Anda di halaman 1dari 21

Case Report Session

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

BELL’S PALSY

Oleh :

Arzia Rahmi 1010311021

Preseptor :

Prof. Dr. dr. Darwin Amir, SpS (K)

dr. Restu Susanti, SpS, M.Biomed

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s Palsy merupakan kelainan saraf fasialis tipe perifer idiopatik dan

penyebab terbanyaknya adalah lesi nervus unilateral yang dapat mengenai semua

usia dan jenis kelamin. Angka kejadiannya diperkirakan 23 dalam 100.000

populasi dan diperkirakan meningkat pada pasien diabetes melitus, hipertensi,

serta ibu hamil masa perinatal.1

Infeksi herpes simpleks virus (HSV) - 1 sering dikaitkan dengan kejadian

bell’s palsy karena pada autopsi dapat diisolasi HSV-1 tersebut dari ganglion

genikulatum serta terdeteksi pada cairan endoneurium. Terjadinya inflamasi

aksonal sehingga terjadi demielinasi segmental akan menyebabkan kelainan

nervus fasialis tipe perifer yang muncul 48-72 pasca onset.1

Manifestasi yang muncul dapat berupa terkulai, ekspresi kaku, terasa berat

secara ringan ataupun berat. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan tanpa

dilakukan intervensi 2-3 minggu dan akan membaik keseluruhan setelah 3 sampai

4 minggu setelahnya.2

Walaupun belum ada konsensus yang mengemukakan tentang manajemen

pasti untuk bell’s palsy, namun banyak dari klinisi yang memberikan steroid

berupa glukokortikoid atau prednison dan antivirus berupa asiklovir apabila

ditemukan dalam 72 jam dari onset pertama.2,3

1
1.2 Batasan Masalah

Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi dan

prognosis dari Bell’s palsy.

1.3 Tujuan

Laporan kasus ini bertujuan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

kepaniteraan klinik ilmu penyakit saraf dan menambah pengetahuan tentang Bell’s

palsy.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan laporan kasus ini berdasaran literatur seperti textbook, jurnal, dan

sumber lainnya, serta membandingkannya dengan kasus yang ditemui di

poliklinik ataupun bangsal neurologi RSUP DR. M. Djamil Padang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bell’s palsy merupakan paralisis nervus fasialis ipsilateral idiopatik yang

muncul sekunder akibat adanya inflamasi, pembengkakan ataupun kompresi

nervus fasialis. Biasanya timbul secara akut tanpa ada kelainan neurologik lainnya

yang menyertai, dimana sebagian besar akan menyembuh dan beberapa

meninggalkan gejala sisa seperti kontraktur, skinkinesia atau spasme spontan.2,3

2.2 Anatomi

Inti motorik nervus fasialis terletak di pons, dimana serabutnya mengitari

inti nervus absdusen (VI) dan keluar dari lateral pons. Nervus fasialis bersama

dengan nervus intermedius berjalan dari meatus akustikus eksternus kemudian

kedalam kanalis fasialis dan kemudian masuk kedalam os mastoid dan keluar dari

tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid dan bercabang untuk mensarafi

wajah.3

Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut yaitu :

1. Serabut somato motorik, yang mesarafi otot wajah (kecuali m. levator

palpebrae), otot plastima, digastrikus bagian posterior dan stapedius di

telinga tengah.

2. Serabut visero motorik (parasimpatis), mensarafi glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilar serta sublingual dan lakrimalis.

3
3. Serabut visero sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di 2/3

depan lidah.

4. Serabut somato sensorik, mensarafi lidah, palatum, meatus akustikus

eksterna dan bagian luar gendang telinga yang bertumpang tindih dengan

nervus kranial lainnya.3

Gambar 1 : serabut saraf nervus VII (fasialis). Garis biru tebal merupakan serabut
motorik, garis biru putus-putus merupakan serabut parasimpatik dan garis
putus- putus titik merupakan serabut aferen viseral. A, B, dan C merupakan
lesi pada nervus fasialis pada foramen stilomastoideus, ganglion genikulus
distal dan ganglion genikulus proksimal.4

Otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi sehingga apabila

terjadi kelumpuhan nervus fasialis sentral maka sekitar mata dan dahi tidak

lumpuh yang lumpuh adalah bagian bawah wajah. Apabila gangguan terjadi pada

4
nervus fasialis perifer maka semua otot seisi wajah akan lumpuh dan mungkin

juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang

berjalan bersama saraf fasialis.3

2.3 Epidemiologi

Angka kejadian berkisar antara 15 - 30 / 100.000 penduduk secara global.

Di Amerika Serikat prevalensi bell’s palsy adalah 23 untuk setiap 100.000

penduduk. Insiden tertinggi ditemukan di Jepang dan terendah di Swedia.

Perempuan usia 10-19 tahun lebih sering terkena daripada laki-laki dengan

rentang usia yang sama. Puncak kejadian bell’s palsy adalah usia 20 tahun sampai

40 tahun.5,6

2.4 Etiologi

Walaupun sampai sekarang penyebab pasti dari bell’s palsy belum

diketahui (idiopatik) terdapat berbagai hipotesis tentang faktor-faktor penyebab

bell’s palsy. Infeksi HSV-1 merupakan agen etiologi dalam bell’s palsy

menyebabkan infeksi primer pada bibir (yaitu, luka dingin), virus berjalan naik ke

akson saraf sensorik dan berada di ganglion genikulatum. Pada saat stres, virus

kembali aktif dan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin.1,6

Selain infeksi HSV, kemungkinan etiologi termasuk infeksi lain

(misalnya herpes zoster, penyakit Lyme, sifilis, infeksi virus Epstein-Barr,

cytomegalovirus, human immunodeficiency virus [HIV], mycoplasma), inflamasi

dan penyakit mikrovaskular (diabetes mellitus dan hipertensi).6

Autoimun juga diduga menyebabkan demielinisasi nervus fasialis yang

menyebabkan kelumpuhan wajah unilateral. Riwayat keluarga dengan Bell palsy

telah dilaporkan pada sekitar 4% kasus.5,6

5
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi yang tepat dari bell’s palsy masih menjadi perdebatan.

Sebuah teori populer mengusulkan bahwa edema dan iskemia menghasilkan

kompresi saraf wajah dalam kanal tulang temporal. Penyebab edema dan iskemia

belum ditentukan. Bagian pertama dari saluran wajah, segmen labirin, adalah yang

paling sempit; foramen meatal di segmen ini memiliki diameter hanya sekitar 0,66

mm. Ini adalah lokasi yang dianggap tempat paling umum dari kompresi nervus

fasialis pada bell’s palsy. Mengingat terbatasnya saluran wajah, tampaknya logis

bahwa proses inflamasi, demielinasi, iskemik, atau kompresi dapat mengganggu

konduksi saraf ini.4,6

Cidera pada saraf wajah di Bell palsy bersifat perifer terhadap nukleus

saraf. Cidera ini diduga terjadi di dekat atau di ganglion genikulatum. Jika lesi

proksimal ke ganglion genikulatum, kelumpuhan motor disertai dengan kelainan

gustatoris dan otonom. Lesi antara ganglion genikulatum dan korda timpani

menghasilkan efek yang sama, sementara jika lesi berada di foramen stilomastoid,

itu mungkin menyebabkan kelumpuhan wajah saja.6

2.6 Gejala Klinis


Sebelum onset dapat terjadi nyeri pada belakang aurikular 1-2 hari.

Manifestasi klinis yang muncul berhubungan dengan level kerusakan nervus

fasialis. Nervus fasialis memiliki bagian serabut saraf sensorik dan motorik, maka

gangguannya dapat berupa kelumpuhan otot wajah ipsilateral (m. frontalis, m.

orbikularis oris, m. bucinator, m. orbikularis okuli dan m. platisma), penurunan

lakrimasi ipsilateral, hiperakusis ipsilateral, penurunan saliva ipsilateral, dan

penurunan indara pengecap ipsilateral pada 2/3 anterior lidah. Pada beberapa

kasus dapat disertai hipertesia pada satu atau lebih cabang nervus trigeminal.1

6
Tabel 1 : skala House-Brackman untuk menentukan derajat kelumpuhan nervus
fasialis1
Derajat Karakteristik
I (normal) Tidak ada kelainan
II (disfungsi ringan) Inspeksi :
- tampak kelemahan otot wajah ringan dengan inspeksi
seksama
- dapat ditemukan sinekia
- tampak simetris dan tonus tampak normal saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : fungsi sedang-baik
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik
dengan usaha minimal
- m. orbikularis oris : asimetris ringan
III (disfungsi sedang) Inspeksi :
- tampak tonus normal saat istirahat
- tampak sinkinesis, kontraktur, atau hemifasial spasme
yang jelas namun tidak berat.
- tampak asimetris namun tidak memberikan kesan jelak
terhadap penampilan
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : gerakan berkurang
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik
dengan usaha maksimal
- m. orbikularis oris : asimetris ringan dengan usaha
maksimal
IV (disfungsi sedang-berat) Inspeksi :
- tampak asimetris dan memberikan kesan buruk terhadap
penampilan
- tampak tonus normal saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : tidak ada gerakan
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak
sempurna
- m. orbikularis oris : asimetris dengan usaha maksimal
V (disfungsi berat) Inspeksi :
- tampak asimetris saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : tidak ada gerakan
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak
sempurna
VI (paralisis total) tidak ada gerakan sama sekali

Gambar 2 : manifestasi klinis pada pasien bell’s palsy7

7Ketidakmampuan untuk mengerutkan


alis pada sisi yang terkena
Sedikit pelebaran
Sudut mulut dari fisura palpebra
mengendur
2.7 Diagnosis
Selain anamnesa yang tepat diperlukan pemeriksaan fisik untuk

mendiagnosis bell’s palsy yaitu pemeriksaan nervus fasialis. Tujuan pemeriksaan

tersebut untuk menentukan apakah kelemahan otot-otot wajah tersebur unilateral

atau bilateral dan memperkirakan apakah lesinya berada di sentral atau perifer.8

Pemeriksaan motorik wajah dapat dilakukan dengan melihat apakah

terdapat simetri otot wajah secara keseluruhan. Plika nasolabialis dilihat apakah

sama kiri dengan kanan, kemudian gerakan mulut selama berbicara, tersenyum,

dan tertawa. Untuk melihat fungsi nervus fasialis perifer dapat dilihat dari

bagaimana pasien mnegerutkan dahi, mengangkat alis, dan mengedipkan mata.

Pemeriksaan sensorik nervus fasialis dapat dilakukan dengan memeriksa

fungsi rasa kecap lidah pada dua pertiga bagian depan. Pada area tersebut dapat

diuji fungsi rasa manis, asam atau asin.8

Pemeriksaanpe penunjang yang dapat dilkukan adalah MRI dengan

kontras didapatkan penyangatan nervus fasialis yang mempresentasikan inflamasi.

Kemudian pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan peningkatan ringan

limfosist dan monosit. Pemeriksaan elektrifisiologi, yaitu refleks kedip (blink

reflex) dapat menentukan topik kerusakan nervus fasialis.1

2.8 Diagnosa Banding


Kelumpuhan nervus fasialis tidak hanya terjadi pada bell’s palsy tapi dapat

terjadi pada tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay

Hunt syndrom), Guillen Barre syndrome, penyakit Lyme, AIDS, infeksi

Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah.1


2.9 Penatalaksanaan

Pemberian prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/

kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,

8
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya

untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Acyclovir 400 mg selama 10

hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna

jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi

virus. Pemberian antivirus disertai pemberian kortikosteroid lebih baik. Untuk

mencegah keratitis paparan akbat lagoftalmus dapat diberikan air mata buatan,

pelindung mata dan penutup mata secara mekanik saat tidur.1,9,10

2.10 Prognosis

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita

memabaik dalam 2 minggu dan sembuh dalam waktu 2 sampai 6 bulan. Penderita

yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan

beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau

kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total

dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka

penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears

dan kadang spasme hemifasial.11,12

9
DAFTAR PUSTAKA

1. FKUI. Buku Ajar Neurologi. Jakarta : Departemen Neurologi FKUI. 2017.


2. Angulo M and Babcock E. Bell Palsy. Journal of the American
Academy of Physician Assistants. 2015.
3. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI. 2013.
4. Allan HR adn Robert HB. Adams and Victor’s Principle of Neurologi. 8th
edition, page 1181-1182. USA : Mc Graw-Hill Companies. 2005.
5. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF,
Vincentiis M. Bell’s Palsy and Autoimmunity. Italy :
Elsevier. 2015.
6. Danette CT. Bell Palsy. 2017. Diakses dari
https://emedicine.medscape. com /article/1146903-overview#a7
pada tanggal 11 Mei 2018.
7. Donika KP and Kerry HL. Bell Palsy - Clinical Examnation and
Management. Cleveland Cinic Journal of Medicine. 2015.
8. Basjiruddin A, Darwin A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf
(Neurologi). Padang : Universitas Andalas. 2008.
9. Der JA, and Van DV. Combination Therapy for Bell’s Palsy.
The American Journal of Medicine. 2013.
10. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
11. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology

2nd ed. George Thieme Verlag: German, 2003.


12. National Institute of Neurological Disorder and Stroke.
Bell’s Palsy. 2017. diakses dari :
https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-
Education/Fact-Sheets/Bells-Palsy-Fact-Sheet pada tanggal 12
Mei 2018

BAB III
ILUSTRASI KASUS

10
IDENTITAS PASIEN :

Nama : Nn. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 18 tahun
MR : 00.96.98.67
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Mahasiswa
Suku : Minang
Alamat : Padang panjang
Tgl masuk : 30 April 2018

ANAMNESIS

Alloanamnesis :

Seorang pasien, Nn. R, perempuan berusia 18 tahun datang ke poliklinik

neurologi RSUP DR M DJAMIL Padang tanggal 30 April 2018 dengan :

Keluhan Utama :

Bibir mencong sebelah kanan sejak 3 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang:

 Pasien datang ke Poli Saraf RSUP DR M Djamil Padang pada tanggal 30

April 2018 dengan keluhan bibir mencong sebelah kanan sejak 3 jam sebelum

datang ke rumah sakit. Pasien mengaku sehari sebelum serangan bibir pasien

berkedut dan pada malam hari pasien sedang berkumpul bersama teman-

temannya di tempat terbuka hingga tengah malam. Ketika bangun tidur pasien

tiba-tiba merasakan bibir sebelah mencong ke sebelah kanan dan sulit

digerakkan. Pasien mengatakan pada saat minum air, air selalu keluar dari

mulut. Kelopak mata kiri terasa sulit untuk menutup dan mata kiri terasa lebih

berair dibandingkan mata kanan.

 Demam ada tidak tinggi dan tidak menggigil sejak 2 hari sebelum datang ke

poli rumah sakit

11
 Pusing berputar (-), nyeri kepala (-),

 Kelemahan bagian tubuh lain tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Riwayat infeksi pernapasan atas (-)

Riwayat penyakit keluarga :

 Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama

Riwayat pribadi dan sosial :

 Pasien seorang mahasiswa dengan aktifitas harian sedang-berat.


PEMERIKSAAN FISIK
I. Umum
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : CMC (GCS 15 : E4, M5, V6)
Nadi/ irama : nadi kuat angkat, irregular, 60 x/menit
Pernafasan : pola thorakoabdominal, regular, 20x/menit
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 36,8oC
Keadaan gizi : normoweight
BB : 50 kg
TB : 155 cm
Rambut : hitam beruban tidak mudah dicabut dan tidak rontok
Kulit dan kuku : sianosis (-)
Turgor kulit : baik
II. Status internus
Kelenjar getah bening
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Aksila : tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB
Mata
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, ø 3 mm/ø 3 mm,

reflek cahaya +/+, reflek kornea +/+


Toraks
Paru
Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

12
Perkusi : batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS RIC V, kanan : LSD,

atas : RIC II.


Auskultasi : irama ireguler, bising jantung tidak ada, murmur tidak ada
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : perabaan supel, hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Korpus vertebrae
Inspeksi : deformitas tidak ada
Palpasi : gibus tidak ada
Alat kelamin : tidak diperiksa
Anus : tidak diperiksa
III. Status neurologikus
1. Tanda rangsangan selaput otak
· Kaku kuduk : (-)
· Brudzinsky I : (-)
· Brudzinsky II : (-)
· Tanda Kernig : (-)
2. Tanda peningkatan tekanan intracranial (-)
Pupil isokor, ø 3 mm/ø 3 mm, reflek cahaya +/+, reflek kornea +/+
3. Pemeriksaan nervus kranialis

1. Pemeriksaan nervus kranialis


N. I (Olfaktorius)

Penciuman Kanan Kiri


Subjektif Normal
Objektif (dengan bahan) Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N. II (Optikus)

Penglihatan Kanan Kiri


Tajam penglihatan Normal
Lapangan pandang Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N. III (Okulomotorius)

Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Doll’s eye movement -/-
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)

13
Ekso/endotalmus (-) (-)
Pupil
· Bentuk Bulat, 3 mm Bulat, 3 mm
· Refleks cahaya (+) (+)
· Refleks akomodasi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
· Refleks konvergensi Tidak diperiksa Tidak diperiksa

N. IV (Troklearis)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -

N. VI (Abdusen)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -

N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri
Motorik
· Membuka mulut
· Menggerakkan rahang Normal
· Menggigit
Normal
Normal
· Mengunyah
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

Sensorik
· Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
· Divisi maksila
- Refleks masetter (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
· Divisi mandibular
- Sensibilitas (+) (+)

N. VII (Fasialis)

Kanan Kiri

14
Raut wajah Plika nasolabialis kanan lebih datar
Sekresi air mata (+) (+)
Fissura palpebral Sulit menutup Normal
Menggerakkan dahi Datar Normal
Menutup mata Sulit Normal
Mencibir/ bersiul Mencong ke kanan Normal
Memperlihatkan gigi Mencong ke kanan Normal
Sensasi lidah 2/3 depan Berkurang Normal
Hiperakusis Tidak ada Tidak ada

N. VIII (Vestibularis)

Kanan Kiri
Suara berisik Normal Normal
Detik Arloji Normal Normal
Refleks okuloauditorik Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Rinne tes Normal Normal
Weber tes Normal
Schwabach tes
- Memanjang
Sama dengen pemeriksa
- Memendek
Nistagmus (-) (-)
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)

N. IX (Glossopharyngeus)

Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal
Refleks muntah (Gag Rx) (+)

N. X (Vagus)

Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Normal Normal
Nadi Reguler

N. XI (Asesorius)

15
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu kanan Normal Normal
Mengangkat bahu kiri Normal Normal

N. XII (Hipoglosus)

Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Tidak ada deviasi
Kedudukan lidah dijulurkan Tidak ada deviasi
Tremor - -
Fasikulasi - -
Atrofi - -

v Pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan

Keseimbangan Koordinasi
Romberg test Tidak dilakukan Jari-jari Tidak dilakukan
Romberg test Tidak dilakukan Hidung-jari Tidak dilakukan
dipertajam
Stepping gait Tidak dilakukan Pronasi-supinasi Tidak dilakukan
Tandem gait Tidak dilakukan Tes tumit lutut Tidak dilakukan
Rebound phenomen Tidak dilakukan

v Pemeriksaan fungsi motorik

a. Badan Respirasi Normal


Duduk Normal
b. Berdiri dan Gerakan spontan Normal
Tremor -
berjalan
Atetosis -
Mioklonik -
Khorea -
c. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Kekuatan 555 555 555 555
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

v Pemeriksaan sensibilitas

Sensibiltas taktil Normal


Sensibilitas nyeri Normal

16
Sensiblitas termis Normal
Sensiblitas sendi dan posisi Normal
Sensibilitas getar Normal
Sensibilitas kortikal Normal
Stereognosis Normal
Pengenalan 2 titik Normal
Pengenalan rabaan Normal

v Sistem refleks

a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Kornea (+) (+) Biseps ++ ++
Berbangkis Triseps ++ ++
Laring KPR ++ ++
Masetter APR ++ ++
Dinding perut Bulbokvernosus
· Atas Cremaster
· Tengah Sfingter
· Bawah
b.Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Tungkai
Hoffmann-Tromner (-) (-) Babinski (-) (-)
Chaddocks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

v Fungsi otonom
- Miksi : neurogenic bladder (-)
- Defekasi : inkotinensia alvi (-)
- Sekresi keringat: dalam batas normal

v Fungsi luhur

Kesadaran Tanda Dementia


Reaksi bicara Normal Reflek glabela (-)
Fungsi Intelek Normal Reflek snout (-)
Reaksi emosi Normal Reflek menghisap (-)
Reflek memengang (-)
Reflek palmomental (-)

3.1 Pemeriksaan Laboratorium

17
Hemoglobin 13,0 g/dl
Leukosit 7.200/mm3
Trombosit 133.000/mm3
Hematokrit 32 %
GDS 98 mg/dl
Ur/Cr 54 / 1,2 mg/dl
Total Kolesterol 152 mg/dl
HDL/ LDL 31 / 129 mg/dl
Trigliserida 146 mg/dl
Asam Urat 5 mg/dl
Kesan : dislipidemia
3.2 Pemeriksaan Tambahan
- MRI
- Blink reflex (+)

Diagnosis :

Diagnosis Klinis : Bell’s Plasi dekstra

Dianosis Topik : Nervus Fasialis cabang


Diagnosis Etiologi : Idiopatik
Diagnosis Sekunder : Tidak ada
Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Terapi :
Umum :
- istirahat
Khusus :
- Prednison 4 x 10 mg
- Asiclovir 5 x 800 mg
- Cendoliter 6 x 1 tetes

18
BAB IV
DISKUSI

Berdasarkan anamnesis pasien datang ke Poli Saraf RSUP DR M Djamil

Padang pada tanggal 30 April 2018 dengan keluhan bibir mencong sebelah kanan

sejak 3 jam sebelum datang ke rumah sakit. Pasien mengaku sehari sebelum serangan

bibir pasien berkedut dan pada malam hari pasien sedang berkumpul bersama teman-

temannya di tempat terbuka hingga tengah malam. Ketika bangun tidur pasien tiba-

tiba merasakan bibir sebelah mencong ke sebelah kanan dan sulit digerakkan. Pasien

mengatakan pada saat minum air, air selalu keluar dari mulut. Kelopak mata kiri

terasa sulit untuk menutup dan mata kiri terasa lebih berair dibandingkan mata kanan.

Keluhan lumpuh pada pasien dari dahi, mata dan bibir merupakan

kelumpuhan nervus fasialis perifer. Salah satu faktor yang berhubungan dengan bell’s

palsy adalah infeksi HSV-1, pada pasien terdapat riwaya deman 2 hari sebelum

keluhan muncul. Hal tersebut dapat terjadi karena infeksi virus HSV-1.

Tatalaksana yang diberikan kepada pasien adalah steroid dan antivirus dan

ditambah obat tetes mata mencegah keratitis karena lagoftalmus. Steroid diberikan

sebagai antiinflamsi dan asiclovir diberikan karena pada pasien terjadi kemungkinan

infeksi virus.

BAB III
KESIMPULAN

19
Bell’s palsy merupakan paresis atau kelumpuhan yang akut dan

idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah

edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.


Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat

bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka

sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala

kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.


Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat-

obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang

berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik

meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

20

Anda mungkin juga menyukai