PENDAHULUAN
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan
pendengaran, dan kelainan neurologi lainnya atau kelainan loka penyebab yang mungkin
telah disingkirkan. Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi dan Cawthorne
adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan
sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell
diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui
penyebabnya. Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan
Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari
empat rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19.55% dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-50 tahun, peluang untuk terjadinya
pada pria dan wanita sama. Tidak ditemukan perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita ditemukan adanya riwayat terkena udara
dingin atau angin berlebihan. Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang
bilateral dan dapat berulang. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per
100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat
pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan
Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang
terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga
mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak
1
ada gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi
air mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelum-puhan saraf fasialis dapat
terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah
atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi
masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan akut N. Fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama meneliti
Bell’s palsy dapat didefinisikan menjadi kelumpuhan fasialis perifer akibat proses
akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh
2.2 Anatomi
Saraf fasialis memiliki akar saraf motorik yang melayani otot-otot mimik dan akar
internus pada pars petrosa dari tulang temporal (Snell, 2012). Saraf terletak di
antara alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan vestibulum saat
kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah dorsolateral. Saraf
menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk sudut di atas
pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os temporal melalui foramen
3
stylomastoideus. Saraf tetap berjalan menembus glandula parotis untuk memberi
a. Nervus petrosus superfisialis mayor keluar dari ganglion geniculi. Saraf ini
sekromotorik pada kelenjar lakrimalis dan kelenjar pada hidung dan palatum.
Saraf ini juga mengandung serat afferen yang didapat dari taste bud dari
mukosa palatum.
tengah.
4
c. Korda timpani muncul di kanalis fasialis di dinding posterior kavum timpani.
Bagian saraf ini langsung menuju permukaan medial dari bagian atas
submandibular dan sublingual. Korda timpani juga memiliki serat saraf taste
temporalis. Terdapat juga cabang muskularis yang keluar setelah saraf keluar
cabang cervical (Snell, 2012). Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur
otot-otot mimik di wajah dan region scalp. Cabang buccal untuk muskulus
Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini mengontrol mimik wajah (facial
expression), salivasi dan lakrimasi serta digunakan untuk sensasi rasa dari anterior
5
No Nama Otot Fungsi Persarafan
1. M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis
N. Zigomatikum dan
M.Corrugator Mendekatkan kedua
2.
supercili pangkal alis
N.Temporalis
N. Zigomatikum,
Mengerutkan kulit antara
N.Temporalis,
3. M.Procerus
kedua alis
N. Buccal
N.Fasialis,
Zigomatikus
Mengembangkan cuping
5. M. Nasalis N. Fasialis
hidung
M. Depresor anguli Menarik ujung mulut ke
6. N. Fasialis
oris bawah
N. Fasialis,
N. Zigomatikum,
Meniup sambil menutup
7. M. Buccinator
mulut
N. Mandibular,
N. Buccal
N. Fasialis dan
8. M. Mentalis Mengangkat dagu
N. Buccal
2.3 Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan penyakit pada nervus fasialis yang paling sering terjadi.
turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di Belanda (1987)
1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20,000 anak per tahun
6
(Sukardi, 2004). Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia
terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.
timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10
2.4 Etiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih
banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Mekanisme pasti yang terjadi akibat
infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui. Inflamasi dan edema
diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan melewati terowongan
sempit menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan kerusakan saraf
tersebut baik secara sementara maupun permanen (Baugh et al. 2013). Virus yang
menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes simpleks (de Almeida et al. 2014).
7
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
8
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons
yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
(Bachrudin,2011).
9
Gambar 2.2
( mata kering
10
h. Hyperacusis
2.7 Diagnosa
Anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah hal yang paling vital pada diagnosa
fasialis perifer.
Dari anamnesa adanya faktor resiko seperti paparan dingin (kehujanan, udara
malam, AC), infeksi terutama virus (HSV tipe 1, varicella zooster), penyakit
wajah sesuai dengan otot yang diberi persarafan oleh nervus fasialis. Pemeriksaan
ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian,
pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke
suara akan terdengar lebih jelas padasisi cabang muskulus stapedius yang paralisis
(Mujadidah,2017)
Pemeriksaan penunjang :
1. Elektromiografi
otot wajah.
11
Pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis
membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan
stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau
3. Uji Schirmer
berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan
seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan
apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi
yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh
kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit
kerja sistem syaraf. Gejala klinis : riwayat infeksi 1-2 minggu sebelumnya,
12
2. Myasthenia Gravis
Ach) pada neuromuscular junction pada post sinaps (Ach yang bekerja hanya
pasien tidak mampu, gangguan pada otot lengan proksimal, kelemahan pada
3. Tumor Serebello-Pontin
Tumor Serebello-Pontin adalah tumor yang berasal dari luar serebelum juga dapat
menimbulkan tanda serebelaris. Ini merupakan tumor non maligna yang berasal
dari sel schwann pars vestibularis nervus VIII dan mengisi sudut pontoserebelaris.
Perkembangan tumor tahap awal akan timbul gangguan nervus cranialis, dimulai
dari N VII dan V menimbulakan penurunan reflek kornea, kelumpuhan N VII, dan
unilateral hypagelsia.
2.9 Tatalaksana
a. Terapi Non-farmakologis
dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas
(saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau
tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
Masase dari ototyang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat
wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya
13
kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset. Rehabilitasi
fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset
sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang
gerak yangdibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per
hari dan menghindari gerakan wajah berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi
yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif
sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.Berikutnya adalah
kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah
14
sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-
otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus
Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah menjalani 16
minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan
b. Terapi Farmakologis
fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam
mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan
15
steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,
yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/
Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72
jam pertama setelah onset. Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada
angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik
usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat
dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian
selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah
16
3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000mg per hari secara oral
dibagi 2-3 kali selama lima hari.Efek samping jarang ditemukan pada
2.10 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy,
(hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak
sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu
elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat
memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan
setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air
mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm
(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah
yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian
2.11 Prognosis
Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan
Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik
17
dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan
5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang
dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat),
pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi
kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif.
mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bell’s
palsy.
18
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K
Usia : 41 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Pekerjaan : Supir
B. ANAMNESIS
Hal tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu, mencong dirasakan saat aktivitas
, mata sebelah kiri selalu mengeluarkan air mata, saat minum air mengalir dari
bibirnya sebelah kiri. Susah makan, sakit kepala kiri berdenyut.. Tidak ada
mual dan muntah. Tidak ada sesak. BAB dan BAK normal.
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita hal yang serupa seperti
19
Riwayat Pengobatan
Riwayat Kebiasaan
Makan bergizi. Tidak merokok dan tidak minum Alkohol. Pasien tidur di
C. PEMERIKSAAN FISIK
- Tanda Vital
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37oC
D. STATUS GENERALIS
Kepala : normochepal
Thoraks
20
Auskultasi
Jantung : bunyi jantung I dan II normal, regular, tidak ada gallop dan murmur
Abdomen
Ekstremitas
Superior : akral hangat, RCT < 2detik, edema (-), sianosis (-)
Inferior : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
E. STATUS NEUROLOGIS
Rangsang Meningeal
Kernig : negatif
Lasegue : negatif
21
F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIAL
1. Nervus Olfaktorius
Dextra Sinistra
Daya Pembau Normosmia Normosmia
2. Nervus Optikus
3. Nervus Optikus
22
4. Nervus Trokhlearis
Dextra Sinistra
Gerakan mata medial Baik Baik
bawah
5. Nervus Trigeminus
Menggigit Normal
Membuka Mulut Normal
Sensibilats
Oftalmikus + +
Maksilaris + +
Mandibularis + +
Refleks kornea Tidak dilakukan
Refleks bersin Tidak dilakukan
6. Nervus Abdusens
Dextra Sinistra
Gerakan mata ke lateral + +
7. Nervus Facialis
23
8. Nervus Vestibulocochlearis
Dextra Sinistra
Memalingkan kepala Baik Baik
Mengangkat bahu Baik Baik
24
Fasikulasi -
Tremor Lidah -
Atrofi otot lidah -
G. PEMERIKSAAN MOTORIK
25
H. PEMERIKSAAN SENSORIK
RESUME
arah kanan Hal tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu, mencong dirasakan saat
aktivitas , mata sebelah kiri selalu mengeluarkan air mata, saat minum air
mengalir dari bibirnya sebelah kiri. Susah makan, sakit kepala kiri berdenyut.
Pemeriksaan fisik
26
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37oC
Status neurologis
DIAGNOSA
• CT-Scan
TERAPI
Non-farmakologis:
Gunanya melatih mata yang tidak dapat menutup supaya dapat menutup
bersamaan.
27
Farmakologis:
PROGNOSIS
28
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Bell’s palsy merupakan sindroma klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat
penyebab kerusakan saraf tersebut. Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis bell’s
palsy dapat berbeda. Bisa lesi di foramen stylomastoid, dapat terjado gangguan
komplit yang menyebabkan paralisis semua otot elspresi wajah. Saat menutup
kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (bell’s phenomenom). Selain
itu, mata dapat terasaz berarir karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang di
tunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat adanya
Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat bell’s palsy adalah (1) regenerasi
dan distesia (gangguan sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal). (3)
29
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin ,Moch. 2011. Bell’s Palsy (BP). Vol. 7 No. 15 Desember 2011
Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy, Otolaryngology-Head
De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline.
Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture Notes
Mujaddidah, Nur. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik Dan Manajemen Bell’s Palsy. Qanun
Snell, RS. (2012). Clinical Anatomy By Regions 9th Edition. Philadelphia, Lippincott
30