Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI


BAYI DENGAN ASFIKSIA

OLEH MAHASISWA
Nama : Taroci Padakama
Nim : PO 530321119247
Kelas : PPN TK 3
Ruangan : Neonatalogi

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Sabinus Kedang,.S.Kep.,Ns.,M.Kep Ns. Wilan Kawuri Putri.,S.Kep

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN KUPANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Defenisi Asfiksia


Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan
keadaan hipoksia dan hiperkapnu serta sering berakhir dengan asidosis
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernapasan secara
spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat sesudah lahir. Bayi
mungkin lahir dalam kondisi asfiksia (asfiksia primer) atau mungkin dapat bernapas
tetapi kemudian mengalami asfiksia beberapa saat setelah lahir (asfiksia sekunder).
Asfiksia merupakan keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia,
hiperkapnea dan sampai ke asidosis. Asfiksia akan bertambah buruk apabila
penanganan bayi tidak dilakukan dengan sempurna, sehingga tindakan perawatan
dilaksanakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut
yang mungkin timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, beberapa faktor
perlu dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan asfiksia.
1.2 Etiologi Asfiksia
Penyebab secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O₂ dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera
setelah lahir. Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi:
1. Faktor ibu Hipoksia
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravid keempat atau
lebih, social ekonomi rendah, hipertensi pada penyakit toksemia, eklamsia,
hipotensi mendadak karena perdarahan, gangguan kontraksi uterus pada
hipertoni, hipotoni, tetani uteri, hipoventilasi ibu.
ibu akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu
dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian analgetika atau anesthesi
dalam gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak karena pendarahan,
hipertensi karena eklamsia, penyakit jantung dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Yang meliputi solutio plasenta, pendarahan pada plasenta previa, plasenta
tipis, plasenta kecil, plasenta tak menempel pada tempatnya.
3. Faktor janin dan neonatus
Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit ke leher, kompresi tali pusat
antara janin dan jalan lahir, gamelli, IUGR, kelainan kongenital daan lain-lain.
4. Faktor persalinan Meliputi partus lama, partus tindakan dan lain-lain
1.3 Tanda dan Gejala Asfiksia
Tanda dan gejala pada bayi baru lahir dengan asfiksia antara lain :
1. Tidak bernafas atau napas megap-megap atau pernapasan cepat, pernapasan
cuping hidung.
2. Pernapasan tidak teratur atau adanya retraksi dinding dada
3. Tangisan lemah atau merintih
4. Warna kulit pucat atau biru
5. Tonus otot lemas atau ekstremitas terkulai
6. Denyut jantung tidak ada atau lambat (bradikardia) kurang dari 100 kali per
menit.
Sedangkan, tanda dan gejala bayi baru lahir dengan asfiksia antara lain :
1. Pernapasan cuping hidung
2. Pernapasan cepat
3. Nadi cepat
4. Sianosis
5. Nilai APGAR kurang dari 6
Pada umumnya, asfiksia neonatorum dengan masalah kekurangan O2
menunjukkan pernapasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia
berlanjut, gerakan pernapasan berhenti dan denyut jantung menurun. Sedangkan tonus
neuromuskular berkurang secara berangsur–angsur dan memasuki periode apnue
primer.
Adapun gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain pernapasan
cepat, pernapasan cuping hidung dan nadi berdenyut cepat, anak terlihat lemas,
menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2), meningginya tekanan CO2 darah (PaO2),
menurunnya Ph (akibat asidosis respiratorik dan metabolik), yang digunakan sebagai
sumber glikogen bagi tubuh anak dan metabolisme anaerob, serta terjadinya perubahan
sistem kardiovaskuler. Pada asfiksia tingkat selanjutnya, juga akan terjadi perubahan
yang disebabkan oleh beberapa keadaan. Diantaranya adalah hilangnya sumber
glikogen dalam jantung sehingga mempengaruhi fungsi jantung, terjadinya asidosis
metabolik yang mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung
sehingga menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus kurang
adekuat sehingga darah mengalami gangguan
Klasifikasi asfiksia adalah :
1. Virgorous baby (Asfiksia ringan) Apgar skor 7-9, dalam hal ini bayi
dianggap sehat, tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Mild- moderate asphyksia (asfiksia sedang) APGAR score 4-6
3. Severe asphyksia (asfiksia berat) APGAR score 0-3
Tabel 2 APGAR Score
Tanda Score
0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada <100 menit >100 menit

Usaha bernapas Tidak ada Lambat, Tak Menangis kuat


teratur
Tonus otot Lumpuh Ekstermitas Gerakan aktif
fleksi
Reflex Tidak ada Gerakan sedikit Gerakan
kuat/melawan
Warna kulit Biru/pucat Tubuh Seluruh tubuh
kemerahan, kemerahan
ekstermitas biru
1.4 Anatomi dan Fisiologi
a. Lubang hidung (cavum nasi)
Hidung terbentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago).
Bagian dalam hidung merupakan lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan
kanan oleh sekat. Rongga hidung mengandung rambut yang berfungsi sebagai
penyaring kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan hidung
terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan
lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk kedalam saluran
pernapasan.
Bagian luar dinding terdiri dari kulit. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot
dan tulang rawan. Lapisan dalam terdiri dari selaput lender yang berlipat-lipat
yang dinamakan karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah yaitu:
konka nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka nasalis superior. Diantara
konka nasalis terdapat 3 buah lekukan meatus, yaitu: meatus superior, meatus
inferior dan meatus media. Meatus-meatus ini yang dilewati oleh udara
pernafasan sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak yang
disebut koana.
b. Sinus paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala.
Sinus berfungsi untuk : membantu, menghangatkan dan humidifikasi,
meringankan berat tulang tengkorak, mengatur bunyi suara manusia dengan ruang
resonansi.
c. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (± 13cm) yang
letaknya bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan
esophagus pada ketinggian tulan rawan krikoid. Berdasarkan letaknya,faring
dibagi menjadi tiga yaitu dibelakang hidung (naso-faring), belakang mulut (oro-
faring), dan belakang laring (laringo-faring).
d. Laring
sering disebut dengan ”voice box” dibentuk oleh struktur epiteliumlined
yang berhubungna dengan faring dan trakhea. Laring terletak dianterior tulang
belakang ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esofagus berada di posterior laring.
Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara. Pada bagian pangkal
ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari
tulang-tulanng rawan yang berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup
laring. Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit,
glandula tyroidea, dan beberapa otot kecil, dan didepan laringofaring dan bagian
atas esopagus.Cartilago/tulang rawan pada laring ada 5 buah, terdiri dari sebagai
berikut: cartilago thyroidea 1 buah di depan jakun (Adam’s apple) dan sangat
jelas terlihat pada pria, cartilago epiglottis 1 buah, cartilago cricoidea 1 buah,
cartilago arytenoidea 2 buah yang berbentuk beker.
e. Trachea atau Batang tenggorok
Merupakan tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan lebar
2,5 cm. Trachea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada bagian depan
leher dan di belakang manubrium sterni, berakhir setinggi angulus sternalis (taut
manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira-kira ketinggian vertebrata
torakalis kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi).
Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang
rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran
disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
f. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian
kirakira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea
dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan
ke samping ke arah tampuk paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar,
dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis
dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus
lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan
berjalan di bawah arteri pulmonalis, sebelurn dibelah menjadi beberapa cabang
yang berjalan ke lobus atas dan bawah. Cabang utama bronchus kanan dan kiri
bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus
segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya
semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran
udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara).
g. Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri atas
kecil gelembung-gelembung (alveoli). Alveolus yaitu tempat pertukaran gas
assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki
kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya
dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru,
asinus atau kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0
cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus
Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru dibagi menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri dari 3
lobus (lobus pulmo dekstra superior, lobus pulmo dekstra media, lobus pulmo
dekstra inferior) dan paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus (lobus sinistra
superior dan lobus sinistra inferior).
1.5 Patofisiologi Asfiksia
Segera setelah lahir bayi akan menarik napas yang pertama kali (menangis), pada
saat ini paru janin mulai berfungsi untuk resoirasi. Alveoli akan mengembang udara
akan masuk dan cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveli secara
bertahap. Bersamaan dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah ke
dalam paru meningkat secara memadai.
Bila janin kekurangan O₂ dan kadar CO₂ bertambah , maka timbullah rangsangan
terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika
kekurangan O₂ terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat di pengaruhi lagi.
Timbullah kini rangsangan dari nervu simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan
akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernapasan intrauterine dan
bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,
bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernapasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas.
Pernapasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder.
Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O₂ dalam darah
(PaO₂) terus menurun. Bayi sekarang tidak dapat bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak akan menunjukkan upaya pernapasan secara spontan

1.6 Pathway Asfiksia

Persalinan lama, lilitan tali paralisis pusat factor lain : anestesi,


pusat, presentasi janin pernapasan obat-obatan nektorik
abnormal

ASFIKSIA

Janin kekurangan O2 dan paru-paru


kadar CO2 meningkat berisi cairan

Nafas cepat
Suplai O2 suplai O2 bersihan jalan
Apneu pola napas dalam darah ke paru-paru napas tdk efektif
Tidak efektif

DJJ &TD kerusakan otak resiko ketidak- gangguan


Seimbangan suhu metabolisme
Janin tidak bereaksi tubuh asam basa

Terhadap rangsangan kematian bayi asidosis respiratorik


Gangguan perfusi
ventilasi

kerusakan pertukaran
gas

1.7 Penatalaksanaan Asfiksia


Penatalaksanaan asfiksia adalah :
1. Membersihkan jalan napas dengan pengisapan lendir dan kasa steril
2. Potong tali pusat dengan teknik aseptik dan dengan antiseptik
3. Apabila bayi tidak menangis lakukan sebagai berikut :
a. Rangsangan taktil dengan cara menepuk-nepuk kaki, mengelus-elus dada, perut
dan punggung
b. Bila dengan rangsangan taktil belum menangis lakukan resusitasi mouth to
mouth
c. Pertahankan suhu tubuh agar tidak perburuk keadaan asfiksia dengan cara :
membungkus bayi dengan kain hangat, badan bayi harus dalam keadaan kering,
jangan memandikan bayi dengan air dingin gunakan minyak atau baby oil
untuk membersihkan tubuh bayi, kepala bayi ditutup dengan baik atau kenakan
topi,
Apabila nilai APGAR pada menit ke lima sudah baik (7-10) lakukan perawatan
selanjutnya : bersihkan badan bayi, perawatan tali pusat, pemberian ASI sedini
mungkin dan adekuat, melaksanakan antromentri dan pengkajian kesehatan, memasang
pakaian bayi dan mengenakan tanda pengenal bayi.
Segera setelah bayi baru lahir perlu diidentifikasi atau dikenal secara cepat supaya
bisa dibedakan antara bayi yang perlu diresusitasi atau tidak. Tindakan ini merupakan
langkah awal resusitas bayi baru lahir. Tujuannya supaya intervensi yang diberikan
bisa dilaksanakan secara tepat dan cepat (tidak terlambat).
1. Membuka jalan nafas
Tujuan : Untuk memastikan terbuka tidaknya jalan nafas.
Metode : Meletakkan bayi pada posisi yang benar: letakkan bayi secara terlentang
atau miring dengan leher agak eksetensi/ tengadah. Perhatikan leher bayi agar tidak
mengalami ekstensi yang berlebihan atau kurang. Ekstensi karena keduanya akan
menyebabkan udara yang masuk ke paru-paru terhalangi. Letakkan selimut atau
handuk yang digulug dibawah bahu sehingga terangkat 2-3 cm diatas matras.
Apabila cairan/lendir terdapat banyak dalam mulut, sebaiknya kepala bayi
dimiringkan supaya lendir berkumpul di mulut (tidak berkumpul di farings bagian
belakang) sehingga mudah disingkirkan.
2. Membersihkan jalan nafas
Apabila air ketuban tidak bercampur mekonium hisap cairan dari mulut dan
hidung, mulut dilakukan terlebih dahulu kemudian hidung. Apabila air ketuban
tercampur mekonium, hanya hisap cairan dari trakea, sebaiknya menggunakan alat
pipa endotrakel (pipa ET). Urutan kedua metode membuka jalan nafas ini bisa
dibalik, penghisapan terlebih dahulu baru meletakkan bayi dalam posisi yang
benar, pembersihan jalan nafas pada semua bayi yang sudah mengeluarkan
mekoneum, segera setelah lahir (sebelum baru dilahirkan) dilakukan dengan
menggunakan keteter penghisap no 10 F atau lebih. Cara pembersihannya dengan
menghisap mulut, farings dan hidung.
3. Mencegah kehilangan suhu tubuh
Tujuan : Mencegah komplikasi metabolisme akibat kehilangan panas.
Metode : meletakkan bayi terlentang dibawah pemancar panas (Infant warmer)
dengan temperatur untuk bayi aterm 34°C, untuk bayi preterm 35°C. Tubuh dan
kepala bayi dikeringkan dengan menggunakan handuk dan selimut hangat,
keuntungannya bayi bersih dari air ketuban, mencegah kehilangan suhu tubuh
melalui evaporosi serta dapat pula sebagai pemberian rangsangan taktik yang dapat
menimbulkan atau mempertahankan pernafasan. Untuk bayi sangat kecil (berat
badan kurang dari 1500 gram) atau apabila suhu ruangan sangat dingin dianjurkan
menutup bayi dengan sehelai plastik tipis yang tembus pandang.
4. Pemberian tindakan VTP (Ventilasi Tekanan Positif)
Tujuan : untuk membantu bayi baru lahir memulai pernafasan.
Metode : Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar. Agar VTP efektif
kecepatan memompa (Kecepatan Ventilasi dan tekanan ventilasi harus sesuai,
kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kail/menit. Tekanan ventilasi yang dibutuhkan
sebagai berikut : Nafas pertama setelah lahir membutuhkan 30-40 cm H2O, setelah
nafas pertama membutuhkan 15-20 cm H2O, bayi dengan kondisi / penyakit paru-
paru yang berakibat turunnya compliance membutuhkan 20-40 cm H2O, tekanan
ventilasi hanya dapat diukur apabila digunakan balon yang mempunyai pengukur
tekanan.
5. Observasi gerak dada bayi
Adanya gerakan dada bayi naik turun merupakan bukti bahwa sungkup terpasang
dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal.
Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang,
menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang berarti tekanan diberikan terlalu
tinggi. Hal ini dapat menyebabkan pneumotorax.
6. Observasi gerak perut bayi
Gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak
perut mungkin disebabkan masuknya udara kedalam lambung.
7. Penilaian suara nafas bilatera
Suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua
paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar.
8. Observasi pengembangan dada bayi
Apabila dada terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi meremas
balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan oleh salah satu
sebab berikut : perlekatan sungkup kurang sempurna, arus udara terhambat dan
tidak cukup tekanan
1.8 Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa pemeriksaan diagnostik adanya asfiksia pada bayi (Sudarti dan Fauziah, 2013
) yaitu :
1. Pemeriksaan analisa gas darah
2. Pemeriksaan elektrolit darah
3. Berat badan bayi
4. Penilaiaan APGAR Score
5. Pemeriksaan EGC dan CT-Scan

1.9 Komplikasi Asfiksia


Dampak yang akan terjadi jika bayi baru lahir dengan asfiksia tidak di tangani
dengan cepat maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut antara lain:
1. Edema atau perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonates, sehingga aliran darah ke otak pun akan
menurun. keadaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang
berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan
otak.
2. anuragia, dan oliguria
disfungsi jaringan jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan
ini dikenal dengan istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang
disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan
lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang
menyebabkan pengeluaran urin sedikit
3. Kejang
pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas
dan transport O2 hal ini menyebabkan kejang pada anak tersebut karena
perfusi jaringan tidak efektif.
4. Koma.
Apabila pada pasien asfeksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.
Komplikasi tersebut akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan bahkan
kematian pada bayi
1.10 Prognosis Asfiksia
Asfiksia ringan tergantung pada kecepatan penatalaksanaan sedangkan asfiksia
berat dapat menimbulkan kematian pada hari-hari pertama atau kelaianan syaraf.
Asfiksia dengan pH 6.9 dapat menyebabkan kejang sampai koma dan kelaianan
neurologis permanen, misalnya serebral palsy atau retradasi mental.
Hasil asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi metabolic dan
cardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat diobati, pada umur kehamilan
bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi pretern), dan pada tingkat keparahan
ensefalopati hipoksia-iskemik. Enselofalopati berat ditandai dengan koma flasid,
apnea, reflex, okulasefalik tidak ada, kejang refrakter, dan pengurangan penipisan
korteks yang nyata pada CT-Scan, dihubungkan dengan prognosis yang jelek. Skor
APGAR rendah pada menit ke 20, tidak ada respirasi spontan pada usia 20 menit, dan
menetapnya tanda-tanda kelaianan neurologis pada usia 2 minggu juga meramalkan
kematian arau adanya deficit kognitif dan motorik berat.
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam otak.
Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan kemungkinan
menderita cacat mental seperti epilepsy dan bodoh pada masa mendatang.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Biodata : nama bayi, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak keberapa dan
identitas orangtua. Yang lebih ditekankan pada umur bayi karena berkaitan dengan
diagnosa asfiksia neonatorum.
b. Keluhan utama : pada bayi dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak napas.
c. Riwayat kehamilan dan persalinan : bagaimana proses persalinan apakah spontan,
prematur, aterm, letak bayi dan posisi bayi
d. Kebutuhan dasar :
 pola nutrisi pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral karena
organ tubuh terutama lambung belum sempurna, selain itu bertujuan untuk
mencegah terjadinya aspirasi pneumoni.
 Pola eliminasi : umumnya bayi mengalami gangguan BAB karena organ
tubuh terutama pencernaan belum sempurna.
 Kerbersihan diri : perawat dan keluarga bayi harus menjaga kebersihan
terutama saat BAB dan BAK. Pola tidur : biasanya terganggu karena bayi
sesak napas.
e. Pemeriksaan fisik :
1. Breating/B1
a. Inspeksi
- Bentuk dada (barrel atau cembung)
- Kesemetrisan
- Adanya insisi
- Selang dada atau penyimpangan lain
- Pada klien dengan asfiksia akan mengalami usaha bernapas yang lambat
sehingga gerakan cuping hidung mudah terlihat
b. Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan paru yang adekuat.
Bayi dengan penyakit congenital/bawaan perkembangan paru tidak baik atau
hipoplasia. Sering terjadi di paru bagian kiri
c. Perkusi
Suara perkusi di area dada kiri terdengar lebih redup dan pekak
d. Auskultasi
Suara perkusi menurun sampai menghilang. Bunyi napas tak teratur bahkan
lambat
2. Blood/B2
a. Inspeksi
Pada saat dilakukan inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis normal yang
berada pada ICS 5 pada linea medio calviculaus kiri selebar 1 cm. pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada/tidaknya pergeseran jantung
b. Palpasi
Dilakukan dengan menhitung denyut jantung (heart rate) dan harus memperhatikan
kedalaman dan teratur atau tidaknya denyut jantung. Selain itu, perlu juga
memperhatikan adanya thrill (getaran ictus cordis). Memeriksa nadi lengan
meletakan telunjuk dan jari tengah anda pada bagian dalam siku bayi di sisi yang
paling dekat dengan tubuh
c. Perkusi
Tindakan perkusi dilakukan untuk menetukan batas jantung (area yang bersuara
pekak). Hal ini untuk menetukan adanya pergeseran jantung karena desakan
diafragma bila terjadi kasus hernia diafragmatika.
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan dengan menentukan bunyi jantung I dan II tunggal atau
gallop, bunyi jantung III merupakan gejala payah jantung, murmur yang
menunjukan adanya peningkatan arus turbelensi darah. Penderita neonatal denyut
jantung kurang dari 100/menit atau tidak terdengar sama sekali
3. Brain/B3
Ketika melakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji dengan skala GCS. Fungsi
sensorik seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
Penderita asfiksia berat tidak akan menunjukan respon GCS
4. Bladder/B4
Pengukuran volume input/output urine dilakukan dalam hubungannya dengan intake
cairan. Oleh karena itu perlu ditinjau adanya oliguria atau tidak karena dapat menjadi
pertanda awal adanya syok
5. Bowel/B5
- Ketika inspeksi dilihat abdomen yang membuncit/datar
- Tepi perut menonjol/tidak
- Umbilicus menonjol/tidak
- Pada klien biasanya didapatkan indikasi mual, muntal, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan
6. Bone/B6
Hal diperhatikan adalah :
- Adanya edema peritabial
- Pemeriksaan capillary refill time
- Feel pada kedua ektermitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer
- Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekuatan otot untuk dibandingkan antara
bagian kiri dan kanan
f. Data penunjang
Beberapa pemeriksaan adanya asfiksia pada bayi yaitu :
1. Pemeriksaan analisa gas darah (Ph kurang dari 7.20)
2. Pemeriksaan APGAR score meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usahan
naps, tonus otot dan reflex
3. Pemeriksaan EEG/EGC dan CT-Scan
4. USG
5. Gula darah
6. Ph tali pusat : tingkat 7.20 sampai 7.24 menunjukan status parasidosis , tingkat
rendah menunjukan asfiksia bermakna
7. Elektrolit garam
8. Pengkajian spesifik
9. Hemoglobin / hemotokrit (Hb/Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43% - 61%
10. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks
antigen-antibodi pada membrane sel darah merah
2. Diagnose Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (kelemahan
otot pernapasan)
(D.0001)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi
(D.0003)
3. Intervensi Keperawatan
SDKI SLKI SIKI RASIONAL
Pola napas Setelah dilakukan Manajemen 1. Untuk mengetahui pola
tidak efektif tindakan keperawatan jalan napas : napas bayi
berhubungan selama 2x24 jam (I.01001) 2. Untuk mengetahui pola
dengan diharapkan Pola napas 1. monitor pola napas tambahan
hambatan membaik dengan napas (frekuensi, 3. Untuk melakukan
upaya napas criteria hasil : kedalaman dan fisioterapi dada pada bayi
(kelemahan 1. Dispnea upaya napas) 4. Untuk mengambil lender
otot menurun 2. monitor bunyi pada bayi
pernapasan) 2. Penggunaan napas tambahan
otot bantu (wheezing,
pernapasan ronchi)
3. Pernapaan 3. lakukan
cuping hidung fisioterapi dada,
menurun jika perlu
4. Frekuensi nafas 4. lakukan
membaik pengisapan
5. Kedalaman lender kurang
nafas membaik dari 15 menit,
6. Kapasitas vital jika perlu.
membaik Pemantauan 1. Untuk mengetahui
respirasi frekuensi irama dan
(I.010114) upaya napas
1. monitor 2. Untuk mengetahui
frekuensi irama pola napas pasien
dan upaya napas 3. Untuk mengetahui
2. monitor pola bunyi napas
napas tambahan
3. auskultasi 4. Untuk mengetahui
bunyi napas saturasi oksigen
4. monitor 5. Untuk
saturasi oksigen mendokumentasika
5. dokumentasi n hasil pemantauan
hasil pemantauan

4. Implementasi Keperawatan
Merupakan pengelolaan dari perwujudan intervensi meliputi kegiatan yaitu
validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana, memberikan askep dalam
pengumpulan data, serta melaksanakan adusa dokter dan ketentuan RS.
Tahap ini perawat mencari inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditunjukan pada nursing orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang
telahditetapkan.
5. Evaluasi Keperawatan
Merupakan tahap akhir dan suatu proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan rencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan
yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien dan sesama tenaga
kesehatan.
Tahap ini perawat melakukan tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, dan pelaksanaanya sudah berhasil dicapai
DAFTAR PUSTAKA

1. Doengoes, E Marlyn & Morhorse, Mary Fraces. 2016. Rencana Perawatan


Maternal/Bayi,EGC:Jakarta
2. Hidayat, A Aziz Alimul, 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba
Medika
3. Supartini Y.(2013). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC
4. Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Defenisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia
5. Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Defenisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
6. Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Defenisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai