Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

BELL’S PALSY

Pembimbing :

dr. Eka Poerwanto, Sp.KFR

Penyusun :

Brilliant Tantomo

2017.04.2.0025

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “Bell’s palsy” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu
tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda
di bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

dr. Eka Poerwanto, Sp.KFR

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2

2.1 Anatomi Nervus Facialis ........................................................ 2

2.2 Bell’s palsy ............................................................................. 5

2.2.1 Definisi .......................................................................... 5

2.2.2 Etiologi .......................................................................... 6

2.2.3 Patofisiologi .................................................................. 6

2.2.4 Tanda dan Gejala ......................................................... 8

2.2.5 Diagnosis ...................................................................... 9

2.2.6 Diagnosis Banding ........................................................ 10

2.2.7 Prognosis ...................................................................... 11

2.2.8 Komplikasi .................................................................... 12

2.2.9 Terapi ............................................................................ 12

BAB 3 KESIMPULAN ........................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 18

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell’s palsy adalah penyebab paling umum dari terjadinya
kelumpuhan satu sisi dari nervus facialis (70%). Penyakit ini terjadi
pada 1- 4 dari 10.000 orang tiap tahunnya (Fuller, 2016). Kurang lebih
1,5% manusia pernah menderita penyakit ini dalam hidupnya (Grewal,
2014). Penyakit ini umum terjadi pada usia 15 sampai 60 tahun.
Prevalensi kejadian pada pria dan wanita sama. Nama penyakit ini
berasal dari ahli bedah Skotlandia, Charles Bell, yang pertama kali
menemukan hubungan antara nervus facialis dengan penyakit ini.
Penyebab dari penyakit ini masih belum diketahui. Faktor
resikonya meliputi diabetes dan infeksi saluran napas atas yang baru
terjadi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis pasien dan
menyingkirkan penyebab lain. Penyebab lain yang menyebabkan
kelemahan otot wajah antara lain tumor otak, stroke, sindrom Ramsay
Hunt, penyakit Lyme (Fuller, 2016).
Kebanyakan orang yang menderita Bell’s palsy kembali pulih
fungsi otot wajahnya dalam waktu 3 minggu – meskipun tanpa
mendapatkan pengobatan. Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy
adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan
parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka
penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur
serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya
dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi
penderita terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bell’s
palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.
Referat ini akan membahas penataklaksanaan Bell’s palsy
khususnya dalam bidang kedokteran fisik dan rehabilitasi medik
sehingga persentase timbulnya komplikasi dapat diturunkan dan
penyembuhan komplit dapat tercapai.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nervus Facialis


Nervus facialis merupakan nervus cranialis ke-7 yang berasal
dari batang otak antara pons dan medulla oblongata.
Fungsi dan badan sel dari nervus facialis:

a. SVE (Special Visceral Efferent) memiliki badan sel di nucleus


motoris facialis untuk pergerakan otot-otot wajah, playsma dan m.
stapedius.
b. GVE (General Visceral Efferent) memiliki badan sel di nucleus
salivatorius superior untuk kelenjar submandibular, sublingual dan
lakrimal (melalui nervus intermedius).
c. VA (Visceral Afferent) memiliki badan sel di ganglion geniculatum
untuk pengecapan 2/3 anterior lidah (melalui n. chorda timpani).

Perjalanan dari nervus facialis dapat dibagi menjadi 6 segmen:

a. Segmen intrakranial (cisternal)


Bagian motoris dari nervus
facialis berasal dari nuclus
nervus facialis di pons
sedangkan bagian sensoris
dan parasimpatis dari
nervus facialis berasal dari
nervus intermedius.

Gambar 1. Homonculus
mengilustrasikan lokasi jaras

2
motoris dari area wajah relatif terhadap tangan dan ekstremitas atas
(Patel, 2015)

b. Segmen meatal (dari batang otak sampai ke canalis acusticus


internus)
Bagian sensoris dan motoris dari nervus facialis bergabung dan
melewati fossa cranii posterior sebelum memasuki pars petrosus
os temporalis melalui canalis acusticus internus. Setelah melewati
canalis acusticus internus, nervus facialis melalui canalis facialis
yang berilku-liku, yang dibagi menjadi segmen labyrinthine,
tympanic dan mastoid.

Gambar 2. Ilustrasi skematik yang menunjukkan nervus facialis dan


koneksi perifernya (Patel, 2015)

3
c. Segmen labyrinthine (canalis acusticus internus sampai ke
ganglion geniculatum)
Segmen ini sangat pendek dan berakhir saat nervus facialis
membentuk lekukan yang dinamakan geniculum nervus facialis
(genu), yang berisi ganglion geniculatum untuk badan sel sensoris.
Cabang pertama dari nervus facialis, nervus petrosus major,
muncul dari ganglion geniculatum. Nervus petrosus major berjalan
melalui canalis pterygoideus dan bersinaps pada ganglion
pterygopalatina. Sabut saraf postsinaptik dari nervus petrosus
major menginervasi kelenjar lakrimalis.
d. Segmen tympanic (dari ganglion geniculatum sampai eminentia
pyramidalis)
Nervus facialis berjalan melalui cavum tympani, medial terhadap
incus.
e. Segmen mastoid (dari eminentia pyramidalis sampai foramen
stylomastoid)
Eminentia pyramidalis adalah lekukan kedua dari nervus facialis,
dimana saraf berjalan turun sebagai segmen mastoid. Pada bagian
temporal dari canalis facialis, nervus facialis bercabang menuju m.
stapedius dan chorda tympani. Chorda tympani memberi fungsi
pengecapan pada 2/3 anterior lidah dan juga bersinaps dengan
ganglion submandibular. Sabut postsinaptik dari ganglion
submandibular menyuplai kelenjar sublingual dan submandibular.
f. Segmen ekstratemporal (dari foramen stylomastoid sampai ke
cabang post parotid)
Setelah keluar dari foramen stylomastoid, nervus facialis memberi
cabang nervus auricularis posterior. Nervus facialis kemudian
melalui kelenjar parotis, yang tidak diinervasi oleh nervus facialis,
membentuk plexus parotid yang kemudian memberi 5 cabang
yang menginervasi otot untuk ekspresi wajah (temporal,
zygomatic, buccal, marginalis mandibular, cervical) (Gupta, 2013).

4
Gambar 3. Nervus facialis (Moore, 2002)

2.2 Bell’s palsy

2.2.1 Definisi

BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral


karena gangguan nervus facialis perifer yang bersifat akut dengan

5
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi
yang terjadi dalam 6 bulan (Berg, 2009).

2.2.2 Etiologi

Beberapa virus diperkirakan mengakibatkan infeksi laten tanpa


gejala (contoh: virus Varicella-zoster, Epstein-Barr, herpes).
Reaktivasi infeksi virus dorman diperkirakan sebagai penyebab Bell’s
palsy akut (Furuta, 2001). Penelitian menyatakan bahwa reaktivasi
ini dapat didahului dengan trauma, faktor lingkungan dan metabolik
atau kelainan emosional (Kasse, 2003). Bell’s palsy 3 kali lebih
mungkin terjadi pada wanita hamil dibandingkan wanita tidak hamil
dan 4 kali lebih mungkin terjadi pada pasien diabetes dibandingkan
orang sehat.

2.2.3 Patofisiologi

Bell’s palsy terjadi akibat malfungsi dari nervus facialis (nervus


cranialis VII), yang mengontrol otot-otot wajah. Facial palsy adalah
ketidakmampuan untuk mengontrol pergerakan dari otot-otot untuk
ekspresi wajah. Paralisis ini adalah salah satu tipe infranuklear /
lower motor neuron.
Bell’s palsy diperkirakan akibat peradangan dari nervus facialis.
Penekanan terjadi pada nervus facialis saat saraf tersebut keluar dari
cranium di dalam kanal tulang (foramen stylomastoid), sehingga
menghambat transmisi sinyal saraf atau menyebabkan kerusakan
saraf. Pasien dengan facial palsy dengan penyebab yang dapat
teridentifikasi tidak dianggap sebagai pasien Bell’s palsy. Penyebab
yang mungkin meliputi: tumor, meningitis, stroke, diabetes mellitus,
trauma kepala dan penyakit peradangan dari saraf kranial
(sarkoidosis, brucellosis, dll). Pada kondisi-kondisi tersebut,
penemuan neurologis sangat jarang hanya terbatas pada nervus

6
facialis. Pada beberapa kasus, facial palsy bilateral terkait dengan
infeksi HIV akut.
Pada beberapa penelitian, virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1)
ditemukan pada banyak kasus yang didiagnosis Bell’s palsy. Virus ini
menyebabkan demyelinasi dari saraf. Mekanisme kerusakan saraf ini
berbeda dengan yang disebutkan di atas – dimana edema,
pembengkakan dan kompresi saraf pada kanal tulang yang sempit
merupakan penyebab kerusakan saraf. Demyelinasi tidak secara
langsung disebabkan oleh virus, tetapi oleh respon sistem imun yang
tidak diketahui.
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang
dapat mengenai satu serabut saraf perifer. Tiga derajat pertama
dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat
keempat dan kelima dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf,
seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi selama operasi,
sebagai akibat dari fraktur tulang temporal yang berat atau akibat
dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan
cepat (May, 2000).

Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan


dengan derajat trauma saraf fasialis (May, 2000)
Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan
mayor pada akson, yaitu:

a. Perubahan pada jarak antara nodus renvier.

7
b. Akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang
lebih tipis daripada akson normal
c. Terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson-akson
yang menginervasi kembali kelompok-kelompok otot yang
denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan
badan sel - motor unit yang dijumpai sebelum terjadi
degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu
tic atau kedutan involunter (May, 2000).

Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti


gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan
tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama regenerasi
mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain
faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan
disekitar nukleus saraf facialis di batang otak, sama seperti
perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari
faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi
wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut
menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May, 2000).

2.2.4 Tanda dan Gejala

Bell’s palsy dicirikan dengan kelemahan wajah unilateral yang


muncul dalam waktu 72 jam (Baugh, 2013). Pada kasus yang langka
(<1%), penyakit ini dapat terjadi pada kedua sisi sehingga
mengakibatkan paralisis wajah total.

Nervus facialis mengatur sejumlah fungsi seperti berkedip dan


menutup mata, tersenyum, mengerutkan dahi, lakrimasi, salivasi,
flaring nostril dan mengangkat alis. Saraf ini juga membawa sensasi
pengecapan dari dua pertiga anterior lidah melalui nervus chorda
tympani (cabang nervus facialis). Oleh karena itu, pasien yang
menderita Bell’s palsy dapat menderita kehilangan sensasi

8
pengecapan pada dua pertiga anterior lidah pada sisi yang sakit
(Mumenthaler, 2006).
Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan
volunter – pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena,
ekspresi akan hilang sehingga lipatan sudut nasolabialis akan
menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air
menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
sehingga fissura palpebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila
penderita disuruh untuk memejamkan matanya, maka kelopak mata
pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (lagoftalmus) dan bola
mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari bell
(lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata
yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin,
sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat
pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan
cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain
kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain
yang mengiringinya, bila paresisnya benar-benar bersifat “Bell’s
palsy”. Meskipun nervus facialis mensarafi musculus stapedius pada
telinga tengah (melalui ramus tympanic), gangguan sensitivitas suara
dan disakusis jarang muncul (Mumenthaler, 2006).

Sekalipun didefinisikan sebagai mononeuritis (melibatkan


hanya satu saraf), pasien yang didiagnosa Bell’s palsy dapat
menderita “gejala myriad neurological” meliputi “tingling pada wajah,
nyeri kepala / leher sedang atau berat, gangguan memori, gangguan
keseimbangan, paresthesia ekstremitas atas atau bawah ipsilateral
dan kelemahan ekstremitas atas atau bawah ipsilateral” yang
merupakan “disfungsi nervus facialis yang tidak dapat dijelaskan”
(Morris, 2002).

2.2.5 Diagnosis

9
Bell’s palsy merupakan diagnosis eksklusi, artinya diagnosis ini
didapatkan dengan mengeliminasi kemungkinan diagnosis yang lain.
Tidak ada tes laboratorium atau pencitraan rutin yang dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis (Baugh, 2013). Derajat kerusakan
saraf dapat dinilai menggunakan skor House-Brackmann.
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan
perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang
menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan
penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang
terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak
(akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif,
dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang. Perlu
juga ditanyakan adanya gangguan atau kehilangan pengecapan,
riwayat pekerjaan dan riwayat penyakit yang pernah diderita oleh
penderita seperti otitis atau herpes.
Pada pemeriksaan fisik – pemeriksaan neurologis – ditemukan
paresis N.VII tipe perifer. Gerakan volunter yang diperiksa,
dianjurkan minimal: mengerutkan dahi, memejamkan mata,
mengembangkan cuping hidung, tersenyum, bersiul,
mengencangkan kedua bibir (mecucu).
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki
manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada penderita
dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek
klinis.
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila
ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di kelenjar
parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan
kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy (May dkk,
1987).

10
Kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala yang mirip
meliputi: herpes zoster, Lyme disease, sarcoidosis, stroke dan tumor
otak (Baugh, 2013).

2.2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Bell’s palsy antara lain:

a. Stroke
Stroke biasanya akan menyebabkan beberapa gejala tambahan,
seperti kelemahan atau mati rasa pada tangan dan kaki. Tidak
seperti Bell’s palsy, stroke memungkinkan pasien untuk
mengontrol gerakan bagian atas dari wajah ipsilateral. Pasien
stroke biasanya juga masih memiliki kerutan di dahinya.
b. Infeksi virus herpes zoster
Perbedaan utama dari penyakit ini adalah adanya blister kecil
atau vesicle pada telinga luar dan gangguan pendengaran, tetapi
tanda ini kadang tidak ada (zoster sine herpete). Reaktivasi dari
infeksi herpes zoster menyebabkan paralisis wajah yang dikenal
sebagai Ramsay Hunt syndrome tipe 2.
c. Lyme disease
Lyme disease dapat menyebabkan facial palsy. Kadang palsy
terjadi bersamaan dengan erythema migrans rash, kadang terjadi
setelahnya. Pada daerah dimana Lyme disease sering terjadi,
penyakit ini dapat menyebabkan facial palsy pada 50% kasus
(Lorch, 2010).
d. Tumor

Penderita dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang


panjang dan progresif secara lambat dalam beberapa minggu
atau bulan dan gejala sering menetap tanpa ada penyembuhan.
Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari nervus facialis
juga diduga adanya tumor, penyakit telinga tengah yang aktif atau
suatu massa di kelenjar parotid.

11
2.2.7 Prognosis

Sebagian besar pasien Bell’s palsy pulih fungsi facialnya dalam


3 minggu – sekalipun pasien tidak mendapatkan terapi. Ketika remisi
tidak terjadi sampai minggu ke 3 atau lebih, maka pasien
kemungkinan besar akan menderita sequelae (Karnath, 2013).

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi utama adalah kehilangan kemampuan pengecapan


kronis (ageusia), spasme otot wajah kronis, nyeri wajah dan infeksi
kornea.
Komplikasi lain juga dapat terjadi pada kasus regenerasi yang
tidak sempurna dari nervus facialis yang mengalami kerusakan. Saat
regenerasi, sabut – sabut saraf umumnya mampu untuk tumbuh
pada jalur yang semestinya menuju target yang tepat – tetapi
beberapa sabut saraf dapat tumbuh menyimpang sehingga
menyebabkan kondisi yang disebut dengan synkinesis. Contohnya,
regenerasi saraf yang seharusnya mengatur otot di sekitar mata,
beberapa sabut saraf dapat tumbuh menyimpang sehingga
mencapai otot mulut. Akibatnya, pada saat pasien menutup mata,
sudut mulut dapat mengangkat secara involunter.

Sekitar 9% pasien menderita sequelae setelah menderita Bell’s


palsy, misalnya synkinesis, spasme, kontraktur, tinnitus dan/atau
kehilangan pendengaran dan crocodile tear syndrome – disebut juga
refleks gustatolakrimal atau Bogorad’s syndrome dimana pasien
akan mengeluarkan air mata saat sedang makan. Hal ini disebabkan
karena pertumbuhan menyimpang dari nervus facialis – cabang yang

12
mengontrol kelenjar lakrimal dan kelenjar saliva. Gustatorial
sweating juga dapat terjadi.

2.2.9 Terapi

Pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema dan


kompresi nervus facialis. Secara garis besar, penatalaksanaan Bell’s
palsy dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Medikamentosa
Kortikosteroid seperti prednisone meningkatkan
penyembuhan dalam 6 bulan awal dan dengan demikian sangat
dianjurkan (Madhok, 2016). Pengobatan awal (dalam 3 hari
setelah onset gejala) sangat memberikan hasil dengan 14% lebih
besar kemungkinan penyembuhan (Gronseth, 2012).
Antiviral (seperti aciclovir) tidak efektif untuk meningkatkan
penyembuhan Bell’s palsy dibandingkan steroid (Turgeon, 2015).
b. Rehabilitasi medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan
yang ditujukan mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai
integritas social. Tujuan rehabilitasi medik adalah :
 Meniadakan keadaan cacat bila mungkin.
 Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin.
 Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat
hidup dan bekerja dengan apa yang dimiliki.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitsi medik
yang efektif dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik
yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis
prostetik, ahli wicara, psikolog, petugas social medik dan perawat
rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha
gabungan terpadu dari segi medik, social dan kekaryaan, maka
tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk

13
mengurangi / mencegah paresis menjadi bertambah dan
membantu mengatasi masalah sosial serta psikologinya agar
penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-
hari. Program-program yang dapat diberikan adalah program
fisioterapi, okupasi terapi, social medik, psikolog dan ortotetik
prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara
tidak banyak berperan.
 Program Fisioterapi
o Pemanasan
- Pemanasan superficial dengan infrared.
- Pemanasan berupa Short Wave Diathermy atau
Microwave Diathermy.
o Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot
untuk mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil
menunggu proses regenarasi dan memperkuat otot yang
masih lemah. Misalnya dengan faradiasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot,
melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
o Latihan otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunteer otot wajah diberikan setelah fase
akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik,
mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut
mulut, tersenyut, bersiul/mecucu (dilakukan didepan kaca
dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah maipulasi sistemik dan ilmiah dari
jaringan tubuh dengan maksud untuk
perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi
gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle

14
massage memberikan efek mengurangi edema,
memberikan relaksasi otot dan mepertahankan tonus otot.
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneding Massage
sebelum latihan gerak volunter wajah. Deep Kneding
Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh
darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa
metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan
nutrisi serabut otot dan meningkatkan gerakan
intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.
Massage daerah wajah terbagi 4 area yaitu dagu, mulut,
hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan ke atas,
lamanya 5-10 menit
 Program terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada
otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-
hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa
latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan
sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan
berkumur, latihan minum dengan mengguakan sedotan,
latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan
dahi di depan cermin.
 Program social medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dri
pergaulan sosial. Masalah sosial biasanya berhubungan
dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat
membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja,
mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian
yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk
masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas
kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu
memberukan penyuluhan bahwa kerja sama penderita

15
dengan petugas yang merawat sangat penting untuk
kesembuhan penderita
 Program psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu diaman ada gangguan psikis
amat menonjol, cemas ringan sering menyertai penderita
terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di
depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangan
diperlukan.
 Program ortotetik prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar
sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester
diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit
yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika
dalam waktu 3 bulan belum ada perubahn pada penderita
setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk
mencegah teregangnya otot zygomaticus selama paresis dan
mencegah terjadinya kontraktur.
 Home program
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20
menit.
- Massage wajah yang sakit kearah atas dengan
menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat.
- Latihan meniup lilin, berkumur, mengunyah makanan
dengan sisi yang sakit, minum dengan sedotan,
mengunyah permen karet.
- Perawatan mata berupa: pemberian tetes mata (golongan
artificial tears) 3 kali sehari, memakai kacamata gelap
sewaktu bepergian siang hari dan biasakan menutup
kelopak mata secara pasif sebelum tidur.
c. Pembedahan

16
Ada beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan. Salah
satunya adalah smile surgery atau smile reconstruction yang
merupakan prosedur bedah untuk mengembalikan fungsi nervus
facialis pada pasien dengan paralisis nervus facialis. Tetapi
American Academy of Neurology tahun 2007 tidak
merekomendasikan dekompresi saraf melalui prosedur
pembedahan (Tiemstra, 2007).

BAB 3
KESIMPULAN

BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral


karena gangguan nervus facialis perifer yang bersifat akut dengan
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan.
Gambaran klinis pasien Bell’s palsy dapat berupa hilangnya semua
gerakan volunter pada sisi wajah yang terkena – ekspresi wajah hilang,
lipatan sudut nasolabialis hilang, sudut mulut menurun, bila minum atau
berkumur air menetes dari sudut mulut yang mengalami lesi, kelopak mata
tidak dapat dipejamkan sehingga fissura palpebra melebar, lagoftalmus,
kerut dahi menghilang, epifora, dalam mengembungkan pipi terlihat pada
sisi yang lumpuh tidak mengembung, makanan cenderung terkumpul
diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh.
Terapi dari bagian kedokteran fisik dan rehabilitasi medik yang dapat
diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, social medik,
psikologik , ortotetik prostetik dan home program yang bertujuan untuk
mengurangi / mencegah parese menjadi bertambah serta mengatasi
masalah sosial dan mental penderita agar tetap dapat melakukan aktivitas
sehari-hari dengan baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Berg, T. 2009. “Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta


Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of
Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460.47 pp.
Uppsala.
2. Patel, Alpen A; Tanna, Neil (2015). “Facial Nerve Anatomy”
received from https://emedicine.medscape.com/article/835286-
overview#a1 17 Januari 2018.
3. Gupta, Sachin; Francine, Mends; Mari Hagiwara, Girish
Fatterpekar; Pamela C. Roehm (2013). “Imaging the Facial Nerve:
A Contemporary Review”. Radiology Research and Practice. 2013:
-248039. Doi:10.1155/2013/248039. ISSN 2090-1941.
4. Fuller, G; Morgan, C (31 March 2016). “Bell’s palsy syndrome:
mimics and chameleons”. Practical Neurology. 16: 439-444.
doi:10.1136/practneurol-2016-001383. PMID 27034243.
5. Furuta Y, Ohtani F, Chida E, Mesuda Y, Fukuda S, Inuyama Y
(2001). “Herpes simplex virus type 1 reactivation and antiviral
therapy in patients with acute peripheral facial palsy”. Auris Nasus

18
Laynx. 28 (Suppl): S13-7. doi:10.1016/S0385-8146(00)00105-X.
PMID 11683332.
6. Grewal, D. S. (2014). “Atlas of Surgery of the Facial Nerve: An
Otolaryngologist’s Perspective”. Jaypee Brothers Publishers. p.46.
ISBN 9789350905807.
7. Kasse C.A; Ferri R.G; Vietler E.Y.C; Leonhardt F.D; Testa J.R.G;
Cruz O.L.M (October 2003). “Clinical data and prognosis in 1521
cases of Bell’s palsy”. International Congress Series. 1240:641-7.
doi:10.1016/S0531-5131(03)00757-X.
8. May, M, Schaitkin, B.M. 2000.The facial nerve. Thieme. New York
9. Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2nd Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Batimore
10. Baugh, RF; Basura, GJ; Ishii, LE; Schwartz, SR; Drumheller, CM;
Burkholder, R; Deckard, NA; Dawson, C; Driscoll, C; Gillespie, MB;
Gurgel, RK; Halperin, J; Khalid, AN; Kumar, KA; Micco, A; Munsell,
D; Rosenbaum, S; Vaughan, W (November 2013). "Clinical Practice
Guideline: Bell's Palsy Executive Summary". Otolaryngology–Head
and Neck Surgery. 149 (5): 656–63.
doi:10.1177/0194599813506835. PMID 24190889.
11. Mumenthaler, Mark; Mattle, Heinrich (2006). Fundamentals of
Neurology. Germany: Thieme. p. 197. ISBN 3131364513.
12. Morris AM; Deeks SL; Hill MD; et al. (2002). "Annualized incidence
and spectrum of illness from an outbreak investigation of Bell's
palsy". Neuroepidemiology. 21 (5): 255–61.
doi:10.1159/000065645. PMID 12207155.
13. Lorch, M; Teach, SJ (Oct 2010). "Facial nerve palsy: etiology and
approach to diagnosis and treatment". Pediatric Emergency Care.
26 (10): 763–9; quiz 770–3. doi:10.1097/PEC.0b013e3181f3bd4a.
PMID 20930602.
14. Karnath, B. "Bell Palsy: Updated Guideline for Treatment".
Consultant. HMP Communications. Archived from the original on
February 25, 2013.

19
15. Madhok, VB; Gagyor, I; Daly, F; Somasundara, D; Sullivan, M;
Gammie, F; Sullivan, F (18 July 2016). "Corticosteroids for Bell's
palsy (idiopathic facial paralysis)". Cochrane Database of
Systematic Reviews. 7: CD001942.
doi:10.1002/14651858.CD001942.pub5. PMID 27428352.
16. Gronseth, GS; Paduga, R (Nov 7, 2012). "Evidence-based
guideline update: Steroids and antivirals for Bell palsy: Report of
the Guideline Development Subcommittee of the American
Academy of Neurology". Neurology. 79 (22): 2209–13.
doi:10.1212/WNL.0b013e318275978c. PMID 23136264.

17. Turgeon, RD; Wilby, KJ; Ensom, MH (June 2015). "Antiviral


Treatment of Bell's Palsy Based on Baseline Severity: A Systematic
Review and Meta-analysis". The American Journal of Medicine. 128
(6): 617–28. doi:10.1016/j.amjmed.2014.11.033. PMID 25554380.
18. Tiemstra, JD; Khatkhate, N (Oct 1, 2007). "Bell's palsy: diagnosis
and management". American Family Physician. 76 (7): 997–1002.
PMID 17956069.

20

Anda mungkin juga menyukai