Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH BELLS PALSY

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3

Dosen Pembimbing :Ucik Indrawati, S.Kep., Ns., M.Kep.

DISUSUN OLEH :

1. LINDA NUR HALISYAH (183210025)


2. MARISTA RAHMA PUTRI SALECHA (183210027)
3. NURUL ULUM ABDULLAH (183210033)

PRODI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat
nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah tugas mata kuliah keperawatan
medical bedah 3 yang berjudul “bells palsy” tepat waktu. Makalah ini tidak akan selesai tepat
waktu tanpa bantuan dari berbagai pihak. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemajuan makalah ini
dimasa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca.

Jombang, 28 september 2020


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………................……………….i


Daftar Isi ……………………………………................……….ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....……………………................………………………1
1.2 Tujuan ………………................…………………………2
1.3 Manfaat……….................………………………………....2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ………….........…………...............……………3
2.2 Etiologi ……………………...............………….…...3
2.3 Epidemologi......................................................................4
2.4 Pathogenesis.......................................................... 4
2.5 Tanda dan Gejala...............................................5
2.6 Komplikasi ……………………………...............……….…...5
2.7 Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier ………………..6
2.8 Penatalaksanaan ……..................………………6
2.9 Prognosis ……………………................…………7
2. 10 Pengkajian Perawat ………………………..8
BAB 3 PENUTUP
Kesimpulan………………………………….................…………............16
Daftar Pustaka…………………………………….................…….........17
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang


Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses nonsupratif, non-
neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Palsy banyak terjadi namun secara pasti sulit
ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya Bell’s Palsy di Indonesia sebesar
19,55%, dari seluruh kasus neuropati terbanyak yang sering dijumpai terjadi pada usia 20 –
50 tahun, dan angka kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun.
Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang .
Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas, akan tetapi ada yang menyebutkan
bahwa penyebab Bell’s Palsy adalah angin yang masuk ke dalam tengkorak, ini membuat
syaraf di sekitar wajah sembab lalu membesar. Pembengkakan syaraf nomor tujuh atau
nervous fascialis ini mengakibatkan pasokan darah ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu
menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu.
Akibatnya, perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan. Namun
ada beberapa teori yang secara umum diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy yaitu:
1.      Teori ischemia vaskuler
2.      Teori infeksi virus
3.      Teori herediter
Tanda dan gejala yang dijumpai pjada pasien Bell’s Palsy biasanya bila dahi di
kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak mata tidak dapat
menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat di saksikan. Dalam
mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Dalam
menjungurkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta air
mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga
lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
Dari tanda dan gejala di atas, kasus tersebut bisa di tangani oleh fisioterapi. Fisioterapi
memiliki peran penting dalam proses penyembuhan serta perbaikan bentuk wajah yang
mengalami kelemahan, antara lain membantu mengatasi permasalahan kapasitas fisik pada
pasien, mengembalikan kemampuan fungsional pasien serta memberi motivasi dan edukasi
pada pasien untuk menunjang keberhasilan terapi pasien. Tekhnologi yang dapat di
aplikasikan kepada pasien antara lain:
1.      Infra red
2.      Massage
3.      Efaatlectrical Stimulasi dengan Faradik
4.      serta edukasi kepada pasien untuk melakukan Mirror Exercise
1.2              Tujuan
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini memiliki beberapa tujuan yang hendak
dicapai, antara lain :
1.      Tujuan Umum
Untuk memenuhi persyaratan program DIII keperawatan Universitas Bondowoso
2.      Tujuan Khusus
Untuk mengetahui manfaat pemberian infra red, electrical stimulation dan massage dalam
mengembalikan kekuatan dan fusngsi otot – otot wajah.
1.3              Manfaat
1.      Bagi Institusi pendidikan.
Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada di institusi pendidikan terutama
mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bell’s palsy dextra dengan modalitas infra
red, electrical stimulation dan terapi latihan.
2.      Bagi Institusi Rumah Sakit.
Dapat bertukar tentang informasi dengan pihak rumah sakit mengenai penatalaksanaan
fisioterapi pada kasus bell’s palsy dextra dengan modalitas infra red, electrical stimulation
dan terapi latihan.
3.      Bagi Penulis.
Dapat memperdalam ilmu pengetahuan tentang penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bell’s
palsy dextra dengan modalitas infra red, electrical stimulation dan terapi latihan.
4.      Bagi Kemajuan Ilmu pengetahuan Dan Teknologi.
Dapat digunakan sebagai acuan atau tolak ukur keberhasilan yang telah dicapai oleh para
ilmuan untuk dapat lebih maju terutama dalam teknologi kedokteran dari disiplin ilmu lainya.
5.      Bagi Masyarakat Umum.
Dapat memberikan informasi tentang latihan yang tepat pada pasien dengan kasus bell’s
palsy dextra dengan modalitas infra red, electrical stimulation, terapi latihan.
BAB II
 KONSEP PENYAKIT

