :
 Menunjukkan sikap & kepemimpinan
 Mampu bertgjwb mengelola askep jiwa.
 Melakukan pengelolaan kebutuhan px saat Dischart planing
 Menunjukkan sumber2 yg dpt digunakan px & klg saat dikomunitas
 Menunjukkan sikap & kepemimpinan & bertgjwb mengelola askep jiwa.
4. Nursing Riseter meliputi :
 Mengidentifikasi masalah bidang kep jiwaà penelitian utk meningkatkan ilmu,
teknologi dan mutu askep.
 Melakukan riset/penelitian
 Memiliki ketanggapan thd trend dan isue terbaru dlm keswa
 Melakukan publikasi hasil riset

Fungsi perawat jiwa :


1. Melakukan pencegahan primer, sekunder, tersier thd masalah kes. Jiwa individu,
kelg, kelp & masyarakat
13
2. Memberikan Askep scr langsung & tdk langsung à dpt dicapai mll :
3. M’berikan lingk yg terapeutik
4. Bekerja utk m’atasi masalah klien (Here&Now)
5. Role Mode
6. M’perhatikan aspek kesht fisik klien
7. M’berikan pendidikan kesehatan
8. Sebagai perantara sosial
9. Kolaborasi dg tim lain
10. M’mimpin & membantu tenaga prwtan
11. M’ggunakan resource, meliputi penggunaan sumber-sumber di komunitas yang dapat
membantu klien dan keluarganya mendapatkan pertolongan atau memperoleh
pengetahuan penanganan masalah gangguan kesehatan jiwa

2. Standar keperawatan kesehatan jiwa


• Pengertian standar adalah deskripsi penampilan yg diinginkan, dpt dinilai mll struktur,
proses dan hsl. Standar praktik kep à pernyataan deskriptif dr kualitas yg diinginkan
thd pel kep yg diberikan kpd kx (Gillies, 1989). Tingkat kinerja yang diinginkan dan
dapat dicapai untuk digunakan sebagai pembanding kinerja yang sebenarnya.
• Pernyataan deskriptif tentang tingkat penampilan yang dipakai untuk menilai kualitas,
struktur, proses, dan hasil. Penjamin kualitas pendidikan dan praktik serta pelindung
hak masyarakat dan pemberi pelayanan
• Pedoman utk menetapkan praktik yg dpt diterima & digunakan utk mengukur mutu
asuhan keperawatan yg diterima klien

Tujuan diadakannya standar (Gillies, 1989) adalah :


• Tingkatkan kualitas askep à Prwt berusaha capai standar yg telah ditetapkan.
• Turunkan biaya prwtn à Prwt m’lakukan keg yg telah ditetapkan dlm standar, shg
berkurang kegiatan2 yg tdk perlu dan tdk bertujuan.
• Lindungi prwt dr kelalaian melakukan tgs dan melindungi px dr tind yg tidak
terapeutik.
14
Terdapat 2 macam standar praktik keperawatan jiwa yaitu standar asuhan
keperawatan jiwa dan standar kinerja profesional. Standar Asuhan keperawatan
meliputi pengkajian, diagnosis, perencanaan, identifikasi hasil dan evaluasi. Standar
Kinerja Profesional meliputi mutu asuhan, penilaian kinerja, pendidikan, kesejawatan,
etika, kolaborasi, riset dan utilisasi sumber.
Standar asuhan keperawatan jiwa :
1) Standar 1 : Pengkajian
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis,
menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan. Rasional: pengkajian kep.
mrpk aspek penting bertujuan menetapkan dasar tkt kesehatan klien, digunakan
merumuskan masalah klien dan rencana tindakan.
2) Standar 2 : diagnosis
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan.
Rasional: dx kep sbg dasar pengembangan rencana intervensi kep dlm rangka
mencapai peningkatan, pencegahan, dan penyembuhan penyakit serta pemulihan
kesehatan.
3) Standar 3 : Perencanaan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
kesehatan dan meningkatkan kesehatan fisik. Rasional: perencanaan
dikembangkan berdasarkan dx kep.
4) Standar 4 : Implementasi
Perawat mengimplementasikan tindakan yg telah diidentifikasi dlm rencana
asuhan. Rasional: perawat mengimplementasikan rencana asuhan kep untuk
mencapai tujuan yg telah ditetapkan dan partisipasi klien dlm tindakan
keperawatan berpengaruh pada hasil yg diharapkan.
5) Standar 5 : Evaluasi
Perawat mengevaluasi perkembangan kesehatan klien terhadap tindakan dalam
pencapaian tujuan, sesuai rencana yg telah ditetapkan dan merevisi data dasar dan
perencanaan. Rasional: praktik keperawatan mpk proses dinamis yg mencakup
berbagai perubahan data, dx atau perencanaan yg telah dibuat sebelumnya.
Efektivitas askep tgt pengkajian yg berulang-ulang.

15
Standar kinerja profesional meliputi :
1) Standar I : jaminan mutu
Perawat secara sistematis melakukan evaluasi mutu dan efektivitas praktik
keperawatan. Rasional: Evaluasi mutu askep melalui penilaian praktik keperawatan
merupakan suatu cara untuk memenuhi kewajiban profesi yaitu menjamin klien
mendapat asuhan yg bermutu.

2) Standar II : pendidikan
Perawat bertanggung jawab untuk memperoleh ilmu pengetahuan mutakhir dlm
praktik keperawatan. Rasional: perkembangan ilmu dan tekhnologi, sosial, ekonomi,
politik dan pendidikan masyarakat menuntut komitmen perawat untuk terus menerus
meningkatkan pengetahuan sehingga memacu pertumbuhan profesi.

3) Standar III : penilaian kinerja/penimbangan prestasi


Perawat mengevaluasi praktiknya berdasarkan standar praktik profesional dan
ketentuan lain yg terkait. Rasional: penilaian kinerja perawat merupakan suatu cara
untuk menjamin tercapainya standar praktik keperawatan dan ketentuan lain yg terkait

4) Standar IV : kesejawatan
Perawat berkontribuasi dlm pengembangan profesionalisme sejawat kolega. Rasional:
evaluasi tentang kualitas asuhan keperawatan melalui pembahasan praktik
keperawatan oleh perawat merupakan suatu cara untuk memnuhi kewajiban profesi
untuk menjamin konsumen diberikan asuhan prima
5) Standar V : Etik
Keputusan dan tindakan perawat atas nama klien ditentukan dengan cara yg etis
(sesuai dg norma, nilai budaya, modul dan idealisme profesi). Rasional: kode etik
mpk parameter bagi perawat dlm membuat penilaian etis. Berbagai isu spesifik ttg
etik yg menjadi kepedulian perawat meliputi: penolakan thd pengobatan, inform
consent, penghentian alat bantu hidup, kerahasiaan klien
6) Standar VI : Kolaborasi
Perawat berkolaborasi dg klien, keluarga dfan semua pihak terkait serta multi disiplin
kesehatan dlm memberikan keperawatan klien. Rasional: kompleksitas dlm
pemberian asuhan kep membutuhkan pendekatan multidisiplin. Ini utk meningkatkan
16
efektifitas dan efisiensi membantu klien mencapai kesehatan optimal. Melalui proses
kolaborasi kemampuan yg khusus dan pemberi asuhan kesehatan digunakan utk
mengkomunikasikan, merencanakan, menyelesaikan masalah dan mengevaluasi.
7) Standar VII : Riset
Perawat menggunakan hasil riset dlm praktik keperawatan. Rasional: perawat sbg
tenaga profesional mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pendekatan
baru dlm praktik keperawatan melalui riset.
8) Standar VIII : Pemanfaatan sumber
Perawat mempertimbangkan faktor-faktor terkait dg keamanan, efektifitas, dan
efisiensi biaya dlm perencanaan dan pemberian asuhan klien. Rasinal: pelayanan
keperawatan menuntut upaya utk merancang program pelayanan keperawatan yg
lebih efektif dan efisien. Perawat berpartisipasi dlm menggali dan memanfaatkan
sumber bagi klien

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 3

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konseptual model keperawatan yang melandasi pemberian
asuhan keperawatan jiwa.
Pokok Bahasan:
Model konseptual yang dikembangkan oleh tokoh meliputi : Model psikoanalisa, Model
Interpersonal, Model Sosial, Model Perilaku, Model Eksistensial, Model Medis, Model
Komunikasi, Model Terapeutik
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang model konseptual yang melandasi asuhan keperawatan
jiwa sebagai teori personal yang dapat digunakan dalam merawat klien.
Bahan Bacaan Utama:
1. Fortinash,K.M and Holoday-Worret,P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care Plans,Mosby
Year Book,St.Louis

17
2. Leddy S, Mae Pepper,J.(1993),Conseptual Bases of Professional Nursing 3rd ed.
Philadelphia : Lippincott Company.
3. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book
4. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi
3. Philadelphia: F. A. Davis Company
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian model konseptual.
2. Jelaskan pengertian model psikoanalisa, model Interpersonal, model Sosial, model
Perilaku, model Eksistensial, model Medik, model Komunikasi,dan model Terapeutik
3. Sebutkan tokoh-tokoh yang mempopulerkan model konseptual
4. Sebutkan peran terapis pada setiap model konseptual tersebut

MODEL KONSEPTUAL KEPERAWATAN JIWA

1. Pengertian
Model adalah cara mengorganisasi pokok pengetahuan yg kompleks, mengarahkan
pengorganisasian data, mengukur efektivitas proses penanganan, memfasilitasi
penelitian dalam perilaku manusia.Penggunaan Model dapat membantu klinisi untuk :
menghetahui latar belakang perilaku yang diobservasi, menemukan strategi
penanganan yang terapeutik dan memudahkan ditemukannya peran yg sesuai untuk
pasien dan terapis. Model juga merupakan suatu alat yang mengorganisir body of
knowledge yang kompleks, sebagai suatu konsep yang berhubungan dengan perilaku
manusia.

1) Model Psikoanalisis
Psikoanalisa dapat dikatakan sebagai aliran psikologi yang paling dikenal meskipun
mungkin tidak dipahami seluruhnya. Namun psikoanalisa juga merupakan aliran
psikologi yang unik, tidak sama seperti aliran lainnya. Aliran ini juga yang paling
banyak pengaruhnya pada bidang lain di luar psikologi, melalui pemikiran Freud.
18
a. Latar belakang
a) Konsep mental yang aktif.
Konsep ini terutama dianut oleh para ahli di Jerman. Pada waktu ini peran
dominan strukturalisme di Jerman telah diambil alih oleh aliran Gestalt.
Paham Gestalt menganggap struktur pengorganisasian mental manusia adalah
inherent. Struktur ini memungkinkan manusia belajar dan mendapatkan isi
mental itu sendiri. Dengan demikian, Gestalt berfokus pada konsep mental
yang aktif namun tetap empiris. Psikoanalisa mengikuti keaktifan mental dari
Gestalt (Freud dengan psikodinamikanya pada level kesadaran dan non
kesadaran) namun tidak empiris. Tidak seperti aliran lainnya, psikoanalisa
berkembang bukan dari riset para akademisi, tapi berdasarkan pengalaman
dari praktek klinis.

b) Perkembangan treatment terhadap gangguan mental.


Pada masa ini penanganan terhadap penderita gangguan mental sangat tidak
manusiawi dan disamakan dengan para pelaku kriminal serta orang-orang
terlantar. Reformasi dalam penanganan penderita gangguan mental diawali
dengan perbaikan fasilitas pengobatan, akhirnya mengarah pada perbaikan di
bidang teknik terapi bagi gangguan emosional dan perilaku.
 
b. Pemikiran dan teori
 Freud membagi mind ke dalam consciousness, preconsciousness dan
unconsciousness. Dari ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang
paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia
(analoginya dengan gunung es). Di dalam unsconscious tersimpan ingatan
masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness berperan
sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide
yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari
mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan
realitas. Freud mengembangkan konsep struktur mind di atas dengan
mengembangkan ‘mind apparatus’, yaitu yang dikenal dengan struktur
kepribadian Freud dan menjadi konstruknya yang terpenting, yaitu id, ego dan
super ego.
19
o Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak
disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya
pemenuhan kepuasan yang segera.
o Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol
kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego,
berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan
moral.
o Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu
atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego
menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah.
Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego.
Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego
terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka
menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif
/pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang
jenisnya bisa bermacam-macam, a.l. repression.
c. Peranan Klien dan terapis
Peran klien : Bebas mengungkapkan fikiran dan mimpinya, mempertimbangkan
interpretasi terapis.
Peran terapis : Mendorong verbalitas, interpretasi fikiran dan perilaku dalam
konflik, terapis menggunakan hal yg tertinggal untuk mendorong perkembangan
transferens dan menginterpretasikan pikiran dan mimpi pasien. Shadow person,
bisa saja tidak nampak didepan klien, terapis tidak menghambat free asosiasion
Tokoh teori psikoanalisa : Sigmund Freud, Erik Erickson, Anna Freud, Melanie
Klein, Horney, Fromm-Reichmann, dan Karl Menninger.

2) Teori Interpersonal
Tokohnya adalah Harry Stack Sullivan, Hildegard Peplau dan Gerald Klerman.
Setiap individu membutuhkan rasa puas dan nyaman dalam berhubungan atau
berinteraksi dengan orang lain. Jika hal ini tidak tercapai maka individu akan
mengalami kekecewaan dan ketidakpuasan, dimana hal ini akan menciptakan
penyimpangan perilaku. Kegagalan pencapaian rasa aman, nyaman dan kepuasan

20
dalam hubungan interpersonal akan menjadi sumber utama munculnya perilaku yang
tidak wajar/menyimpang.
Pada teori ini perawat adalah seorang yang mampu memahami perilakunya untuk
membantu orang lain agar mengidentifikasi kesulitan yang dihadapinya dan untuk
mengaplikasikan prinsip relasi manusia kepada permasalahan yang timbul pada
semua level pengalaman. Dalam operasional mengutamakan pada dimensi hubungan
perawat-klien. Selanjutnya diuraikan menjadi 4 fase hubungan perawat klien yaitu :
 Fase orientasi
Klien merasa membutuhkan perawat untuk mendapat bimbingan professional.
Perawat memfasilitasi klien untuk mengenali masalahnya dan apa yang
diperlukan klien untuk ditolong perawat.
 Fase Identifikasi
Klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhannya bersama orang lain yang dapat
membantunya. Perawat membantu mengeksplorasi perasaan dan membantu klien
dalam penyakit yang dirasakan sebagai suatu pengalaman yang mengorientasi
ulang perasaannya dan menguatkan kekuatan positif pada kepribadiannya dan
memberikan kepuasan’
 Fase Eksploitasi
Klien menerima penuh nilai yang ditawarkan kepadanya melalui hubungan
“relationship”. Klien dapat memproyeksikan usaha baru secara personal,
tenaga/kekuatan dapat berpindah dari perawat pada klien ketika klien menunda
rasa puasnya untuk mencapai bentuk baru dari apa yang akan tercapai.
 Fase Resolusi
Tujuan lama yang akan dicapai dikesampingkan dan diganti dengan tujuan baru.
Ini adalah proses dimana klien membebaskan dirinya dari identifikasi dengan
perawat.
Dalam teori ini terdapat 6 macam peran perawat dalam dimensi hubungan perawat –
klien :
1. Peran Orang Asing (role of the sranger)
Perawat dank lien sama-sama asing maka perawat harus berlaku sopan. Perawat
menerima klien apa adanya Fase “identifikasi”.
2. Peran narasumber pribadi

21
Perawat memberikan jawaban-jawaban positif dari setiap pertanyaan terutama
mengenai informasi kesehatan dan memberi interpretasi kepada klien bagaimana
rencana keperawatan dan medis. Perawat harus focus pada jawaban-jawaban spesifik
dan konstruktif apakah jawaban langsung atau bersifat saran-saran.
3. Peran Pengajaran
Merupakan kombinasi dari seluruh peran dan selalu berasal dari yang diketahui klien
dan dikembangkan dari minatnya dalam keinginannya dan kemampuannya
menggunakan informasi. Bentuk-bentuk pengajaran didasari oleh tehnik psikoterapi
dengan metode konseling.
4. Peran kepemimpinan
Perawat membantu klien mengerjakan tugas-tugas melalui hubungan kooperatif dan
partisipatif aktif.
5. Peran Wali
Klien menganggap perawat berperan sebagai walinya. Sikap dan perilaku perawat
dapat memberi perasaan tersendiri bagi klien yang bersifat reaktif yang muncul dari
hubungan sebelumnya. Fungsi perawat untuk membimbng klien mengenali dirinya
dengan sosok yang klien bayangkan. Perawat mebantu klien melihat diri perawat
dengan sosok yang dibayangkannya. Perawat dank lien mendefinisikan area
keterikatan, ketidakterikatan dan antar keterikatan.
6. Peran penasehat
Peran ini sangat besar dalam keperawatan psikiatrik. Peran ini bertujuan membantu
klien dalam mengingat dan memahami sepenuhnya apa yang tengah terjadi pada
dirinya saat ini sehingga suatu pengalaman dapat diintegrasikan bukannya dipisahkan
dengan pengalaman lainnya dalam hidupnya.

3) Teori sosial
Tokoh teori ini adalah Thomas Szasz (1961) dan Caplan (1964). Teori ini
menyebutkn bahwa sikap dan perilaku manusia akan dianggap menyimpang jika tidak
sesuai dengan pedoman/norma, nilai atau kesepakatan masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Gangguan perilaku: faktor-faktor sosial dan lingkungan menciptakan stres,
yang menyebabkan ansietas dan gejala gangguan perilaku. Perilaku menyimpang
yang tidak dpt diterima ditentukan oleh lingkungan sosial. Menurut Snasz : individu
bertanggung jawab terhadap perilakunya, individu mampu mengontrol untuk
22
menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan masyarakat. Jika ada yang
perilaku tdk sesuai norma dan budaya (dianggap menyimpang / tdk wajar). Individu
hrs sesuai dg ekspektasi budaya masyr. Indv ggn jiwa di Indonesia dianggap sembuh
jika sikap/perilakunya sesuai dg ekspektasi budaya masyr tsb.
Menurut Caplan adanya situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa. Situasi
sosial tersebut antara lain : kemiskinan, kesulitan ekonomi keluarga, situasi keluarga
yang tidak stabil, broken home, pola asuh otoriter, pengetahuan/pendidikan yg rendah
dan kurangnya support system.
Peran klien dan terapis sebagai berikut :
Klien :
 Inisiatif ungkapkan masalahnya
 Klien berhak menolak
 Klien secara aktif menghadirkan masalah
 Bekerja sama untuk memperoleh kepuasan
 Gunakan sumber komuniti yang ada
 Pasien mepresentasikan masalahnya kepada terapis, bekerja dg terapis, dan
menggunakan sumber-sumber di masyarakat.

Peran Terapis :
 Menggali sistem sosial klien untuk membantu klien
 Menggunakan sumber yang sesuai
 Menggali sumber-sumber yg tersedia
 Bekerja untuk menciptakan sumber baru jika diperlukan
 Menolong bila diminta, melindungi klien dr pemaksaan
Caplan : terapis profesional/non profesional mampu sbg konselor

4) Teori perilaku/behaviorisme
Tokoh : Ery Senck, Walpe, Skinner
Teori ini memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon
terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku
mereka. Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil,
bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan

23
reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan,mementingkan mekanisme hasil
belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R
psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam
tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan
stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahllaku adalah hasil belajar.
Skinner (1904-1990). Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan
factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah
meramal mengontrol tingkah laku. Peran pasien dan terapis sbb :
Pasien :
 Pasien mempraktekkan teknik perilaku è latihan reinforcement
 Ungkapan yang positif, menguatkan motivasi individu
Therapist :
 Menentukan teknik perilaku
 Mengajarkan tentang pendekatan perilaku
 Penguatan pada perilaku yang diinginkan

5) Teori Eksistensial
Tokoh Perls, Glasser, Ellis, Rogers, Frankl
Teori ini mejelaskan bahwa gangguan perilaku terjadi pada kehidupan berarti ketika
seseorang tidak dapat sepenuhnya menyadari dan menerima dirinya sendiri. Dalam
hubungan yang sehat maka diri dapat disadari melalui hubungan yang murni dengan
orang lain. Fokus pd pengalaman individu “here and now”, penyimpangan tjd krn
indiv tdk menyatu (diluar) antara dirinya sendiri dg lingkungan. Klien tdk bebas
memilih sesuatu, mengindari kenyataan, menyerah pd tuntutan org lain dan merasa
asing thd diri sendiri, tidak berdaya, dan merasa sedih sendiri. Teori ini mengajarkan
pada klien bahwa tujuan hidup adalah penemuan makna, makna hidup, makna dr
sebuah peristiwa, makna bhw ada sesuatu yg “lebih” dr sekedar yg dilihat/dirasakan,
mengajarkan pd klien bhw hidup adalah sebuah pilihan dengan segala konsekuensinya
masing-masing. Proses terapi yang dilakukan yaitu dengan menolong / membantu
pasien untuk mengekplorasi dan menerima dirinya sendiri serta menerima komunikasi
24
dalam hubungan dan mengambil kendali perilaku, therapi sering dibantu oleh
kelompok, pasien dibantu untuk mengontrol tingkah laku dan pasien dibantu untuk
mengalami hubungan yang murni.
Peranan klien dan perawat sebagai berikut :
Pasien :
o Aktif ikut terapi
o Menerima tanggung jawab dari tingkah laku dan berpartisipasi dalam penglaman
yang berarti untuk belajar tentang diri yang nyata / sebenarnya.
o Pasien berpartisipasi dalam pengalaman yang berarti untuk belajar tentang
menerima diri
Terapist :
 Membantu pasien mengenali nilai – nilai dari diri
 Klarifikasi kenyataan dari situasi dan memperkenalkan pasien pada ketulusan
perasaan dan meluas kesadaran
 Sbg “guide” yg mengarahkan tujuan, model, mengakui klien sbg org yg sdh
dewasa
 Membantu pasien mengenali nilai-nilai diri, mengklarifikasi realitas situasi, dan
Mengeksplorasi perasaan-perasaan
 Klien dan terapis sama2 jujur dan terbuka

6) Teori medis
Tokoh : Allen Frances, Robert Spitzer, Mager, Kraeplin
Fokus pd diagnosa ggn jiwa à tx medis, ggn jiwa tjd krn adanya masalah pd fungsi
otak (biologis). Gejala akan terlihat dr faktor fisiologis, genetis, lingkungan, social.
Penyimpangan perilaku akibat manifestasi proses penyakit pada sistem saraf diduga
adanya ketidak normalan pada hantaran impuls saraf gangguan terjadi pada sinaps dan
neuron chemical “ dopamin “. Pengobatan dikaitkan dengan diagnose mencakup è
terapi somatik dan teknik hubungan interpersonal, pendekatan pengobatan tergantung
dari respon somatic, dan profesi kesehatan lain dilibatkan bila dibutuhkan.
Peranan klien dan perawat sebagai berikut :
Klien
 Melaksanakan pengobatan yang diberikan

25
 Mengikuti pengobatan jangka panjang jika diperlukan
 Melaporkan efek pengobatan pada therapist
Terapis
 Menggunakan kombinasi somatik terapi interpersonal menurut diagnosa
penyakit dan menggunakan pendekatan therapeutik yang ditetapkan serta pada
pasien mengajarkan tentang penyakitnya
 Terapi : muncul diagnosa penyakit, berikan tx medik
(obat farmakologi, ECT)

7) Teori Komunikasi
Tokoh : Virginia Satier, Eric Berne, Bander, Grinder
Teori komunikasi digunakan untuk menyampaikan pesan yang jelas. Banyak masalah
resiko atau yang berpotensi menjadi gangguan dapat dicegah dengan komunikasi yang
baik. Komunikasi merupakan penyampaian pesan melalui media, alat atau apa saja
yang bisa digunakan sebagai perantara pesan kepada si penerima pesan. Teori
komunikasi banyak digunakan pada asuhan keperawatan dengan masalah keluarga
atau terapi keluarga.

