DISUSUN OLEH:
NIKE VERONIKA M ( 030520472 )
C. Predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri
Meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua
tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan
pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi peran.
Dimasyarakat umunya peran seseorang disesuai
dengan jenis kelaminnya. Misalnya seseorang wanita
dianggap kurang mampu, kurang mandiri, kurang
obyektif dan rasional sedangkan pria dianggap kurang
sensitive, kurang hangat, kurang ekspresif dibandingkan
wanita. Sesuai dengan standar tersebut, jika wanita atau
pria berperan tidak sesuai lazimnya maka dapat
menimbulkan konflik diri maupun hubungan sosial.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri.
Meliputi ketidak percayaan, tekanan dari teman
sebaya dan perubahan struktur sosial. Orang tua yang
selalu curiga pada anak akan menyebabkan anak menjadi
kurang percaya diri, ragu dalam mengambil keputusan
dan dihantui rasa bersalah ketika akan melakukan
sesuatu. Control orang yang berat pada anak remaja akan
menimbulkan perasaan benci kepada orang tua. Teman
sebaya merupakan faktor lain yang berpengaruh pada
identitas. Remaja ingin diterima, dibutuhkan dan diakui
oleh kelompoknya,
d. Faktor biologis
Adanya kondisi sakit fisik yang dapat mempengaruhi
kerja hormon secara umum, yang dapat pula berdampak
pada keseimbangan neurotransmitter di otak, contoh
kadar serotonin yang menurun dapat mengakibatkan
klien mengalami depresi dan pada pasien depresi
kecenderungan harga diri dikuasai oleh pikiran-pikiran
negatif dan tidak berdaya.
D. Presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh
setiap situasi yang dihadapi individu dan ia tidak mampu
menyesuaikan. Situasi atas stressor dapat mempengaruhi
komponen.
Stressor yang dapat mempengaruhi gambaran diri adalah
hilangnya bagian tubuuh, tindakan operasi, proses patologi
penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh, proses
tumbuh kembang prosedur tindakan dan pengobatan.
Sedangkan stressor yang dapat mempengaruhi harga diri dan
ideal diri adalah penolakan dan kurang penghargaan diri dari
orang tua dan orang yang berarti, pola asuh yang tidak tepat,
misalnya selalu dituntut, dituruti, persaingan dengan saudara,
kesalahan dan kegagalan berulang, cita-cita tidak terpenuhi
dan kegagalan bertanggung jawab sendiri. Stressor pencetus
dapat berasal dari internal dan eksternal:
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan peristiwa yang mengancam kehidupan.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi
yang diharapkan dan individu mengalaminya sebagai
frustasi.
E. Rentang Respon
Keterangan:
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif
tentang latar belakang pengalaman nyata yang
sukses diterima.
2. Konsep diri positif adalah individu mempunyai
pengalaman yang positif dalam beraktualisasi.
3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon
diri adaptif dengan konsep diri maladaptif.
4. Kerancuan identitas adalah kegagalan individu
dalam kemalangan aspek psikososial dan
kepribadian dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak
realistis terhadap diri sendiri yang berhubungan
dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
F. Pohon Masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012) :
G. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Gangguan citra tubuh
2. Kesiapan meningkatkan konsep diri
3. Harga diri rendah (kronis, situasional dan resiko
situasional)
4. Ketidakefektifan performa peran
5. Gangguan identitas pribadi
H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping menurut Deden (2013) :
Jangka pendek :
Jangka Panjang :
1. Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas
yang disenangi dari orang-orang yang berarti, tanpa
mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri.
2. Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai
dan harapan masyarakat.
E. Predisposisi
a. Teori genetic
1. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta
Varcarolis dan Hitler (2010) merupakan sesuatu yang
di turunkan dalam keluarga kembar monozigot
memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard
(2011).
2. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel
ke saraf , peningkatan dan penurunan neuro
transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku.
Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku
bunuh diri adalah dopamine, neuroepineprin,
asetilkolin, asam amino dan gaba (Stuard, 2011).
3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri
hidupnya dengan bunuh diri mengalami gangguan
jiwa.
4. Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu
untuk bunuh diri adalah gangguan modd , penyalah
gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan kecemasan
(Stuard, 2013).
b. Faktor psikologi
1. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan
ataw kemarahan terhaapp orang lain yang tidsk di
trima dan di mannifestasikan atau di tunjuksn pada
diri sendiri (Stuard dan videbeck, 2011).
2. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan
peningkatan resiko bunuh diri adalah permusuhan,
impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2013 ).
3. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu
yang di cintai, rasa keputusasaan, kesepian dan
kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
F. Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri
adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan
hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan yang
berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi
stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat
merupakan hukuman pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
G. Rentang Respon
Menurut Fitria (2012) mengemukakanrentang harapan-putus
harapan merupakan rentang adaptif-maladaptif:
Keterangan:
1. Peningkatan diri: seseorang dapat meningkatkan proteksi
atau pertahan diri secarawajar terhadap situasional yang
membutuhkan pertahan diri.
2. Beresiko destruktif: seseorang memiliki kecenderungan
atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sen
diri terhadap situasi yang seharusnyadapat
mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan
secara optimal.
3. Destruktif diri tidak langsung: seseorang telahmengambil
sikap yang kurang tepat terhadap situasi
yangmembutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.
4. Pencederaan Diri: seseorang melakukan percobaan
bunuh diri atau pencederaan diriakibat hilangnya harapan
terhadapsituasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh
diri sampai dengan nyawanya hilang.
H. Pohon Masalah
I. Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku
percobaan bunuh diri:
1. Resiko bunuh diri.
2. Harga diri rendah
3. Koping yang tak efektif.
J. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-
diri. Sering kali klien secara sadar memilih bunuh diri.
Menurut Stuart (2006) dalam Yollanda, Amadea(2018)
mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego
yang berhubungan dengan perilaku destruktif diri tidak langs
ung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi dan
regresi.
III. DAFTAR PUSTAKA
Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Singapore: Elsevier
ISOLASI SOSIAL
I. MASALAH UTAMA
Isolasi Sosial
A. Pengertian
RI, 2000).
Isolasi sosial adalah percobaan menghindari interaksi
sosial:
Kurang spontan
Mengisolasi diri
Aktivitas menurun
Rendah diri
Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus / janin
C. Rentang respon
normal.
D. Faktor predisposisi
Faktor tumbuh kembang
Faktor biologi
E. Faktor presipitasi
Stressor psikologis
1. Isolasi sosial
6. Intoleransi aktivitas
lingkungan.
Objektif:
a. Kurang spontan
b. Apatis ( acuh terhadap
lingkungan)
c. Ekspresi wajah kurang
berseri
d. Tidak merawat diri
sendiridan tidak
memperhatikan kebersihan
e. Tidak ada atau kurang
komunikasi verbal
f. Mengisolasi diri
g. Asupan makanan dan
minuman terganggu
h. Retensi urin dan feses
i. Aktivitas menurun
j. Kurang berenergi atau
bertenaga
k. Rendah diri
l. Postur tubuh berubah,
misalnya sikap fetus atau
janin ( khususnya pada posisi
tidur)
Isolasi Sosial
orang lain
pada klien
sosialnya
Stuart, Gaill Wiscare (1998), Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3. (Yuni.
V. RENCANA KEPERAWATAN
I. Diagnosa 1: Resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan berubungan dengan waham....
A. Tujuan umum :
Klien tidak menciderai diri, orang lain, dan lingkungan.
B. Tujuan khusus
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat.
a. Rasional :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk
kelancaran hubungan interaksinya
b. Tindakan:
Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik,
perkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi,
ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak
yang jelas (topik, waktu, tempat).
Jangan membantah dan mendukung waham
klien : katakan perawat menerima keyakinan
klien "saya menerima keyakinan anda" disertai
ekspresi menerima, katakan perawat tidak
mendukung disertai ekspresi ragu dan empati,
tidak membicarakan isi waham klien.
Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan
terlindungi : katakan perawat akan menemani
klien dan klien berada di tempat yang aman,
gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan
tinggalkan klien sendirian.
Observasi apakah wahamnya mengganggu
aktivitas harian dan perawatan diri.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki.
a. Rasional :
Dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki klien,
maka akan memudahkan perawat untuk mengarahkan
kegiatan yang bermanfaat bagi klien dari pada hanya
memikirkannya
b. Tindakan:
Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien
yang realistis.
Diskusikan bersama klien kemampuan yang
dimiliki pada waktu lalu dan saat ini yang realistis.
Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian
anjurkan untuk melakukannya saat ini (kaitkan
dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
Jika klien selalu bicara tentang wahamnya,
dengarkan sampai kebutuhan waham tidak ada.
Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat
penting.
3. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak
terpenuhi
a. Rasional :
Dengan mengetahui kebutuhan klien yang belum
terpenuhi perawat dapat merencanakan untuk
memenuhinya dan lebih memperhatikan kebutuhan
klien tersebut sehingga klien merasa nyaman dan aman
b. Tindakan:
Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi
baik selama di rumah maupun di rumah sakit (rasa
sakit, cemas, marah).
Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan
timbulnya waham.
Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi
kebutuhan klien dan memerlukan waktu dan tenaga
(buat jadwal jika mungkin).
Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu
untuk menggunakan wahamnya.
4. Klien dapat berhubungan dengan realitas.
a. Rasional :
Menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa
realita itu lebih benar dari pada apa yang dipikirkan
klien sehingga klien dapat menghilangkan waham yang
ada
b. Tindakan:
Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri,
orang lain, tempat dan waktu).
Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok :
orientasi realitas.
5. Klien dapat menggunakan obat dengan benar
a. Rasional :
Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan
mempengaruhi proses penyembuhan dan memberikan
efek dan efek samping obat
b. Tindakan:
Diskusikan dengan klien tentang nama obat, dosis,
frekuensi, efek dan efek samping minum obat.
Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5
benar (nama pasien, obat, dosis, cara dan waktu).
Anjurkan klien membicarakan efek dan efek
samping obat yang dirasakan.
Beri reinforcement bila klien minum obat yang
benar.
6. Klien dapat dukungan dari keluarga.
a. Rasional :
Dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat klien
akan mambentu proses penyembuhan klien
b. Tindakan:
Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan
keluarga tentang : gejala waham, cara merawat
klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga
A. Masalah Utama :
Perilaku Kekerasaan
Data subyektif
a. Mengeluh merasa terancam
b. Mengungkapkan perasaan tak berguna
c. Mengungkapkan perasaan jengkel
d. Mengungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-debar,
merasa tercekik, sesak dan bingung
2. Penyebab
Faktor pencetus terjadinya perilaku kekeasaan dapat bersumber
dari klien lingkungan dan orang lain. Lingkungan yang
ribut,padat dan sering menerima kritikan yang mengarah pada
penghinaan kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan.
Kondisi harga diri klien yang rendag yang diakibatkan karena
persepsi yang keliri terhadap penyakit fisik yang diderita,
keputusasaan , ketidakberdayaan dan percaya diri yang kurang
merupakan hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan. .
Harga diri rendah adalah suatu perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999)
Tanda dan gejala
- Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit
- Rasa bersalah terhadap diri sendiri
- Merendahkan martabat sendiri, merasa tidak mampu
- Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri
- Percaya diri kurang
- Mencederai diri
3. Akibat
Akibat dari perilaku kekerasaan adalah keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Data Obyektif :
a. Wajah tegang dan merah
b. Mondar-mandir
c. Mata melotot, rahang menutup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
f. Mata merah
C. Pohon Masalah
E. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku kekerasan
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
F. Rencana Tindakan
Diagnosa 1: perilaku kekerasan
TujuanUmum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
2.1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2.2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
2.3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan
klien dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
4.1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan
saat jengkel/kesal.
4.2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
4.3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang
dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Tindakan:
4.1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
4.2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.
4.3. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
5.1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
5.2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
5.3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan.
Tindakan :
6.1. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
6.2. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam
jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
6.3. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal /
tersinggung
6.4. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada
Tuhan untuk diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
7.1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
7.2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
7.3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
7.4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai
dalam simulasi.
7.5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel /
marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
8.1. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga.
8.2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
9.1. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi,
efek dan efek samping).
9.2. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama
klien, obat, dosis, cara dan waktu).
9.3. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat
yang dirasakan.
A. Konsep Dasar
1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, parabaan atau penghiduan.
Klien merasakan stimulus yang sebetul-betulnya tidak ada
(Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal
(dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai
contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang
yang berbicara (Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun
pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan
sadar/bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikotik
ataupun histerik (Trimelia, 2011).
2. Jenis Halusinasi
Ada beberapa jenis halusinasi. Yosep (2007), membagi
halusinasi menjadi 8 jenis yaitu :
a. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendering atau
suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering
terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna.
Biasanya suara tersebut ditujukan kepada penderita sehingga
tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan suara-
suara tersebut.
b. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit
organik). Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan
kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran
yang mengerikan
3. Fase-Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya
dan keparahannya. Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi
dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietasnya yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin
dikendalikan oleh halusinasinya.
a. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi
menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti
ansietas, kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk
berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas.
Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman
sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat
ditangani.
Perilaku klien :
1) Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
2) Menggerakkan bibir tanpa suara.
3) Pergerakan mata yang cepat.
4) Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
5) Diam dan asyik sendiri.
b. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi
menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan
menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba
untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh
pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien :
1) Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat
ansietas otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut
jantung, pernafasan, dan tekanan darah.
2) Rentang perhatian menyempit.
3) Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan
kemampuan membedakan halusinasi dan realita.
c. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori
menjadi berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan
terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi
halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin mengalami
pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
1) Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
2) Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
3) Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
4) Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor,
tidak mampu mematuhi perintah.
d. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur
dalam halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika
klien mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari
beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
1) Perilaku teror akibat panik.
2) Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh
orang lain)
3) Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.
4) Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
5) Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
4. Etiologi
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua (Yosep, 2010) yaitu :
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya
rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan
klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi,
hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan terhadap stress.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam
tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan
Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan terakitvasinya neurotrasmitter otak. Misalnya
tejadi ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab
mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil
keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju
alam hayal.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami
gangguan jiwa cenderung mangalami gangguan jiwa dan
faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor presipitasi
1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
dalam waktu lama.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi.
Isi dari halusinai dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan.
3) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan penurunan
fungsi ego seseorang yang pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan impuls
yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua
perilaku klien
4) Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi
sosial dan menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam
nyata sangat membahayakan.
5) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan
kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya
keinginan untuk beribadah dan jarang berupaya secara
spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan memburuk.
5. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah risiko mencederai diri, orang lain
dan lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah
halusinasinya yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar
kesadarannya
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Halusinasi adalah sebagai
berikut :
a. Bicara sendiri, senyum sendiri, ketawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Menarik diri dari orang lain
e. Berusaha untuk menghindari orang lain
f. Perilaku panik
g. Curiga dan bermusuhan
h. Ekspresi muka tegang
i. Tampak tremor dan berkeringat
j. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
k. Pehatian dengan lingkungan yang kurang
l. Tidak dapat membedakan realita dan tidak
m. Bertindak merusak diri, lingkungan dan orang lain
n. Diam
o. Rentang perhatianhanya beberapa detik atau menit
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai
berikut :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa
sebab, mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan,
mendengarkan suara yang mengajak bercakap-cakap,
mendengarkan suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya.
b. Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan
pada sesuatu yang tidak jelas.
Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris,
bentuk kartoon, melihat hantu atau monster.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan
tertentu, menutup hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine,
feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit,
merasa tersengat listrik.
7. Penatalaksanaan
a. Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia
biasanya diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik
antara lain :
1) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada
kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3x5
mg, im. Pemberian injeksi biasanya cukup 3x24 jam.
Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral 3x1,5 mg atau
3x5 mg.
2) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/
Promactile. Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut
biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila kondisi sudah stabil
dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja
(Yosep, 2011).
b. Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan
kejang grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran
listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua
temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizoprenia
yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi,
dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
c. Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan
Halusinasi yaitu ( Keliat, 2010):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan
atau stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi
klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sessi. Dengan
proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa
stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan : baca
artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini
merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari
pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi
klien yang maladaptive atau distruktif, misalnya kemarahan,
kebencian, putus hubungan, pandangan negative pada orang
lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap
stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori
klien. Kemudian diobservasi reaksi sensori klien terhadap
stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan secara
nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya klien
yang tidak mau mengungkapkan komunikasi verbal akan
testimulasi emosi dan perasaannya, serta menampilkan
respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah :
musik, seni menyanyi, menari. Jika hobby klien diketahui
sebelumnya, dapat dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu
kesukaan klien, dapat digunakan sebagai stimulus.
d. Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.
Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila
menarik diri dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan penderita untuk mengadakan permainan atau
pelatihan bersama (Maramis, 2005).
8. Pohon Masalah
Resiko perilaku kekerasan
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Pasien mampu mengidentifikasi jenis halusinasi
2) Pasien mampu mengidentifikasi isi halusinasi
3) Pasien mampu mengidentifikasi waktu halusinasi
4) Pasien mampu mengidentifikasi frekuensi halusinasi
5) Pasien mampu mengidentifikasi siruasi yang menimbulkan
halusinasi
6) Pasien mampu mengidentifikasi respon terhadap halusinasi
7) Pasien mampu mengontrol halusinasi (menghardik,
berbincang dengan orang lain, melakukan kegiatan yang
terjadwal, minum obat secara teratur) dan memasukkannya
kedalam jadwal kegiatan harian
b. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Keluarga mampu mengungkapkan masalah yang dirasakan
dalam merawat pasien
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien beserta
proses terjadinya halusinasi
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara
merawat pasien halusinasi
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning)
b. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Identifikasi jenis halusinasi pasien
2) Identifikasi isi halusinasi pasien
3) Identifikasi waktu halusinasi pasien
4) Identifikasi frekuensi halusinasi pasien
5) Identifikasi siruasi yang menimbulkan halusinasi
6) Identifikasi respon pasien terhadap halusinasi
1) Latih pasien cara kontrol halusinasi dengan cara
menghardik, berbincang dengan orang lain, melakukan
kegiatan yang terjadwal, minum obat secara teratur, dan
bimbing untuk memasukkannya kedalam jadwal kegiatan
harian.
c. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Jelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien beserta proses terjadinya
perilaku kekerasan
3) Jelaskan dan praktekkan cara merawat pasien dengan
halusinasi
4) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning)
5) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang
DAFTAR PUSTAKA
A. Konsep Dasar
1. Pengertian Defisit Perawatan Diri
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia
dalam memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan
kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika
tidak dapat melakukan perawatan diri (Depkes, 2000).
Defisit keperawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa
merupakan defisit perawatan diri yang terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun ( Keliat dan Akemat, 2007).
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak
mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya (Tarwoto
dan Wartonah, 2000).
2. Jenis Defisit Perawatan Diri
a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan.
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : Makan.
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan
untuk menunjukkan aktivitas makan.
d. Kurang perawatan diri : Toileting.
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri
(Nurjannah : 2004, 79 ).
3. Etiologi
Menurut DepKes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
a. Faktor prediposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga
menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor – faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya
perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal
hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti
sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang
semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan.
Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak
boleh dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu
dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan
lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene.
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang
karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan
dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah :
Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik
pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal
hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman,
kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
4. Akibat
Akibat dari defisit perawatan diri adalah Gangguan
Pemeliharaan Kesehatan (Budiana K, Proses Keperawatan
Kesehatan Jiwa Jilid 2), Gangguan pemelihaaan kesehatan ini
bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa terjadinya infeksi kulit
(scabies, panu, kurap) dan juga gangguan yang lain seperti gastritis
kronis (karena kegagalan dalam makan), penyebaran penyakit
orofecal ( karena hiegene bab/bak sembarangan) dan lain-lain.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Depkes (2000), tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor.
2) Rambut dan kulit kotor.
3) Kuku panjang dan kotor
4) Gigi kotor disertai mulut bau
5) Penampilan tidak rapi
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif.
2) Menarik diri, isolasi diri.
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang.
2) Kegiatan kurang
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
4) Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang
tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
Data yang biasa ditemukan dalam deficit perawatan diri adalah :
a. Data subyektif
1) Pasien merasa lemah
2) Malas untuk beraktivitas
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak – acakan
2) Badan dan pakaian kotor dan bau
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor
5) Kuku panjang dan tidak terawatt
6. Penatalaksanaan
a. Psikofarmakologi
1) Obat anti psikosis : Penotizin
2) Obat anti depresi : Amitripilin
3) Obat anti ansietas : Diasepam, Bromozepam, Clobozam
4) Obat anti insomnia : Phneobarbital
b. Psikoterapi
1) Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu
mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian
a) BHSP (bina hubungan saling percaya)
b) Jangan memancing emosi klien
c) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan
dengan keluarga
d) Berikan kesempatan klien mengemukakan pendapat
e) Dengarkan , bantu dan anjurkan pasien untuk
mengemukakan masalah yang dialaminya
2) Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan,
ketrampilan sosial, atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan
bermain untuk mengembalikan keadaan klien karena
masalah sebagian orang merupkan perasaan dan tingkah laku
pada orang lain.
3) Terapi musik
Dengan musik klien terhibur, rileks dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran pasien.
7. Pohon Masalah
Gangguan pemeliharaan kesehatan
2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Pasien
1) Pasien mampu menjelaskan pentingnya kebersihan diri
2) Pasien mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara
menjaga kebersihan diri, kemudian memasukkannya kedalam
jadwal kegiatan harian
3) Pasien mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara mandi,
gosok gigi, keramas, berdandan, makan yang baik, eliminasi
yang baik, kemudian memasukkannya kedalam jadwal
kegiatan harian
b. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Keluarga
1) Keluarga mampu mengungkapkan masalah yang dirasakan
dalam merawat pasien
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
defisit perawatan diri, jenis defisit perawatan diri yang
dialami pasien beserta proses terjadinya.
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara
merawat pasien defisit perawatan diri
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning)
c. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Pasien
1) Jelaskan pentingnya kebersihan diri
2) Jelaskan cara menjaga kebersihan diri
3) Latih cara menjaga kebersihan diri, kemudian bimbing untuk
memasukkannya kedalam jadwal kegiatan harian
4) Jelaskan cara mandi, gosok gigi, keramas, berdandan, makan
yang baik, eliminasi yang baik
5) Latih cara mandi, gosok gigi, keramas, berdandan, makan
yang baik, eliminasi yang baik, kemudian bimbing untuk
memasukkannya kedalam jadwal kegiatan harian
d. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Keluarga
1) Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
2) Jelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri,
jenis defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses
terjadinya.
3) Jelaskan cara merawat pasien defisit perawatan diri
4) Latih cara merawat pasien defisit perawatan diri
5) Bantu keluarga mmembuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning)
6) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang
DAFTAR PUSTAKA