Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN ENCHEPALITIS

OLEH :

WULANDARI YUPIAMI, S.Kep


NIM. 20.300.0113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN ENCHEPALITIS

OLEH :
WULANDARI YUPIAMI, S.Kep
NIM. 20.300.0113

Kuala Kapuas, Juli 2021


Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(Agustina Lestari, S.Kep.,Ns., M.Kep) (Vivit, S.Kep.,Ns)


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian
Encephalitis menurut mansjoer dkk (2000) adalah radang jaringan otak yang dapat
disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan protozoa. Sedangkan menurut Soedarmo dkk
(2008) encephalitis adalah penyakit yang menyerang susunan saraf pusat dimedula
spinalis dan meningen yang disebabkan oleh japanese encephalitis virus yang ditularkan
oleh nyamuk. Encephalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh
virus atau mikroorganisme lain yang non-purulen (+) (Muttaqin Arif,2008).
2. Epidemiologi
Angka kematian untuk encephalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang pengobatannya
terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada encephalitis Herpes Simpleks) angka
kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini dengan asiclovir akan
menurukan mortalitas menjadi 28%. Sekitar 25% pasien encephalitis meninggal pada
stadium akut. Penderita yang hidup 20-40%nya akan mempunyai komplikasi atau gejala
sisa. Gejala sisa lebih sering ditemukan dan lebih berat pada encephalitis yang tidak
diobati. Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk,
Demikian juga koma. Pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh
dengan gejala sisa yang berat. Banyak kasus encephalitis adalah infeksi dan recovery
biasanya cepat encephalitis ringan biasanya pergi tanpa residu masalah neurologi. Dan
semuanya 10% dari kematian encephalitis dari infeksinya atau komplikasi dari infeksi
sekunder. Beberapa bentuk encephalitis mempunyai bagian berat termasuk herpes
encephalitis dimana mortality 15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment.
(Soedarmo, Poerwo S. Sumarno. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit
Tropis Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2000)
3. Etiologi
a. Encephalitis disebabkan oleh mikroorganisme : bakteri, protozoa, cacing, jamur,
spirokaeta dan virus. Macam-macam Encephalitis virus menurut Robin :
a) Infeksi virus yang bersifat epidermik :
 Golongan enterovirus = Poliomyelitis, virus coxsackie, virus ECHO.
 Golongan virus ARBO = Western equire encephalitis, St. louis encephalitis,
Eastern equire encephalitis, Japanese B. encephalitis, Murray valley
encephalitis.
b) Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes simplek, herpes zoster,
limfogranuloma, mumps, limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
c) Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca
vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi
traktus respiratorius yang tidak spesifik.
b. Reaksin toxin seperti pada thypoid fever, campak, chicken pox.
c. Keracunan : arsenik, CO.
4. Patofisologi Faktor-faktor predisposisi pernah mengalami
campak, cacar air, herpes, dan
bronchopneumonia

Virus/bakteri masuk jaringan otak secara


lokal, hematogen dan melalui saraf-saraf

Resiko Infeksi

Infeksi menyebar melalui darah Infeksi menyebar melalui saraf

Peradangan di otak

Peningkatan TIK

Ensephalitis

Pembentukan Reaksi kuman patogen Kerusakan saraf V Kerusakan saraf IX


Iritasi korteks serebral area fokal
transudat dan
eksudat
Peningkatan suhu tubuh Kesulitan mengunyah
Edema serebral
Nyeri kepala
Kejang
Risiko Hipertermi
ketidakefektifan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuha
perfusi jaringan Resiko cidera Nyeri akut
otak
Penurunan kesadaran
Gangguan persepsi sensori visual