8) Konsep terapeutik
Konsep terapeutik merupakan dasar bagi perawat melakukan interaksi dengan klien
gangguan jiwa. Hubungan terapeutik akan memudahkan klien mencapai kemandirian
dan memudahkan perawat menyampaikan pesan dengan tujuan terapeutik. Hubungan
terapeutik berbeda dengan hubungan sosial. Jika hubungan sosial bertujuan pada pola
interaksi dengan tujuan sosial, kemasyarakatan, bisnis, perdagangan, atau membina
hubungan yang lebih bersifat sosial, maka hubungan terapeutik bertujuan untuk
mencapai tujuan yang bersifat penyembuhan bagi klien.

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 4

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab gangguan jiwa dan proses terjadinya.
Pokok Bahasan:

26
Penyebab gangguan jiwa, proses mekanisme terjadinya gangguan jiwa, tanda dan gejala serta
macam atau jenis gangguan.
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang penyebab terjadinya gangguan jiwa disertai
mekanisme prosesnya, tanda dan gejala munculnya gangguan jiwa serta macam/jenis
gangguan.
Bahan Bacaan Utama:
6. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi
3. Philadelphia: F. A. Davis Company
7. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book
8. Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University
Press
9. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa III,
Jakarta
10. Fortinash,K.M and Holoday-Worret,P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care Plans,Mosby
Year Book,St.Louis
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
4. Jelaskan penyebab gangguan jiwa
5. Jelaskan mekanisme terjadinya gangguan jiwa
6. Jelaskan tanda dan gejala munculnya gangguan jiwa
7. Sebutkan macam/jenis gangguan jiwa

MEKANISME TERJADINYA GANGGUAN JIWA DAN JENISNYA

3. Pengertian gangguan jiwa


Gangguan jiwaadalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang yang
secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala
penderitaan atau gangguan didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia.
Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi
27
perilaku, psikologik atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak
didalam hubungan antara orang dengan masyarakat (Rusdi Maslim, 1998).
4. Penyebab gangguan jiwa
Membicarakan penyebab gangguan jiwa menjadi bahasan yang cukup menarik sebab
hingga saat ini diduga banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya gangguan
jiwa. Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada
unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di
lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik), (Maramis, 1994).
Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus
dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan,
lalu timbulah gangguan badan ataupun jiwa.
a. Faktor biologik .
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria
penyakit dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak penelitian di
antaranya mengenai kelainan-kelainan neutransmiter, biokimia, anatomi otak, dan
faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa. Gangguan mental
sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neuttransmiter di otak, misalnya seperti
pendapat Brown et al, 1983, yaitu fungsi sosial yang kompleks seperti agresi dan
perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke dalam hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin yang
ke hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di limbokortikal berfungsi
sebagai pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada rangsangan yang
datangnya relevan dan reaksi terhadap stress Pembuktian lainnya yang menyatakan
bahwa gangguan jiwa merupakan suatu penyakit adalah di dalam studi keluarga. Pada
penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan efektif, lebih banyak
menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan Brockington, 1980),  
skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi psikosis
paranoid tidak ada hubungannya dengan faktor genetik, demikian pendapat Kender,
1981). Walaupun beberapa peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah
mendukung etiologi genetik, akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama yang
perlu dalam membangun kemungkinan keterangan genetik. Bila salah satu orangtua
mengalami skizofrenia kemungkinan 15 persen anaknya mengalami skizofrenia.
Sementara bila kedua orangtua menderita maka 35-68 persen anaknya menderita
28
skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua, anak dan saudara
kandung menderita skizofrenia (Benyamin, 1976). Pendapat ini didukung Slater,
1966, yang menyatakan angka prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada anggota
keluarga yang individunya sakit dibandingkan dengan angka prevalensi penduduk
umumnya.
b. Faktor Psikologik
Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat
kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal ini sangat
tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial,
perubahan sosial dan tigkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman
hidup seseorang. Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi
interpersonal yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang
sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi
merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali. Setiap penderita yang
mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang mencolok
dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak kuatnya hubungan personal
dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala yang
diperlihatkan oleh seseorang merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau
yaitu pengalaman masa bayi sampai dewasa.
c. Faktor Sosiobudaya
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama
mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya
tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan
budaya yang lainnya, menurut Zubin, 1969, merupakan salah satu faktor terjadinya
perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa. Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969,
mengatakan bahwa alkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian berubah dan
terlihat pada psikopatologinya. Pendapat ini didukung pernyataan Favazza (1980)
yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi,
alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa. Selain itu, status
sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa Goodman (1983)
yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa penderita yang dengan status
ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afaktif dan
alkoholisma
29
5. Mekanisme terjadinya gangguan jiwa
Berikut ini proses perjalanan penyakit sejak awal mula dirasakan oleh pasien hingga
menjadi psikotik :
Fase Prodomal : Berlangsung antara 6 bln s/d 1 tahun. Gangguan dapat berupa Self
care, ggn dalam akademik, pekerjaan, fungsi sosial, ggn pikiran dan persepsi.
Fase Aktif : Berlangsung kurang lebih 1 bulan. Ggn dapat berupa gejala psikotik;
Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku,
disertai kelainan neurokimiawi
Fase Residual : Kien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan
peran, serangan biasanya berulang

6. Tanda dan gejala gangguan jiwa


Berikut adalah tanda-tanda orang yang beresiko tinggi terkena gangguan jiwa /
penyakit kejiwaan :
 Merasa depresi, sedih atau stress tingkat tinggi secara terus-menerus.
Sering berpikir / melamun yang tidak biasa (delusi).
 Kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau tugas sehari-hari walaupun pekerjaan
tersebut telah dijalani selama bertahun-tahun.
 Paranoid (cemas / takut) pada hal-hal biasa yang bagi orang normal tidak perlu
ditakuti atau dicemaskan.
 Suka menggunakan obat hanya demi kesenangan.
 Memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
 Terjadi perubahan diri yang cukup berarti.
 Memiliki emosi atau perasaan yang mudah berubah-ubah.
 Terjadi perubahan pola makan yang tidak seperti biasanya.
 Pola tidur terjadi perubahan tidak seperti biasa.

7. Jenis/macam gangguan jiwa


Klasifikasi psikiatri melibatkan pembedaan dari perilaku normal dari abnormal.
Dalam hal ini normal dan abnormal dapat berarti sehat dan sakit, tetapi bisa juga
digunakan dalam arti lain. Sejumlah gejala psikiatri berbeda tajam dari normal dan

30
hampir selalu menunjukkan penyakit ( Ingram et al., 1993): Gangguan Jiwa dibagi
menjadi dua kelainan mental utama, yaitu penyakit mental dan cacat mental. Cacat
mental suatu keadaan yang mencakup difisit intelektual dan telah ada sejak lahir atau
pada usia dini. Penyakit mental secara tidak langsung menyatakan yang kesehatan
sebelumnya, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermanifestasi kemudian
dalam kehidupan
a. Penyakit mental secara prinsip dibagi dalam psikoneurosis dan psikosis. Kategori
ini sesuai dengan awam tentang kecemasan dan kegilaan. Psikoneurosis
merupakan keadaan lazim yang gejalanya dapat dipahami dan dapat diempati.
Psikosis merupakan penyakit yang gejalanya kurang dapat dipahami dan tidak
dapat diempati serta klien sering kehilangan kontak realita.
b. Istilah fungsional dan organik menunjukkan etiologi penyakit dan digunakan
untuk membagi psikosis. Psikosis fungsional berarti ada gangguan fungsi, tanpa
kelainan patologi yang dapat dibuktikan.

Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang psikologik dari unsur
psikis (Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa (Rusdi Maslim, 1998): Gangguan
mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham,
gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku
yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan
perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan
perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja.
1). Skizofrenia.
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa
yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita
tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis, 1994). Dalam kasus
berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya
abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi
sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan
jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak ” cacat ” (Ingram et
al.,1995).
2). Depresi.
31
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan
bunuh diri (Kaplan, 1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan
kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan
gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997). Depresi
adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa
serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho,
2000). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa
bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri,
pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan
takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan
perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang
yang dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak
kehilangan dan menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi (Rawlins et al., 1993). Individu
yang menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan
kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktiftas (Depkes, 1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan
abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus berlangsung
sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih (Atkinson, 2000).
3). Kecemasan.
Kecemasan sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap
orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-
baiknya, Maslim (1991). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk
reaksi dari ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya maupun sumber
biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan
tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang
respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasn ringan, sedang, berat
dan kecemasan panik.
4). Gangguan Kepribadian.
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-
gejala nerosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun
rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian, nerosa dan gangguan intelegensi
32
sebagaian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi
gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian
skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-konpulsif, kepridian
histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian
inadequat, Maslim (1998).
5). Gangguan Mental Organik
Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan
fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan
oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila
bagian otak yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama
saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan
fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan
sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak
psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu
daripada pembagian akut dan menahun.
6). Gangguan Psikosomatik.
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah (Maramis, 1994).
Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata
karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan
psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena
biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan
psikofisiologik.
7). Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik dan sosial (Maslim,1998).
8). Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja.
Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan permintaan,
kebiasaan atau norma-norma masyarakat (Maramis, 1994). Anak dengan gangguan perilaku
dapat menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin
berasal dari anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini
saling mempengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat kepribadian
33
yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Pada gangguan otak seperti
trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan perubahan kepribadian. Faktor
lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh
karena lingkungan itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu dapat
dipengaruhi atau dicegah.

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 5

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan klasifikasi penggolongan gangguan jiwa menurut PPDGJ III
dan DSM IV.
Pokok Bahasan:
Pengelompokkan gangguan jiwa manurut PPDGJ III dan DSM IV
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas klasifikasi pengelompokkan gangguan jiwa menurut Pedoman
Pengelompokan Diagnosa Gangguan Jiwa III (PPDGJ) atau DSM IV.
Bahan Bacaan Utama:
1. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa III,
Jakarta
2. Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman penggolongan
dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993.
3. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya;
2001.
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian gangguan jiwa menurut PPDGJ III.
2. Jelaskan klasifikasi pengelompokkan gangguan jiwa menurut PPDGJ III tsb.

34
KLASIFIKASI DAN PENGGOLONGAN GANGGUAN JIWA

1. Pengertian
Gangguan jiwa (DSM-IV) = “Mental disorder is a conceptualised as clinically
significant behavioural or psychological syndrome or pattern that occurs in an
individual and that is associated with present distress (e.g., a painful symptom) or
disability (i.e., impairment in one or more important areas of functioning) or with
significant increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of
freedom.”
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III, gangguan jiwa adalah pola perilaku atau
psikologik yang secara klinis bermakna dan secara khas berkaitan dengan gejala,
penderitaan (distress) serta hendaya (impairment) dalam fungsi psikososial.
Penggolongan gangguan jiwa pada PPDGJ-III menggunakan pendekatan ateoretik dan
deskriptif.

Urutan hierarki blok diagnosis (berdasarkan luasnya tanda dan gejala, dimana urutan
hierarki lebih tinggi memiliki tanda dan gejala yang semakin luas):
1. F00-09 dan F10-19
2. F20-29
3. F30-39
4. F40-49
5. F50-59
6. F60-69
7. F70-79
8. F80-89
9. F90-98
10. Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinis (kode Z)
35
Klasifikasi Gangguan Jiwa
F0 Gangguan Mental Organik, termasuk Gangguan Mental Simtomatik
Gangguan mental organic = gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit/gangguan
sistemik atau otak. Gangguan mental simtomatik = pengaruh terhadap otak merupakan akibat
sekunder penyakit/gangguuan sistemik di luar otak.
Gambaran utama:
 Gangguan fungsi kongnitif
 Gangguan sensorium – kesadaran, perhatian
 Sindrom dengan manifestasi yang menonjol dalam bidang persepsi (halusinasi), isi
pikir (waham), mood dan emosi
Fl Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Alkohol dan Zat Psikoaktif
Lainnya
F2 Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham
Skizofrenia ditandai dengan penyimpangan fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran jernih dan kemampuan
intelektual tetap, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang kemudian
F3 Gangguan Suasana Perasaan (Mood [Afektif])
Kelainan fundamental perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi
(dengan atau tanpa anxietas), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat).
Perubahan afek biasanya disertai perubahan keseluruhan tingkat aktivitas dan kebanyakan
gejala lain adalah sekunder terhadap perubahan itu
F4 Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan Gangguan Terkait Stres
F5 Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis dan Faktor Fisik
F6 Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa dewasa
Kondisi klinis bermakna dan pola perilaku cenderung menetap, dan merupakan ekspresi pola
hidup yang khas dari seseorang dan cara berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain.
Beberapa kondisi dan pola perilaku tersebut berkembang sejak dini dari masa pertumbuhan
dan perkembangan dirinya sebagai hasil interaksi faktor-faktor konstitusi dan pengalaman
hidup, sedangkan lainnya didapat pada masa kehidupan selanjutnya.
F7 Retardasi Mental
Keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh
terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
36
tingkat kecerdasan secara menyeluruh. Dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau
gangguan fisik lain. Hendaya perilaku adaptif selalu ada.
F8 Gangguan Perkembangan Psikologis
Gambaran umum
 Onset bervariasi selama masa bayi atau kanak-kanak
 Adanya hendaya atau keterlambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan
erat dengan kematangan biologis susunan saraf pusat
 Berlangsung terus-menerus tanpa remisi dan kekambuhan yang khas bagi banyak
gangguan jiwa
Pada sebagian besar kasus, fungsi yang dipengaruji termasuk bahasa, ketrampilan visuo-
spasial, koordinasi motorik. Yang khas adalah hendayanya berkurang secara progresif dengan
bertambahnya usia
F9 Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Onset Biasanya Pada Masa Kanak dan
Remaja
Diagnosis Multiaksial
Aksis I
Gangguan Klinis (F00-09, F10-29, F20-29, F30-39, F40-48, F50-59, F62-68, F80-89, F90-
98, F99)
Kondisi Lain yang Menjadi Focus Perhatian Klinis - (tidak ada diagnosis à Z03.2, diagnosis
tertunda à R69)
Aksis II
Gangguan Kepribadian (F60-61, gambaran kepribadian maladaptive, mekanisme defensi
maladaptif)
Retardasi Mental (F70-79) - (tidak ada diagnosis à Z03.2, diagnosis tertunda à R46.8)
Aksis III
Kondisi Medik Umum
Aksis IV
Masalah Psikososial dan Lingkungan (keluarga, lingkungan social, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, ekonomi, akses pelayanan kesehatan, hukum, psikososial)
Aksis V
Penilaian Fungsi Secara Global (Global Assesment of Functioning = GAF Scale)
100-91   gejala tidak ada, fungsi max, tidak ada masalah yang tidak tertanggulangi
90-81     gejala min, fungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalh harian biasa
37
80-71     gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam social
70-61     beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum
baik
60-51     gejala dan disabilitas sedang
50-41     gejala dan disabilitas berat
40-31     beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas
berat dalam beberapa fungsi
30-21     disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi dalam
hampir semua bidang
20-11     bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi dan
mengurus diri
10-01     persisten dan  lebih serius
0              informasi tidak adekuat
Tujuan diagnosis multiaksial
 Informasi komprehensif sehingga membantu perencanaan terapi dan meramalkan
outcome
 Format mudah dan sistematik sehingga membantu menata dan mengkomunikasikan
informasi klinis, menangkap kompleksitas situasi klinis, dan menggambarkan
heterogenitas individu dengan diagnosis yang sama
 Penggunaan model bio-psiko-sosial

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 6

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan rentang konsep diri.
38
Pokok Bahasan:
Konsep diri : harga diri, ideal diri, identitas diri, gambaran diri/citra tubuh, peran
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini membahas konsep diri dalam konteks perawatan klien gangguan jiwa.
Bahan Bacaan Utama:
1. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa
III, Jakarta
2. Fortinash,K.M and Holoday-Worret, P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care
Plans,Mosby Year Book,St.Louis
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian konsep diri.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
3. Jelaskan komponen konsep diri

KONSEP DIRI

1. Pengertian
Burns (1993:vi) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan
orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan.
39
Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh
lewat informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu
(Mulyana, 2000:7). Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa konsep diri yang dimiliki
individu dapat diketahui lewat informasi, pendapat, penilaian atau evaliasi dari orang lain
mengenai dirinya. Individu akan mengetahui dirinya cantik, pandai, atau ramah jika ada
informasi dari orang lain mengenai dirinya. Sebaliknya individu tidak tahu bagaimana ia
dihadapkan orang lain tanpa ada informasi atau masukan dari lingkungan maupun orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari secara tidak langsung individu telah menilai dirinya sendiri.
Penilaian terhadap diri sendiri itu meliputi watak dirinya, orang lain dapat menghargai
dirinya atau tidak, dirinya termasuk orang yang berpenampilan menarik, cantik atau tidak.
Seperti yang dikemukakan Hurlock (1990:58) memberikan pengertian tentang konsep diri
sebagai gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan
dari keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri yang meliputi karakteristik
fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi dan prestasi. Menurut William D. Brooks bahwa
konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita (Rakhmat, 2005:105).
Sedangkan Centi (1993:9) mengemukakan konsep diri (self-concept) tidak lain tidak bukan
adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri
sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita
menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana kita harapkan.
Konsep diri didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian
seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang meliputi kemampuan,
karakter, maupun sikap yang dimiliki individu (Rini,
2002:http:/www.e-psikologi.com/dewa/160502.htm). Konsep diri merupakan penentu sikap
individu dalam bertingkah laku, artinya apabila individu cenderung berpikir akan berhasil,
maka hal ini merupakan kekuatan atau dorongan yang akan membuat individu menuju
kesuksesan. Sebaliknya jika individu berpikir akan gagal, maka hal ini sama saja
mempersiapkan kegagalan bagi dirinya. Dari beberapa pendapat dari para ahli di atas maka
dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang
dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya
maupun lingkungan terdekatnya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

40
Menurut Stuart dan Sudeen ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Significant Other (orang
yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri).
a. Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir
seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan
kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang
melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan
tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan
pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri
dengan merealisasi potensi yang nyata.
b. Significant Other ( orang yang terpenting atau yang terdekat )
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain,
belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri
merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat
dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan
dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh
budaya dan sosialisasi.
c. Self Perception ( persepsi diri sendiri )
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu
terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui
pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang
kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat
berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan.
Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial
yang terganggu

3. Komponen Konsep Diri


Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian Konsep diri tersebut di
kemukakan oleh Stuart and Sundeen ( 1991 ), yang terdiri dari :
a. Gambaran diri ( Body Image )

41
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak
sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi
penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan
dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen , 1991).
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang
lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari
lingkungan ( Keliat ,1992 ). Gambaran diri ( Body Image ) berhubungan dengan
kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting
pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistis terhadap dirinya manarima dan
mengukur bagian tubuhnya akan lebih rasa aman, sehingga terhindar dari rasa cemas
dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992). ndividu yang stabil, realistis dan
konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan yang mantap
terhadap realisasi yang akan memacu sukses dalam kehidupan. Banyak Faktor dapat
yang mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti, munculnya Stresor yang dapat
menggangu integrasi gambaran diri. Stresor-stresor tersebut dapat berupa :
1. Operasi. Seperti : mastektomi, amputsi ,luka operasi yang semuanya mengubah
gambaran diri. Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, protesa
dan lain –lain.
2. Kegagalan fungsi tubuh. Seperti hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan
depersonlisasi yaitu tidak mengakui atau asing dengan bagian tubuh, sering
berkaitan dengan fungsi saraf.
3. Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fngsi tubuh: Seperti sering terjadi pada
klie gangguan jiwa, klien mempersiapkan penampilan dan pergerakan tubuh sangat
berbeda dengan kenyataan.
4. Tergantung pada mesin. Seperti : klien intensif care yang memandang imobilisasi
sebagai tantangan, akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik engan
penggunaan lntensif care dipandang sebagai gangguan.
5. Perubahan tubuh berkaitan .Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana
seseorang akan merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya
usia. Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif.
Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh yang tidak
ideal.

