Anda di halaman 1dari 35

Clinical Science Session

BELLS PALSY

Oleh:
Chika Asdiana

1110222144

Izzatya Rusdi

1210222048

Preseptor:
dr. Bestari J. Budiman, Sp. THT-KL (K)

BAGIAN THT-KL
RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
kurnia-Nya sehingga referat yang berjudul Bells Palsy ini bisa kami selesaikan dengan baik
dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai Bells
Palsy, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok RSUP Dr. M.Djamil Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Bestari J. Budiman, Sp. THT-KL (K) sebagai
preseptor dan dokter-dokter residen THT yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
memberikan saran, perbaikan, dan bimbingan kepada kami. Kami ucapkan juga terima kasih
kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu disini.
Dengan demikian, kami berharap semoga referat ini bisa menambah, wawasan,
pengetahuan, dan meningkatkan pemahaman semua pihak tentang Bells Palsy.

Padang, Februari 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................i


DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL..............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................7
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................8
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................8
1.4 Manfaat Penulisan....................................................................................8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nervus Fasialis.....................................................9
2.2 Definisi Bells Palsy............................................................14
2.3 Epidemiologi.......................................................................14
2.4 Etiologi............................................................................15
2.5 Patogenesis..........................................................................17
2.6 Manifestasi Klinis...............................................................18
2.7 Diagnosis.............................................................................20
2.8 Diagnosis Banding..............................................................26
2.9 Tatalaksana..........................................................................27

2.10 Komplikasi........................................................................30
2.11 Prognosis...........................................................................31
BAB 3 KESIMPULAN..33
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL
4

Tabel 2.1 Pembagian nervus fasialis11


Tabel 2.2 Kriteria House-Brackmann..21
Tabel 2.3 Diagnosis Banding Bells Palsy...27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Subdivis Nervus Fasialis.............................................................................10


Gambar 2.2 Perjalan dan percabangan nervus fasialis....................................................12
Gambar 2.3 Foramen Stilomasteoideus, tempat keluar nervus fasialis....13
Gambar 2.4 Bells Phenomenon......................................................................................19
Gambar 2.5 Tes Schermer................................................................................................24

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Bells Palsy merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
kelumpuhan idiopatik saraf fasial unilateral yang bersifat akut. Penyakit ini dapat
didiagnosis secara klinis setelah melakukan eksklusi dari penyebab lain kelumpuhan saraf
fasial melalui anamnesis, riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan
laboratorium atau pemeriksaan CT-scan jika memungkinkan. Sangat penting untuk
dipahami bahwa tidak semua paralisis dari nervus fasial adalah Bells Palsy. Bells Palsy
mempunyai ciri onset yang cepat, unilateral, tipe lower motor neuron pada defisit nervus
fasialis, kelehaman fungsi sistem saraf pusat, dan otologik.1
Insidensi Bells palsy per tahun sebanyak 15-21 kasus/ 100.000 penduduk per
tahunnya. Penyakit ini akan mengenai 1/60 orang pada waktu yang sama dalam hidup
mereka.1 Secara umum penyakit ini diderita oleh dewasa muda, kejadian paling banyak
terjadi banyak pada kelompok umur rentang usia 15 40 tahun. 2
Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa
tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus
Bells Palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks
Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bells palsy. Dulu, masuk angin
(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap
sebagai satu-satunya pemicu Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV
sebagai penyebab Bells palsy.3
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala
Bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup

kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini
disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak
mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang
sehat (lagoftalmos).4,5
1.2.

Batasan Masalah
Makalah

ini

membahas

definisi,

epidemiologi,

etiologi,

faktor

risiko,

patofisiologi, gambaran klinik, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari


penyakit bells palsy.
1.3.

Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai bells palsy

1.4.

Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk
dari berbagai literatur

1.5.

Manfaat Penulisan
Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan
pengetahuan mengenai Bells Palsy.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi untuk
motorik sensorik somatik, dan aferen eferen visceral. Nervus fasialis memiliki dua
subdivisi, yang pertama adalah yang mempersarafi otot ekspresi wajah kemudian yang
kedua memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu intermediate yang membawa aferen
otonom, somatik, dan eferen otonom.
Saraf fasialis mempunyai 2 subdivisi , yaitu:6,7
1.

Nervus fasialis yang sebenarnya: yaitu nervus fasialis yang murni untuk
mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, otot platisma, stilohioid, digastrikus
bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

2.

Saraf intermediet (pars intermedius wisberg), yaitu subdivisi saraf yang lebih tipis
yang membawa saraf aferen otonom, eferen otonom, aferen somatis.
-

Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depan
lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui
saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan
kemudian ke nukleus traktus solitarius.

Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatorius


superior. Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleus
ini, berpisah dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dan
diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan
glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke
kaudal dan menyertai korda timpani serta saraf lingualis ke ganglion

submandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula sublingualis dan


submandibularis, dimana impuls merangsang salivasi.
-

Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus
trigeminus. Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau
tumpang tindih) ini

terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus

eksterna, dan bagian luar membran timpani.


Gambar berikut ini memperlihatkan cabang nervus fasialis beserta otot yg
dipersarafinya.

Gambar 2.1 Subdivis nervus fasialis

Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut, yaitu: 8,9,10

10

1.

Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.levator


palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.

2.

Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivarius


superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilar serta sublingual dan lakrimalis.

3.

Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga
bagian depan lidah.

4.

Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh n.trigeminus. Daerah
overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang tindih) ini terdapat di
lidah, palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gendang telinga.

Tabel 2.1 Pembagian nervus fasialis11


Nama
Komponen
Saraf fasialis
Brankial eferen

Saraf intermediate

Fungsi
Otot-otot ekspresi
wajah: M.platisma,
m.stilohioideus,
m.digastrikus
Viseral eferen
Nukleus
Nasal,
lakrimal,
salivatorius
kelenjar
liur
superior
(sublingual
dan
submandibular)
Viseral
aferen Ganglion genikuli Pengecapan
2/3
spesial
anterior lidah
Somatik aferen
Ganglion genikuli Telinga luar, bagian
kanalis auditorius,
permukaan
luar
membran timpani
(sensibilitas)

11

Asal
Nukleus fasialis

Nukleus motorik terletak pada bagian ventrolateral tegmentum pontin bawah


dekat medula oblongata. Sewaktu di tegmentum pons, akson pertama motorik berjalan
dari arah sudut pontoserebelar dan muncul di depan nervus vestibularis. Saraf
intermediate muncul di antara saraf fasialis motorik dengan vestibulokoklearis.
Selanjutnya, nervus intermediate, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis berjalan
bersama ke lateral ke meatus akustikus internus. Di dalam meatus akustikus internus,
nervus fasialis dan intermediate berpisah dengan nervus vestibulokoklearis.11
Tampak pada gambar 2.2 nervus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis
fasialis kemudian ke ganglion geniculatum. Pada ujung kanalis tersebut, nervus fasialis
keluar kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar di
atas wajah. Dalam melakukan penyebaran itu, beberapa melubangi glandula parotis.11

Gambar 2.2 Perjalan dan percabangan nervus fasialis

12

Gambar 2.3 Foramen Stilomasteoideus, tempat keluar nervus fasialis


Sewaktu meninggalkan pons, nervus fasialis beserta nervus intermedius dan
nervus VIII masuk ke dalam tulang temporal melalui porus akustikus internus. Dalam
perjalanan di dalam tulang temporal, nervus VII dibagi dalam 3 segmen, yaitu segmen
labirin, segman timpani dan segmen mastoid.12
Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion
genikulatum . panjang segmen ini 2-4 milimeter.12
Segmen timpani (segmen vertikal), terletak di antara bagian distal ganglion
genikulatum dan berjalan ke arah posterior telinga tengah , kemudian naik ke arah
tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu turun kemudian terletak sejajar dengan
kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter.12
Segmen mastoid ( segmen vertikal) mulai dari dinding medial dan superior kavum
timpani . perubahan posisi dari segman timpani menjadi segmen mastoid, disebut segman
13

piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari nervus
VII, sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan
ke arah kaudal menuju segmen stilomaoid . panjang segmen ini 15-20 milimeter.12
Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang mengarahkan yang
mengarahkan gerakan ekspresi emosional pada otot-otot wajah. Juga ada hubungan
dengan gangglion basalis. Jika bagian ini atau bagian lain dari sistem piramidal menderita
penyakit penyakit, mungkin terdapat penurunan atau hilangnya ekspresi wajah
(hipomimia atau amimi).7
2.2

Definisi Bells Palsy


Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron
akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis
lainnya.13

2.3

Epidemiologi
Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40 -70% dari semua kelumpuhan
saraf fasialis perifer akut. Kejadian Bells Palsy pertahun mencapai 15 hingga 21 per
100.000 orang dengan insidensi untuk wanita dan pria sama banyak angka kejadiannya.
Bells Palsy dapat terjadi pada semua umur dengan puncak insidensi pada umur 40 tahun.
Penyakit ini umumnya terjadi pada pasien yang menderita diabetes dan wanita hamil. 14,15
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes . Pada
kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya
Bells palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali

14

lipat.16 Pasien yang mempunyai satu episode Bells Palsy akan mengalami 8% risiko untuk
terjadinya rekurensi.14,15
Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 21 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin.16
2.4

Etiologi
Berbagai macam etiologi dijadikan kemungkinan penyebab dari Bells Palsy
contohnya penyakit autoimun, infeksi, iskemik dan herediter.
1.

Infeksi Herpes Simplek Virus (HSV-1)


Teori etiologi dari Bells Palsy yang paling banyak dapat diterima adalah
infeksi Herpes Simplek Virus (HSV-1). HSV-1 menginduksi terjadinya edema
pada nervus fasialis yang mengakibatkan disfungsi fasial yang dapat terlihat pada
pasien Bells Palsy. HSV-1 masuk ke tubuh melalui kontak mukokutaneus dan
mempunyai afinitas pada nervus perifer. Virus ini dapat dorman pada ganglia
nervus perifer sampai tereaktivasi.1 Beberapa penelitian melaporkan, peningkatan
marker inflamasi dan titer HSV-1 di cairan serebrospinal pada pasien Bells Palsy.
Dari 14 pasien, 11 orang pasien ditemukan DNA dari HSV-1 pada cairan
endoneural dari nervus fasialis dan otot aurikula posterior setelah melakukan
operasi dekompresif.17 Selain itu, genom virus herpes simpleks (HSV) juga
teridentifikasi di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal
enam minggu setelah mengalami Bells palsy.18 Etiologi ini masih menjadi

15

perdebatan hingga sekarang karena DNA HSV juga ditemukan pada banyak
ganglion lainnya di jaringan postmortem.17
Agen infeksi lainnya yang menjadi penyebab penyakit ini di beberapa kasus
adalah virus Epstein-Barr dan sitomegalovirus (kedua virus ini menyebabkan infeksi
mononucleosis), adenovirus, mumps, dan rubella.
1.

Iskemik Vaskular
Bells palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus
fasialis. Beberapa pendapat mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari
pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik
primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis dikarenakan
kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang
disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier. 19
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari
arteri stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali
apabila disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus. iskemik
sekunder merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder
disebabkan karena dilatasi kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang
mengakibatkan terjadinya transudasi yang mengakibatkan terjadinya kompresi.
Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi menyebabkan timbulnya zona
iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan nekrosis. Penyebab
dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori mengatakan
bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan
permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari
16

proses iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat
memberikan efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala
sisa pada Bells palsy.19
2.5

Patogenesis
Bells Palsy diketahui sebagai kondisi idiopatik, dimana penyebab dari inflamasi
masih belum diketahui secara pasti dan patofisiologi masih belum jelas diketahui.
Beberapa virus berhubungan dengan penyakit ini dan virus herpes simplek (HSV-1) menjadi
etiologi yang memungkinkan penyakit ini terjadi, dimana telah terbukti adanya peningkatan titer
antibody virus ini pada pasien Bells Palsy.20

Hipotesis menyatakan bahwa HSV masuk ke tubuh melalui kontak mukokutaneus


dan virus masuk ke neuron menuju ganglion geniculatum. HSV-1 dan 2, virus varisela
zoster merupakan neurotropik, maksudnya adalah virus ini dapat membuat infeksi laten
pada sistem saraf perifer dan genome virus tersebut akan tetap ada sepanjang hidup
hostnya. Gabungan dari proses demielinisasi yang menyebabkan perubahan pada nervus,
degenerasi dari nervus fasialis, reaktivasi virus dan reaksi inflamasi yang mengakibatkan
kompresi pada nervus fasialis di kanal fallopi, khususnya dibagian segmen labirin yang
paling sempit yang mengakibatkan terjadinya paralisis nervus akut. Beberapa penelitian
juga menyebutkan bahwa variasi anatomi dan struktur anatomi dari tulang temporal yang
berbeda dari biasanya dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya peradangan dan
kompresi saraf.20
Bells palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus
fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri
meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan
bahwa terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis
17

menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis
dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik
yang disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.19
2.6

Manifestasi Klinis
Pada bells palsy terdapat kelumpuhan otot wajah parsial. Onset muncul biasanya
dalam 48 jam secara spontan dan gejala akan memuncak dalam beberapa hari. Beberapa
gejala yang timbul pada bells palsy adalah21,22:
1.

Kelumpuhan wajah
Kelumpuhan wajah terdapat pada dahi dan aspek bawah wajah. Pasien
tidak mampu menutup mata atau tersenyum pada sisi yang terkena. Peningkatan
produksi air liur juga bisa ditemukan di sisi yang lumpuh.

2.

Manifestasi okular

Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bells

Phenomenon)
Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata dengan sempurna)
Penurunan produksi air mata atau gangguan distribusi air mata
Kehilangan lipatan nasolabial
Sinkinesis otonom

18

Gambar 2.4 Bells Phenomenon


3.
4.
5.
6.

Nyeri aurikularis posterior


Hiperakusis
Gangguan pengecap
Kejang pada wajah
Kejang wajah sangat jarang terjadi pada bells palsy. Kejang lebih
mungkin terjadi selama masa stres atau kelelahan dan mungkin juga pada saat
tidur.

7.

Neuropati kranial
Beberapa ahli mengatakan bahwa neuropati kranial lainnya juga dapat
menyertai bells palsy. Namun hal ini tidak bisa diterima secara umum. Gejala
tersebut antara lain sebagai berikut:

2.7

Hyperesthesia atau dysesthesia dari glossopharingeus atau saraf trigeminal

saraf
Disfungsi saraf vestibular
Hyperesthesia saraf sensorik serviks
Kelemahan motor vagal atau trigeminal.

Diagnosis
Diagnosis bells palsy adalah diagnosis dengan cara mengeklusi kelumpuhan
nervus fasialis lain yang diketahui penyebabnya 23.Diagnosis tersebut dibuat berdasarkan:
19

Anamnesis
Pada anamnesis hal hal yang perlu ditanyakan antara lain:
o
o

Sudah berapa lama kelumpuhan terjadi?


Apakah sebelah pipi dirasakan melemah, terutama ketika berkumur-

kumur?
o
Ada nyeri di telinga kanan?
o
Ada riwayat keluar cairan dari telinga?
o
Apakah ada riwayat demam, batuk, pilek sebelumnya?
o
Ada gangguan penurunan pendengaran? Pusing berputar?
o
Apakah disertai dengan kelumpuhan dibagian tubuh lainnya?
o
Apakah ada riwayat trauma?
o
Adakah terpapar dengan udara dingin?
o
Apakah menderita diabetes dan atau hipertensi?
Pemeriksaan Fisik
Pada penderita dengan keluhan utama berupa wajah mencong, untuk
menyingkirkan diagnosis banding lainnya kita harus melakukan pemeriksaan
otoskopi, pemeriksaan hidung dan tenggorok dan pemeriksaan fisik di daerah
wajah untuk menemukan adanya vesikel pada daerah sekitar telinga. Selain itu
juga memeriksa adanya pembengkakan ataupun massa pada kelenjar parotis.
Pemeriksaan tes penala dan audiometri juga dilakukan.
Selanjutnya kita melakukan pemeriksaan derajat kerusakan saraf fasialis
dengan menggunakan system House-Brackmaan dan metode Freyss.
1.

Sistem House-Brackmann12,23
Derajat kelumpuhan nervus fasialis dapat ditentukan dengan sistem

House-Brackmann.
Tabel 2.2
Tingkat
I
II

Kriteria House Brackmann


Deskripsi
Normal
Disfungsi

Karakteristik
Fungsi normal pada semua area
Kelemahan ringan yang bisa dilihat dengan
20

ringan

2.

III

Disfungsi
sedang

IV

Disfungsi
sedang-berat

Disfungsi berat

VI

Paralisis total

inspeksi secara dekat, bisa terdapat


sinkinesis
Perbedaan antara dua sisi nyata, tidak berat,
sinkinesis, kontraktur, susah menutup mata
dengan sempurna
Kelemahan pada sisi yang sakit tampak
nyata, tonus dan kesimetrisan normal saat
isitirahat, mata tidak bisa menutup secara
sempurna
Gerakan sangat terbatas dan hanya sedikit
yang jelas, asimetris saat istirahat
Tidak ada pergerakan

Metode Freyss12
Pada metode freyss penilaian fungsi saraf fasialis perifer dinilai
berdasarkan fungsi saraf motorik wajah, tonus otot, sinkinesis, fungsi

a.

motorik pada gerakan emosi dan ada atau tidaknya hemispasme


Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Pemeriksaan fungsi saraf motorik dilakukan pada sepuluh otot utama
wajah yaitu:

m. Frontalis, diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas


m. Sourcilier, diperiksa dengan cara mengerutkan alis
m. Piramidalis, diperiksa dengan cara mengerutkan hidung ke atas
m. orbikularis okuli, diperiksa dengan cara memejamkan mata

kuat-kuat
m. zigomatikus, diperiksa dengan cara tertawa lebar
m. relever komunis, diperiksa dengan cara memocongkan mulut ke

depan sambil memperlihatkan gigi


m. businator, diperiksa dengan cara menggembungkan ke dua pipi
m. orbikularis oris, diperiksa dengan cara bersiul
m. triangularis, diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir

kebawah
m. mentalis, diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
tertutup rapat ke depan
21

Gerakan pada sepuluh otot-otot tersebut dibandingkan antara kiri dan


kanan dan dinilai. Gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga.
Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu dan di antaranya diberi nilai dua.
Tidak ada gerakan diberi nilai nol.
b.

Tonus
Terdapat lima tingkatan otot pada wajah yang dinilai dalam pemeriksaan

tonus. Tiap tingkatan bernilai tiga dan apabila ada tonus otot nilai dikurangi satu
sampai dua tergantung gradasinya.

c.

Sinkinesis
Cara mengetahui adanya sinkinesis adalah:

Penderita diminta untuk memejamkan mata kemudian perhatikan


sudut bibir bagian atas. Pergerakan dinilai dengan angka dua.
Apabila pergerakan pada sisi yang sakit tidak sama dengan sisi
yang normal, maka nilai dikurangi satu sampai dua tergantung

gradasinya.
Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil melihatkan gigi
kemudian perhatikan sudut bawah mata. Cara penilaian sama

dengan poin pertama.


Perhatikan otot-otot di sekitar mulut saat berbicara. Jika gerakan
normal beri nilai satu, jika tidak beri nilai nol.

d.

Hemispasme
Apabila terdapat hemispasme, maka nilai dikurangi satu.
22

Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah memiliki nilai normal 50 (100%).
Untuk mendapatkan gradasi kelumpuhan nervus fasialis dilakukan dengan cara
nilai total dikali dua dan dinyatakan dalam persen.
Pada pemeriksaan topografi saraf fasialis dapat dilakukan pemeriksaan
gustometri dan schermer test

1.

Gustometri12
Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani dengan

menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin.
Perbandingan ambang rasa antara kanan dan kiri sebesar 50% adalah keadaan
yang patologis.
2.

Schermer test12
Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus superior

mayor dengan menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan kertas hisap atau kertas lakmus pada dasar
konjungtiva. Perbedaan sama atau lebih dari 50% antara kiri dan kanan adalah
patologis.

23

Gambar 2.5 Tes Schirmer

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan reflek


stapedius. Pemeriksaan refleks stapedius dilakukan dengan menggunakan
elektroakustik impedans meter yang bertujuan untuk mengetahui fungsi nervus
stapedius.

Pemeriksaan Penunjang24
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat
dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem
saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai
neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi
sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
24

penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy


sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu
sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.
Pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik
dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian
tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan
negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan
pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat
bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima,
meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2
2.8

hanya ditemukan pada 15,6% kasus.


Diagnosis Banding17
Beberapa diagnosis banding bells palsy adalah lesi yang mendesak ruang yang
memiliki onset dan durasi paralisis wajah disertai nyeri yang juga menetap, penebalan
saraf wajah minimal pada sindrom Guillan-Barre, dan kelemahan wajah sentral unilateral
yang disebabkan karena adanya lesi pada korteks kontralateral. Lyme neuroborreliosis
juga harus dicurigai apabila pasien memiliki riwayat digigit kutu dan adanya ruam serta
tinggal didaerah endemik penyakit Lyme. Apabila kelemahan wajah menjadi progresif
dalam waktu beberapa minggu, maka tumor sebagai penyebab lumpuhnya nervus fasialis
juga harus dicurigai.
Tabel 2.3 Diagnosis Banding Bells Palsy17
Nama Penyakit
Penyebab
Lyme
Borrelia Burgdorfi

25

Manifestasi Klinis
Riwayat digigit kutu, gejala
sistemik (+), keluhan

2.9

Sarcoidosis

Autoimune

Sindrom Ramsay
Hunt

Virus Herpes Zoster

Infeksi Mikoplasma

Mycoplasma Pneumoniae

Otitis Media

Bakteri pathogen

Lesi neoplastik

Tumor parotis, kolesteatom

neurologi lainnya
Manifestasi sistemik lainnya,
termasuk granuloma pulmoner
dan adenopati, keluhan
neurologis lainnya seperti
paralisis dapat bilateral
Keluhan utama nyeri, terdapat
vesikel di daerah dekat telinga
Riwayat pneumonia
sebelumnya, merah seluruh
badan, demam
Nyeri telinga, onset bertahap,
penurunan pendengaran,
demam
Onset bertahap, teraba massa

Tatalaksana
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi
dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada
pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding
Bells palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya
setelah menyingkirkan diagnosis banding lain. Tujuan tatalaksana Bells Palsy adalah
untuk memperbaiki fungsi nervus fasialis dan mengurangi kerusakan saraf. Tatalaksana
pada Bells palsy berupa21,22,25:
1.

Terapi Farmakologi
a.
Kortikosteroid
Berdasarkan American Academy of Neurology (AAN), kortikosteroid
adalah terapi yang efektif dan bisa meningkatkan kemungkinan penyembuhan
fungsi nervus fasialis pada pasien Bell palsy dengan onset baru. Penggunaan

26

prednison dengan dosis 1 mg/kg atau 60 mg/hari untuk 6 hari di rekomendasikan


untuk terapi Bell palsy.
b.

Antivirus
Alasan untuk menggunakan antivirus adalah kemungkinan penyebab

terjadinya bells palsy sangat berkaitan dengan virus herpes simpleks (HSV).
Dalam sebuah studi otopsi laten HSV tipe-1 telah diisolasi dari mayoritas sampel
ganglia genikulatum. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg
per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.
Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2.000-4.000 mg per hari
yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis
pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa
adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.
c.

Kombinasi
Pada sebuah studi ditemukan bahwa kombinasi prednison-asiklovir

sebagai terapi bells palsy lebih efektif dibandingkan dengan hanya pemberian
prednison saja.
2.

Terapi Non-Farmakologis24
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya

dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat
tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah
dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan

27

melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf
fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah
onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula
bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi
fisik.

Rehabilitasi

fasial

meliputi

edukasi,

pelatihan

neuro-muskular, masase,

meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang
dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol
gerakan, dan relaksasi.
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat
istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang
digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif
sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah
berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang
lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan
melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk
membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40
kali dengan 2-4 set per hari. Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan
pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu
menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di

28

depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan
sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi
dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot
yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien
dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi
untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi
wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik.
Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu
dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan
glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.
2.10

Komplikasi
Sekuel dari Bells Palsy bisa terjadi baik dalam waktu singkat ataupun panjang yaitu
berupa ketidakmampuan menutup mata, mata kering, ulkus kornea, dan kehilangan
penglihatan. Hal ini perlu dicegah dengan cara perawatan mata yang baik.
Apabila penderita bells palsy tidak sembuh secara total dalam waktu yang lama
dan cacat pada wajah, hal ini akan memberikan efek yang buruk terhadap psikologi dan
kualitas hidup seseorang. Berkurangnya kemampuan pergerakan pada wajah dan

29

asimetris, pasien dengan paralisis wajah bisa memiliki hubungan interpersonal yang buru,
distres sosial, depresi, dan pengasingan sosial23.
Deformitas pada Bells palsy dapat berupa : 25

Regenerasi motorik inkomplit


Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis.

Dapat

terjadi

akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot

ekspresi wajah. Regenerasi

saraf

yang

tid ak

maksimal

dapat

menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari


deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat.

Regenerasi sensorik inkomplit


Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia.

Regenerasi Aberrant
Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut
saraf yang tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut
saraf yang ada didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan
terjadinya gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter (sinkinesis).

2.11

Prognosis
Pasien Bells Palsy tanpa perawatan medis akan sembuh sepenuhnya tanpa gejala
sisa pada 57-70% kasus. Beberapa faktor prognosis pada bells palsy adalah26:
1.

Usia
Dengan bertambahnya usia, pemulihan sepenuhnya dari paralisis wajah
mulai menurun. Tes rangsangan saraf 1 minggu setelah timbulnya bells palsy
30

menunjukkan bahwa bertambahnya usia merupakan faktor negatif untuk


pemulihan. Usia di atas 50-60 tahun telah dibuktikan sebagai faktor negatif
prognosis. Hal ini mungkin disebabkan sejumlah faktor, termasuk hilangnya serat
2.

myelin selama proses penuaan.


Derajat penyakit
Bells palsy derajat berat telah diketahui sebagai faktor negatif untuk
pemulihan dari bells palsy. Tingkat pemulihan pada pasien dengan kelumpuhan
tidak lengkap (HBS kelas IV atau lebih baik) telah dilaporkan secara signifikan
lebih tinggi daripada tingkat untuk pasien dengan kelumpuhan derajat berat(HBS
kelas V-VI).

3.

Waktu
Waktu

untuk

memulai

pengobatan

sangat

berpengaruh

dalam

penyembuhan penyakit . pasien yang memulai pemulihan di minggu pertama dan


kedua meiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang
memulai pemulihan pada minggu ketiga setelah onset.
4.

Nyeri
Nyeri ipsilateral sekitar telinga atau di leher adalah gejala yang sering
pada tahap awal dari bells palsy. Nyeri telah berkorelasi dengan prognosis yang

2.

lebih buruk dalam beberapa studi.


Refleks stapedial
Masih berfungsinya refleks stapedial dalam 10 hari onset bells palsy
memberikan indikasi yang baik. Namun, tidak adanya refleks stapedial tidak

3.

dapat digunakan menentukan prognostic.


Elektrofisiologi

31

BAB III
KESIMPULAN
1. Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervus
fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar
sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
2. Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40 -70% dari semua kelumpuhan saraf
fasialis perifer akut. Angka kejadian antara pria dan wanita sama. Puncak umur terjadinya
penyakit ini pada umur 40 tahun
3. Penyebab pasti dari Bells Palsy belum diketahui. Beberapa teori menyebutkan
disebabkan oleh infeksi virus, autoimun, iskemik vascular dan herediter. Infeksi HSV-1
menjadi etiologi yang cukup kuat dalam kejadian penyakit ini.
4. Manifestasi klinik Bells palsy adalah berupa kelemahan pada satu wajah, gangguan
mengecap, manifestasi okular, nyeri dibelakang telinga, penurunan produksi air mata
hipersalivasi, hiperakusis, dan kejang pada wajah.
5. Diagnosis banding bells palsy dapat berupa lesi desak ruang, sindrom Guillan Barre, lesi
pada korteks kontra lateral, Lyme neuroborreliosis, dan tumor inta kranial.
6. Tatalaksana pada bells palsy dapat dilakukan dengan terapi farmakologi (kortikosteroid
dan antivirus) dan non-farmakologi
32

7. Bells palsy bisa menyebabkan komplikasi berupa ketidakmampuan menutup mata, mata
kering, ulkus kornea, dan kehilangan penglihatan serta efek psikologis dan kualitas hidup
seseorang.
8. Pasien Bells Palsy tanpa perawatan medis akan sembuh sepenuhnya tanpa gejala sisa
pada umumnya. Beberapa faktor yang mempengauhi prognosis adalah usia, derajat
penyakit, waktu, nyeri, refleks stapedial, dan elektrofisiologi.

33

DAFTAR PUSTAKA
1. Vakharia K, Vakharia V. Bells Palsy. Facial Plast Surg Clin N Am. 2016: 1-10.
2. Peitersen E. Bells palsy: the spontaneous course of ,500 peripheral facial nerve palsies of
different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl 2002;(549):430.
3. Ropper AH, Brown RH, editors. The Seventh, or Facial Nerve. Adams and Victors
Principles of Neurology. 8th ed. New York: MacGraw-Hill; 2003. p 1180-1182.
4. Monnell K. Bells palsy. [online]. 2006. [cited 23 jan 2008]. Available from:
URL:www.eMedicine.com
5. Holland J, Weiner M. Recent developments in bells palsy.[online]. 4 sept 2004. [cited 24
jan 2008]. Available from: URL:www.BMJ.com
6. SM. Lumbotobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai
Penerbit FK-UI,2006.
7. Peter Duus. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta : Balai
Pustaka.1996.
8. Mardjono, Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2000; 159-163.
9. Soepardi, iskandar. Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher. Edisi 5. Jakarta: FK UI.
2001;85-87.
10. Tobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FK UI. 2007; 55-60.
11. Baehr, Frotscher. Duus Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy, Fisiology, Sign,
Simptom. Edisi 4. New York: Mc-Graw Hill companies. 2005;167-175.
12. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. In :
Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 7th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2012.
13. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003. p 297-300
14. Gilden DH. Clinical practice. Bell's palsy. N Engl J Med. 2004;351:132331.

34

15. Morris AM, Deeks SL, Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Mazzulli T, et al. Annualized
incidence and spectrum of illness from an outbreak investigation of Bell's palsy.
Neuroepidemiology. 2002;21:25561.
16. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 7 Februari
www.emedicine.medscape.com/article/1146903-overview.

2016.

Terdapat

pada:

17. Royal W, Vargas D. Bells Palsy and Vestibular Neuronitis. Elsevier. 2014:763-770
18. Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in localising lesions in
Bells palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2008;79:418-20.
19. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee; 2012.p.30-45.
20. Kaygusuz I, Godekmerdan A, Keles E, Karlidag T, Yalcin S, Yildiz M, dan Tazegul A.
The Role of Viruses in Idiopathic Peripheral Facial Palsy and Cellular Immune Respone.
Am J Otolaryngol. 2004; 25:401-406
21. Murthy JMK, Saxena AB. Bells Palsy Treatment Guidline. Ann Indian Acad
Neurol.2011; 14(Suppl1): S70S72.
22. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 7 Februari
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-clinical

2016.

Terdapat

pada:

23. Baugh R, Basura G, Ishii L, Schwartz SR, Drumheller CR, Burkholder R, et al. Clinical
Practice Guideline Summary: Bells Palsy. AAO-HNS BULLETIN.2013.
24. Lowis H dan Gaharu MN. Bells Palsy, Diagnosis dan tatalaksana di pelayanan primer. J
Indon Med Assoc. 2012;62:32-7.
25. Lo
B.
Available
overview

Bell

Palsy.

[Update
Feb
24,2010: cited
Dec 21,2010].
from:http://www.emedicine.medscape.com/article/791311-

26. Axellson,Sara. Bells Palsy-Medical Treatment and Infuence of Prognostic Factors. Lund
University. Dissertation. Sweden. 2013

35

Anda mungkin juga menyukai