Penumpukan sekret Gangguan mobilitas fisik

Koping individu tidak efektif


Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Ansietas
5. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Soedamo dkk,(2008) adalah :
a. Encephalitis fatal yang biasanya didahului oleh viremia dan perkembangbiakan virus
ekstraneural yang hebat.
b. Encephalitis subklinis yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi otak lambat
dan kerusakan otak ringan.
c. Encephalitis dengan infeksi asimptomatik yang ditandai dengan hampir tidak adanya
viremia dan terbatasnya replikasi ekstraneural.
d. Enchepalitis dengan infeksi persisten, yang dikenal dengan Japanese B Encephalitis.
6. Gejala Klinis
a. Demam
h. Pucat
b. Sakit kepala
i. Halusinasi
c. Pusing
j. Kaku kuduk
d. Muntah
k. Kejang
e. Nyeri tenggorokan
l. Gelisah
f. Malaise
m. Iritable
g. Nyeri ekstrimitas
n. Gangguan kesadaran
7. Pemeriksaan Fisik
Pada klien dengan ensepalitis pemeriksaan fisik lebih difokuskan pada pemeriksaan
neurologis. Ruang lingkup pengkajian fisik keperawatan secara umum meliputi :
a. Keadaan umum
Penderita biasanya keadaan umumnya lemah karena mengalami perubahan atau
penurunan tingkat kesadaran. Gangguan tingkat kesadaran dapat disebabkan oleh
gangguan metabolisme dan difusi serebral yang berkaitan dengan kegagalan neural
akibat proses peradangan otak.
b. Gangguan sistem pernafasan
Perubahan - perubahan akibat peningkatan tekanan intra cranial menyebabkan
kompresi pada batang otak yang menyebabkan pernafasan tidak teratur. Apabila
tekanan intrakranial sampai pada batas fatal akan terjadi paralisa otot pernafasan (F.
Sri Susilaningsih, 1994).
c. Gangguan sistem kardiovaskuler
Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan terjadi iskemik pada daerah
tersebut. Hal ini akan merangsang vasokonstriktor dan menyebabkan tekanan darah
meningkat. Tekanan pada pusat vasomotor menyebabkan meningkatnya transmiter
rangsang parasimpatis ke jantung.

8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan radiologi :
a. CT Scan
Computed Tomography pada kasus encephalitis herpes simpleks, CT-scan kepala
biasanya menunjukan adanya perubahan pada lobus temporalis atau frontalis, tapi
kurang sensitif dibandingkan MRI. Kira-kira sepertiga pasien encephalitis herpes
simpleks mempunyai gambaran CT-scan kepala yang normal

Encephalitis pada herpes simplex


b. MRI
MRI (magnetic resonance imaging) merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
dianjurkan pada kasus encephalitis. Bila dibandingkan dengan CT-scan, MRI lebih
sensitif dan mampu untuk menampilkan detil yang lebih bila terdapat adanya
kelainan-kelainan. Pada kasus encephalitis herpes simpleks, MRI menunjukan
adanya perubahan patologis, yang biasanya bilateral pada lobus temporalis medial
dan frontal inferior.

Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan. Biasanya berwarna jernih,


jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfosit. Kadar protein meningkat, sedangkan
glukosa masih dalam batas normal. Pada fase awal penyakit encephalitis viral, sel-
sel di LCS sering kalipolimorfonuklear, baru kemudian menjadi sel- sel. LCS
sebaiknya dikultur untuk mengetahui adanya infeksi virus, bakteri &jamur. Pada
encephalitis herpes simpleks, pada pemeriksaan LCS dapat ditemukan peningkatan
dari sel darah merah, mengingat adanya proses perdarahan diparenkim otak.
Disamping itu dapat pula dijumpai peningkatan konsentrasi protein yang
menandakan adanya kerusakan pada jaringan otak. Pada feses ditemukan hasil yang
positif untuk entero virus. Dengan pemeriksaan pencitraan neurologis
(neuroimaging), infeksi virus dapat diketahui lebih awal dan biasanya pemeriksaan
ini secara rutin dilakukan pada pasien dengan gejala klinis neurologis.
c. EEG (Electroencephalography)
Didapatkan penurunan aktivitas atau perlambatan. Procedure ini setengah jam,
mengukur gelombang aktivitas elektrik yang diproduksi oleh otak. Ini sering
digunakan untuk mendiagnosa dan mengatur penyakit kejang. Abnormal EEG
menunjukkan encephalitis. Elektroensefalografi (EEG) pada encephalitis herpes
simpleks menunjukan adanya kelainan fokal seperti spike dan gelombang lambat
atau (slow wave) atau gambaran gelombang tajam (sharp wave) sepanjang daerah
lobustemporalis. EEG cukup sensitif untuk mendeteksi pola gambaran abnormal
encephalitis herpes simpleks, tapi kurang dalam hal spesifisitas. Sensitifitas EEG
kira kira 84 % tetapi spesifisitasnya hanya 32.5% Gambaran elektroensefalografi
(EEG) sering menunjukkan aktifitas listrik yang merendah yang sesuai dengan
kesadaran yang menurun
d. Biopsi Otak
Paling sering digunakan untuk diagnosis dari herpes simplex encephalitis bila tidak
mungkin menggunakan metode DNA atau CT atau MRI scan. Dokter boleh
mengambil sample kecil dari jaringan otak. Sampel ini dianalysis dilaboratorium
untuk melihat virus yang ada. Dokter boleh mencoba treatment dengan antivirus
medikasi sebelum biopsi otak.
9. Penatalaksanaan
a. Terapi suportif : Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan
mengusahakan jalan nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian
oksigen, pemasangan respirator bila henti nafas, intubasi, trakeostomi), pemberian
makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi
gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan gangguan menelan, akumulasi
lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang
periodik.
b. Terapi kausal : Pengobatan anti virus diberikan pada encephalitis yang disebabkan
virus, yaitu dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama
10-14 hari. Pemberian antibiotik polifragmasi untuk kemungkinan infeksi sekunder.
c. Terapi Ganciklovir : pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis Ganciklovir
5 mg/kg BB dua kali sehari, kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu
dengan terapi maintenance. Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk encephalitis karena
toxoplasmosis.
d. Terapi Simptomatik : Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang.
Tergantung dari kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah
valium dan luminal. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan
menempatkan es pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar,misalnya
pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas
kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari dan phenergan
4mg/kgBB/hari IV atau IM dibagi dalam 3 kali pemberian. Diberikan antipiretikum
sepeb rti parasetamol, bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi
3 dosis dengan cairan rendah natrium. Bila terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial, dapat diberikan manitol0,5-2 g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.

10. Diagnosa Banding


a. Meningitis TB
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebrospinal dan spinal kolumna yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf
pusat (Harsono, 2005).
b. Sidrom reye
Adalah disfungsi multiorgan akut yang jarang terjadi yang menimbulkan efek paling
mematikan pada otak dan hepar yang disebabkan oleh virus.
c. Abses otak
Suatu proses infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang melibatkan parenkim otak,
terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari focus yang berdekatan atau melalui
sistem vascular.
d. Tumor otak
Adalah tumbuhnya sel abnormal pada otak. Tumor otak dapat berasal dari otak atau
kanker yang berasal dari bagian tubuh lain dan merambat ke otak.
e. Encefalopati
Adalah kerusakan pada otak atau malfungsi otak yang disebabkan oleh infeksi
bakteri, kekurangan oksigen pada otak, gagal ginjal dan nutrisi yang buruk. Ditandai
dengan demensia, koma dan berakhir dengan kematian.
11. Komplikasi
Komplikasi encephalitis dapat terjadi:
a. Akut
 Edema otak
 SIADH
 Status konvulsi
b. Kronik
 Cerebral palsy
 Epilepsy
 Gangguan visual dan pendengaran

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
(1) Identitas Pasien
- Nama :
- Umur :
- Alamat :
- Pekerjaan :
- No. Reg :
- Tgl. MRS :
- Tgl. Pengkajian :
- Dx Medis :
(2) Identitas Penanggung Jawab
- Nama :
- Umur :
- Pekerjaan :
- Hub. dgn pasien :

Encefalitis menyerang semua umur, namun infeksi simtomatis paling sering terjadi pada anak-anak
berusia 2 tahun hingga 10 tahun dan pada kelompok gariatri (usia lebih dari 60 tahun) (Rampengan,
2016, hal. S12).

a. Status kesehatan saat ini

 Keluhan utama

Demam, gejala menyertai flu, perubahan tingkat kesadaran, sakit kepala letargi, mengantuk,
kelemahan umum, aktifitas kejang (Kyle & Carman, 2012, hal. 559-560).

 Alasan masuk rumah sakit

Biasanya ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, nyeri ektrim
dan pucat, kemudian diikuti tanda insefalitis berat ringannya tergantung dari trisbusi dan luas lesi
pada neuron (Ridha, 2014, hal. 336).

 Riwayat penyakit sekarang

Faktor riwayat penyakit yang sangat penting diketahui karena untuk mengetahui jenis kuman
penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien encefalitis biasanya didapatkan
keluhan yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK. Keluhan gejala awal
yang sering adalah sakit kepala dan demam. Sakit kepala disebabkan encefalitis yang berat dan
sebagi akibat iritasi selaput otak. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan
penyakit (Muttaqin, 2011, hal. 178).

b. Riwayat penyakit terdahulu

 Riwayat penyakit sebelumnya

Pada kasus encephalitis, pasien biasanya akan mempunyai gejala di sebabkan virus sebelum
penyakit yang sekarang. Virus memasuki sistem syaraf pusat via aliran darah dan melalui
reproduksi. Terjadi radang diarea, menyebabkab kerusakan pada neuron (Digiulio, 2014, hal. 230).

 Riwayat penyakit keluarga

Pada pasien encefalitis tidak ada riwayat penyakit keluarga, namun pengkajian pada anak mungkin
didapatkan riwayat menderita penyakit yang disebabkan oleh virus influenza, varicella,
adenovirus,kokssakie, atau parainfluenza, infeksi bakteri, parasit satu sel, cacing fungus,
riketsia (Muttaqin, 2011, hal. 180)

 Riwayat pengobatan

Semua pasien dengan kecurigaan encefalitis HSV sebaiknnya diterapi dengan asiklovir IV
(10mg/kg setiap 8 jam) selama menunggu hasil pemeriksaan dignostik. Pasien dengan diagnostik
ensefalitis HSV yang dikonfirmasi PCR sebaiknya mendapat minimum serial terapi selam 14 hari.
Perlu dipertimbangkan pemeriksaan ulang PCR LCS setelah terapi asiklovir diselesaikan , pada
pasien dengan PCR LCR untuk HSV yang tetap positif setelah menyelesaikan pengobatan terapi
standart, sebaiknya diberikan selama 7 hari terapi tambahan, diikuti dengan pemeriksaan PCR
LCS ulang. Tetapi asiklovir juga memberikn manfaat pada kasus encephalitiss karena EBV dan
VZV. Belum ada terapi terkini untuk ensefalitis enterovirus, perotitis, epidemika, atau measles.
Ribavirin intravena (15-25mg/kg perhari yang diberikan dalam dosis terbagi 3) mungkin
bermanfaat untuk encefalitis arbovirus yang berat karena encefalitis california (LaCrosse).
Encephalitis CMV sebaiknya diterapi dengan gansiklovir, foscarnet, atau kombinasi dari kedua
obat ini, codovofir dapat memberikan alternatif untuk pasien yang tidak memberi respons. Belum
ada terapi yang terbukti untuk encefalitis WNV, sekelompok kecil pasien pernah di terapi dengan
interferon, ribavirin, oligonukleotida antisense yang spesifik WNV, dan preparat imunoglobin
intravena asal israeli yang mengandung antibodi titer yang tinggi (Harrison, 2013, hal. 172-173).
 

c. Pemeriksaan fisik

 Kesadaran

Perubahan tingkat kesedaran, aphasia, hemiparesis, ataksia, nystagmus, paralisis kuler,


kelemahan pada wajah (widagdo, suharyanto, & aryani, 2013, hal. 137).

 Tanda tanda vital

Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan tanda-tanda vital. Pada klien encefalitis biasanya di
dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 39-40 derajad celsius. Penurunan denyut
nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan
frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi sistem pernafasan sebelum mengalami encefalitis. TD biasanya normal atau
meningkat berhubungan dengan tanda tanda peningkan TIK (Muttaqin, 2011, hal. 181).

 Sistem pernapasan

Biasanya terdapat batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
peningkatan frekuensi penapasan yang sering didapatkan pada klien encefalitis yang disertai
adanya gangguan sistem pernafasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan encefalitis berhubungan
akumulasi sekret dari penurunan kesadaran (Muttaqin, 2011, hal. 161).

 Sistem kardiovaskuler

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang sering
terjadi pada klien encefalitis. (Muttaqin, 2011, hal. 181)

 Sistem persyarafan

Pemeriksaan syaraf karnial

Syaraf I fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien encefalitis.

Syaraf II tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papil edema mungkin
didapatkan pada encefalitis superatif disertai abses serebri dan efusi subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.

Syaraf III,IV,dan VI Pemeriksaan fungsi reaksi pupil pada klien encefalitis yang tidak disertai
penurunan kesadaran biasanya tanda kelainan. Pada tahap lanjut encefalitis yang menggangu
kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan di dapatkan, dengan alasan
yang tidak diketahui, klien encefalitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif berlebihan
pada cahaya.

Syaraf V pada klien encefalitis di dapatkan paralisis pada otot sehingga mengganggu proses
mengunyah
Syaraf VII persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis
unilateral

Syaraf VIII tidak di temukannya tuli konduktif dan tuli persepsi

Syaraf IX dan X kemampuan menelan kurang baik sehingga menggangu pemenuhan nutrisi
via oral

Syaraf XI tidak ada atrofi otot sternokloidormastoideus dan trapezius. Adanya usaha dari klien
untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.

Syaraf ke XII lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecap normal (Muttaqin, 2011, hal. 182).

 Sistem perkemihan

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya di dapatkan kekurangan nya volume haluaran
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfungsi dan penurunan curah jantung ke
ginjal (Muttaqin, 2011, hal. 183).

 Sistem pencernaan

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien encefalitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang (Muttaqin, 2011,
hal. 183)

 Sistem integumen

Perlu dilakukan pencegahan terjadinya dekubitus untuk pasien yang dirawat dalam jangka
panjang maupun pada pasien sembuh dengan defisit neurologis (Rampengan, 2016, hal. 519)

 Sistem muskuloskletal

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang
lain (Muttaqin, 2011, hal. 183)

 Sistem endokrin

Tidak ada gangguan pada sistem endokrin, indra pengencap normal (Muttaqin, 2011, hal. 182)

 Sistem reproduksi

Ensefalitis berat yang luas sering terjadi pada neonatus yang lahir pervaginam dari wanita
dengan infeksi genital VHS primer aktif (Kumar, Abbas, & Aster, 2015, hal. 814)

 Sistem pengindraan

Fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien encefalitis. lidah simetris, tidak ada
defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal (Muttaqin, 2011, hal. 182)
 Sistem imun

Encefalitis dapat terjadi akibat komplikasi penyakit pada masa kanak-kanak seperti campak,
gondong atau cacar air. Maka pentingnya memperbarui status imunisasi anak seperti vaksin
rabies pasca-pajanan anak yang digigit oleh binatang yang diduga gila (Kyle & Carman, 2012,
hal. 560)

d. Pemeriksaan penunjang (Nurarif & Kusuma, 2016, hal. 190)

 Pemeriksaan cairan serebraspinal

Warna dan jernih terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200 sel dengan dominasi sel limfosit.
Protein agak meningkat sedangkan glucose dalam batas normal.

 Pemeriksaan EEG

Memperlihatkan proses inflamasi yang di fuse “bilateral” dengan activitas rendah

 Thorax photo

Adanya infeksi pada sistem pernafasan sebelum mengalami encefalitis (Muttaqin, 2011, hal. 181)

 Darah tepi : leukosit meningkat


 Ctscan untuk melihat kedaan otak
 Pemeriksan virus

e. Penatalaksanaan

 Isolasi bertujuan mengurangi stimulus/rangsangan dari luar dan sebagai tindakan pencegahan.
 Terapi antibiotik sesuai hasil kultur
 Bila ensephalitis di sebabkanoleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir secara signifikan dapat
menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV enchepalitis. Acyclovir diberikan tergantung
keadaan pasien.
 Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan, jenis dan jumlah cairan yang diberikan
tergantung keadaan pasien.
 Mengontrol kejang obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Obat yang
diberikan ialah valium dan atau luminal. Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/
kg BB/kali. Bila 15 menit belum teratasi/kejang lagi bila diulang dengan dosis yang sama. Jika
sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan dosis
5mg/kgBB/24jam.
 Mempertahankan ventilasi, bebaskan jalan napas, berikan o2 sesuai kebutuhan (2-3 l/menit).
 Penatalaksanaan shoock septik
 Untuk mengatasi hiperpireksia, dapat diberikan kompres pada permukaan tubuh atau dapat juga
diberikan antipiretikum seperti asetasol atau parasetamol apbila keadaan telah memungkinkan
pemberian obat peroral (Nurarif & Kusuma, 2016, hal. 191).

2. Diagnosa keperawatan
a. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan edema serebral/ penyumbatan aliran
darah.
Definisi : Berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak

Factor resiko

 Keabnormalan masa protrombin dan atau masa tromboplastin parsial


 Penurunan kinerja ventrikel kiri
 Aterosklerosis aorta
 Diseksi arteri
 Fibrilasi atrium
 Tumor otak
 Stenosis karotis
 Miksoma atrium
 Aneurisma serebri
 Koagulopati (mis anemia sel sabit )
 Dilatasi kardiomiopati
 Cedera kepala
 Hipertensi
 Neoplasma otak

Kondisi Klinis Terkait

 Stroke
 Cedera kepala
 Aterosklerotik aortic
 Diseksi arteri
 Hipertensi
 Fibrilasi atrium
 Miksoma atrium
 Neoplasma otak
 Stenosis mitral
 Infeksi otak (mis meningitis, esefalitis, abses serebri)

(PPNI, 2017 , pp. 51 – 52)

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler

Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri

Penyebab

 Kerusakan integritas struktur tulang


 Perubahan metabolisme
 Ketidakbugaran fisik
 Penurunan kendali otot
 Kekakuan sendi
 Nyeri Kecemasan
 Gangguan kognitif
 Efek agen farmakologis
 Malnutrisi
Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas

Objektif

 Kekuatan otot menurun


 Rentang gerak ( ROM ) menurun

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

 Nyeri saat bergerak


 Enggan melakukan pergerakan
 Merasa cemas sat bergerak

Objektif

 Sendi kaku
 Gerakan tidak terkoordinasi
 Gerakan terbatas
 Fisik lemah

Kondisi Klinis Terkait

 Stroke
 Cedera medulla Spinalis
 Trauma
 Fraktur
 Osteoarthritis
 Ostemalasia
 Keganasan (PPNI, 2017 , pp. 124 – 125 )

2. Resiko trauma fisik berhubungan dengan kejang

Definisi : respon maladaptif yang berkelanjutan terhadap kejadian trauma

Penyebab

 Bencana alam
 Peperangan
 Riwayat perilaku kekerasan
 Kecelakan
 Saksi pembunuhan

