Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

TENTANG “BELLS PALSY”

Dosen Pembimbing :

Ns. Mukhammad Toha,S.Kep., M.Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :

1. IKA NOVELIA (202303102054)


2. BUNGA JANNATUL FIRDAUS (202303102063)
3. MARCELLA IFTINAN P. W. (202303102061)

KELAS : 2-B

PRODI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
KAMPUS KOTA PASURUAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
limpahannya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Teori Medis dan Asuhan Keperawatan
Bell’s Palsy ini berjalan dengan baik.
Dengan makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami Teori Medis dan Asuhan
Keperawatan Bell’s Palsy dengan benar. Ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing
yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk belajar Teori Medis dan Asuhan
Keperawatan Bell’s Palsy ini. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah memberikan bantuan berupa konsep, pemikiran dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dengan segala kerendahan hati,
saran dan kritik sangat kami harapkan dari pembaca guna meningkatkan pembuatan makalah
pada tugas lain dan waktu mendatang.

Penulis,
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat
paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya. (Thamrinsyam,2020). Bell’s palsy adalah
suatu kondisi dimana otot " otot wajah di satu sisi menjadi bengkak dan meradang
yang mengakibatkan setengah wajah akan tampak terkulai dan tak bertenaga (Foster,
2008).
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell,
dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah
imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta
penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe
1 juga berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial
idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik
menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial
herpetik. (Widowati, 2000).
B. ETIOLOGI
Awalnya, penyebab Bell’s Palsy dikatakan Idiopatik. Akan tetapi, beberapa waktu
terakhir ini telah diidentifikasi gen Herpes simpleks virus (HSV) dalam ganglion
genikulatum penderita Bell’s palsy. Murakami et all. melakukan tes PCR (Polymerase
Chain Reaction) pada cairan endoneural N-VIII penderita Bell’s palsy berat yang
menjalani pembedahan dan menemukan HRV dalam cairan endoneural. Apabila HRV
diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam
nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Banyak kontroversi mengenai etiologi dari
Bell’s palsy, tetapi ada beberapa teori yang dihubungkan
dengan etiologi Bell’s palsy yaitu:

 Teori /skemik vaskuler


Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
 Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes
Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV
(khususnya tipe 1).
 Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk
terjadinya paresis fasialis.
 Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
C. PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak
waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat
berulang atau kambuh.
Nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental, sehingga dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls
motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah
wajah korteks motoric primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi
yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks
motorik primer.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh, sehingga kemungkinan terjadi: dahi tidak dapat dikerutkan,
fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah
bola mata yang berbalik ke atas, sudut mulut tidak bisa diangkat serta bibir tidak bisa
dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.

D. MANIFESTASI KLINIS
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun
tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan
adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih
cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka
bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau
meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat /
lokasi lesi.

1. Lesi di luar foramen stilomastoideus:ulut tertarik ke arah sisi mulut yang


sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata
yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar
terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) gejala dan tanda klinik
seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3
bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) gejala
dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) gejala
dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di
dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran
timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes Doster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik
terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
5. Lesi di daerah meatus akustikus interna gejala dan tanda klinik seperti (1), (2),
(3), (4), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik
sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus,
nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus
aksesorius, dan nervus hipoglosus. Sindrom air mata buaya (crocodile tears
syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan,
dengan manifestasi klinik : air mata bercucuran dari mata yang terkena pada
saat penderita makan. nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan
glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf
salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi Esalah jurusan’ menuju ke
glandula lakrimalis.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik
tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang
menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana
lokasi lesi di atas nucleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada
kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga
di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain
dalam batas normal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,
stroke, sclerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien
Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada
nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
F. TEORI KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Riwayat kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada
satu sisi.

2) Riwayat penyakit saat ini


Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah
buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan
kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan
semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya
tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua
matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat
menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan.
Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.

3) Riwayat penyakti dahulu


Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor
intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster),
penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian
pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana
klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

4) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognisi dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme
koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi
klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). (Arif Muttaqin, 2008)

b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-
B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy
biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
1) B1 (breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan
inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada
penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas
normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi
tidak didengar bunyi napas tambahan.

2) B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi
dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal
dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

3) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

4) B4 (Blader)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

5) B5 (bowel)
Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
menjadi berkurang.

6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
(Arif Muttaqin, 2008)
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Pathway
b) Daftar Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh (mis,
proses penyakit, kehamilan, kelumpuhan)
2) Deficit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya terpapar informasi

c) SDKI
1. Gangguan Citra Tubuh (D.0083)
a. Definisi
Perubahan persepsi tentang penampilan, struktur, dan fungsi
fisik individu.

b. Etiologic
1. Perubahan struktur/bentuk tubuh (mis, amputasi, trauma, luka
bakar, obesitas, jerawat)
2. Perubahan fungsi tubuh (mis, proses penyakit, kehamilan,
kelumpuhan)
3. Perubahan fungsi kognitif
4. Ketidaksesuaian budaya, keyakinan atau system nilai
5. Transisi perkembangan
6. Gangguan psikososial
7. Efek tindakan/pengobatan (mis, pembedahan, kemoterapi, terapi
radiasi)
c. Tanda dan Gejala
I. Mayor
a) Subjektif
1) Mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian tubuh
b) Objektif
1) Kehilangan bagian tubuh
2) Fungsi/struktur tubuh berubah/hilang
II. Minor
a) Subjektif
1) Tidak mau mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian
tubuh
2) Mengungkapkan perasaan negative tentang perubahan
tubuh
3) Mengungkapkan kekhawatiran pada penolakan/reaksi orang
lain
4) Mengungkapkan perubahan gaya hidup
b) Objektif
1) Menyembunyikan/menunjukkan bagian tubuh secara
berlebihan
2) Menghindari melihat dan/atau menyentuh bagian tubuh
3) Focus berlebihan pada perubahan tubuh
4) Respon non verbal pada perubahan dan persepsi tubuh
5) Focus pada penampilan dan kekuatan masa lalu
6) Hubungan social berubah

2. Deficit Pengetahuan tentang (Spesifikkan)


a. Definisi
Ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif yang berkaitan
dengan topic tertentu.

b. Etilogi
1. Keteratasan kognitif
2. Gangguan fungsi kognitif
3. Kekeliruan mengikuti anjuran
4. Kurang terpapar informasi
5. Kurang minat dalam belajar
6. Kurang mampu mengingat
7. Ketidaktahuan menemukan sumber informasi

c. Tanda dan Gejala


1) Mayor
a) Subjektif
1. Menanyakan masalah yang dihadapi
b) Objektif
1. Menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran
2. Menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah

2) Minor
a) Subjektif
(tidak tersedia)

b) Objektif
I. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
II. Menunjukkan perilaku berlebihan (mis, apatis, bermusuhan,
agitasi, hysteria)
INTERVENSI KEPERAWATAN
TG NO. DIAGNOSA SLKI SIKI TT
L KEPERAWATAN
1 Gangguan citra tubuh setelah dilakukan intervensi Promosi Citra Tubuh
berhubungan dengan perubahan keperawatan selama 1x24 jam, maka
Observasi
fungsi tubuh (mis, proses diharapkan citra tubuh meningkat
penyakit, kehamilan,  Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap
kriteria hasil :
kelumpuhan) perkembangan
1. Melihat bagian tubuh membaik  Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin, dan umur
2. Verbalisasi kecacatan bagian terkait citra tubuh perubahan citra tubuh yang
tubuh membaik mengakibatkan isolasi social
3. Verbalisasi perasaan negative  Monitor frekuensi pernyataan kritik tehadap diri
tentang perubahan tubuh sendiri
menurun  Monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh
4. Verbalisasi kekhawatiran pada yang berubah
penolakan/reaksi orang lain
menurun Terapeutik
5. Focus pada penampilan masa  Diskusikan perubahn tubuh dan fungsinya
lalu menurun
 Diskusikan perbedaan penampilan fisik terhadap
harga diri
 Diskusikan akibat perubahan pubertas, kehamilan dan
penuwaan
 Diskusikan kondisi stres yang mempengaruhi citra
tubuh (mis.luka, penyakit, pembedahan)
 Diskusikan cara mengembangkan harapan citra tubuh
secara realistis
 Diskusikan persepsi pasien dan keluarga tentang
perubahan citra tubuh
Edukasi
 Jelaskan kepad keluarga tentang perawatan perubahan
citra tubuh
 Anjurka mengungkapkan gambaran diri terhadap citra
tubuh
 Anjurkan menggunakan alat bantu( mis. Pakaian ,
wig, kosmetik)
 Anjurkan mengikuti kelompok pendukung( mis.
Kelompok sebaya).
 Latih fungsi tubuh yang dimiliki
 Latih peningkatan penampilan diri (mis. berdandan)
 Latih pengungkapan kemampuan diri kepad orang lain
maupun kelompok

Deficit pengetahuan Setelah dilakukan intervensi Edukasi Kesehatan


berhubungan dengan kurangnya keperawatan selama 1x24 jam, maka
Observasi
terpapar informasi diharapkan tingkat pengetahuan
membaik  Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi.
Kriteria hasil
 Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan
1. Perilaku sesuai anjuran dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan
meningkat sehat.
2. Kemampuan menjelaskan
pengetahuan tentang suatu topic Terapeutik
meningkat  Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan.
3. Perilaku sesuai dengan  Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
pengetahuan meningkat  Berikan kesempatan untuk bertanya.
4. Pertanyaan tentang masalah
yang dihadapi menurun Edukasi
5. Persepsi yang keliru terhadap  Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi
masalah menurun kesehatan.
 Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
 Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
 IMPLEMENTASI
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah
katagori dari prilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang dipekirakan dari asuhan keperawatan dilakukan
dan diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan
mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di
banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara
langsung setelah pengkajian (Potter & Perry, 2005).

 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah langkah terakhir dalam asuhan keperawatan, evaluasi
dilakukan dengan pendnekatan SOAP (data subjektif, data objektif, analisa dan
planning). Dalam evaluasi ini dapat ditenukan sejauh mana keberhasilan rencana
tindakan keperawatan yang harus dimodifikasi.

Anda mungkin juga menyukai