Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,

penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan

pendengaran, dan kelainan neurologi lainnya atau kelainan loka penyebab yang mungkin

telah disingkirkan. Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi dan Cawthorne

adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan

sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell

diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui

penyebabnya. Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan

saraf fasialis perifer akut.

Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari

empat rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19.55% dari

seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-50 tahun, peluang untuk terjadinya

pada pria dan wanita sama. Tidak ditemukan perbedaan insiden antara iklim panas

maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita ditemukan adanya riwayat terkena udara

dingin atau angin berlebihan. Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang

bilateral dan dapat berulang. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per

100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat

pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan

riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.

Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang

terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga

mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak

1
ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi

air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat

terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah

menjadi kelumpuhan komplit.

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fascialis harus dibedakan kelumpuhan sentral

atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi

masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra

lateral sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan akut N. Fasialis perifer yang tidak

diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama meneliti

beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan N.

Fasialis perifer yang tidak di ketahui sebabnya disebut Bell ’s Palsy.

Bell’s palsy dapat didefinisikan menjadi kelumpuhan fasialis perifer akibat proses

non -supuratif, non neo-plasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin

akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau

sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh

sendiri tanpa pengobatan.

2.2 Anatomi

Saraf fasialis memiliki nukleus yang terletak di dalam medulla oblongata.

Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik yang melayani otot-otot mimik dan akar

sensorik khusus (nervus intermedius). Saraf ini muncul di permukaan anterior

antara pons dan medulla oblongata (angulus pontocerebelaris). Akar sarafnya

berjalan bersama nervus vestibulo-cochlearis dan masuk ke meatus akustikus

internus pada pars petrosa dari tulang temporal (Snell, 2012). Saraf terletak di

antara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan vestibulum saat

berjalan dari meakus akustikus internus menuju ventrolateral. Saraf memasuki

kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah dorsolateral. Saraf

menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk sudut di atas

promontorium yang disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian berjalan turun

pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os temporal melalui foramen

3
stylomastoideus. Saraf tetap berjalan menembus glandula parotis untuk memberi

persarafan pada otot-otot mimik (Snell, 2012).

Gambar 2.1 Percabangan saraf fasialis

Saraf fasialis memiliki lima percabangan penting sebagai berikut:

a. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini

memiliki cabang preganglionic parasimpatetik yang memberi sinaps pada

ganglion pterygopalatina. Serat-serat saraf ini memberi percabangan

sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan palatum.

Saraf ini juga mengandung serat afferen yang didapat dari taste bud dari

mukosa palatum.

b. Saraf stapedius, memberi persarafan pada muskulus stapedius di telinga

tengah.

4
c. Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum timpani.

Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian atas

membran timpani dan meninggalkan telinga tengah melalui fisura

petrotimpanikus dan memasuki fossa infratemporal dan bergabung dengan

nervus lingualis. Korda timpani memiliki serat preganglionik parasimpatetik

berupa serat sekremotorik yang memberi persarafan pada kelenjar liur

submandibular dan sublingual. Korda timpani juga memiliki serat saraf taste

bud dari 2/3 anterior lidah dan dasar mulut.

d. Nervus aurikularis posterior memberi persarafan otot aurikel dan muskulus

temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah saraf keluar

dari foramen stylomastoideus. Cabang ini memberi persarafan pada muskulus

stylohyoid dan muskulus digastricus posterior.

e. Lima cabang terminal untuk otot-otot mimik. Cabang-cabang itu adalah

cabang temporal, cabang zigomatik, cabang buccal, cabang mandibular dan

cabang cervical (Snell, 2012). Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur

parotis setelah meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan

cabang terminal di batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini menuju

otot-otot mimik di wajah dan region scalp. Cabang buccal untuk muskulus

buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan muskulus

depressor anguli oris.

Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini mengontrol mimik wajah (facial

expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan untuk sensasi rasa dari anterior

lidah, dasar mulut dan palatum (Snell, 2012)

Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:

5
No Nama Otot Fungsi Persarafan
1. M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis
N. Zigomatikum dan
M.Corrugator Mendekatkan kedua
2.
supercili pangkal alis
N.Temporalis
N. Zigomatikum,
Mengerutkan kulit antara
N.Temporalis,
3. M.Procerus
kedua alis
N. Buccal
N.Fasialis,

4. M. Orbicularis Oculli Menutup kelopak mata N.Temporalis, N.

Zigomatikus
Mengembangkan cuping
5. M. Nasalis N. Fasialis
hidung
M. Depresor anguli Menarik ujung mulut ke
6. N. Fasialis
oris bawah
N. Fasialis,

N. Zigomatikum,
Meniup sambil menutup
7. M. Buccinator
mulut
N. Mandibular,

N. Buccal
N. Fasialis dan
8. M. Mentalis Mengangkat dagu
N. Buccal

2.3 Epidemiologi

Bell’s palsy merupakan penyakit pada nervus fasialis yang paling sering terjadi.

Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika berturut-

turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di Belanda (1987)

1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20,000 anak per tahun

6
(Sukardi, 2004). Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia

diperoleh frekuensi BP sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan

terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko

29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. BP mengenai laki-laki dan wanita

dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19

tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.

Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan

timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10

kali lipat (Djamil, 2003).

2.4 Etiologi

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu

iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih

banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Mekanisme pasti yang terjadi akibat

infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui. Inflamasi dan edema

diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan melewati terowongan

sempit menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan kerusakan saraf

tersebut baik secara sementara maupun permanen (Baugh et al. 2013). Virus yang

menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks (de Almeida et al. 2014).

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi

7
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses

inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus

8
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang

temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis

fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar

sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya

inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari

konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat

gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear

bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar

ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah

di korteks motorik primer. Nervus fasialis terjepit di dalam foramen

stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa

terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di

foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons

yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis

medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan

muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis

nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral

dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).

(Bachrudin,2011).

9
Gambar 2.2

2.6 Gejala klinis

a. Onset mendadak, beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari) ,

unilateral, paralisis otot wajah

b. Alis turun, kerutan dahi menghilang pada sisi lesi

c. Wajah merot ke sisi konralateral

d. Lipatan nasobial menghilang

e. Sudut mulut menurun

f. Tidak dapat menutup mata (kelemahan kelopak mata) atau lagoftalmos

g. Lakrimasi meningkat (epifora) yang diikuti penururnan produksi air mata

( mata kering

10
h. Hyperacusis

i. Pengecapan anterior 2/3 lidah menurun

2.7 Diagnosa

Anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah hal yang paling vital pada diagnosa

pasien dengan Bell’s palsy. Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan

gejala klinik adanya kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan

neurologi lain untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan nervus

fasialis perifer.

Dari anamnesa adanya faktor resiko seperti paparan dingin (kehujanan, udara

malam, AC), infeksi terutama virus (HSV tipe 1, varicella zooster), penyakit

autoimun, diabetes mellitus, hipertensi, dan kehamilan

Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi

wajah sesuai dengan otot yang diberi persarafan oleh nervus fasialis. Pemeriksaan

ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian,

pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke

atas.Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan padatelinga pasien maka

suara akan terdengar lebih jelas padasisi cabang muskulus stapedius yang paralisis

(Mujadidah,2017)

Pemeriksaan penunjang :

1. Elektromiografi

Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-

otot wajah.

2. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah

11
Pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis

(gula), rasa asam dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri

membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan

stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau

metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. Fasialis

setinggi khorda timpani atau proksimalnya

3. Uji Schirmer

Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di

belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian

berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau

mengeringnya air mata menunjukkan lesi n.fasialis setinggi ggl.

Genikulatum (Bachruddin, 2011).

2.8 Diagnosa banding

1. Gullain Barre Syndrome (GBS)

Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan

seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan

apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi

yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh

kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit

menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap

kerja sistem syaraf. Gejala klinis : riwayat infeksi 1-2 minggu sebelumnya,

bersifat akut, paresis bilateral, oftalmoplegia, diplopia, disfagia, disartria.

12
2. Myasthenia Gravis

Penyakit autoimun yang disebabkan karena penurunan jumlah AchR (reseptor

Ach) pada neuromuscular junction pada post sinaps (Ach yang bekerja hanya

30%) yang ditandai dengan gejala kelemahan otot skeletal.

Gejala klinis : ptosis, diplopia, disfagia,disarthria, disuruh menghitung 1-100

pasien tidak mampu, gangguan pada otot lengan proksimal, kelemahan pada

kedua tungkai proksimal, memberat setelah aktifitas, ringan ketika istirahat.

3. Tumor Serebello-Pontin

Tumor Serebello-Pontin adalah tumor yang berasal dari luar serebelum juga dapat

menimbulkan tanda serebelaris. Ini merupakan tumor non maligna yang berasal

dari sel schwann pars vestibularis nervus VIII dan mengisi sudut pontoserebelaris.

Gejala klinis : tinistus, berkurangnya pendengaran progresive, episodik vertigo.

Perkembangan tumor tahap awal akan timbul gangguan nervus cranialis, dimulai

dari N VII dan V menimbulakan penurunan reflek kornea, kelumpuhan N VII, dan

unilateral hypagelsia.

2.9 Tatalaksana

a. Terapi Non-farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.Proteksinya

dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas

(saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau

tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).

Masase dari ototyang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat

wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya

efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini

13
kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset. Rehabilitasi

fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset

terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis.Namun, diketahui

pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan

valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan

neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah.

Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan

penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan

relaksasi.Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah

sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang

lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan

gerak yangdibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per

hari dan menghindari gerakan wajah berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi

ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat,

mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi

yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif

dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback visual) dengan

melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap

untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan

sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.Berikutnya adalah

kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah

ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan

terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak

dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca

seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan

14
sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-

relaksasi. Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien

dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan

hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupamobilisasi jaringan lunak dalam

otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus

pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau

audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.

Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah menjalani 16

minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan

sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk

memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi

emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit

atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung

Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan

pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi

secara berurutan pada pasien.

b. Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin

dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi

kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis

fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam

dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis

pemberian prednison (maksimal 40-60mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70

mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari

tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan

15
steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,

diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan

terhadap infeksi), dan Cushing syndrome. Ditemukannya genom virus di

sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam

penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan

bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan

kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil

yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/

valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan

prednisolon. Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir

dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. de Almeida et al menemukan

bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan

risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja.

Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72

jam pertama setelah onset. Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada

1987pasien dan Quant et aldengan 1145 pasien menunjukkan tidak adanya

keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal

angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik

dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan

kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan

keuntungan penggunaan terapi kombinasi. Dosis pemberian asiklovir untuk

usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat

kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan

dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian

selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah

16
3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000mg per hari secara oral

dibagi 2-3 kali selama lima hari.Efek samping jarang ditemukan pada

penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan

berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

2.10 Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang

tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy,

adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang

menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi

sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia

(hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak

sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu

gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan

elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat

memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan

setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air

mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm

(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah

yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian

mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

2.11 Prognosis

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai

cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan

Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik

17
dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan

5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang

dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat),

riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan

pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi

mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan

kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah

paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian

kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan

dalam minggu pertama. Kimura et almenggunakan blink reflex sebagai prediktor

kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali

terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif.

Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis,

House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk

mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bell’s

palsy.

18
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 41 tahun

Agama : Islam

Alamat : Klender –Jakarta

Pendidikan : SMA

Status : Menikah

Pekerjaan : Supir

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Pasien merasa wajahnya mencong ke arah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

Hal tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu, mencong dirasakan saat aktivitas

, mata sebelah kiri selalu mengeluarkan air mata, saat minum air mengalir dari

bibirnya sebelah kiri. Susah makan, sakit kepala kiri berdenyut.. Tidak ada

mual dan muntah. Tidak ada sesak. BAB dan BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya tidak mempunyai penyakit seperti ini. Riwayat penyakit herpes

disangkal. Hipertensi disangkal, penyakit jantung disangkal, stroke disangkal,

diabetes melitus disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita hal yang serupa seperti

pasien. Sepupu mempunyai penyakit diabetes melitus.

19
Riwayat Pengobatan

decolgen dan panadol jika saat sakit kepala

Riwayat Kebiasaan

Makan bergizi. Tidak merokok dan tidak minum Alkohol. Pasien tidur di

rumah tepat dibawah Ac.

C. PEMERIKSAAN FISIK

- Keadaan Umum : pasien tampak sakit sedang

- Kesadaran : compos mentis

- GCS : 15  Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6

- Tanda Vital

Tekanan darah : 120/90 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 37oC

D. STATUS GENERALIS

Kepala : normochepal

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung : deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga : normotia, sekret (-)

Mulut : bibir tampak kering

Leher : tidak ada pembesaran KGB, tidak ada pembesaran tiroid

Thoraks

Inspeksi : pergerakan dada simetris, tidak ada lesi

Palpasi : Vocal fremitus normal

Perkusi : Tidak dilakukan

20
Auskultasi

Paru : suara napas vesikular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung : bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada gallop dan murmur

Abdomen

Inspeksi : abdomen datar

Auskultasi : bising usus normal

Perkusi : timpani di seluruh region abdomen

Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegaly (-)

Ekstremitas

Superior : akral hangat, RCT < 2detik, edema (-), sianosis (-)

Inferior : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

E. STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : compos mentis

GCS : 15  Eye: 4, Verbal: 5, Motorik: 6

Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : negatif

Kernig : negatif

Lasegue : negatif

Brudzinski I, II: negatif

21
F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIAL

1. Nervus Olfaktorius

Dextra Sinistra
Daya Pembau Normosmia Normosmia

2. Nervus Optikus

3. Nervus Optikus

22
4. Nervus Trokhlearis

Dextra Sinistra
Gerakan mata medial Baik Baik

bawah

5. Nervus Trigeminus

Menggigit Normal
Membuka Mulut Normal
Sensibilats
Oftalmikus + +
Maksilaris + +
Mandibularis + +
Refleks kornea Tidak dilakukan
Refleks bersin Tidak dilakukan

6. Nervus Abdusens

Dextra Sinistra
Gerakan mata ke lateral + +

7. Nervus Facialis

23
8. Nervus Vestibulocochlearis

9. Nervus Glosofaringeus dan Nervus Vagus

10. Nervus Assesorius

Dextra Sinistra
Memalingkan kepala Baik Baik
Mengangkat bahu Baik Baik

11. Nervus Hipoglosus

Sikap lidah Tidak ada deviasi

24
Fasikulasi -
Tremor Lidah -
Atrofi otot lidah -

G. PEMERIKSAAN MOTORIK

25
H. PEMERIKSAAN SENSORIK

RESUME

Pasien Laki-laki 41 tahun datang dengan keluhan merasa wajahnya mencong ke

arah kanan Hal tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu, mencong dirasakan saat

aktivitas , mata sebelah kiri selalu mengeluarkan air mata, saat minum air

mengalir dari bibirnya sebelah kiri. Susah makan, sakit kepala kiri berdenyut.

Pemeriksaan fisik

Keadaan Umum : pasien tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

26
Tekanan darah : 120/90 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 37oC

Status neurologis

Di dapatkan pada pasien ini terjadi gangguan di N.VII

DIAGNOSA

• Diagnosa Klinis : Ipsiparese nervus VII sinistra

• Diagnosa Etiologi : susp. Bells palsy

• Diagnosa Topis : nervus VII

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

• CT-Scan

TERAPI

Non-farmakologis:

1. Istirahat terutama pada keadaan akut .

2. Tiap malam mata diplester .

Gunanya melatih mata yang tidak dapat menutup supaya dapat menutup

bersamaan.

27
Farmakologis:

1. Prednison 60mg per hari untuk 5 hari

2. Acyclovir 400mg 5x sehari untuk 7 hari

PROGNOSIS

• Quo ad vitam : dubia ad bonam

• Quo ad functionam : dubia ad bonam

28
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Bell’s palsy merupakan sindroma klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat

perifer. Keterlibatan virus herpes simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai

penyebab kerusakan saraf tersebut. Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis bell’s

palsy dapat berbeda. Bisa lesi di foramen stylomastoid, dapat terjado gangguan

komplit yang menyebabkan paralisis semua otot elspresi wajah. Saat menutup

kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (bell’s phenomenom). Selain

itu, mata dapat terasaz berarir karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang di

bantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya di

tunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat adanya

gangguan wajah dan air liur dari sudut mulut.

Sekitar 5% pasien setelah menderita bell’s palsy mengalami sekuele berat.

Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat bell’s palsy adalah (1) regenerasi

motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh

atau beberapa muskulus fasialis. (2) regenerasi sensorik inkomplit yang

menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan),

dan distesia (gangguan sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal). (3)

reinervasi yang salah dari saraf fasialis.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin ,Moch. 2011. Bell’s Palsy (BP). Vol. 7 No. 15 Desember 2011

Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy, Otolaryngology-Head

and Neck Surg. J., Vol.149,pp.S1–S27.

De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline.

CMAJ : Canadian Med. Ass. J, Vol. 186(12), pp. 917– 922.

Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture Notes

Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35.

Lo B. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010.

Mujaddidah, Nur. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik Dan Manajemen Bell’s Palsy. Qanun

Medika vol.I no.2 | Juli 2017

Snell, RS. (2012). Clinical Anatomy By Regions 9th Edition. Philadelphia, Lippincott

Williams & Wilkins.

30

Anda mungkin juga menyukai