Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)


MEMBUAT KREASI KAIN FLANEL PADA
PASIEN HARGA DIRI RENDAH, ISOLASI SOSIAL DAN HALUSINASI

Oleh :
Nadifatus Susana
140070300011197
Kelompok 5 Reguler

PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
MEMBUAT KREASI KAIN FLANEL (DALAM BENTUK BUKU EDUKASI BALITA)
PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH, ISOLASI SOSIAL DAN HALUSINASI

Diajukan untuk Memenuhi Kompetensi Praktik Kepaniteraan Ners Departemen Jiwa

Oleh :
Nadifatus Susana
140070300011197

Telah diperiksa kelengkapannya pada :


Hari

Tanggal :

Perseptor Akademik,

(Ns. Retno Lestari S.Kep, MN)


NIP. 198009142005022001

Perseptor Klinik,

(Ns. Soebagijono, S.Kep. M.M.Kes)


NIP. 19681009 1999003 1003

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi dan
sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan
koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosi. Upaya kesehatan
jiwa dapat dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat yang didukung sarana pelayanan
kesehatan jiwa dan sarana lain seperti keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan
tersebut selain menunjang upaya kesehatan jiwa juga merupakan stressor yang dapat
mempengaruhi kondisi jiwa seseorang, pada tingkat tertentu dapat menyebabkan
seseorang jatuh dalam kondisi gangguan jiwa (Videbeck, 2008).
Meningkatnya pasien dengan gangguan jiwa ini disebabkan banyak hal.
Kondisi lingkungan sosial yang semakin keras diperkirakan menjadi salah satu
penyebab meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan.
Apalagi untuk individu yang rentan terhadap kondisi lingkungan dengan tingkat
kemiskinan terlalu menekan.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2010, prevalensi
gangguan jiwa di Indonesia 264 orang per 1000 penduduk terbagi atas psikosis
(3/1000), demensia (4/1000), mental (5/1000), emosional usia 15 tahun ke atas
(140/1000) dan emosional usia 5-14 tahun (114/1000) (Survei Kesehatan Rumah
Tangga 2010 dalam Nasir 2011). Sementara, prevalensi gangguan jiwa di Kecamatan
Bantur yang berhasil tercatat di lima desa, yaitu Desa Bantur, Wonorejo, Srigonco,
Bandungrejo dan Sumberbening adalah sebesar 214 orang. Di Desa Srigonco sendiri
tercatat penderita gangguan jiwa sebesar 28 orang (Tim CMHN Puskesmas Bantur,
2014).
Keadaan gangguan jiwa di masyarakat diperparah dengan stigma yang
dialami oleh si penderitanya. Berbagai istilah banyak ditemukan di masyarakat dan
digunakan dalam pemberitaan media massa, misalnya orang gila, sakit gila, sakit
jiwa, semua ini bukan istilah psikiatri dan sebaiknya dibiasakan untuk tidak
menggunakannya. Stigmatisasi gangguan jiwa sebenarnya merugikan masyarakat
sendiri, karena mereka menjadi cenderung menghindar dari segala sesuatu yang
berurusan dengan gangguan jiwa. Seakan-akan mereka yang terganggu jiwanya
tergolong kelompok manusia lain yang lebih rendah martabatnya, yang dapat
dijadikan bahan olok-olokan. Hal tersebut akan menghambat seseorang untuk mau
menerima atau mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan mental. Akibatnya
pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini menjadi terlambat.

Berdasarkan

hal

tersebut,

maka

penulis

tertarik

untuk

memberikan

penatalaksanaan keperawatan pada klien yang mengalami gangguan jiwa dengan


cara memberi terapi modalitas yang salah satunya adalah Terapi Aktifitas Kelompok
(TAK). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang
dilakukan perawat pada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan
yang sama. Aktifitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai
target asuhan (Fortinash & Worret, 2004).
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam
rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Fokus
terapi

adalah

membuat

sadar

diri

(self-awareness),

peningkatan

hubungan

interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya. Kelompok adalah suatu system