42
6. Umpan balik interpersonal yang negatif . Umpan balik ini adanya tanggapan yang
tidak baik berupa celaan, makian, sehingga dapat membuat seseorang menarik diri.
7. Standard sosial budaya. Hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya yang
berbeda-setiap pada setiap orang dan keterbatasannya serta keterbelakangan dari
budaya tersebut menyebabkan pengaruh pada gambaran diri individu, seperti adanya
perasaan minder.

Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat menunjukan tanda dan gejala, seperti :
 Syok Psikologis. :Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak
perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan.syok psikologis digunakan
sebagai reaksi terhadap ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan
perubahan tubuh membuat klien menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti
mengingkari, menolak dan proyeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri.
 Menarik diri : Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan , tetapi
karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional. Klien menjadi
pasif, tergantung , tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya.
 Penerimaan atau pengakuan secara bertahap. : Setelah klien sadar akan kenyataan maka
respon kehilangan atau berduka muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan
reintegrasi dengan gambaran diri yang baru. Tanda dan gejala dari gangguan gambaran
diri di atas adalah proses yang adaptif, jika tampak gejala dan tanda-tanda berikut secara
menetap maka respon klien dianggap maladaptif sehingga terjadi gangguan gambaran
diri yaitu :
1. Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah.
2. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh.
3. Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri.
4. Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh.
5. Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang.
6. Mengungkapkan keputusasaan.
7. Mengungkapkan ketakutan ditolak.
8. Depersonalisasi.
9. Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.
2. Ideal Diri.

43
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan
standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart and Sundeen ,1991).
Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi,
cita-cita, nilai- nilai yang ingin di capai . Ideal diri akan mewujudkan cita-cita, nilai-nilai
yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita–cita dan harapan pribadi berdasarkan
norma sosial (keluarga budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan. Ideal diri mulai
berkembang pada masa kanak–kanak yang di pengaruhi orang yang penting pada dirinya
yang memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja ideal diri akan di bentuk
melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman. Menurut Keliat ( 1998 ) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu :
1. Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya.
2. Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri.
3. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan
untuk mengklaim diri dari kegagalan, perasan cemas dan rendah diri.
4. Kebutuhan yang realistis.
5. Keinginan untuk menghindari kegagalan .
6. Perasaan cemas dan rendah diri.
Agar individu mampu berfungsi dan mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi diri dan
ideal diri. Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi
dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai (Keliat, 1992 ).
3. Harga diri .
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa
jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991). Frekuensi pencapaian tujuan
akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering
gagal , maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang
lain. Aspek utama adalah di cintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992).
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset
ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri tinggi
terkait dengam ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain.
Sedangkan harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan resiko
terjadi depresi dan skizofrenia. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan
negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah
dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi yang telah
44
berlangsung lama). Dan dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau
tidak nyata). Menurut beberapa ahli dikemukakan faktor-Fator yang mempengaruhi gangguan
harga diri, seperti :
1. Perkembangan individu.
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua menyebabkan
anak merasa tidak dicintai dan mengkibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal
untuk mencintai orang lain. Pada saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami
kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting baginya.
Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri, memutuskan sendiri
akan bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan
mengontrol, membuat anak merasa tidak berguna.

2. Ideal Diri tidak realistis.


Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan
berbuat kesalahan. Ia membuat standart yang tidak dapat dicapai, seperti cita –cita yang
terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai membuat individu
menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang.
3. Gangguan fisik dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.
4. Sistim keluarga yang tidak berfungsi.
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun harga diri anak
dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan merusak
harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah
tidak adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan di
lingkungannya.
5. Pengalaman traumatik yang berulang,misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan
seksual.
Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi, peperangan, bencana
alam, kecelakan atau perampokan. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan.
Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma, mengubah
arti trauma, respon yang biasa efektif terganggu. Akibatnya koping yang biasa berkembang
adalah depresi dan denial pada trauma.
4. Peran.
45
Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisinya di masyarakat ( Keliat, 1992 ). Peran yang ditetapkan adalah peran
dimana seseorang tidak punya pilihan, sedangkan peran yang diterima adalah peran yang
terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri.
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok
dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena
struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin
dilaksanakan ( Keliat, 1992 ). Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas dan
peran yang tidak sesuai atau peran yang terlalu banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus di
lakukan menurut Stuart and sundeen, 1998 adalah :
1. Kejelasan prilaku dengan penghargaan yang sesuai dengan peran.
2. Konsisten respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan .
3. Kesesuain dan keseimbangan antara peran yang di emban.
4. Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran.
5. Pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidak sesuain perilaku peran.
Menurut Stuart and Sunden Penyesuaian individu terhadap perannya dipengaruhi oleh
beberapan faktor, yaitu :
1. Kejelasan prilaku yang sesuai dengan perannya serta pengetahuan yang spesifik tentang
peran yang diharapkan .
2. Konsistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan peranannya.
3. Kejelasan budaya dan harapannya terhadap prilaku perannya.
4. Pemisahan situasi yang dapat menciptakan ketidak selarasan
Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran, baik yang
sifatnya menetap atau sementara yang sifatnya dapat karena situasional. Hal ini, biasanya
disebut dengan transisi peran. Transisi peran tersebut dapat di kategorikan menjadi beberapa
bagian, seperti :
1. Transisi Perkembangan.
Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap perkembangan
harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan yang berbeda – beda. Hal ini
dapat merupakan stresor bagi konsep diri.
2. Transisi Situasi.

46
Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau berkurang orang yang
berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua atau menjadi
orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan
ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas atau peran berlebihan.
3. Transisi sehat sakit.
Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat diri dan
berakibat perubahan konsep diri. Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua kompoen
konsep diri yaitu gambaran diri, identitas diri peran dan harga diri. Masalah konsep diri dapat
di cetuskan oleh faktor psikologis, sosiologi atau fisiologi, namun yang penting adalah
persepsi klien terhadap ancaman. Selain itu dapat saja terjadi berbagai gangguan peran,
penyebab atau faktor-faktor ganguan peran tersebut dapat di akibatkan oleh :
1. Konflik peran interpersonal individu dan lingkungan tidak mempunyai harapan peran yang
selaras.
2. Contoh peran yang tidak adekuat.
3. Kehilangan hubungan yang penting
4. Perubahan peran seksual
5. Keragu-raguan peran
6. Perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses menua
7. Kurangnya kejelasan peran atau pengertian tentang peran
8. Ketergantungan obat
9. Kurangnya keterampilan sosial
10. Perbedaan budaya
11. Harga diri rendah
12. Konflik antar peran yang sekaligus di perankan
Gangguan-gangguan peran yang terjadi tersebut dapat ditandai dengan tanda dan gejala,
seperti :
1. Mengungkapkan ketidakpuasan perannya atau kemampuan menampilkan peran
2. Mengingkari atau menghindari peran
3. Kegagalan trnsisi peran
4. Ketegangan peran
5. Kemunduran pola tanggungjawab yang biasa dalam peran
6. Proses berkabung yang tidak berfungsi
7. Kejenuhan pekerjaan
47
5. Identitas
Identitas adalah kesadarn akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang
merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh
(Stuart and Sudeen, 1991).
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang memandang dirinya
berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri),
kemampuan dan penyesuaian diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima
dirinya. Identitas diri terus berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan
perkembangan konsep diri. Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin
(Keliat,1992). Identitas jenis kelamin berkembang sejak lahir secara bertahap dimulai dengan
konsep laki-laki dan wanita banyak dipengaruhi oleh pandangan dan perlakuan masyarakat
terhadap masing-masing jenis kelamin tersebut. Perasaan dan prilaku yang kuat akan
indentitas diri individu dapat ditandai dengan:
a. Memandang dirinya secara unik
b. Merasakan dirinya berbeda dengan orang lain
c. Merasakan otonomi : menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima diri dan dapat
mengontrol diri.
d. Mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran dan konsep diri
Karakteristik identitas diri dapat dimunculkan dari prilaku dan perasaan
seseorang, seperti :
1. Individu mengenal dirinya sebagai makhluk yang terpisah dan berbeda dengan orang lain
2. Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya
3. Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai dan prilaku
secara harmonis
4. Individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan lingkungan
sosialnya
5. Individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang
6. Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan di realisasikan (Meler dikutip Stuart
and Sudeen, 1991)

KESIMPULAN

48
Keseimbangan berbagai konsep diri; gambaran diri (body image), ideal diri, harga diri, peran
dan identitas diri sangat mempengaruhi kesehatan individu. Karena individu dengan konsep
diri yang baik/sehat akan memiliki keseimbangan dalam kehidupan
MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 7

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan rentang respon sosial
Pokok Bahasan:
Rentang respon sosial dalam siklus hidup manusia
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang rentang respon sosial dimana mahasiswa akan belajar
memahami bahwa manusia berada dalam kondisi rentang sosial adaptif dan mal adaptif
sehingga dapat menerapkannya saat melakukan asuhan keperawatan pada klien gangguan
jiwa.
Bahan Bacaan Utama:
11. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care.
Edisi 3. Philadelphia: F. A. Davis Company
12. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book
13. Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga
University Press
14. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa III,
Jakarta
15. Fortinash,K.M and Holoday-Worret,P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care
Plans,Mosby Year Book,St.Louis
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
8. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan respon sosial.
9. Jelaskan masing-masing rentang sosial dan ciri/karakteristiknya

49
RENTANG RESPON SOSIAL

Waktu membina suatu hubungan sosial, setiap individu berada dalam rentang respons
yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respons yang
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat yang secara umum
berlaku, sedangkan respons maladaptif merupakan respons yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan budaya setempat. Respons sosial maladaptif yang sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari adalah menarik diri, tergantung (dependen), manipulasi, curiga, gangguan
komunikasi, dan kesepian.
Rentang respons sosial meliputi berikut :
Menyendiri (solitude), merupakan respons yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya. Solitude umumnya
dilakukan setelah melakukan kegiatan.
Otonomi, merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
Bekerja sama (mutualisme) adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal
dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.
Saling tergantung (interdependen), merupakan kondisi saling tergantung antara
individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Dalam kehidupan sehari-hari respons maladaptif yang sering ditemukan antara lain :
menarik diri, tergantung (dependen), manipulasi, curiga.
Menarik diri, merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
Tergantung (dependen), terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya
diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.
Manipulasi, merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat membina
hubungan sosial secara mendalam.

50
Curiga, terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya dengan orang lain.
Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda cemburu, iri hati,
dan berhati-hati. Perasaan individu ditandai dengan humor yang kurang, dan individu
merasa bangga dengan sikapnya yang dingin dan tanpa emosi.

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 8

51
Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konsep stres dan adaptasi
Pokok Bahasan:
Konsep stres dan adaptasi
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang konsep stres dan adaptasi serta manajemennya
sehingga mahasiswa dapat merepakannya saat melakukan asuhan keperawatan pada klien.
Bahan Bacaan Utama:
1. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi
3. Philadelphia: F. A. Davis Company
2. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St. Louis:
Mosby Year Book
3. Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University
Press
4. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa III,
Jakarta
5. Fortinash,K.M and Holoday-Worret,P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care Plans,Mosby
Year Book,St.Louis
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian stres
2. Apakah yang dimaksud dengan stresor, apa sajakah sumbernya?
3. Bagaimanakah cara pengelolaan/manajemen stres?
4. Apakah yang dimakusd dengan adaptasi?
5. Berikan contoh yang dimaksud adaptasi tersebut

KONSEP STRES DAN ADAPTASI

8. Pengertian

52
STRESS adalah segala situasi dimana tuntutan non specific mengharuskan seorang
individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976).
Lazarus dan Folkman (1994) mendefinsikan stress psikologis sebagai hubungan
khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dihargai oleh orang lain tersebut
sebagai pajak terhadap sumber dayanya dan membahayakan kemapanannya.
Stres dianggap sebagai faktor predisposisi atau pencetus yang meningkatkan
kepekaaan individu terhadap penyakit (Rahe, 1975).
STRESSOR adalah stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan. Stressor
menunjukkan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa
kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan dan kebutuhan
cultural.
MACAM-MACAM STRESSOR
Stressor internal : berasal dari dalam diri seseorang (mis : demam, kondisi seperti
kehamilan atau menopause, atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah).
Stressor eksternal : berasal dari luar diri seseorang (mis : perubahan bermakna dalam
suhu lingkungan, perubahan dalam peran keluarga atau sosial, tekanan dari pasangan).
Meningkatnya tuntutan dan kebutuhan hidup akan sesuatu yang lebih baik,
menyebabkan individu berlomba untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkannya.
Tapi pada kenyataannya sesuatu yang diinginkan tersebut kadangkala tidak dapat
tercapai sehingga dapat menyebabkan individu tersebut bingung, melamun hingga
stres. Stres yang terjadi pada setiap individu berbeda-beda tergantung pada masalah
yang dihadapi dan kemampuan menyelesaikan masalah tersebut atau biasa disebut
dengan koping yang digunakan. Jika masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik
maka individu tersebut akan senang, sedangkan jika masalah tersebut tidak dapat
diselesaikan dengan baik dapat menyebabkan individu tersebut marah-marah, frustasi
hingga depresi. Stress adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari.
Stres disebabkan oleh perubahan yang memerlukan penyesuaian (Keliat, B.A., 1999).
Pada individu, sumber stressor dapat berupa:
1. Lingkungan
a. Sikap lingkungan: berupa tuntutan, pandangan positif dan negatif terhadap
keberhasilan diterima bekerja.
b. Tuntutan dan sikap keluarga, misalnya keharusan mendapatkan pekerjaan,
keinginan akan pilihan orang tua untuk bekerja.
53
c. Perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi (IPTEK), makin cepatnya
memperoleh informasi dan trend masa depan jika berhasil terhadap sesuatu yang
diinginkan.
2. Diri sendiri
a. Kebutuhan psikologis yaitu keinginan yang harus dicapai terhadap yang
diinginkannya.
b. Proses internalisasi diri, yaitu penyerapan terhadap yang diinginkan secara terus
menerus sesuai dengan perkembangannya.
3. Pikiran.
a. Berkaitan dengan penilaian individu terhadap lingkungan dan pengaruhnya pada
diri serta persepsi terhadap lingkungan .
b. Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara penyesuaian yang biasa dilakukan
oleh individu yang bersangkutan. Pikiran individu yang negarif baik penilaian saat ini
maupun masa yang akan datang memberi pengaruh yang lebih berat. Misalnya:
- Kecemasan menghadapi ujian masuk kerja
- Ketakutan tidak lulus ujian masuk kerja
- Ragu-ragu mengikuti masuk kerja

Dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai faktor (Kozier & Erb, 1983 dikutip Keliat
B.A., 1999) yaitu:
1. Sifat stressor
Pengetahuan individu tentang stressor tersebut dan pengaruhnya pada individu
tersebut
2. Jumlah stressor
Banyaknya stressor yang diterima individu dalam waktu bersamaan. Jika individu
tidak siap akan menimbulkan perilaku yang tidak baik. Misalnya marah pada hal-
hal yang kecil.
3. Lama stressor

54
Seberapa sering individu menerima stressor yang sama. Makin sering individu
mengalami hal yang sama maka akan timbul kelelahan dalam mengatasi masalah
tersebut.
4. Pengalaman masa lalu
Pengalaman individu yang lalu mempengaruhi individu menghadapi masalah
5. Tingkat perkembangan
Tiap individu tingkat perkembangannya berbeda.

Koping (Cara penyelesaian masalah)


Koping adalah cara yang dilakukan individu, dalam menyelesaikan masalah,
menyesuaikan diri dengan keinginan yang akan dicapai, dan respons terhadap
situasi yang menjadi ancaman bagi diri individu. Cara yang dapat dilakukan
adalah :
1. Individu
a. Kenal diri sendiri
Merupakan tahap awal yang harus dilakukan. Karena individu yang sudah kenal
akan dirinya, akan siap untuk menghadapi stressor yang ada. Cara yang dapat
dilakukan adalah:
- Identifikasi siapa diri anda
- Tanyakan pada orang lain siapa anda
- Mintalah umpan balik jika anda sudah kena diri anda
b. Turunkan kecemasan
- Identifikasi penyebab cemas anda
- Cari tindakan yang menurut anda dapat menurunkan kecemasan
- Lakukan teknik relaksasi
c. Tingkatkan harga diri
- Identifikasi aspek positif yang anda miliki
- Mulai gali kemampuan positif yang anda miliki
- Pertahankan aspek positif yang anda miliki
d. Persiapan diri
- Tingkatkan kemampuan kognitif atau pengetahuan anda (belajar)
- Berdoa
- Mencari informasi
55
- Diskusi dengan orang yang sudah punya pengalaman bekerja
- Identifikasi kebutuhan yang perlu dipersiapkan
e. Pertahankan dan tingkatkan cara yang sudah baik

2. Dukungan sosial (keluarga, teman dan masyarakat)


a. Pemberian dukungan terhadap peningkatan kemampuan kognitif
b. Ciptakan lingkungan keluarga yang sehat, misalnya waktu berdikusi
c. dengan anggota keluarganya
d. Berikan bimbingan mental dan spiritual untuk individu tersebut dari keluarga
e. Berikan bimbingan khusus untuk individu, misalnya konseling

Adaptasi
Adaptasi merupakan hasil akhir dari upaya koping. Karakteristik respon
beradaptasi adalah :
- Dapat mempertahankan keseimbangan
- Adaptasi memerlukan waktu
- Kemampuan adaptasi berbeda untuk tiap individu
- Adaptasi melelahkan dan untuk itu perlu bantuan dari orang lain
MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 9

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konsep ansietas dan melakukan asuhan keperawatan pada
klien
Pokok Bahasan:
Konsep ansietas, pengertian, klasifikasi dan manajemennya
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang konsep ansietas dan manajemen asuhannya sehingga
mahasiswa dapat menerapkannya saat merawat klien.
Bahan Bacaan Utama:
1. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi
3. Philadelphia: F. A. Davis Company
2. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book
56
3. Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University
Press
4. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa III,
Jakarta
5. Fortinash,K.M and Holoday-Worret,P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care Plans, Mosby
Year Book,St.Louis
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian ansietas
2. Apa perbedaan ansietas dengan takut?
3. Jelaskan beberapa teori yang terkait dengan ansietas
4. Jelaskan gejala atau tanda stres dan pembagian karakteristiknya

PERAN DAN FUNGSI PERAWAT JIWA

Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena
dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak
diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990). Kecemasan dapat didefininisikan suatu
keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau
persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens,
1998). Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang
disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem syaraf
otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan sering kali
merupakan suatu emosi yang normal (Kusuma W, 1997). Kecemasan adalah respon terhadap
suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual
(Kaplan, Sadock, 1997).
Teori Kecemasan
Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat
didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan
57
cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al, 1993). Stress
dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik. Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap
kemungkinan faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Teori Psikodinamik
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang
tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan
cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi.
Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi.
Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku
ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan
timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat
itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap
kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul
apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat
restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin
pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut
ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu,
sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui
tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress
psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).
b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus
(fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang
penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu
kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
c. Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu,
sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga.
d Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik
dalam keluarga.
e. Teori Biologik
58
Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian terhadap proses fisiologis
(Hall, 1980). Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan, tidak
oleh konflik emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder (Rockwell cit stuart &
sundeens, 1998).

Faktor Predisposisi Kecemasan


Setiap perubahan dalam kehidupan atau peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan
keadaan stres disebut stresor. Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan,
atau kecemasan merupakan manifestasi langsung dari stres kehidupan dan sangat erat
kaitannya dengan pola hidup (Wibisono, 1990). Berbagai faktor predisposisi yang dapat
menimbulkan kecemasan (Roan, 1989) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor
psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang
sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama ketidak pastian tentang prosedur dan
operasi yang akan dijalani.
Gejala Kecemasan
Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi
dalam beberapa fase, yaitu :
a. Fase 1 
Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk
fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak
sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin. Oleh karena itu,
maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di
otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot
akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada,
leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan
tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 1985).
Pada fase ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang
mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi yang ada
secara benar (Asdie, 1988).
b. Fase 2 (dua)
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan
tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada
motifasi diri (Wilkie, 1985). Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa
59
sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan
dengan stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak keras
dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 1988). Kehilangan
motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah,
kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa
berbuat sesuatu (Asdie, 1988).

c. Fase 3
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor tetap saja
berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda dengan gejala-gejala
yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di identifikasi kaitannya dengan stres, gejala
kecemasan pada fase tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya
tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres.  Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti :
intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang
sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat
sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 1988).
Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik (Townsend, 1996).
1. Kecemasan ringan; Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini
adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk
belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
2. Kecemasan sedang;  Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah
yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi
yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan
pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume
tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal,
kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan
60
yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah
dan menangis.
3. Kecemasan berat;  Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan
kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik,
serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak
pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang
muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat
tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak
mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk
menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
4. Panik;  Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena
mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini
adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan
inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit,
mengalami halusinasi dan delusi.

Respon Fisiologis terhadap Kecemasan


 Kardio vaskuler;  Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi
meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain.
 Respirasi;  napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.
 Kulit:  perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh,
rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.
 Gastro intestinal;  Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di
epigastrium, nausea, diare.
 Neuromuskuler;  Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia,
tremor, kejang, , wajah tegang, gerakan lambat.
Respon Psikologis terhadap Kecemasan
 Perilaku;  Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri,
menghindar.
 Kognitif;  Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, bloking,
bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang
berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain.
61
 Afektif;  Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah
dan lain-lain.

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 10

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konsep gangguan mood.
Pokok Bahasan:
Pengertian gangguan jiwa mood dan hal-hal yang terkait.
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang konsep gangguan jiwa mood, klasifikasi atau yang
termasuk didalamnya sehingga mahasiswa dapat merawat klien dengan gangguan jiwa mood.
Bahan Bacaan Utama:
16. Owens, MJ., Nemeroff, CB. I991. Physiology and pharmacology of CRF. Pharmacol
Rev. 43: 425-473.
17. Post, RM., Gordon, EK, Goodween, FK. Bunney,WE. 1973. Central norepinephrine
metabolism in affective illness: MHPG in the cerebrospinal fluid. Science 1973; 179:
1002-1003.                                        
18. Thoenen, H., 1995. Neurotrophines and neuronal plasticity. Science. 1995. 270: 593-
598.
19. Van Diyken, HH., De Goeij, DC, Mos J, De Kloet, ER, Tilder FJH . 1993. Short
inescapable stress produces long lasting change in the brain-pituitary-adrenal axis of
adult male rates. Neuroindocrinology 1993. 58: 57-84.

Bahan Bacaan Tambahan:


Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
10. Jelaskan pengertian gangguan jiwa mood
11. Apa sajakah yang termasuk kedalam gangguan jiwa mood?
12. Jelaskan gejala-gejala pada gangguan jiwa mood
13. Sebutkan klasifikasi gangguan jiwa mood

62
GANGGUAN JIWA MOOD

Mood didefinisikan sebagai “alam perasaan” atau “suasana perasaan” yang bersifat
internal. Ekspresi eksternal dari mood disebut afek, atau “eksternal display”. Sejak
lama dalam literatur psikiatri mood yang terganggu disebut gangguan afektif. Tapi
kurang lebih dalam 5 tahun terakhir, gangguan afektif ini diubah namanya dengan
gangguan mood. Yang paling utama dalam gangguan mood ini adalah mood yang
menurun atau tertekan yang disebut depresi, dan mood yang meningkat atau ekspansif
yang disebut mania (manik). Baik mood yang menurun atau terdepresi dan mood yang
meningkat bersifat graduil, suatu kontinuum dari keadaan normal ke bent6uk yang
jelas-jelas patologik. Pada beberapa individu gejala-gejalanya bisa disertai dengan ciri
psikotik.
Gejala-gejala ringan dapat berupa peningkatan dari kesedihan atau elasi normal
sedang gejala-gejala berat dikaitkan dengan sindrom gangguan mood yang terluhat
berbeda secara kualitatif dari proses normal dan membutuhkan terapi spesifik.
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang
manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis depresi, selain PPDGJ-III (ICD-X) yang digunakan di
RSJ-RSJ di Indonesia. Bila manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan
yang berkaitan dengan mood (seperti murung, sedih, putus asa), diagnosis depresi
dengan mudah dapat ditegakkan. Tapi bila gejala depresi muncul dalam keluhan
psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit
kepala terus menerus, adanya gejala depresi yang melatarbelakangi sering tidak
terdiagtnosis. Ada masalah yang juga dapat menutupi diagnosis depresi, misalnya
individu penyalahguna alkohol atau napza untuk mengatasi depresi, atau depresi
muncul dalam bentuk gangguan perilaku. Gangguan depresi sering dijumpai.
Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%.
Walaupun depresi lebih sering pada wanita, bunuh diri lebih sering pada laki-laki
terutama usia muda dan tua. Penyebab depresi dan mania secara pasti belum
diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan pada terjadinya gangguan mood ini,
yaitu peristiwa-peristiwa kehidupan yang berakibat stressor (problem keuangan,
63
perkawinan, pekerjaan, dll), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti
ganggtuan hormon, keseimbangan neurotransmiter, biogenik amin, dan imunologik.
 
Klasifikasi
Gangguan mood  berbeda dalam hal manifestasi klinik, perjalanan penyakit, genetik,
dan respons pengobatan. Kondisi ini dibedakan satu sama lain berdasarkan: (a) ada
tidaknya mania (bipolar atau unipolar); (b) berat ringannya penyakit (mayor atau
minor); (c) kondisi medik atau psikiatrik lain sebagai penyebab gangguan. Maka
diklasifikasikan sebagai berikut:
(I) Gangguan mood  mayor : depresi mayor dan/ atau tanda-tanda gejala manik.
Gangguan Bipolar I ( manik-depresi) – mania pada masa lalu atau saat ini ( dengan
atau tanpa adanya depresi atau riwayat depresi). Gangguan Bipolar II – hipomania
dan depresi mayor mesti ada saat ini atau pernah ada. Gangguan Depresi Mayor-
hanya depresi berat saja.
(II) Gangguan mood spesifik lainnya. Depresi minor dan/atau gejala-gejala dan tanda-
tanda manik. Gangguan distimia – depresi saja. Gangguan siklotimia – depresi dan
hipomanik saat atau baru saja berlalu (secara terus-menerus selama 2 tahun).
(III) Gangguan mood akibat kondisi medik umum dan gangguan mood akibat zat.
(IV) Gangguan penyesuaian dengan mood depresi : depresi yang disebabkan oleh
stressor.

Gangguan mood  akibat kondisi medik umum


Berbagai kondisi medik dapat secara langsung menimbulkan depresi mayor dan/atau
sindrom manik. Walaupun demikian, penderita-penderita yang akan berkembang
mengalami sindrom depresi tidak dapat kita prediksi. Beberapa penyakit mempunyai
kecenderungan yang tinggi untuk menimbulkan depresi. Misalnya, sekitar 50% atau
bahkan lebih penderita stroke mengalami depresi. Begitu pula dengan penderita
kanker pankreas dan sindrom Cushing. Penyakit lain jarang yang menimbulkan
depresi secara langsung. Hal ini berarti tidak semua kondisi medik umumdapat
menimbulkan depresi atau manik. Gangguan mood sebagai reaksi terhadap penyakit
tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan mood akibat kondisi medik umum. 
Depresi

64
Tumor, terutama tumor otak dan paru, kanker pankreas (50% memperlihatkan gejala-
gejala psikiatri sebelum diagnosis ditegakkan).
Infeksi – influenza, mononukleosis, hepatitis.
Gangguan endokrin – penyakit Cushing (60% pasien, juga akibat steroideksogen)
hipotiroid, hiperparatiroid, diabetes sindrom Turner.
Darah – anemia (terutama anemia pernisiosa).
Nutrisi dan elektrolit – pelagra, hiponatrium, hipokalemia, hiperkalsemia, ADH tak
sesuai.
Lain-lain – MS, penyakit Parkinson, trauma kepala, stroke, depresi paskastroke ,
terutama lobus frontal awal penyakit Hungtington, MI, sindrom prahaid, menopause
(hilang dengan estrogen).
Mania
Tumor – otak
Infeksi – ensefalitis, influenza, sipilis (20% pasien dengan parese umum
Lain-lain – MS, penyakit Wilson, trauma kapitis, epilepsi psikomotor, hipertiroid.
 
Teori neurobiologik
Teori biologik memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-
HT). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya
kadar NE otak, dan peningkatan NE menyebabkan mania. Pada beberapa pasien kadar
MHPG (metabolit utama NE rendah). Hipotesis indolamin menyatakan bahwa
rendahnya neurotransmiter serotonin (5-HT) otak menyebabkan depresi dan
peningkatan serotonin (5-HT) dapat menyebabkan mania. Hipotesis lain menyatakan
bahwa penurunan NE menimbulkan depresi dan peningkatan NE menyebabkan
mania, hanya bila kadar serotonin 5-HT rendah. Mekanisme kerja obat antidepresan
mendukung teori ini – antidepresan klasik trisiklik memblok ambilan kembali
(reuptake) NE dan 5-HT dan menghambat momoamin oksidase inhibitor
mengoksidasi NE. Penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat
hipometabolisme otak di lobus frontalis menyeluruh pada depresi atau beberapa
abnormalitas fundamental ritmik sirkadian pada pasien-pasien depresi.
 
Neurotransmiter dan sinapsis

65
Jaringan otak terdiri atas berjuta-juta sel otak yang disebut neuron. Sel ini terdiri atas
badan sel, ujung axon dan dendrit. Antara ujung sel neuron satu dengan yang lain
terdapat celah yang disebut celah sinaptik atau sinapsis. Satu neuron menerima
berbagai macam informasi yang datang, mengolah atau mengintegrasikan informasi
tersebut, lalu mengeluarkan responsnya yang dibawa suatu senyawa neurokimiawi
yang disebut neurotransmiter. Terjadi potensial aksi dalam membran sel neuron yang
memungkinkan dilepaskannya molekul neurotransmiter dari axon terminalnya
(prasinaptik) ke celah sinaptik lalu ditangkap reseptor di membran sel dendrit dari
neuron berikutnya. Terjadilah loncatan listrik dan komunikasi neurokimiawi antar dua
neuron. Pada reseptor bisa terjadi “supersensitivitas” dan “subsensitivitas”.
Supersensitivitas berarti respon reseptor lebih tinggi dari biasanya, yang
menyebabkan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik lebih banyak jumlahnya
yang berakibat naiknya kadar neurotransmiter di celah sinaptik tersebut.
Subsensitivitas reseptor adalah bila terjadi sebaliknya. Bila reseptor di blok oleh obat
tertentu maka kemampuannya menerima neurotransmiter akan hilang dan
neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik akan berkurang yang menyebabkan
menurunnya kadar (jumlah) neurotransmiter tertentu di celah sinaptik. Suatu
kelompok neurotransmiter adalah amin biogenik, yang terdiri atas enam
neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, epinefrin, serotonin, asetilkholin dan
histamin. Dopamin, norepinefrin, dan epinefrin disintesis dari asam amino yang sama,
tirosin, dan diklasifikasikan dalam satu kelompok sebagai katekolamin. Serotonin
disintesis dari asam amino triptofan dan merupakan satu-satunya indolamin dalam
kelompok itu. Serotonin juga dikenal sebagai 5-hidroksitriptamin (5-HT). Selain
kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino. Asam amino
dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama dari asam amino
ini adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate. GABA adalah asam
amino inhibitor (penghambat), sedang glutamate adalah asam amino eksitator.
Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak adalah dengan melihat keseimbangan
dari kedua neurotransmiter tersebut. Bila oleh karena suatu hal, misalnya
subsensitivitas reseptor-reseptor pada membran sel paskasinaptik, neurotransmiter
epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin menurun kadarnya pada celah sinaptik,
terjadilah sindrom depresi. Demikian pula bila terjadi disregulasi asetilkholin yang

66
menyebabkan menurunnya kadar neurotransmiter asetilkolin di celah sinaptik,
terjadilah gejala depresi.

Monoamin dan Depresi 


Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang menyebabkan
berkurangnya monoamin, seperti reserpin, dapat menyebabkan depresi.Akibatnya
timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan neurotransmiter
monoamin, terutama NE dan serotonin, dapat menyebabkan depresi. Teori ini
diperkuat dengan ditemukannya obat antidepresan trisiklik dan monoamin oksidase
inhibitor yang bekerja meningkatkan monoamin di sinap. Peningkatan monoamin
dapat memperbaiki depresi.
Serotonin
Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke korteks
serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus. Proyeksi ke
tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan psikiatrik.
Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang berbeda di
susunan syaraf pusat. Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan
libido. Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus
berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur tubuh, dan
fungsi axis HPA). Serotonin bersama-sama dengan norepinefrin dan dopamin
memfasilitasi gerak motorik yang terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat
perilaku agresif pada mamalia dan reptilia. Neurotransmiter serotonin terganggu pada
depresi. Dari penelitian dengan alat pencitraan otak terdapat penurunan jumlah
reseptor pos-sinap 5-HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi berat. Adanya
gangguan serotonin dapat menjadi tanda kerentanan terhadap kekambuhan depresi.
Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah prefrontal
dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat pengobatan. Kadar
serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif dan bunuh diri.
Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada pasien
depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkan mood pada pasien depresi
yang remisi dan individu yang mempunyai riwayat keluarga menderita depresi.
Memori, atensi, dan fungsi eksekutif juga dipengaruhi oleh kekurangan triptofan.
Neurotisisme dikaitkan dengan gangguan mood, tapi tidak melalui serotonin. Ia
67
dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi sekunder akibat berkurangnya triptofan.
Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid). Terdapat
penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini
sering terjadi pada penderita depresi dengan usaha-usaha bunuh diri. Penurunan
serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur dan HPA aksis.
Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa otak sesuai
dengan penurunan serotonin. Pada penderita depresi mayor didapatkan penumpulan
respon serotonin prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkan bahw adanya
gangguan serotonin pada depresi.
Noradrenergik 
Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak di locus
ceruleus(LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal
ganglia, hipotalamus dan talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan
keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi noradrenergik ke hipokampus
terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor dan pemanjangan aktivasi locus
ceruleus dan juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan yang dipelajari. Locus
ceruleus juga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal dan sumber
utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer. Stresor akut dapat
meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi fungsi LC, fungsi vegetatif seperti
makan dan tidur menurun. Persepsi terhadap stressor ditangkap oleh korteks yang
sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC, selanjutnya ke komponen
simpatoadrenalsebagai respon terhadap stressor akut tsb. Porses kognitif dapat
memperbesar atau memperkecil respon simpatoadrenal terhadap stressor akut
tersebut. Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting di otak)
meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang bertujuan.
Stressor yang menetap dapat menurunkan kadar norepinefrin di forbrain medial.
Penurunan ini dapat menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada
depresi. Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-hydroxyphenilglycol
(MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat dilihat berdasarkan
penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MHPG
mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang keluar di urin
meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi kejang listrik).
Dopamin
68
Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal,
mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk mengatur
motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks, serta
tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan
dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakan manifestasi
simptom depresi.

Neurotransmiter lain
Neuron kolinergik mengandung setilkolin yang terdistribusi difus di korteks serebri
dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem monoamin. Abnormal kadar
kolin (prekursor asetilkolin) terdapat di otak pasien depresi. Obat yang bersifat agonis
kolinergik dapat menyebabkan letargi, anergi, dan retardasi psikomotor pada orang
normal. Selain itu, ia juga dapat mengeksaserbasi simptom-simptom depresi dan
mengurangi simptom mania. GABA (gamma-aminobutyric acid) memiliki efek
inhibisi terhadap monoamin, terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbik. Pada
penderita depresi terdapat penurunan GABA. Stressor khronik dapat mengurangi
kadar GABA dan antidepresor dapat meningkatkan regulasi reseptor GABA. Asam
amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter utama di SSP, yang
terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat, yaitu NMDA, kainat, L-
AP4, dan ACPD. Bila berlebihan, glutamat bisa menyebabkan neurotoksik. Obat-obat
yang antagonis terhadap NMDA mempunyai efek antidepresan.

HPA aksis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal)


Bila pengalaman yang berbentuk stressor dalam kehidupan sehari-hari kita tercatat
dalam korteks serebri dan sistem limbik sebagai stresor atau emosi yang mengganggu,
bagian dari otak ini akan mengirim pesan ke tubuh. Tubuh meningkatkan
kewaspadaan untuk mengatasi stressor tersebut. Target adalah kelenjar adrenal.
Adrenal akan mengeluarkan hormon kortisol untuk mempertahankan kehidupan.
Kortisol memegang peranan penting dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi
ginjal, sistem imun, dan semua faktor penting kehidupan. Peningkatan aktivitas
glukokortikoid (kortizol) merupakan respon utama terhadap stressor. Kadar kortisol
yang meningkat menyebabkan “umpan balik”, yaitu hipotalamus menekan sekresi
cortikotropik-releasing hormone (CRH) , kemudian mengirimkan pesan ini ke
69
hipofisis sehingga hipofisi juga menurunkan produksi adrenocortictropin hormon
(ACTH). Akhirnya pesan ini juga diteruskan kembali ke adrenal untuk mengurangi
produksi kortisol. Pengalaman buruk seperti penganiayaan pada masa anak atau
penelantaran pada awal perkembangan merupakan faktor yang bermakna untuk
terjadinya gangguan mood pada masa dewasa. Sistem CRH merupakan sistem yang
paling terpengaruh oleh stressor yang dialami seseorang pada awal kehidupannya.
Stressor yang berulang menyebabkan peningkatan sekresi CRH, dan penurunan
sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis. Stressor pada awal masa perkembangan ini
dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik atau dapat
membuat jejak pada sistem syaraf yang berfungsi merespon respon tersebut.
Akibatnya, seseorang menjadi rentan terhadap stressor dan resiko terhadap penyakit-
penyakit yang berkaitan dengan stressor meningkat, seperti terjadinya depresi setelah
dewasa. Stressor pada awal kehidupan seperti perpisahan dengan ibu, pola
pengasuhan buruk, menyebabkan hiperaktivitas sistem neuron CRH sepanjang
kehidupannya. Selain itu, setelah dewasa, reaktivitas aksis HPA sangat berlebihan
terhadap stressor. Adanya faktor genetik yang disertai dengan stressor di awal
kehidupan, mengakibatkan hiperaktivitas dan sensitivitas yang menetap pada sistem
syaraf. Keadaan ini menjadi dasar kerentanan seseorang terhadap depresi setelah
dewasa. Depresi dapat dicetuskan hanya oleh stressor yang derajatnya sangat ringan.
Peneliti lain melaporkan bahwa respons sistem otonom dan hipofisis-adrenal terhadap
stressor psikososial pada wanita dengan depresi yang mempunyai riwayat penyiksaan
fisik dan seksual ketika masa anak lebih tinggi dibanding kontrol. Stressor berat di
awal kehidupan menyebabkan kerentanan biologik seseorang terhadap stressor.
Kerentanan ini menyebabkan sekresi CRH sangat tinngi bila orang tersebut
menghadapi stressor. Sekresi tinggi CRH ini akan berpengaruh pula pada tempat di
luar hipotalamus, misalnya di hipokampus. Akibatnya, mekanisme “umpan balik”
semakin terganggu. Ini menyebabkan ketidakmampuan kortisol menekan sekresi
CRH sehingga pelepasan CRH semakin tinggi. Hal ini mempermudah seseorang
mengalami depresi mayor, bila berhadapan dengan stressor. Peningkatan aktivitas
aksis HPA meningkatkan kadar kortisol. Bila peningkatan kadar kortisol berlangsung
lama, kerusakan hipokampus dapat terjadi. Kerusakan ini menjadi prediposisi depresi.
Simptom gangguan kognitif pada depresi dikaitkan dengan gangguan hipokampus.
Hiperaktivitas aksis HPA merupakan penemuan yang hampir selalu konsisten pada
70
gangguan depresi mayor. Gangguan aksis HPA pada depresi dapat ditunjukkan
dengan adanya hiperkolesterolemia, resistennya sekresi kortisol terhadap supresi
deksametason, tidak adanya respon ACTH terhadap pemberian CRH, dan
peningkatan konsentrasi CRH di cairan serebrospinal. Gangguan aksis HPA, pada
keadaan depresi, terjadi akibat tidak berfungsinya sistem otoregulasi atau fungsi
inhibisi umpan balik. Hal ini dapat diketahui dengan test DST (dexamethasone
supression test).
Neurotransmiter pada Mania (Gangguan Bipolar)
Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan untuk
komunikasi berbagai beagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa neurokimiawi ini,
dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua fungsi otak. Sebagai
pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke tempat lain untuk
menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel syaraf (neuron) berakhir, di dekatnya
ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan mengeluarkan
neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah sinaptik,
ditangkap reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut. Neurotransmiter yang
berpengaruh pada terjadinya gangguan bipolar adalah dopamin, norepinefrin,
serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin. Selain itu, penelitian-penelitian juga
menunjukksan adanya kelompok neurotransmiter lain yang berperan penting pada
timbulnya mania, yaitu golongan neuropeptida, termasuk endorfin, somatostatin,
vasopresin dan oksitosin. Diketahui bahwa neurotransmiter-neurotransmiter ini,
dalam beberapa cara, tidak seimbang (unbalanced) pada otak individu mania
dibanding otak individu normal. Misalnya, GABA diketahui menurun kadarnya dalam
darah dan cairan spinal pada pasien mania. Norepinefrin meningkat kadarnya pada
celah sinaptik, tapi dengan serotonin normal. Dopamin juga meningkat kadarnya pada
celah sinaptik, menimbulkan hiperaktivitas dan nsgresivitas mania, seperti juga pada
skizofrenia. Antidepresan trisiklik dan MAO inhibitor yang meningkatkan epinefrin
bisa merangsang timbulnya mania, dan antipsikotik yang mem-blok reseptor dopamin
yang menurunkan kadar dopamin bisa memperbaiki mania, seperti juga pada
skizofrenia.
 
 

71
MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 11

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan gangguan jiwa jenis Gangguan mental organik
Pokok Bahasan:
Gangguan mental organik, penyebab, klasifikasi dan karakteristiknya.
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang Gangguan mental organik, penyebab, klasifikasi dan
karakteristiknya, sehingga mahaiswa dapat merawat klien dengan GMO.
Bahan Bacaan Utama:
1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis, edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. hal 189-192.
4. Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993. hal 3
5. Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University
Press, Surabaya 1992. hal 179-211.
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian gangguan jiwa mental organik
2. Jelaskan penyebab GMO
3. Berikan contoh GMO

72
GANGGUAN MENTAL ORGANIK

Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi yang
dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat).
Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang
dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia, Depresi). Dari sejarahnya, bidang
neurologi telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan Psikiatri
dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional.
Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan
fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut
“Gangguan Mental Organik” dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium,
Demensia, Gangguan Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu
kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain. Menurut PPDGJ III
gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar
penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak,
yang berakibat disfungsi otak Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan
ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan
dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau
sistem tubuh
PPDGJ II membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan Mental Organik.
Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan sindrom (gejala) psikologik atau perilaku
tanpa kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental Organik dipakai untuk Sindrom Otak
Organik yang etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak Organik dikatakan akut atau menahun
berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya (reversibilitas) gangguan jaringan otak atau
Sindrom Otak Organik itu dan akan berdasarkan penyebabnya, permulaan gejala atau
lamanya penyakit yang menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah
kesadaran yang menurun (delirium )dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom Otak
Organik menahun (kronik) ialah demensia.

Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :
l. Demensia pada penyakit Alzheimer

73
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini.
1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran.
1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
2. Demensia Vaskular
2.1.Demensia Vaskular onset akut.
2.2. Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5. Demensia Vaskular lainnya
2.6.  Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1. Demensia pada penyakit Pick.
3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt – Jakob.
3. 3. Demensia pada penyakit huntington.
3.4. Demensia pada penyakit Parkinson.
3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4 sebagai berikut :
1. Tanpa gejala tambahan.
2. Gejala lain, terutama waham.
3. Gejala lain, terutama halusinasi
4. Gejala lain, terutama depresi
5. Gejala campuran lain.
5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya
6.1.   Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
6.2.  Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
6. 3.   Delirium lainya.
6.4    DeliriumYTT.
7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
7.1. Halusinosis organik.
74
7.2. Gangguan katatonik organik.
7.3. Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4. Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
7.4.1. Gangguan manik organik.
7.4.2. Gangguan bipolar organik.
7.4.3. Gangguan depresif organik.
7.4.4. Gangguan afektif organik campuran.
7.5. Gangguan anxietas organik
7.6. Gangguan disosiatif organik.
7.7. Gangguan astenik organik.
7.8. Gangguan kopnitif ringan.
7.9. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain YDT.
7.10. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik YTT.
8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan fungsi otak
8.1.  Gangguan keperibadian organik
8.2.  Sindrom pasca-ensefalitis
8.3.  Sindrom pasca-kontusio
8.4. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi
otak lainnya.
8.5. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi
otak YTT.
9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT

Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut:


1. Demensia dan Delirium
2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala.
3. Aterosklerosis otak
4. Demensia senilis
5. Demensia presenilis.
6. Demensia paralitika.
7. Sindrom otak organik karena epilepsi.
8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan
intoksikasi.
75
9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial.
Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut:
1. Delirium
1.1. Delirium karena kondisi medis umum.
1.2. Delirium akibat zat.
1.3. Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2. Demensia.
2.1. Demensia tipe Alzheimer.
2.2. Demensia vaskular.
2.3. Demensia karena kondisi umum.
2.3.1.    Demensia karena penyakit HIV.
2.3.2.    Demensia karena penyakit trauma kepala.
2.3.3.      Demensia karena penyakit Parkinson.
2.3.4.      Demensia karena penyakit Huntington.
2.3.5.      Demensia karena penyakit Pick
2.3.6.      Demensia karena penyakit Creutzfeldt – Jakob
2.4. Demensia menetap akibat zat
2.5. Demensia karena penyebab multipeL
2.6. Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3. Gangguan amnestik
3.1.Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.

Delirium
Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang
biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif.
Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa
yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama dapat
berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti (sebagai contoh epilepsi), penyakit sistemik,
76
dan intoksikasi atau reaksi.3 putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak
terletak di luar sistem pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter yang dianggap
berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat Area yang terutama terkena adalah
formasio retikularis.
Penyebab Delirium
Penyakit intrakranial
1. Epilepsi atau keadaan pasca kejang
2. Trauma otak (terutama gegar otak)
3. Infeksi (meningitis.ensetalitis).
4. Neoplasma.
5. Gangguan vaskular
Penyebab ekstrakranial
1. Obat-obatan (di telan atau putus) : Obat antikolinergik, Antikonvulsan, Obat
antihipertensi, Obat antiparkinson. Obat antipsikotik, Cimetidine, Klonidine.
Disulfiram, Insulin, Opiat, Fensiklidine, Fenitoin, Ranitidin, Sedatif(termasuk
alkohol) dan hipnotik, Steroid.
2. Racun : Karbon monoksida, Logam berat dan racun industri lain.
3. Disfungsi endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi) : Hipofisis, Pankreas, Adrenal,
Paratiroid, tiroid
4. Penyakit organ nonendokrin : Hati (ensefalopati hepatik), Ginjal dan saluran kemih
(ensefalopati uremik), Paru-paru (narkosis karbon dioksida, hipoksia), Sistem
kardiovaskular (gagal jantung, aritmia, hipotensi).
5. Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asain folat)
6. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis.
7. Ketidakseimbangan elektrolit dengan penvebab apapun : Keadaan pasca operatif,
Trauma (kepala atau seluruh tubuh), Karbohidrat: hipoglikemi.
Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
 Usia
 Kerusakan otak
 Riwayatdelirium
 Ketergantungan alkohol
 Diabetes
 Kanker
77
 Gangguan panca indera
 Malnutrisi.3

Diagnosis
Kriteria Diagnostik untuk Delirium Karena Kondisi Medis Umum:
1. Gangguan kesadaran (yaitu, penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan)
dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau
mengalihkan perhatian.
2. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat (biasanya beberapa jam
sampai hari dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari.
3. Perubahan kognisi (seperti defisit daya ingat disorientasi, gangguan bahasa) atau
perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang
telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan, atau yang sedang timbul.
4. Terdapat bukti-bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
Iaboratorium bahwa gangguan adalah disebabkan oleh akibat fisiologis langsung dan
kondisi medis umum.
5. Catatan penulisan : Masukkan nama kondisi medis umum dalam Aksis I, misalnya,
delirium karena ensefalopati hepatik, juga tuliskan kondisi medis umum pada Aksis
III

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan standar
a. Kimia darah (termasuk elektrolit, indeks ginjal dan hati, dan glukosa)
b. Hitung darah lengkap (CBC) dengan defensial sel darah putih
c. Tes fungsi tiroid
d. Tes serologis untuk sifilis
e. Tes antibodi HIV (human Immunodeficiency virus) f Urinalisa
g. Elektrokardiogram (EKG)
h. Elektroensefalogram (EEG)
i. Sinar X dada
j. Skrining obat dalam darah dan urin
78
‘I’es tambahan jika diindikasikan :
1. Kultur darah, urin, dan cairan serebrospinalis
2. Konsentrasi B 12, asam folat
3. Pencitraan otak dengan tomografi komputer (CT) atau pencitraan resonansi magnetik
(MRI)
4. Pungsi lumbal dan pemetiksaan cairan serebrospinalis

Gambaran klinis
Kesadaran (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium, satu pola
ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain
ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus
zat seringkali mempunyai delirium hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda
otonomik, seperti kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil berdilatasi, mual,
muntah, dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan
sebagai depresi, katatonik atau mengalami demensia.
Orientasi
Orientasi terhadap waktu, tempat dan orang harus diuji pada seorang pasien dengan delirium.
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang bahkan pada kasus delirium yang ringan. Orientasi
terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain (sebagai contohnya, dokter,
anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada kasus yang berat Pasien delirium jarang
kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.
Bahasa dan Kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa. Kelainan dapat berupa
bicara yang melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan
kemampuan untuk mengerti pembicaraan Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu
pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun ingatan kenangan
yang jauh mungkin dipertahankan. Disarnping penurunan perhatian, pasien mungkin
mempunyai penurunan kognitif yang dramatis sebagai suatu gejala hipoaktif delirium yang
karakteristik. Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah
dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang kadang paranoid.
Persepsi
79
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidak mampuan umum untuk membedakan
stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu
mereka. Halusinasi relatif sering pada pasien delirium. Halusinasi paling sering adalah visual
atau auditoris walaupun halusinasi dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris
adalah sering pada delirium.
Suasana Perasaan
Pasien dengan delirium mempunyai kelainan dalam pengaturan suasana Gejala yang paling
sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan suasana
perasaan lain adalah apati, depresi, dan euforia.
Gejala Penyerta  : Gangguan tidur-bangun
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah tergangga Paling sedikit mengantuk
selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di tempat tidurnya atau di ruang
keluarga. Seringkali keseluruhan siklus tidur-bangun pasien dengan delirium semata mata
terbalik. Pasien seringkali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, situasi
klinis yang dikenal luas sebagai sundowning.1
Gejala neurologis
Gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfagia, tremor, asteriksis, inkoordinasi, dan
inkontinensia urin.
Diagnosis Banding
a. Demensia
b. Psikosis atau Depresi
Pengobatan
Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Tujuan
pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan.
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah
psikosis dan insomnia Obat yang terpilih untuk psikosis adalah haloperidol (Haldol), suatu
obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis awal antara 2 – 10 mg IM, diulang dalam satu
jam jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan
konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral +I,5 kali lebih tinggi dibandingkan
dosis parenteral Dosis harian efektif total haloperidol 5 – 50 mg untuk sebagian besar pasien
delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula
intravena alternatif monitoring EKG sangat penting pada pengobatan ini

80
Insomnia diobati dengan golongan benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnva.
hidroksizine (vistaril) dosis 25 – 100 mg.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal (kegelisahan dan ketakutan) dapat
terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium biasanya berlangsung
selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun delirium biasanya berlangsung
kurang dari I minggu setelah menghilangnya faktor penyebab, gejala delirium menghilang
dalam periode 3 – 7 hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu 2 minggu
untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien dan semakin lama pasien
mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang.
Terjadinya delirium berhubungan dengan angka mortalitas yang tinggi pada tahun
selanjutnya, terutama disebabkan oleb sifat serius dan kondisi medis penyerta.1

DEMENSIA
Demensia merupakan suatu gangguan mental organik yang biasanya diakibatkan oleh proses
degeneratif yang progresif dan irreversible yang mengenai arus pikir. Demensia merupakan
sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran.
Fungsi kognitif yang dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar dan
ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian, dan konsentrasi,
pertimbangan, dan kemampuan sosial. Kepribadian pasien juga terpengaruh.
Epidemiologi
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Dan semua pasien demensia, 50 – 60%
menderita demensia tipe Alzheimer yang merupakan ripe demensia yang paling sering. Kira-
kira 5% dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe Alzhermer,
dibandingkan 15 – 25% dan semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Tipe demensia
yang paling sering kedua adalah demensia vaskular yaitu demensia yang secara kausatif
berhubungan dengan penyakit serebrovaskular, berkisar antara 15 – 30% dari semua kasus
demensia, sering pada usia 60 – 70 tahun terutama pada laki-laki. Hipertensi merupakan
faktor predisposisi terhadap penyakit demensia vaskular.
1. Penyebab
81
2. Penyakit Alzheimer
3. Demensia Vaskular
4. Infeksi
5. Gangguan nutrisional
6. Gangguan metabolik
7. Gangguan peradangan kronis
8. Obat dan toksin (termasuk demensia alkoholik kronis)
9. Massa intrakranial : tumor, massa subdural, abses otak
10. Anoksia
11. Trauma (cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome))
12. Hidrosefalus tekanan normal

13. Diagnosis
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Tipe Alzheimer :
a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik
1. Gangguan daya ingat (gangguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk
mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya).
2. Satu (atau lebih) gangguan kogntif berikut :
a. Afasia (gangguan bahasa)
b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi
motorik adalah utuh)
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentitikasi benda walaupun fungsi
sensorik adalah utuh)
d. Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi, mengurutkan,
dan abstrak)
b. Defisit kognitif dalam kriteria al dan a2 masing-masing menyebabkan gangguan yang
bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna
dari tingkat fungsi sebelumnya.
c. Defisit tidak terjadi semata-mata hanya selama perjalanan suatu delirium dan menetap
melebihi lama yang lazim dari intoksikasi atau putus zat.

82
d. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa
defisit secara etiologis berhubungan dengan efek menetap dari pemakaian zat (misalnya suatu
obat yang disalahgunakan).
Kondisi akibat zat
Defisit tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan Aksis I lainnya (misalnya, gangguan
depresif berat, skizofrenia)
Kode didasarkan pada tipe onset dan ciri yang menonjol :
1. Dengan onset dini : jika onset pada usia 65 tahun atau kurang
2. Dengan delirium : jika delirium menumpang pada demensia
3. Dengan waham : jika waham merupakan ciri yang menonjol
1. Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi (termasuk
gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah
ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena
kondisi medis umum tidak diberikan.
2. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun diatas yang menonjol pada gambaran klinis
sekarang
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku.
Catatan penulisan juga tuliskan penyakit Alzheimer pada aksis III.
Kriteria Diagnostik untuk Demensia Vaskular :
a. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh baik,
1. Gangguan daya ingat (ganguan kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan
untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
1. Afasia (gangguan bahasa)
2. Apraksia (gangguan untuk mengenali atau melakukan aktivitas motorik
ataupun fungsi motorik adalah utuh)
3. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun
fungsi sensorik adalah utuh)
4. Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, mengorganisasi,
mengurutkan, dan abstrak)
b. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan yang
bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna
dan tingkat fungsi sebelumnya.

83
c. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peninggian refleks tendon dalam, respon
ekstensor plantar, palsi pseudo bulbar, kelainan gaya berjalan, kelemahan pada satu
ekstremitas) atau tanda-tanda laboratorium adalah indikatif untuk penyakit serebrovaskular
(misalnya, infark multipel yang mengenai korteks dan substansia putih di bawahnya) yang
berhubungan secara etiologi dengan gangguan.
d. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium
Kode didasarkan pada ciri yang menonjol
1. Dengan delirium :jika delirium menumpang pada demensia
2. Dengan waham jika waham merupakan ciri yang menonjol
3. Dengan suasana perasaan terdepresi : jika suasana perasaan terdepresi (termasuk
gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk episode depresif berat) adalah
ciri yang menonjol. Suatu diagnosis terpisah gangguan suasana perasaan karena
kondisi medis umum tidak diberikan.
4. Tanpa penyulit : jika tidak ada satupun di alas yang menonjol pada gambaran klinis
sekarang.
Sebutkan jika : Dengan gangguan perilaku
Catalan penulisan : juga tuliskan kondisi serebrovaskular pada Aksis III.
Pemeriksaan lengkap :
1. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neorologis lengkap
2. Tanda vital
3. Mini – mental state exemenation  ( MMSE )
4. Pemeriksaan medikasi dan kadar obat
5. Skrining darah dan urin untuk alkohol
6. Pemeriksaan fisiologis : elektrolit, darah, urin.
7. 7. Sinar-X dada
8. 8. Elektrokardiogram (EKG)
9. Pemeriksaan neurologis : CT atau MRI kepala, SPECT, Pungsi lumbal, EEG
10. Tes neuropsikologis

Gambaran Klinis
Gangguan Daya Ingat
Gangguan ingatan biasanya merupakan ciri yang awal don menonjol pada demensia,
khususnya pada demensia yang mengenai korteks, seperti demensia tipe Alzheimer. Pada
84
awal perjalanan demensia, gangguan daya ingat adalah ringan dan paling jelas untuk
peristiwa yang baru terjadi
Orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, waktu dan tempat, orientasi
dapat terganggu secara progresif selama perialanan penyaki Demensia. Sebagai contohnya,
pasien dengan Demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke
kamar mandi. tetapi, tidak masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak
menunjukkan gangguan pada tingkat kesadaran.
Gangguan Bahasa
Proses demensia yang mengenai korteks, terutama demensia tipe Alzheimer dan demensia
vaskular, dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien. Kesulitan berbahasa ditandai
oleh cara berkata yang samar-samar, stereotipik tidak tepat, atau berputar-putar.
Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian merupakan gambaran yang paling mengganggu bagi keluarga pasien
yang terkena. Pasien demensia mempunyai waham paranoid. Gangguan frontal dan temporal
kemungkinan mengalami perubahan keperibadian yang jelas, mudah marah dan m eledak –
ledak.
Psikosis
Diperkirakan 20 -30% pasien demensia tipe Alzheimer, memiliki halusinasi, dan 30 – 40%
memiliki waham, terutama dengan sifat paranoid atau persekutorik dan tidak sistematik.
Gangguan Lain
Psikiatrik : Pasien demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis yaitu,
emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat.
Neurologis : Disamping afasia, apraksia dan afmosia pada pasien demensia adalah sering.
Tanda neurologis lain adalah kejang pada demensia tipe Alzheimer clan demensia vaskular.
Pasien demensia vaskular mempunyai gejala neurologis tambahan seperti nyeri kepala,
pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur. Palsi serebrobulbar,
disartria, dan disfagia lebih sering pada demensia vaskular.
Reaksi yang katastropik
Ditandai oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di
bawah keadaan yang menegangkan, pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi defek
tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya

85
intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara
dengan cara lain.
Sindroma Sundowner
Ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini
terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang
bereaksi secara menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif.

Diagnosis Banding
1. Serangan iskemik transien
2. Depresi
3. Penuaan normal
4. Delirium
5. Gangguan Buatan (Factitious Disorders)
6. Skizofrenia
Pengobatan
Pendekatan pengobatan umum adalah untuk memberikan perawatan medis suportit, bantuan
emosional untuk pasien dan keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik
(perilaku yang mengganggu). Pengobatan farmakologis dengan obat yang mempunyai
aktivitas antikolinergik yang tinggi harus dihindari. Walaupun thioridazine (Mellaril), yang
mempunyai aktivitas antikolinergik yang tinggi, merupakan obat yang efektif dalam
mengontrol perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis kecil. Benzodiazepim kerja
singkat dalam dosis kecil adalah medikasi anxiolitik dan sedatif yang lebih disukai untuk
pasien demensia. Zolpidem (Ambient) dapat digunakan untuk tujuan sedatif.
TetrahidroaminoKridin (Tacrine) sebagai suatu pengobatan untuk penyakit Alzheimer, obat
ini merupakan inhibitor aktivitas antikolinesterase dengan lama kerja yang agak panjang.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan klasik dan demensia adalah onset pada pasien usia 50 – 60 tahun dengan
pemburukan bertahap selama 5 – 10 tahun, yang akhirnya menyebabkan kematian. usia saat
onset dan kecepatan pemburukannya adalah bervariasi diantara tipe demensia yang berbeda
dan dalam kategori diagnostik individual.

GANGGUAN AMNESTIK

86
Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang
menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Diagnosis gangguan
amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda lain dari gangguan kognitif, seperti yang
terlihat pada demensia, atau jika mempunyai gangguan perhatian (attention) atau kesadaran,
seperti yang terlihat pada delirium.
Epidemiologi
Beberapa penelitian melaporkan insiden atau prevalensi gangguan ingatan pada gangguan
spesifik (sebagai contohnya sklerosis multipel). Amnesia paling sering ditemukan pada
gangguan penggunaan alkohol dan cedera kepala.
Penyebab
1. Kondisi medis sistemik : Defisiensi tiamin (Sindroma Korsakoff) dan Hipoglikemia
2. Kondisi otak primer : Kejang, Trauma kepala (tertutup dan tembus), Tumor
serebrovaskular (terutama thalamik dan lobus temporalis), Prosedur bedah pada otak,
Ensefalitis karena herpes simpleks, Hipoksia (terutama usaha pencekikan yang tidak
mematikan dan keracunan karbonmonoksida), Amnesia global transien, Terapi
elektrokonvulsif, Sklerosis multipel
3. Penyebab berhubungan dengan zat : Gangguan pengguanan alkohol, Neurotoksin,
Benzodiazepin (dan sedatif- hipnotik lain), Banyak preparat yang dijual bebas.
Diagnosis
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan Amnestik Karena Kondisi Medis Umum.
1. Perkembangan gangguan daya ingat seperti yang dimanifestasikan oleh gangguan
kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau ketidak mampuan untuk mengingat
informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
2. Ganguan daya ingat menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau
pekerjaan dan merupakan penurunan bermakna dan tingkat fungsi sebelumnya.
3. Gangguan daya ingat tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium atau
suatu demensia.
4. Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa
gangguan adalah akibat fisiologis langsung dari kondisi medis umum (termasuk trauma
fisik)

Sebutkan jika :
Transien : jika gangguan daya ingat berlangsung selama 1 bulan atau kurang
87
Kronis   : jika gangguan daya ingat berlangsung lebih dari 1 bulan.
Catatan penulisan:  Masukkan juga nama kondisi medis umum pada Aksis I, misalnya,
gangguan amnestik karena trauma kepala, juga tuliskan kondisi pada Aksis III.

Gambaran Klinis
Pusat gejala dan gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya ingat yang
ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi baru (amnesia
anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat
(amnesia retrograd). Periode waktu dimana pasien terjadi amnesia kemungkinan dimulai
langsung pada saat trauma atau beberapa saat sebelum trauma. Ingatan tentang waktu saat
gangguan fisik mungkin juga hilang. Daya ingat jangka pendek (short-term memory) dan
daya ingat baru saja (recent memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka jauh (remote
post memory) untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti
pengalaman maka anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang kurang lama
( Iewat dart 10 tahun) adalah terganggu.
Diagnosis Banding
1. Demensia dan Delirium
2. Penuaan normal
3. Gangguan disosiatif
4. Gangguan buatan
Pengobatan
Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan amnestik Setelah resolusi
episode amnestik, suatu jenis psikoterapi (sebagai contohnya, kognitif, psikodinamika, atau
suportif dapat membantu pasien menerima pangalaman amnestik kedalam kehidupannya.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Onset mungkin tiba-tiba atau bertahap; gejala dapat sementara atau menetap dan hasil akhir
dapat terentang dari tanpa perbaikan sampai pemulihan lengkap.1

GANCGUAN MENTAL ORGANIK  LAIN


EPILEPSI
Definisi : Suatu kejang (seizure) adalah suatu gangguan patologis paroksismal sementara
dalam gangguan patologis paroksismal sementara dalam fungsi cerebral yang disebabkan
88
oleh pelepasan neuron yang spontan dan luas. Pasien dikatakan menderita epilepsi jika
mereka mempunyai keadaan kronis yang ditandai dengan kejang yang rekuren.
Klasifikasi
Dua kategori utama kejang adalah parsial dan umum (generalized). Kejang parsial melibatkan
aktivitas epileptiformis di daerah otak setempat; kejang umum melibatkan keseluruhan otak.
Suatu sistem klasifikasi untuk kejang.
Kejang umum
Kejang tonik klonik umum mempunyai gejala klasik hilangnya kesadaran, gerakan tonik
klonik umum pada tungkai, menggigit lidah, dan inkotinensia. Walaupun diagnosis peristiwa
kilat dari kejang adalah relatif langsung, keadaan pascaiktal yang ditandai oleh pemulihan
kesadaran dan kognisi yang lambat dan bertahap kadang-kadang memberikan suatu dilema
diagnostik bagi dokter psiktatrik di ruang gawat darurat. Periode pemulihan dan kejang tonik
klonik umum terentang dari beberapa menit sampai berjam-jam. Gambaran klinis adalah
delirium yang menghilang secara bertahap. Masalah psikiatrik yang paling sering
berhubungan dengan kejang umum adalah membantu pasien menyesuaikan gangguan
neurologis kronis dan menilai efek kognitif atau perilaku dan obat antiepileptik.

ABSENCES (Petit Mal)


Suatu tipe kejang umum yang sulit didiagnosis bagi dokter psikiatrik adalah absence atau
kejang petitmal. Sifat epileptik dari episode mungkin berjalan tanpa diketahui, karena
manifestasi motorik atau sensorik karakteristik dari epilepsi tidak ada atau sangat ringan
sehingga tidak membangkitkan kecurigaan dokter. Epilepsi petit mal biasanya mulai pada
masa anak-anak antara usia 5 dan 7 tahun dan menghilang pada pubertas. Kehilangan
kesadaran singkat, selama mana pasien tiba-tiba kehilangan kontak dengan hngkungan,
adalah karakteristik untuk epilepsi petit mal;  tetapi, pasien tidak mengalami kehilangan
kesadaran atau gerakan kejang yang sesungguhnya selama episode. Elektroensefalogerafi
( EEG)  menghasilkan pola karakteristik aktivitas paku dan gelombang (spike and wave) tiga
kali perdetik Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal dengan onset dewasa dapat ditandai
oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan rekuren yang tampak dan menghilane
secara tiba-tiba Gejala dapat disertai dengan riwayat terjatuh atau pingsan.
Kejang parsial liziane parsial diklasitikasikan sebagai sederhana (tanpa perubahan kesadaran)
atau kompleks (dengan perubahan kesadaran) Sedikit lebih banyak dari setengah semua
pasien dengan kelane parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang digunakan
89
untuk kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan
epilepsi limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi klinis yang akurat.
Epilepsi parsial kompleks adalah bentuk epilepsi pada orang dewasa yang paling senngcang
mengenai 3 dan 1.000 orang.
Gejala praiktal
Peristiwa praiktal (aura) pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi otonomik
(sebagai contohnya rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan), sensasi
kognitif(sebagai contohnya, deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti
mimpi). keadaan afektif (sebagai contohnya, rasa takut, panik, depresi, dan elasi) dan secara
klasik. automatisme (sebagai contohnya, mengecapkan bibir, menggosok, dan mengayah)
Gejala Iktal
Perilaku yang tidak terinhibisi, terdisorganisasi, dan singkat menandai serangan iktal.
Walaupun beberapa pengacara pembela mungkin mengklaim yang sebaliknya, jarang
sesorang menunjukkan perilaku kekerasan yang terarah dan tersusun selama episode epileptik
Gejala kognitif adalah termasuk amnesia untuk waktu selama kejang dan suatu periode
delirium yang menghilang setelah kejang. Pada pasien dengan epilepsi parsial kompleks,
suatu fokus kejang dapat ditemukan pada pemeriksaan EEG pada 25 sampai 50 % dari semua
pasien. Penggunaan elektroda sfenoid atau temporalis anterior dan EEG pada saat tidak tidur
dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya kelainan EEG. EEG normal multipel
seringkali ditemukan dart seorang pasien dengan epilepsi parsial kompleks; dengan demikian
EEG normal tidak dapat digunakan untuk mneyingkirkan diagnosis epilepsi parsial.
kompleks- Penggunaan perekaman EEG jangka panjang (24 sampai 72 jam) dapat membantu
klinisi mendeteksi suatu fokus kejang pada beberapa pasien. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan lead nasofaring tidak menambah banyak kepekaan pada
EEG, dan yang jelas menambahkan ketidaknyamanan prosedur bagi pasien.

Gejala Interiktal
Gangguan kepribadian Kelainan psikiatrik yang paling sering dilaporkan pada pasien
epileptik adalah gangguan kepribadian, dan biasanya kemungkinan terjadi pada pasien
dengan epilepsi dengan asal lobus temporalis. Ciri yang paling sering adalah perubahan
perilaku seksual, suatu kualitas yang biasanya disebut viskositas kepribadian, religiositas, dan
pengalaman emosi yang melambung. Sindroma dalam bentuk komplitnya relatif jarang,
bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks dengan asal lobus temporalis. Banyak
90
pasien tidak mengalami perubahan kepribadian, yang lainnya mengalami berbagai gangguan
yang jelas berbeda dari sindroma klasik. Perubahan pada perilaku seksual dapat
dimanifestasikan sebagai hiperseksualitas; penyimpangan dalam minat seksual, seperti
fetihisme dan transfetihisme; dan yang paling sering, hiposeksualitas Hiposeksualitas ditandai
oleh hilangnya minat dalam masalah seksual dan dengan menolak rangsangan seksual
Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas mungkin tidak
dapat mencapai tingkat minat seksual yang normal setelah pubertas, walaupun karakteristik
tersebut mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial
kompleks setelah pubertas. perubahan dalam minat seksual mungkin mengganggu dan
mengkhawatirkan. Gejala viskositas kepribadian biasanya paling dapat diperhatikan pada
percakapan pasien, yang kemungkinan adalah lambat serius, berat dan lamban, suka
menonjolkan keilmuan, penuh dengan rincian-rincian yang tidak penting, dan seringkali
berputar-putar. Pendengar mungkin menjadi bosan tetapi tidak mampu menemukan cara yang
sopan dan berhasil untuk melepaskan diri  dari percakapan. Kecenderungan pembicaraan
seringkali dicerminkan dalam tulisan pasien, yang menyebabkan suatu gejala yang dikenal
sebagai hipergrafia yang dianggap oleh beberapa klinisi sebagai patognomonik untuk epilepsi
parsial komplaks. Religiositas mungkin jelas dan dapat dimanifestasikan bukan hanya dengan
meningkatny peran serta pada aktivitas yang sangat religius tetapi juga oleh permasalahan
moral dan etik yang tidak umum, keasyikan dengan benar dan salah, dan meningkatnya minat
pada perlahamasalahan global dan filosofi Ciri hiperreligius kadang-kadang dapat tampak
seperti gejala prodromal skizofrenia dan dapat menyebabkan mnasalah diagnositik pada
seorang remaja atau dewasa muda.
Gejala psikotik
Keadaan psikotik interiktal adalah lebih sering dari psikosis iktal. Episode interpsikotik yang
mirip skizofrenia dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, khususnya yang berasal dan
lobus temporalis Diperkirakan 10 sampal 30 persen dari semua pasien dengan apilepsi partial
kompleks mempunyai gejala psikotik Faktor risiko untuk gejala tersebut adalah jenis kelamin
wanita kidal onset kejang selama pubertas, dan lesi di sisi kiri. Onset gelala psikotik pada
epilepsi adalah bervariasi. Biasanya, gejala psikotik tarnpak pada pasien yang telah menderita
epilepsi untuk jangka waktu yang lama, dan onset gejala psikotik di dahului oleh
perkembangan perubahan kepribadian yang berhubungan dengan aktivitas otak epileptik
gejala psikosis yang paling karakteristik adalah halusinasi dan waham paranoid. Biasanya.
pasien tetap hangat dan sesuai pada afeknya, berbeda dengan kelainan yang sering ditemukan
91
pada pasien skizofrenik Gejala gangguan pikiran pada pasien epilepsi psikotik paling sering
merupakan gejala yang melibatkan konseptualisasi dan sirkumstansialitas, ketimbang gejala
skizofrenik klasik berupa penghambatan (blocking) dan kekenduran (looseness), kekerasan.
kekerasan episodik merupakan masalah pada beberapa pasien dengan epilepsi khususnya
epilepsi lobus temporalis dan frontalis. Apakah kekerasan merupakan manifestasi dan kejang
itu sendiri atau merupakan psikopatologi interiktal adalah tidak pasti. Sampai sekarang ini,
sebagian besar data menunjukkan sangat jarangnya kekerasan sebagai suatu fenomena iktal.
Hanya pada kasus yang jarang suatu kekerasan pasien epileptik dapat disebabkan oleh kejang
itu sendiri.
Gejala Gangguan perasaan.
Gejala gangguan perasaan, seperti depresi dan mania, terlihat lebih jarang pada epilepsi
dibandingkan gejala mirip skizofrenia. Gejala gangguan mood yang terjadi cenderung
bersifat episodik dan terjadi paling sering jika fokus epileptik mengenai lobus temporalis dan
hemisfer serebral non dominan. Kepentingan gejala gangguan perasaan pada epilepsi
mungkin diperlihatkan oleh meningkatnya insidensi usaha bunuh diri pada orang dengan
epilepsi.

Diagnosis
Diagnosis epilepsi yang tepat dapat sulit khususnya jika gejala iktal dan interiktal dari
epilepsi merupakan manifestasi berat dari gejala psikiatrik tanpa adanya perubahan yang
bemakna pada kesadaran dan kemampuan kognitif Dengan demikian, dokter psikiatrik harus
menjaga tingkat kecurigaan yang tinggi selama memeriksa seorang pasien baru dan harus
mempertimbangkan kemungkman gangguan epileptik, bahkan jika tidak ada tanda dan gejala
klasik. Diagnosis banding lain yang dipertimbangkan adalah kejang semu (psudoseizure),
dimana pasien mempunyai suatu kontrol kesadaran atas gejala kejang yang mirip. Pada
pasien yang sebelumnya mendapatkan suatu diagnosis epilepsi, timbulnya gejala psikiatrik
yang baru harus dianggap sebagai kemungkinan mewakili suatu evolusi, timbulnya gejala
epileptiknya. timbulnya gejala psikotik, gejala gangguan mood, perubahan kepribadian, atau
gejala kecemasan (sebagai contohnya, serangan panik) harus menyebabkan klinisi menilai
pengendalian epilepsi pasien dan memeriksa pasien untuk kemungkinan adanya gangguan
mental yang tersendiri. Pada keadaan tersebut klinisi harus menilai kepatuhan pasien terhadap
regimen obat antiepileptik dan harus mempertimbangkan apakah gejala psikotik merupakan
92
efek toksik dari obat antipileptik itu sendiri. Jika gejala psikotik tampak pada seorang pasien
yang pernah mempunyai epilepsi yang telah didiagnosis atau dipertimbangkan sebagai
diagnosis di masa lalu, klinisi harus mendapatkan satu atau lebih pemeriksaan EEG. Pada
pasien yang sebelumnya belum pernah mendapatkan diagnosis epilepsi. empat karakteristik
hams menyebabkan klinisi mencurigai kemungkinan tersebut; onset psikosis yang tiba-tiba
pada seseorang yang sebelumnya dianggap sehat secara psikologis, onset delirium yang tiba-
tiba tanpa penyebab yang diketahui, riwayat episode yang serupa dengan onset yang
mendadak dan pemulihan spontan, dan riwayat terjatuh atau pingsan sebelumnya yang tidak
dapat dijelaskan.
Pengobatan
karbamazepin ( tegretol) dan Asam valproik (Depakene) mungkin membantu dalam
mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat
antipsikotik tipikal Psikoterapi, konseling keluarga, dan terapi kelompok mungkin berguna
dalam menjawab masalah psikososial yang berhubungan dengan epilepsi. Disamping itu,
klinisi haru; menyadari bahwa banyak obat antiepileptik mempunyai suatu gangguan kognitif
derajat ringan sampai sedang dan penyesuaian dosis atau penggantian medikasi harus
dipertimbangkan jika gejala gangguan kognitif merupakan suatu masalah pada pasien
tertentu.

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 12

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konsep skizofrenia
Pokok Bahasan:
Konsep skizofrenia, penyebab terjadinya, dan penatalaksanaannya.
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang konsep skizofrenia, penyebab terjadinya, dan
penatalaksanaannya sehingga mahasiswa dapat merawatnya.
Bahan Bacaan Utama:
1. Helm,C. Newport, DJ. Bonsall, R., Mileer, AH., Nemeroff,CB. 2001. Altered pituitary-
adrenal axis responses to provocative challenge test in adult survivors of childhood
abuse. American J. Psychiatry 2001 ; 158:575-581.

93
2. Jacobson, L., Sapolsky, R. The role of the hippocampus in feedback regulator of the
hypothalamic-pituitary-adrenocortical axis. 1991. Endoc.Rev. 12 : 118-134.
3. Joseph, R. Hippocampus. 1996. Dalam: Neuropsychiatry, Neuropsychology and Clinical
Neuroscience. Emotion, Evolution, Cognition, Language, Memory, Brain Damage, and
Abnormal Behaviour. Second ed. Williams & Wilkins, 193-216.
4. Nurmiati Amir, 2005. Depresi: Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian skizofrenia
2. Jelaskan faktor resiko skizofrenia
3. Jelaskan tanda dan gejala skizofrenia

KONSEP DASAR SKIZOFRENIA

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau pecah (split), dan “
frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah
seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian ( Hawari, 2003 ).
Faktor Penyebab Skizofrenia : Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya
skizofrenia, antara lain : sejarah keluarga, tumbuh kembang di tengah-tengah kota,
penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stress yang berlebihan, dan komplikasi
kehamilan. Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental
berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran fungsi
sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan menonjolnya
gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar, sedangkan pada
Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negative seperti penarikan diri, apati, dan
perawatan diri yang buruk. Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip di seluruh
94
dunia. Skizofrenia terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Gejala-gejala
awal biasanya terjadi pada masa remaja atau awal dua puluhan. Pria sering mengalami awitan
yang lebih awal daripada wanita.
Faktor resiko penyakit ini termasuk :
1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga
2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan diri,
dan/atau impulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang sangat
kecil.
5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena
dideritanya gangguan ini

Penyakit Skizofrenia Tidak ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui menjadi penyebab
skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen gangguan yang
mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya beberapa individu
penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic herediter. Kemungkinan menderita
gangguan ini meningkat dengan adanya kedekatan genetic dengan, dan beratnya penyakit,
probandnya. Penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem
mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita skizofrenia dari otak normal walau pun
belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran darah, glukografi, dan Brain

95
Electrical Activity Mapping (BEAM) mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada
beberapa individu penderita skizofrenia. Status hiperdopaminergik yang khas untuk traktus
mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke berbagai struktur limbic) menjadi
penjelasan patofisiologis yang paling luas diterima untuk skizofrenia. Semua tanda dan gejala
skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan penderita skizofrenia akibat lesi system
syaraf pusat atau akibat gangguan fisik lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas
pada semua penderita skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pasti
untuk gangguan skizofrenia. Keputusan klinis diambil berdasarkan sebagian pada :
1. Tanda dan gejala yang ada
2. Rriwayat psikiatri
3. Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan dan putus
obat akut.

Terapi Penyakit Skizofrenia


Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena 75%
penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika. Kontraindikasi
meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin, molindone, dan
thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma sudut tertutup. Antara
sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik dengan lithium. Namun,
karena lithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika, penggunaannya disarankan
sebatas obat penopang. Meskipun terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah disbanding
dengan neuroleptika bila dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika
menguntungkan beberapa penderita skizofrenia.
Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan dengan
menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita untuk
mengatasinya, dan adanya dukungan sosial. Intervensi psikososial diyakini berdampak baik
pada angka relaps dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat pada keluarga hendaknya
tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi perasaan-perasaan, atau
mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi bawah sadar.
Tujuannya adalah :
1. Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.
2. Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu penderita
memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
96
3. Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak berbahaya.
Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
4. Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita.
Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
5. Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga lainnya
dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.
Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan keuntungan bagi individu
skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat kemajuan. Terapi individual menguntungkan
bila dipusatkan pada penatalaksanaan stress atau mempertinggi kemampuan social spesifik,
serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik yang ditandai dengan empati, rasa
hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang empatis terhadap kebingungan penderita,
ketakutan-ketakutannya, dan demoralisasinya amat penting dilakukan.

Prognosis Penyakit Skizofrenia


Fase residual sering mengikuti remisi gejala psikotik yang tampil penuh, terutama selama
tahun-tahun awal gangguan ini. Gejala dan tanda selama fase ini mirip dengan gejala dan
tanda pada fase prodromal; gejala-gejala psikotik ringan menetap pada sekitar separuh
penderita. Penyembuhan total yang berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun terjadi pada
10% pasien, sedangkan perbaikan yang bermakna terjadi pada sekitar dua per tiga kasus.
Banyak penderita skizofrenia mengalami eksaserbasi intermitten, terutama sebagai respon
terhadap situasi lingkungan yang penuh stress. Pria biasanya mengalami perjalanan gangguan
yang lebih berat dibanding wanita. Sepuluh persen penderita skizofrenia meninggal karena
bunuh diri.
Prognosis baik berhubungan dengan tidak adanya gangguan perilaku prodromal, pencetus
lingkungan yang jelas, awitan mendadak, awitan pada usia pertengahan, adanya konfusi,
riwayat untuk gangguan afek, dan system dukungan yang tidak kritis dan tidak terlalu
intrusive. Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai prognosis yang lebih baik disbanding
Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita skizofrenia yang berada dalam remisi mengalami
relaps dalam satu tahun. Untuk itu, terapi selamanya diwajibkan pada kebanyakan kasus.
Bagaimana mengatasi Gejala Skizofrenia ?
Ada beberapa langkah yang dapat membantu mengatasi gejala skizofrenia, antara lain belajar
menanggulangi stress, depresi, belajar rileks, dan tidak menggunakan alcohol ataupun obat-
obatan tanpa sepengetahuan dokter serta segera berkonsultasi ke dokter / psikiater. Bantuan
97
dari orang-orang terdekat : Pada skizofrenia fase aktif, penderita mudah terpukul oleh
problema yang sederhana sekalipun. Kurangi pemberian tanggung-jawab agar tidak
membebani penderita dan mengurangi stress jangka pendek. Tetapi dengan mengambil
semua tanggung-jawabnya, akan menimbulkan ketergantungan dan problema lain di
kemudian hari. Penderita skizofrenia mungkin menggunakan kata-kata yang tidak masuk
akal. Agar lebih memahami, cobalah berkomunikasi dengan cara lain dan mengajak
melakukan aktivitas bersama-sama seperti mendengarkan musik, melukis, menonton televise
atau menunjukkan perhatian tanpa harus bercakap-cakap. Jangan membicarakan penderita
jika penderita skizofrenia tidak ada. Penderita skizofrenia biasanya perhatian (sensitive)
dengan apa yang terjadi di sekitarnya

98
MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 13

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konsep gangguan jiwa somatoform.
Pokok Bahasan:
Pengertian gangguan jiwa somatofrom, penyebab, tanda dan gejala serta penatalaksanaannya.
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang gangguan jiwa somatofrom, penyebab, tanda dan gejala
serta penatalaksanaannya.
Bahan Bacaan Utama:
1. KoIb, Lawrence. 1968. Noyes’ Modern Clinical Psychiatry 7th edition Asman edition.
Philadelpia : W.B Saunders Company.
2. “Psychosomatic Disorders.” Diakses dani:
htp://www.surgerydoor.co.uk/medical_conditions/lndiceslP/psychosomatic_disor
dens.htm pada tanggal 21 Agustus 2007 pukul 20.05 WIB.
3. Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 1993. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Ill cetakan pertama.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
4. Wittkower, Enic.D dan Hector Wannes (editor). 1977. Psychosomatic Medicine Its
Clinical Applications. USA: Hanperand Row Publishers, Inc.
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian gangguan jiwa somatofrom
2. Apa penyebab gangguan jiwa somatofrom?
3. Jelaskan tanda dan gejala gangguan jiwa somatofrom

GANGGUAN JIWA SOMATOFROM


99
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat.
Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang
bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan
sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa
faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.
Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:

 Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem
organ.
 Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis. Hipokondriasis ditandai
oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien bahwa ia menderita
penyakit tertentu.
 Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-
lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
 Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor
psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform:
 Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan
salah satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi

A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat
tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota
gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama
miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain

100
nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau
intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain
dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi
tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi
seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat,
sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya
sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif
seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
C. Salah satu (1) atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan
suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan
yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-
pura).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi

A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang
mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau
eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain.
C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan sepenuhnya
oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau
pengalaman yang diterima secara kultural.
E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan

101
medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata-mata
selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh
gangguan mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit:
Dengan gejata atau defisit motorik
Dengan gejala atau defisit sensorik
Dengan kejang atau konvulsi
Dengan gambaran campuran

Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis

A. Pereokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius
didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejalagejala tubuh.
B. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman.
C. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan delusional,
tipe somatik) dan tidakterbatas pada kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada
gangguan dismorfik tubuh).
D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau
gangguan somatoform lain.

Sebutkan jika:

Dengan tilikan buruk: jika untuk sebagian besar waktu selama episode berakhir, orang tidak
menyadari bahwa kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius adalah berlebihan atau
tidak beralasan. 

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh

A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali
tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyat.
B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam

102
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri

A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup
parah untuk memerlukan perhatian klinis.
B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi
atau bertahannnya nyeri.
D. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura).
E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan
psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Tuliskan seperti berikut:

Gangguan nyeri berhubungan dengan faktor psikologis: faktor psikologis dianggap memiliki
peranan besar dalam onset, keparahan, eksaserbasi, dan bertahannya nyeri.
Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih  

Gangguan nyeri berhubungan baik dengan faktor psikologls maupun kondisi medis umum
Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih
Catatan: yang berikut ini tidak dianggap merupakan gangguan mental dan dimasukkan
untuk mempermudah diagnosis banding.
 

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan

A. Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
B. Salah satu (1)atau (2)

103
1. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya
efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan
sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan
menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratonium.
C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
E. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan
somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau
gangguan psikotik).
F. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan
atau berpura-pura)

104
GANGGUAN PSIKOSOMATIK

Penggunaan kata "psikosomatik "baru digunakan pada awal tahun 1980-an. Istilah tersebut dapat
ditemukan pada abad ke-19 pada penulisan oleh seorang psikiater Jerman Johann Christian Heinroth
dan psikiater lnggns John Charles Bucknill.

Nosologi DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) Psikosomatis

Untuk membuat kategori secara klinis, DSM-IV mengandung format subkategorisasi yang membuat
dokter dapat menspesifikasikan jenis faktor psikologis atau tingkah laku yang mempengaruhi
kondisi medis pasien. Faktor-faktor tersebut dirancang sedemikian mencakup jangkauan yang luas
dari fenomena psikologis dan tingkah laku yang tampaknya mempenganuhi kesehatan fisik.

Kriteria Diagnostik Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi Medis


105
A. Adanya suatu kondisi medis umum (dikodekan dalam Aksis III)
B. Faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis umum dengan salah satu cara berikut:
1. Faktor yang mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum ditunjukkan oleh
hubungan erat antara faktor psikologis dan perkembangan atau eksaserbasi dan, atau
keterlambatan penyembuhan dan, kondisi medis umum.
2. Faktor yang mengganggu pengobatan kondisi medis umum.
3. Faktor yang membuat risiko kesehatan tambahan bagi individu.
4. Respons fisiologis yang berhubungan dengan stres menyebabkan atau
mengeksaserbasi gejala-gejala kondisi medis umum.

Pilihlah nama bendasarkan sifat faktor psikologis (bila terdapat lebih dan satu faktor, nyatakan yang
paling menonjol)
Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (seperti gangguan depresif berat memperiambat 
pemulihan dan infark miokardium).
Gejala psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya gejala depresif memperlambat
pemulihan dan pembedahan; kecemasan mengeksaserbasi asthma)
Sifat kepribadlan atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi medis (misalnya
penyangkaian psikologis terhadap pembedahan pada seorang pasien kanker, perilaku bermusuhan
dan tertekan menyebabkan penyakit kandiovaskular).
Perilaku kesehatan maladaptif mempengaruhi kondisi medis (misalnya tidak olahraga, seks
yang tidak aman, makan benlebihan).
Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi medis umum
(misalnya eksaserbasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau tension headache yang berhubungan dengan
stres).
Faktor psikologis lain yang tidak ditentukan mempengaruhi kondisi medis (misalnya faktor
interpersonal, kultural, atau religius).  

I.   Gangguan Gastrointestinal

a. Ulkus Peptikum
o Merupakan ulserasi pada membran mukosa lambung atau duodenum, berbatas jelas,
menemus ke mukosa muskularis dan terjadi di daerah yang terkena asam lambung
dan pepsin.
o Etiologi
Teori spesifik

106
o Alexander menghipotesiskan bahwa frustasi kronis dari kebutuhan ketergantungan
yang kuat menyebabkan konflik bawah sadar yang spesifik.
o Konflik bawah sadar tersebut menyinggung ketergantungan kuat akan keinginan
reseptif-oral untuk disayangi dan dicintai, menyebabkan rasa lapar dan kemarahan
bawah sadar yang regresif dan kronis.
o Reaksi dimanifestasikan secara psikologis oleh hiperaktivitas vagal persisten yang
menyebabkan hipersekresi asam lambung, yang terutama jelas pada orang yang
memiliki predisposisi genetik. Pembentukan ulkus dapat terjadi.
o Faktor genetik dan kerusakan atau penyakit organ yang telah ada sebelumnya
(contohnya gastritis)adalah penyebab yang penting.
o Terapi
o Psikoterapi diarahkan pada konflik ketergantungan pasien.
o Biofeedback dan terapi relaksasi berguna.
o Terapi medis dengan cimetidine (Tagamet), ranitidine (Zantac), sucralfate (Carafate),
atau famotidine (Pepcid), serta pengendalian diet diindikasikan dalam
penatalaksanaan ulkus. Obat antimikrobial pada ulkus akibat H. Pylon.
b. Kolitis Ulseratif
o Penyakit ulseratif inflamatoris kronis pada kolon, biasanya disertai diare berdarah.
Insidensi familial dan faktor genetik penting.
o Tipe kepribadian: sifat kepribadian kompulsif yang menonjol. Pasien adalah seorang
yang pembersih, tertib, rapi, tepat waktu, hiperintelektual, malumalu, dan terinhibisi
dalam mengungkapkan kemarahan.
o Etiologi
Teori spesifik:
o Alexander menggambarkan kumpulan konflik spesifik pada kolitis ulseratif yaitu
ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban (biasanya tidak patuh) sampai
kepada inti ketergantungan. Ketergantungan yang mengalami frustasi menstimulasi
perasaan agresif-oral, menyebabkan rasa bersalah dan kecemasan. Menghasilkan
pemulihan melalui diare.
o Terapi
o Psikoterapi yang tidak konfrontatif dan suportif diindikasikan pada kolitis ulseratif.
o Terapi medis seperti obat antikolinergik dan antidiare.

107
c. Obesitas
o Akumulasi lemak berlebihan; berat badan melebihi 20 % berat badan seharusnya.
o Pertimbangan psikosomatik
o Terdapat predisposisi genetik dan faktor perkembangan awal ditemukan pada
obesitas masa anak-anak.
o Faktor psikologis penting pada obesitas hiperfagik (makan berlebihan), khususnya
pada makan pesta pora.
o Faktor psikodinamika yang diajukan antara lain fiksasi oral, regresi oral, dan
penilaian berlebihan terhadap makanan.
o Pasien memiliki riwayat penghindaran terhadap citra tubuh dan kebiasaan awal yang
buruk dalam asupan makanan.
o Terapi
o Dikendalikan melalui pembatasan diet dan penurunan asupan kalori.
o Dukungan emosional dan modifikasi perilaku membantu mengatasi kecemasan dan
depresi yang berhubungan dengan makan berlebihan dan diet.
d. Anoreksia Nervosa
Perilaku yang diarahkan untuk:
o Menghilangkan berat badan.
o Pola aneh dalam menangani makanan.
o Penurunan berat badan.
o Rasa takut yang kuat terhadap kenaikan berat badan.
o Gangguan citra tubuh.
o Amenore pada wanita.

II.  Gangguan Kardlovaskular

a. Penyakit Arteri Koroner


o Penurunan aliran darah ke jantung. Ditandai oleh rasa nyeri, tidak nyaman, tekanan
pada dada dan jantung secara episodik.
o Biasanya ditimbuikan oleh penggunaan tenaga dan stres.
o Tipe kepribadian
o Flanders Dunbar: pasien penyakit koroner berkepribadian agresifkompulsif,
cendenung bekerja dengan waktu panjang, dan untuk meningkatkan kekuasaan.

108
o Meyer Fiedman dan Ray Rosenman: kepriibadian tipe A dan B.
o Kepribadian tipe A berhubungan kuat dengan penyakit jantung koroner.
Orang yang berorientasi tindakan berjuang keras untuk mencapai tujuan dengan cara
permusuhan yang kompetitif. Memiliki peningkatan jumlah lipoprotein densitas
rendah, kolesterol serum, trigliserida, dan 17- hidroksikolestenol.
o Kepribadian tipe B: santai, kurang agresif, kurang aktif berjuang mencapai
tujuannya.
o Terapi: Jika terjadi oklusi koroner, digunakan berbagai medikasi bagi status jantung
pasien. Untuk menghilangkan ketegangan psikis, digunakan psikotropika (contoh
diazepam / valium). Rasa sakit diobati dengan analgesik (contoh morfin). Terapi
medis harus suportif dengan penekanan psikologis untuk menghilangkan stres psikis,
kompulsif, dan ketegangan.
b. Hipertensi Esensial
o Tipe kepribadian
o Orang hipertensif tampak dari luar menyeriangkan, patuh, dan kompulsif; walaupun
kemarahan mereka tidak diekspresikan secara terbuka, memiliki banyak kekerasan
yang terhalangi.
o Predisposisi genetik untuk hipertensi; yaitu bila terjadi stres kronis pada kepribadian
kompulsif yang telah merepresi dan menekan kekerasan.
o Terapi: Psikoterapi suportif dan teknik perilaku (contoh: biofeedback, meditasi,
terapi relaksasi). Pasien harus patuh dengan regimen medikasi anti hipertensi.
c. Gagal Jantung Kongestif
o Gangguan di mana jantung gagal memompa darah secara normal, menyebabkan
kongesti paru dan menurunkan aliran darah jaringan dengan penurunan curah
Jantung.
o Faktor psikologis, seperti stres dan konflik emosional nonspesifik, seringkali
bermakna dalam mulainya atau eksaserbasi gangguan.
o Psikoterapi suportif penting dalam pengobatannya.
d. Sinkop Vasomotor (Vasodepresor)
o Ditandai oleh kehilangan kesadaran (pingsan) secara tiba-tiba yang disebabkan oleh
serangan vasovagal.
o Menurut Franz Alexander, rasa khawatir atau takut menghambat impuls untuk

109
berkelahi atau melarikan diri. Dengan demikian menampung darah di anggota gerak
bawah, dari vasodilatasi pembuluh darah di dalam tungkai. Reaksi tersebut
menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, penurunan pasokan darah ke otak, dan
akibatnya hipoksia otak dan kehilangan kesadaran.
o Terapi: Psikoterapi harus digunakan untuk menentukan penyebab ketakutan atau
trauma yang berhubungan dengan sinkop
e. Aritmia Jantung
o Aritmia yang potensial membahayakan hidup (seperti palpitasi, takikardi ventrikular,
dan fibrilasi ventrikular), kadang-kadang terjadi bersama dengan luapan emosional.
o Juga berhubungan dengan trauma emosional adalah takikardi sinus, perubahan
gelombang ST dan gelombang T, peningkatan katekolamin plasma, dan konsentrasi
asam lemak bebas.
o Stres emosional tidak spesifik, dan penjelasan kepribadian yang berhubungan dengan
gangguan.
o Terapi: Psikoterapi dan obat penghambat beta (propanolol, dll)
f. Fenomena Raynaud
o Sianosis bilateral paroksismal idiopatik pada jail karena kontraksi arteniolan.
o Kontraksi arteniolar seringkali disebabkan oleh stres ekstemal.
o Terapi: dapat diobati dengan psikoterapi suportif, relaksasi progresif, atau
biofeedback dengan melindungi tubuh dari dingin dan menggunakan sedatif ringan.
o Merokok harus dihentikan.
g. Jantung Psikogenik Bukan Penyakit
o Pasien menunjukkan keprihatinan morbid tentang jantungnya dan rasa takut akan
penyakit jantung yang meningkat.
o Rasa takut dapat timbul dan masalah kecemasan, yang dimanifestasikan oleh fobia
atau hipokondriasis parah, sampai keyakinan vaham bahwa mereka menderita
penyakit jantung.
o Banyak pasien menderita akibat sindroma yang kurang jelas ini seringkali dinamakan
astenia neurosirkulatorik.
o Astenia neurosirkulatonik pertama kali digambarkan tahun 1871 oleh Jacob M.
DaCosta, yang menamakannya jantung iritabel (irritable hearth).
o Dokter psikiatrik cenderung memandang sebagai varian klinik dari gangguan

110
kecemasan, walaupun tidak ditemukan dalam DSM-IV.
o >Kriteria diagnostik astenia neurosirkulatorik:
o Keluhan pemapasan seperti pemapasan yang resah, tidak dapat menarik napas dalam,
tercekik dan tersedak, dan sesak napas.
o Palpitasi, nyeri dada, atau rasa tidak enak.
o Kegugupan, pening, pingsan, atau rasa tidak enak di puncak kepala.
o Kelelahan yang tidak hilang-hilang atau pembatasan aktivitas.
o Keringat berlebihan, insomnia, dan iritabilitas.
o Gejala biasanya mulai pada mulai masa remaja atau pada awal usia 20-an.
o Gejala tertentu adalah dua kali lebih sering pada wanita dan cenderung kronis,
dengan eksaserbasi akut rekuren.
o Terapi:
o Penatalaksanaan astenia neurosirkulatorik mungkin sulit. Elemen fobik adalah
menonjol.
o Psikoterapi ditujukan untuk mengungkapkan faktor psikodinamik-seringkali
menghubungkan dengan permusuhan, impuls seksual yang tidak dapat diterima,
ketergantungan, rasa bersalah, dan kecemasan akan mati. Tetapi mungkin efektif
pada beberapa kasus, karena beberapa pasien mungkin menghindari bantuan
psikiatrik.
o Teknik perilaku lain mungkin berguna. Program latihan fisik ditujukan untuk
mengkoreksi kebiasaan pemapasan yang buruk dan secara bertahap meningkatkan
toleransi kerja pasien. Program ini dapat dikombinasikan dengan psikoterapi
kelompok.

III. Gangguan Pemapasan

a. Asma Bronkialis
o Penyakit obstruktif rekuren pada jalan napas bronkial, cenderung berespon terhadap
berbagai stimuli dengan konstriksi bronkial, edema, dan sekresi yang berlebihan.
o Faktor genetika, alergik, infeksi, dan stres akut dan kronis berkombinasi untuk
menimbulkan penyakit.
o Faktor psikologis: tidak ada tipe kepribadian spesifik yang telah diidentifikasi.
Alexander mengajukan faktor konfliktual psikodinamika, karena ia menemukan pada
banyak pasien asma adanya harapan yang tidak disadari akan perlindungan dan untuk
111
diselubungi oleh ibu atau pengganti ibu. Tokoh ibu cenderung bersikap melindungi
adan cemas secara berlebihan, perfeksionis, berkuaasa, dan menolong. Jika proteksi
tersebut tidak didapatkan, serangan asthma terjadi, karena ia menemukan pada
banyak pasien asma adanya harapan yang tidak disadari akan perlindungan dan untuk
diselubungi oleh ibu atau pengganti ibu. Tokoh ibu cenderung bersikap melindungi
adan cemas secara berlebihan, perfeksionis, berkuaasa, dan menolong. Jika proteksi
tersebut tidak didapàtkan, serangan asma terjadi.
o Terapi: beberapa pasien asma membaik dengan dipisahkan dan ibu (disebut
parentektomi). Semua psikoterapi standar digunakan: individual, kelompok,
perilaku(desensitisasi sistematik), dan hipnotik.6,8,9
b. Hay Fever
o Faktor psikologis yang kuatberkombinasi dengan elemen alengi.
o Terapi: faktor psikiatrik, medis, dan alergik harus dipertimbangkan.
c. Sindroma Hiperventilasi
o Pasien hiperventilasi bennapas cepat dan dalam selama beberapa menit, merasa
ningan, dan selanjutnya pingsan karena vasokonstriksi serebral dan alkalosis
respiratonik.
o Differential diagnosis pada psikiatrik adalah serangan kecemasan, panik, skizofnenia,
gangguan kepribadian histnionik, dan keluhan fobik atau obsesif
o Terapi: harus diberikan instruksi atau latihan ulang benhubungan dengan gejala
tertentu dan bagaimana gejala tersebut ditimbulkan oleh hiperventilasi, sehingga
pasien secana sadar menghindani pencetus gejala. Bemafas ke dalam sebuah kantong
dapat menghentikan serangan. Psikoterapi suportif juga diindikasikan.
d. Tuberkulosis
o Onset dan perburukan tubenkulosis seringkali berhubungan dengan stres akutdan
kronis.
o Faktor psikologis mempenganuhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi
dayatahan pasien terhadap penyakit.
o Penanan stres pada insidensi tuberkulosis belum dipelajari secara menyeluruh, tetapi
sebagian besan pasien AIDS memiliki komplikasi psikiatrik dan neunologis dan
besar kemungkinannya mengalami stres.
o Psikoterapi suportif berguna karena adanya peranan stres dan situasi psikososial yang

112
rumit.

IV. Gangguan Endokrin

a. Hipertiroidisme
o Suatu sindroma yang ditandai oieh perubahan biokimiawi danpalkologis yang terjadi
sebagai akibat dan kelebihan hormon_tiroid~eñdogen atau eksogen yang kronis.
o Pertimbangan psikosomatik
o Pada orang yang terpredisposisi secara genetik, stres seringkali disentai dengan onset
hipertiroidisme.
o Menurut teori psikoanalitik, selama masa anak-anak, pasien hipertiroid memiliki
penlekatan yang tidak lazim dan ketergantungan pada onangtua, biasanya kepada
ibu. Mereka menjadi tidak tahan terhadap ancaman penolakan dani ibu. Sebagai
anak-anak, pasien tersebut seringkali memiliki dukungan yang tidak adekuat karena
stres ekonomi, perceraian, kematian, atau banyak saudara kandung. Keadaan ml
menyebabkan stres awal dan pemakaian benlebihan sistem endoknin dan frustrasi
lebih lanjut.
Dukungan yang tidak adekuat karena stres ekonomi, perceraian, kematian, atau
banyak saudara kandung. Keadaan ml menyebabkan stnes awal dan pemakaian
benlebihan sistem endoknin dan frustrasi lebih lanjut.
o Terapi: medikasi antitiroid, tranquilizer, dan psikotenapi suportif.
b. Diabetes Melitus
o Gangguan metabolisme dan sistem vaskular dimanifestasikan gangguan pengaturan
giukosa, lemak, dan protein tubuh
o Onset yang mendadak seringkali berhubungan dengan stres emosional, yang
mengganggu keseimbangan homeostatik pada pasien yang terpredisposisi.
o Faktor psikologis yang tampaknya penting adalah faktor yang mencetuskan perasaan
fnustnasi, kesepian, dan kesedihan.
o Pasien diabetik biasanya mempertahankan kontnol diabetiknya. Jika mengalami
depresi atau merasa sedih, mereka seringkaii makan atau ininum benlebihan yang
merusak diri sendini, sehingga diabetes menjadi tidak terkendali.
o Terapi: psikotenapi suportif dipenlukan untuk mencapai kerjasama dalam
penatalaksanaan medis dani penyakit kompleks. Terapi harus mendorong pasien

113
diabetik untuk menjalani kehidupan senonmal mungkin, dengan menyadari bahwa
mereka memiliki penyakit kronis yang dapat ditangani.
c. Gangguan Endokrin Wanita
i. Sindroma pramenstruasi (Premenstrual Syndrome! PMS)
 Merupakan gangguan disforik pramenstruasi, ditandai oleh perubahan
subjektmfsikiis dalam mood dan rasa kesehatan fisik dan psikologis umum
yang berhubungan dengan siklus menstruasi.
 Gejala biasanya dimulai segera setelah ovulasi, meningkat secana bertahap,
dan mencapai intensitas maksimum kira-kira lima han sebelum menstruasi
dimulai.
 Faktor psikologis, sosial, dan biologis telah terlibat di dalam patogenesis
gangguan.
 Perubahan kadar estrogen, progesteron, androgen, dan proiaktin telah
dihipotesiskan berperan penting dalam penyebab.
 Peningkatan prostaglandin tenlibat dalam rasa nyerii yang benhubungan
dengan gangguan.
 Gangguan disfonik paramenstruasi juga terjadi pada wanita setelah
menopause dan setelah histerektomi.
ii. Penderltaan Menopause (Menopause Distress)
 Peristiwa fisiologis alami, terjadi setelah tidak ada peniode menstnuasi
selama satu tahun. Juga teijadi segera setelah pengangkatan ovarium.
 Gejala psikologis tenmasuk kelelahan, kecemasan, ketegangan, labilitas
emosional, initabilitas (mudah marah), depresi, dan insomnia.
 Tanda dan gejala fisik adalah keringat malam, muka merah, rasa panas (hot
flushes)
 Faktor psikologis dan psikososial
 Wanita yang sebelumnya mengalami kesulitan psikologis, seperti harga diri
yang rendah dan kepuasan hidup rendah, kemungkinan rentan terhadap
kesulitan selama menopause.
 Respon seorang wanita terhadap menopause telah ditemukan sejalan dengan
responnya  dengan peristiwa kehidupan panting di dalam hidupnya, seperti
pubertas dan kehamilan.
 Wanita yang tenikat pada banyak melahirkan anak dan aktivitas mengasuh
114
anak paling rentan untuk mendenita selama tahun-tahun menopause.
 Permasalahan tentang ketuaan, kehilangan kemampuan metahinkan anak, dan
perubahan penampilan dipusatkan pada kepentingan sosial dan simbolik yang
melekat pada perubahan fisik menopause.
 Penelitian epidemiologis tidak menunjukkan peningkatan gejala gangguan
mental atau depresi selama tahun-tahun menopause, dan penelitian tentang
keluhan psikologis tidak menemukan adanya frekuensi yang lebih besar pada
wanita menopause.
 Terapi: gangguan psikologis harus dipeniksa dan diobati tenutama oleh
tindakan psikotenapetik dan sosioterapettik yang sesuai. Psikoterapi harus
tenmasuk penggalian stadium kehidupan dan anti ketuaan dan reproduksi
bagi pasien. Pasien harus didorong untuk menenima menopause sebagai
penistiwa kehidupan alami dan untuk mengembangkan aktivitas, ininat, dan
kepuasaan baru. Psikoterapi juga harus memperhatikan dinamika keluarga.
Sistem pendukung keluarga dan sosial Iainnya jika diperlukan.
iii. Amenore Idiopatik
 Hilangnya siklus menstruasi normal pada wanita yang tidak hamil dan
pramenopause tanpa adanya kelainan stuktural otak, hipofisis, atau ovarium.
 Amenore dapat teijadi sebagai salah satu cmi sindroma psikiatrik klinis yang
kompleks, seperti anoneksia nervosa dan pseudokiesis.
 Fungsi menstruasi yang terganggu (menstruasi yang lebih cepat atau lambat)
adalah respons seorang wanita sehat terhadap stres. Stres ringan seperti
meninggalkan numah untuk masuk ke perguruan tinggi atau stres berat dapat
berpenganuh.
 Sebagian besar wanita, siklus menstruasi kembali normal tanpa adanya
intervensi medis, walaupun kondisi stres terus berjalan.
 Psikoterapi dilakukan untuk alasan psikologis, bukan hanya sebagai nespon
terhadap gejala amenone. Jika amenore sukar diobati, psikoterapi dapat
membantu memulihkan menstruasi yang teratur.

V.  GANGGUAN KULIT

a. Pruritus menyeluruh
o lstilah “pruritus psikogenik menyeluruh” (generalized psychogenic pruritis)

115
menyatakan bahwa tidak ada penyebab organik.
o Konflikemosional tampaknya menyebabkan terjadinya gangguan.
o Emosi yang paling sering menyebabkan pruritus psikogenik menyeluruh adalah
kemarahan dan kecemasan yang terepresi. Kebutuhan akan perhatian merupakan
karakteristik umum pada pasien.
o Menggaruk kulit memberikan kepuasaan pengganti utnuk kebutuhan yang
mengalami frustrasi, dan menggaruk mencerminkan agresi yang dibalikkan kepada
diri sendiri
b. Pruritus setempat
o Pruritus ani. Penelitian menunjukkan riwayat iritasi lokal atau faktor sisemik umum.
Keadaan ini merupakan keluhan yang mengganggu pekerjaan dan aktivitas sosial.
Penelitian terhadap sejumlah besar pasien mengungkapkan bahwa penyimpangan
kepribadian seringkali mendahului kondisi dan gangguan emosional seringkali
mencetuskan gejala ini.
o Pruritus vulva. Pada beberap pasien, kesenangan yang didapat dani menggosok dan
menggaruk adalah disadani. Mereka menyadari bahwa ml adalah simbolik dan
masturbasi. Tetapi elemen kesenangan dinepresi. Sebagian besar pasien yang diteliti
memberikan riwayat panjang frustrasi seksual, seringkali diperkuat pada saat onset
pruritus.
c. Hiperhidrosis
o Keadaan takut, marah, dan tegang dapat menyebabkan meningkatnya sekresi
keringat.
o Benkeringat pada manusia memiliki dua bentuk berbeda: termal dan emosional.
o Berkeringat emosional terutama pada telapak tangan, telapak kaki, dan aksiia.
Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher, batang tubuh, punggung tangan, dan
lengan bawah.
o Kepekaan nespon berkeringat emosional merupakan dasan untuk pengukunan
keringat melalui respon kulit galvanik (alat penting dalam penelitian psikosomatik), 
biofeedback, dan poligrafi (tes detektor kebohongan.
o Di bawah keadaan stres emosional, hipenhidnosis menyebabkan perubahan
kulitsekunder, warn kulit, lepuh, dan infeksi.
o Hiperhidrosis dapat dipandang sebagal fenomena kecemasan yang diperantarai oleh

116
sistern sanafotonom.

VI. GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

a. Artrltls Rematoid
o Ditandai oleh nyeri muskuloskeletal kronis yang disebabkan oleh penyakit
peradangan pada sendi.
o Memiliki faktor penyebab herediter, alergik, mmunologi, dan psikologi yang penting.
o Stres psikologis mempredisposisikan pasien pada artritis rematoid dan
penyakitautoimun lain melalui supresi kekebalan.
o Pasien merasa tenkekang, terikat, dan terbatas. Mereka seringkali memiliki rasa
marah yang terepresi karena terbatasnya fungsi otot-otot mereka, sehingga
memperberatkekakuan dan imobilitas mereka.
o Terapi: psikoterapi suportif selama serangan kronis. Istirahat dan latihan harus
terstnuktur, dan pasien harus didorong untuk tidak menjadi tenikat pada tempat tidur
dan kembali ke aktivitas mereka sebelumnya.
b. Low BackPain
o Nyeri punggung bawah seringkali dilaponkan pasien bahwa nyerinya dimulai pada
saat trauma psikologis atau stres.
o Reaksi pasien terhadap nyeri tidak sebandmng secara emosional, dengan kecemasan
dan depresi yang berlebihan.
o Terapi berupa psikotenapi suportif tentang trauma emosional pencetus, terapi
relaksasi, dan biofeedback. Pasien harus didorong kembali ke aktivitas mereka
segera mungkin.

VII .PSIKO-ONKOLOGI

Karena kemajuan pengobatan telah mengubah bahwa kanker dari tidak dapat disembuhkan
menjadi penyakit yang seringkali kronis dan sering dapat diobati, aspek psikiatrik dan kanker
(reaksi terhadap diagnosis dan terapi) semakin penting.
 

Masalah Paslen

Jika pasien mengetahui bahwa mereka menderita kanken, reaksi psikologis mereka adalah
rasa takut akan kematian, cacat, ketidakmampuan, rasa takut ditelantarkan dan kehilangan
kemandirian, rasa takut diputuskan dan hubungan, fungsi peran, dan finansial; dan

117
penyangkalan, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Kira-kira separuh pasien kanken
menderita gangguan mental. Di antaranya gangguan penyesuaian (68%). Dengan gangguan
depresif berat (13%) dan delirium (8%) merupakan diagnosis selanjutnya yang tersering.
Walaupun pikiran dan keinginan bunuh diri sering ditemukan pada pasien kanker, insidensi
bunuh din sebenarnya hanya 1.4 sampai 1.9 kali dari yang ditemukan pada populasi umum
 

Faktor Kerentanan Bunuh Diri pada Paslen Kanker

 Depresi dan putus asa


 Nyeri yang tidakterkendali baik
 Delirium ringan (disinhibisi)
 Perasaan hilang kendali
 Kelelahan
 Kecemasan
 Psikopatologi yang telah ada sebelumnya (penyalahgunaan zat, patologi karakter, gangguan
psikiatrik utama)
 Masalah keluarga
 Ancaman dan riwayat usaha bunuh din sebelumnya
 Riwayat positif bunuh diri pada keluarga
 Faktor risiko lain yang biasanya digambarkan pada pasien psikiatrik

CONSULTATION - LIAISON PSYCHIATRY (PSIKIATRI KONSULTASI-


PENGHUBUNG)

Dalam psikiatri konsultasi-penghubung (consultation-liaison I C-L psychiatiy), yaitu suatu bidang


keahlian yang berkembang dengan cepat dan semakin diperhatikan. Dokter psikiatrik berperan
sebagai konsultan bagi sejawat kedokteran atau profesional kesehatan mental lainnya. Pada
umumnya, psikiatnl C-L adalah berhubungan dengan semua diagnosis, terapetik, riset, dan
pelayanan pendidikan yang dilakukan dokter psikiatrik di rumah sakit umum dan berperan
sebagaijembatan antara psikiatrik dan spesialisasi lainnnya. Dokter psikiatrik C-L harus mengerti
banyak penyakit medis yang dapattampak dengan gejala psikiatrik. Alat yang dimiliki oleh dokter
psikiatrik C-L adalah wawancara dan observasi klinis serial. Tujuan diagnosis adalah untuk
mengidentifikasi gangguan mental dan respon psikologis tenhadap penyakit fisik, mengidentifikasi
diri kepribadian pasien, dan mengidentifikasi teknik mengatasi masalah yang karakteristik dari
118
pasien..
Rentang masalah yang dihadapi dokter psikiatrik C-L adaiah luas. Penelitian menunjukkan bahwa
sampal 65 % pasien nawat map medis memiliki gangguan psikiatrik. Gejala paling sering adalah
kecemasan, depresi, dan diorientasi.   

Masalah konsultasl-penghubuñg yang serlng:

 Usaha atau ancaman bunuh din


 Depresi
 Agitasi
 Halusinasi
 Gangguantidur
 Gejala tanpa dasar onganmk
 Disonientasi
 Ketidakpatuhan atau menolak menyetujui suatu prosedur

TERAPI GANGGUAN PSIKOSOMATIS

Konsep penggabungan psikoterapetik dan pengobatan medis, yaitu pendekatan yang menekankan
hubungan pikiran dan tubuh dalam penbentukan gejala dan gangguan, memerlukan tanggung jawab
bersama di antara berbagai profesi. Permusuhan, depresi, dan kecemasan dalam berbagai proporsi
adalah akar dan sebagian besar gangguan psikomatik. Kedokteran psikosomatik terutama
mempermasalahkan penyakit-penyakit tersebut yang menampakkan manifestasi somatik. Terapi
kombinasi merupakan pendekatan di mana dokter psikiatrik menangani aspek psikiatrik, sedangkan
dokter ahli penyakit dalam atau dokter spesialis lain menangani aspek somatik. Tujuan terapi medis
adalah membangun keadaan fisik pasien sehingga pasien dapat berperan dengan berhasil, serta
psikoterapi untuk kesembuhan totalnya. Tujuan akhirnya adalah kesembuhan, yang berarti resolusi
gangguan struktural dan reorganisasi kepribadian. Psikoterapi kelompok dan terapi keluarga. Terapi
keluarga menawarkan harapan suatu perubahan dalam hubungan keluarga dan anak, mengingat
kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam perkembangan gangguan psikosomatik.
keluarga dan anak, mengingat kepentingan psikopatologis dari hubungan ibu-anak dalam
perkembangan gangguan psikosomatik.
  

KESIMPULAN

119
 Gangguan psikosomatis merupakan gangguan yang melibatkan antara pikiran dan tubuh. Hal
ini berarti bahwa adanya faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis.
 Komponen emosional memainkan penanan penting pada gangguan psikosomatis.
 Manifestasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepnibadian seseorang.
 Gangguan psikosomatis dapat rnelibatkan berbagai sistem organ di dalam tubuh sehingga
memerlukan penanganan secara terintegrasi dari ahli medis dan ahli psikiatri.
 Pengobatan gangguan psikosomatik dani sudut pandang psikiatrik adalah tugas yang sulit.
 Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan fungsi dan untuk
membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.
 Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan lebih sehat.
 Terapi kombinasi sangat bermanfaat untuk mencapai resolusi gangguan struktural dan
reorganisasi gangguan kepribadian.

MINGGU/SESI PERKULIAHAN KE 14

Kompetensi Khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan konsep penyimpangan kepribadian
Pokok Bahasan:
Pengertian gangguan/penyimpangan kepribadian, klasifikasi, tanda dan gejalanya.
Deskripsi Singkat:
Pada bab ini akan membahas tentang pengertian gangguan/penyimpangan kepribadian,
klasifikasi, tanda dan gejalanya sehingga mahasiswa dapat merawat klien dengan
penyimpangan kepribadian.
Bahan Bacaan Utama:
1. Kaplan, H.l dan Saddock B.J. 1993. Comprehensive Textbook of Psychiatry vol.2 6th
edition. USA: Williams and Wilikins Baltimore
2. Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi
3. Philadelphia: F. A. Davis Company
3. Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book

120
4. Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University
Press
5. Departemen Kesehatan,1993 ,Pedoman Penggolongan DiagnosisGangguan Jiwa III,
Jakarta
6. Fortinash,K.M and Holoday-Worret,P.A, 2005, Psychyatric Nursing Care Plans,Mosby
Year Book,St.Louis
Bahan Bacaan Tambahan:
Jurnal-jurnal atau hasil-hasil penelitian terkait dengan materi di atas yang bisa diperoleh
lewat terbitan berkala maupun secara online.
Pertanyaan Kunci/Tugas:
1. Jelaskan pengertian penyimpangan kepribadian
2. Berikan contohnya
3. Bagaimana pengelolaan kasus penyimpangan kepribadian?

PENYIMPANGAN/KELAINAN KEPRIBADIAN

Kepribadian merupakan karakter yang sifatnya menetap dalam diri individu yang
menghindari (withdrawal) kontak dari hubungan sosial. Individu dengan gangguan
kepribadian skizoid (SPD) digambarkan sebagai individu yang tidak memiliki emosi
dalam merespon pelbagai situasi. Kondisi ini seperti ketidakmampuan dalam
menikmati pelbagai pengalaman-pengalaman hidup dalam pelbagai situasi yang
terjadi. Individu dengan SPD dalam hubungan sosial cenderung tidak menunjukkan
ekspresi emosi, ia tidak tertarik pada hal-hal tertentu yang terjadi di sekelilingnya.
Bermuram dan menjauhkan diri dari yang lain sehingga ia kadang terlihat seperti
menyendiri dalam keterasingan. Meskipun demikian individu dengan gangguan
kepribadian SPD yang lebih menyukai menyendiri, akan tetapi tetap menyukai
kehidupan sosial, artinya individu tersebut tidak mengurung dirinya dengan
menghindari orang lain semata, ia masih tetap keluar ruangan dan tidak bersembunyi
―beda halnya dengan gangguan kepribadian menghindar (Avoidant Personality
Disorder; APD) [Dobbert, D. (2007) Understanding Personality Disorders: An
Introduction. Greenwood Press]. Beberapa perilaku pada individu dengan gangguan
SPD adalah minimnya ekspresi emosi, kebanyakan orang normal akan menganggap
121
bahwa ia tidak tertarik dengan sesuatu hal yang sedang terjadi, kurangnya perhatian
dan tidak sensitif. Individu tersebut juga kesulitan untuk menunjukkan ekspresi
amarah atau permusuhan dengan orang lain.

Gangguan kepribadian ini (skizoid) tidaklah sama dengan gangguan skizofrenia


(schizophrenia) walaupun ada kemiripan pada nama, skizofrenia dikategorikan
sebagai gangguan psikotik. Namun demikian SPD sering disebut sebagai gangguan
mental "spektrum dari skizofrenia", beberapa simtom yang ada pada SPD seperti
menghindari kontak pribadi dengan orang lain, minimnya ekspresi emosi merupakan
simtom yang terdapat pada skizofrenia pula. Bedanya, pada SPD tidak terjadinya
penyimpangan persepsi, paranoia dan ilusi dibandingan dengan kepribadian
schizotypal maupun pada gangguan psikotik episode dari skizofrenia. Untuk bekerja,
individu dengan gangguan SPD dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik,
kesulitan akan dialami bila individu terlibat dalam hubungan interpersonal dengan
rekan kerja atau orang lain. Individu dengan gangguan SPD juga dapat menikah,
namun kesulitan akan ditemui dalam penciptaan hubungan lekat (intimacy) dengan
pasangannya disamping itu, individu dengan tipe ini menunjukkan ketidaktertarikan
pada hubungan seksual.
Gejala dan tanda
Individu dengan gangguan SPD sangat jarang menikah, mereka kadang tergantung
pada orangtuanya dan menghindari kontak personal dengan orang lain. Gangguan
kepribadian SPD didiagnosa berdasarkan beberapa kriteria berikut;
1. Pola perilaku menetap yang tidak berpengaruh dari bentuk hubungan sosial dan
keterbatasan pengungkapan ekspresi emosi dalam pelbagai hubungan antar pribadi
pada awal masa dewasa;
a. Tidak pernah tertarik atau menikmati dalam berhubungan dengan orang lain
termasuk untuk menjadi bagian dalam keluarga
b. Hampir selalu memilih aktivitas untuk menyendiri
c. Sangat sedikit diantaranya yang tertarik pada aktivitas seksual
d. Sangat jarang untuk memilih waktu untuk bersenang-senang
e. Sedikit mempunyai teman akrab
f. Tidak terpengaruh pada pujian dan kritik dari orang lain
g. Perilaku "dingin", emosi datar
122
2. Gangguan kepribadian skizoid tidak muncul yang disebabkan oleh skizofrenia,
gangguan mood dengan gejala psikotik dikemudian hari, gangguan psikotik lainnya
atau disebbkan oleh gangguan perkembangan termasuk fungsi fisiologis dari dampak
langsung pengobatan medis.

Penatalaksanan
Pengobatan untuk individu dengan gangguan kepribadian skizoid (SPD) tidak begitu
diperlukan, kecuali bila dokter beranggapan perlunya obat-obatan bila pasien disertai
dengan gangguan kecemasan.
Psikoterapi
Individu dengan gangguan kepribadian skizoid sangat sulit untuk mendapatkan
treatment, hal ini disebabkan bahwa individu dengan gangguan SPD beranggapan
bahwa dirinya dalam keadaan baik-baik saja, bahkan individu tersebut tidak peduli
sama sekali dengan terapi. Ini menjadi alasan treatment dianggap tidak diperlukan
bagi individu dengan gangguan kepribadian skizoid. kecuali dalam beberapa kasus
dimana individu senagaja datang pada terapis yang diakibatkan adanya gangguan
lainnya seperti ketergantungan pada kebiasaan-kebiasaan buruk yang disadari oleh
indivdu bersangkutan.
Test Psikologi
Beberapa test psikologi yang dapat mendiagnosa adanya gangguan kepribadian
skizoid;
― Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI-2)
― Millon Clinical Multiaxial Inventory (MCMI-II)
― Rorschach Psychodiagnostic Test
― Thematic Apperception Test (TAT)

Psikoterapi yang sering digunakan untuk gangguan kepribadian skizoid adalah


cognitive-behavioral therapy (CBT), terapi keluarga dan terapi psikodinamika. Bila
individu mempunyai pasangan hidup, terapi pasangan (couples therapy) dapat
digunakan untuk membentuk komunikasi antar pasangan

Terapi Individu.
123
Berhasilnya terapi pada individu dengan gangguan SPD membutuhkan waktu yang
relatif lama, dibutuhkan kesabaran untuk mengubah persepsi yang salah terhadap cara
memandang persahabatan untuk menciptakan hubungan interpersonal yang baik. Pada
awal terapi, terapis akan menyuruh pasien/klien untuk mengungkapkan apa yang
dibayangkan oleh individu menyangkut sebuah hubungan persahabatan dan
ketakutan-ketakutan yang dirasakan oleh individu dalam menjalin hubungan dengan
orang lain. Selanjutnya terapis akan menyusun langkah-langkah kedepan secara
bersama dengan klien untuk penyembuhannya.

Terapi Kelompok.
Terapi kelompok merupakan salah satu treatment yang paling cepat dan efektif,
meskipun demikian terapi kelompok tetap menemui kesulitan ketika individu SPD
ikut dalam partisipasi kelompok tersebut. Oleh karenanya individu diberikan
kenyamanan dalam grupnya, terapis juga harus menjaga dari kritikan anggota lainnya.
Terciptanya keakraban antar sesama anggota merupakan salah satu harapan dari terapi
ini dengan menciptakan hubungan-hubungan sosial yang saling mendukung. Terapi
kelompok akan memberi pengalaman-pengalaman sosial yang bermanfaat, saling
mengerti sesama anggota, berkomunikasi sampai pada memahami orang lain. 

124

Anda mungkin juga menyukai