Anda di halaman 1dari 30

A.

Definisi

Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron

akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut di luar sistem

saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

(Thamrinsyam,2020). Bell’s palsy adalah suatu kondisi dimana otot " otot

wajah di satu sisi menjadi bengkak dan meradang yang mengakibatkan

setengah wajah akan tampak terkulai dan tak bertenaga (Foster, 2008).

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir

Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi

virus atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan

penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini

menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 juga berperan pada kebanyakan

kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain

dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya

dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik.

(Widowati, 2000).

B. Etiologi

Awalnya, penyebab Bell’s Palsy dikatakan Idiopatik. Akan tetapi,

beberapa waktu terakhir ini telah diidentifikasi gen Herpes simpleks virus

(HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Murakami et all.

melakukan tes PCR (Polymerase Chain Reaction) pada cairan endoneural N-

VIII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan

menemukan HRV dalam cairan endoneural. Apabila HRV diinokulasi pada


telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus

fasialis dan ganglion genikulatum. Banyak kontroversi mengenai etiologi dari

Bell’s palsy, tetapi ada beberapa teori yang dihubungkan dengan etiologi

Bell’s palsy yaitu:

1. Teori /skemik vaskuler

Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena

gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.

2. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah

Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari

HSV (khususnya tipe 1).

3. Teori herediter

Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada

keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi

untuk terjadinya paresis fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi

terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian

imunisasi.
C. Anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.

levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah.

2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di

dua pertiga bagian depan lidah.

4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa

raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus

trigeminus.

5. Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh

otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius

Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah

dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna.

Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu

cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia

membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus

solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal


melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta

kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

6. Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus

abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari

dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari

pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang

berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan

VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif.

Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan

nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat

batas anterior vestibulum telinga dalam.

7. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer

nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion

genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion

genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi

pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara

ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan

hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya

berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis

fasial (wajah).
D. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses

inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar

foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.

Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi

paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.

Nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis

yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar

sebagai foramen mental, sehingga dengan bentukan kanalis yang unik

tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan

gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus

fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan

infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motoric

primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang

berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah

dari otot wajah seluruhnya lumpuh, sehingga kemungkinan terjadi: dahi tidak

dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk

memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas, sudut mulut tidak

bisa diangkat serta bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa

digerakkan.
E. Pathway
F. Manifestasi Klinis

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat

bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah

merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya

memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.

Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata

tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup

kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell).

Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum

maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda

klinik lainnya berhubungan dengan tempat / lokasi lesi.

1. Lesi di luar foramen stilomastoideus:ulut tertarik ke arah sisi mulut yang

sehat, makananberkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep

sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila

mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata

akan keluar terus menerus.

2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) gejala dan tanda klinik

seperti pada (1),ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah

(2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya

daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus

intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik

di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis

fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

gejala dan tandaklinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya

hiperakusis.

4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

gejala dan tandaklinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di

belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca

herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis

fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes Doster di ganglion

genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis

auditorius eksterna dan pina.

5. Lesi di daerah meatus akustikus interna gejala dan tanda klinik seperti

(1), (2), (3), (4),ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya

nervus akustikus.

6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons. Gejala dan tanda

klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus

trigeminus, nervus akustikus, dan kadangkadang juga nervus abdusens,

nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan

gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi

klinik : air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita

makan. nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula

salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf


salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi Esalah jurusan’ menuju ke

glandula lakrimalis.

G. Komplikasi

Kira - kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa

seperti fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan

saraf parasimpatik. Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia

atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf

parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan

baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.

H. Rehabilitasi Medis

Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang

ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan

kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial. Tujuan rehabilitasi

medik adalah :

1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan

bekerja dengan apayang tertinggal.

Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif

dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter,

fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas

sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.


Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan

terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik

pada Bell’s palsy adalah untuk mengurangi atau mencegah paresis menjadi

bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar

penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari - hari. Program -

program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial

medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi

dan terapi wicara tidak banyak berperan.

1. Program Psikoterapi

a. Pemanasan :

1) Pemanasan superfisial dengan infra red.

2) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau

microwave Diathermy

3) Stimulasi listrik

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

mencegah / memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu

proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah.

misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk

menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot

baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah / meregangkan

perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.


b. Latihan otot - otot wajah dan massage wajah

Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut.

Latihan berupa mengangkat alis tahan 9 detik, mengerutkan dahi,

menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul /

meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh).

Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh

dengan maksud untuk perbaikan / pemulihan. Pada fase akut, Bell’s

palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle

massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi

otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi

Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah.

Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap

pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa

metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi

serabut - serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler

sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4

area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan

keatas, lamanya 5-10 menit.

2. Program Terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot

wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari - hari atau dalam

bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan

melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan


dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan

sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan

dahi di depan cermin.

3. Program Sosial Medik

Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari

pergaulan sosial. problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat

kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan

menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat

bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum.

Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di

tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan

bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting

untuk kesembuhan penderita.

4. Program Psikologik

Untuk kasus - kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat

menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita

muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang

mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang

psikolog sangat diperlukan.

5. Program Ortotik & Prostetik

Dapat dilakukan pemasangan ‘Y’ plester dengan tujuan agar

sudut mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8

jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi.


Pemasangan ‘Y’ plester dilakukan jika dalam waktu 7 bulan belum ada

perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan

untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan

mencegah terjadinya kontraktur.

6. Home Progame

a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan

dari sisi wajah yang sehat

c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang

sakit, minum dengansedotan, mengunyah permen karet

d. Perawatan mata

1) Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari

2) Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari

3) Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Fisis

Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan

pemeriksaan fisik tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada

penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi

supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nucleus fasialis di pons, maka

lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus

fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis.

Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal.


2. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk

menegakkan diagnosis Bell’s palsy.

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy.

Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau

metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sclerosis multipel dan AIDS pada

CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan

adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada

telinga, ganglion genikulatum.

J. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s palsy meliputi anamnesis

riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan

pengkajian psikososial.

a. Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta

pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot

wajah terjadi pada satu sisi.

b. Riwayat penyakit saat ini

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk

menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas

tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh,


atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya

didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.

Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi.

Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi

yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya,

maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi

bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan.

Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.

c. Riwayat penyakti dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang

memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan

sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia

vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit

virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau

kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang

sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta

pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit

sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan

untuk memberikan tindakan selanjutnya.

d. Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa

penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi

yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku klien.


Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting

untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah

sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat

serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik

dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul

pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan

pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa

digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk

mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan

perubahan perilaku akibat stres.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan

ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya

perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.

Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis

dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya

hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari

dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit

neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan

rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan

neurologis didalam sistem dukungan individu.


2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan

fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan

dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy

biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

a. B1 (breathing)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi

didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada

penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas

normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.

Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi

tidak didengar bunyi napas tambahan.

b. B2 (Blood)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi

dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal

dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

c. B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih

lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

1) Tingkat kesadaran

Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.

2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,

nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas

motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental

klien mengalami perubahan.

3) Pemeriksaan saraf kranial

a) Saraf I : biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan

dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.

b) Saraf II : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal

c) Saraf III, IV, VI : penurunan gerakan kelopak mata pada

sisi yang sakit (lagoftalmos).

d) Saraf V : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan

nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan

sinkinetik.

e) Saraf VII : berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin

sekali edema nervus fasialis ditingkat foramen

stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis,

dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya.

f) Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli

persepsi

g) Saraf IX & X : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara,

menguyah dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik,

sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.


h) Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan

trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.

i) Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi

dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami

kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi

kelumpuhan kurang tajam.

4) Sistem motorik

Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot

normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy

tidak ada kelainan.

5) Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,

ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons

normal.

6) Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada

beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.

7) Sistem sensorik

Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada

kelainan.
e. B4 (Blader)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan

berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

f. B5 (bowel)

Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi

asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun

karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan

proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi

berkurang.

g. B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran

menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

3. Penatalaksaan medis

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot

wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus

diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan

spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.

Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan

radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler

dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut.

Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi


penyakit semain berat, mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau

meminimalkan denervasi.

Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi

wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan

aliran darah sampai ke otot tersebut.

Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi

atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif,

namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada

klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf

wajah melalui pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.

Tekhnik untuk masase wajah adalah dengan gerakan lembut keatas.

Latihan wajah seperti mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar,

dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan

teratur untuk mencegah atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.

K. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi

tubuh

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan

makanan

4. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri

5. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar

informasi
DAFTAR PUSTAKA

Doengues. (2001). Rencana Asuhan Keperawatan Pasien, edisi 3; EGC. Jakarta

Foster. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan System


Persarafan. Salemba Medika: Jakarta

http://musyrihah-megarezky.blogspot.com/2011/11/askep-bells-palsy.html

Thamrinsyam. (2002). Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2.


Jakarta

Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam


dkk. Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr.
Soetomo/FK

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

UNAIR. (1991). http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.


(Diakses tanggal 28-11-2010)

Walton SJ. (1985). Disease of Nervous System, 9th ed. English ELBS

Widowati. (2000). Paralisis Bell Dalam: Harsono, ed. Aapita selekta neurologi;
Jogyakarta: Gadjah Mada University Press
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Gangguan Citra Citra Tubuh Promosi Citra Tubuh
Tubuh Observasi:
D.0083 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24  Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan
jam diharapkan citra tubuh meningkat. tahap perkembangan
Pengertian : Kriteria Hasil:  Identifikasi perubahan citra tubuh yang
Perubahan Meningka Cukup Sedang Cukup Menuru mengakibatkan isolasi sosial
persepsi tentang t Meningk Menuru n  Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap
penampilan, at n diri sendiri
struktur dan 1 Verbalisasi perasaan negatif tentang perubahan tubuh Edukasi
fungsi fisik 1 2 3 4 5  Jelaskan pada keluarga tentang perawatan
individu 2 Verbalisasi kekhawatiran pada reaksi orang lain perubahan citra tubuh
1 2 3 4 5  Anjurkan menggunakan alat bantu
Memburu Cukup Sedan Cukup Membai (mis.wig,kosmetik)
k Membur g Membai k  Anjurkan mengikuti kelompok pendukung
uk k  Latih fungsi tubuh yang dimiliki
3 Melihat bagian tubuh Terapeutik:
1 2 3 4 5  Diskusikan perubahan tubuh dan
4 Menyentuh bagian tubuh fungsinya
1 2 3 4 5  Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri
 Diskusikan cara mengembangkan harapan
citra tubuh secara realistis
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
D.0077 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
jam diharapkan tingkat nyeri menurun  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Pengertian : Kriteria Hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Pengalaman sensorik Memburu Cukup Sedang Cukup Membai  Identifikasi skala nyeri
atau emosional yang k Membur Membai k  Identifikasi respons nyeri non verbal
berkaitan dengan uk k  Identifikasi faktor yang memperberat dan
kerusakan jaringan 1 Frekuensi nadi memperingan nyeri
aktual atau 1 2 3 4 5  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
fungsional, dengan 2 Pola nafas tentang nyeri
onset mendadak atau 1 2 3 4 5  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
lambat dan Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun hidup
berintensitas ringan t Meningk g Menuru  Monitor efek samping penggunaan analgetik
hingga berat yang at n Terapeutik:
berlangsung kurang 3 Keluhan nyeri  Berikan teknik nonfarmakologi untuk
dari 3 bulan. 1 2 3 4 5 mengurangi rasa nyeri
4 Meringis  Kontrol lingkungan yang memperberat
1 2 3 4 5 rasa nyeri
5 Gelisah  Fasilitasi istirahat dan tidur
1 2 3 4 5  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
6 Kesulitan tidur dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
1 2 3 4 5 Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Ansietas Tingkat Ansietas Reduksi Ansietas
D.0080 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
jam diharapkan tingkat ansietas menurun  Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
Pengertian : Kriteria Hasil:  Identifikasi kemampuan mengambil
Kondisi emosi dan Memburu Cukup Sedang Cukup Menuru keputusan
pengalaman subjektif k Membur Menuru n  Monitor tanda-tanda ansietas
individu terhadap objek uk n Terapeutik:
yang tidak jelas dan 1 Konsentrasi  Ciptakan suasana teraupetik untuk
spesifik akibat antisipasi 1 2 3 4 5 menumbuhkan kepercayaan
bahaya yang 2 Pola tidur  Temani pasien untuk mengurangi
memungkinkan individu 1 2 3 4 5 kecemasan, jika memungkinkan
melakukan tindakan untuk Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun  Pahami situasi yang membuat ansietas
t Meningk g Menuru  Dengarkan dengan penuh perhatian
menghadapi ancaman
at n  Gunakan pendekatan yang tenang dan
3 Perilaku gelisah meyakinkan
1 2 3 4 5  Motivasi mengidentifikasi situasi yang
4 Verbalisasi kebingungan memicu kecemasan
Edukasi
1 2 3 4 5
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
5 Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi
mungkin dialami
1 2 3 4 5
 Informasikan secara faktual mengenai
6 Perilaku tegang
diagnosis, pengobatan, dan prognosis
1 2 3 4 5
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien
 Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
 Latih teknik relaksasi
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan

Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


Defisit Nutrisi Status Nutrisi Manajemen Nutrisi
D.0019 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:
status nutrisi terpenuhi.  Identifikasi status nutrisi
Pengertian : Kriteria Hasil:  Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
Asupan nutrisi Menuru Cukup Sedang Cukup Meningk  Identifikasi perlunya penggunaan selang
tidak cukup untuk n Menuru Meningk at nasogastric
memenuhi n at  Monitor asupan makanan
kebutuhan 1 Porsi makanan yang dihabiskan  Monitor berat badan
metabolisme. 1 2 3 4 5 Terapeutik:
2 Berat Badan atau IMT  Lakukan oral hygiene sebelum makan, Jika
1 2 3 4 5 perlu
3 Frekuensi makan  Sajikan makanan secara menarik dan suhu
1 2 3 4 5 yang sesuai
 Hentikan pemberian makanan melalui selang
4 Nafsu makan
nasogastric jika asupan oral dapat ditoleransi
1 2 3 4 5
Edukasi
5 Perasaan cepat kenyang
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
1 2 3 4 5  Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan
Promosi Berat Badan
Observasi
 Identifikasi kemungkinan penyebab BB
kurang
 Monitor adanya mual dan muntah
Terapeutik
 Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi
pasien
 Berikan pujian kepada pasien untuk
peningkatan yang dicapai
Edukasi
 Jelaskan jenis makanan yg bergizi tinggi,
terjangkau
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Defisit Pengetahuan Tingkat Pengetahuan Edukasi Kesehatan
D.0111 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
jam diharapkan tingkat pengetahuan membaik  Identifikasi kesiapan dan kemampuan
Pengertian : Kriteria Hasil: menerima informasi
Ketiadaan atau Menurun Cukup Sedang Cukup Meningk  Identifikasi faktor-faktor yang dapat
kurangnya informasi Menurun Meningk at meningkatkan dan menurunkan motivasi
kognitif yang at perilaku perilaku hidup bersih dan sehat
berkaitan dengan 1 Perilaku sesuai anjuran Terapeutik:
topik tertentu 1 2 3 4 5  Sediaakan materi dan media pendidikan
2 Kemampuan menjelaskan pengetahuan suatu topik kesehatan
1 2 3 4 5  Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
Meningka Cukup Sedan Cukup Menurun kesepakatan
t Meningk g Menuru  Berikan kesempatan untuk bertanya
at n Edukasi
3 Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi  Jelaskan faktor risiko yang dapat
1 2 3 4 5 mempengaruhi kesehatan
4 Persepsi yang keliru terhadap masalah  Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
1 2 3 4 5  Ajarkan strategi yang dapat digunakan
5 Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat untuk meningkatkan perilaku hidup bersih
1 2 3 4 5 dan sehat
6 Perilaku
1 2 3 4 5

Anda mungkin juga menyukai