Gejala dan Tanda Mayor


 Mengungkapkan secara berlebihan atau menghindari pembicaran kejadian trauma
 Merasa cemas
 Teringat kembali kejadian traumatis

Objektif

 Memori masa lalu tergangu


 Mimpi buruk berulang
 Ketakutan berulang
 Menghindari aktivitas, tempat atau orang yang membangkitkan kejadian trauma

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

 Tidak percaya pada orang lain


 Menyalahkan diri sendiri

Objektif

 Minat berinteraksi dengan orang lain menurun


 Konfusi atau disosiasi
 Gangguan interpretasi realitas
 Sulit berkonsentrasi
 Waspada berlebihan
 Pola hidup terganggu
 Tidur terganggu

Kondisi Klinis Terkait

 Korban kekerasan
 Post traumatic stess disorder (PTSD)
 Korban bencana alam
 Korban kekerasan seksual
 Korban peperangan
 Cedera multipel ( kecelakaan lalu lintas) (PPNI T. , 2017, hal. 226-227)

3. Interverensi

Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan edema serebral/ penyumbatan aliran darah.

 Tujuan dan kriteria hasil (Wilkinson, 2016, hal. 444)

1. Menunjukkan status sirkulasi yang dibuktikan oleh indikator (sebutkan 1-5 gangguan ekstrem, berat,
ringan atau tidak ada penyimpangan dari rentang normal). Tekanan darah sistolik dan distolik.
2. Menunjukkan perfusi jaringan cerebral yang dibuktikan oleh indikator (sebutkan 1-5 gangguan ekstrem,
berat, ringan atau tidak ada penyimpangan dari rentang normal). :

Tekanan Intrakranial

Tekanan darah distolik dan diastolik

1. Menunjukkan perfusi jaringan cerebral yang dibuktikan oleh indikator (sebutkan 1-5 gangguan ekstrem,
berat, ringan atau tidak ada) :

Angitasi

Bising karotis

Gangguan reflek neurologis

Muntah

 Intervrensi NIC (Wilkinson, 2016, hal. 444)

Aktivitas keperawatan

1. Pantau tanda-tanda vital suhu tubuh, tekanan darah, nadi dan pernapasan
2. Pantau TIK dan respons neurologis pada pasien terhadap aktivitas keperawatan
3. Pantau tekanan perfusi serebral
4. Perhatikan perubahan pasien sebagai respons terhadap stimulus

Aktivitas kolaboratif (Wilkinson, 2016, hal. 444-445)

1. Perhatikan parameter hemodinamika (misalnya, tekanan arteri sistemik) dalam rentang yang
dianjurkan
2. Berikan obat-obatan untuk meningkatkan volume intrvaskuler, sesuai progam
3. Induksi hipertensi untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral, sesuai progam
4. Tinggikan bagian kepala tempat tidur 0 sampai 45 derajad, bergantung pada kondisi pasien dan
program dokter

Penyuluhan untuk pasien/ keluarga (Wilkinson, 2016, hal. 447)

1. Ajarkan kepada pasien atau keluarga tentang menghindari suhu ekstrim


2. Pentingnya mematuhi progam diet dan medikasi
3. Melaporkan tanda dan gejala yang mungkin perlu dilaporkan
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler

 Tujuan dan kriteria hasil (Wilkinson, 2016, hal. 268)

1. Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator (sebutkan 1-5 gangguan ekstrem, berat,
ringan atau tidak mengalami gangguan)

Keseimbangan

Koordinasi
Performa posisi tubuh

Pergerakan sendi dan otot

Berjalan

Bergerak dengan mudah

 Interverensi NIC (Wilkinson, 2016, hal. 269)

Aktivitas keperawatan

1. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan keehatan di rumah dan kebutuhan terhadap peralatan
pengobatan yang tahan lama
2. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas (misalnya, tongkat, walker,
kruk, atau kursi roda)
3. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses perpindah ( mis, dari tempat tidur ke kursi)

Aktifitas kolaboratif (Wilkinson, 2016, hal. 271)

1. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik/ okupasi jika diperlukan (mis, untuk memastikan ukuran dan
tipe kursi roda yang sesuai untuk pasien)

Penyuluhan untuk pasien/ kelurga (Wilkinson, 2016, hal. 271)

1. Ajarkan pasien dalam latihan untuk meningkatkan kekuatan tubuh bagian atas, jika diperlukan
2. Ajarkan bagaimana menggunakan kursi roda, jika diperlukan
3. Resiko trauma fisik berhubungan dengan kejang

 Tujuan dan kriteria hasil

1. Menunjukkan perilaku keamanan pribadi, yang dibuktikan oleh (sebutkan 1-5 tidak pernah,
jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu) :

Menyimpan makan untuk meminimalkan kerusakan makanan

Menggunakan sabuk keselamatan dengan benar

Menggunakan instrumen dan mesin secra tepat

Menghindari perilaku beresiko tinggi

Menghindari merokok di tempat tidur

 Interverensi NIC

Aktivitas keperawatan
1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien berdasarkan tingkat fungsi fisik, kognitif dan riwayat
perilaku sebelumnya
2. Identifikasi bahaya keamanan di lingkungan (yaitu fisik, biologi dan kimia)

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

1. Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan keamanan spesifik terhadap area yang
beresiko
2. Berikan materi pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan strategi pencegahan trauma
3. Berikan informasi tentang bahaya lingkungan dan ciri-cirinya

Aktivitas kolaboratif

1. Rujuk pada kelas pendidikan di komunitas (mis, RJP, pertolongan pertama, atau kelas renang)
2. Bantu pasien saat berpindah ke lingkungan yang lebih aman (mis, perujukan terhadap bantuan
tempat tinggal)

 
 

DAFTAR PUSTAKA

Digiulio, M. (2014). Keperawatan medical bedah. jogjakarta: Rapha Plubishing.

Harrison. (2013). Harrison Neurologi. Tanggerang Selatan: KARISMA Publising Group.

Kumar, V., Abbas, A., & Aster, J. (2015). Buku ajar aptologi Robbins. Singapore: Elsevier.

kumar, v., Abbas, A., & Aster, J. (2015). Buku ajar patoligi Robbins. Singapore: Elseveir.

Kyle, T., & Carman, S. (2012). Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.

Lestari, R., & Putra, A. E. (2017). Jurnal makah kedokteran Andalas. Sumatra: Fakultas Kedokteran Andalas.

Muttaqin, A. (2011). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan. Jakarta: Salemba
Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan keperawatan praktis. Jogjakarta: Mediaction.

PPNI, T. P. (2017 ). standar Diagnosis Keperawatan Indonesia . Jakarta Selatan : PPNI .

Rampengan, N. (2016). Jurnal Biomedik (JBM). Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.

Ridha, N. (2014). Buku ajar keperawatan anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

widagdo, w., suharyanto, t., & aryani, r. (2013). Asuhan Keperawatan Persyarafan. Jakarta: TIM.

Wilkinson, J. (2016). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Brunner / Suddarth. 1984. Medical Surgical Nursing. JB Lippincot Company : Philadelphia.


Doenges, Marilyn E . 1993. Nursing Care Plans, F.A.Davis Company :Philadelphia.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:EGC
Joanne, dkk. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC), Fifth Edition. Amerika: Mosby

Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak.1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Fakultas Kedokteran
UNAIR Surabaya.
Mansjoer,et al.2001. Kapita Selekta Kedokteran volume 1 edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius
Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition. Amerika: Mosby

Muttaqin Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:


Salemba Medika
Rahman M.1986.Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok Minat
Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba : Jakarta.
Sacharian, Rosa M. 1993. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai