Anda di halaman 1dari 5

LTM

TEORI DAN MODEL KONSEPTUAL STIGMA


DALAM KEPERAWATAN JIWA

Oleh:
Febriyanti
196070300111006

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
RINGKASAN TEORI DAN MODEL KEPERAWATAN JIWA
STIGMA

Model konseptual adalah suatu cara yang menyatukan kumpulan


pengetahuan dan suatu ide secara kompleks dimana terdapat kesan yang abstrak yang
dapat diorganisir menjadi symbol-simbol yang real. Beberapa model konseptual
dikembangkan dalam ilmu keperawatan jiwa. Model dan teori yang terkait salah
satunya adalah teori stigma (Riyadi & Purwanto. 2013). Teori stigma dikemukakan
oleh Erving Goffman, dimana stigma adalah perilaku menyimpang yang negatif
kepada seseorang/kelompok sehingga mengubah presepsi gangguan emosi dan
perilaku terhadap anak-anak maupun dewasa, (Manuscript. 2010).

Menurut Goffman (1963) dalam Santoso 2016. Goffman membedakan


stigma menjadi tiga jenis yaitu Abominations of the body dimana stigma yang
berhubngan dengan cacat fisik seperti tuli, lmpuh dan buta. Blemishes of individual
character. Dimana stigma yang berhubngan dengan kerusakan dari nilai individu itu
sendiri seperti homeseksalitas, pemabuk dan pemerkosa dan Tribal Stigma dimana
stigma yang berkaitan dengan suku, agama dan bangsa. Stigma sering kali
dihubungkan dengan nilai-nilai yang menyimpang dan kurangnya pengetahuan yang
dapat mengubah pola pikir seseorang. Pada umumnya kurang pengetahuan terkait
kondisi mental dapat membuat seseorang lebih cenderung memiliki perilaku yang
menyimpang atau perasaan ketakutan secara berlebihan. Maka perlunya pendidikan
tentang cara mengatasi stigma dan mengurangi sikap stigmatisasi (Townsend. 2014)

Stigmatisasi terkait penyakit jiwa masih menjadi salah satu masalah yang
sangat penting. Tingginya angka dari kurangnya pengetahuan dan ketakutan terhadap
orang dengan penyakit jiwa masih sangat mempengaruhi cara populasi umum
merasakan gangguan mental, yang secara negatif mempengaruhi penilaian mereka
dan meningkatkan stigmatisasi. Mayoritas pasien tidak hanya harus mengatasi efek
penyakit mereka yang sering menghancurkan, namun juga cenderung menderita
pengecualian dan prasangka sosial (Rossler. 2016). Simbolisme stigmatisasi ini
dipandang sebagai kejahatan dan orang tersebut dianggap menyimpang dan
berpotensi mengancam masyarakat. Stigma menghilangkan orang dari kepribadian
mereka dan otonomi diri mereka. Individu stigmatisasi sosial akibatnya diasingkan
dari konteks sosial dan ilmiah (Bates & Stickley. 2013).

Teori ini menunjukkan bahwa stigma yang terkait dengan gangguan mental
cenderung dapat merusak perilaku seseorang . Hal Ini menunjukkan bahwa
pendidikan yang kurang tentang stigmatisasi dapat menyebabkan kerusakan atau
melemahkan ikatan emosional antara pasien yang mengalami sakit mental dengan
orang terdekatnya sebagai individu yang berbeda (Chan. 2016). Maka dari itu
diperlukan promosi kesehatan mental yang berkaitan dengan kemampuan untuk dapat
mengacu pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan konteks kerja
yang menantang ini dan dapat mencakup kemampuan untuk mengalami dan
mengekspresikan perasaan marah, kesedihan dan ketakutan (Rensburg, Poggenpoel &
Myburgh. 2015).

Mayoritas kepercayaan banyak orang adalah seseorang yang mengalami


gangguan jiwa akan sangat sulit disembuhkan dan orang yang menderita gangguan
jiwa akan sangat sulit berinteraksi di dunia luar terlebih lagi di lingkungan
masyarakat. Hal tersebut lah yang membuat seorang individu tidak ingin mengetahui
tentang permasalahan kesehatan jiwa, baik itu pada orang lain maupun dirinya
sendiri. Di Indonesia yang hampir semua individunya berfikiran bahwa seseorang
yang mengalami gangguan jiwa sering kali di anggap terkena guna-guna mapun
terkena pengaruh setan atau roh halus. Sementara beberapa orang mengatakan proses
stigma sendiri adalah suatu penyakit yang sering disebut skizofernia (Risn, et al.
2017).

Sebagian keluarga yang masih memiliki kepercayaan nenek moyang mereka


menganggap skizofernia dapat disembuhkan dengan cara dibawa ke dukun. Mereka
berasumsi bahwa seorang individu yang mengalami skizofernia adalah aib bagi
keluarga sehingga harus disembunyikan. Perlakuan yang terjadi pada penderita
gangguan jiwa dengan stigma adalah mereka mengalami penyakit yang berhubungan
dengan supranatural yang hanya bisa di obati oleh dukun. Hal inilah yang membuat
seseorang yang mengalami gangguan jiwa lebih sulit untuk sembuh atau bisa jadi
akan lebih parah.

Stigma yang diciptakan oleh masyarakat pada penderita gangguan jiwa secara
tidak langsung membuat keluarga dari penderita skizofernia enggan untuk
memberikan penanganan yang tepat sehingga tidak jarang penderita yang mengalami
gangguan jiwa ini melakukan hal-hal menyimpang atau diluar batas kewajaran sperti
melukai orang lain atau melakukan tindakan kekerasan lainnya.

Factor lain yang dapat membuat skizofernia lebih sulit untuk disembuhkan
adalah kurangnya dukungan dari keluarga serta hilangnya keharmonisan dalam
keluarga. Bukan hanya itu, lingkungan dan masyarakat juga dapat menjadi faktor
kekambuhan dari penderita skizofernia. Hal ini sama dengan teori Maslow jika
seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan dimiliki dan
dicintai, maka individu tersebut tidak dapat naik ke tingkat selanjutnya yakni
kebutuhan akan harga diri yang didalamnya ada kepercayaan diri (Ariananda, 2015).

Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah.


Namun kita perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di
masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut
memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat
dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut.
Tidak semua keluarga dari penderita skizofrenia memberikan perlakuan yang kurang
baik pada penderita skziofrenia. Terdapat beberapa keluarga yang memilih untuk
memperhatikan keadaan penderita skizofrenia dengan mengusahakan pengobatan dan
membawanya ke rumah sakit jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Ariananda, R. E. .2015. “Stigma Masyarakat Terhadap Penderita


Skizofrenia”. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang
Bates, L. & Stickley, T. 2013. Menghadapi Goffman “Bagaimana perawat
kesehatan mental dapat secara efektif menantang stigma”. Jurnal Keperawatan
Kesehatan Jiwa dan Mental. No.7(20). 75-565. Doi: 10.1111/j.1365-
2850.2012.01957.
Chan, V. 2016. “Stigma of mental illness on college campuses teaching
implications for child and adolescent psychiatry trainees”. The Scientific Proceedings
of the 63rd Annual Meeting of the American Academy of Child & Adolescent
Psychiatry in New York.
Rensburg, J.V., Poggenpoel, M. & Myburgh, C. 2015. “A conceptual
framework to facilitate the mental health of student nurses working with persons with
intellectual disabilities”. No.8(1). 11-15.
Manuscript. 2010. “The stigma of childhood mental disorders a conseptual
framework”. NIH Public Access. 2(49). 92-93
Risna, Mudatsir, Kamil. H, Jannah. S.R & Tahlil. T. 2017. Stigma keluarga
terhadap penderita skizofernia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan
sunrise model. Universitas Syiah Kuala, Darussalam. Banda Aceh.
Riyadi, S. & Purwanto, T. 2013. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rossler, W. 2016. “The stigma of mental disorders”. EMBO Reports.
No.9(17). 3-12. Doi: 10.15252/embr.201643041.
Santoso, D.D. 2016. “Stigmatisasi orang tua tunggal di masyarakat”.
Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Townsend, M. 2014. “Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care in
Evidence-Based Practice”. 8th ed., F.A. Davis Company, Philadelphia, PA.

Anda mungkin juga menyukai