Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL PENYULUHAN

MENDETEKSI GEJALA GANGGUAN JIWA SEJAK DINI

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 9:

1. ADE MELY RUSMIATUN


2. BAIQ MARA WARDATUN NAJWA
3. LILIK SEPTIYA ANDRIANI
4. NASRUL FUAD
5. NURWAHIDA SARMA NINGIH
6. RIAN FIRDAYANTI
7. SITI ASSUARO SOLIHA

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILLMU KESEHATAN YARSI MATRAM
PROGRAM STUDI NERS
MATARAM
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Secara global,diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita skizofrenia
(WHO, 2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007) sebanyak 1 juta orang atau sekitar
0,46% dari total penduduk Indonesia menderita skizofrenia. Sedangkan yang mengalami
gangguan mental emosiona (cemas dan depresi) adalah 11,6% atau sekitar 19 juta
penduduk. Mengalami gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga
pada keluarga dan negara. Kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehan jiwa
mencapai 20Triliun rupiah. Karena itu masalah gangguan jiwa ini perlu mendapatkan
perhatian yang serius dari pemerintah agar pelayanan bagi penderita gangguan jiwa ini bisa
lebih baik.
Pelayanan bagi penderita gangguan jiwa tidak terlepas dari peran para profesional
kesehatan seperti psikiater, psikolog, perawat psikiatri, occupational therapist dan pekerja
sosial. Sehingga diperlukan peningkatan pemahaman yang terus menerus tentang gangguan
jiwa ini.
Pada penyuluhan kali ini, kami akan menyampaikan tentang cara mendeteksi gejala
gangguan jiwa sejak dini. Diharapkan dengan penyampaian materi ini terjadi peningkatan
pemahaman masyarakat tentang masalah gangguan jiwa.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana cara mendeteksi gejala gangguan jiwa sejak dini?

1.3 Tujuan penulisan


dapat mengetahui cara mendeteksi gejala gangguan jiwa sejak dini
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN GANGGUAN JIWA


Gangguan jiwa merupakan psikologik atau pola perilaku yang ditunjukkan pada
individu yang menyebabkan distress, menurunkan kualitas kehidupan dan disfungsi. Hal
tersebut mencerminkan disfungsi psikologis, bukan sebagai akibat dari penyimpangan
sosial maupun konflik dengan masyarakat (Stuart, 2013).
Sedangkan menurut Keliat, (2011) gangguan jiwa merupakan pola perilaku, sindrom
yang secara klinis bermakna berhubungan dengan penderitaan, distress dan menimbulkan
hendaya pada lebih atau satu fungsi kehidupan manusia.
Menurut American Psychiatric Associationatau APA mendefinisikan gangguan jiwa
pola perilaku/ sindrom, psikologis secara klinik terjadi pada individu berkaitan dengan
distres yang dialami, misalnya gejala menyakitkan, ketunadayaan dalam hambatan arah
fungsi lebih penting dengan peningkatan resiko kematian, penderitaan, nyeri, kehilangan
kebebasan yang penting dan ketunadayaan (O’Brien, 2013).
Gangguan jiwa adalah bentuk dari manifestasi penyimpangan perilaku akibat distorsi
emosi sehingga ditemukan tingkah laku dalamketidak wajaran. Hal tersebut dapat terjadi
karena semua fungsi kejiwaan menurun (Nasir, Abdul & Muhith, 2011).

2.2 PENYEBAB GANGGUAN JIWA


Penyebab gangguan jiwa yang terdapat pada unsur kejiwaan, akan tetapi ada
penyebab utama mungkin pada badan (Somatogenik), di Psike (Psikologenik), kultural
(tekanan kebudayaan) atau dilingkungan sosial (Sosiogenik) dan tekanan keagamaan
(Spiritual). Dari salah satu unsur tersebut ada satu penyebab menonjol, biasanya tidak
terdapat penyebab tunggal, akan tetapi ada beberapa penyebab pada badan, jiwa dan
lingkungan kultural-Spiritual sekaligus timbul dan kebetulan terjadi bersamaan. Lalu
timbul gangguan badan atau jiwa (Maramis, 2009).
Menurut Yusuf, (2015) penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
saling mempengaruhi yaitu sebagai berikut:
2.3.1 Faktor somatic organobiologis atau somatogeni
1. Nerofisiologis
2. Neroanatomi
3. Nerokimia.
4. Faktor pre dan peri-natal.
5. Tingkat kematangan dan perkembangan organik.
2.3.2 Faktor psikologik (Psikogenik)
1. Peran ayah
2. Interaksi ibu dan anak
Normal rasa aman dan rasa percaya abnormal berdasarkan keadaan yang
terputus (perasaan tak percaya dan kebimbangan), kekurangan
3. Inteligensi
4. Saudara kandung yang mengalami persaingan
5. Hubungan pekerjaan, permainan, masyarakat dan keluarga
6. Depresi, kecemasan, rasa malu atau rasa salah mengakibatkan kehilangan
7. Keterampilan, kreativitas dan bakat
8. Perkembangan dan pola adaptasi sebagai reaksi terhadap bahaya.
2.3.3 Faktor sosio-budaya (Sosiogenik) :
1. Pola dalam mengasuh anak
2. Kestabilan keluarga
3. Perumahan kota lawan pedesaan
4. Tingkat ekonomi
5. Pengaruh keagamaan dan pengaruh social
6. Masalah kelompok minoritas, meliputi fasilitas kesehatan dan prasangka,
kesejahteraan yang tidak memadai dan pendidikan
7. Nilai-nilai
Dari faktor-faktor ketiga diatas, terdapat beberapa penyebab lain dari penyebab gangguan
jiwa diantaranya adalah sebagai berikut :
A. Genetika
Individu atau angota keluarga yang memiliki atau yang mengalami gangguan jiwa
akan kecenderungan memiliki keluarga yang mengalami gangguan jiwa, akan
cenderung lebih tinggi dengan orang yang tidak memiliki faktor genetik (Yosep,
2013).
B. biologic
1) Keturunan
Peran penyebab belum jelas yang mengalami gangguan jiwa, tetapi tersebut
sangat ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
2) Temperamen
Seseorang terlalu peka atau sensitive biasanya mempunyai masalah pada
ketegangan dan kejiwaan yang memiliki kecenderungan akan mengalami
gangguan jiwa.
3) Jasmaniah
Pendapat beberapa penyidik, bentuk tubuh seorang bisa berhubungan dengan
gangguan jiwa, seperti bertubuh gemuk cenderung menderita psikosa manik
defresif, sedangkan yang kurus cenderung menjadi skizofrenia.
4) Penyakit atau cedera pada tubuh
Penyakit jantung, kanker dan sebagainya bisa menyebabkan murung dan sedih.
Serta, cedera atau cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri
(Yosep, 2013)
C. Psikologik
Dari pengalaman frustasi, keberhasilan dan kegagalan yang dialami akan mewarnai
sikap, kebiasaan dan sifatnya di kemudian hari (Yosep, 2013).
D. Stress
Stress perkembangan, psikososial terjadi secara terus menerus akan mendukung
timbulnya gejala manifestasi kemiskinan, pegangguran perasaan kehilangan,
kebodohan dan isolasi social (Yosep, 2013)
E. Sebab sosio cultural
1) Cara membesarkan anak yang kaku, hubungan orang tua anak menjadi kaku dan
tidak hangat. Anak setelah dewasa akan sangat bersifat agresif, pendiam dan
tidak akan suka bergaul atau bahkan akan menjadi anak yang penurut.
2) Sistem nilai, perbedaan etika kebudayaan dan perbedaan sistem nilai moral
antara masa lalu dan sekarang akan sering menimbulkan masalah kejiwaan.
3) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi, dalam masyarakat
kebutuhan akan semakin meningkat danpersaingan semakin meningkat. Memacu
orang bekerja lebih keras agar memilikinya, jumlah orang yang ingin bekerja
lebih besar sehingga pegangguran meningkat (Yosep, 2013).
F. Perkembangan psikologik yang salah
Ketidak matangan individu gagal dalam berkembang lebih lanjut. Tempat yang lemah
dan disorsi ialah bila individu mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak
sesuai, gagal dalam mencapai integrasi kepribadian yang normal (Yosep, 2013).

2.3 TANDA DAN GEJALA


Secara internasional, penggolongan gangguan jiwa mengacu pada DSM IV. DSM IV
ini dikembangkan oleh para expert dibidang psikistri di Amerika Serikat. DSM IV ini telah
dipakai secara luas terutama oleh para psikiater dalam menentukan diagnosa gangguan
jiwa. Di indonesia para ahli kesehatan jiwa menggunakan PPDGJ 3 sebagai acuan dalam
menentukan diagnosa gangguan jiwa. Secara umum gangguan jiwa dapat dibagi kedalam
dua kelompok yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat.
2.3.1 Gangguan jiwa ringan
Yang termasuk kedalam gangguan jiwa ringan antara lain cemas, depresi,
psikosomatis dan kekerasan. Menurut Hawari (2001), tanda dan gejala gangguan
jiwa ringan (cemas) adalah sebagai berikut:
1. Perasan khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah
tersinggung
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
3. Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang
4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat
6. Keluhan-keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan,
gangguan perkemihan dan sakit kepala.
Sedangkan tanda dan gejala depresi menurut NIMH USA antara lain:
A. Rasa sedih yang terus-menerus
B. Rasa putus asa dan pesimis
C. Rasa bersalah, tidak berharga dan tidak berdaya
D. Kehilangan minat
E. Energi lemah,menjadi lamban
F. Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)
G. Sulit makan atau rakus makan (menjadi kurus atau kegemukan)
H. Tidak tenang dan gampang tersinggung
I. Berpikir ingin mati atau bunuh diri
2.3.2 gangguan jiwa berat
Yang termasuk kedalam gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, manik
depresif dan psikotik lainnya. Mereka yang mengalami gangguan jiwa berat tidak
bisa menjalankan kehidupannya sehari –hari, bicaranya tidak nyambung, sering
berperilaku menyimpang dan terkadang mengamuk.
Adapun menurut DSM IV, tanda dan gejala skizofrenia adalah :
1. Gejala positif yaitu sekumpulan gejala perilaku tambahan yang menyimpang
dari perilaku normal seseorang termasuk distorsi persepsi (halusinasi), distorsi
isi pikir (waham), distorsi dalam proses berpikir dan bahasa dan distorsi
perilaku dan pengontrolan diri.
2. Gejala negatif yaitu sekumpulan gejala penyimpangan berupa hilangnya
sebagian fungsi normal dari individu termasuk keterbatasan dalam ekspresi
emosi, keterbatasan dalam produktifitas berfikir, keterbatasan dalam berbicara
(alogia), keterbatasan dalam maksud dan tujuan perilaku.
Adapun tanda dan gejala gangguan jiwa secara umum adalah sebagai berikut :
A. Ketegangan (Tension)
Merupakan murung atau rasa putus asa, cemas, gelisah, rasa lemah, histeris, perbuatan
yang terpaksa (Convulsive), takut dan tidak mampu mencapai tujuan pikiran-pikiran
buruk (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014).
B. Gangguan kognisi
Merupakan proses mental dimana seorang menyadari, mempertahankan hubungan
lingkungan baik, lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya (Fungsi mengenal)
(Kusumawati, Farida & Hartono, 2010).
Proses kognisi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gangguan persepsi
Persepsi merupakan kesadaran dalam suatu rangsangan yang dimengerti. Sensasi
yang didapat dari proses asosiasi dan interaksi macam-macam rangsanganyang
masuk.Yang termasuk pada persepsi adalah
a. Halusinasi merupakan seseorang memersepsikan sesuatu dan kenyataan
tersebut tidak ada atau tidak berwujud. Halusinasi terbagi dalam halusinasi
penglihatan, halusinasi pendengaran, halusinasi raba,halusinasi penciuman,
halusinasi sinestetik, halusinasi kinetic.
b. Ilusi adalah persepsi salah atau palsu (interprestasi) yang salah dengan suatu
benda.
c. Derealisi yaitu perasaan yang aneh tentang lingkungan yang tidak sesuai
kenyataan.
d. Depersonalisasi merupakan perasaan yang aneh pada diri sendiri,
kepribadiannya terasa sudah tidak seperti biasanya dan tidak sesuai kenyataan
(Kusumawati, Farida &Hartono, 2010).
2. Gangguan sensasi
Seorang mengalami gangguan kesadaran akan rangsangan yaitu rasa raba, rasa
kecap, rasa penglihatan, rasa cium, rasa pendengaran dan kesehatan (Kusumawati,
Farida & Hartono, 2010).
3. Gangguan kepribadian
Kepribadian merupakan pola pikiran keseluruhan, perilaku dan perasaan yang
sering digunakan oleh seseorang sebagai usaha adaptasi terus menerus dalam
hidupnya. Gangguan kepribadian misalnya gangguan kepribadian paranoid,
disosial, emosional tak stabil. Gangguan kepribadian masuk dalam klasifikasi
diagnosa gangguan jiwa (Maramis, 2009).
4. Gangguan pola hidup
Mencakup gangguan dalam hubungan manusia dan sifat dalam keluarga, rekreasi,
pekerjaan dan masyarakat. Gangguan jiwa tersebut bisa masuk dalam klasifikasi
gangguan jiwa kode V, dalam hubungan sosial lain misalnya merasa dirinya
dirugikan atau dialang-alangi secara terus menerus. Misalnya dalam pekerjaan
harapan yang tidak realistik dalam pekerjaan untuk rencana masa depan, pasien
tidak mempunyai rencana apapun (Maramis, 2009).
5. Gangguan perhatian
Perhatian ialah konsentrasi energi dan pemusatan, menilai suatu proses kognitif
yang timbul pada suatu rangsangan dari luar (Direja, 2011).
6. Gangguan kemauan
Kemauan merupakan dimana proses keinginan dipertimbangkan lalu diputuskan
sampai dilaksanakan mencapai tujuan.
Bentuk gangguan kemauan sebagai berikut :
a) Kemauan yang lemah (abulia) adalah keadaan ini aktivitas akibat ketidak
sangupan membuat keputusan memulaisatu tingkah laku.
b) Kekuatan adalah ketidak mampuan keleluasaan dalam memutuskan dalam
mengubah tingkah laku.
c) Negativisme adalah ketidak sangupan bertindak dalam sugesti dan jarang
terjadi melaksanakan sugesti yang bertentangan.
d) Kompulasi merupakan dimana keadaan terasa terdorong agar melakukan suatu
tindakan yang tidak rasional (Yosep, H. Iyus & Sutini,2014).
7. Gangguan perasaan atau emosi (Afek dan mood)
Perasaan dan emosi merupakan spontan reaksi manusia yang bila tidak diikuti
perilaku maka tidak menetap mewarnai persepsi seorang terhadap disekelilingnya
atau dunianya. Perasaan berupa perasaan emosi normal (adekuat) berupa perasaan
positif (gembira, bangga, cinta, kagum dan senang). Perasaan emosi negatif berupa
cemas, marah, curiga, sedih, takut, depresi, kecewa, kehilangan rasa senang dan
tidak dapat merasakan kesenangan (Maramis, 2009).
Bentuk gangguan afek dan emosi menurut Yosep, (2007) dapat berupa:
a) Euforia yaitu emosi yang menyenangkan bahagia yang berlebihan dan tidak
sesuai keadaan, senang gembira hal tersebut dapat menunjukkan gangguan
jiwa. Biasanya orang yang euforia percaya diri, tegas dalam sikapnya dan
optimis.
b) Elasi ialah efosi yang disertai motorik sering menjadi berubah mudah
tersinggung.
c) Kegairahan atau eklasi adalah gairah berlebihan disertai rasa damai, aman dan
tenang dengan perasaan keagamaan yang kuat.
d) Eksaltasi yaitu berlebihan dan biasanya disertai dengan sikap kebesaran atau
waham kebesaran.
e) Depresi dan cemas ialah gejala dari ekpresi muka dan tingkah laku yang sedih.
f) Emosi yang tumpul dan datar ialah pengurangan atau tidak ada sama sekali
tanda-tanda ekspresi afektif.
8. Gangguan pikiran atau proses pikiran (berfikir)
Pikiran merupakan hubungan antara berbagai bagian dari pengetahuan
seseorang. Berfikir ialah proses menghubungkan ide, membentuk ide baru, dan
membentuk pengertian untuk menarik kesimpulan. Proses pikir normal ialah
mengandung ide, simbol dan tujuan asosiasi terarah atau koheren (Kusumawati,
Farida & Hartono, 2010).
Menurut Prabowo, (2014) gangguan dalam bentuk atau proses berfikir adalah
sebagai berikut :
a) Gangguan mental merupakan perilaku secara klinis yang disertai dengan
ketidak mampuan dan terbatasnya pada hubungan seseorang dan masyarakat.
b) Psikosis ialah ketidakmampuan membedakan kenyataan dari fantasi, gangguan
dalam kemampuan menilai kenyataan.
c) Gangguan pikiran formal merupakan gangguan dalam bentuk masalah isi
pikiran formal merupakan gangguan dalam bentuk masalah isi pikiran, pikiran
dan proses berpikir mengalami gangguan.
9. Gangguan psikomotor
Gangguan merupakan gerakan badan dipengaruhi oleh keadaan jiwa sehingga
afek bersamaan yang mengenai badan dan jiwa, juga meliputi perilaku motorik
yang meliputi kondisi atau aspek motorik dari suatu perilaku. Gangguan
psikomotor berupa, aktivitas yang menurun, aktivitas yang meningkat, kemudian
yang tidak dikuasai, berulang-ulang dalam aktivitas. Gerakan salah satu badan
berupa gerakan salah satu badan berulang-ulang atau tidak bertujuan dan melawan
atau menentang terhadap apa yang disuruh (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014).
10. Gangguan ingatan
Ingatan merupakan kesangupan dalam menyimpan, mencatat atau
memproduksi isi dan tanda-tanda kesadaran. Proses ini terdiri dari pencatatan,
11. Gangguan asosiasi
Asosiasi merupakan proses mental dalam perasaan, kesan atau gambaran ingatan
cenderung menimbulkan kesan atau ingatan respon atau konsep lain yang memang
sebelumnya berkaitan dengannya. Kejadian yang terjadi, keadaan lingkungan pada
saat itu, pelangaran atau pengalaman sebelumnya dan kebutuhan riwayat
emosionalnya (Yosep, 2007).
12. Gangguan pertimbangan.
Gangguan pertimbangan merupakan proses mental dalam membandingkan dan
menilai beberapa pilihan dalam suatu kerangka kerja memberikan nilai dalam
memutuskan aktivitas (Yosep, 2007).

2.4 TERAPI GANGGUAN JIWA


Menurut (Nurhalimah, 2016) Ada beberapa jenis terapi modalitas dalam keperawatan jiwa
seperti:
2.4.1 Terapi Individu
Adalah suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien
untuk mengubah perilaku klien. Dimana hubungan yang terjalin merupakan
hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan
sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini diharapkan terjadi perubahan
tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual ini, bertujuan agar klien mampu
menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu
meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang
sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:
1. Tahapan Orientasi
Tahap orientasi dilakukan ketika perawat pertama kali berinteraksi dengan
klien.dilaksanakan pada tahap ini, tindakan yang pertama kali harus dilakukan
adalah membina hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling
percaya antara perawat dan klien sangat penting terjalin, karena dengan
terjalinnya hubungan saling percaya, klien dapat diajak untuk mengekspresikan
seluruh permasalahannya dan ikut bekerja sama dalam menyelesaikan masalah
yang dialami, sepanjang berhubungan dengan perawat. Bila hubungan saling
percaya telah terbina dengan baik, tahapan berikutnya adalah klien bersama
perawat mendiskusikan apa yang menjadi penyebab timbulnya masalah yang
terjadi pada klien, jenis konflik yang terjadi, juga dampak dari masalah tersebut
terhadap klien Tahapan orientasi diakhiri dengan adanya kesepakatan antara
perawat dan klien tentang tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan
perawat-klien dan bagaimana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai
tujuan tersebut.
2. Tahapan Kerja
Pada tahaap ini perawat memiliki peran yang sangat penting sebagai
seorang terapis dalam memberikan berbagi intervensi keperawatan.
Keberhasilan pada tahap ini ditandai dengan kemampuan perawat dalam
mengali dan mengeksplorasiklien untuk mengungkapkan permasalahan yang
dialami. Pada tahap ini juga sangat penting seorang terapis Pada tahap ini, klien
dibantu untuk dapat mengembangkan pemahaman tentang dirinya, dan apa
yang terjadi dengan dirinya. Selain itu klien didorong untuk berani mengubah
perilaku dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.
3. Tahapan Terminasi
Tahap terminasi terjadi bila klen dan perawat menyepakati bahwa masalah
yang mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah terselesaikan dan klien
telah mempu mengubah perilaku dari maladaptif menjadi adaptif.
Pertimbangan lain untuk melakukan terminasi adalah apabila klien telah
merasa lebih baik, terjadi peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan, serta
yang terpenting adalah tujuan terapi telah tercapai.
2.4.2 Terapi Lingkungan
(Nurhalimah, 2016) Terapi lingkungan adalah suatu terapi yang dilakukan
dengan cara mengubah atau menata lingkungan agar tercipta perubahan perilaku
pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Proses terapi
dilakukan dengan mengubah seluruh lingkungan menjadi lingkungan yang
terapeutik untuk klien. Dengan lingkungan yang terapeutik akan memberikan
kesempatan klien untuk belajar dan mengubah perilaku dengan memfokuskan pada
nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi. Penting sekali bagi seorang perawat
untuk memberikan kesempatan, dukungan, pengertian agar klien dapat berkembang
menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Dengan terapi lingkungan klein belajar
ketrampilan baru seperti mentaati aturan yang berlaku, selain itu klien belajar untuk
mewujudkan haarapan dari lingkungan sekitar yang telah disepakti bersamaserta
belajar untuk menghadapi dan meyelesaikan tekanan dari teman (peer group), serta
belajar berinteraksi dengan orang lain. Tujuan akhir dari terapi lingkungan adalah r
meningkatnya kemampuan klien dalam berkomunikasi dan mengambil keputusan
yang pada akhirnya harga diri klien meningkat. Selain itu dengan terapi lingkungan
diajarkan cara beradaptasi dengan lingkungan baru di luar rumah sakit sepessrti
lingkungan rumah, tempat kerja dan masyarakat.
2.4.3 Terapi Biologis
(Nurhalimah, 2016) Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan
pada model medical di mana gangguan jiwa dipAndang sebagai penyakit.
PAndangan model ini berbeda dengan model konsep terapi yang lain yang, Karena
model terapi ini memAndang bahwa gangguan jiwa murni dissebabkan karena
adanya gangguan pada jiwa semata, tanpa mempertimbangkan adanya kelaianan
patofisiologis. Proses terapi dilakukan dengan melakukan pengkajian spesifik dan
pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya
akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu. Beberapa jenis terapi somatic
gangguan jiwa seperti: pemberian obat (medikasi psikofarmaka), intervensi
nutrisi,electro convulsive therapy (ECT), foto terapi, dan bedah otak. Beberapa
terapi yang sampai sekarang tetap diterapkan dalam pelayanan kesehatan jiwa
meliputi medikasi psikoaktif dan ECT.
2.4.4 Terapi Kognitif
(Nurhalimah, 2016) Prinsip terapi ini adalah memodifikasi keyakinan dan sikap
yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses terapi dilakukan dengan
membantu menemukan stressos yang menjadi penyebab gangguan jiwa, selanjutnya
mengidentifikasi dan mengubah pola fikir dan keyakinan yang tidak akurat menjadi
akurat. Terapi kognitif berkeyakinan bahwa gangguan perilaku terjadi akibat pola
keyakinan dan berfikir klien yang tidak akurat. Untuk itu salah satu prinsip terapi
ini adalah modifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan
tersebut. Fokus auhan adalah membantu klien untuk mengevaluasi kembali ide, nila
yang diyakini serta harapan dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan
kognitif.
Pemberian terapi kognitif bertujuan untuk :
1. Mengembangkan pola berfikir yang rasional. Mengubah pola berfikir tak
rasional yang sering mengakibatkan gangguan perilaku menjadi pola berfikir
rasional berdasarkan fakta dan informasi yang actual.
2. Membiasakan diri selalu menggunakan cara berfikir realita dalam menanggapi
setiap stimulus sehingga terhindar dari distorsi pikiran.
3. Membentuk perilaku baru dengan pesan internal. Perilaku dimodifikasi dengan
terlebih dahulu mengubah pola berfikir.
Bentuk intervensi dalam terapi kognitif meliputi mengajarkan untuk
mensubstitusi pikiran klien, belajar penyelesaian masalah dan memodifikasi
percakapan diri negatif.
2.4.5 Terapi Keluarga
(Nurhalimah, 2016) Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada
seluruh anggota keluarga dimana setiap anggota keluarga memiliki peran dan
fungsi sebagai terapis. Terapi ini bertujuan agar keluarga mampu melaksanakan
fungsinya dalam merawat klien dengan gangguan jiwa. Untuk itu sasaran utama
terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; yaitu keluarga yang
tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam
terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi selanjutnya
setiap anggota keluarga mengidentifikasi penyebab masalah tersebut dan kontribusi
setiap anggota keluarga terhadap munculnya masalah.untuk kemudian mencari
solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau
mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya. Proses terapi keluarga
terdiri dari tiga tahapan yaitu
1. fase 1 (perjanjian). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan
hubungan saling percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi
ditetapkan bersama.
2. fase 2 (kerja). Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan
dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi antar
anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing anggota keluarga,
dan mengeksplorasi batasan-batasan dalam keluarga serta peraturan-peraturan
yang selama ini ada.
3. fase 3 (terminasi). Terapi keluarga diakhiri di fase terminasi di mana keluarga
mampu memecahkan masalah yang dialami dengan mengatasi berbagai isu
yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan
yang berkesinambungan.
2.4.6 Terapi Aktifitas Kelompok
(Nurhalimah, 2016) Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang
diberikan kepada sekelompok pasien dilakukan dengan cara berdiskusi antar
sesama pasien dan dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas
kesehatan jiwa yang telah terlatih.
1. Manfaat TAK Secara umum terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat:
A. Meningkatkan kemampuan menilai dan menguji kenyataan (reality testing)
melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
B. Meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien
C. Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hubungan antara reaksi
emosional diri sendiri dengan perilaku defensive (bertahan terhadap stress)
dan adaptasi.
D. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti
kognitif dan afektif.
Secara khusus tujuan terapi aktifitas kelompok adalah:
a) Meningkatkan identitas diri pasien.
b) Menyalurkan emosi pasien secara konstruktif.
c) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial yang akan membantu pasien
didalam kehidupan sehari-hari.
d) Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan
sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan
kemampuan tentang masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.
2. Jenis Terapi Aktifitas Kelompok
A. TAK: Stimulasi Persepsi
1) Definisi: Terapi aktivitas kelompok (TAK): Stimulasi persepsi adalah
terapi yang menggunakan akivitas sebagai stimulus yang terkait dengan
pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok.
Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau
alternatif penyelesaian masalah. Fokus terapi aktivitas kelompok
stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang mengalami
kemunduran orientasi. Terapi ini sangat efektif untuk pasein yang
mengalami gangguan persepsi; halusinasi, menarik diri, gangguan
orientasi realitas, kurang inisiatif atau ide. Pasien yang mengikuti
kegiatan terapi ini merupakan pasien yang kooperatif, sehat fisik, dan
dapat berkomunikasi verbal.
2) Tujuan TAK stimulasi persepsi Tujuan umum : pasien memiliki
kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh
paparan stimulus yang diterimanya Tujuan khususnya:
a) Pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya
dengan tepat.
b) Klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang
dialami.
3) Aktivitas dalam TAK terbagi dalam empat bagian yaitu:
a) Mempersepsikan stimulus nyata sehari-hari yaitu: Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi yang dilakukan adalah:
menonton televisi. membaca majalah/koran/artikel dan melihat
gambar.
b) Stimulus nyata dan respons yang dialami dalam kehidupan Untuk
TAK ini pasien yang mengikuti adalah pasien dengan halusinasi,
dan pasien menarik diri yang telah mengikuti TAKS, dan pasien
dengan perilaku kekerasan. Aktivitas ini dibagi dalam beberapa sesi
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mengenal
kekerasan yang bisa dilakukan materi terapi ini meliputi
penyebab, tAnda dan gejala, perilaku kekerasan, akibat perilaku
kekerasan.
2. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah
perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik
3. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah
perilaku kekerasan melalui interaksi sosial asertif;
4. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah
perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat
5. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi : mencegah
perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
c) Stimulus yang tidak nyata dan respons yang dialami dalam
kehidupan Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu: Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi :
mengenal halusinasi
B. Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi
1) Tujuan umum dari terapi aktifitas kelompok sosialisasi adalah
meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien dengan isolasi sosial.
Sedangkan tujuan khususnya adalah:
a. Meningkatkan kemampuan komunikasi verbal pasien
b. Pasien dapat meningkatkan kemampuan komunikasi non verbal
c. Pasien dapat berlatih mematuhi peraturan
d. Pasien dapat meningkatkan interaksi dengan klien lain
e. Pasien dapat meningkatkan partisipasi dalam kelompok
f. Pasien dapat mengungkapkan pengalamannya yang menyenangkan
g. Pasien dapat menyatakan perasaan tentang terapi aktifitas
kelompok sosialisasi
2) Kriteria pasien yang dapat mengikuti terapi aktifitas kelompok
sosialisasi adalah
a) Pasien menarik diri yang cukup kooperatif
b) Klien yang sulit mengungkapkan perasaannya melalui komunikasi
verbal
c) Klien dengan gangguan menarik diri yang telah dapat berinteraksi
dengan orang lain
d) Klien dengan kondisi fisik yang dalam keadaan sehat (tidak sedang
mengidap penyakit fisik tertentu seperti diare, thypoid dan lain-
lain)
e) Klien halusinasi yang sudah dapat mengontrol halusinasinya
f)Klien dengan riwayat marah/amuk yang sudah tenang
3. Tahapan terapi aktifitas kelompok (TAK)
Terapi aktifitas kelompok terdiri dari 4 fase yaitu:
A. Fase Prakelompok: Fase ini dimulai dengan membuat tujuan terapi,
menentukan leader, jumlah anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu
kegiatan serta media yang digunakan. Jumlah anggota pada terapi
kelompok biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan
maksimum 10. Kriteria anggota yang dapat mengikuti terapi aktifitas
kelompok adalah: sudah terdiagnosa baik medis maupun keperawatan,
tidak terlalu gelisah, tidak agresif, serta tidak terdiagnosa dengan waham.
B. Fase Awal Kelompok Fase ini ditandai dengan timbulnya ansietas karena
masuknya anggota kelompok, dan peran baru. fase ini terbagi atas tiga fase,
yaitu orientasi, konflik, dan kohesif.
1) Tahap orientasi Pada fase ini anggota mulai mencoba mengembangkan
sistem sosial masing-masing, leader menunjukkan rencana terapi dan
menyepakati kontrak dengan anggota.
2) Tahap konflik Merupakan masa sulit dalam proses kelompok.
Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun
negatif dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta
mencegah perilaku perilaku yang tidak produktif
3) Tahap kohesif Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang
informasi dan lebih intim satu sama lain.
C. Fase Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil
dan realistis. Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari
produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan
kemandirian
D. Fase Terminasi
Fase ini ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan
digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari. Terminasi dapat
bersifat sementara (temporal) atau akhir.
2.4.7 Terapi Perilaku
(Nurhalimah, 2016) Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah bahwa perilaku
timbul akibat proses pembelajaran. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis
ini adalah:
1. Role model
2. Kondisioning operan
3. Desensitisasi sistematis
4. Pengendalian diri
5. Terapi aversi atau releks kondisi
Strategi teknik role model adalah mengubah perilaku dengan memberi contoh
perilaku adaptif untuk ditiru klien. Dengan teknik ini klien akan mencontoh dan
mampelajari serta meniru perilaku tersebut. Teknik ini biasanya dikombinasikan
dengan teknik konditioning operan dan desensitisasi.Konditioning operan disebut
juga penguatan positif pada teknik ini seorang terapis memberi penghargaan kepada
klien terhadap perilaku yang positif yang telah ditampilkan oleh klien. Dengan
penghargaan dan umpan balik positif diharapkan klien akan mempertahankan atau
meningkatkannya.
Terapi perilaku yang sangat cocok diterapkan pada klien fobia adalah teknik
desensitisasi sistematis yaitu teknik mengatasi kecemasan terhadap sesuatu stimulus
atau kondisi dengan cara bertahap. Dalam keadaan relaks, secara bertahap klien
diperkenalkan /dipaparkan terhadap stimulus atau situasi yang menimbulkan
kecemasan.Intensitas pemaparan stimulus makin meningkat seiring dengan
toleransi klien terhadap stimulus tersebut. Hasil akhir dari terapi ini adalah klien
berhasil mengatasi ketakutan atau kecemasannya akan stimulus tersebut.
Untuk mengatasi perilaku maladaptive, klien dapat dilatih dengan
menggunakan teknik pengendalian diri. Bentuk latihannya adalah berlatih
mengubah kata-kata negatif menjadi kata-kata positif. Apabila ini berhasil maka,
klien memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku sehingga terjadinya
penurunan tingkat distress klien.
Mengubah perilaku dapat juga dilakukan dengan memberi penguatan negatif.
Caranya adalah dengan memberi pengalaman ketidaknyamanan untuk mengubah
perilaku yang maladaptive. Bentuk ketidaknyamanan, dapat berupa menghilangkan
stimulus positif sebagai “punishment” terhadap perilaku maladaptive tersebut.
Dengan teknik ini klien belajar untuk tidak mengulangi perilaku demi menghindari
konsekuensi negatif yang akan diterima akibat perilaku negatif tersebut.
2.4.8 Terapi Bermain
(Nurhalimah, 2016) Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar
bahwa anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari
pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat
perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan
intervensi untuk mengatasi masalah anak.
Prinsip terapi bermain meliputi membina hubungan yang hangat dengan anak,
merefleksikan perasaan anak yang terpancar melalui permainan, mempercayai
bahwa anak dapat menyelesaikan masalahnya, dan kemudian menginterpretasikan
perilaku anak tersebut.Terapi bermain diindikasikan untuk anak yang mengalami
depresi, ansietas, atau sebagai korban penganiayaan (abuse). Terapi bermain juga
dianjurkan untuk klien dewasa yang mengalami stress pasca trauma, gangguan
identitas disosiatif dan klien yang mengalami penganiayaan.
2.5 PERAN KELUARGA TERHADAP GANGGUAN JIWA
Menurut Eva Mitayasari (2018), bahwa pengobatan Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) tidak hanya meliputi faktor farmakologis saja, akan tetapi melibatkan faktor lain
yang sangat kompleks. Selain dilakukan dengan pengobatan farmakologi yang tepat,
dibutuhkan pengobatan yang berbasis lingkungan. Pengobatan berbasis lingkungan ini
memanfaatkan lingkungan di sekitar klien sebagai sarana terapi. Terapi lingkungan mampu
meningkatkan interaksi klien dengan keluarga dan lingkungan sekitar, meningkatkan
pengetahuan klien dan keluarga, meningkatkan kreatifitas klien dan mampu mencegah
kekambuhan (Ermalinda, 2015).
Dari data di atas jelas bahwa pengobatan berbasis lingkungan mendukung
kesembuhan klien dan mampu mencegah kekambuhan gangguan jiwa yang dialami klien.
Lingkungan terdekat dengan klien adalah keluarga, keluarga yang sehat dan hangat mampu
memberikan sentuhan terapi kepada klien. Keluarga memiliki peranan penting dalam
proses penyembuhan klien, diantaranya sebagai faktor penyaring dan deteksi awal terhadap
klien gangguan jiwa, pemberi perawatan klien dengan gangguan jiwa saat di rumah dan
mencegah terjadinya kekambuhan klien.
Keluarga sebagai garda terdepan dalam menjaga kesehatan jiwa anggotanya dan
menjadi pihak yang memberikan pertolongan pertama psikologis apabila tampak gejala
yang mengarah pada kesehatan jiwa. Keluarga diharapkan mampu memberikan informasi
yang akurat kepada pemberi layanan kesehatan, sehingga diperoleh diagnosa dan
perawatan yang tepat bagi ODGJ. Pada akhirnya mampu mengembalikan kualitas
hidupnya dan menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
Ketika di rumah, keluarga menjadi tempat klien kembali setelah menjalani masa
rawat inap. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memberikan perawatan di
rumah yang efektif bagi ODGJ, diantaranya adalah
1. Mengenali jenis gangguan jiwa dan gejala yang dialami,
2. Bagaimana penatalaksanaannya (obat)
3. Mengurangi pencetus kekambuhan serta melibatkan keluarga lain/ teman (Karimah,
2012).
Pengetahuan tentang penyakit dan gejala yang dialami digunakan sebagai landasan untuk
bertindak secara tepat dalam mengevaluasi keberhasilan program pengobatan dan
perawatan ODGJ.
Percaya diri pada klien. Rasa percaya diri akan menuntun klien untuk menjadi lebih
produktif dan mandiri. Pada dasarnya peran keluarga dalam meningkatkan produktifitas
ODGJ sangat besar, sehingga upaya untuk memberdayakan keluarga dalam menunjang
kesembuhan ODGJ sangat diperlukan dan dilakukan secara berkesinambungan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan jiwa adalah penyakit kronis yang tidak terjadi begitu saja. Gangguan jiwa
bukan disebabkan oleh hal –hal yang bersifat supra natural seperti santet dan diguna –guna.
Hingga saat ini belum ditemukan penyebab spesifik dari gangguan jiwa. Akan tetapi,
beberapa penelitian telah menunjukkan adanya bebrapa faktor yang berhubungan dengan
kejadian gangguan jiwa seperti faktor pengalaman traumatis, faktor biologis, faktor
psikoedukasi. faktor koping, faktor stressor psikososial, dan faktor pemahaman dan
keyakinan agama seseorang.
DAFTAR PUSTAKA

Ermelinda., dan Maftuha. 2015. Terapi Lingkungan pada Pasien Gangguan Jiwa. Surabaya:
Stikes

Nurhalimah. 2016. Modul Bahan Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. Pusdik SDM Kesehatan

Karimah, Azimatul. 2012. Peran Keluarga pada Penderita Gangguan Jiwa. Surabaya: Unair

Mitayasari, Eva. 2018. Peran Keluarga dalam Perawatan ODGJ. Surabaya: Unair

Kemenkes RI. 2016. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa masyarakat

Maramis, W. F . 2004. Ilmu Kesehatan Jiwa. Surabaya : UNAIR

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa Masyarakat

Erlina, Soewadi dan Pramono, D (2010). Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien
rawat jalan di rumah sakit jiwa H.B Saanin, Padang Sumbar. Jurnal berita kedokteran
masyarakat. 26(2): 63 -702.

Frances, A., First, M.B., & Pincus, H.A. (2002). DSM-IV-TR. Handbook of Differential
Diagnois. USA: American Psychiatric Press.3.Frisch N., & Frisch A. (2011). Psychiatric
mental health nursing. 4 ed. Australia: Delmar CENGAGE learning.

Hawari, Dadang.2001. Manajemen Strees, Cemas, dan Depresi. Jakarta : Gaya Baru. 4.Hunter,
Eickhoff, Pheasant,Douglas,Watts , et al. (2010) The state of tranquility: Subjective
perception is shaped by contextual modulation of auditory connectivity. Neuro Image 53:
611–618.5.

Hardy, A., Fowler, D., Freeman, D., Smith, B., Steel, S., Evans, J., Garety, ...Dunn, G. (2005).
Trauma and Hallucinatory Experience in Psychosis. Journal of Nervous & Mental Disease,
193, 501–507.6.Mohr, W.K (2003). Psychiatric mental health nursing. 5ed. USA:
Lippincott

Anda mungkin juga menyukai