2.1  Definisi
       Bell’s Palsy adalah paralisis wajah akut akibat inflamasi dari nervus fasialis. Gangguan
ini merupakan paralisis fasialis lower motor neuron (LMN) unilateral idiopatik.
       Bell’s Palsy biasanya terjadi secara mendadak. Penderita setelah bangun pagi mendapati
salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti kesemutan di sekitar bibir
atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam waktu 48 jam atau kurang.
       kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non -supuratif, non neo-plasmatik, non-
degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di
foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut
dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
2.2  Etiologi
1.      Teori Ischemia Vaskuler
             Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan sirkulasi darah kesaraf fasialis.
Kondisi Lingkungan dingin, sering terkena angin malam, terpapar kipas angin dan AC,
diperkirakan membuat pembuluh darah ke saraf fasialis tersebut menyempit atau vasospasme.
Penyempitan itu mengakibatkan iskemia atau berkurangnya suplai oksigen, sehingga terjadi
kelumpuhan (Sutis, 2010).
2.      Teori Infeksi Virus
             Beberapa ahli menyatakan penyebab Bell’s palsy berupa virus herpes yang membuat
saraf menjadi bengkak akibat infeksi .
3.      Teori Herediter
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy bisa disebabkan karena keturunan, dimana
kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim. Penyebab timbulnya
penyakit bell’s palsy yaitu :
a.    Teori Iskemik
b.    Teori Infeksi
c.    Teori Kombinasi         
d.   Inveksi Virus
e.    Iskemia/Disfungsi Faskular
f.     Penyakit Demielinisasi SSP
g.    Herediter
h.    Penyakit Autoimun
i.      Kelumpuhan wajah turunan.
Kondisi ini terjadi pada anak yang terlahir dengan kelemahan atau kelumpuhan pada wajah.
j.      Cedera karena kecelakaan.
Terjadi karena luka robek pada dagu atau retak pada tulang tengkorak.
k.    Cedera karena operasi.
Kondisi ini umumnya terjadi saat operasi kelenjar parotid.
l.      Hal Hal Lain: Suhu, Kelembapan, Stress, Kehamilan Dpt Memicu
2.3  Epidemiologi
       Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu
sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh
dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara.
Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak
insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan
prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45
kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. 
       Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi
kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan
prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12%
kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan Universitas Sumatera Utara 64% pada sisi yang
berlawana. Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy
suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap 500.000 penduduk
di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy
sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.
2.4  Patogenesis
       Virus yang di duga dapat menyababkan bell’s palsy adalah herpes simpleks virus tipe 1
(HSV-1). Virus lain yang dapat menyebabkan bell’s palsy Epstein-Barr Virus. Herpes Zoster
Virus. Rubela. HSV yang dapat menyebabkan bell’s palsi adalah HSV dalam masa laten di
ganglion genikulata yang mengalami reaktivasi.
       HSV – 1 dalam masa laten di ganglion genikulata Reaktivasi (dapat disebabkan oleh
ISPA, demam, menstruasi, paparan keadaan dingin, operasi) Virus akan menghancurkan sel-
sel ganglion dan menyebar ke cairan endoneurial. Virus juga akan menyerang sel-sel
Schwann Inflamasi, saraf akan membengkak Kompresi, saraf akan tertekan pada fallopian
canal Infark dan interupsi, kematian sel saraf atau terjadinya demielinisasi Kelemahan atau
kelumpuhan saraf fasialis (bell’s palsy).
       Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf yang
radangdan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya  tersumbat pada
titikyang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik
sangat sempit. Ada   penyimpangan wajah berupa palisis otot wajah;   peningkatanlakrimalis
(air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang  telinga, dan pada klien yangmengalami
kerusakan bicara, dan kelamahan otot wajah   atau  otot wajah  pada sisiyang terkena.
2.5  Tanda Dan Gejala
          Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot otot wajah pada satu sisi yang terjadi
secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari).
          Pasien juga mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah
walaupun tidak ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis,
berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan
saraf fasialis dapat terjadi secara parsial atau komplit.
          Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan
komplit.Dalam mendiagnosis kelum- puhan saraf fasialis harus dibedakan kelumpuhan
sentral atau perifer.
          Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat
berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan
kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat
dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode Freyss.
Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis
dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.
          Kelumpuhan yang terjadi pada salah satu sisi wajah bisa dijelaskan sebagai
kelumpuhan sebagian (kelemahan otot ringan) atau sebagai kelumpuhan total (tidak ada
gerakan sama sekali, tapi jarang sekali terjadi). Mulut serta kelopak mata juga akan
terpengaruh akibat Bell’s palsy, kedua bagian ini akan kesulitan untuk dibuka dan ditutup.
2.6  Komplikasi
1.      Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)
Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul karena konjungtiva bulbi
tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi
angin, debu dan sebagainya.
2.      Kontraktur otot wajah
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat
dibanding pada sisi yang sehat.
3.      Synkenesis (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot obicularis orispun ikut
berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila disuruh mengembungkan pipi, kelopak mata
ikut merapat.
4.      Spasme spontan
            Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan tidak terkendali. Hal ini disebut juga
tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua tic fasialis merupakan gejala sisa dari bell’s palsy.
2.7   Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier
       Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak
terjadi kepada seseorang. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari bell’s
palsy dapat dilihat dari faktor penyebab ataupun faktor resiko dari bell’s palsy itu sendiri
1.      Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bell spalsy
secara dini, sebelum manifestasi osteoarthritis muncul pada penderita.
Contoh : asupan nutrisi cukup dan tidak berlebih, olah raga yang teratur, dll.
2.      Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilaksanakan untuk membatasi perluasan bell’s spalsy yang timbul,
sehingga area yang terserang tidak terlalu luas.
Contoh : dilakukan terapi pembedahan, fisioterapi, dan perawatan pendukung.
3.      Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier tujuannya lebih ke arah rehabilitatif untuk membantu pemulihan
penderita.
Contoh : terapi fisik baik terapi panas atau dingin, olah raga teratur, serta pemakaian masker
atau kacamata saat berkendara bermotor.
2.8  Penatalaksanaan
1.      Terapi Pembedahan
            Dekompresi melalui pembedahan dianjurkan sebagai terapi akut Bell palsy yang
didasari oleh hipotesis pembengkakan neuronal pada tulang temporal berperanan dalam
trauma kompresi saraf. Namun, masih sedikit data mengenai hal ini. Penanganan ini bersifat
invasif dan memiliki risiko kehilangan pendengaran yang permanen.
2.      Fisioterapi
            Fisioterapi, termasuk massage dan latihan wajah, dianjurkan pada pasien, namun
masih sedikit uji klinis yang menunjukkan efektivitasnya. Beberapa bukti mendukung facial
retraining (mime therapy) dengan biofeedback.
3.      Perawatan Pendukung
            Yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah perlindungan mata. Pasien sebaiknya
menggunakan air mata buatan dan salep mata. Kaca mata atau Googgle penting untuk
melindungi dari cahaya, angin, dan debu. Pelindung mata berupaeye patch pada malam hari
sering kali diperlukan.
2.9  Prognosis
      Pasien biasannya memiliki prognosis baik. Hampir 80-90% pasien sembuh tanpa
kelainan. Pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan 40% untuk sembuh
dan 60% mengalami sekuele. Bell’s palsy dapat rekuren pada 10-15% pasien. Hampir 30%
pasien dengan kelemahan wajah ipsilateral rekuren menderita tumor pada N.VII atau kelenjar
parotis.
Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s Palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
Riwayat penyakit saat ini
Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada
satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi. Bila dahi dikerutkan,
lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan
kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutup bola mata
dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda
Bell.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi presdisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami penyakit
iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranal, trauma kapitis, penyakit virus (herpes
simpleks, herves zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian
pemakaian obat-obatan dan tempat rujukan klien untuk meminta pertolongan dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang.
Pengkajian psiko-sosio –spiritual
 Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien.
 Pengkajian mekanisme koping untuk menilai respon emosi tehadap kelumpuhan otot
wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yang timbul ketakutan atau kecacatan,
rasa cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
 Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar digunakan klien selama
masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan
selama ini yang sudah di ketahui dan perubahan perilaku akibat stres. Karena klien
harus menjalani perawatan rawat inap maka apakah keadaan ini member dampak pada
status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukann dana
yang tidak sedikit.
 Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
ganguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang
diakibatkan oleh defesit neurologi dalam hubungannya dengan peran social klien dan
rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di
dalam sistem dukungan individu.

Pemeriksaan fisik
Fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital
dalam batas normal.
 B1 (Breathing) :
 Inspeksi : Irama dan frekuensi napas normal serta tidak ada penggunaan otot bantu
napas.
 Palpasi : Traktil premitus seimbang kanan dan kiri.
 Perkusi : Resonan pada seluruh lapangan paru.
 Askultasi : Tidak terdengar bunyi napas tambahan.

 B2 (Blood) : Frekuensi dan irama nadi normal. Tekanan darah dalam batas normal
dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

 B3 (Brain) : Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap


dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya.

1. Tingkat Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien composmentis. Fungsi Serebri Status
mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien,
observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy
biasanya status mental klien mengenai perubahan.
2. Pemeriksaan saraf kranial
 Saraf I : Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
 Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
 Saraf III, IV, dan VI : Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos).
 Saraf V : Kelumpuhan seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
 Saraf VII : Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali adema
nervus fasialis di tingkat faranem stilomastedeus meluas sampai bagian nervus
fasialis, di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
 Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf IX dan X : Paralisis Otot orofaing, kesukaran berbicara, mengunya, dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
 Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
 Saraf XII : Lidah simestris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada
2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
3. Sistem Motorik

Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan
dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
4. Pemeriksaan Refleks

Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
reflex pada respons normal.
5. Gerakan Involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering di
temukan Tic Fasialis.
6. Sistem Sensori
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kalainan.
 B4 (Bladder) : Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
 B5 (Bowel) : Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien Bell’s palsy menurun karena
anoreksia dan kelemahan otot-otot mengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
 B6 (Bone) : Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

Diagnosa keperawatan
 Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah
 Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
 Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan tonus/kontrol
otot fasial/oral
 Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur pengobatan
 Nyeri yang berhubungan dengan peradangan saraf fasial
 Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat
mengenai proses penyakit dan pengobatan.

Intervensi Keperawatan
 Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah
Tujuan             : Body image kembali baik setelah perawatan
Kriteria hasil    :
a. Pasien mengungkapkan bahwa dirinya menerima kondisi yang ada
pada dirinya (kelumpuhan otot wajah)
b. Pasien tidak mengalami kecemasan
c. Pasien mampu melaksanakan peran dengan kondisi baik pada semua
fungsi bio-psiko-sosial

Intervensi Rasional

Kaji luasnya gangguan Penentuan faktor – factor


persepsi dan hubungkan secara individu membantu
dengan derajat dalam mengembangkan
ketidakmampuannya. perencanaan
asuhan/pilihan intervensi.

Identifikasi arti dari Kadang – kadang pasien


disfungsi atau perubahan menerima dan mengatasi
pada pasien gangguan fungsi secara
efektif dengan sedikit
penanganan, di lain pihak
ada juga orang yang
mengalami kesulitan
dalam menerima dan
mengatasi kekurangannya.

Anjurkan pasien untuk Mendemonstrasikan


mengekspresikan penerimaan/membantu
perasaannya termasuk pasien untuk mengenal dan
rasa bermusuhan dan mulai memahami perasaan
perasaan marah ini.

Catat apakah pasien Menunjukkan penolakan


menunjuk daerah yang terhadap bagian
sakit ataukah pasien tubuh/perasaan negative
mengingkari daerah terhadap citra tubuh dan
tersebut dan mengatakan kemampuan, menandakan
hal tersebut “telah mati” perlunya intervensi dan
dukungan emosional

Akui pernyataan perasaan Membantu pasien untuk


tentang pengingkaran melihat bahwa perawat
terhadap tubuh, tetap menerima kedua bagian
pada kenyataan yang ada tubuh tersebut merupakan
tentang realita bahwa suatu bagian yang utuh
pasien masih dapat dari seseorang
menggunakan bagian Memberikan kesempatan
tubuhnya yang tidak sakit pasien untuk merasakan
dan belajar untuk pengharapannya secara
mengontrol bagian tubuh penuh dan mulai menerima
yang sakit. Gunakan kata keadaan yang dialami saat
– kata (lemah, sakit, sekarang ini.
kanan-kiri) yang tidak
mengasumsikan bahwa
bagian tersebut sebagai
bagian dari seluruh tubuh.

Tekankan keberhasilan Mengkonsolidasikan


yang kecil sekalipun baik keberhasilan membantu
menganai penyembuhan menurunkan perasaan
fungsi tubuhataupun marah dan
kemandirian pasien. ketidakberdayaan dan
menimbulkan perasaan
adanya perkembangan

Dorong orang terdekat Membangun kembali rasa


agar memberi kemandirian dan
kesempatan pada pasien menerima kebanggaan diri
untuk melakukan dan mingkatkan proses
kegiatan sebanyak rehabilitasi.
mungkin untuk dirinya
sendiri

Berikan dukungan Mengisyaratkan


terhadap perilaku/usaha kemungkinan adaptasi
seperti peningkatan untuk mengubah dan
minat/partisipasi pasien memahami tentang peran
dalam kegiatan diri sendiri dalam
rehabilitasi kehidupan selanjutnya.

Pantau gangguan tidur, Mungkin merupakan


meningkatnya kesulitan indikasi serangan depresi
untuk berkonsentrasi, yang mungkin
pernyataan memerlukan evaluasi dan
ketidakmampuan untuk intervensi lebih lanjut.
mengatasi sesuatu, letargi
dan menarik diri.
Rujuk pada evaluasi Dapat memudahkan
neuropsikologis atau adaptasi terhadap
konseling sesuai perubahan peran yang
kebutuhan. perlu untuk
perasaan/merasa menjadi
orang yang produktif.

Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena
kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Tujuan             :Nyeri berkurang
Kriteria hasil    :Pasien menyatakan sudah tidak merasa nyeri atau nyeri sudah berkurang
dalam 3x24 jam, pasien tidak menunjukkan ada tanda-tanda merasa nyeri.

Intervensi Rasional

Kaji tingkat nyeri, beratnya (skala 0 Berguna dalam pengawasan


– 10) kefektifan obat, kemajuan
penyembuhan

Berikan istirahat dengan posisi Dengan posisi semi-fowler dapat


semifowler menghilangkan tegangan abdomen
yang bertambah dengan posisi
telentang

Anjurkan klien untuk menghindari dapat menghilangkan nyeri


makanan yang dapat meningkatkan akut/hebat dan menurunkan aktivitas
kerja asam lambung. peristaltik

Anjurkan klien untuk tetap mengatur mencegah terjadinya perih pada ulu
waktu makannya hati/epigastrium

Observasi TTV sebagai indikator untuk melanjutkan


intervensi berikutnya

Diskusikan dan ajarkan teknik Mengurangi rasa nyeri atau dapat


relaksasi terkontrol

Kolaborasi dengan pemberian obat Menghilangkan rasa nyeri dan


analgesik mempermudah kerjasama dengan
intervensi terapi lain

Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan tonus/kontrol otot


fasial/oral
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam pasien mampu menunjukkan kemampuan komunikasi
Kriteria hasil    :
 Pasien dapat menggunakan bahasa tertulis, berbicara, atau nonverbal, menggunakan
bahasa isyarat, pasien dapat bertukar pesan dengan orang lain.

Intervensi Rasional

Kaji kemampuan Kelamahan otot bicara pada


komunikasi klien. klien krisis miastenia gravis
dapat berakibat pada
komunikasi.

Lakukan metode Teknik untuk meningkatkan


komunikasi yang ideal komunikasi meliputi
sesuai dengan kondisi mendengarkan klien,
klien mengulangi apa yang
mereka coba komunikasikan
dengan jelas dan
membuktikan yang
diinformasikan, berbicara
dengan klien terhadap
kedipan mata mereka dan
atau goyangan jari-jari kaki
untuk menjawab ya atau
tidak. Setelah periode krisis
miastenik dipecahkan, klien
selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.

Beri peringatan bahwa Untuk kenyamanan yang


klien di ruang ini berhubungan dengan
mengalami gangguan ketidakmampuan
berbicara, sediakan bel berkomunikasi.
khusus bila perlu
Antisipasi dan bantu Membantu menurunkan
kebutuhan klien. frustasi karena
ketergantungan atau
ketidakmampuan
berkomunikasi.

Ucapkan langsung Mengurangi kebingungan


kepada klien berbicara atau kecemasan terhadap
pelan dan tenang, banyaknya informasi.
gunakan pertanyaan Memajukan stimulasi
dengan jawaban “ya” komunikasi ingatan dan
atau “tidak” dan kata-kata.
perhatikan respon klien.

Kolaborasi: konsulkan Mengkaji kemampuan


ke ahli terapi bicara verbar individual, sensotik,
motorik, serta fungsi
kognotof untuk
mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi.

Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
pengobatan
Tujuan                         : Kontrol kecemasan
Kriteria hasil    :
 Koping telah dilakukan asuhan selama 2x 24 jam klien kecemasan teratasi
 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
 Vital sign dalam batas normal
 Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
Intervensi
NIC :
 Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
 Gunakan pendekatan yang menenangkan
 Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
 Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
 Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
 Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
 Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
 Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Identifikasi tingkat kecemasan
 Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
 Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
 Kelola pemberian obat anti cemas

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses nonsupratif, non-
neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Bell’s Palsy biasanya terjadi secara mendadak. Penderita setelah bangun pagi mendapati
salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti kesemutan di sekitar bibir
atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam waktu 48 jam atau kurang.

3.2 Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini diharapkan mahasiswa Program Studi DIII
Keperawatan Universitas Bondowoso dapat memahami konsep patofisiologis Bell’s spalsy
dengan baik serta hubungannya dengan ilmu keperawatan yang tengah ditekuni. Hal tersebut
ditujukan agar mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Universitas Bondowoo dapat
memiliki kompetensi yang tinggi dalam perawatan terhadap Bell’s spalsy. Serta mampu
untuk menjalankan peranan keperawatan baik untuk sasaran perorangan ataupun komunitas.
DAFTAR PUSTAKA

Attaufiq. M. 2011. Waspada bell’s spalsy palpasi. EGC : Jakarta. http://liveberta.com. Di akses pada
hari Rabu, 05 Oktober 2016.
Ugiri. A. 2009. Fisioterapi pada bell’s spalsy. http://www.as-promedik.com. Di akses pada hari Rabu,
05 Oktober 2016.
Turana. S. 2010. Kelumpuhan wajah sebelah. Jakarata: PT Gramedia. Di akses pada hari Rabu, 05
Oktober 2016.  
Rahmawati.s. 2009. Buku ajar patofiologi bell’s spalsy. Salemba medika. Di akses pada hari Rabu, 05
Oktober 2016

Anda mungkin juga menyukai