social yang khas yang dapat didefinisikan dan dipelajari. Sebuah kelompok terdiri dari
individu yang saling berinteraksi, interelasi, interdependensi dan saling membagikan
norma social yang sama (Stuart & Sundeen, 2008).
1.2. Tujuan
Tujuan umum TAK stimulasi persepsi yaitu peserta dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi verbal dalam kelompok secara bertahap. Sementara, tujuan
khususnya adalah:
1) Peserta mampu berespon terhadap suara yang didengar
2) Peserta mampu berespon terhadap gambar yang dilihat
3) Peserta mampu mengisi waktu luang dengan membuat kreasi flanel
1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Bagi Klien
Sebagai cara meningkatkan kemampuan klien untuk berkomunikasi secara verbal
dengan orang lain dalam kelompok secara bertahap.
1.3.2. Manfaat Bagi Terapis
a. Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa secara holistik
b. Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk mengoptimalkan Strategi
Pelaksanaan dalam implementasi rencana tindakan keperawatan klien

1.3.3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan


Sebagai informasi untuk pihak akademisi,

pengelola dan sebagai bahan

kepustakaan, khususnya bagi mahasiswa PSIK sebagai aplikasi dari pelayanan


Mental Health Nurse yang optimal pada klien dengan harga diri rendah, isolasi
sosial dan halusinasi.
1.3.4. Manfaat Bagi Puskesmas Wonokerto
Sebagai masukkan dalam implementasi asuhan keperawatan yang holistik pada
pasien dengan harga diri rendah, isolasi sosial dan halusinasi pada khususnya,
sehingga diharapkan keberhasilan terapi lebih optimal.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HARGA DIRI RENDAH
1. Definisi Harga Diri (Self Esteem)
Pendapat pribadi seseorang tentang nilai dan perilaku yang telah dicapai
apakah sesuai dengan ideal diri (ideal diri adalah persepsi individu tentang
perilaku yang harus dilakukan sesuai standar, aspirasi, tujuan atau nilai yang
telah ditetapkan)

Self
Concep
t

Low Self-Esteem

Self
Ideal

Self
Conce
pt

Self
Ideal

High Self-Esteem

2. Definisi Harga Diri Rendah


Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga
dan tidak dapat bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri.
3. Etiologi
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang
mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan
ideal diri yag tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin
ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti :
1. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksika
kejadian yang megancam.
2. Ketegangan peran beruhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dimana individu mengalami frustrasi. Ada tiga jeis transisi
peran :
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang
berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap
perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan normanorma budaya, nilai-nilai tekanan untuk peyesuaian diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan
sehat ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh
kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan
fungsi tubuh, perubahan fisik, prosedur medis dan keperawatan.

4.

Klasifikasi
Gangguan harga diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara:
1. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misal harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubugan kerja dll.
Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena
privacy

yang

kurang

diperhatikan

pemeriksaan

fisik

yang

sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopani (pemasangan


kateter, pemeriksaan pemeriksaan perianal dll.), harapan akan struktur,
bentuk

dan

fungsi

tubuh

yang

tidak

tercapai

karena

di

rawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai.


2. Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama
5. Continum of Self-Concept Responses

Adaptive
Responses

Maladaptive
Responses

6. Faktor Predisposisi
- Faktor Yang mempengaruhi penampilan peran: streotipe Depersonaliz
sex, peran
Self
Positiv
Low
Identity
ation
kerja, harapan peran
Actualiza
e dalam budaya
SelfDiffusio
-tion
Faktor yang mempengaruhi
identitas
diri:
ketidakpercayaan
orang
tua,
SelfEsteem
n
Concep
tekanan teman
sebaya, perubahan struktur social
7. Faktor Presipitasi t
- Trauma
- Ketegangan peran
- Transisi peran perkembangan
- Transisi peran situasional
- Transisi sehat-sakit
8. Sumber Koping
- Aktivitas luar rumah dan olahraga
- Hobi dan kerajinan tangan
- Aktivitas seni
- Kesehatan dan asuhan mandiri
- Pekerjaan dan pelatihan
- Bakat khusus
- Kepandaian
- Imajinasi dan kreativitas
- Hubungan interpersonal
9. Manifestasi Klinis
Gangguan harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas,

destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah
tersinggung dan menarik diri secara sosial. Kurang memperhatikan
perawatan diri, berpakaian tidak rapih, selera makan kurang, tidak berani
menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat dengan nada
suara lemah.
Pohon masalah
Resiko isolasi sosial: menarik diri

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

Core problem

2.2. ISOLASI SOSIAL


Pengertian

Berduka disfungsional
Isolasi social merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain
(Keliat, 1998).
Isolasi social adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptive dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan social (Depkes RI, 2000).
Faktor Predisposisi
a) Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang individu terdapat tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila
tugas

perkembangan

ini

tidak

terpenuhi

maka

akan

menghambat

fase

perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.


b) Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah
dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan
dimana seseorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu yang bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga
yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
c) Factor social budaya
Isolasi sosial atau menarik diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh
norma-norma yang salah dan dianut keluarga, dimana setiap anggota keluarga
yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakit kronis atau penyandang cacat
akan diasingkan dari lingkungannya.

d) Factor psikologis
Faktor biologis merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan
dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak. Misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial, memiliki struktur yang abnormal pada otak
serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal
Faktor Presipitasi
a) Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor social budaya, yaitu stress yang ditimbulkan oleh factor
social budaya seperti keluarga.
b) Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stress yang terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu
untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah
dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
Rentang Respon
Adaptif

Menyendiri
Otonomi
Bekerjasama
Interdependen

maladaptif

Merasa sendiri
Dependensi
Curiga

Menarik diri
Ketergantungan
Manipulasi
Curiga

Respon adaptif
Adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma social dan kebudayaan
secara umum serta masih dalam batas normal dalam menyelesaikan masalah.

Menyendiri
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah selanjutnya.

Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide, pikiran,
perasaan, dalam hubungaan sosial.

Bekerjasama

Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu


untuk saling memberi dan menerima.

Saling Ketergantungan
Merupakan kondisi saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.

Transisi dari respon adaptif ke maladaptive

Menarik diri
Keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain

Ketergantungan
Terjadi bila seseorang gaagl dalam mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.

Respon maladaptive
Adalah respons yang diberikan individu yang menyimpang dari norma social.

Manipulasi
Gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap
orang lain sebagai objek.individu tersebut terdapat membina hubungan sosial
secara mendalam.

Impulsif
Tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman,
penilaian yang buruk dan individu ini tidak dapat diandalkan.

Narcisisme
Harga

dirinya

rapuh,

secara

terus

menerus

berusaha

mendapatkan

penghargaan dan pujian yang egosentris dan pencemburu.


POHON MASALAH
Resiko Persepsi Sensori
Halusinasi

Tidak Efektifnya
Penatalaksanaan
Regiment
Terapeutik

Isolasi Sosial:
Menarik Diri

Defisit
Perawatan Diri

Tidak Efektifnya koping


Keluarga:
ketidakmampuan keluarga
merawat anggota
keluarga yang sakit

Gangguan
Harga Diri
Rendah

2.3. HALUSINASI
A. Pengertian:
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan di
mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh/baik. Individu yang mengalami
halusinasi seringkali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari
lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan
perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan
rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang diicintai,
tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri. (Budi
Anna Keliat, 1999).
B. Teori yang menjelaskan halusinasi
Teori yang menjelaskan terjadinya halusinaasi adalah sebagai berikut:
Teori Biokimia
Terjadi sebagai respon terhadap stress yang mengakibatkan terlepasnya zat
halusinogenik neurotic (buffofenon dan dimethytransferase)
Teori Psikoanalisis
Merupakan respon ketahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang
mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar
C. Rentang Respon Halusinasi
Adaptif

Respon Logis
Respon Akurat
Perilaku Sesuai
Emosi Sosial

Maladaptive

Distorsi pikiran
Perilaku
aneh/tidak
sesuai
Menarik Diri

Delusi Halusinasi
Perilaku diorganisai
Sulit Berespon
dengan
pengalaman

Gambar 1. Rentang Respon Halusinasi (Stuart & Laraia, 2001)

D. Jenis dan Karakteristik Halusinasi


Berikut akan dijelaskan mengenai ciri-ciri yang objektif dan subjektif pada
klien dengan halusinasi
Jenis halusinasi
Halusinasi Dengar
(klien mendengar suara/
bunyi yang tidak ada
hubungannya
dengan
stimulus yang nyata)
Mendengar suara atau
kebisingan, paling sering
suara kata yang jelas,
berbicara dengan klien
bahkan
sampai
percakapan
lengkap
antara kedua penderita
halusinasi. Pikiran yang
terdengar jelas dimana
klien
mendengar
perkataan bahwa pasien
disuruh untuk melakukan
sesuatu kadang kadang
dapat membahayakan.
Halusinasi Pengelihatan
(klien melihat gambaran
yang jelas/samar terhadap
adanya stimulus yang
nyata daari lingkungan
dan orang lain tidak
melihatnya)
Stimulus
penglihatan
dalam kilatan cahaya,
gambar
geometris,
gambar
karton
atau
panorama yang luas dan
kompleks.
Penglihatan
dapat berupa sesuatu
yang menyenangkan /
sesuatu
yang
menakutkan
seperti
monster.
Halusinasi Penciuman

Data objektif

Data subjektif

Bicara/tertawa sendiri
Mendengar
suara
Marah-marah tanpa sebab
atau kegaduhan
Mendekatkaan
telinga Mendengar
suara
kearah tertentu.
atau
mengajak
Menutup telinga
bercakap-cakap
Mendengar
suara
yang
mengajak
melakukan
yang
berbahaya.

Menunjuk-nunjuk
kearah Melihat
bayangan,
tertentu
sinar,
bentuk
Ketakutan pada sesuatau
geometris,
kartun,
yang tidak jelas
melihat hantu atau
monster

Mengendus-endus

seperti Membaui bau-bauan

(klien mencium suatu bau


yang muncul dari sumber
tertentu
tanpastimulus
yang nyata)
Membau bau-bau seperti
darah,
urine,
feses
umumnya bau- bau yang
tidak
menyenangkan.
Halusinasi
penciuman
biasanya akibat stroke,
tumor, kejang dan
demensia.
Halusinasi Pengecapan
(klien merasakan sesuatu
yang
tidak
nyata,
biasanya merasakan rasa
makanan yang tidak enak)
Halusinasi Kinestetik
(klien merasakan badanya
bergerak disuatu ruangan
atau anggota badanya
bergerak)
Halusinasi Perabaan
(klien merasakan sesuatu
pada kulitnya tanpa ada
stimulus yang nyata)

membaui
bau-bauan
tertentu
Menutup hidung

Sering meludah
Muntah

seperti darah, urine,


feses, dan kadangkadang bau-bauan
tersebut
menyenangkan bagi
klien

Merasakan
rasa
seperti darah, urine
atau feses

Memegang kakinya atau Mengatakan


anggoata badan yang lain
badaantya bergerk
yang dianggapnya bergerak
diudara
sendiri
Menggaruk-garuk
permukaan kulit

Mengatakan
ada
serangga
dipermukaan
kulitnya.
Mengatakan seperti
tersengan listrik
Halusinasi Visceral
Memegang badannya yang Mengatakan
(perasaan tertentu yang
dianggapnya
berubah
perutnya
mengecil
timbul dalam tubuhnya)
bentuk dan tidak normal
setelah
minum
seperti biasanya
softdrink

E. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami klien bila berada intensitasnya dan keparahan (Stuart
& Laraia,2001) membagi halusinasi klien mengendalikan dirinya semakin berat
halusinasinya. Klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia
(2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
a.

Fase I ( Comforting / ansietas sebagai halusinasi menyenangkan )


Karakteristik :
Pada fase ini klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,
rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas.
Perilaku klien :

Di sini dapat dilihat perilaku klien tersenyum, tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik
sendiri.
b.

Fase II ( Condemning / ansietas berat halusinasi memberatkan )


Karakteristik :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan
mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan.
Perilaku klien :
Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan
darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk
membedakan halusinasi dengan realita.

c.

Fase III (Controlling)


Karakteristik :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah
pada halusinasi tersebut.
Perilaku klien :
Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang
sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.

d.

Fase IV ( Conquering / Panik umumnya menjadi lezat dalam halusinasinya )


Karakteristik :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi.
Perilaku klien :
Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon
terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.
Kondisi klien sangat membahayakan.
Pohon Masalah
Resiko Perilaku kekerasan

Resiko tinggi menciderai diri sendiri,


orang lain dan lingkungan

Gangguan persepsi sensori:halusinasi

isolasi

Perubahan proses
pikir : waham

Harga diri rendah

Koping individu tidak efektif

Deficit perawatan diri

2.4. TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


A. Definisi
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan
yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia,
2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi
yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu
sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas
kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah
Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi
yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan
gangguan interpersonal (Yosep, 2008).
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi
psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan
meningkatkan hubungan antar anggota (Depkes RI, 2007). Terapi aktivitas
kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada
sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas
digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Kelliat,
2005)
B. Manfaat
Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat :
a. Umum
1) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing) melalui
komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
2) Membentuk sosialisasi
3) Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang
hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive
(bertahan terhadap stress) dan adaptasi.
4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti
kognitif dan afektif.
b. Khusus
1) Meningkatkan identitasi diri

2)
3)
4)

Menyalurkan emosi secara konstruktif


Meningkatkan keterampilan hubungan social untuk diterapkan sehari-hari
Bersifat rehabilitative: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan
social,

kepercayaan

diri,

kemampuan

empati,

dan

meningkatkan

kemampuan tentang masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.


C. Tahapan Dalam Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan
berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu: Fase
prakelompok; fase awal kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi kelompok
(Stuart & Laraia, 2001 dalam Cyber Nurse, 2009).
a. Fase Pra Kelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan leader, jumlah anggota,
kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut Dr.
Wartono (1976) dalam Yosep (2007), jumlah anggota kelompok yang ideal dengan
cara verbalisasi biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan
maksimum 10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK
adalah : sudah punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif,
waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007).
b. Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan
peran baru. Yalom (2005) dalam Stuart dan Laraia (2001) membagi fase ini
menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara Tukman (2005)
dalam Stuart dan Laraia (2001) juga membaginya dalam tiga fase, yaitu forming,
storming, dan norming.
1) Tahap orientasi
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-masing,
leader menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan anggota.
2) Tahap konflik
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu
memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu
kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang
tidak produktif (Purwaningsih & Karlina, 2009).
3) Tahap kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan
lebih intim satu sama lain (Keliat, 2004).

c. Fase Kerja Kelompok

Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil dan
realistis (Keliat, 2004). Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari
produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan
kemandirian (Yosep, 2007).
d. Fase Terminasi
Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman
kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.
Terminasi dapat bersifat sementara (temporal) atau akhir (Keliat, 2004).
D. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
a. Mengembangkan stimulasi kognitif
Tipe
: Biblioterapy
Aktifitas
: Menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar untuk
b.

c.

merangsang dan mengembangkan hubungan dengan orang lain


Mengembangkan stimulasi sensoris
Tipe : Musik, seni, menari
Aktifitas
: Menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan
Tipe : Relaksasi
Aktifitas
: Belajar teknik relaksasi dengan cara napas dalam, relaksasi otot,
dan imajinasi
Mengembangkan orientasi realitas
Tipe
: Kelompok orientasi realitas, kelompok validasi
Aktifitas
: Fokus pada orientasi waktu, tempat dan orang, benar, salah bantu

memenuhi kebutuhan
d. Mengembangkan sosialisasi
Tipe
: Kelompok remotivasi
Aktifitas
: Mengorientasikan klien yang menarik diri, regresi
Tipe
: Kelompok mengingatkan
Aktifitas
: Fokus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif
E. Macam Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
a. Terapi aktifitas kelompok stimulasi kognitif atau persepsi dilatih mempersepsikan
stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Terapi aktifitas
kelompok stimulus kognitif/persepsi adalah terapi yang bertujuan untuk membantu
klien yang mengalami kemunduran orientasi, menstimuli persepsi dalam upaya
memotivasi proses berfikir dan afektif serta mengurangi perilaku maladaptif.
Tujuan :
1) Meningkatkan kemampuan orientasi realita
2) Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian
3) Meningkatkan kemampuan intelektual
4) Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain
5) Mengemukakan perasaanya
Karakteristik :
1) Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilai- nilai
2) Menarik diri dari realitas
3) Inisiasi atau ide-ide negative

4)

Kondisi fisik sehat, dapat berkomunikasi verbal, kooperatif dan mau mengikuti
kegiatan

b. Terapi aktifitas kelompok stimulasi sensori


Aktifitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensasi klien,
kemudian diobservasi reaksi sensori klien berupa ekspresi emosi atau perasaan
melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, ucapan. Terapi aktifitas kelompok untuk
menstimulasi sensori pada penderita yang mengalami kemunduran fungsi sensoris.
Teknik yang digunakan meliputi fasilitasi penggunaan panca indera dan kemampuan
mengekpresikan stimulus baik dari internal maupun eksternal.
Tujuan :
1) Meningkatkan kemampuan sensori
2) Meningkatkan upaya memusatkan perhatian
3) Meningkatkan kesegaran jasmani
4) Mengekspresikan perasaan
c. Terapi aktifitas kelompok orientasi realitas
Klien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitr klien yaitu diri sendiri,
orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang dekat dengan klien,
lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan klien dan waktu saat ini dan
yang lalu.
Terapi aktifitas kelompok orientasi realitas adalah pendekatan untuk
mengorientasikan klien terhadap situasi nyata (realitas). Umumnya dilaksanakan
pada kelompok yang menghalami gangguan orientasi terhadap orang, waktu dan
tempat. Teknik yang digunakan meliputi inspirasi represif, interaksi bebas maupun
secara didaktik.
Tujuan :
1) Penderita mampu mengidentifikasi stimulus internal (fikiran, perasaan, sensasi
somatik) dan stimulus eksternal (iklim, bunyi, situasi alam sekitar)
2) Penderita dapat membedakan antara lamunan dan kenyataan
3) Pembicaraan penderita sesuai realita
4) Penderita mampu mengenali diri sendiri
5) Penderita mampu mengenal orang lain, waktu dan tempat
Karakteristik :
1) Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR); (halusinasi, ilusi, waham,
dan depresonalisasi ) yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain
2) Penderita dengan GOR terhadap orang, waktu dan tempat yang sudah dapat
berinteraksi dengan orang lain
3) Penderita kooperatif
4) Dapat berkomunikasi verbal dengan baik
5) Kondisi fisik dalam keadaan sehat
d. Terapi aktifitas kelompok sosialisasi
Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar
klien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien

dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan social.


Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi psikoterapis untuk :
1) Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal
2) Memberi tanggapan terhadap orang lain
3) Mengekspresikan ide dan tukar persepsi
4) Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan
Tujuan umum :
Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok,
berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain,
mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.
Tujuan khusus :
1) Penderita mampu menyebutkan identitasnya
2) Menyebutkan identitas penderita lain
3) Berespon terhadap penderita lain
4) Mengikuti aturan main
5) Mengemukakan pendapat dan perasaannya
Karakteristik :
1) Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan
2)
3)
4)
5)
6)

ruangan
Penderita sering berada ditempat tidur
Penderita menarik diri, kontak sosial kurang
Penderita dengan harga diri rendah
Penderita gelisah, curiga, takut dan cemas
Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya, jawaban sesuai

pertanyaan
7) Sudah dapat menerima trust, mau berinteraksi, sehat fisik
e. Penyaluran energy
Penyaluran energi merupakan teknik untuk menyalurkan energi secara
kontruktif dimana memungkinkan penembanghan pola-pola penyaluran energi seperti
katarsis, peluapan marah dan rasa batin secara konstruktif dengan tanpa
menimbulkan kerugian pada diri sendiri maupun lingkungan.
Tujuan :
1) Menyalurkan energi; destruktif ke konstrukstif.
2) Mengekspresikan perasaan
3) Meningkatkan hubungan interpersonal
F. Peran Perawat dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Peran perawat jiwa professional dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok
pada penderita skizofrenia adalah
a. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih
dahulu, membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam
pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi:
deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan landasan teori,
persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian
tugas terapis.

b. Tugas sebagai leader dan coleader


Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang
terjadi dalam

kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari

dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan


dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya terapi
aktivitas kelompok.
c. Tugas sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai
anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain
agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.
d. Tugas sebagai observer
Tugas seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati respon
penderita,

mengamati

jalannya

proses

terapi

aktivitas

dan

menangani

peserta/anggota kelompok yang drop out.


e. Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok,
kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan adanya
anggota kelompok yang drop out. Cara mengatasi masalah tersebut tergantung
pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi
f.

aktivitas tersebut.
Program antisipasi masalah
Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
keadaan

yang

bersifat

darurat

(emergensi

dalam

terapi)

yang

dapat

mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok. Dari rangkaian


tugas diatas, peranan ahli terapi utamanya adalah sebagai fasilitator. Idealnya
anggota kelompok sendiri adalah sumber primer penyembuhan dan perubahan
Iklim yang ditimbulkan oleh kepribadian ahli terapi adalah agen perubahan yang
kuat. Ahli terapi lebih dari sekedar ahli yang menerapkan tehnik; ahli terapi
memberikan pengaruh pribadi yang menarik variable tertentu seperti empati,
kehangatan dan rasa hormat (Kaplan & Sadock, 2007).
Sedangkan menurut Depkes RI 2008, di dalam suatu kelompok, baik itu
kelompok terapeutik atau non terapeutik tokoh pemimpin merupakan pribadi yang
paling penting dalam kelompok. Pemimpin kelompok lebih mempengaruhi tingkat
kecemasan dan pola tingkah laku anggota kelompok jika dibandingkan dengan
anggota kelompok itu sendiri. Karena peranan penting terapis ini, maka diperlukan
latihan dan keahlian yang betul-betul professional.
Stuart & Sundeen (2010) mengemukakan bahwa peran perawat psikiatri
dalam terapi aktivits kelompok adalah sebagai leader/co leader, sebagai observer
dan fasilitator serta mengevaluasi hasil yang dicapai dalam kelompok.

Untuk memperoleh kemampuan sebagai leader/co leader, observer dan fasilitator


dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok, perawat juga perlu mendapat latihan
dan keahlian yang professional.
G. Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI
(2007) adalah:
a. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas
kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic,
delusi tak terkontrol, mudah bosan.
b. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas
kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah
tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat,
sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
c. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis
klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman
relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan problem yang sama.
H. Komponen Kelompok
Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Kelliat, 2005) :
a. Struktur kelompok.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi,

proses

pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur


kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan
interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan
anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan
diambil secara bersama.
b. Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang
anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar
akibbatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan
perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi
informasi dan interaksi yang terjadi (Kelliat, 2005).
c. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok
yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya
sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau
dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).

BAB 3
PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI
3.1. Aktivitas dan Indikasi
Aktivitas stimulasi persepsi dapat berupa stimulus terhadap penglihatan,
pendengaran, dan lain-lain seperti seni, gambar, video, tarian, dan nyanyian. Klien
yang mempunyai indikasi TAK stimulasi persepsi adalah klien dan keluarga dengan
kriteria sebagai berikut berikut:
1.
2.
3.
4.

Klien dengan harga diri rendah, isolasi sosial, dan halusinasi


Klien yang kooperatif
Klien yang mudah mendengarkan dan mempraktikkan
Keluarga klien dengan harga diri rendah, isolasi sosial, dan halusinasi

3.2. Tugas dan Wewenang


1. Tugas Leader dan Co-Leader
-

Memimpin acara; menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan.

Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan klien

Memberikan motivasi kepada klien

Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan

Memberikan reinforcemen positif terhadap klien

2. Tugas Fasilitator
-

Ikut serta dalam kegiatan kelompok

Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi klien

Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatan berlangsung

Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasi aktif

Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan klien lainnya

Membantu melakukan evaluasi hasil

3. Tugas Observer
-

Mengamati dan mencatat respon klien

Mencatat jalannya aktivitas terapi

Melakukan evaluasi hasil

Melakukan evaluasi pada organisasi yang telah dibentuk (leader, co leader, dan
fasilitator)

4. Tugas Klien
-

Mengikuti seluruh kegiatan

Berperan aktif dalam kegiatan

Mengikuti proses evaluasi

3.3. Peraturan Kegiatan

Adapun peraturan yang ditetapkan dalam kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok ini,
yaitu:
a. Klien diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hingga akhir
b. Klien dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai dilaksanakan
c. Klien yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi berupa peringatan lisan;
dihukum menyanyi atau menari; diharapkan berdiri dibelakang pemimpin selama
lima menit; dikeluarkan dari ruangan/kelompok
3.4 Teknik Pelaksanaan
Tema

: Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi


(membuat kreasi dari kain flanel)

Sasaran

: Pasien dengan diagnosa harga diri rendah, isolasi sosial, dan


halusinasi

Hari/Tanggal

Waktu

Tempat

Terapis

:
1. Leader
2. Fasilitator 1
3. Observer

Tahapan Sesi

:
:
:

Sesi 1: Memperkenalkan diri


Sesi 2: Berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3: Membuat kreasi flannel
A. Tujuan
Klien dapat membuat pola / model dari kain flanel
Klien dapat menjahit sesuai pola yang dibuat
Klien dapat menyusun pola yang telah dibuat menjadi sebuah buku edukasi untuk
balita
Klien dapat memberikan tanggapan terhadap pendapat klien lain.
B. Setting
- Terapis dan klien duduk bersama dalam satu lingkaran
- Ruangan nyaman dan tenang
C. MAP

K
F

F
K

Keterangan :
L : Leader
O : Observer
F : Fasilitator
K : Klien
D. Alat dan Bahan
a. Kain flanel
b. Lem
c. Kertas karton
d. Gunting
e. Alat jahit (benang dan jarum)
f. Kertas pola
g. Tali
E. Metode
a. Dinamika kelompok
b. Diskusi dan tanya jawab
F. Langkah-langkah Kegiatan
1. Persiapan
a. Membuat kontrak dengan klien tentang TAK
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien.
b. Evaluasi/validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini.
2) Menanyakan masalah yang dirasakan.
3) Menanyakan penerapan TAK yang lalu.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu membuat kreasi dari kain flannel.
2) Menjelaskan aturan main berikut:
- Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta izin
kepada terapis.
- Lama kegiatan 60 menit.
- Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap Kerja
a. Membuat pola di kertas sesuai pilihan.
b. Mencetak pola di kalin flannel.
c. Menggunting pola
d. Menjahit pola-pola yang sudah jadi
e. Menggunting kertas karton menjadi ukuran A4 dan melapisi dengan kain
f.

flannel.
Menempel atau menyusun pola yang telah dibuat dan dijahit pada kertas

karton yang telah dilapisi kain flanel


g. Menyusun lembaran kertas karton yang telah ditempeli pola menjadi buku
edukasi balita

h. Memberikan hiasan sesuai keinginan


4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut
Menganjurkan klien untuk mengisi waktu luang dengan membuat kreasi lainnya.
c. Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati kegiatan TAK yang akan datang.
2. Menyepakati waktu dan tempat.
G. Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.
Untuk TAK stimulasi persepsi membuat kreasi dari kain flannel, kemampuan klien
yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan, dapat menyampaikan pendapat,
membuat 1 kreasi flannel sesuai keinginan, memberi tanggapan terhadap pendapat
klien lain dan mengikuti kegiatan sampai selesai. Formulir evaluasi sebagai berikut:
Sesi 1: TAK
Stimulasi Persepsi
Kemampuan: Membuat kerajinan flanel
No.

Aspek yang Dinilai

1.

Memberi tanggapan terhadap pendapat

2.
3.
4.
5.
6.

klien lain.
Mengikuti kegiatan sampai selesai.
Menggunting kain flannel sesuai pola
Menjahit kain flannel sesuai pola
Menempelkan pola pada kertas karton
Menyusun lembaran kertas karton menjadi

Nama Klien

sebuah buku edukasi untuk balita


Petunjuk:
1. Di bawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK.
2. Untuk tiap klien, semua aspek dinilai dengan memberi tanda (+) jika ditemukan pada
klien atau (-) jika tidak ditemukan.
Dokumentasikan kemampuan yang dinilai klien saat TAK pada catatan proses
keperawatan tiap klien. Contoh catatan: klien mengikuti TAK stimulasi persepsi sampai
selesai, klien mampu menggunting kain flannel sesuai pola, menjahit kain flannel dan
menempelkan kain flanel pada kertas karton serta memberi tanggapan terhadap pendapat
klien lain. Anjurkan klien untuk mengisi waktu luang dengan membuat kreasi lainnya.

Bantur, 10 Mei 2016


Perseptor Akademik

Mengetahui,
Perseptor Klinik

Ns. Retno Lestari, S.Kep, MN


NIP. 198009142005022001

(Ns. Soebagijono, S.Kep. M.M.Kes)


NIP. 19681009 1999003 1003

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Depkes. 2010. Standar Pedoman Perawatan jiwa.
Kaplan Sadoch. 2008. Sinopsis Psikiatri. Edisi 7. Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2007. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
Stuart, Sudden, 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 2006.
Jakarta : Prima Medika.
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
Townsend, Marry C. 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan
Psikiatri edisi 3. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai